• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kualitas Minyak Goreng yang Digunakan secara Berulang terhadap Umur Simpan Keripik Sosis Ayam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kualitas Minyak Goreng yang Digunakan secara Berulang terhadap Umur Simpan Keripik Sosis Ayam"

Copied!
248
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KUALITAS MINYAK GORENG

YANG DIGUNAKAN SECARA BERULANG TERHADAP

UMUR SIMPAN KERIPIK SOSIS AYAM

OLEH

UMMI SALAMAH

F 351040121

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Hubungan Kualitas Minyak Goreng

yang Digunakan secara Berulang terhadap Umur Simpan Keripik Sosis Ayam adalah

karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam pustaka di bagian akhir tesis.

Bogor, Februari 2007

Ummi Salamah

(3)

UMMI SALAMAH. Hubungan Kualitas Minyak Goreng yang Digunakan secara

Berulang terhadap Umur Simpan Keripik Sosis Ayam. Dibawah bimbingan Illah

Sailah dan M. Zein Nasution.

ABSTRAK

Minyak atau lemak pada industri makanan ringan (snack food) mempunyai

fungsi utama sebagai media transfer panas. Selama proses penggorengan, minyak

mengalami degradasi karena pengaruh panas, udara dan kadar air yang

menyebabkan penurunan kualitas minyak goreng. Penurunan kualitas minyak akan

mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, karena minyak yang terserap dapat

melebihi 45% bobot produk (Saguy dan Pinthus, 1995).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang hubungan antara

kualitas minyak yang dipakai secara berulang terhadap umur simpan keripik sosis

dan kelayakan industri keripik sosis.

Penelitian dibagi menjadi empat tahap. Tahap pertama adalah penentuan

waktu penggorengan vakum untuk menghasilkan keripik sosis dengan kadar air

yang minimal. Tahap kedua adalah proses penggorengan keripik sosis sampai 30

kali penggorengan dengan menggunakan minyak goreng yang sama (tidak diganti).

Tahap ketiga adalah penentuan umur simpan keripik sosis yang dihasilkan pada

masing-masing frekuensi penggorengan (ke-1, ke-15 dan ke-30), sedangkan tahap

keempat adalah perhitungan analisa kelayakan pendirian industri keripik sosis ayam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penggorengan vakum pada suhu

85oC, menyebabkan terjadinya penurunan kadar air dan perubahan warna sosis.

Penurunan kadar air sosis (%bk) mengikuti persamaan Y =

76,534e (-0,223t) untuk 0<t<18. Selama proses penggorengan, warna keripik sosis

ayam berada pada kisaran ohue sebesar 73,80o - 81,44o. Berdasarkan kurva laju

penurunan kadar air dan perubahan warna, maka ditetapkan waktu penggorengan

yaitu 15 menit.

Proses penggorengan secara berulang selama 30 kali akan menyebabkan nilai

kejernihan (%T) minyak turun dari 37,8 menjadi 18,4. Kadar air minyak mengalami

peningkatan dari 0,02% (%bb) menjadi 0,25% (%bb), kadar asam lemak bebas

(%FFA) meningkat dari 0,06 menjadi 0,28 dan bilangan peroksida minyak meningkat

(4)

Perbedaan frekuensi penggorengan mempengaruhi kualitas keripik sosis yang

dihasilkan. Nilai rata-rata kekerasan keripik sosis, baik pada penggorengan minyak

ke-1, ke-15 dan ke-30 adalah 21 /100g/detik. Keripik sosis yang digoreng pada

penggorengan minyak ke-1, ke-15 dan ke-30 masing-masing mempunyai kadar air

sebesar 1,92%; 2,01% dan 2,00% (%bb). Nilai %FFA untuk keripik sosis yang

digoreng pada penggorengan minyak ke-1, ke-15 dan ke-30 masing-masing adalah

0,14; 0,27 dan 0,42. Analisis keragaman menunjukkan bahwa perbedaan frekuensi

penggorengan dengan menggunakan minyak yang sama tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap parameter kekerasan, kadar air dan kadar asam

lemak bebas keripik sosis yang dihasilkan.

Selama proses penyimpanan terjadi penurunan mutu keripik sosis pada

kekerasan, kadar air dan kadar asam lemak bebas. Persamaan laju peningkatan

kadar air selama penyimpanan keripik sosis hasil penggorengan minyak ke-1 adalah

: k = 1,2034 x 10-14 e9362,9 (1/T). Persamaan laju peningkatan kadar air selama

penyimpanan keripik sosis hasil penggorengan minyak ke-15 adalah : k = 8,4692

x 10-11 e6606,9 (1/T). Sedangkan persamaan laju peningkatan kadar air selama

penyimpanan keripik sosis hasil penggorengan minyak ke-30 adalah : k= 1,4714 x

10-14 e9321,6 (1/T).

Penghitungan analisa finansial industri keripik sosis membuktikan bahwa

industri ini layak didirikan. Nilai NPV adalah Rp. 286.503.822,- dengan IRR 27%,

B/C rasio 2,79 dan Pay Back Period sebesar 4,464 tahun. Analisis sensitivitas

karena kenaikan dan penurunan harga bahan baku serta harga jual sebesar 10%

menunjukkan bahwa industri ini masih layak untuk berproduksi.

(5)

UMMI SALAMAH. The Relationship of Oils Quality Frequently Used to The Shelf life

of Chiken Sausage Chips. Under direction of Illah Sailah and M. Zein Nasution.

ABSTRACT

The functions of oils in fried snack food is to serve as a heat transfer

mechanism while adding flavor and desirable eating qualities to the finished

products. Heat, air and moisture leads to polymerization, oxidation and hydrolysis of

the oil during the frying process. These reaction leads to decrease of oil quality and

affect to the quality of the final fried product. The study is aimed to obtain the oil

quality frequently used to the shelf life of the chiken sausage chips .

During the storage, the moisture contenc increasing rate of sausage chips

from 1st frying increase as follows : k = 1,2034 x 10-14 e9362,9 (1/T). The 15th frying as

follows : k = 8,4692 x 10-11 e6606,9 (1/T) and sausage chips from the 30th frying as

follows : k= 1,4714 x 10-14 e9321,6 (1/T). Financial analysis shows that the chiken

sausage chips industry is feasible to develop.

(6)

Judul Tesis : Hubungan Kualitas Minyak Goreng yang Digunakan secara

Berulang terhadap Umur Simpan Keripik Sosis Ayam

Nama : Ummi Salamah

NIM : F 351040121

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Illah Sailah, MS Ir. M, Zein Nasution, M.AppSC

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Teknologi Direktur Sekolah Pascasarjana

Industri Pertanian

Dr.Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal ujian : 2 Januari 2007

(7)

HUBUNGAN KUALITAS MINYAK GORENG

YANG DIGUNAKAN SECARA BERULANG TERHADAP

UMUR SIMPAN KERIPIK SOSIS AYAM

OLEH

UMMI SALAMAH

F 351040121

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis

dengan judul, “Hubungan Kualitas Minyak Goreng yang Digunakan secara Berulang

terhadap Umur Simpan Keripik Sosis Ayam.” Tesis ini disusun sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi

Industri Pertanian, IPB.

Terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang dalam penulis

sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian tesis

ini, yaitu :

1. Ibu Dr. Illah Sailah, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing atas bimbingan dan

arahannya selama ini.

2. Bapak Ir. M. Zein Nasution, M.App.Sc selaku anggota Komisi Pembimbing atas

bimbingan dan sarannya.

3. Ibu Dr. Ani Suryani, DEA selaku dosen penguji atas masukan dan koreksinya.

4. Bapak Helmi, Y.Z, MSi dan Ibu Indah Yuliasih, MSi selaku pemilik CV Ad-din

Abadi, terima kasih untuk kesempatan studi S2-nya.

5. Ibu Ir. Trisilowati, terima kasih untuk bantuan bahan baku sosisnya.

6. Keluarga besar Bapak Ahmad Rifai dan Bapak Sumadi atas dukungan dan doa

restunya.

7. Dian Ardianto, untuk cinta dan semangatnya.

8. Teman-teman TIP angkatan 2004

9. Teman-teman di laboratorium Teknologi Kimia TIN

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Ibarat pepatah “tak ada gading yang retak”, maka penulis menyadari ada

banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Kritik dan saran yang membangun

sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga tesis ini

bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Februari 2007

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 20 Desember 1979 dari pasangan

Bapak Ahmad Rifai dan Ibu Saminah. Penulis adalah anak pertama dari 4

bersaudara.

Pendidikan dasar penulis selesaikan di SD Sumbergirang 02 dan SMP N 1

Lasem. Pada tahun 1994, penulis melanjutkan ke SMU N 1 Rembang dan lulus

pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi

Teknologi Industri Pertanian IPB melalui jalur USMI. Pendidikan sarjana dapat

penulis selesaikan pada tahun 2002. Pada tahun 2004 penulis mendapatkan

kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Teknologi Industri

Pertanian pada Program Pascasarjana.

