• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problema pendirian rumah ibadat di Indonesia; studi kasus pendirian Gereja Santa Bernadet, di Kelurahan Sudimara Pinang, Kota Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Problema pendirian rumah ibadat di Indonesia; studi kasus pendirian Gereja Santa Bernadet, di Kelurahan Sudimara Pinang, Kota Tangerang"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Ushuluddin (S. Ud)

Disusun oleh:

PAJRI AKROMAN

Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin

▸ Baca selengkapnya: teks ibadat pemberkatan rumah

(2)

Sudimara Pinang, Kota Tangerang)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th,i)

Disusun Oleh:

NIM: 106032101072 PAJRI AKROMANI

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah SWT penulis panjatkan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia untuk mengikuti petunjuk dengan risalahnya yakni Agama Islam, yang akan menyelamatkan dan menghantarkan pemeluknya menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Penulis sadari bahwa tidak ada manusia di bumi ini dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan manusia lainnya termasuk penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses penulisan skripsi ini. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang sedalam- dalamnya penulis sampaikan kepada pihak-pihak tersebut, terutama kepada :

1. Drs. M. Nuh HS, M.A sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka cakrawala berpikir dan nuansa keilmuan yang baru.

(4)

ii

3. Sekretaris Kelurahan Sudimara Pinang, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Ahmad Tribuana, Ustadz Sugeng, Ketua Panitia Pembangunan gereja Santa Bernadet Antonius Tumidjo, yang telah memberikan banyak sumber utama skripsi ini serta meluangkan waktunya kepada penulis untuk dapat berdiskusi secara langsung, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Pimpinan Perpustakaan Utama dan FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dalam penulisan skripsi ini memberikan andil dalam hal penyediaan bahan pustaka dan sumber-sumber bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi ini.

5. Ayahanda Zaenal Arifin dan Ibunda Nasiroh yang penulis cintai dan hormati sepanjang hidup, yang dengan rasa cinta dan kasih sayangnya secara tulus telah mengurus, membesarkan dan mendidik penulis hingga sekarang ini. Dan selalu memberikan motivasi penulis dalam hidup ini. Munajat doanya di setiap waktu telah memberikan kekuatan lahir dan batin dalam mengarungi bahtera kehidupan. 6. Semua Kakak-kakak penulis Ahmad Wada Sobari, Wildan Faturrahman, Masrur

(5)

iii

7. My best friend in my live, Lisma Aprida beserta keluarga, yang tak pernah henti memberikan motivasi, dan juga menemani penulis dalam menyelesaikan proses skripsi ini.

8. Anak-anak Blok Tuhan bang Fahmi, Akiv, Doni, Agus, Rasid, Aidin, Ruly, Mule dan lain-lain tercinta yang tak pernah henti memberikan semangat dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

9. Teman-teman mahasiswa Juruasan PA angkatan 2006 (Adi , Iskandar, Ikbal, Subhi, Syahid, Jabar, Samsul, Jaya, Ghofur, Yuda, Ai, Yuni, Thari, Enung, Hikmah, Riri, Syarifah dll)

10.Pihak-pihak lain yang mungkin belum penulis sebutkan, namun tidak mengurangi rasa hormat dan ucapan terima kasih penulis.

Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian, dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.

Jakarta,

Dzul hijjah 1431 H November 2010 M

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

Bab I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Metode Peneilitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

Bab II TINJAUAN TEORI ... 12

A. Agama dan Konflik Sosial ... 12

1. Pengertian Konflik ... 12

2. Bentuk Konflik ... 14

3. Penyebab Konflik ... 19

B. Kebebasan Beragama ... 19

1. Pandangan Islam dan Kristen tentang Kebebasan Beragama ... 24

2. Kebijakan Pemerintah tentang Kebebasan Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat ... 27

Bab III RENCANA PENDIRAN GER EJA SANTA BERNADET………….31

A. Latar Belakang Didirikannya Gereja Santa Bernadet ... 31

B. Prosedur Pendirian Gereja Santa Bernadet ... 33

C. Problema Izin Mendirikan Gereja Santa Bernadet ... 36

Bab IV REALITAS PROBLEMA PENDIRIRAN RUMAH IBADAT.…….40

A. Respons Tokoh Islam terhadap Pendirian Gereja ... 40

(7)

