Deskripsi Daerah Kajian
Kalimantan Timur memiliki luas wilayah 211.440 km² atau seluas satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura. Secara geografis Kalimantan Timur terletak antara 113º44’ dan 119º00’ Bujur Timur serta diantara 4º24’ Lintang Utara dan 2º25’ Lintang Selatan. Propinsi terluas kedua setelah Irian Jaya ini dibagi menjadi 8 kabupaten, 4 kota, 87 kecamatan dan 1.258 desa/kelurahan. Adapun sebaran geografis daerah kajian dapat diilustrasikan melalui gambar 10 berikut:
Sumber: http://www.encarta.msn.com
Gambar 10. Sebaran geografis daerah kajian. Daerah kajian disimbolkan dengan angka 1 sampai dengan 5, angka 1 untuk menandakan daerah Loajanan, 2 untuk Marangkayu, 3 untuk Samuntai, 4 untuk Tanjungredep, dan 5 untuk Tanjungselor. Secara umum propinsi Kalimantan Timur beriklim tropik basah dengan curah hujan berkisar antara 1500 – 4500 mm pertahun , dengan suhu rata-rata 26° C dengan perbedaan suhu siang dan malam antara 5 - 7° C. Suhu minimum umumnya dideteksi terjadi pada Oktober sampai dengan Januari dan suhu maksimum antara Juli sampai Agustus (http://www.diperta-kaltim.go.id).
Setelah dilakukan penghitungan dengan menggunakan ke dua metode tadi, selanjutnya akan dilihat apakah terjadi perubahan nilai yang merubah label kelas dari komponen FWI, yang dalam hal ini di fokuskan pada FFMC, DMC, DC. Ketiga komponen tersebut dipilih karena ketiganya merupakan indikator terjadinya kebakaran pada ketiga model bahan bakar yang ada pada sistem FWI. Hasil penghitungan dari semua komponen Sistem FWI yang telah mempergunakan faktor Le dan Lf, pada umumnya menghasilkan komponen-komponen Sistem FWI yang nilainya berbeda daripada komponen – komponen Sistem FWI ya ng dihasilkan dari
penghitungan yang mempergunakan formulasi aslinya. Perbedaan hasil tersebut dapat dilihat dari contoh hasil berikut:
Perbandingan FFMC di Tanjung Redep
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 336357 12 33 54 75 96 117 138 159180 201 222243 264 285306 327 348 4 25 46 67 88 109 130 151172 193 214235 256 Julian FFMC
FFMC_Tanjung Redep_Mod FFMC_Tanjung Redep_Ori
Perbandingan Nilai DMC di Tanjung Redep
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 336357 12 33 54 75 96 117 138 159180 201 222243 264 285306 327 348 4 25 46 67 88 109 130 151172 193 214235 256 Julian DMC
DMC_Tanjung Redep_Mod DMC_Tanjung Redep_Ori
Perbandingan Nilai DC Tanjungredep
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 336357 12 33 54 75 96 117 138 159180 201 222243 264 285306 327 348 4 25 46 67 88 109 130 151172 193 214235 256 Julian DC Value DC TanjungredepMod DC tanjungredepOri
Gambar 11. Perbandingan hasil penghitungan dari beberapa komponen Sistem FWI.
