• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit (Studi di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit (Studi di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat ber-Bhinneka Tunggal Ika, yang

berbeda-beda Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) dan kemudian bersatu

dalam satu kesatuan negara Pancasila sejak tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum

Indonesia merdeka berbagai masyarakat itu berdiam di berbagai kepulauan yang

besar dan kecil yang hidup menurut hukum adatnya masing-masing, sehingga Van

Vollenhoven membagi-bagi bangsa Indonesia itu kedalam 19 lingkungan hukum

adat.1

Negara Indonesia yang penduduknya mempunyai aneka ragam adat

kebudayaan. Dalam adat kebudayaan tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan

dengan hukum. Sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat (2)

yang berbunyi :

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang”.

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada kongres I pada

tahun 1999, bahwa masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang

(2)

memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta

memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.2

Menurut Soepomo, masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua

golongan menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan pertalian suatu keturunan

(genealogi) dan yang berdasar lingkungan daerah (teritorial). Dari sudut bentuknya,

masyarakat hukum adat tersebut ada yang yang berdiri sendiri, menjadi bagian dari

masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat

hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan perserikatan dari beberapa

masyarakat hukum adat yang sederajat. Masing-masing bentuk masyarakat hukum

adat tersebut dapat dinamakan sebagai masyarakat hukum adat yang tinggal,

bertingkat, dan berangkai.3

Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya

hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan

kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang menjadi wadah dari

pola-pola interaksi sosial atau hubungan inter personal maupun hubungan antar

kelompok sosial.4

Sebagian masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bertempat tinggal

di pedesaan yang masih memegang tradisi lokal yang kuat. Setiap anggota

masyarakat di pedesaan pada umumnya sangat menghormati adat istiadat yang

2 Bambang Daru Nugroho, Hukum Adat ( Hak Mengusai Negara Atas Sumber Daya Alam Kehutanan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat), PT. Refika Aditama, Bandung, 2015, Hlm. 82.

(3)

diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun bahkan adat-istiadat merupakan

dasar utama hubungan antar personal atau kelompok.5

Adat istiadat atau kebiasaan masyarakat tersebut kemudian berkembang

menjadi hukum adat dimana diharus dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat.

Hukum adat dalam masyarakat adat, masih dianggap sebagai aturan hidup untuk

mencapai kedamaian dalam masyarakat.6

Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting dalam rangka

pembangunan hukum nasional yang menuju ke arah peraturan perundang-undangan.

Unsur-unsur kejiwaan hukum adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia

perlu dimasukkan ke dalam peraturan hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai

dengan dasar keadilan dan perasaan hukum masyarakat Indonesia.

Istilah hukum adat adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda yaitu

adatrecht. Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memakai istilah adatrecht

itu. Istilah adatrecht kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh van Vollenhoven

sebagai teknis Juridis.7

Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku positif

yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain tidak dikodifikasikan

(adat). Sedangkan menurut Terhaar, “ hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh

keputusan-keputusan, keputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan

(4)

beribawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-

perbuatan hukum atau dalam hal pertentangan kepentingan. Keputusan para hakim

yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu karena

kesewenangan atau kurang pengertian, tidak bertentangan dengan hukum rakyat

melainkan senapas seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/ diakui atau

setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya”. 8

Van Vollenhoven dalam bukunya membagi-bagi seluruh daerah Indonesia

menjadi 19 (Sembilan belas) lingkungan hukum adat, adapun 19 (Sembilan belas)

lingkungan hukum adat yaitu:9

1. Aceh ( Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeule)

2. Tanah Gayo, Alas, Batak beserta Nias

17.Jawa Tengah dan Timur ( Beserta Madura)

(5)

Lingkungan masyarakat hukum adat di atas dengan bagian-bagian lingkungan,

suku bangsa, tempat kediaman dan daerahnya sebagaimana diuraikan tersebut adalah

berdasarkan kenyataan-kenyataan yang diketemukan atau diperkirakan pada masa

sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk masa sekarang agaknya pembagian

serupa itu sudah tidak sesuai lagi dikarenakan terjadinya perubahan dan

perkembangan masyarakat.