C. Respons Tokoh Gereja Terhadap Pendirian Gereja...47

Bab V PENUTUP……….50

A. Kesimpulan ... 50

B. Saran dan Rekomendasi ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 54

(8)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya, agama diturunkan sebagai jalan dan pedoman hidup

umat manusia agar tercipta harmoni di muka bumi ini. Agama mampu

mengkondisikan pemeluknya menjadi insan sempurna yang mampu mengemban

fungsi agama tersebut. Hal ini dapat diwujudkan apabila agama tidak hanya

ditempatkan sebagai kekuatan simbolik, melainkan juga difungsikan sebagai

bagian yang menyatu dengan pikiran, ucapan dan tindakan pemeluknya dan

diintegrasikan sebagai pendorong berbuat kebajikan bagi kehidupan di dunia ini.

Kendati penghayatan agama bersifat individual, kenyataannya terdapat

kecendrungan bersifat sosial. Artinya, agama dan keberagamaan seseorang tidak

bisa lepas dari realitas sosial dan dinamika zaman yang mengitarinya. Ketegangan

dan konflik kekerasan tidak jarang mewarnai hubungan antara individu dengan

masyarakat atau antara kehidupan pribadi dan kehidupan sosial. Demikian pula

dalam hal beragama, meskipun tidak sama persis dapat dipahami apabila O'dea

mengatakan, "Agama teiah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian bathin individu, sebagai sesuatu yang memuliakan dan membuat manusia beradab. Tetapi, agama telah pula dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia, dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak toleran, pengacuhan, pengabaian, tahayul dan kesia-siaan.

(9)

Tampaknya agama dan permasalahannya mempunyai daya tarik tersendiri

untuk diungkap dan dikaji. Seperti telah disinggung oleh O'dea, Dari perspective funsionalisme, agama memang menjadi salah satu unsur social basic needs atau

collective consciens (istilah dari Durkheim) untuk menjaga ketertiban sosial.1 Adapun dari perspektif konflik, agama dinilai sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya pertentangan dan ketegangan sosial. Terlebih lagi jika

dikaitkan dengan perihal kemajemukan atau pluralisme, agama akan semakin

dianggap telah memberikan corak kehidupan yang rumit. Beberapa aksi kerusuhan dan konflik kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah tanah air, di

antaranya terkait dengan persoalan agama dan kemajemukan. Akhir-akhir ini kita

merasakan betapa mudahnya masyarakat tersulut untuk berbuat keributan,

kerusuhan, dan kekerasan yang hanya disebabkan oleh hal-hal kecil dan sepele.

Sulit dinyatakan bahwa konflik kekerasan itu terjadi dengan sendirinya

tanpa ada yang melatarbelakangi. Di balik peristiwa itu, terasa adanya gerakan

terencana dan upaya provokasi yang dilakukan oleh pihakpihak tertentu yang

tidak bertanggung jawab. Mereka memanfaatkan potensi konflik yang ada pada

masyarakat yang mejemuk, misalnya, agama. Semuanya itu amat mengganggu

stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa serta keselamatan dan keamanan hidup

bermasyarakat. Oleh karenanya, kita perlu melakukan tindakan apermsi agar

dampak dari peristiwa-peristiwa tersebut tidak semakin meluas. Tindakan ini

perlu diambil oleh masyarakat luas terutama organisasi-organisasi

1

(10)

kemasyarakatan dan keagamaan yang memiliki perhatian tentang

masalah-masalah sosia.2

Keragaman budaya, suku bangsa, ideologi politik, dan terutama agama

merupakan fenomena yang khas dalam masyarakat Indonesia. Keragaman ini

tentu saja positif kalau saja setiap subjek dalam keragaman tersebut dapat

mensinergikan potensi masing-masing dan mengartikulasikannya ke dalam

realitas masyarakat Indonesia secara konstruktif. Satu realitas yang dapat

diimajinasikan sebagai realitas ideal di mana toleransi dan keharmonisan menjadi

bekal bagi pembangunan masyarakat madani negara ini. Namun, justru dengan

keragamaan ini masyarakat Indonesia tidak jarang terlibat dalam pertikaian di

ladang-ladang konflik dan kekerasan. Pengalaman sejarah yang tentu saja malah

mendorong nilai kemanusiaan kita terjerembab dan jatuh ke dasar yang paling

hina.

Salah satu aspek keragaman yang dimiliki masyarakat Indonesia adalah

beragamnya anutan agama yang mereka yakini. Baik sebagai penganut

agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu maupun

agama-agama kecil dalam berbagai bentuk tradisi religi dan kepercayaan lokal.