Sejak tahun 2002, penulis bekerja di CV Ad-din Abadi Bogor. Penulis menikah

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 2

C. Tujuan ... 3

D. Ruang Lingkup ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penggorengan Hampa (Vacuum Frying) ... 4

B. Perubahan Minyak Selama Selama Proses Penggorengan ... 8

C. Perubahan Bahan Pangan Selama Proses Penggorengan ... 12

D. Pendugaan Umur Simpan ... 16

E. Sosis... 20

III. METODOLOGI A. Metode Penelitian... 24

B. Bahan dan Alat ... 27

C. Tempat dan Waktu ... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Waktu Penggorengan Keripik Sosis Ayam ... 28

B. Penggorengan Keripik Sosis secara Berulang ... 34

C. Penurunan Mutu Keripik Sosis Selama Penyimpanan ... 41

D. Penentuan Umur Simpan Keripik Sosis ... 47

E. Analisis Teknoekonomi Industri Keripik Sosis ... 55

V. KESIMPULAN A. Kesimpulan... 66

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA

(11)

HUBUNGAN KUALITAS MINYAK GORENG

YANG DIGUNAKAN SECARA BERULANG TERHADAP

UMUR SIMPAN KERIPIK SOSIS AYAM

OLEH

UMMI SALAMAH

F 351040121

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Hubungan Kualitas Minyak Goreng

yang Digunakan secara Berulang terhadap Umur Simpan Keripik Sosis Ayam adalah

karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam pustaka di bagian akhir tesis.

Bogor, Februari 2007

Ummi Salamah

(13)

UMMI SALAMAH. Hubungan Kualitas Minyak Goreng yang Digunakan secara

Berulang terhadap Umur Simpan Keripik Sosis Ayam. Dibawah bimbingan Illah

Sailah dan M. Zein Nasution.

ABSTRAK

Minyak atau lemak pada industri makanan ringan (snack food) mempunyai

fungsi utama sebagai media transfer panas. Selama proses penggorengan, minyak

mengalami degradasi karena pengaruh panas, udara dan kadar air yang

menyebabkan penurunan kualitas minyak goreng. Penurunan kualitas minyak akan

mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, karena minyak yang terserap dapat

melebihi 45% bobot produk (Saguy dan Pinthus, 1995).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang hubungan antara

kualitas minyak yang dipakai secara berulang terhadap umur simpan keripik sosis

dan kelayakan industri keripik sosis.

Penelitian dibagi menjadi empat tahap. Tahap pertama adalah penentuan

waktu penggorengan vakum untuk menghasilkan keripik sosis dengan kadar air

yang minimal. Tahap kedua adalah proses penggorengan keripik sosis sampai 30

kali penggorengan dengan menggunakan minyak goreng yang sama (tidak diganti).

Tahap ketiga adalah penentuan umur simpan keripik sosis yang dihasilkan pada

masing-masing frekuensi penggorengan (ke-1, ke-15 dan ke-30), sedangkan tahap

keempat adalah perhitungan analisa kelayakan pendirian industri keripik sosis ayam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penggorengan vakum pada suhu

85oC, menyebabkan terjadinya penurunan kadar air dan perubahan warna sosis.

Penurunan kadar air sosis (%bk) mengikuti persamaan Y =

76,534e (-0,223t) untuk 0<t<18. Selama proses penggorengan, warna keripik sosis

ayam berada pada kisaran ohue sebesar 73,80o - 81,44o. Berdasarkan kurva laju

penurunan kadar air dan perubahan warna, maka ditetapkan waktu penggorengan

yaitu 15 menit.

Proses penggorengan secara berulang selama 30 kali akan menyebabkan nilai

kejernihan (%T) minyak turun dari 37,8 menjadi 18,4. Kadar air minyak mengalami

peningkatan dari 0,02% (%bb) menjadi 0,25% (%bb), kadar asam lemak bebas

(%FFA) meningkat dari 0,06 menjadi 0,28 dan bilangan peroksida minyak meningkat

(14)

Perbedaan frekuensi penggorengan mempengaruhi kualitas keripik sosis yang

dihasilkan. Nilai rata-rata kekerasan keripik sosis, baik pada penggorengan minyak

ke-1, ke-15 dan ke-30 adalah 21 /100g/detik. Keripik sosis yang digoreng pada

penggorengan minyak ke-1, ke-15 dan ke-30 masing-masing mempunyai kadar air

sebesar 1,92%; 2,01% dan 2,00% (%bb). Nilai %FFA untuk keripik sosis yang

digoreng pada penggorengan minyak ke-1, ke-15 dan ke-30 masing-masing adalah

0,14; 0,27 dan 0,42. Analisis keragaman menunjukkan bahwa perbedaan frekuensi

penggorengan dengan menggunakan minyak yang sama tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap parameter kekerasan, kadar air dan kadar asam

lemak bebas keripik sosis yang dihasilkan.

Selama proses penyimpanan terjadi penurunan mutu keripik sosis pada

kekerasan, kadar air dan kadar asam lemak bebas. Persamaan laju peningkatan

kadar air selama penyimpanan keripik sosis hasil penggorengan minyak ke-1 adalah

: k = 1,2034 x 10-14 e9362,9 (1/T). Persamaan laju peningkatan kadar air selama

penyimpanan keripik sosis hasil penggorengan minyak ke-15 adalah : k = 8,4692

x 10-11 e6606,9 (1/T). Sedangkan persamaan laju peningkatan kadar air selama

penyimpanan keripik sosis hasil penggorengan minyak ke-30 adalah : k= 1,4714 x

10-14 e9321,6 (1/T).

Penghitungan analisa finansial industri keripik sosis membuktikan bahwa

industri ini layak didirikan. Nilai NPV adalah Rp. 286.503.822,- dengan IRR 27%,

B/C rasio 2,79 dan Pay Back Period sebesar 4,464 tahun. Analisis sensitivitas

karena kenaikan dan penurunan harga bahan baku serta harga jual sebesar 10%

menunjukkan bahwa industri ini masih layak untuk berproduksi.

(15)

UMMI SALAMAH. The Relationship of Oils Quality Frequently Used to The Shelf life

of Chiken Sausage Chips. Under direction of Illah Sailah and M. Zein Nasution.

ABSTRACT

The functions of oils in fried snack food is to serve as a heat transfer

mechanism while adding flavor and desirable eating qualities to the finished

products. Heat, air and moisture leads to polymerization, oxidation and hydrolysis of

the oil during the frying process. These reaction leads to decrease of oil quality and

affect to the quality of the final fried product. The study is aimed to obtain the oil

quality frequently used to the shelf life of the chiken sausage chips .

During the storage, the moisture contenc increasing rate of sausage chips

from 1st frying increase as follows : k = 1,2034 x 10-14 e9362,9 (1/T). The 15th frying as

follows : k = 8,4692 x 10-11 e6606,9 (1/T) and sausage chips from the 30th frying as

follows : k= 1,4714 x 10-14 e9321,6 (1/T). Financial analysis shows that the chiken

sausage chips industry is feasible to develop.

(16)

Judul Tesis : Hubungan Kualitas Minyak Goreng yang Digunakan secara

Berulang terhadap Umur Simpan Keripik Sosis Ayam

Nama : Ummi Salamah

NIM : F 351040121

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Illah Sailah, MS Ir. M, Zein Nasution, M.AppSC

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Teknologi Direktur Sekolah Pascasarjana

Industri Pertanian

Dr.Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal ujian : 2 Januari 2007

(17)

HUBUNGAN KUALITAS MINYAK GORENG

YANG DIGUNAKAN SECARA BERULANG TERHADAP

UMUR SIMPAN KERIPIK SOSIS AYAM

OLEH

UMMI SALAMAH

F 351040121

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis

dengan judul, “Hubungan Kualitas Minyak Goreng yang Digunakan secara Berulang

terhadap Umur Simpan Keripik Sosis Ayam.” Tesis ini disusun sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi

Industri Pertanian, IPB.

Terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang dalam penulis

sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian tesis

ini, yaitu :

1. Ibu Dr. Illah Sailah, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing atas bimbingan dan

arahannya selama ini.

2. Bapak Ir. M. Zein Nasution, M.App.Sc selaku anggota Komisi Pembimbing atas

bimbingan dan sarannya.

3. Ibu Dr. Ani Suryani, DEA selaku dosen penguji atas masukan dan koreksinya.

4. Bapak Helmi, Y.Z, MSi dan Ibu Indah Yuliasih, MSi selaku pemilik CV Ad-din

Abadi, terima kasih untuk kesempatan studi S2-nya.

5. Ibu Ir. Trisilowati, terima kasih untuk bantuan bahan baku sosisnya.

6. Keluarga besar Bapak Ahmad Rifai dan Bapak Sumadi atas dukungan dan doa

restunya.

7. Dian Ardianto, untuk cinta dan semangatnya.

8. Teman-teman TIP angkatan 2004

9. Teman-teman di laboratorium Teknologi Kimia TIN

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Ibarat pepatah “tak ada gading yang retak”, maka penulis menyadari ada

banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Kritik dan saran yang membangun

sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga tesis ini

bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Februari 2007

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 20 Desember 1979 dari pasangan

Bapak Ahmad Rifai dan Ibu Saminah. Penulis adalah anak pertama dari 4

bersaudara.