Dengan adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota, dari suatu daerah ke

daerah lain (transmigrasi), akibat pelaksanaan pembangunan, percampuran penduduk

dari berbagai suku bangsa, dan sebagainya maka lingkungan hukum adat dan

masyarakat hukum adat sudah mengalami perubahan. Mengenai bentuk masyarakat

hukum adat dan wilayah hukum adat diatas, maka perlu diketahui bahwa suku bangsa

Indonesia memiliki 366 suku bangsa, tersebar di seluruh kepulauan nusantara yang

terdiri atas:

1. Sumatera terdiri dari 49 suku bangsa

2. Jawa terdiri dari 7 suku bangsa

3. Kalimantan terdiri dari 73 suku bangsa

4. Sulawesi terdiri dari 117 suku bangsa

5. Nusa Tenggara terdiri dari 30 suku bangsa

6. Maluku-Ambon terdiri dari 41 suku bangsa

7. Irian Jaya terdiri dari 49 suku bangsa10

Di dalam masyarakat hukum adat terdapat adat-istiadat. Di dalam adat-istiadat

tersebut masyarakat bangsa Indonesia juga menganut berbagai agama dan

kepercayaan yang berbeda-beda, juga mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan

sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak

(6)

dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam, dan Kristen. Sistem

keturunan yang berbeda–beda ini bisa berdampak pengaruhnya dalam sistem

pewarisan hukum adat.11

Pembangunan hukum nasional haruslah berakar dan diangkat dari hukum

rakyat yang ada, sehingga hukum nasional Indonesia haruslah mengabdi pada

kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia.12

Kesatuan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati sepanjang hidupnya,

dimana hukum adat itu masih berlaku dan masih dianut oleh masyarakat hukum adat

yang bersangkutan. Meskipun demikian, keberlakuan hukum adat tersebut terbatas

hanya pada bidang-bidang hukum tertentu, dimana salah satu dari bidang hukum

yang dimaksud adalah bidang hukum kewarisan. Untuk masalah kewarisan belum ada

hukum waris nasional ataupun undang-undang yang mengatur mengenai masalah

pewarisan bagi seluruh warga negara Indonesia.

Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa :

“Untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia kini dan

masa yang akan datang di dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945 maka untuk menyusun hukum nasional diperlukan adanya konsepsi dan asas-asas hukum

(7)

Terdapat pluralisme hukum waris di Indonesia. Hukum waris yang berlaku di

Indonesia terdiri atas hukum waris menurut hukum Perdata Barat, menurut hukum

Islam dan hukum waris menurut hukum Adat. Masing-masing hukum waris tersebut

berlaku pada subjek hukum yang berbeda. Bagi mereka yang beragama Islam,

berlaku hukum waris Islam dalam pembagian harta warisan dan dibolehkan apabila

para ahli waris bersepakat untuk membagi harta warisan tersebut dengan hukum

waris lain, misalnya hukum waris adat yang dianut oleh mereka. Namun, jika terjadi

sengketa dalam pembagian harta warisan, para ahli waris tidak dapat memilih hukum

waris mana yang akan digunakan dalam membagi warisan tersebut.14 Dengan tidak

adanya hukum khusus yang mengatur tentang pewarisan secara nasional di Indonesia,

karena Negara Indonesia terdiri dari beragam suku, adat dan istiadat, bahasa dan

Agama, sehingga menyulitkan terbentuknya hukum Waris Nasional. Mengenai hal

tersebut, berlakunya hukum waris tersebut tergantung pada golongan penduduk yang

ada terhadap hukum mana penduduk tersebut menundukkan diri. Menurut Hilman

Hadikusuma bahwa:

“Pada kenyataannya sampai saat ini bagi warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan Timur asing/cina masih tetap berlaku hukum waris barat yang diatur dalam KUH Perdata buku II Bab XII sampai Bab XVIII. Sedangkan warga Negara Asli masih tetap hukum waris Adat yang diatur menurut susunan masyarakat adat yang bersifat Patrineal, Matrineal dan Parental/Bilateral. Disamping itu, bagi keluarga-keluarga indonesia yang menaati hukumnya

melaksanakan pewarisan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing”.15

14 Soerojo Wignjodipoero. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Gunung Agung, Jakarta, 1995. Hlm. 173.

(8)

Suatu perkawinan dapat dikatakan putus atau berakhir, menurut Pasal 38

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dikarenakan kematian,

perceraian dan atas keputusan pengadilan. Perkawinan putus karena kematian sering

disebut masyarakat dengan istilah “ Cerai mati”.16

Kematian sangat erat berhubungan

dengan masalah kewarisan. seorang manusia selaku anggota masyarakat selama

masih hidup mempunyai tempat dalam masyarakat dengan disertai perbagai hak-hak

dan kewajiban terhadap orang-orang lain dari masyarakat itu dan terhadap

barang-barang yang berada dalam masyarakat itu. Maknanya ialah ada bermacam-macam

hubungan hukum antara satu pihak yang disebut dengan manusia dan dunia luar

sekitarnya.