Komponen hasil penghitungan formulasi FWI yang tidak dimodifikasi ditandai dengan adanya akhiran _Ori pada nama komponen tersebut, sedangkan komponen – komponen Sistem FWI yang dihasilkan dari penghitungan yang telah mempergunakan konstanta Le, ataupun Lf, ditandai dengan adanya akhiran _Mod pada nama komponennya. Dalam hal ini juga digunakan warna yang berbeda pada tampilan grafik keduanya, biru kehitaman digunakan sebagai warna untuk komponen yang berakhiran _Mod dan merah muda untuk komponen yang
berakhiran _Ori. Pengkelasan dari kode-kode kelembaban Sistem FWI dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 10. Selang kelas pada beberapa ...komponen Sistem FWI
Komponen Sistem FWI Kelas Bahaya Kebakaran Setiap Komponen Sistem FWI FFMC DMC DC Rendah 0-3 6 0-1 9 0-199 Sedang 37-69 20-29 200 -299 Tinggi 70-83 30-39 300 -399 Ekstrim >83 40 400
Sumber: Van Nest 1999
Kelas bahaya yang rendah mengindikasikan kondisi model bahan bakar yang cukup lembab sehingga model bahan bakar pada kelas tersebut akan sulit terbakar. Indikasi kemudahan terbakarnya ketiga model bahan bakar pada sistem FW I yang ditentukan oleh komponen FFMC, DMC, dan DC adalah sebagai berikut:
FFMC
Kedua metode penghitungan yang dilakukan tidak selalu menghasilkan komponen–komponen Sistem FWI dengan perbedaan yang signifikan, terutama pada FFMC. Pada kasus FFMC, koreksi yang dilakukan memang tidak menyebabkan perubahan pada proses penghitungannya, akan tetapi selain FFMC koreksi yang dilakukan telah mengubah proses penghitungan komponen–komponen FWI lainnya. Distribusi bulanan dari indikasi kemudahan tersedianya sumber pe nyalaan api yang didapat dari interpretasi hasil penghitungan FFMC dapat dilihat dari contoh tabel berikut:
Tabel 11 Prosentase kelas FFMC di ... Tanjungredep 1 2 3 4 1 0 15 19 66 100 2 2 14 11 73 100 3 0 29 19 52 100 4 3 30 17 50 100 5 0 29 32 39 100 6 0 20 27 53 100 7 2 5 23 71 100 8 0 2 15 84 100 9 0 20 17 63 100 10 0 19 26 55 100 11 0 27 47 27 100 12 2 31 23 45 100 Total 1 20 22 58 100 FFMC Tanjungredeb Bulan Total
Berdasarkan contoh interpretasi dari pengkelasan FFMC tersebut, terlihat daerah pengamatan tersebut didominasi oleh
kemungkinan terjadinya kebakaran pada bahan bakar bertipe fine fuels yang tergolong tinggi di sepanjang periode pengamatan. Fenomena yang sama juga berlangsung pada keempat daerah lainnya. Hal tersebut dapat dilihat pada lampiran 3 sampai dengan 7. Pengolahan data menunjukkan hasil penghitungan FFMC dengan kelas potensi bahaya yang rendah sangat jarang dijumpai. Setelah merajah nilai unsur-unsur cuaca masukan komponen FFMC dengan nilai keluarannya, diketahui nilai keluaran FFMC yang rendah tadi terjadi pada saat tidak ada hujan. Fenomena tadi dapat dilihat pada gambar berikut:
Hubungan FFMC dan Curah Hujan (Contoh Kasus di Tanjung Redep)
0 1 2 3 4 5 Peringkat FFMC 0 20 40 60 80 100 120 140 Tinggi Hujan FFMC Curah Hujan
Gambar 12. Pengaruh Curah Hujan pada FFMC.
Gambar tadi juga memperlihatkan fluktuasi nilai FFMC yang cukup besar setiap harinya. Fenomena perbedaan nilai FFMC yang cukup besar setiap harinya dimungkinkan karena model bahan bakar pada FFMC merupakan gambaran dari fine fuel, dengan time lag yang hanya 2/3 hari sehingga ia akan sangat peka terhadap perubahan suhu harian, kelembaban relatif, dan curah hujan. Berdasarkan keumuman pola cuaca di Indonesia curah hujan di kawasan Kalimantan Timur seperti halnya di daerah lain di Indonesia, merupakan unsur cuaca yang mengalami fluktuasi harian terbesar, dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa curah hujan hujan di Kalimantan Timur berpengaruh cukup besar pada hasil penghitungan FFMC, maka dapat dikatakan bahwa di Kalimantan Timur fluktuasi harian FFMC didominasi oleh fluktuasi curah hujan. Besarnya indikasi tersulutnya api pada model bahan bakar fine fuel tadi sebenarnya dapat juga dideteksi dengan melihat jumlah titik-titk api di daerah yang bersangkutan, akan tetapi karena
keterbatasan data hal tersebut tidak dapat dilakukan. Prosedur tersebut hanya berlaku bagi FFMC tetapi tidak berlaku bagi kedua model kelembaban lainnya. Hal tersebut dikarenakan dalam Sistem FWI, komponen FFMC merupakan satu-satunya kode kelembaban yang berfungsi sebagai indikator potensi terjadinya kebakaran pada fine fuel yang pada umumnya akan mengawali dan mendominasi terjadinya kebakaran permukaan (surface fire).
