• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status kewarisan anak perempuan bungsu dalam Adat Kewarisan di Kecamatan Darangdan kabupaten Purwakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Status kewarisan anak perempuan bungsu dalam Adat Kewarisan di Kecamatan Darangdan kabupaten Purwakarta"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS KEWARISAN ANAK PEREMPUAN BUNGSU DALAM ADAT KEWARISAN DI KECAMATAN DARANGDAN KABUPATEN

PURWAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: Tajul Muttaqin NIM: 107044100525

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh:

Tajul Muttaqin NIM: 107044100525

Di Bawah Bimbingan Pembimbing

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031021

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul STATUS KEWARISAN ANAK PEREMPUAN BUNGSU DALAM ADAT KEWARISAN DI KECAMATAN DARANGDAN KABUPATEN PURWAKARTA telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 19 Rajab 21 Juni 2011M. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Syakhsiyyah (Peradilan Agama).

Jakarta, 21 Juni 2011M Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM NIP. 195 505 051 982 031 021

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP. 195 003 061 976 031 001

2. Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA NIP. 196 906 102 003 122 001

3. Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM NIP. 195 505 051 982 031 021

4. Penguji I : Dr. J.M. Muslimin, MA., Ph.D NIP. 150 292 489

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 31 Mei 2011

(5)

vi

KATA PENGANTAR











Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmat sehat dan hidayah serta inayah, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi. Salawat dan salam semoga selalu dilimpahkan Allah SWT kepada Rasul-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW serta seluruh keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai akhir zaman.

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan sebesar-besarnya atas keterlibatan semua pihak yang telah membantu menulis dan menyusun skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis sepatutnya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum yang sekaligus menjadi dosen pembimbing skripsi ini, yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya serta meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.

(6)

3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di kampus ini.

4. Bapak pimpinan dan staf karyawan perpustakaan utama, perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan Iman Jama yang telah membantu dan menyediakan bahan-bahan bacaan untuk penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ayahanda H. A. Jalaluddin Sayuti dan Ibunda Kuyum yang telah memberikan dorongan, baik moril maupun materil dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini. Tidak lupa kakanda Ujang Muklis, Dede Nurhidayat, Nunung Nurjamilah, Aep Saepuloh, Ai Munawaroh, dan Elah Nurlaelah yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis hingga penulis berhasil menyusun skripsi ini.

6. Bapak Asep Yayan, dan Sofyan, Kepala Desa dan Sekretaris Desa Kampung Sukamaju, yang telah bersedia memberikan data-data kelurahan. Tak lupa kepada masyarakat Kampung Sukamaju yang telah bersedia memberikan waktunya untuk diwawancarai.

(7)

viii

8. Teman-teman Delima, yaitu: Desi Amalia, Laila Wahdah, Astrian Widiyantri, Maryam Mahdalina, dan Mariah yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis hingga penulis berhasil menyusun skripsi ini. Semoga persahabatan kita ini berlangsung selamanya. Amin.

Atas segala bimbingan dan bantuan mereka penulis mendo’akan semoga

Allah SWT membalas dengan pahala yang berlipat ganda, Amin.

Semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak. Segala kekeliruan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini merupakan keterbatasan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT senatiasa memberikan maghfirah dan keridhoannya. Amin.

Ciputat, 29 Mei 2011

(8)

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Kerangka Teori ... 7

E. Review Studi Terdahulu ... 8

F. Metode Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II PRINSIP UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Pengertian dan Dasar Hukum Waris ... 14

B. Rukun dan Syarat Waris ... 20

C. Sebab Ada Hak Waris ... 22

D. Derajat Ahli Waris ... 22

E. Penghalang Memperoleh Hak Waris ... 25

(9)

x

BAB III WARIS RUMAH ANAK BUNGSU PEREMPUAN DI KAMPUNG SUKAMAJU DALAM KONTEKS HUKUM ISLAM

A. Letak dan Geografisnya ... 37

B. Sistem Kemasyarakatan, Adat Istiadat dan Kebudayaan ... 38

C. Konsep Kewarisan Rumah Pusaka Bagi Anak Bungsu Perempuan ... 42

D. Radius Pengaruh Sistem Kewarisan Kampung Sukamaju ... 46

E. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Adat Kampung Sukamaju.. 48

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 53

B. Saran-saran ... 54

(10)

1 A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia pasti mengalami peristiwa kelahiran dan akan mengalami kematian, peristiwa kelahiran seseorang tentu akan menimbulkan akibat-akibat hukum. Seperti timbulnya hubungan hukum dengan masyarakat sekitar dan timbulnya hak dan kewajiban pada dirinya. Peristiwa kematian pun akan menimbulkan akibat hukum kepada orang lain, terutama kepada pihak keluarga dan pihak-pihak tertentu yang ada hubungan dengan si mayat semasa hidupnya.1

Demikian juga kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum, selain itu kematian menimbulkan kewajiban orang lain bagi si mayat yang berhubungan dengan pengurusan jenazah. Kematian seseorang mengakibatkan timbul cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara pengoperan atau penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris), yang dikenal dengan nama hukum waris.2

Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan (muwarits) yang meninggal dunia. Kemudian harta waris akan

1

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, November 2002), h.13.

2

(11)

2

berpindah kepada para penerima warisan (waratsah) dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’.3

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan fokus pada masalah bagian anak perempuan dalam memperoleh harta warisan. Seperti yang kita ketahui, bahwa anak perempuan mendapatkan warisan 2:1 dengan anak laki-laki. Dengan adanya perbedaan bagian waris tersebut, Allah SWT telah menetapkan hukum waris dengan hikmah dan tujuan tertentu di dalamnya. Dia telah menentukan pembagian di antara ahli waris dengan sebaik-baik pembagian dan yang paling adil.4

Alasan dan hikmah dari perbedaan sistem waris antara anak laki-laki dan anak perempuan adalah: Pertama, perempuan tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Kedua, perempuan tidak diwajibkan untuk membayar mahar melainkan orang yang menerima mahar dari calon suaminya. Ketiga, perempuan tidak diwajibkan menyediakan tempat tinggal, memberi makan, minum, dan sandang kepada keluarganya.5 Ketentuan-ketentuan Syariat yang ditunjuk oleh nash-nash yang sharih termasuk di dalamnya masalah pembagian warisan, selama tidak ada dalil (nash) lain yang menunjukkan

3

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islam, (Mesir: Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, 2000), h. 1.

4

Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin, Ilmu Mawaris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, (Tegal Jateng: Ash-Shaf media, Mei 2007), h. 1.