Ketika seseorang yang pada saat karena usianya yang sudah uzur atau karena

mengalami kejadian sesuatu, misalnya terjadi kecelakaan, terserang penyakit dan

lain-lain seseorang itu meninggal dunia akan mengakibatkan hubungan-hubungan

hukum tersebut tidak akan hilang dikarenakan seseorang yang telah meninggal dunia

masih mempunyai keluarga dan sanak suadara yang ditinggalkan.17 Suatu kematian

akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam bidang harta kekayaan.

Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada ditangan si meninggal secara

hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan yaitu para ahli waris dari si

(9)

Harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris ketika pewaris wafat, timbul

masalah pembagian harta warisan yang dapat dibicarakan dari sudut hukum waris

Islam atau waris KUH Perdata, tetapi jika melihat dari sudut hukum Adat maka pada

kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau

pengalihan harta kekayaan kepada waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta

dari pewaris kepada waris sebelum pewaris wafat dapat terjadi dengan cara

penunjukan, penyerahan, kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh

pewaris kepada waris.

Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan

masyarakat kekerabatannya yang berbeda. sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa

“Hukum Waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang

tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrineal, matrineal,

parental dan bilateral‟‟.18

Masalah warisan berkaitan dengan aturan-aturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang

tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.19 Jadi

dalam hal ini masalah warisan erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan.

Masyarakat adat Indonesia mempunyai hukum adat waris sendiri-sendiri. Biasanya

hukum adat mereka dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan dan sistem perkawinan

yang mereka anut.

18 Hilman Hadikusuma.Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi. Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2014, Hlm. 203

(10)

Suku Asli Negara Indonesia yang masih menerapkan hukum waris adat salah

satunya adalah suku Akit. Suku Akit adalah suku asli Propinsi Riau yang mendiami

Pulau Rupat. Selain suku Melayu yang merupakan suku Asli di Riau, tapi masih Ada

4 (empat) suku asli yang mendiami Propinsi Riau yaitu Suku Sakai, Talang Mamak,

Suku Akit dan Suku Laut yang mana suku tersebut tidak populer di kenal oleh

masyarakat Indonesia. Suku Akit adalah salah satu suku bangsa yang selama ini

diketegorikan sebagai suku yang masih mempertahankan adat istiadatnya. Sebutan

“Akit” diberikan kepada masyarakat ini karena sebagian besar kegiatan hidup mereka

pada zaman dahulu berlangsung di atas rumah Rakit. Dengan rakit tersebut mereka

berpindah dari satu tempat ke tempat lain di pantai laut dan muara sungai. Mereka

juga membangun rumah-rumah sederhana di pinggir-pinggir pantai untuk

dipergunakan ketika mereka mengerjakan kegiatan di darat. Pada tahun 1984 jumlah

mereka diperkirakan sekitar 4500 jiwa.20 Namun pada saat ini jumlah masyarakat

suku Akit + 5.646.

Kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak digantungkan pada alam.21

Selama berpuluh tahun mereka dikenal sebagai masyarakat yang mengoptimalkan

hasil alam di sekitarnya, seperti hutan bakau dan laut. Mereka juga berladang padi.

Panen beras setiap tujuh atau delapan bulan sekali biasanya cukup untuk memenuhi

kebutuhan harian mereka. Namun, kehidupan sederhana itu belakangan ini semakin

20 Yuli Akbar, http://sciences-city.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-perkembangan-suku-akit-dan-suku.html , dilihat pada tanggal 11 Desember 2015, Pukul 13.00 WIB

21 Metro kini, Mengenal Lebih dekat tentang Keunikan Suku Asli di Riau,

(11)

terusik. Terdesak oleh kemajuan zaman, modernisasi, mereka merasa ditinggalkan.

Meskipun Pulau Rupat belum banyak disentuh pembangunan namun karena letaknya

yang cukup strategis yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia, maka Pulau

Rupat banyak didatangi oleh kaum pendatang seperti orang Tionghoa dan suku-suku

di sekitarnya misalnya Melayu, Bugis, Minang, Jawa dan Batak. Meski demikian

suku Akit sampai saat ini masih taat menjalankan tradisi dan kepercayaan nenek

moyangnya.22

Dahulu dalam adat dan tradisi Suku Akit jelas sekali ada pengaruh agama

Islam didalamnya. Nilai keislaman itu telah meresap dalam adat-istiadat suku Akit

paling kurang sejak mereka menjadi rakyat kerajaan Kesultanan Siak. Tapi karena

keterpencilan didukung pula oleh kurangnya bimbingan atau tuntunan Islam yang

mereka terima, maka kadar Islam yang masih dalam bentuk budayanya, segera

dimasuki kembali oleh alam animisme.23 Mayoritas suku Akit beragama Budha,

namun ada juga beragama Kristen dan Islam. Dikarenakan Suku Akit mengalami

perkawinan campuran dengan suku Cina, Batak, Jawa dan Minang.