Sejatinya, keragaman agama-agama diharapkan dapat menjadi dasar

pembangunan kemanusiaan Indonesia sebab agama-agama memiliki nilai-nilai

yang bisa mendorong pada terciptanya harmoni hidup umat manusia. Namun

justru keragaman ini tidak dapat dikreasikan secara positif oleh mayarakat

agama-agama di negara ini. Masyarakat justru seringkali terlibat dalam ketegangan,

2

(11)

kecurigaan, konflik bahkan kekerasan secara fisik. Eksklusvisme dan fanatisme

tidak jarang mewamai hubungan masyarakat agama-agama. Dua agama, Kristen

dan Islam, yang memiliki potensi besar bagi pembangunan masyarakat

agama-agama di Indonesia ini masih seringkali terlibat dalam kecurigaan, konflik,

bahkan kekerasan.3

Belakangan ini di berbagai tempat di Jakarta khususnya dan di Pulau Jawa

umumnya, banyak muncul penolakan terhadap keberadaan gereja. Yang menolak

adalah kelompok yang mengatasnamakan muslim. Uniknya penolakan ini muncul

tiba-tiba. Padahal, sebelumnya keberadaan gereja dan warga setempat akur-akur

saja. Di beberapa perumahan di Jawa Tengah, banyak masjid dan gereja berdiri

berdampingan dan tidak ada masalah. Kedua umat beragama tersebut saling

menghormati dan bahu membahu membangun lingkungannya. Sayang, suasana

seperti itu kini mulai ternoda karena (seakan-akan) ada gelombang penolakan

kehadiran gereja di tengah komunitas muslim. Benarkah komunitas muslim yang

mayoritas itu menolak gereja?4

Ketegangan yang terus meningkat ini mendorong terjadinya konflik

terbuka di beberapa tempat. Pada akhir 1967, kelompok-kelompok pemuda

Muslim membakar beberapa gereja di Ujung Pandang, Jawa Tengah, dan Aceh.

Sebaliknya, di Sulawesi Utara dan Ambon terjadi pembakaran masjid oleh para

penganut Kristen. Semua rentetan ketegangan dan konflik ini memberi implikasi

3

Leo Suryadinta, Penduduk Indonanesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik

(Jakarta: LP3ES, 2005), h. 102-103

4

(12)

berupa pencabutan keputusan dewan gereja-gereja sedunia pada 1974 tentang

Indonesia sebagai tempat penyelenggaraan sidang Majelis umumnya, dewan

gereja ini kemudian memindahkan tempat penyelenggaraannya ke Afrika.5

Sebagaimana dimaklmi bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku,

bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama, sehingga bangsa Indonesia merupakan

bangsa yang mejemuk. Mereka hidup tersebar dalam ribuan pulau. Persebaran

penduduk di pulau-pulau tersebut tidak merata, ada pulau yang relatif kecil

dengan penduduk yang sangat padat seperti pulau Jawa, yang luasnya hanya

sekitar 6,89% dihuni oleh penduduk 59,99%; dan sebaliknya pulau Irian (Irian

jaya) yang luasnya 21,99% dihuni hanya oleh 0,92% penduduk Indonesia.

Kepadatan penduduk di pulau jawa per kilometer persegi 814 jwa, sedangkan

Irian Jaya, untuk luas yang sama hanya dihuni oleh 4 jiwa saja.

Di samping keanekaragaman suku bangsa dan tidak meratanya pesebaran

penduduk, bangsa Indonesia juga menganut berbagai agama dengan Islam sebagai

mayoritas. Persebaran penganut agama di Indonesia menurut sensus Biro Pusat

Statistik (BPS) tahun 2005 tediri atas: Islam 182.083.594 jiwa (87,20%); Kristen

12.964.795 jiwa (6,20%); Katolik 6.941.884 jiwa (3,32%); Hindu 4.586.7546ktr`

jiwa (2,20%); Budha 2.242.833 jiwa (1.07%). Jumlah penduduk Indonsia tahun

2005 sebanyak 208.819.860 jiwa.