5

(12)

ketidakwajibannya merupakan suatu keharusan yang patut dilaksanakan oleh seluruh umat Islam.6

Ilmu faraidh juga merupakan suatu ilmu yang harus dipelajari oleh umat manusia, karena ilmu faraidh sangat membantu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam pembagian harta waris. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada kita agar belajar dan mengajarkan ilmu faraidh. Perintah tersebut berisi perintah wajib, hanya saja kewajiban belajar dan mengajarkannya itu gugur bila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya. Tetapi jika tidak ada seorangpun yang mau melaksanakannya, orang-orang Islam semuanya menanggung dosa, karena melalaikan suatu kewajiban.7

Wujud warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam sangat berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris Barat sebagaimana diatur dalam Burgerlijk Weetbook (BW) maupun menurut hukum waris adat. Warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam adalah sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih. Dalam artian bahwa harta peninggalan yang akan diwariskan oleh si mayat kepada ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh

6

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.13.

7

(13)

4

wafatnya si peninggal waris.8 Wujud harta peninggalan menurut hukum perdata Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Weetbook (BW) yaitu meliputi seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.9

Jadi harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris tidak hanya meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa keuntungan, melainkan juga termasuk hutang-hutang si pewaris.

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta pelebaran secara meluas, penulis akan membatasi permasalahan ini pada “Status Kewarisan Anak Perempuan Bungsu Dalam Adat Kewarisan Rumah Di Kampung Sukamaju Desa Darangdan Kecamatan

Darangdan Kabupaten Purwakarta” .

2. Perumusan Masalah

Baik dalam Al-Qur’an atau Hadits, tidak ada yang menjelaskan tentang keistimewaan bagi anak perempuan bungsu dalam memperoleh harta waris,

8

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: PT. Refika Aditama, Juni 2007), h. 13.

9

(14)

tetapi hal tersebut berbeda dengan kenyataannya, karena pembagian waris yang terjadi di kampung Sukamaju antara teori dan praktek berbeda.

Perbedaan proses pembagian harta waris yang terjadi di kampung Sukamaju akan terlihat jelas apabila anak perempuan yang menjadi bungsu.10 Apabila anak laki-laki yang menjadi bungsu, maka rumah pusaka dibagi 2 dengan anak perempuan yang jarak kelahiran lebih dekat dengan anak bungsu laki-laki.

Untuk memperjelas masalah ini, maka dirumuskan masalah-masalah penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep pembagian warisan yang terjadi di kampung Sukamaju? 2. Bagaimana pengaruh anak perempuan bungsu mengenai hal pembagian

rumah dalam kewarisan?

3. Apakah perbedaan sistem pembagian warisan rumah tidak berpengaruh terhadap kerukunan ahli waris?

Dengan pembatasan dan perumusan masalah di atas, diharapkan skripsi ini dapat menjelaskan sesuai dengan tema yang penulis ambil, yaitu “Status Kewarisan Anak Perempuan Bungsu Dalam Adat Kewarisan Rumah.”

10

(15)

6

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Seiring dengan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka yang akan menjadi tujuan dari penelitian skripsi ini adalah:

a. Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Untuk mengetahui tentang alasan-alasan sistem pembagian warisan yang berada di kampung Sukamaju.

c. Untuk mengetahui apakah dalam sistem pembagian warisan yang terjadi di kampung Sukamaju bertentangan dengan Hukum Islam atau tidak.

2. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Agar penelitian ini menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi peningkatan

kesadaran hukum kepada masyarakat khususnya mengenai tatacara pembagian warisan.

b. Bagi masyarakat pembaca umumnya dan mahasiswa khususnya, tulisan ini diharapkan supaya menjadi salah satu sumber bacaan yang dapat dipertimbangkan dalam memecahkan masalah yang relevan.

(16)

D.Kerangka Teori

Indonesia dengan latar belakang yang beraneka ragam dalam hal budaya yang berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lain, perbedaan tersebut menyatu dalam satu wadah, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan.11 Selain itu, hukum waris adat juga meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta-kekayaan dari generasi ke generasi.12

Dalam masyarakat adat berlaku sebuah hukum atau norma yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk dalam hukum waris. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.13 Di Indonesia masih terdapat beraneka ragam hukum kewarisan yang berlaku di lingkungan masyarakat, adapun perbedaannya itu adalah:

1. Hukum kewarisan Islam yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits yang dipahami oleh para ulama dalam bentuk fiqih.

11

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV.Rajawali, Oktober 1981), h. 285

12

Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), h. 151.

13

(17)

8

2. Hukum perdata Barat yang dimuat dalam Burgerlijk Weetbook (BW). 3. Hukum kewarisan adat yang beraneka ragam.14

Hukum waris yang berlaku di Indonesia dewasa ini masih tergantung pada hukumnya si pewaris. Pengertian dari hukumnya si pewaris adalah hukum waris mana yang berlaku bagi orang yang meninggal dunia. Oleh karena itu, apabila yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum waris adat.

E.Review Studi Terdahulu

Sebelumnya penulis sedikit kesulitan untuk mendapatkan review yang benar-benar sama dengan judul skripsi ini, akan tetapi penulis menemukan sebuah skripsi yang sekiranya dapat dijadikan sebagai studi review, yaitu:

1. Judul: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Adat Masyarakat kampung Naga di Tasikmalaya.

Penulis: Aris Riansyah (104044101392)/SAS/PA/1430H/2009M

Dalam skripsi yang ditulis oleh Aris Riansyah hanya menjelaskan tentang tinjauan hukum Islam terhadap kewarisan adat kampung Naga. Sedangkan dalam skripsi yang penulis bahas menitik beratkan kepada hak anak perempuan dalam menerima rumah pusaka.

14

(18)

2. Judul: Bagian Cucu Dalam Kewarisan Perspektif Fiqih Syafi’i, Ajaran Bilateral Hazairin dan Ahli Waris Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Penulis: Ma’min Barry (104044201471)/SAS/AKI/1429H/2008M.

Skripsi ini menjelaskan tentang bagian cucu dalam kewarisan Perspektif Fiqih Syafi’i, Ajaran Bilateral Hazairin Dan Ahli Waris Pengganti Dalam

Kompilasi Hukum Islam. Skripsi yang penulis bahas memang berkaitan dengan masalah kewarisan, akan tetapi pembahasannya terfokus pada pengaruh anak perempuan bungsu terhadap pembagian rumah pusaka dalam kewarisan.

3. Judul: Studi Komparatif Mengenai Hak Anak Luar Kawin Dalam Kewarisan Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW). Penulis: Nida Nur Aida (103044128038)/ SAS/PA/1430H/2009M

Skripsi ini mengkaji tentang Hak Anak Luar Kawin Dalam Kewarisan Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW). Perbedaan dengan skripsi ini adalah pada masalah pembahasannya, penulis menjelaskan tentang pengaruh/kedudukan anak perempuan dalam masalah pembagian warisan.