Pada masyarakat suku Akit, anak perempuan dan laki-laki yang beranjak

dewasa mereka akan melakukan perkawinan sesama sukunya. Anak perempuan suku

Akit akan dinikahkan jika umur anak tersebut sudah 18 tahun, dan akan mengikuti

suaminya. Ikatan perkawinan yang mengikat seorang laki-laki dengan seorang

22 Julianus P Limbeng, Suku Akit Menjaga dan mewarisi tradisi Adat.

http://xeanexiero.blogspot.co.id/2007/12/suku-akit-menjaga-dan-mewarisi-tradisi.html, dilihat pada tanggal 11 Desember 2015, Pukul 13.25 Wib

(12)

perempuan akan menyatukan secara lahir bathin. Suatu ikatan lahir bathin

mengakibatkan timbulnya hubungan hukum antara pria dan wanita untuk hidup

bersama sebagai suami istri.

Masyarakat suku Akit menarik garis keturunan secara Patrineal, bisa dilihat

dari sistem perkawinan yang dimilikinya. Dalam hal perkawinan, anak laki-laki

membeli anak perempuan dengan cara menyerahkan uang adat, setelah itu anak

perempuan tersebut akan ditarik kedalam keluarga pihak laki-laki. Dengan adanya

pembayaran uang adat, hubungan antara anak perempuan dengan pihak keluarganya

telah terputus, termasuk dalam hal pewarisan

Dalam pembagian harta waris, suku Akit mengenal adanya pembagian

warisan berdasarkan garis keturunan. Masyarakat suku Akit menganut sistem

keturunan Patrineal, yang mana kedudukan anak laki-laki lebih berperan

dibandingkan kedudukan wanita dalam pewarisan. Anak laki-laki yang berhak

mewaris dikarenakan anak laki-laki nantinya dianggap sebagai penerus keluarganya,

lebih berharga dan lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan.24 Namun,

dalam kenyataannya didalam pembagian warisan masyarakat suku Akit yang

memiliki sistem Patrineal, membagikan harta warisan kepada anak perempuan.

Seharusnya anak laki-laki saja yang medapatkan harta warisan, sedangkan anak

perempuan tidak mendapatkan harta warisan.

(13)

Melalui latar belakang masalah tersebut, maka sangat menarik untuk mengkaji

Hukum Waris Adat Suku Akit. Untuk mengetahui Pembagian waris Masyarakat Adat

Suku Akit di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau, dengan sistem

kekerabatan Patrineal (garis keturunan laki-laki atau Ayah) perlu diadakan penelitian

dengan teliti agar diketahui secara benar tentang hukum waris adat masyarakat suku

Akit, dan cara pembagian harta waris itu dilakukan.

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, sangat menarik

untuk mengkaji lebih jauh mengenai sistem pembagian warisan pada masyarakat

Adat Suku Akit. Sehingga di angkat suatu penelitian yang berjudul Pembagian

Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit (Studi di Kecamatan Rupat

Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau)”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Apakah Masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis

Provinsi Riau merupakan Masyarakat Hukum Adat?.

2. Bagaimanakah pembagian waris menurut Hukum Adat Masyarakat Suku

Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis

Provinsi Riau?.

3. Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa waris adat Masyarakat Suku

Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis

(14)

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang kedudukan Masyarakat Suku

Akit di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau sebagai

masyarakat hukum Adat

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pembagian waris adat dalam Suku

Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis,

Provinsi Riau

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan penyelesaian sengketa dalam

Pembagian Waris Adat Dalam Suku Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pulau

Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dari tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut :

1. Secara Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan

kontribusi bagi pengembangan Ilmu Hukum khususnya yang berkaitan

dengan masalah Hukum Waris Adat

b. Menjadi referensi bagi penelitian-penelitian sejenis, pada masa

(15)

2. Secara Praktis

a. Bagi Masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi tentang pembagian hukum waris adat dalam Masyarakat Adat

Suku Akit.

b. Bagi semua pihak terutama bagi praktisi, akademisi, mahasiswa yang

sehari-hari berprofesi di bidang hukum dapat memberikan masukan

baik untuk menjadi pengetahuan bagi diri sendiri namun juga

diharapkan agar dapat menjadi pengetahuan bagi orang lain yang

membutuhkan masukan-masukan berkenaan dengan penyelesaian waris

dan problematikanya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran khususnya di lingkungan Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik terhadap hasil

penelitian yang sudah pernah ada, maupun yang sedang akan dilakukan, diketahui

bahwa belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama

mengenai Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat Suku Akit (Studi Di

Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Provinsi Riau)”. Oleh karena itu penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.