Indikasi resiko tersulutnya api yang tinggi di tempat – tempat tersebut sebaiknya ditindak lanjuti dengan ketatnya pengawasan terhadap tindak pembalakan hutan, meskipun kawasan HTI di Kalimantan Timur tidak seluas di provinsi tetangganya. Hal tersebut dikarenakan lapisan pada tanah di Kalimantan Timur, seperti dikawasan Kalimantan pada umumnya, termasuk dalam kategori lahan gambut, sehingga ketika sudah terbakar akan sangat sulit untuk dipadamkan.
DMC
DMC merupakan salah satu komponen FWI yang mengalami perubahan output akibat koreksi yang dilakukan. Hal tersebut terjadi karena dalam proses penghitungannya, DMC mengikutsertakan data panjang hari di daerah pengamatan. Perubahan proses penghitungan pada DMC terjadi pa da formulasi 16 dan 17. Formulasi detail penghitungan perbedaan DMC_Ori dengan DMC_Mod akan sulit ditentukan karena DMCPrev pada kedua metode merupakan fungsi hasil penghitungan DMC hari sebelumnya, dimana penghitungan DMC setiap harinya menggunakan data c uaca harian yang nilainya selalu berubah, akan tetapi kita dapat menentukan selisih ke dua metode dengan mengurangkan hasil dari formulasi 17 pada ke dua metode setiap waktu penghitungannya. Jadi nilai dari besarnya perubahan yang terjadi tetap dapat diket ahui, yaitu dengan mengurangkan hasil akhir penghitungan DMC kedua metode tadi setiap harinya.
Hasil penghitungan menunjukkan DMC dengan label kelas bahaya yang tinggi untuk daerah Tanjungredep dijumpai pada bulan Januari, Februari, Maret, Juli, Agustus dan September. Hal yang sama juga terjadi di Tanjungselor kecuali pada bulan September. Sedangkan pada ketiga daerah kajian lainnya dominasi DMC pada label kelas yang tinggi terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September. Selain itu juga terlihat adanya perbedaan hasil pada kedua proses penghitungan. Gambaran mengenai perubahan
yang terjadi dapat dilihat dari lampiran 18 sampai dengan 22, sedangkan contoh grafik DMC di tanjungredep adalah sebagai berikut :
Perbandingan Nilai DMC di Tanjung Redep
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 336354 6 24 4260 78 96114 132 150 168186 204 222240 258 276 294312 330 348 1 19 37 5573 91 109 127 145 163 181 199 217 235 253 Julian DMC
DMC_Tanjung Redep_Mod DMC_Tanjung Redep_Ori
Gambar 13. Hasil penghitungan DMC dengan menggun akan dua metode berbeda.
Dari gambar tersebut tampak bahwa kadang kala terjadi perbedaan nilai yang cukup besar sehingga dimungkinkan telah terjadi perubahan label kelas bahaya DMC yang salah satunya disebabkan oleh penggunaan Le setempat. Perubahan label kelas bahaya DMC tadi dapat dilihat dari distribusi prosentase kelas bahaya DMC bulanan.