F. Metode Penelitian

(19)

10

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah dengan cara menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala dalam kehidupan manusia.15

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam suatu individu, kelompok, institusi atau masyarakat tertentu tentang latar belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor atau interaksi-interaksi sosial yang terjadi di dalamnya.16

Selain pendekatan masalah di atas, maka dalam penulisan skripsi ini saya menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap azaz-azaz hukum.17 Penelitian hukum normatif ini selain mencakup terhadap azaz-azaz hukum, akan tetapi penelitian hukum normatif melakukan penelitian dengan cara perbandingan hukum, dan dalam penulisan skripsi ini juga, saya menggunakan penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis).18

15

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hl. 20.

16

Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h. 36.

17

Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum, h. 184.

18

(20)

2. Lokasi Penelitian

Kampung Sukamaju Desa Darangdan Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta.

3. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat.19 Data ini meliputi interview dengan beberapa tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui adat kampung Sukamaju dan kepala Desa setempat.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan,20 selain itu data sekunder juga dapat berupa Al-Qur’an, Hadis, buku-buku ilmiah, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lain yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan cara:

19

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 51.

20

(21)

12

a. Wawancara (Interview), yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.21 Dalam hal ini, penulis mengadakan wawancara dengan informan yaitu: kepala Desa Darangdan dan tokoh masyarakat setempat.

b. Dokumenter dan bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah penelitian. 5. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan hasil wawancara yang diperoleh. Sehingga didapat suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.

6. Teknik Penulisan

Data penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada buku pedoman Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G.Sistematika Penulisan

Dalam penulisan Skripsi , untuk mempermudah dalam memahami, maka penulis membagi isi Skripsi ini menjadi lima bab, tiap bab didalamnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

21

(22)

BAB Pertama : Menjelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, review studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB Kedua : Menjelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kewarisan, yaitu: Pengertian dan dasar hukum waris, rukun dan syarat waris, sebab ada hak waris, derajat ahli waris, penghalang memperoleh hak waris, dan bagian masing-masing ahli waris.

BAB Ketiga : Letak dan geografisnya, sistem kemasyarakatan, adat istiadat dan kebudayaan, konsep kewarisan rumah pusaka bagi anak bungsu perempuan, dan tinjauan hukum Islam terhadap kewarisan adat kampung Sukamaju.

(23)

14

BAB II

PRINSIP UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM

A.Pengertian dan Dasar Hukum Waris 1. Pengertian Hukum Waris

Waris berasal dari bahasa Arab warisa-yarisu-warisan atau irsan/turas, yang berarti mempusakai. Ketentuan-ketentuan tentang pembagian harta pusaka yang meliputi ketentuan tentang siapa yang berhak dan tidak berhak menerima warisan dan berapa jumlah masing-masing harta yang diterima. Selain itu ada juga istilah yang sama artinya dengan waris yaitu fara’id.1

Lafaz al-Farâidh )ضئارفلا(, sebagai jamak dari lafaz faridhah )ةضيرف(, oleh ulama diartikan semakna dengan lafaz mafrudah )ةضورفم(, yakni bagian yang telah dipastikan atau ditentukan kadarnya.2 Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuh mendefinisikan bahwa fiqh mawaris adalah:

.

3

Artinya: “Kaidah-kaidah fiqh dan hitungan-hitungannya yang dari kaidah-kaidah itu diketahui bagian dari harta pusaka untuk setiap ahli waris”.

1

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), Cet. Keenam, Jilid Ke-5, h. 191.

2

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media, November 2002M/Ramadhan 1423H), Cet. Kedua, h. 13.

3

(24)

Sedangkan Hasbi al-Shiddieqy mendefinisikan fikih mawaris sebagai ilmu yang mempelajari tentang orang-orang mawaris dan tidak mewarisi, kadar yang diterima setiap ahli waris dan cara pembagiannya.4

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari fiqih mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa yang termasuk ahli waris, bagian-bagian yang diterima, dan cara penghitungannya.

2. Dasar Hukum Waris

Sumber hukum waris (ilmu faraidh) adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi Muhammad SAW, dan Ijma’ para ulama.5

a. Al-Qur’an

Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang dijadikan sebagai dasar hukum waris,6 adapun ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai sumber hukum waris itu adalah:

Firman Allah yang pertama, menjelaskan bahwa anak laki-laki dan perempuan masing-masing mendapat hak dari harta yang ditinggalkan orang tua dan kerabat, banyak atau sedikitnya bagian mereka sesuai yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, seperti yang tercantum di dalam surat an-Nisa’ (4):7 berikut ini:

4

Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Fiqh Mawaris (Semarang: Pustaka Rizki Purta, 1999), h. 6.

5

Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT RefikaAditama, 2002), Cet. Pertama, h. 3.

6

(25)

16

Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (Qs.an-Nisa/4/14)

Ayat kedua, menjelaskan tentang bagian-bagian anak laki-laki dan perempuan serta bagian ayah dan ibu (al-furu’ dan al-ushul), seperti yang termaktub dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ (4):11

(26)

Ayat ketiga, menjelaskan tentang bagian untuk suami-istri dan anak-anak ibu (saudara seibu bagi si mayat) laki-laki maupun merempuan, hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ (4):12

(27)

18

Ayat keempat, yaitu menjelaskan tentang bagian untuk saudara laki-laki ataupun perempuan, sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ (4):176

Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs.an-Nisa/4/176)

b. Sunnah Nabi Muhammad SAW

Selain al-Qur’an, terdapat pula sumber lain dalam masalah pembagian harta waris, yaitu sunnah (hadits) Nabi Muhammad SAW, adapun hadits Nabi SAW yang dijadikan sebagai sumber hukum dari warisan adalah:

(28)

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu „Abbas r.a bahwa Nabi SAW. pernah bersabda: berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu, sisanya yang lebih utama adalah anak laki-laki”. (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Jabir, yang menjelaskan tentang bagian anak perempuan dan saudara laki-laki.

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir berkata: telah datang istri Sa’ad bin ar-Rabi’ kepada Rasulullah SAW, dengan dua orang anak perempuan Sa’ad dia berkata: “Wahai Rasulullah, ini adalah dua orang anak perempuan Sa’ad bin ar-Rabi’ yang ayahnya meninggal dunia dalam keadaan syahid ketika perang uhud bersamamu, sedangkan paman mereka telah mengambil seluruh harta peninggalannya, sehingga mereka tidak ditinggali harta sedikit pun, dan mereka tidak dapat menikah bila tidak mempunyai harta”, maka Rasulullah menjawab: “Allah-lah yang akan memutuskan perkara tersebut” lalu turunlah ayat-ayat tentang waris. Setelah itu, Rasulullah SAW mengutus sahabat untuk menemui paman mereka, lalu beliau berkata: “Berikanlah dua orang anak Sa’ad dua pertiga, ibu mereka seperdelapan, dan sisanya untuk kamu”. (HR. al -Khamsah kecuali al-Nasa’i)

3. Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah tentang bagian nenek

7

Abu Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz II, (Riyadh: Dar al-Salam,1999), hadits 4141, h. 705.; Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fiy al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyyah.; Juz IV, hadits 6732, h. 233.