Berdasarkan penelusuran literatur sebelumnya, ada ditemukan mengenai

pelaksanaan pembagian waris namun judul penelitian, rumusan permasalahan

penelitian, objek penelitian dan wilayah penelitian yang diangkat sebelumnya

(16)

1. Tesis Atas Nama Marsella, NIM 027011040, dengan Judul Penelitian “

Pembagian Harta Warisan Pada Suku Melayu ( Studi Di Kecamatan Medan

Maimoon Kelurahan Aur)”.

Dengan Rumusan Masalah:

a. Bagaimanakah porsi masing-masing Ahli Waris menurut Hukum Waris

yang berlaku pada Suku Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun

Kelurahan Aur?

b. Bila momentum pembagian harta warisan diberlakukan pada Suku

Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun Kelurahan Aur?

c. Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa harta warisan yang terjadi

pada Suku Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun Kelurahan Aur?

2. Theresia Dewita Sinuraya (037011085). “Perkembangan Hukum Waris

Adat Studi Mengenai Emansipasi Wanita Batak Karo Dalam Pembagian

Harta Warisan Di Kabupaten Karo”.

Rumusan Masalah:

a. Bagaimanakah kedudukan wanita dalam pembagian waris pada

masyarakat Batak Karo?

b. Faktor-Faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum

(17)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi, satu teori harus diuji dengan mengahadapkannya kepada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.25 Kerangka teori adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau

permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis yang mungkin ia

dapat disetujui atau tidak.26

Kerangka teoritis dalam penulisan karya ilmiah hukum mempunyai 4 (empat)

ciri, yaitu terdiri dari teori-teori hukum, asas-asas hukum, doktrin hukum, dan ulasan

pakar hukum berdasarkan pembidangannya. Salah satu dari ke empat ciri khas teoritis

hukum tersebut dapat dipaparkan dalam penulisan kerangka teori.27

Kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori The

Living Law. Hukum adat memiliki unsur-unsur yaitu hukum yang tidak tertulis yang

berasal dari adat atau kebiasaan. Hukum adat memiliki sifat dinamis, berkembang

terus menerus dan mudah beradaptasi, proses pembuatannya tidak disengaja atau

direncanakan, mengandung unsur-unsur religius atau agama, yang fungsinya untuk

25 M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, Hlm.203.

(18)

mengatur hubungan antar sesama, ditegakkan oleh fungsionaris adat, dan memiliki

sanksi tertentu.28

Berdasarkan unsur-unsur tersebut terdapat dua konsep penting terkait dengan

adat yakni :

a. Hukum adat adalah hukum yang menjelma dari perasaan hukum nyata dari

masyarakat.

b. Hukum adat adalah hukum yang tumbuh secara terus menerus didalam

masyarakat.

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat. Dengan demikian, jika masyarakat berarti bukan saja kesadaran

dari dan pertenggangan dengan kehadiran sesamanya, termasuk juga didalamnya arti

bahwa sesamanya itu (yang ia pahami dan yang memahaminya) secara timbal balik

disangkutkan oleh manusia itu pada perbuatan yang berarti. Masyarakat adalah

pergaulan antar manusia.29

Hal ini bila dikaitkan dengan ajaran Historis Jurisprudence yang digagas

pertama kali oleh Carl Von Savigny (1779-1861) dapat dikatakan bahwa hukum itu

terjelma dari jiwa rakyat volkgeist yaitu hukum tidak diciptakan tetapi tumbuh dan

berkembang di dalam masyarakat terdapat hubungan organik antara hukum dengan

watak atau karakter suatu bangsa. Oleh karena itu hukum adat yang tumbuh dan

28 Jufrina Rizal, Perkembangan Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 2006. Hlm. 3. lihat juga Satjipto Rahardjo,

Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dalam Hukum Nasional,

Bina Cipta, Bandung, 1975. Hlm. 18.