Keanekaragaman suku, bahasa, adat-istadat dan agama tersebut merupakan

suatu kenyataan yang harus kita syukuri sebagai kekayaan bangsa. Namun di

samping itu kemajemukan atau keanekaragaman juga dapat mengandung

5

Leo Suryadinta, Penduduk Indonanesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik

(13)

kerawanan-kerawanan yang dapat memunculkan kepentingan antar kelmpok yag

berbeda-beda tersebut. Berbagai upaya telah dilkukan pemerintah untuk

menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Di antara upaya tersebut adalah

pembinaan kerukunan antar umat beragama melalui Program Peningkatan Hidup

Umat Beragama.

Tindakan perusakan terhadap rumah ibadat tidak dapat dibenarkan apapun

alasannya. Sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran agama, umat beragama

membutuhkan tempat melaksanakan ibadat yang secara khusus didirikan untuk

keperluan itu. Akan tetapi, kehadiran rumah ibadat di suatu tempat atau

lingkungan sosial yang kurang tepat dapat mengundang rasa tidak nyaman atau

gangguan dari pihak lain. Rasa tidak nyaman yang berlarut-larut dapat

berkembang menjadi kebencian yang pada gilirannya melahirkan tindakan

permusuhan.

Sesuai dengan tujuannya, kehadiran Surat Keputusan Bersama (SKB) pada

tahun 1969 itu dipandang sebagai salah satu solusi yang tepat untuk memelihara

kerukunan antar umat beragama . Pada satu sisi umat beragama berhak untuk

mendirikan rumah ibadat, namun implementasikan hak tersebut perlu diatur agar

tidak menimbulkan masalah yang dapat mengganggu hubungan antar umat

beragama.6

Seperti yang terjadi di Kelurahan Sudimara Pinang, Kecamatan Pinang Kota

Tangerang, berdasarkan keterangan Panitia Pembangunan Gereja Santa Bernadet,

yaitu, Bapak Antonius Turmijo, menjelaskan bahwa implementasi kebijakan

6

Hasil Kajian Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama

(14)

pemerintah tentang kebebasan beragama terkait pendirian rumah ibadah belum

terealisasi sebagaimana mestinya. Izin Mendirikan rumah ibadah Gereja Santa

Bernadet sampai saat ini belum direkomendasi oleh pemerintah setempat, padahal

persyaratan untuk mendirikan rumah ibadah sudah terpenuhi.

Meski dalam konteks ini kita mesti secara jernih menimbang siapakah

aktor di balik segala konflik, apakah agama sebagai doktrin yang memunculkan

diri dengan kekuatan klaim teologisnya ataukah masyarakat penganutnya yang

menjadikan agama sebagai dalih yang membungkus motif kemanusiaannya?

Oleh karena itulah, skripsi ini mencoba meneliti tentang problema

pendirian rumah ibadah (gereja) Santha Bernadet, yang terjadi di Kelurahan

Sudimara Pinang, Kecamatan Pinang Kota Tangerang.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Skripsi ini akan mengangkat atau menyoroti mengenai Problema Pendirian

Rumah Ibadah Gereja Santa Bernadet di Kelurahan Sudimara Pinang, Kecamatan

Pinang Kota Tangerang. Tanpa bermaksud mengabaikan keberagamaan agama

lain yang ada di negri ini, yakni, Islam dan Kristen, sebab kedua agama tersebut,

di samping agama yang serumpun (Abrahamic Religion), juga merupakan agama

yang sama-sama dikenal sebagai “agama misionaris”. Di samping itu pula, kedua

agama tersebut mempunyai pengikut yang lebih besar bila dibandingkan dengan

agama lain di Indonesia.

Berdasarkan dari latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas, maka

(15)

1. Bagaimana Problem Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia, khususnya

dalam kasus rencana pendirian Gereja Santa Bernadet?

2. Apakah kebijakan pemerintah tentang pendirian rumah ibadat tersebut

dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya?

C. Tujuan Penelitian

Atas perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan yang

ingin dicapai dari penelitian ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui problema pendirian rumah ibadah yang terjadi di

Kelurahan Sudimara Pinang, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang

2. Mungkinkah terjadi pelanggaran terhadap kebijakan pemerintah?

D. Metodologi Penelitian

a. Metode Penelitian

Metode yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif,

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati terhadap

orang-orang yang berkompeten dengan masalah yang sedang diteliti di Kota

Tangerang, ditambah dengan literatur yang menunjang sebagai pelengkap dalam

penulisan. Deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan situasi atau

peristiwa sebenarnya. Dengan metode penelitian tersebut di atas, diharapkan

mendapat data-data sehingga penelitian ini dapat ditemukan kesimpulan yang

(16)

b. Tekhnik Pengumpulan Data

Adapun tekhnik pengumpulan data sebagai sumber penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Data Primer : Yaitu data yang didapat langsung oleh peneliti dari

sumbernya yaitu berupa:

a. Interview (wawancara), yakni penulis mengumpulkan data dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung kepada

pemuka agama Islam maupun Katolik yang berada di Kelurahan

Sudimara Pinang Kota Tangerang, serta Pemerintah daerah, dalam

hal ini pihak Kelurahan Sudimara Pinang Kota Tangerang, tentang

segala sesuatu yang menyangkut dan berkitan dengan penulisan

skripsi ini.

b. Observasi yaitu penulis langsung datangi Kantor Kelurahan Sudimara Pinang Kota Tangerang dan lokasi rencana pedirian

Gereja Santa Bernadet guna memperoleh data yang konkrit tentang

hal-hal yang menjadi objek penelitian.

c. Dokumentasi yaitu penulis mendapat data-data dari dokumentasi yang ada di Kantor Kelurahan Sudimara Pinang Kota Tangerang,

data dari FOKUS (Forum Komunikasi Umat Islam Sudimara

Pinang) . Saperti berkas, arsip-arsip yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti.

(17)

3. Data komplementer, yaitu data pelengkap dari data primer yang

didapat melalui website.

E. Sitematika Penulisan

Laporan penulisan penelitian ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : Bab mengenai pendahuluan ini terdiri dari Latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan penelitian dan, Metode

Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab mengenai tinjauan teori ini membahas tentang agama dan konflik

sosial, yang terdiri dari pengertian, bentuk penyebab konflik sosial.

Dan juga dibahas tentang pandangan kebebasan beragama menurut

Agama Islam dan Kristen.

BAB III : Bab mengenai Rencana pendirian gerja Santa Bernadet ini terdiri dari

latar belakang, prosedur. dan problem izin mendirikan gereja Santa

Bernadet

BAB IV : Bab mengenai realitas problem mendirikan gereja ini terdiri dari respon

tokoh Islam dan aparat pemerintah (kelurahan) terkait rencana izin

(18)
(19)

A. Agama dan Konflik Sosial

1. Pengertian Konflik Sosial

Konflik secara etimologi berasal dari kata configere-conflictum, yang kurang lebih berarti saling berbenturan, jadi konflik dapat dipahami sebagai

semua bentuk benturan, tabrakan, perkelahian, dan interaksi-interaksi yang

berlawanan.1 Dalam Kamus Umum Bahasa Idonesia, Konflik adalah

pertengkaran, perselisihan, benturan.2 Menurut Simon Fisher, konflik adalah

hubungan antara dua pihak atau (individu atau kelompok) yang memiliki atau

yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu

kenyataan hidup, tidak dihindarkan dan sering bersifat kreatif.3

Konflik secara terminologi adalah fenomena perbedaan pandangan yang secara umum dapat terjadi. Bentuk perbedaan pandangan itu dapat berupa sekedar

1

Ignatius Induko, Management Konflik dalam Organisasi, BINA DARMA: (Edisi

khusus), Januari, 2001 2

Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia 3

Rusmin Tumanggor, et.all., Konflik dan Modal Kedamaian Sosial Dalam Konsepsi

Masyarakat Di Tanah Air: Studi Penelusuran Idea di Kawasan Komunitas Krisis integrasi

bangsa Dalam Merambah Kebijakan, (Jakarta: Lemlit dan LPM UIN Syarif Hidayatullah dan

Balatbangsos DEPSOS RI, ISBN,2004), hal.4

(20)

perbedaan pendapat, perang mulut, perkelahian, hura-hura, pembunuhan, sampai

suatu bentuk peperangan antar-bangsa.4

Konflik sebagai kategori sosiologis bertolak belakang dengan pengertian

perdamaian dan kerukunan. Yang terakhir ini merupakan hasil dari proses

asosiatif, sedangkan yang pertama dari proses dissosiatif. Proses assosiatif adalah

proses yang mempersatukan, dan proses dissosiatif sifatnya menceraikan atau

memecah. Fokus kita kita tertuju kepada masalah atau bentrokan yang berkisar

pada agama.