8

(29)

20

Artinya: “Diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit bahwa Nabi SAW memberikan kepada dua orang nenek dari harta warisan sebesar seperdelapan untuk mereka berdua”. (HR. Abdullah bin Ahmad)

c. Ijma’

Selain Al-Qur’an dan Hadits, ijma merupakan salah satu dasar hukum pembagian harta waris, diantaranya adalah ijma’ sahabat dan thabi’in

bahwa hak waris untuk nenek adalah seperenam (hikayat Baihaqy dari Muhammad bin Nashar dari mazhab Syafi’i).10

B.Rukun dan Syarat Waris

Dalam masalah pembagian harta waris terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi,11 adapun syarat dan rukunnya itu adalah:

1. Rukun Waris

Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya. Adapun rukun untuk mewarisi ada tiga, yaitu:

9

Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz V/327, hadits 23159, h. 1674.

10

al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, h. 246.

11

(30)

a. Muwarrits yaitu orang yang meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki maupun karena keputusan hakim12 dan harus memiliki harta yang dapat diwarisi kepaad ahli waris (pewaris);

b. Mauruts yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh muwarits (pewaris) yang diwarisi kepada warits (ahli waris);13 dan

c. Warits yaitu oarang yang memiliki hubungan dengan muwarits (pewaris). 2. Syarat Waris

Syarat adalah sesuatu yang karena ketiadaannya tidak ada hukum. Syarat untuk mewarisi ada tiga, yaitu:

a. Matinya muwarrits (orang yang mempusakakan), menurut para ulama kematian muwarrits itu dibedakan kepada 3 (tiga) macam, yaitu:

1) Mati haqiqi yaitu kematian yang nyata disaksikan oleh panca indera (mati sejati);

2) Mati hukmy yaitu kematian atas dasar keputusan atas vonis hakim atas dasar beberapa sebab, seperti: orang yang hilang; dan

3) Mati taqdiri yaitu kematian berdasarkan dugaan keras, seperti: kematian bayi dalam perut ibunya karena ibunya minum racun atau terjadi pemukulan atas perut ibunya.14

12

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 192.

13

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qu’an dan As-Sunnah, (Jakarta: Akbarmedia, Shafar 1431H/Januari 2010M), Cet. Ketiga, h. 486.

14

(31)

22

b. Hidupnya ahli waris di saat kematian mruwarits (pewaris), dan c. Tidak ada penghalang untuk mewarisi.15

C.Sebab Ada Hak Waris

Sebab seseorang mendapatkan hak waris ada tiga, yaitu:

1. Kerabat hakiki, yaitu antara pewaris dengan ahli waris ada hubungan nasabiyah, seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.16

2. Perkawinan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.17

3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum, misalnya seperti sebab memerdekakan budak.18

D.Derajat Ahli Waris

Tidaklah seluruh ahli waris itu berada di dalam suatu derajat yang sama, akantetapi mereka berada di dalam derajat yang berbeda-beda. Dengan adanya

15

Fatur Rahman, Ilmu Waris, h. 50.

16

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media, November 2002M/Ramadhan 1423H), Cet. Kedua, h. 30.

17

Asymuni A. Rahman dkk, Ilmu Fiqh 3, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana IAIN Departemen Agama, 1986), h. 34.

18

(32)

perbedaan derajat ahli waris yang berbeda-beda maka di dalam pembagian harta waris itu didahulukan berdasarkan derajat mereka masing-masing, adapun susunannya adalah:

1. Ashabul furudh adalah para ahli waris yang mempunyai bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ (dalam Al-Qur’an), yang bagiannya itu tidak akan

bertambah atau berkurang, kecuali dalam masalah-masalah yang terjadi radd19 atau ‘aul.20

2. Ashabah nasabiah yaitu ahli waris karena adanya hubungan keturunan yang terdiri dari asabah bi nafsihi (menjadi asabah dengan sendirinya), asabah bi al-gair (menerima sisa harta waris karena perantara yang lain dalam hal hubugan nasab), dan asabah ma’a al-gair (menerima sisa harta waris beserta yang lain).21

3. Raad atau penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagiannya (kecuali suami istri) adalah mengembalikan sisa harta warisan kepada ashabul furud menurut bagian yang ditentukan mereka ketika tidak adanya ashabah nasabiah.22

4. Dzawil arham yaitu orang yang ada hubungan kerabat dengan yang meninggal dunia, tetap tidak termasuk ashabul furudh. Misalnya, paman (saudara ibu),

19

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 66.

20

Aul adalah bertambahnya saham dzawil furudh dan berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka atau bertambahnya jumlah bagian yang ditentukan dan berkurangnya bagian masing-masing ahli waris.

21

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h.192.

22

(33)

24

bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan, dan tidak juga masuk ahli waris asabah.23

5. Radd kepada suami atau istri, apabila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashabul furudh, ashabah, dan tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya. 6. Ashabah Sababiah yaitu ahli waris karena memerdekakan orang yang

meninggalkan harta pusaka dengan status hamba. Misalnya, apabila ada seorang bekas budak yang meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya itu termasuk ke dalam salah satu ahli waris dan sebagai ‘ashabah. Tetapi pada masa sekarang ini sudah tidak ada lagi.

7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta peninggalan, yaitu apabila orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris, dan tidak ada yang diakukan nasab kepada orang lain, wasiat tersebut tetap dapat dilaksanakan (bukan salah seorang dari ahli waris).24

23Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah,

Fiqih Wanita Edisi Lengkap, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, April 2007), Cet. Kedua Puluh Empat, h. 533.

24

(34)

8. Baitul maal, yaitu rumah harta atau semacam balai harta yang khusus menerima, menyimpan dan mengatur harta umat Islam untuk kemanfaatan umat Islam dan agama Islam.25 Harta waris diserahkan ke baitul maal apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat, maka seluruh harta peninggalannya itu diserahkan kepada baitul maal guna untuk kemaslahatan kaum Muslimin.26

E.Penghalang Memperoleh Hak Waris

Penghalang pewarisan adalah hal-hal, keadaan, atau pekerjaan yang menyebabkan seseorang terhalang untuk mendapatkan haarta waris,27 padahal dilihat dari syarat dan sebab memperoleh harta waris telah mencukupi.28 Adapun penghalang untuk memperoleh harta waris adalah:

1. Pembunuhan

Jumhur fuqaha telah bersepakat bahwa pembunuh itu merupakan salah satu penghalang untuk mendapatkan hak waris. Dengan demikian, seorang

25

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, November 2008), Cet. Kedelapan, h. 100.