Pendidikan dasar penulis selesaikan di SD Sumbergirang 02 dan SMP N 1

Lasem. Pada tahun 1994, penulis melanjutkan ke SMU N 1 Rembang dan lulus

pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi

Teknologi Industri Pertanian IPB melalui jalur USMI. Pendidikan sarjana dapat

penulis selesaikan pada tahun 2002. Pada tahun 2004 penulis mendapatkan

kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Teknologi Industri

Pertanian pada Program Pascasarjana.

Sejak tahun 2002, penulis bekerja di CV Ad-din Abadi Bogor. Penulis menikah

(20)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 2

C. Tujuan ... 3

D. Ruang Lingkup ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penggorengan Hampa (Vacuum Frying) ... 4

B. Perubahan Minyak Selama Selama Proses Penggorengan ... 8

C. Perubahan Bahan Pangan Selama Proses Penggorengan ... 12

D. Pendugaan Umur Simpan ... 16

E. Sosis... 20

III. METODOLOGI A. Metode Penelitian... 24

B. Bahan dan Alat ... 27

C. Tempat dan Waktu ... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Waktu Penggorengan Keripik Sosis Ayam ... 28

B. Penggorengan Keripik Sosis secara Berulang ... 34

C. Penurunan Mutu Keripik Sosis Selama Penyimpanan ... 41

D. Penentuan Umur Simpan Keripik Sosis ... 47

E. Analisis Teknoekonomi Industri Keripik Sosis ... 55

V. KESIMPULAN A. Kesimpulan... 66

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA

(21)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi kimia sosis ayam segar ... 28

Tabel 2. Perubahan Nilai Chroma dan ohue Sosis Selama Penggorengan 32 Tabel 3. Daftar kisaran nilai ohue ... 32

Tabel 4. Syarat mutu beberapa produk keripik berdasarkan SNI ... 47

Tabel 5. Peningkatan kadar air keripik sosis hasil penggorengan ke-1 pada tiga suhu penyimpanan ... 47

Tabel 6. Parameter Arrhenius kenaikan kadar air keripik sosis selama penyimpanan ... 48

Tabel 7. Peningkatan kadar air keripik sosis hasil penggorengan ke-15 pada tiga suhu penyimpanan ... 50

Tabel 8. Peningkatan kadar air keripik sosis hasil penggorengan ke-30 pada tiga suhu penyimpanan ... 53

Tabel 9. Beberapa pertimbangan untuk menentukan lokasi industri ... 58

Table 10. Nilai kriteria investasi sebelum dilakukan analisis sensitivitas ... 64

(22)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gelembung air yang keluar dari bahan selama proses

penggorengan ... 5

Gambar 2. Perubahan suhu minyak pada proses penggorengan secara batch

... 8

Gambar 3. Perubahan pada minyak selama proses penggorengan ... 9

Gambar 4. Grafik peningkatan suhu di dalam produk, perubahan suhu minyak,

penurunan kadar air dan absorpsi minyak pada penggorengan tortilla

(150oC dan 190oC) ... 13

Gambar 5. Penampang melintang produk hasil penggorengan ... 14

Gambar 6. Grafik antara nilai ln k dan 1/T dalam persamaan Arrhenius .... 18

Gambar 7. Sosis ayam segar yang sudah diiris ... 28

Gambar 8. Grafik laju penurunan kadar air bahan selama proses penggorengan

... 29

Gambar 9. Kurva laju penurunan kadar air selama penggorengan ... 31

Gambar 10. Penampakan visual bahan pada menit ke-0, 2, 3, 5, 7, 9, 10, 12, 13,

15, 16, dan 18 waktu penggorengan ... 33

Gambar 11. Grafik perubahan suhu minyak selama proses penggorengan . 34

Gambar 12. Penurunan nilai %T pada minyak selama proses penggorengan 35

Gambar 13. Grafik peningkatan kadar air pada minyak selama proses

penggorengan ... 36

Gambar 14. Reaksi hidrolisis pada minyak atau lemak ... 37

Gambar 15. Grafik kenaikan bilangan asam pada minyak selama

proses penggorengan ... 38

Gambar 16. Reaksi pembentukan senyawa peroksida ... 38

Gambar 17. Grafik peningkatan bilangan peroksida pada minyak selama

proses penggorengan ... 39

Gambar 18a. Perubahan kekerasan keripik sosis yang disimpan pada suhu

30oC ... 41

Gambar 18b. Perubahan kekerasan keripik sosis yang disimpan pada suhu

(23)

Gambar 18c. Perubahan kekerasan keripik sosis yang disimpan pada suhu

50oC ... 42

Gambar 19a. Kenaikan kadar air keripik sosis yang disimpan pada suhu 30oC 43

Gambar 19b. Kenaikan kadar air keripik sosis yang disimpan pada suhu 40oC 44

Gambar 19c. Kenaikan kadar air keripik sosis yang disimpan pada suhu 50oC 44

Gambar 20a. Peningkatan bilangan asam keripik sosis yang disimpan

pada suhu 30oC. ... 45

Gambar 20b. Peningkatan bilangan asam keripik sosis yang disimpan

pada suhu 40oC. ... 46

Gambar 20c. Peningkatan bilangan asam keripik sosis yang disimpan

pada suhu 50oC. ... 46

Gambar 21. Grafik peningkatan kadar air untuk keripik sosis hasil

penggorengan minyak ke-1. ... 48

Gambar 22. Grafik hubungan 1/T dan ln k untuk kadar air keripik sosis

hasil penggorengan minyak ke-1. ... 49

Gambar 23. Grafik peningkatan kadar air untuk keripik sosis hasil

penggorengan minyak ke-15. ... 51

Gambar 24. Grafik hubungan 1/T dan ln k untuk kadar air keripik

sosis hasil penggorengan minyak ke-15. ... 51

Gambar 25. Grafik hubungan 1/T dan ln k untuk kadar air keripik sosis

hasil penggorengan minyak ke-30. ... 53

Gambar 26. Grafik hubungan 1/T dan ln k untuk kadar air keripik sosis

hasil penggorengan minyak ke-30. ... 54

Gambar 27. Perbedaan warna produk hasil penggorengan

a) sistem vakum b) sistem terbuka. ... 56

Gambar 28. Diagram alir dan neraca massa pembuatan keripik sosis ... 56

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur analisa proksimat bahan sosis ayam ... 71

Lampiran 2. Prosedur pengujian mutu minyak goreng ... 73

Lampiran 3a. Data penurunan kadar air (%bb) selama penggorengan sosis pada

suhu 85oC ... 74

Lampiran 3b. Data laju penurunan kadar air terhadap waktu pada penggorengan

sosis ... 74

Lampiran 3c. Perubahan nilai chroma pada sosis selama penggorengan ... 75

Lampiran 3d. Perubahan nilai oHue pada sosis selama penggorengan ... 75

Lampiran 4a. Data perubahan suhu minyak selama proses penggorengan 76

Lampiran 4b. Data perubahan %T minyak selama proses penggorengan .. 76

Lampiran 4c. Data peningkatan kadar air (%) pada minyak selama proses

penggorengan berulang ... 76

Lampiran 4d. Peningkatan nilai %FFA minyak selama proses

penggorengan berulang ... 77

Lampiran 4e. Peningkatan bilangan peroksida minyak selama

proses penggorengan berulang ... 77

Lampiran 5. Analisis keragaman untuk parameter kekerasan awal untuk

keripik sosis yang dihasilkan pada penggorengan ke-1, ke-15

dan ke-30 ... 78

Lampiran 6. Analisis keragaman untuk parameter kadar air awal untuk

keripik sosis yang dihasilkan pada penggorengan ke-1, ke-15

dan ke-30 ... 79

Lampiran 7. Analisis keragaman untuk parameter nilai %FFA awal untuk

keripik sosis yang dihasilkan pada penggorengan ke-1, ke-15

dan ke-30 ... 80

Lampiran 8a. Perubahan kekerasan keripik sosis yang disimpan pada suhu

30oC ... 81

Lampiran 8b. Perubahan kekerasan keripik sosis yang disimpan pada

(25)