Distribusi prosentase kelas DMC bulanan memperlihatkan penambahan jumlah prosentase DMC pada label kelas bahaya yang lebih tinggi pada setiap bulan pengamatan kecuali pada sekitar bulan April, Mei, Juni sampai dengan Juli (pada kisaran nilai julian 90 sampai dengan 210). Fenomena tersebut akan lebih mudah terlihat pada lampiran 8 sampai dengan 12, adapun contoh tabel perbandingan prosentase kelas bahaya adalah sebagai berikut:
Tabel 1 2. Perbandingan prosentase kelas ...DMC di Tanjungredep Bulan Total 1 2 3 4 1 44 31 11 15 100 2 30 20 0 50 100 3 40 26 0 34 100 4 23 57 12 8 100 5 23 73 5 0 100 6 5 62 13 20 100 7 3 40 21 35 100 8 0 31 31 39 100 9 13 54 17 15 100 10 42 58 0 0 100 11 77 23 0 0 100 12 87 13 0 0 100 Total 27 42 10 21 100 DMC TanjungredepOri Bulan Total 1 2 3 4 1 10 45 5 40 100 2 11 34 5 50 100 3 23 37 6 34 100 4 25 53 17 5 100 5 35 65 0 0 100 6 13 60 18 8 100 7 3 45 19 32 100 8 0 26 24 50 100 9 2 54 17 26 100 10 16 74 6 3 100 11 20 77 0 3 100 12 42 58 0 0 100 Total 16 50 11 24 100 DMC TanjungredepMod
Dari contoh grafik dan tabel tadi tampak bahwa DMC dengan label kelas yang lebih tinggi, terjadi lebih awal ketika menggunakan formulasi penghitungan terkoreksi. Fenomena itu seharusnya mendapatkan tindak lanjut yang tepat mengingat bagian atas dari lapisan duff di Kalimantan Timur tidak jarang sudah mengandung batubara. Dijumpainya label kelas DMC yang lebih tinggi secara lebih awal diantaranya dimungkinkan karena adanya kombinasi dari kondisi cuaca setempat dengan perbedaan nilai panjang hari pada kedua metode penghitungan. Perubahan panjang hari yang terjadi kurang lebih adalah sebagai berikut:
Tabel 13. Perubahan nilai Le pada DMC
Bulan Nilai Asli Nilai Setempat
Januari 6.5 jam ±12jam
Februari 7.5 jam ±12jam
Maret 9 jam ±12jam
April 12.8 jam ±12jam
Mei 13.9 jam ±12jam
Juni 13.9 jam ±12jam
Juli 12.4 jam ±12jam
Agustus 10.9 jam ±12jam
September 9.4 jam ±12jam
Oktober 8 jam ±12jam
November 7 jam ±12jam
Desember 6 jam ±12jam
Penghitungan dengan kedua metode juga memperlihatkan bahwa perbedaan nilai DMC akan semakin tampak pada bulan dengan perbedaan nilai Le yang cukup besar saat tidak terjadi hujan. Hal tersebut dimungkinkan karena curah hujan merupakan unsur cuaca masukan komponen DMC yang mengalami fluktuasi nilai harian yang paling besar dan dalam proses penghitungannya ia mendapatkan skoring yang cukup besar untuk mengubah nilai DMC. Pada periode pengamatan ditemui adanya kondisi kering yang cukup lama pada daerah Tanjungredep dan Tanjungselor, tepatnya pada bulan Januari hingga awal Maret tahun 2002. Rendahnya curah hujan harian pada bulan Januari dan Februari pada periode pengamatan tadi dapat dilihat pada grafik berikut:
Akumulasi Hujan Harian
0 20 40 60 80 100 120 140 160 12 12 12 12 12 111 122 2233333 10 10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12 12 11112222 333 33 Bulan
RRR_Tanjung RedepRRR_Tanjung Selor
Akumulasi Hujan Harian
0 20 40 60 80 100 120 140 160 12 12 12 12 12 1111222233333 10 10 10 1011 11 1111 12 1212 12 12 11 112 22233333 Bulan RRR_MarangkayuRRR_Loajanan
Akumulasi Hujan Harian
0 20 40 60 80 100 120 140 160 12 12 12 12 12 1111222233333 10 10 1010 11 1111 1112 12 1212 12 111 122 2233333 Bulan RRR_Muarawahau RRR_Samuntai
Gambar 14. Windowing anomali curah huja n tahun 2000 sampai de ngan 2002. Dari studi kasus pada periode kering di daerah Tanjungselor diketahui bahwa selama periode tidak hujan di bulan Januari hingga Maret 2002 dibutuhkan waktu sekitar 6 hari untuk menaikkan label kelas bahaya DMC dari label sedang ke label tinggi. Adapun untuk menaikkan dari label tinggi ke ekstrim hanya dibutuhkan waktu sekitar 3 hari. Fenomena tadi dapat diilustrasikan melalui grafik berikut:
Estimasi DMC pada Periode Kering 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 9 0 1 0 0 1 1 0 1 2 0 1 3 0 1 4 0 1 5 0 1 6 0 1 7 0 1 8 0 1 9 0 2 0 0 2 1 0 2 2 0 2 3 0 2 4 0 2 5 0 1 1 6 3 1 4 6 6 1 7 6 Julian DMC Value 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 Rainfall
Rainfall DMCMod Value
Gambar 15. Windowing DMC dan anomali
curah hujan bulan Januari sampai dengan Maret 2002.