Menurut Coser, yaitu: “Konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai

atau tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang

persediaannya tidak mencukupi dimana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak

hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga

memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka.” Dikatakan pula

oleh Coser, bahawa perselisihan atau konflikk dapat berlangsung antara

individu-individu, kumpulan-kumpulan (Collecivies), atau antara individu dengan kelompok lain (intern), konflik selalu ada di tempat orang yang hidup bersama. Konflik disebut sebagai unsur interaksi yang paling penting, dan sama sekali

tidak boleh dikatakan bahwa konflik selalu tidak baik atau selalu memecah belah

4

Weinata Sairin, Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai Pemikiran, cet 1,

(21)

atau merusak, justru konflik dapat menyumbang banyak pada kelestarian

kelompok dan mempererat hubungan antar anggotanya.5

Berdasarkan definisi konflik yang kemukakan oleh para ahli sosiologi di

atas, bahwa penulis dapat menyimpulkan bahwa konflik dapat terjadi adanya

perbedaan kebutuhan. Kebutuhan berbeda-beda dan bersamaan antara dua pihak

(atau lebih) secara profesional dapat menyebabkan konflik. Konflik sosial dapa

terjadi karena perbedaan pandangan, sikap, dan sebagainya.

2. Konflik Agama

Sebagaimana dipahami oleh pemeluknya, pada dasarnya agama

merupakan pegangan hidup umat manusia agar mereka hidup secara damai,

teratur dan saling menghargai demi terciptanya keharmonisan dan keseimbangan.

Agama mendudukan manusia sebagai makhluk yang sempurna yang memiliki

dimensi kehidupan lahiriah dan dimensi batiniah dengan pendekatan terpadu dan

seimbang. Oleh karenanya, pada dasarnya agama memiliki potensi yang sangat

kuat untuk menjadi perekat sosial dan lebih dari itu menjadi peredam bagi setiap

kemungkinan terjadinya konflik dan ketegangan. Akan tetapi, ide-ide dasar dari

setiap ajaran agama yang mengandung potensi perekat dan kohesi sosial tersebut

seringkali mengalami kekaburan dan pengamalan ketika harus berbenturan

dengan berbagai kepentingaxn manusia yang bahkan dapat mewarnai penafsiran

5

K..J.Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu

Masyarakat Dalam Sejarah Cakrawala Sosiologi, (Jakarta: PT Gramedia pustaka Utama,1993)

(22)

atas ajaran agama tersebut. Dalam hal ini agama dianggap sebagi pemicu atau

dijadikan kambing hitam dalam konflik kemanusiaan.6

Dalam pembahasan ini akan dibahas beberapa bentuk konflik sosial yang

bersumber dari agama.

a.) Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental

Bahwa perbedaan iman (dan doktrin) de fakto menimbulkan bentrokan

tdak perlu kita persoalkan, tetapi kita menerimanya sebagai fakta dan mencoba

untuk memahami, dan mengambil hikmahnya. Semua pihak umat beragama

yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru

perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab utama dari bentrokan itu. Entah

sadar atau tidak setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya,

membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian dengan

ajaran sendiri dan agama lawannya. Masyarakat kita yang terkenal sebagai

masyarakat beragama memang tidak dengan sendirinya menjadi masyarakat

yang ideal, karena tidak ditempati oleh penghuni-penghuni yang ideal, mereka

belum sanggup mengekang hawa nafsunya, belum saling mencintai sebagaimana

dituntut oleh agamanya.Yang sering ada justru sikap-sikap mental yang negatif

itu, yang sering terjadi justru ketegangan, katakutan dan kecemasan. Syahadat

kepercayaan dan rukun iman adalah perkara yang berharga, tetapi oleh karena

sikap sombong dan prasangka maka bentrokan antara umat beragama bukannya

6

Syafi'i Ma'arif, Agama dan Harmoni Kebangsaan dalam Perspektif Islam,

Kristen-Katholik , Hindu, Budha, Konghucu (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Nasyiatul `Aisyiah, 2000), Cet.