26

Muhammad Ali al-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), h. 53.

27

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 32.

28

(35)

26

pembunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan orang yang telah dibunuhnya29.

Sabda Nabi Muhammad SAW:

Artinya: “Diriwayatkan dari „Amr ibn Syu’aib dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Nabi SAW. pernah bersabda: Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikit pun”. (HR. Abu Dawud)

Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Diriwayatkan dari Sayidina „Umar r.a. berkata: Saya pernah mendengar bahwa Nabi SAW. bersabda; Tidak ada hak bagi si pembunuh untuk mewarisi”. ( HR. Malik, Ahmad, dan Ibnu Majah)

2. Berlainan Agama

Berlainan agama merupakan salah satu penghalang untuk mewarisi dalam hukum waris. Dengan demikian, orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang Islam dan orang Islam pun tidak dapat mewarisi harta orang kafir.32 Hal ini dijelaskan oleh sabda Nabi Muhammad SAW.

29Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL

-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 56.

30

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz IV, hadits 4564, h. 189.

31

Malik bin Anas, al- Muwaththo, (al- Maktabah al-Syamilah), hadits 3229.; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz I/49, hadits 347, h. 52.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz III.

32Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL

(36)

Artinya: “Diriwayatkan dari Usman ibn Zaid bahwa Nabi SAW. pernah bersabda: Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam”. (HR. Jma’ah kecuali Muslim san al- Nasa’i)

Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda:

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin „Amir bahwa Nabi SAW. pernah bersabda: Tidak dapat saling mewarisi dua orang pengikut agama yang berbeda-beda”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

3. Perbudakan

Perbudakan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinjau dari dua sisi, baik statusnya sebagai orang yang mewarisi harta peninggalan maupun sebagai orang yang mewariskan harta peninggalan. Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya niscaya yang memiliki harta warisan tersebut adalah tuannya. Budak pun tidak dapat mewariskan harta peninggalan kepada ahli warisnya karena ia dianggap tidak mempunyai sesuatu, seandainya ia mempunyai sesuatu maka kepemilikannya dianggap tidak sempurna kemudian kepemilikannya tersebut beralih kepada tuannya.35 Adapun dasar

33

al-Bukhari, Shahih Bukhari, juz IV, hadits 6764, h. 240.; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz V/200, hadits 22090, h. 1588.; al-Tirmidzi, Kutub al-Sittah/jami’ al-Tirmidzi, hadits 2107, h. 1862.; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz III, hadits 2909, h.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu majah, juz III, hadits 2729, h. 161.

34

Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz II/178, hadits 6664, h. 478.; Abi Dawud, juz III, hadits 2911, h. 125.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz III, hadits 2731, h. 161.

35Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL

(37)

28

hukum budak tidak dapat waris-mewarisi adalah firman Allah SWT. Di dalam Qs. Al-Nahl (16): 75

Artinya: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui”. (Qs. . Al-Nahl/16/75)

F. Bagian Masing-masing Ahli Waris

Baik di dalam al-Qur’an maupun Kompilasi hukum Islam (KHI) telah ditentukan bahwa ada enam macam bagian-bagian ahli waris, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).36 Adapun pembagiannya sebagai berikut:

1. Bagian Setengah (1/2)

Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian setengah dari harta peninggalan ada lima, yaitu: suami, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seayah.

a. Suami

Seorang suami mendapatkan setengah harta apabila simayat tidak meninggalkan anak, sebagaiman yang terdapat dalam Kompilasi Hukum

36

(38)

Islam (KHI) pasal 179, yang berbunyi: “Duda mendapatkan separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperenam bagian”.37

b. Anak Perempuan

Anak perempuan berhak mendapatkan bagian setengah dari harta warisan, apabila anak perempuan tersebut itu adalah anak tunggal dan apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.38

Firman Allah SWT: separuh harta...”. (Qs. an-Nisa/4/11)

c. Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki

Cucu perempuan mendapatkan setengah bagian apabila cucu tersebut tunggal, tidak berbarengan dengan anak laki-laki maupun anak perempuan pewaris, dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.39

d. Saudara Perempuan Sekandung (seayah/seibu)

Saudara perempuan sekandung (seayah/seibu) mendapatkan bagian dari harta warisan apabila tidak ada saudara laki-laki sekandung, tidak ada ahli waris keturunan si pewaris, tidak ada ahli waris leluhur si pewaris (ayah

37

Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: akademika Pressindo, 2007), Cet. Pertama, h. 158.

38

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 68.

39

(39)

30

atau kakek), dan saudara perempuan sekandung tersebut adalah saudara tunggal. Firman Allah SWT:

Artimya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).40 Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya...”. (Qs.An-Nisa/4/176)

e. Saudara Perempuan Seayah

Saudara perempuan seayah akan mendapatkan bagian setengah dari harta peninggalan pewaris, apabila tidak ada saudara sekandung, baik laki-laki maupun perempuan, tidak ada saudara laki-laki-laki-laki seayah, tidak ada ahli waris keturunan si pewaris, tidak ada ahli waris leluhur si pewaris (ayah atau kakek), dan saudara perempuan seayah tersebut adalah saudara tunggal (tidak ada saudara perempuan lainnya, baik sekandung maupun seayah).41 2. Bagian Seperempat (1/4)

Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperempat dari harta peninggalan hanya ada dua orang, yaitu:

a. Suami

40

Kalalah Ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.

41

(40)

Suami mendapat bagian seperempat apabial pewaris meninggalkan anak,42 selain itu apabila si pewaris meninggalkan cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki.43 Firman Allah SWT:



Artinya: “...jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya...”. (Qs. An-Nisa/4/12)

b. Istri

Istri merupakan salah-satu ahli waris yang mendapatkan bagian seperempat dari harta waris si mayat, baik isteri berjumlah satu ataupun lebih. Isteri mendapatkan bagian seperempat apabila tidak ada ahli waris keturunan si mayat.

Artinya: “...para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak...”. (Qs. an-Nisa/4/12)

3. Bagian Seperdelapan (1/8)

Ahli waris yang mendapatkan seperdelapan harta peninggalan si mayat hanya ada satu orang, yaitu istri (baik seorang maupun lebih). Istri mendapatkan seperdelapan apabila si pewaris bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayat (suami).

Firman Allah SWT:

42

Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: akademika Pressindo, 2007), Cet. Pertama, h. 158.