(19)

berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai volkgeist harus dipandang sebagai

hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat melainkan harus

ditemukan.30

Konsep hukum yang hidup di dalam jiwa masyarakat (volksgeist) dari

Friedrich Carl Von Savigny, dipertegas oleh penggagas sosiologi hukum Eugene

Ehrlich yang menyebutkan dengan fakta-fakta hukum (fact of law) dan hukum yang

hidup dalam masyarakat (living law of people). Untuk itu, teori living law dari

Eugene Ehrlich menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum

yang hidup (living law). Semua hukum dianggap sebagai hukum sosial, dalam arti

bahwa semua hubungan hukum ditandai oleh factor-faktor sosial ekonomi. Kenyataan

hukum sosial yang melahirkan hukum, termasuk dunia pengalaman manusia, dan

dengan demikian ditanggapi sebagai ide normatif. Terdapat empat jalan agar

kenyataan-kenyataan yang anormatif menjadi normatif, yakni:

pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-sehari dan terbentuk

lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang

efektif lalu kehidupan berjalan dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat hukum yang

30 Bernard L. Tanya, Yoan Simanjuntak, & Markus, Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2003, Hlm.103.

(20)

hidup itu tidak ditentukan oleh kewibaan negara. Ia tergantung pada kompetensi

penguasa dalam negara. Memang semua hukum dalam segi eksterennya dapat diatur

oleh instansi-instansi negara, akan tetapi menurut segi interennya

hubungan-hubungan dalam kelompok sosial tegantung dari anggota-anggota kelompok itu

sendiri seperti inilah living law hukum sebagai norma-norma hukum

(Rechtsnormen).32

Eugen Erlich menempatkan volkgeist-nya Savigny dalam fakta-fakta hukum

(fact of law) dan hukum yang hidup didalam masyarakat (living law of the people).

Theliving law menurut menurut Eugen Erlich seperti yang dikutip oleh Ahmad Ubbe

dapat digambarkan dalam berbagai pernyataan. Pertama, The living law ditemukan

dalam kebiasaan yang sekarang berlaku didalam masyarakat, khususnya dari norma

yang tercipta dari aktivitas-aktivitas sejumlah kelompok dan didalam kelompok itu

warga masyarakat terlibat.

Kedua, ditambahkan bahwa the living law adalah hukum yang mendominasi

kehidupan masyarakat meskipun tidak selalu diubah menjadi formal kedalam

proposisi-proposisi legal namun living law mencerminkan nilai-nilai dari masyarakat.

Ketiga, the living law merupakan suatu tertib dalam kehidupan masyarakat

merupakan pola-pola kultur hukum yang tidak pernah statis. Nilai-nilai berubah,

sikap-sikap tentang perbuatan telah berubah dari waktu kewaktu, konsep-konsep yang

ditentukan berubah dari tahun ketahun. Keempat, ditegaskan bahwa the living law

(21)

hanya dapat diketahui dengan suatu penelitian atau observasi terhadap orang-orang

tertentu. 33

Satjipto Rahardjo dengan mengutip Vinogradof menguraikan bahwa the living

law timbul secara serta merta dari kandungan masyarakat, dari praktik secara

langsung tumbuh dari konversi, baik bagi masyarakat maupun perorangan itu sendiri.

Tidak timbul karena inisiatif Undang-Undang dan karena timbulnya perselisihan

melainkan dari praktik sehari-hari yang dituntun oleh pertimbangan memberi dan

mengambil dari suatu lintas perhubungan yang adil (reasonable) dan kerja sama

sosial.34 Maka berdasarkan kerangka teori yang telah dikemukakan diatas teori yang

akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori The Living

Law.

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian

ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan kenyataan.

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari

hal yang berbentuk khusus disebut definisi operasional.35

33 Jufrizal Rizal, Op.Cit, Hlm.4. Lihat juga Satjipto Rahardjo, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dalam Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung 1975, Hlm. 18.

34 Satjipto Rahardjo, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dalam Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung 1975, Hlm. 19.

(22)

Menurut Burhan Ashofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu

fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,

keadaan, kelompok atau individu tertentu.36

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam

penelitian adalah untuk menghubungkan antara abstraksi dengan realita.37 Tujuan

utama konsepsi adalah untuk menghindari salah pengertian dan penafsiran terhadap

istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini.

Beberapa konsep atau istilah yang akan digunakan oleh penulis agar di dalam

pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang

sudah ditentukan sebagai berikut :

a. Hukum Waris adat adalah hukum waris yang memuat peraturan-peraturan

yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta

benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterele

goerderen) dari suatu angkatan manusia (generalite) kepada turunannya.38

b. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh suami istri selama

perkawinan atas usaha sendiri dan sebagai usaha milik bersama.39

c. Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami istri

kedalam suatu perkawinannya. Harta benda yang diperoleh masing-masing baik hadiah atau warisan.

d. Pembagian Waris adalah penyelesaian harta warisan yang ditinggalkan

pewaris yang dilakukan antara para ahli waris

e. Harta Warisan adalah harta kekayaaan dari pewaris yang telah wafat,

baik harta itu telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi.40

f. Bathin adalah suatu gelar kepala Adat suku Akit sebagai pemegang

(23)

Kepala suku.41

g. Kecamatan Rupat Utara adalah sebuah desa terpencil yang terletak di

Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau yang menjadi tempat tinggal tetap bagi lebih dari 500 kepala keluarga masyarakat suku Akit.