Lampiran 8c. Perubahan kekerasan keripik sosis yang disimpan pada

suhu 50oC ... 83

Lampiran 9a. Perubahan kadar air keripik sosis yang disimpan pada suhu

30oC. ... 84

Lampiran 9b. Perubahan kadar air keripik sosis yang disimpan pada suhu

40oC. ... 85

Lampiran 9c. Perubahan kadar air keripik sosis yang disimpan pada suhu

50oC. ... 86

Lampiran 10a. Perubahan nilai bilangan asam keripik yang disimpan pada

suhu 30oC. ... 87

Lampiran 10b. Perubahan nilai bilangan asam keripik yang disimpan pada

suhu 40oC. ... 88

Lampiran 10c. Perubahan nilai bilangan asam keripik yang disimpan pada

suhu 50oC. ... 89

Lampiran 11a. Kebutuhan investasi industri keripik sosis ... 90

Lampiran 11b. Biaya investasi mesin dan peralatan ... 90

Lampiran 12a. Biaya bahan baku ... 91

Lampiran 12b. Biaya pemeliharaan ... 91

Lampiran 12c. Biaya untuk gaji pegawai ... 91

Lampiran 12d. Biaya operasional industri selama 2 bulan ... 92

Lampiran 12e. Kebutuhan modal ... 93

Lampiran 12f. Pengembalian utang ... 93

Lampiran 12g. Penjualan ... 94

Lampiran 12h. Pajak keuntungan ... 94

Lampiran 13. Aliran arus kas industri keripik sosis ... 95

Lampiran 14a. Aliran arus kas jika harga bahan baku turun sebesar 10% .. 96

Lampiran 14b. Aliran arus kas jika harga bahan baku naik sebesar 10% .... 97

Lampiran14c. Sensitifitas pajak keuntungan karena kenaikan dan penurunan

harga bahan baku sebesar 10% ... 98

Lampiran 15a. Aliran arus kas jika harga jual naik 10% ... 99

Lampiran 15b. Aliran arus kas jika harga jual turun 10% ... 100

Lampiran 15c. Sensitifitas pajak keuntungan karena kenaikan harga jual

sebesar 10% ... 101

Lampiran 15d. Sensitifitas pajak keuntungan karena penurunan harga jual sebesar

(26)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Minyak atau lemak pada industri makanan ringan (snack food) mempunyai

fungsi utama sebagai media transfer panas. Selain itu, adanya minyak dapat

menambah flavor sehingga meningkatkan kualitas produk akhir. Pemilihan jenis

minyak digunakan tergantung pada jenis makanan yang diproduksi, yaitu pada

karakteristik makan yang spesifik (spesific eating characteristics) (Gebhardt dalam

Hui, 1996). Sebagai contoh, minyak cair akan menghasilkan keripik kentang dengan

permukaan yang berminyak (oilier). Sedangkan minyak padat (shortening)

menghasilkan penampakan dan tekstur yang lebih kering.

Selama proses penggorengan, minyak mengalami degradasi karena pengaruh

panas, udara dan kadar air. Reaksi utama yang menyebabkan kerusakan minyak

adalah oksidasi, hidrolisis dan polimerisasi. Panas dapat menjadi katalis yang

mempercepat pembentukan asam lemak bebas (free fatty acid). Pada sistem

penggorengan berulang, semakin lama minyak digunakan, maka kadar asam lemak

bebas dalam minyak semakin meningkat. Peningkatan asam lemak bebas dalam

minyak akan mengurangi kualitas minyak, padahal pada beberapa produk yang

digoreng, minyak yang terserap dapat melebihi 45% bobot produk (Saguy dan

Pinthus, 1995). Persen FFA yang ada pada permukaan produk digunakan untuk

memprediksi umur simpan produk, yaitu dengan mengamati peningkatan

ketengikan. Semakin tinggi nilai %FFA, semakin berkurang umur simpan produk

meningkatnya ketengikan pada produk.

Suhu yang terlalu tinggi dan pemanasan yang lama akan menyebabkan

terjadinya reaksi polimerisasi. Peningkatan reaksi polimerisasi ditandai dengan

kekentalan minyak yang meningkat. Reaksi polimerisasi, baik polimerisasi oksidasi

maupun polimerisasi termal membentuk hasil dekomposisi yang menguap (volatil)

seperti peroksida, monogliserida dan digliserida, aldehid, keton dan asam

karboksilat serta menghasilkan komponen tidak menguap (non volatil). Adanya

bilangan peroksida dalam produk makanan dapat memicu ketengikan selama

penyimpanan.

Secara umum, penentuan umur simpan adalah penanganan suatu produk

(27)

mengalami kerusakan Spiegel (1992). Dengan mengetahui kerusakan selama

penyimpanan, maka konsumen akan terjamin ketika mengkonsumsi produk tersebut.

Faktor utama yang mempengaruhi umur simpan produk sejenis keripik adalah :

minyak, proses penggorengan, jenis kemasan, faktor lingkungan dan standar hukum

yang berlaku (Reilly dan Man, 1994).

Sosis adalah campuran daging dan berbagai bumbu dalam bentuk emulsi yang

ditempatkan dalam wadah tertentu (casing). Semua jenis daging ternak dapat

digunakan sebagai bahan baku pembuatan sosis. Beberapa jenis daging yang

sering dimanfaatkan untuk pembuatan sosis adalah daging sapi, ayam, babi dan

ikan. Jenis daging lain seperti daging kelinci, kerbau sampai jenis jamur dapat juga

dikembangkan untuk produksi sosis. Umumnya, di Indonesia diproduksi sosis

dengan bahan baku daging sapi dan daging ayam.

Penggorengan hampa termasuk dalam kategori deep-fat frying dengan

menggunakan alat penggoreng yang beroperasi pada kondisi vakum. Teknik

penggorengan vakum diperlukan untuk mempercepat laju penguapan akhir sehingga

dihasilkan produk yang lebih kering dan renyah. Proses penggorengan terjadi pada

tekanan sekitar 70 cmHg. Dalam kondisi ini, titik didih minyak turun menjadi 80oC,

lebih rendah dibandingkan titik didih minyak pada tekanan normal yaitu 180oC. Suhu

yang rendah akan memperlambat proses degradasi komponen yang ada dalam

bahan, sehingga aroma khas dan warna bahan dapat dipertahankan serta

memperpanjang umur simpan.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Produk sosis memerlukan kondisi penyimpanan tertentu. Pada suhu ruang,

produk sosis hanya bertahan selama satu hari, sedangkan pada suhu –20oC, sosis

dapat bertahan sampai 3 bulan masa penyimpanan. Pengolahan sosis menjadi

keripik sosis diharapkan dapat meningkatkan umur simpan sosis dan menjadi salah

satu produk diversifikasi sosis. Keripik sosis dapat mengalami redehidrasi sehingga

kembali ke bentuk asalnya.

Minyak pada proses penggorengan berfungsi sebagai media transfer panas

dan terabsorbsi dalam jumlah besar dalam produk akhir hasil penggorengan (lebih

dari 40%). Sebagai contoh, pada sistem penggorengan terbuka, keripik kentang

(28)

kualitas produk yang digoreng bergantung pada kualitas minyak goreng yang

terabsorbsi oleh bahan tersebut.

C. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang hubungan antara

kualitas minyak yang dipakai secara berulang terhadap umur simpan keripik sosis

dan menghitung kelayakan industrinya.

D. RUANG LINGKUP

Pada penelitian ini digunakan objek penelitian yaitu sosis ayam produksi

PT XYZ yang telah diiris dengan ketebalan 2 mm. Sosis tersebut akan diproses

dengan penggorengan vakum pada skala 50 liter minyak dengan bahan sosis

sebanyak 2 kilogram. Minyak yang digunakan adalah minyak goreng merk XY.

Ruang lingkup penelitian ini mencakup :

1. Pengujian sifat fisik kimia sosis ayam segar

2. Penentuan sifat fisika kimia minyak selama penggorengan

3. Penentuan umur simpan sosis pada jenis kemasan yang ditentukan

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGGORENGAN HAMPA (VACUUM FRYING)

Menggoreng merupakan satu dari cara memasak yang tertua untuk

menciptakan aroma (flavor) dan tekstur yang unik. Keuntungan pemrosesan bahan

pangan dengan teknik menggoreng menurut Thompson dalam Hui (1996) adalah :

1). Rasa dan tekstur yang enak di mulut dengan flavor lebih baik, 2). Adanya

bahan pelapis (coating), karena perlakuan pra penggorengan, 3). Warna yang

lebih tajam, 4). Penambahan minyak, 5). Kemudahan alat, 6). Suhu pada

proses penggorengan akan membuat bahan menjadi pucat, 7). Inaktivasi

mikroorganisme dan bakteri patogen, 8). Adanya pindah panas.

Ada dua jenis teknik menggoreng, yaitu : deep-fat frying dan pan frying

(shallow frying) . Deep-fat frying adalah menggoreng dengan menggunakan banyak

minyak sehingga bahan dapat terendam dalam minyak, sedangkan pan frying

adalah menggoreng dengan sedikit minyak.

Proses penggorengan secara merendam (deep-fat frying) menggunakan lemak

atau minyak sebagai media pindah panas yang menghantarkan energi dari

permukaan wajan penggorengan ke minyak panas, dan dari minyak panas ke

permukaan bahan yang terendam. Terdapat dua cara pindah panas yang terjadi

selama proses penggorengan, yaitu konduksi dan konveksi. Pindah panas secara

konduksi pada kondisi tidak tunak (unsteady state) terjadi di dalam bahan,

dipengaruhi oleh kondisi thermal bahan, seperti difusifitas thermal, konduktivitas

thermal, panas spesifik dan densitas. Pindah panas secara konveksi terjadi antara

bahan dengan minyak. Interaksi minyak dan bahan ini dipengaruhi oleh kecepatan

air yang keluar dari bahan ke minyak (Sharma et al., 2000). Hal ini dapat dilihat

pada Gambar 1.

Gelembung air yang keluar dari bahan menyebabkan turbulensi (pergolakan)

dalam minyak dan mencegah pindah panas. Jika proses penggorengan dilanjutkan,

(30)
[image:30.612.130.471.92.238.2]

Gambar 1. Gelembung air yang keluar dari bahan selama proses penggorengan

(Sharma et al., 2000).