43

(41)

32 seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu...”. (Qs. an -Nisa/4/12)

4. Bagian Dua pertiga (2/3)

Ahli waris yang menerima bagian dua pertiga ada empat orang, yaitu: a. Dua orang atau lebih anak perempuan akan mendapatkan bagian dua pertiga

apabila ia tidak bersama-sama dengan anak laki-laki.

b. Dua orang atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan bagian dua pertiga harta waris apabila, tidak ada anak laki-laki maupun anak perempuan dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.44

c. Dua orang atau lebih saudara perempuan kandung atau lebih mendapat bagian dua pertiga dengan ketentuan bahwa mereka tidak bersama dengan saudara laki-laki sekandung, tidak bersamaan dengan bapak, dan far’ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki).

d. Dua orang atau lebih saudara perempuan seayah mendapat bagian dua pertiga denagan ketentuan bahwa mereka tidak mewarisi bersama saudara laki-laki sebapak, tidak bersamaan dengan bapak, dan tidak bersama far’ul

44

(42)

mawaris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki), serta saudara laki-laki atau perempuan sekandung.45

5. Bagian Sepertiga (1/3)

Ahli waris yang mendapatkan bagian sepertiga ada dua golongan, yaitu: a. Ibu

Ibu mendapatkan 1/3 dari harta waris apabila si pewaris tidak mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan, tidak mempunyai cucu perempuan dari anak laki-laki kandung,46 dan tidak mempunyai dua saudara atau lebih, baik itu saudara laki-laki maupun perempuan, baik saudara kandung, seayah, maupun seibu.47 Firman Allah SWT:

diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya...”. (Qs.an -Nisa/4/11)

45

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 70.

46‘Abd Al

-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, (Jakarta: Zaman, 2009), Cet. Pertama, h. 145.

47

(43)

34

b. Dua Orang/Lebih Saudara Seibu (saudara laki-laki/perempuan seibu saja) Apabila si mayit tidak mempunyai anak, baik anak laki-laki maupun perempuan, dan tidak meninggalkan ayah. Maka kedua saudara tersebut mendapatkan 1/3 dari harta waris.48 Firman Allah SWT:

 tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu...”. (Qs. an-Nisa/4/12) 6. Bagian seperenam (1/6)

Ahli waris yang berhak mendapatkan seperenam bagian dari harta peninggalan ada tujuh orang, yaitu:

a. Bapak

Bapak mendapatkan 1/6 harta waris apabila ia berbarengan dengan anak laki-laki dan anak perempuan si mayat.49

Firman Allah: Syariah dan Humum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: 1430H/2099M), h. 35.

49

(44)

Artinya: “...dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak...”. (Qs.an-Nisa/4/11)

b. Ibu

Ibu mendapatkan 1/6 dari harta waris apabila ibu bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayat atau bersama dua orang atau lebih saudara laki-laki maupun permpuan.50 Firman Allah SWT:



Artinya: “... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya...”. (Qs. an-Nisa/4/11)

c. Kakek

Apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, istri, dan seorang saudara laki-laki, maka kakek mendapatkan 1/6 dari harta waris.51

Firman Allah SWT: seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak...”. (Qs. an-Nisa/4/11)

d. Nenek

50

Aris Riansyah, Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya. h. 37.

51

(45)

36

Nenek akan menerima 1/6 bagian dari total harta pusaka dan jumlah nenek tidak lebih dari empat orang, baik nenek dari pihak bapak atau ibu atau ibu dari bapak dan ibunya.52

e. Cucu perempuan dari anak laki-laki

Cucu perempuan dari anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian 1/6 apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak perempuan, tidak ada bersama cucu perempuan tersebut cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan si pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Selain itu, tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang.53

f. Saudara perempuan seayah

Apabila saudara perempuan seayah berbarengan dengan saudara perempuan kandung, maka saudara perempuan seayah akan menerima warisan sebesar 1/6 dari harta waris.54

g. Seorang saudara perempuan seibu (laki-laki maupun perempuan)

Seorang saudara seibu berhak mendapatkan 1/6 dari harta peninggalan dengan syarat: apabila tidak ada keturunan si mayat, dan tidak ada ahli waris leluhur si mayat dari golongan laki-laki.55

52

A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Mei 2002), Cet. Pertama, h. 395.

53

Aris Riansyah, Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya. h. 41.

54

A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), h. 393.

55

(46)

37

KONTEKS HUKUM ISLAM

A.Letak dan Geografisnya

Kampung Sukamaju merupakan perkampungan tingkat dusun yang merupakan dari wilayah Desa Darangdan. Pada umumnya, kampung Sukamaju mempunyai batasan-batasan wilayah, yaitu: sebelah timur berbatasan dengan dusun empat Babakan, sebelah barat berbatasan dengan dusun tiga Darangdan, sebelah utara berbatasan dengan Desa Gunung Hejo, dan sebelah selatan berbatasan dengan dusun dua Darangdan.1

Luas wilayah kampung Sukamaju kurang lebih 60 hektar yang terbagi ke dalam pemukiman warga, perkebunan, dan pesawahan. Secara administratif, kampung Sukamaju termasuk ke dalam desa Darangdan Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat. Kampungan Sukamaju memiliki 578 bangunan, terdiri dari 572 rumah, satu sekolah Dasar dan satu sekolah Diniah (MDA), satu sekolah menengah pertama yaitu SMP, dan terdapat tiga bangunan masjid.2

Desa Darangdan terdiri dari 9 RW, 4 kepala dusun, dan 32 RT. Kampung Sukamaju terdiri dari 3 RW dan 12 RT dan jumlah dari penduduk kampung

1

Wawancara Pribadi dengan Sofyan, Purwakarta 10 Maret 2011.

2

(47)

38

Sukamaju itu kurang lebih terdiri dari 1.680 jiwa. Dengan demikian kampung Sukamaju merupakan salah-satu dari wilayah administratif Desa Darangdan, untuk menuju kampung Sukamaju dari jalan raya sangat mudah karena kampung Sukamaju tepat berada di samping jalan raya.3

B.Sistem Kemasyarakatan, Adat Istiadat dan Kebudayaan 1. Sistem Kemasyarakatan

Tokoh masyarakat kampung Sukamaju mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan masyarakatnya, hal ini disebabkan ketika salah satu dari masyarakatnya memiliki suatu masalah maka tokoh masyarakat tersebut selalu diminta pendapat untuk memecahkannya. Dalam hal ketaatan masyarakat kampung Sukamaju ada terkecualinya, yaitu dalam masalah pembagian sistem waris, meskipun kiyai atau ustadz itu dalam pembagian harta waris menyuruh kepada masyarakatnya untuk memakai sistem waris dua berbanding satu tetapi masnyarakatnya itu tidak melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini, masyarakat kampung Sukamaju beranggapan bahwa sistem waris dua berbanding satu itu kurang adil.