G. Metode Penelitian

Pada penelitian hukum ini menjadikan bidang ilmu hukum sebagai landasan

ilmu pengetahuan induk. Penelitian hukum atau suatu kegiatan ilmiah didasarkan

pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau segala hukum dengan jalan menganalisanya.42 Metodologi yang dimaksud

berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis berdasarkan suatu sistem

dan konsisten berarti tidak bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.43

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis empiris yaitu

suatu penelitian hukum yang mempergunakan data primer yaitu data yang didapat

langsung melalui penelitian lapangan dengan melihat sesuatu berdasarkan kenyataan

hukum di dalam masyarakat, melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di

dalam masyarakat yang berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan

mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan penelitian atau penulisan

(24)

hukum.44 Penelitian Empiris yang dibutuhkan untuk mengamati bagaimana reaksi dan

interaksi yang terjadi ketika sistem norma tersebut bekerja dalam masyarakat.45

2. Sifat Penelitian

Adapun sifat penelitian adalah deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis

yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis

dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah

pembagian waris Suku Akit yang kemudian diteliti melalui sampel atau data yang

telah terkumpul dan membuat kesimpulan yang berlaku umum dari masalah yang

dibahas.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam penelitian ini di Kecamatan Rupat Utara, Pulau

Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

4. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi, adalah sekumpulan obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala

atau seluruh kejadian unit yang akan diteliti.

Yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat suku

Akit yang tinggal di Kecamatan Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten

Bengkalis, Provinsi Riau.

44 Zainuddin Ali, Op.cit, Hlm.105.

(25)

b. Sampel

Untuk mempermudah penelitian maka ditentukan sampel. Sampel

merupakan bagian dari populasi yang akan dijadikan objek penelitian yang

dianggap dapat mewakili keseluruhan Populasi, dan metode yang digunakan

untuk menentukan sampel adalah Metode Purposive Sampling.

Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah Masyarakat suku Akit

jumlah 25 (dua puluh lima) Kepala Keluarga yang tinggal di Kecamatan

Rupat Utara, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Adapun

penentuan syarat sampel ini yaitu:

1. Masyarakat Adat Suku Akit yang pernah membagi waris secara hukum

Adat

2. Masyarakat Adat Suku Akit yang menjadi penduduk tetap di Kecamatan

Rupat utara

3. Masyarakat Adat suku akit yang masih menggunakan hukum Adatnya

5. Responden dan Informan Penelitian

a. Responden

Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat adat suku Akit yang

Masyarakat Adat Suku Akit yang pernah membagi waris secara hukum

Adat, masyarakat Adat Suku Akit yang menjadi penduduk tetap di

Kecamatan Rupat utara dan masyarakat Adat suku Akit yang masih

menggunakan hukum Adatnya. Adapun jumlah Responden penelitan

sebanyak 25 (dua puluh lima) Kepala Keluarga suku Akit di Pulau Rupat,

(26)

b. Informan

Untuk melengkapi data penelitian, diperlukan tambahan informasi dari nara

sumber yaitu orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan

objek penelitian yang terdiri dari:

1. Kepala Adat Suku Akit ( Bathin) jumlahnya 4 (empat) orang

2. Kepala Penghulu Desa Titi Akar jumlahnya 1 (satu) orang

3. Dosen Hukum Adat Jumlahnya 1 (satu) orang

4. Dosen Antropologi Hukum Jumlahnya 1 (satu) orang

6. Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini meliputi beberapa hal yaitu :

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik

melalui wawancara, kuisioner, observasi (baik partisipasi maupun non

partisipasi).

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi,

buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian daalam bentuk

laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan. Data

sekunder tersebut dapat dibagi menjadi:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer ialah salah satu sumber hukum yang penting bagi

sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan

hukum primer meliputi bahan hukum yang mempunyai kekuatan

(27)

Bahan hukum yang difokuskan oleh peneliti adalah peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan pengakuan masyarakat suku Akit

sebagai masyarakat Hukum Adat.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan dan memperkuat bahan hukum primer, seperti hasil-hasil

penelitian, hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan hukum,

jurnal-jurnal, serta bahan dokumen hukum lain yang terkait.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang memberikan

petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

seperti kamus hukum, ensiklopedi, kamus bahasa, artikel, sumber data

elektronik dari internet dan lain-lain yang relevan dengan penelitian ini.