Proses penggorengan dapat dibedakan dalam 4 tahap (Sharma et al., 2000),

yaitu :

1. Pemanasan Awal (initial heating)

Pada tahap ini, permukaan bahan yang terendam dalam minyak dipanaskan

sampai suhunya sama dengan suhu titik didih minyak. Pindah panas antara

minyak dengan bahan terjadi secara konveksi alami dan tidak ada penguapan air

dari permukaan bahan.

2. Pendidihan Permukaan (surface boiling)

Pada periode ini terjadi penguapan air yang dimulai dari bagian permukaan

bahan dan awal tebentuknya kerak pada permukaan bahan. Pindah panas yang

terjadi berubah dari konveksi alami menjadi konveksi dengan tekanan yang

menyebabkan turbulensi pada minyak di sekeliling bahan.

3. Laju Penurunan (falling rate)

Semakin banyak air yang keluar dari bahan dan suhu di bagian dalam

mendekati titik didih minyak. Pada tahap ini terjadi beberapa perubahan fisiko

kimiawi seperti gelatinisasi pati dan denaturasi protein. Lapisan kulit di

permukaan bahan secara kontinyu bertambah tebal dan laju penguapan

menurun.

4. Bubble End Point

Tahap ini teramati jika proses penggorengan dilanjutkan untuk waktu yang

lama. Laju perpindahan kadar air berkurang dan tidak ada lagi gelembung yang

Air yang menguap

(31)

keluar dari permukaan bahan. Jika proses penggorengan dilanjutkan, maka

ketebalan kulit akan bertambah.

Menurut Blumenthal dalam Hui (1996), bahan pangan dapat digoreng dalam

minyak panas karena mengalami pindah massa (mass transfer) dan pindah panas

(heat transfer). Pindah massa terjadi ketika air yang berada dalam bahan berpindah

ke dinding dan berpindah ke luar permukaan bahan. Peristiwa pindah panas ini

dianalogkan sebagai sistem pemompaan (pumping), dimana air dipompa oleh

sebuah mesin dari bagian dalam ke luar. Fenomena pindah massa diterangkan

sebagai tiga peristiwa berikut : penyerapan minyak ke dalam pori-pori bahan,

keluarnya sejumlah kecil materi dalam bahan yang larut air seperti air yang dipompa

dan keluarnya komponen yang bersifat cair dari bahan.

Air memegang peranan penting dalam peristiwa pindah panas dari minyak ke

pori-pori bahan. Air membawa energi termal dari minyak panas di sekeliling bahan.

Perpindahan energi dari permukaan bahan pangan menghalangi hangusnya bahan

karena dehidrasi yang berlebih. Konversi air menjadi uap terjadi selama air keluar

dari bahan oleh kontak energi dengan minyak. Selama masih ada air yang keluar

dari bahan, bahan yang digoreng tidak akan menjadi hangus.

Beberapa tahapan yang terjadi selama proses penggorengan menjadi pedoman

bagaimana suatu sistem penggorengan didesain. Selama proses penggorengan, air

dari bahan akan menguap dan proses dehidrasi terjadi dari minyak panas ke air

panas. Produk akan dipanaskan sehingga mencapai karakteristik yang diinginkan

seperti warna kecoklatan dan kerenyahan. Adanya proses penggorengan akan

merubah dimensi produk, menyusut, mengembang atau relatif sama dengan bahan

awalnya dan mengalami perubahan densitas. Sifat kimiawi minyak dan perbedaan

kemampuan pindah panasnya akan menghasilkan kualitas produk yang berbeda.

Ada tiga perubahan yang terjadi pada proses deep-fat frying (Fillion and Henry,

1998), yaitu :

- proses fisik, seperti transfer air dalam bahan dan minyak, konversi air

menjadi uap, migrasi lemak dari bahan ke minyak dan sebaliknya.

- perubahan kimia pada bahan yang disebabkan oleh suhu dan kehilangan air.

- interaksi kimia antara minyak dan komponen dalam bahan selama proses

penggorengan

Teknik deep-fat frying melibatkan perubahan fisik dan kimia pada makanan,

(32)

Beberapa faktor yang mempengaruhi tekstur dan mutu bahan yang digoreng adalah

laju pemanasan, penetrasi minyak pada bahan, interaksi minyak-bahan, dan

degradasi minyak (Sharma et al., 2000).

Beberapa faktor seperti suhu minyak yang dipanaskan, waktu penggorengan

dan tipe proses penggorengan (batch atau kontinyu) mempengaruhi proses deep-fat

frying. Komposisi kimia minyak, konstanta fisika dan psikokimia dan adanya zat

aditif dan pengotor juga mempengaruhi proses penggorengan. Rasio bobot

bahan-volume minyak dan rasio area permukaan -bahan-volume menentukan besarnya penetrasi

lemak pada produk (Moreira, 2001)

Waktu penggorengan menjadi faktor penting pada bahan hasil penggorengan.

Kandungan minyak bertambah, kadar uap menurun, ketebalan kulit bertambah dan

produk menjadi lebih renyah berdasarkan lamanya waktu penggorengan (Moreira,

2001).

Penggorengan hampa termasuk dalam kategori deep-fat frying dengan

menggunakan alat penggoreng yang beroperasi pada kondisi vakum. Proses

penggorengan terjadi pada tekanan sekitar 70 cmHg. Dalam kondisi ini, titik didih

minyak turun menjadi 80oC, lebih rendah dibandingkan titik didih minyak pada

tekanan normal yaitu 180oC.

Proses penggorengan yang dilakukan di industri makanan umumnya

menggunakan metode deep-fat frying. Metode ini sangat penting, karena prosesnya

cepat, mudah dan produknya mempunyai tekstur dan aroma yang lebih disukai.

Proses penggorengan ini bersifat ekonomis, karena panas hanya terkonsentrasi

pada sedikit bagian alat dan membuang sedikit gas dan listrik (Lawson, 1995).

Produk hasil penggorengan diusahakan mempunyai kandungan minyak yang

rendah dan kerusakan minimal atas kandungan bahan alami seperti zat-zat nutrisi,

serat, protein dan vitamin. Pada tahap akhir proses penggorengan menggunakan

sistem vakum, lapisan uap air permukaan bahan akan dilepaskan sehingga

peranannya sebagai lapisan pelindung akan hilang. Selanjutnya, minyak akan

masuk dan mengisi rongga-rongga dalam jaringan yang telah mengering (Block,

1964). Untuk mengeluarkan minyak yang mengisi rongga-rongga bahan, maka

diperlukan sebuah alat sentrifugasi yang memperbesar gaya G, sehingga minyak

(33)

B. PERUBAHAN KUALITAS MINYAK SELAMA PROSES PENGGORENGAN

Pada proses penggorengan secara batch, suhu minyak akan menurun dan

meningkat secara perlahan mendekati suhu yang telah ditetapkan pada mesin

penggoreng. Moreira (2001) berhasil membuat grafik perubahan suhu antara hasil

pengamatan dan perkiraan selama proses penggorengan batch tortilla. Perubahan

[image:33.612.148.473.219.432.2]

suhu minyak selama penggorengan mengikuti model seperti yang disajikan pada

Gambar 2.

Gambar 2. Perubahan suhu minyak pada proses penggorengan tortila secara

batch (Moreira, 2001).

Reaksi yang terjadi pada minyak selama proses penggorengan merupakan

hasil dari hubungan panas, udara dan kadar air. Degradasi minyak meliputi reaksi

polimerisasi, oksidasi dan hidrolisis. Adanya panas menjadi katalis yang

mempercepat pembentukan asam lemak bebas dan reaksi polimerisasi pada

minyak. Minyak yang terlalu panas dapat menimbulkan noda hitam pada mesin

penggoreng dan seringkali menyebabkan reaksi polimer termal.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada minyak selama proses penggorengan ditunjukkan pada

(34)
[image:34.612.141.445.78.438.2]

Gambar 3. Perubahan pada minyak selama proses penggorengan (Gebhardt

di dalam Hui, 1996).

Reaksi terpenting dalam proses penggorengan adalah reaksi hidrolisis (Lusas

dan Rooney, 2001). Air yang ada dalam bahan pangan berperan dalam

menguraikan trigliserida menjadi asam lemak bebas, monogliserida, digliserida dan

gliserin. Dengan adanya panas, gliserin akan terdegradasi menjadi akrolein

(CH2CHCHO) pada suhu didih 126

o

F (52.7oC) dan menguap secara cepat,

selanjutnya terkondensasi dan terpolimerisasi di dalam cerobong pengeluaran.

Molekul asam lemak bersifat lebih rentan terhadap oksidasi dan menjadi katalis

hidrolisis. Titik api minyak akan turun dengan bertambahnya asam lemak bebas,

ikatan tidak jenuh dan panjang rantai minyak. Selain itu, sebagai surfaktan, asam

lemak bebas, monogliserida dan digliserida akan mengurangi tegangan permukaan

(35)

produk. Asam lemak bebas yang berlebih menyebabkan minyak menjadi berbau

kurang enak (Blumenthal di dalam Hui, 1996).