Secara umum yang menjadi tokoh masyarakat adalah seorang kiyai atau ustadz yang memahami banyak tentang ilmu Agama Islam. Pada saat ini sistem kemasyarakatan kampung Sukamaju sedang mengalami transisi, yaitu dari sifat tradisional menuju ke modern. Selain itu, partisipasi tokoh masyarakat sangat

3

(48)

vital dalam membina kesadaran masyarakat kampung Sukamaju, hal ini dapat terlihat dalam sistem kemasyarakatannya, yaitu:

a. Sistem Pelapisan Sosial

Masyarakat kampung Sukamaju selalu mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat oleh ketua RT atau RW, tetapi sebelum masyarakat mematuhi peraturan tersebut terlebih dahulu mereka selalu menanyakan kepada kiyai/ustadz apakah peraturan tersebut perlu di taati atau tidak?

Di kampung Sukamaju terdapat sifat gotongroyong yang tinggi. Hal ini terlihat ketika ada keluarga yang sedang membangun rumah, maka masyarakat kampung Sukamaju selalu membantu dengan tenaga atau memberikan makanan kepada keluarga tersebut. Selain itu, ketika ada keluarga yang akan menikahkan/mengkhitan anaknya, masyarakat kampung Sukamaju selalu membantu untuk membuat tenda dan memasak.

b. Sistem Kepemimpinan

Kampung Sukamaju merupakan salah satu kampung yang berada di daerah Jawa Barat yang memiliki dua bentuk sistem kepemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal adalah hasil atas dasar pemilihan rakyat dan mendapat legitimasi dari pemerintah. Kepemimpinan formal di kampung Sukamaju dipegang oleh RW dan ketua RT yang langsung berhubungan dengan sistem pemerintah.4

4

(49)

40

Kepemimpinan informal adalah kepemimpinan yang dipegang langsung oleh tokoh masyarakat (kiyai/ustadz) yang memahami banyak tentang ilmu Agama Islam dan bisa dimintai pendapat untuk memecahkan suatu masalah yang timbul di masyarakat.5

2. Adat Istiadat dan Kebudayaan

Dalam kehidupan bermasyarakat, di kampung Sukamaju terdapat beberapa adat yang sering dilakukan oleh warganya, yaitu:

a. Acara Peringatan Hari Besar Islam

Sebelum acara penyambutan hari besar Islam, terlebih dulu masyarakatnya membentuk susunan ketua panitia yang dilakukan satu bulan sebelum acara berlangsung dan dilakukan dengan cara bermusyawarah yang dipimpin oleh sesepuh6 kampung. Hari-hari besar Islam yang suka diperingati adalah acara maulid, isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW, rabu wakasan, dan acara satu muharam.

Dalam pelaksanaan hari besar Islam, biasanya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti melakukan tablig akbar, membaca shalawat Nabi, membaca al-Qur’an, dan melakukan shalat tasbih berjamaah yang berlangsung di dalam/di luar masjid, apabila pelaksanaan acara

5

Wawancara Pribadi dengan Sofyan. Purwakarta, 10 Maret 2011.

6

(50)

peringatan hari besar Islam itu dilakukan di luar masjid maka akan dibuatkan tenda dilengkapi dengan kursi.

b. Tradisi Bangun Rumah

Dalam tradisi bangun rumah terdapat kebiasaan yang suka dilakukan oleh masyarakatnya, yaitu menancapkan bendera merah putih di atas atap rumah dengan tujuan untuk mengenang dan menghormati jasa-jasa para pahlawan yang telah susah-payah untuk mengibarkan bendera merah putih di bumi pertiwi ini.

Pada waktu dulu terdapat kebiasaan yang bertentangan dengan hukum Islam yaitu mengubur sesuatu di bawah tanah yang akan dijadikan ruang tamu. Lama-kelamaan kebiasaan ini hilang dengan sendirinya, karena secara umum masyarakatnya menyadari bahwa kebiasaan tersebut menyimpang dari ajaran Islam.

c. Tradisi dalam Perkawinan

(51)

42

d. Larangan Bepergian Pada Hari Sabtu

Selain kebiasaan-kebiasaan di atas, di kampung Sukamaju terdapat sebuah larangan untuk bepergian pada hari sabtu, karena masyarakatnya beranggapan bahwa hari sabtu merupakan hari yang kurang baik untuk bepergian.

Larangan bepergian pada hari sabtu suka dikaitkan dengan musibah yang menimpa pada keluarga. Misalnya dikaitkan dengan kematian salah-satu anggota keluarganya yang meninggal pada hari sabtu yang disebabkan kecelakaan ketika sedang bepergian. Larangan ini hanya dilakukan oleh sekelompok minoritas dan sekarang hampir tidak ada.7

C.Konsep Kewarisan Rumah Pusaka Bagi Anak Bungsu Perempuan

Berbicara dengan hukum waris adat, ada baiknya terlebih dahulu memahami pengertiannya sebagai pegangan untuk melangkah kepada pembahasan selanjutnya. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari satu generasi kepada keturunannya.8 Ter Haar, menyatakan:

“Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana

7

Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh. Purwakarta, 28 Februari 2011.

8

(52)

dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi”.9

Soepono menyatakan bahwa hukum waris: “Memuat peratutan-peraturan

yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriel goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai dalam

waktu orang tua masih hidup”.10

Dengan demikian hukum waris merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur cara meneruskan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan ini dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah meninggal dunia.

Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan harta waris itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu pula siapa yang mendampingi ketika berlangsung pembagiannya.11

Menurut hukum waris adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan yang disebut

9

Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV.Rajawali, Oktober 1981), h. 285.

10

Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia, h. 285.

11

(53)

44

tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul. Pada waktu pembagiannya suka berlangsung lancar, karena ketika pembagian waris berlangsung biasanya didampingi oleh orang yang dapat dipercaya.12

Tatacara pembagian hukum waris adat ada 2 kemungkinan yaitu: dengan cara bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan, atau dengan cara bagi antara anak laki-laki dengan perempuan seimbang (sama).13

Dalam pembagian waris, di kampung Sukamaju terdapat 3 kemungkinan yaitu: 2 berbanding 1, bagi rata, sistem waris ini untuk menjaga kerukunan sesama ahli waris,14 dan sistem waris ke-3 yaitu secara khusus rumah pusaka diberikan kepada anak bungsu laki-laki/perempuan.15 Sistem hukum waris 2 berbanding 1 tidak terlalu banyak digunakan oleh masyarakatnya.16

Secara umum sistem waris yang ke-3 sama dengan sistem waris ke-2 (bagi rata), perbedaannya terletak pada pembagian rumah pusaka. Apabila yang menjadi anak bungsu laki-laki maka rumah pusaka akan dibagi dua dengan anak

12

Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh, Purwakarta, 28 Februari 2011.

13

Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 21-23.

14

Wawancara Pribadi dengan Kundung Feri, Purwakarta, 28 Februari 2011.

15

Anak bungsu laki-laki/perempuan: Kemungkinan ketika orang tuanya meninggal anak bungsu tersebut masih kecil dan masih duduk di sekolah SMP/SMU, berbeda dengan anak kakanya yang sudah menyelesaikan S1 (biaya yang dikeluarkan buat anak bungsu baru sedikit, sedangkan bagi kakanya sudah banyak biaya yang besar).