7. Teknik Pengumpulan Data

Adapun Teknik Pengumpulan Data yang di gunakan adalah:

a. Penelitian Kepustakaan

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan

penelitian kepustakaan (library resarch), yaitu dengan mengumpulkan dan

mempelajari serta menganalisa ketentuan perundang-undangan yang

berkaitan dengan pengakuan masyarakat suku Akit sebagai masyarakat

(28)

b. Penelitian Lapangan

Penelitian Lapangan (field research) dalam penelitian ini dilakukan untuk

mendapatkan data pendukung yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian

Lapangan ini dilaksanakan selama + 3 (tiga) bulan di Kecamatan Rupat

Utara, Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis. Teknik yang digunakan dalam

penelitian ini adalah:

1. Observasi yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

pengamatan langsung. Pengamatan langsung terhadap kehidupan

masyarakat suku akit serta upacara perkawinannya dengan cara melihat

langsung dan mengabadikannya lewat foto (kamera).

2. Wawancara, yaitu tanya jawab langsung dengan informan secara

terstruktur dengan menyiapkan pedoman wawancara yang diarahkan

kepada masalah yang sedang diteliti. Wawancara ini dilakukan kepada

Kepala suku Akit (Bathin), Kepala Desa Titi Akar, Ketua Pengadilan

Negeri Bengkalis, Kepala Kantor Kecamatan Rupat Utara, dan Kepala

Bagian Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis serta

masyarakat suku Akit yang pernah melakukan pembagian harta warisan,

hasil wawancara tersebut direkam serta ditulis di buku.

3. Kuisioner, yaitu metode pengumpulan data dengan cara membuat

daftar-daftar pertanyaan yang memiliki korelasi dengan permasalahan

yang diteliti, yang pada umumnya dalam daftar pertanyaan itu telah

(29)

responden hanya diberi tugas untuk memilih jawaban sesuai dengan

seleranya. Kendatipun demikian, tidak tertutup kemungkinan pula

bahwa dalam kuisioner itu bentuk pertanyaannya model essei, dimana

hal ini responden sendirilah yang memberikan jawabannya.

Penggunaan kuisioner ini amat efektif bila jumlah sampelnya banyak.

Teknik penelitian kuisioner ini dilakukan kepada Masyarakat suku

Akit yang pernah melakukan pembagian warisan.

8. Analisis Data

Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam

rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti46. Analisis data adalah

proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan

satuan urutan dasar.47 Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis data dengan pendekatan kualitatif, yaitu analisis data terhadap data primer

dan data sekunder.

Analisis data penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang

menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang

terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang dijadikan objek

penelitian.48

46 Heru Irianto dan Burhan Bungin, Pokok-Pokok Penting Tentang Wawancara dalam Metodologi Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hlm. 143.

(30)

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer yang

diperoleh dari penelitian lapangan kemudian dikumpulkan dan dikelompokkan sesuai

dengan data yang sejenis. Data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, serta disusun

secara berurutan dan sistematis untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif dengan

metode deskriftif analisis sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh

tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam pembagian waris adat suku Akit di

Kecamatan Rupat Utara.

Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan dengan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, karena penelitian bermaksud membuat gambaran secara jelas tentang objek penelitian yang diteliti

(2) Kepada Panti Wredha Dharma Bhakti untuk selalu memberikan peringatan pada keluarga untuk terus menjalin kontak dengan orang tua dan menyediakan kegiatan yang

Jika dua buah pipa atau lebih dipasang secara seri, semua pipa akan dilewati oleh aliran yang sama dan total rugi head pada seluruh sistem adalah jumlah kerugian pada

Tujuan penelitian ini adalah : 1) untuk mengetahui besarnya biaya usahatani tanaman kacang tanah di tingkat petani yang ada di Subak Peladung, Kecamatan Karangasem,

atap Masjidil Haram yang tidak tahu di bagian mana Crane besar tersebut jatuh maka seolah-olah para jamaah berlari dan berteriak dalam keadaan panik dari

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Aspek Sosial Ekonomi Pelaku Urbanisasi dapat disimpulkan bahwa:(1) Faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya urbanisasi di Denpasar

Rumusan masalah penelitian ini adalah Apakah power tungkai dan keseimbangan dinamis secara bersama-sama memberikan kontribusi yang positif dan signifikan terhadap hasil