Beberapa konstituen yang mudah mengalami oksidasi adalah asam lemak

tidak jenuh dan persenyawaan-persenyawaan yang menimbulkan aroma, flavor,

warna dan sejumlah vitamin. Lusas dan Rooney (2001) menambahkan bahwa pada

permulaan proses oksidasi, beberapa minyak akan mengalami perubahan

karakteristik bau. Sebagai contoh, minyak biji kapas akan sedikit berbau seperti

kacang, minyak kacang akan mempunyai rasa seperti kacang panggang,

sedangkan minyak jagung berbau seperti popcorn, minyak sawit beraroma agak

manis, sedangkan minyak kedelai berbau seperti rumput atau kacang-kacangan.

Pada proses penggorengan, minyak dengan banyak ikatan jenuh akan lebih cepat

teroksidasi, tetapi minyak jenis ini akan mengalami oksidasi lanjut dan membatasi

umur simpan.

Menurut Lawson (1995), selain suhu, beberapa faktor yang mempengaruhi laju

oksidasi adalah : 1) laju minyak yang terserap bahan pangan dari sistem dan

digantikan oleh minyak baru, 2) jumlah permukaan minyak yang terkena oksigen, 3)

adanya logam seperti tembaga dan kuningan yang mempercepat oksidasi

(pro-oxidants), 4) adanya antioksidan seperti metil silkon yang memperlambat oksidasi,

5) kualitas minyak goreng.

Kedua reaksi polimerisasi, baik polimerisasi oksidasi maupun polimerisasi

termal membentuk hasil dekomposisi yang menguap (volatil) dan tidak menguap

(non volatil). Produk dekomposisi volatil meliputi peroksida, monogliserida dan

digliserida, aldehid, keton dan asam karboksilat, sedangkan produk dekomposisi

non volatil adalah komponen polar, monomer (siklik dan non siklik), dimer, trimer dan

komponen dengan bobot molekul tinggi (polimer).

Adanya polimer akan menghasilkan pembentukan gum (gumming) dan busa

(foaming). Pembentukan gum dapat dilihat pada sisi alat penggorengan, yaitu pada

keranjang penggorengan dan sabuk konveyor, dimana permukaan minyak dan

logam mengalami kontak dengan oksigen dari udara. Peningkatan jumlah polimer

menyebabkan adanya asam lemak pada minyak dengan panjang rantai yang

berbeda. Perbedaan panjang rantai ini yang menyebabkan pembusaan pada

minyak (Lawson, 1995). Kelebihan protein dalam proses penggorengan juga

membantu pembentukan busa, meskipun dalam jumlah kecil.

Menurut Blumenthal dalam Hui (1996), yang menjadi tolok ukur kerusakan

(36)

bebas), WET (water emulsion titratable), bilangan peroksida, bilangan anisidin,

polimer, warna minyak, padatan terlarut, viskositas, adanya busa, titik asap(smoke

point) dan sifat elektrolitnya. Asam lemak bebas sebagai hasil degradasi trigliserida

dinyatakan sebagai persen FFA, yaitu jumlah asam lemak bebas yang terdapat

dalam minyak atau lemak. Persen FFA pada produk digunakan untuk memprediksi

umur simpan produk, yaitu dengan mengamati peningkatan ketengikan. Semakin

tinggi nilai %FFA, semakin berkurang umur simpan produk, karena meningkatnya

ketengikan produk.

Sabun alkali dan air adalah penyebab lain adanya kerusakan minyak secara

kimia. Seperti halnya dengan FFA, parameter ini tidak cocok untuk memprediksi

kualitas produk. Sabun alkali dibentuk karena reaksi antara logam dan asam lemak

bebas dengan adanya air. Peningkatan konsentrasi sabun dan surfaktan organik

lainnya seperti fosfolipid dapat mempengaruhi penetrasi panas, terserapnya minyak

ke dalam kulit bahan, meningkatkan jumlah minyak yang dibutuhkan untuk

menggantikan minyak yang terserap ke dalam bahan.

Peroksida adalah komponen organik yang tidak stabil yang terbentuk dari

trigliserida karena proses oksidasi. Pada suhu penggorengan, peroksida akan rusak

dan terbentuk kembali selama pendinginan (Blumenthal dalam Hui, 1996).

Besarnya bilangan peroksida dihitung berdasarkan jumlah milliliter Natrium thiosulfat

yang dibutuhkan untuk mengikat iod bebas dalam Kalium Iodida (KI) yang

dibebaskan oleh peroksida.

Peroksida yang terbentuk selama proses oksidasi akan mengalami

dekomposisi, sehingga membentuk senyawa-senyawa yang dapat menguap, seperti

aldehid, keton, alkohol, hidrokarbon dan komponen-komponen laiinya. Bilangan

anisidin menunjukkan jumlah aldehid dan digunakan untuk menentukan jumlah

bahan peroksida yang rusak.

Degradasi minyak lebih lanjut akan menghasilkan polimer. Polimer-polimer

yang ada dalam minyak yang telah rusak meliputi dimer, trimer, tetramer dan

lain-lain yang terbentuk melalui proses oksidasi dan reaksi termal. Bercak hitam pada

dinding penggorengan merupakan salah satu contoh adanya polimer.

Beberapa tahun lalu, warna dijadikan sebagai indeks kualitas minyak. Padahal

tidak semua minyak yang berwarna gelap menghasilkan produk yang jelek.

Pengukuran warna minyak dilakukan dengan menggunakan Lovibond. Blumenthal

(37)

termodinamika pada minyak terhadap kemampuannya untuk menghasilkan produk

berkualitas.

Proses penggorengan dilakukan untuk menghasilkan produk dengan flavor

yang lebih baik, tetapi minyak yang digunakan selama proses tidak menguntungkan

bagi kesehatan manusia. Berbagai usaha dilakukan untuk memperbaiki kualitas dan

stabilitas minyak yang digunakan untuk menggoreng dan menciptakan produk yang

lebih sehat, salah satunya dengan memodifikasi minyak nabati. Modifikasi

komposisi asam lemak spesifik seperti minyak canola yang tinggi asam oleat,

minyak safflower dan bunga matahari dengan kadar linoleat rendah dan minyak

kedelai dapat meningkatkan nilai nutrisi dan stabilitas minyak. Keuntungan yang

diperoleh dari modifikasi ini adalah stabilitas yang lebih baik, sedikit atau tidak

terhidrogenasi dan kadar asam lemak jenuh yang rendah (Blekas dan Boskou,

1999). Su dan White (2004) meneliti tentang bread cubes yang digoreng dalam

minyak kedelai dengan berbagai modifikasi komposisi asam lemaknya, yaitu minyak

kedelai dengan kadar asam oleat (OA) (79% OA), 65% OA, 51% OA, 37% OA,

minyak kedelai dengan linolenat rendah (LL) dan minyak kedelai biasa sebagai

kontrol. Hasil peneltian memperlihatkan bahwa flavor dan stabilitas bread cubes

yang lebih baik secara berurutan didapat pada minyak LL, 79% OA, 65% OA, 51%

OA, 37% OA dan kontrol.

Modifikasi dapat juga dilakukan dengan mencampur minyak dengan minyak

atau lemak yang lain. Pangloli et al. (2002) menyatakan bahwa berdasarkan

bilangan peroksida, keripik kentang yang digoreng pada campuran 20 – 40% minyak

sawit ke dalam minyak bunga matahari mempunyai stabilitas penyimpanan yang

lebih baik dibandingkan dengan keripik yang digoreng pada minyak bunga matahari

atau minyak sawit saja. Tetapi flavor yang dihasilkan tidak berbeda nyata untuk

masing-masing perlakuan.

C. PERUBAHAN BAHAN PANGAN SELAMA PENGGORENGAN

Selama proses penggorengan, terjadi reaksi kimia pada bahan, yang

disebabkan oleh suhu dan kehilangan air. Suhu permukaan bahan akan meningkat

dan air akan menguap. Meskipun suhu minyak selama penggorengan tinggi, antara

130 – 200oC atau lebih, tapi hanya bagian permukaan bahan yang mencapai suhu di

atas 100oC, sedangkan bagian dalam bahan hanya mencapai suhu 70 - 98oC

(38)

peningkatan suhu tortilla sampai titik didih air dengan laju yang sama dengan suhu

minyak. Semakin tinggi suhu minyak, maka koefisien difusi dan transfer massa uap

menjadi lebih tinggi. Pada suhu penggorengan 190oC, suhu tortilla meningkat lebih

cepat, gradien suhu minyak yang lebih tinggi dan kadar air bahan menurun lebih

cepat dibandingkan suhu 150oC. Untuk mencapai kadar air produk 2 % (b/b), tortilla

yang digoreng pada suhu 190oC membutuhkan waktu 60 detik, sedangkan tortilla

yang digoreng pada suhu 150oC membutuhkan waktu yang lebih lama. Kadar

minyak minyak pada produk dipengaruhi juga oleh suhu minyak selama

penggorengan. Pada suhu yang lebih rendah, maka minyak yang diserap bahan

menjadi lebih sedikit. Fenomena ini berhasil digambarkan oleh Moreira (2001)

[image:38.612.127.498.304.558.2]

seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik peningkatan suhu di dalam produk, perubahan suhu minyak,

penurunan kadar air dan absorpsi minyak pada penggorengan tortilla

(150oC dan 190oC) (Moreira, 2001)

Proses penggorengan akan mengubah karakteristik warna, citarasa dan

aroma bahan, dikarenakan adanya kombinasi antara reaksi Maillard pada bahan

(39)

mempengaruhi perubahan warna dan aroma pada bahan yang digoreng, adalah :

1) jenis minyak goreng yang digunakan, 2) umur dan lama pemanasan minyak,

3) tegangan antarmuka antara minyak dengan bahan, 4) suhu dan waktu

penggorengan, 5) ukuran, kadar air dan sifat permukaan bahan, 6) perlakuan

setelah penggorengan (Fellons, 2000).