16

(54)

perempuan yang mempunyai jarak kelahiran lebih dekat dengannya,17 sedangkan ketika yang menjadi anak bungsu perempuan maka rumah secara keseluruhan menjadi miliknya.18

Berlakunya sistem waris ke-3 yaitu untuk menghindari timbulnya kemadharatan dimasa yang akan datang, karena secara umum apabila sistem pembagian waris tidak menggunakan sistem waris ini maka dikemudian hari suka terjadi permasalahan atau pertengkaran antara ahli waris. Secara umum permasalahan yang timbul disebabkan dengan pemakaian sistem waris 2 berbanding 1. Untuk mencegah permasalahan tersebut, maka secara khusus anak perempuan bungsu akan mendapatkan bagian dari rumah pusaka.19

Dalam masalah pembagian waris, biasanya yang menjadi ahli waris terpenting adalah anak kandung sendiri. Dengan adanya anak kandung maka anggota keluarga yang lain menjadi tertutup untuk menjadi ahli waris. Selain anak tersebut ada ahli waris yang lainnya juga, yaitu suami atau istri si mayat. Apabila si mayat tidak mempunyai anak, maka selain harta warisnya diberikan kepada

17

Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh, Purwakarta, 28 Februari 2011.

18

Anak bungsu perempuan: Biasanya mempunyai peranan yang lebih dalam mengurus ke-2 orang tuanya dibandingkan dengan anak laki-laki, peranan tersebut terlihat ketika ke-2 orang tuanya sedang menderita sakit/ lanjut usia, ketika orang tuanya mengalami sakit/telah lanjut usia maka anak perempuanlah yang suka mengurusnya. Apalagi anak perempuan bungsu selain mengurus orang tua yang sedang sakit/lanjut usia, maka untuk sementara waktu ia akan tinggal bersama ke-2 orang tuanya dengan maksud untuk mempermudah dalam membantu segala keperluan orang tuanya.

19

(55)

46

suami atau istrinya harta tersebut diberikan kepada keluarga dekat yaitu ibu, bapak, kakek, nenek, dan kakak laki-laki si mayat.20

D.Radius Pengaruh Sistem Kewarisan Kampung Sukamaju

Sebelum saya menjelaskan tentang radius dari sistem kewarisan yang berlaku di kampung Sukamaju, maka terlebih dahulu saya akan memperjelas apakah sistem waris yang terdapat di kampung Sukamaju itu dilakukan oleh segolongan minoritas atau segolongan mayoritas.

Pada umumnya, masyarakat yang berada di kampung Sukamaju dalam masalah pembagian warisan mereka memakai sistem waris hukum adat yaitu anak bungsu mendapatkan rumah pusaka, baik anak bungsunya itu laki-laki atau perempuan. Tetapi ketika yang menjadi anak bungsunya perempuan maka pembagian rumah pusaka berbeda ketika yang menjadi anak bungsunya itu laki-lakai, apabila yang menjadi anak bungsunya perempuan maka rumah pusaka sepenuhnya menjadi milik anak perempuan bungsu tersebut, sedangkan ketika yang menjadi anak bungsunya itu laki-laki maka rumah pusaka akan dibagi dua dengan anak perempuan yang mempunyai jarak kelahiran yang lebih dekat dengan anak bungsu laki-laki tersebut.

Pada masalah pembagian harta waris lainnya seperti uang, tanah, dan yang lainnya yaitu dengan cara bagi rata antara anak laki-laki maupun anak perempuan,

20

(56)

hal ini disebabkan karena bertujuan untuk mencegah timbulnya permasalahan atau pertengkaran yang terjadi dimasa yang akan datang antara ahli waris yang satu dengan ahli waris yang lainnya.

Untuk mengetahui apakah radius dari sistem kewarisan yang berlaku di kampung Sukamaju itu mempunyai dampak atau pengaruh terhadap kampung yang berada di sekitarnya atau tidak, maka untuk memperoleh data tersebut saya bertanya kepada masyarakat kampung Sukamaju itu sendiri.

(57)

48

E.Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Adat Kampung Sukamaju Pada waktu Islam belum datang ke tanah Arab, manusia masih mempergunakan hukum waris dalam bentuk peraturan yang bertentangan dengan fitrah manusia. Orang Arab jahiliyah tidak memberikan warisan pada wanita.21 Hal ini sesuai dengan kutipan di bawah ini:

Artinya: “...Orang Jahiliyah yang mendapatkan warisan itu hanya anak laki-laki sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan...”

Untuk itu Allah SWT menurunkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi:



Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan...”. (Qs.an-Nisa/4/11)

Selain itu terdapat hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Jabir

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir berkata: telah datang istri Sa’ad bin ar-Rabi’ kepada Rasulullah SAW, dengan dua orang anak perempuan Sa’ad dia berkata:

21

Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta: Literata, 2010), h. 15.

22

Imam Taqyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Husaeni Husni Al-Damsyiqii Asysyaafi’i, Kifâyah al-Akhyâr,(Bandung: Perpustakaan Ma’arif), h. 17.

23

Referensi

Dokumen terkait

16 Pembagian harta warisan berdasarkan hukum waris adat oleh masyarakat Suku Samin, salah satunya menempatkan keberadaan kedudukan anak dan janda sebagai salah

GALIH RANDU KELING NIM. KAJIAN YURIDIS PEMBAGIAN HARTA WARISAN BAGI ANAK DI LUAR PERKAWINAN BERDASARKAN HUKUM WARIS ADAT DI DESA KALIWIRO KECAMATAN KALIWIRO KABUPATEN

Tata Cara pembagian warisan pada masyarakat adat Nias di Kecamatan Gomo dan Masyarakat Nias di Kecamatan Telukdalam adalah harta pusaka maupun harta keluarga

masalah pembagian harta warisan yang dapat dibicarakan dari sudut hukum waris.. Islam atau waris KUH Perdata, tetapi jika melihat dari sudut hukum Adat

Perlindungan hukum yang diberikan bagi anak perempuan dalam mendapatkan hak waris berdasarkan hukum adat Dusun Sade ialah hanya dalam bentuk warisan perabotan rumah

Pembagian warisan ini dilakukan dengaan melibatkan ketua adat, hatobangon dihuta, serta kepala desa dan saksi-saksi, pembagian warisan menurut adat ini dilakukan karena tidak

Praktik pembagian harta warisan di Desa Ampekale dengan menguntungkan anak laki-laki tertua atau ana‟ urane mat oa dan anak bungsu bisa saja terjadi permasalahan karena

Tetapi dalam hal pembagian harta waris, masih berbeda dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Hukum Islam, dimana pembagian harta waris di Kampung Naga dilaksanakan ketika pewaris