(23)

merupakan hal yang asing, sebaliknya merupakan yang banyak menghiasi

buku-buku sejarah dan kesustraan dari berbagai bangsa.

b.) Masalah Mayoritas dan Golongan Minoritas Golongan Agama

Untuk Indonesia harus diakui bahwa agama sebagai sumber perselisihan

secara prinsip sudah dibendung oleh Pancasila sebgaai haluan negara serta

Undang-Undang Dasar 1945. Setiap warga negara diberi kebebasan menganut

agama yang dipilihnya dan diberi hak untuk melaksanakannya, baik sendiri

maupun bersama-sama, bahkan untuk menyebarluaskannya. Namun akibat dari

kelemahan dan keterbatasan manusia,seperti dalam bidang yang lain pun,

pelaksanaan tidak selalu sesuai dengan prinsipnya. Sifat-sifat negatif mayoritas

muncul bukan hanya dibidang politik (kenegaraan), tetapi juga dalam bidang

keagamaan. Di lain pihak minoritas bukan hanya menjadi korban tetapi tidak

jarang juga menjadi penyebab dari timbulnya perbenturan.

Dalam masalah konflik mayoritas-minoritas ada beberapa hal yang perlu

mendapat perhatian ; Agama diubah menjadi suatu ideologi, Prasangka mayoritas

dan minoritas dan sebaliknya, Mitos dari mayoritas.

Dalam mayoritas keagamaan yang mengembangkan suatu ideologi yang

bercampur dengan mitos yang penuh emosi, dimana kepentingan keagamaan dan

kepentingan politik luluh dalam suatu kesatuan, disitu akan bertumbuh suatu

keyakinan bahwa kelompok mayoritas inilah yang dipanggil sebagai suatu

kekuatan yang tak terkalahkan dan satu-satunya yang berkuasa untuk menentukan

dan menjaga jalannya masyarakat. Semua minoritas hars ditundukkan kepada

(24)

minta persetujuan dari mayoritas, tetapi kelompok mayoritas boleh bertindak

semaunya tanpa diperlakukan izin dari minoritas, jika mayoritas hendak

mengadakan usaha untuk kepentingan sendiri. Misalnya, dalam hal mengadakan

sarana-sarana dasar (pembangunan rumah ibadat, gedung sekolah, rumah ibadah

dll.) golongan minoritas mengalami hambatan-hambatan yang berat.7

3. Penyebab Konflik Agama dan Sosial

Bentuk-bentuk konflik yang secara rasional dan moral keagamaan masih

dapat diterima, bila konflik tersebut tidak sampai kepada suatu bentuk yang

merugikan orang lain, diantaranya adalah perusakan, penjarahan, pembunuhan

atau peperangan. Dengan demikian, bentuk-bentuk konflik yang bersifat

destruktif, tindakan yang merugikan pihak lain, jelas tidak dapat ditolerir dan

tidak dibenarkan, apalagi kalau bentuk yang bersifat destruktif tersebut dilakukan

dengan mengatasnamakan agama. Hal yang paling mengerikan adalah bahwa

tindakan-tindakan itu kemudian mengabaikan dan menghilangkan bentuk-bentuk

kemanusiaan dalam beragama. Melalui bentuk konflik yang bersifat destruktif

tersebut, hakikat keberagamaan agama sudah diingkari. Di dalam hal ini Firman

Tuhan mungkin harus dikaji dan ditafsir ulang melalui pendekatan kemanusiaan

seperti pendapat ulama pascamodernis Aljazair, Malik bin Nabi, yang menyatakan

bahwa kebenaran tafsir Firman Tuhan diukur dari manfaat praktis dan fungsional

bagi penyelesaian problem kemanusiaan, seperti kemisknan, keidakadilan dan

penindasan.

7

(25)

Konflik bisa muncul hanya karena salah pengertian tentang suatu hal yang

tidak penting. Namun bisa juga karena adanya perbedaan salah paham yang

fundamental. Bedasarkan kenyataan kemajemukan masyarakat Indonesia inilah,

kita harus menyadari bahwa konflik dapat terjadi antar-individu atau

kelompok-kelompok dari satu komunitas yang homogen atau heterogen (sealiran, sesuku,

seagama, segolongan). Dengan demkian konflik adalah suatu fenomena yang

tidak harus dihindari. Sebab, konflik bisa terjadi kapanpun, di mana pun.

Permasalahannya adalah bagaimana kita bisa mengendalikan konflik demi

kepentingan bersama dalam suatu kerangka kesatuan, kemanusiaan, keadilan, dan

keberpihakan kepda kelompok yang tertindas.8

Pembahasan konflik gereja dengan agama-agama di Indonesia sebenarnya

tidak dapat dipisahkan dari adanya konflik pertama antara kelompok Islam dan

kelompok non-Islam saat penyusunan dasar Negara Indonesia. Konflik terjadi

pada perumusan Sila Pertama dari Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang

Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi

pemeluk-pemeluknya. Usaha dari kelompok non-Islam untuk menghapus anak kalimat

yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi

pemeluk-pemeluknya”, sebenarnya membutuhkan perjuagan, penjelasan, dan perdebatan

yang panjang. Namun demkian, dalam Sidang PPKI (Panitia Persiapan

Kemerdekaan) tanggal 18 Agustus tersebut hanya diputuskan hanya dalam waktu

sekitar dua jam.