Menurut Pinthus et al. (1993), besarnya minyak yang terserap pada produk

keripik meliputi kualitas minyak, suhu dan lamanya proses penggorengan, bentuk

dan kandungan bahan (kadar air, padatan, lemak, kekuatan gel dan protein),

perlakuan pra penggorengan (pengeringan, penggorengan dan pencelupan) dan

pelapisan (coating). Pada beberapa produk, minyak yang terserap dapat melebihi

45% bobot produk (Saguy dan Pinthus, 1995). Sedangkan Pokorny (1999),

menyatakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi masuknya lemak ke

bahan selama penggorengan adalah : 1) suhu dan lama waktu penggorengan,

2) besarnya kadar air, terutama di bagian permukaan, 3) tipe, ukuran dan

bentuk bahan yang akan digoreng, 4) perlakuan yang diberikan pada bahan

sebelum digoreng, seperti pelapisan (coating), 5) tipe dan mutu minyak.

Suhu penggorengan yang tinggi dan waktu yang lama akan menyebabkan

penyerapan minyak yang lebih banyak dan kehilangan vitamin dalam jumlah besar.

Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan produk mentah di bagian dalamnya, tapi

bagian luarnya mungkin sudah hangus (Weiss, 1983). Suhu yang tinggi juga akan

mengakibatkan perubahan warna menjadi lebih gelap dan kerusakan struktur bahan.

Sedangkan menurut Gebhardt dalam Hui (1996), suhu penggorengan yang terlalu

rendah dan semakin lama waktu bahan tinggal di minyak menyebabkan tingginya

absorpsi minyak ke bahan.

Penyerapan minyak oleh bahan dapat dilihat dari anatomi bahan hasil

penggorengan tersebut. Menurut Robertson (1967), bahan hasil penggorengan

mempunyai struktur yang sama, yaitu inner zone (core), outer zone (crust) dan outer

zone surface. Penampang melintang produk hasil penggorengan dapat dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5. Penampang melintang produk hasil penggorengan (Robertson, 1967) Outer zone surface

(40)

Outer zone surface adalah bagian paling luar dari produk hasil penggorengan

yang berwarna coklat kekuning-kuningan. Warna coklat merupakan hasil “browning

reaction” atau “Maillard reaction”. Warna bagian ini dipengaruhi oleh komposisi

bahan dan lama penggorengan.

Outer zone (crust) adalah bagian luar produk yang merupakan hasil dehidrasi

pada waktu proses penggorengan. Kadar air “crust” yang merupakan hasil

penguapan air akan diisi oleh minyak. Jumlah minyak yang terserap tergantung

pada perbandingan crust dan core. Makin tebal crust, makin banyak jumlah minyak

yang akan diserapnya.

Bagian dari produk yang disebut inner zone (core) adalah bagian produk yang

masih mengandung air. Pada produk yang tipis, bagian core hampir tidak ada, yang

ada hanya bagian crust saja. Oleh karena itu, produk yang tipis mempunyai daya

serap minyak yang lebih besar daripada produk yang tebal.

Tekstur produk hasil penggorengan dihasilkan karena perubahan pada protein,

lemak dan karbohidrat. Perubahan kualitas protein terjadi sebagai hasil reaksi

Maillard dengan asam amino pada lapisan kulit (Fellons, 2000). Protein sebagai

nutrient penting, selalu ada pada produk hasil penggorengan, dalam jumlah banyak

atau sedikit. Reaksi utama protein selama proses penggorengan adalah denaturasi

protein. Senyawa aktif seperti enzim menjadi inaktif karena proses penggorengan,

sehingga produk hasil penggorengan pada umumnya lebih stabil dalam

penyimpanan dibandingkan produk mentahnya. Karbohidrat dan mineral cenderung

berkurang dalam jumlah kecil, sedangkan kadar lemak produk meningkat karena

absorpsi oleh minyak.

Reaksi utama pada gula adalah reaksi Maillard (browning non enzimatis)

dengan asam amino bebas atau grup amino bebas dari protein dan peptida. Pada

produk daging yang digoreng, reaksi pencoklatan tidak disebabkan oleh reaksi

Maillard, dikarenakan kandungan glukosa dalam bahan yang rendah. Pencoklatan

ini lebih disebabkan karena reaksi degradasi asam amino dan protein.

Polisakarida mempunyai peran lain pada produk hasil penggorengan. Selama

proses penggorengan, polisakarida membentuk lapisan yang kompak di bagian

permukaan bahan pada saat awal penggorengan. Pembentukan lapisan ini akan

mencegah migrasi lemak ke dalam produk dan kehilangan kadar air dari bahan.

(41)

D. PENDUGAAN UMUR SIMPAN

Kondisi bahan pangan selama penyimpanan dan distribusi dipengaruhi oleh

faktor lingkungan. Faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, oksigen dan cahaya

dapat memicu beberapa mekanisme reaksi yang menyebabkan kerusakan bahan

pangan. Kerusakan selama penyimpanan dan distribusi mengakibatkan produk

menjadi rusak di tangan konsumen dan membahayakan jika dikonsumsi. Menurut

Singh dalam Allen dan Hamilton (1983), perubahan yang terjadi selama proses

penyimpanan dan distribusi meliputi perubahan fisika, kimia dan mikrobiologi.

Kerusakan fisika produk hasil penggorengan antara lain adalah meningkatnya

kadar air bahan karena disimpan pada kelembaban tinggi. Kerusakan kimia dapat

disebabkan oleh faktor internal bahan dan eksternal lingkungan. Sebagai contoh,

reaksi oksidasi lemak menyebabkan perubahan flavor, adanya asam lemak tidak

jenuh menjadi penyebab utama ketengikan selama penyimpanan. Perubahan

secara mikrobiologi dihitung dari laju pertumbuhan mikrobial sebagai fungsi faktor

lingkungan.

Menurut Spiegel (1992), penentuan umur simpan secara umum adalah

penanganan suatu produk dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan dipantau

setiap waktu sampai produk mengalami kerusakan. Umur simpan produk berkaitan

erat dengan nilai kadar air kritis, suhu dan kelembaban.

Hal lain dari penentuan umur simpan pada kemasan plastik adalah waktu yang

diperlukan oleh komponen material kemasan untuk bermigrasi pada bahan makanan

sampai batas maksimal kadar yang diperkenankan. Berbeda dengan kemasan

metal dan gelas, pada kemasan plastik dalam suhu kamar, senyawa dengan berat

molekul kecil masuk ke dalam makanan secara bebas baik yang berasal dari aditif

maupun dari plasticizers. Semakin panas kondisi bahan makanan yang dikemas,

semakin tinggi peluang terjadinya migrasi zat-zat plastik ke dalam makanan.

Menurut Hine (1987), proses perkiraan umur simpan sangat tergantung pada

tersedianya data tentang :

1. mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas

2. unsur-unsur yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi laju

penurunan mutu produk

3. mutu produk dalam kemasan

4. bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan

(42)

6. mutu minimum dari produk yang masih dapat diterima

7. variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan

8. resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang

mempengaruhi kebutuhan kemasan

9. sifat barrier pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar

yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu produk.

Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua metode,

yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies

(ASS). ESS atau yang sering disebut metode konvensional adalah penentuan

tanggal kadaluarsa dengan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal

sehari-hari. Selama penyimpanan, dilakukan pengamatan terhadap penurunan

mutu yang terjadi hingga mencapai mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat,

tapi membutuhkan waktu yang lama dan analisa parameter yang relatif banyak.

Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat

reaksi penurunan mutu produk pangan. Kelebihan metode ini adalah waktu

pengujian yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketepatan yang tinggi.

Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan

untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian

akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara

pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar

air atau aktifitas air sebagi kriteria kadaluarsa.

2. Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu

cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya

mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan.

Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu produk

pangan. Semakin tinggi suhu penyimpanan, maka laju reaksi berbagai senyawa

kimia akan semakin cepat. Untuk menentukan kecepatan reaksi kimia bahan

pangan dalam kaitannya dengan perubahan suhu, Labuza (1982) menggunakan

pendekatan Arrhenius. Persamaan Arrhenius yang digunakan adalah :

k = k0. e–Ea/RT

keterangan :

(43)

k0 = konstanta pre eksponensial

Ea = energi aktivasi (KJ/mol)

R = konstanta gas (1.986 kal/mol)

T = suhu mutlak (K)

Persamaan di atas dapat diubah menjadi :

ln k = ln k0 – (Ea / RT)

Dari persamaan tersebut akan diperoleh kurva berupa garis linier pada plot

[image:43.612.203.397.282.391.2]

nilai ln k terhadap 1/T dengan slope –Ea/R seperti pada Gambar 6 berikut :

Gambar 6. Grafik antara nilai ln k dan 1/T dalam persamaan Arrhenius.