DC
Komponen FWI lainnya yang mengalami perubahan pada proses penghitungan nya adalah DC. Sebagai indikator dampak kemarau musiman dari kebakaran hutan pada lapisan organik padat, DC menginformasikan peluang terjadinya kebakaran bawah (ground fire) yang dalam hal ini identik dengan kebakaran yang tidak disertai dengan nyala api (glowing combustion), dan bahaya asap yang mungkin timbul. Pada penelitian ini komponen DC yang berubah pada proses penghitungannya adalah adjusted day length, Lf. Hasil penghitungan DC dengan menggunakan kedua metode tersebut memperlihatkan adanya periode dengan kelas bahaya DC yang tinggi terjadi hanya pada bulan September untuk daerah Loajanan, Marangkayu dan Samuntai, adapun untuk daerah Tanjungselor dan Tanjungredep dapat dijumpai pada bulan Maret hingga Mei. Adapun hasil penghitungan DC dapat dengan kedua metode dapat dilihat pada lampiran 28 sampai dengan 32. Contoh grafik hasil penghitungan DC adalah sebagai berikut:
Perbandingan Nilai DC Tanjungredep
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 336357 12 33 54 75 96 117 138 159180 201 222243 264 285306 327 348 4 25 46 67 88 109 130 151172 193 214235 256 Julian DC Value DC TanjungredepMod DC tanjungredepOri
Gambar 16. Hasil penghitungan DC berdasarkan penggunaan dua metode berb eda .
Hasil perhitungan tadi memperlihatkan koreksi yang dilakukan hampir tidak pernah merubah label kelas dari DC kecuali pada bulan dengan kondisi suhu yang tinggi dan curah hujan yang rendah seperti halnya terjadi pada periode ditemukannya DC dengan lab el kelas yang yang tinggi di kelima daerah tersebut. Perubahan distribusi prosentase bulanan dari DC dapat dilihat pada lampiran 13 hingga 17. Contoh dari kumpulan tabel tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 14. Perbandingan prosentase kelas DC ...di Tanjungselor Bulan Total 1 2 3 4 1 97 3 0 0 100 2 50 32 18 0 100 3 50 0 13 37 100 4 50 0 28 22 100 5 50 0 0 50 100 6 50 0 18 32 100 7 50 0 32 18 100 8 56 29 15 0 100 9 83 17 0 0 100 10 100 0 0 0 100 11 100 0 0 0 100 12 100 0 0 0 100 Total 63 8 13 16 100 DC TanjungselorOri Bulan Total 1 2 3 4 1 68 32 0 0 100 2 50 7 23 20 100 3 50 0 0 50 100 4 50 0 0 50 100 5 50 0 0 50 100 6 50 0 18 32 100 7 50 23 15 13 100 8 68 32 0 0 100 9 91 9 0 0 100 10 100 0 0 0 100 11 100 0 0 0 100 12 100 0 0 0 100 Total 64 9 6 22 100 DC TanjungselorMod
Hasil penghitungan tadi juga mengindikasikan keadaan yang tidak memungkinkan ground fire, dan bahaya asap untuk terjadi, kecuali pada beberapa hari di bulan Agustus sampai dengan awal September untuk daerah Loajanan, Marangkayu, dan Samuntai, ataupun bulan Maret hingga Mei untuk Tanjungredep dan Tanjungselor. Senada dengan DMC, perbedaan nilai pada DC juga dimungkinkan terjadi karena adanya kombinasi dari selisih faktor yang mengalami penyesuaian, dengan kondisi cuaca hariannya. Perbedaan nilai Lf asli dengan Lf insitu adalah sebagai berikut:
Tabel 15. Perubahan nilai Lf pada DC Bulan Nilai LfS Asli Nilai LfU Asli Nilai Lf Lokal Januari 6.40 -1.60 2.05 Februari 5.00 -1.60 2.45 Maret 2.40 -1.60 3.25 April 0.40 0.90 3.41 Mei -1.60 3.80 2.56 Juni -1.60 5.80 1.49 Juli -1.60 6.40 2.63 Agustus -1.60 5.00 2.64 September -1.60 2.40 1.63 Oktober 0.90 0.40 1.09 November 3.80 -1.60 1.70 Desember 5.80 -1.60 4.02
Studi kasus pada periode kering di daerah Tanjungselor diketahui bahwa selama periode tidak hujan di bulan Januari hingga Maret 2002 dibutuhkan waktu sekitar 14 hari untuk menaikkan label kelas bahaya DMC dari label sedang ke label tinggi. Adapun untuk menaikkan dari label tinggi ke ekstrim hanya dibutuhkan waktu sekitar 11 hari. Fenomena tadi dapat diilustrasikan melalui grafik berikut:
Estimasi DC pada Periode Kering
0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 8 0 0 9 0 0 1 0 0 0 1 1 6 3 1 4 6 6 1 7 6 Julian DMC Value 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 Rainfall
Rainfall DMCMod Value
Gambar 17. Windowing anomali DC dan curah hujan bulan Januari sampai dengan Maret 2002.
SIMPULAN
Secara keseluruhan terlihat bahwa koreksi yang dilakukan menghasilkan komponen kode kelembaban Sistem FWI yang nilainya berbeda kecuali pada komponen FFMC. Dalam penelitian ini di seluruh daerah kajian, dijumpai nilai FFMC yang tinggi di sepanjang tahun. DMC dengan label kelas bahaya yang tinggi untuk daerah Tanjungredep dijumpai pada bulan Januari, Februari, Maret, Juli, Agustus dan September. Hal yang sama juga terjadi di Tanjungselor kecuali pada bulan September. Sedangkan pada daerah Loajanan, Marangkayu dan Samuntai dominasi DMC pada label kelas yang tinggi terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September. DC dengan kelas bahaya DC yang tinggi terjadi hanya
pada bulan September untuk daerah Loajanan, Marangkayu dan Samuntai, sedangkan pada daerah Tanjungselor dan Tanjungredep hal tersebut juga dapat dijumpai pada bulan Maret hingga Mei.
Pada umumnya koreksi yang dilakukan menghasilkan nilai komponen yang lebih tinggi di sepanjang tahun kecuali pada bulan April, Mei, Juni, dan Juli, untuk komponen DMC, adapun untuk komponen DC koreksi akan menghasilkan nilai yang lebih tinggi hanya pada bulan Maret dan April untuk daerah di Tanjungredep dan Tanjungselor. Pada ketiga daerah lainnya nilai DC yang lebih tinggi hanya dijumpai pada bulan September. Peningkatan nilai pada ketiga kode kelembaban Sistem FWI akan semakin terlihat pada periode kering ataupun hujan dengan intensitas yang lebih kecil dari ambang batas pembasahan setiap model bahan bakar.
Peningkatan nilai tadi tidak selalu berhasil meningkatkan label kelas bahaya dari ketiga kode kelembaban tadi. Peningkatan label kelas bahaya dari komponen Sistem FWI pada umumnya hanya tejadi pada periode kering di bulan yang memiliki nilai Le, ataupun Lf terkoreksi yang lebih besar dari nilai asalnya. Fenomena tersebut dapat dilihat pada kasus di Tanjungredep, dan Tanjungselor. Koreksi yang dilakukan juga menginformsikan resiko kebakaran pada kelas yang lebih tinggi akan terjadi lebih awal. Diharapkan hal tersebut dapat meningkatkan tingkat kesiap-siagaan dalam tindak manajemen bahaya asap dan kebakaran.