Nilai umur simpan dapat diketahui dengan memasukkan nilai perhitungan ke

dalam persamaan ordo nol atau satu. Menurut Labuza (1982), reaksi kehilangan

mutu pada produk pangan banyak dijelaskan oleh reaksi ordo nol dan satu, sedikit

yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain.

a. Reaksi Ordo Nol

Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinerja ordo nol meliputi reaksi

kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis dan oksidasi (Labuza, 1982).

Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan mutu yang konstan. Kecepatan

penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan dan digambarkan

dengan persamaan berikut :

-- k

dt dA=

ln k

-Ea/R

(44)

Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka dilakukan integrasi terhadap persamaan :

=

t At A

dt

k

dA

0 0

.

sehingga menjadi :

At - Ao = -kt

Dimana : At = jumlah A pada awal waktu t

Ao = jumlah awal A

b. Reaksi Ordo Satu

Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo satu meliputi

: ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off flavor (penyimpangan flavor) oleh

mikroba pada dasing, ikan dan unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein

dan lain sebagainya (Labuza, 1982).

Persamaan reaksinya :

-- kA

dt dA

.

=

Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka dilakukan integrasi terhadap

persamaan :

=

t At A

dt

k

dt

dA

0 0

.

sehingga menjadi :

ln Atln Ao = -kt

dimana : At = jumlah A pada awal waktu t

(45)

E. SOSIS

Istilah sosis berasal dari bahasa Latin, yaitu salsus yang berarti digarami.

Istilah tersebut sesuai dengan tujuan awal pembuatan sosis yaitu untuk

mengawetkan daging segar. Berdasarkan SNI 01-3820-1995, sosis daging

didefinisikan sebagai produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus

dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu dan bahan

makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selongsong sosis.

Ada dua jenis selongsong (casing) yang digunakan pada pembuatan sosis,

yaitu selongsong alami (natural casing) dan sintetis (synthetic casing). Selongsong

alami dibuat dari usus babi atau domba, dengan cara membalik usus hewan,

mencuci dalam larutan klorin 0.5% dan membilasnya dengan air. Lemak dan

jaringan pengikat yang masih tertinggal dihilangkan dengan menyikat usus

menggunakan sikat yang lembut. Selongsong jenis ini dikemas dalam larutan garam

jenuh dan disimpan dalam cold room atau freezer. Ketika sosis dimasak, maka

selongsong akan terdenaturasi. Selongsong sintetik dibuat dari bahan kolagen atau

selulosa yang tidak dapat dimakan (edible) (Hui et al., 1999).

Sosis adalah contoh dari emulsi minyak dalam air dimana lemak berfungsi

sebagai fase diskontinyu dan air sebagai fase kontinyu, sedangkan protein daging

terlarut sebagai emulsifier. Umumnya emulsifier yang terdapat di dalam daging

adalah protein yang larut dalam garam, yaitu protein aktin dan myosin. Protein yang

larut dalam air dan protein jaringan ikat yang tidak larut mempunyai kemampuan

yang sangat terbatas untuk mengemulsi lemak. Protein daging selain dapat

mengemulsi lemak juga dapat mengikat air. Jika salah satu dari fungsi ini tidak

berjalan, maka emulsi tidak akan stabil dan cenderung rusak selama pemasakan

sosis (Kramlich, 1971).

Berdasarkan karakteristik produk dan metode pengolahannya, sosis terbagi

menjadi tiga kelompok besar, yaitu : sosis segar, sosis asap (cured sausage) dan

sosis fermentasi (fermented sausage) (Hui et al., 1999). Kramlich (1971) membagi

sosis dalam 6 kelas, yaitu : 1). sosis segar, 2). sosis kering, semi kering, 3). sosis

masak, 4). sosis masak dan diasap, 5). sosis masak tapi tidak diasap dan 6). bola

daging (cooked meat specialties).

Sosis segar adalah jenis sosis yang tidak dimasak, seperti breakfast sausage,

sausage patties, whole hog sausage, bratwust,Italian-style sausage dan Polish style

(46)

Pada umumnya, sosis segar menggunakan edible casing sebagai selongsongnya

dan dijual dalam bentuk tidak dimasak serta disimpan dalam kondisi beku.

Pembuatan sosis asap (cured sausage) dilakukan dengan mencampurkan daging

dengan bahan-bahan lainnya, kemudian dicincang dan diemulsi. Pencampuran dan

pencincangan dilakukan secara simultan. Produk sosis yang termasuk dalam jenis

sosis asap adalah frankfurters dan bologna. Proses pembuatan bologna dan

frankfurters adalah sama. Yang membedakan adalah ukuran diameter sosis dan

jenis bumbu yang ditambahkan. Bologna mempunyai diameter lebih besar

dibandingkan frankfurters.

Sosis fermentasi atau yang lebih dikenal dengan nama salami dibuat dengan

bantuan bakteri grup asam laktat pada proses fermentasinya. Proses ini telah ada di

Cina pada 2000 tahun yang lalu. Istilah salami (salamee) diturunkan dari bahasa

Latin, yaitu sale, yang berarti garam. Sosis fermentasi dibedakan menjadi dua

macam, yaitu sosis kering (dry sausage) dan sosis semi kering (semi dry sausage).

Sesuai dengan namanya, keduanya mempunyai perbedaan pada besarnya kadar

air. Sosis kering mempunyai kadar air antara 30 – 40%, sedangkan sosis semi

kering antara 40 – 50%.

Mikroorganisme yang digunakan sebagai starter pada fermentasi adalah dari

genus Lactobacillus, Pediococcus, Lactococcus (ketiganya termasuk golongan

homofermentatif) dan Micrococcus ( untuk mereduksi nitrat menjadi nitrit). Spesies

yang sering dimanfaatkan adalah L. plantarum, P. acidilactici dan L. lactis sub sp.

Lactis. Proses pengeringan pada pembuatan sosis fermentasi kering dan

pemasakan pada sosis fermentasi semi kering dimaksudkan untuk inaktivasi

Trichinella, tapi tidak untuk bakteri non patogen. Suhu untuk inaktivasi Trichinella

ada pada kisaran 58.3oC (Varnam dan Sutherland, 1995).

Lamanya waktu fermentasi berbeda untuk sosis jenis kering dan semi kering.

Menurut Ferrel dalam Hui et al. (1999) sosis kering membutuhkan waktu fermentasi

lebih lama (1 – 3 hari) dibandingkan sosis semi kering (8 – 20 jam). Pada produksi

sosis kering, daging yang telah difermentasi diletakkan pada ruangan kering (suhu

7 –13oC, kelembaban relatif antara 70 – 72%) untuk mempercepat dehidrasi dan

peningkatan aroma. Waktu untuk pengeringan berbeda-beda tergantung pada

diameter sosis dan tipe produk yang diinginkan, tetapi umumnya antara 10 hari

sampai 3 bulan. Sosis kering tidak membutuhkan suhu beku setelah diproduksi,

dikarenakan rendahnya kadar air (aw < 0.91) dan pH, sehingga lebih tahan lama.

Gambar

Gambar 1.  Gelembung air yang keluar dari bahan selama proses penggorengan (Sharma et al., 2000)
Gambar  2.
Gambar 3.  Perubahan pada minyak selama proses penggorengan (Gebhardt di dalam Hui, 1996)
Gambar 4.  Grafik peningkatan suhu di dalam produk, perubahan suhu minyak,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nakon napravljenih analiza može se zaključiti da da je kod svih uzoraka došlo do pojave toplih pukotina pri čemu unosi toplina kod nijednog postupka nisu bili

“ saya sungguh tidak menyesal ketika saya tidak bisa melihat senyum pangeran saya untuk yang terakhir kali, karena saya akan melihat senyuman dia dari atas sana pada final Champion

Survei tanah yang dilakukan selain untuk melakukan tingkat kapabilitas atau kemampuan lahan secara keseluruhan, juga dilakukan sebagai bahan untuk pemetaan tanah dalam

Pada pengukuran produktivitas menggunakan metode Objective Matrix (OMAX).digunakan 7 kriteria dengan d ata output yaitu banyaknya barang yang dihasilkan, data produk

Dan temperatur exhaust pada beban elektrik maksimal yang dihasilkan LPG engine-generator set menggunakan bahan bakar syn-gas , dengan tegangan listrik 185 a dalah sebesar

Oleh itu para guru dan pendidik perlu melengkapi diri dengan ciri-ciri kualiti yang diperlukan bagi membawa tahap pendidikan negara ke era lebih cemerlang dan

Jaminan bagi saya dalah sebuah service, artinya harus secara wajib diberikan utuh kepada pasien, tetapi persoalannya pasien selama ini menggantungkan keinginannya untuk sembuth

Sedangkan kelompok fuqaha‟ yang berpendapat khulu‟ adalah talak ba‟in ini mengemukakan alasan dengan membantah pendapat kelompok fuqoha yang berpendapat bahwa khulu‟