8

Weinata Sairin, Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai Pemikiran, cet 1,

(26)

Pestiwa sejarah tentang konflik pertama antara kelomopok Kristen dengan

Islam di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa konflik tidak harus

dihindari.9

B. Kebebasan Beragama

1. Pandangan Islam Tentang Kebebasan Beragama

Pada bab ini akan dibahas pandangan Islam yang berkaitan tentang

kebebsan beragama. Dalam hal sikap mukmin terhadap orang kafir Allah

berfirman,

“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada seluruh kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberijalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka” (an-Nissa’: 90)

“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi diantara mereka. Dan Allah adalah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap

9

Weinata Sairin, Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai Pemikiran, cet 1,

(27)

orang yang tiada memerangimu karena agama dan tiada (pula) mengusir kamu dari negerimu. Seusungghnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtahanah : 7-8)

Pada ayat pertama, yakni firman-Nya, “atau orang-orang yang datang

kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan,” Ibn Katsir menyatakan

mereka yang termaktub dalam ayat itu ialah kelompok lain yang tidak

diperkenankan untuk dibunuh. Mereka ini adalah orang-orang yang ikut serta

dalam barisan menentang mukmin, namun dadanya terasa sesak; dalam arti,

jiwanya terdesak karena enggan membunuhmu (kaum mukmin). Dan mereka

tidak pula berkeingnan membunuhmu kaum merek yang bersmamu, namun

sebaliknya mereka tidak pernah berniat berbuat baik dan tidak pula buruk

kepadamu. Atas dasar itu, engkau tidak layak memeranginya selama meraka

berpikir demikian.

Sedangkan pada ayat kedua, Allah memberikan kemudahan bagi kaum

mukmin guna melakukan kebaikan dan kebajikan kepada orang kafir yang

bersikap baik kepada mereka serta tidak memiliki kebencian kepada mereka. Juga

tidak mengusir kaum mukmin dari negaranya. Sesungguhnya Allah tidak

melarang kaum mukmin untuk menyelesaikan permasalahan secara adil tanpa

memandang perbedaan agama. Lebih dari itu, Allah menginstruksikan hamba-Nya

mengedepankan nilai-nilai keadilan dalam interaksinya dengan seluruh manusia.10

10

Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur’an, cet.1, (Jakarta: Gema

(28)

Untuk memaparkan elaborasi tentang sikap orang kafir muhayyid , kita akan mendapati segmentasi bahwa Allah mengintruksikan umat Islam

menumbuhkembangkan budaya toleransi dengan musuh-musuh Allah.

Allah berfirman,

Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orqng yang tiada takut akan hari-hari Allah karena Dia akan membalas sesuatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan. Baragsiapa yang mengerjakan amal shaleh, maka ia adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan.” (al-Jaatsiyah: 14-15)

Menurut ibn Katsir, ayat di atas menyatakan menegaskan kepada kaum

Muslimin untuk bisa memaafkan kesalahan orang kafir dan sabar dalam

menanggung beranekaragam siksaan mereka. Perintah ini turun diawal

perkembangan Islam.

Dalam menafsirkan ayat di atas, Sayyid Quthb mengungkapkan bahwa

ayat tersebut merupakan penekanan perintah bagi orang-orang yang beriman

untuk memaklumi prilaku orang-orang yang tidak meyakini datangnya hari

kiamat. Memaklumi dengan memaafkan atas ketidaktahuan mereka, memaklumi

demi tingginya agama Allah, dan memaklumi demi mendapatkan derajat yang

tinggi di sisi-Nya.

Ini dilakukan untuk melatih setiap Mukmin berlapang dada,

(29)

dengan egoisme orang bodoh yang tertutup mata hatinya namun tidak karena

lemah dan tidak pula terpaksa. Sebaliknya, ini menunjukkan ia lebih dewasa,

tegar, dan kuat dan karenaya ia adalah pembawa obor hidayah bagi yang belum

mendapat petunjuk, dan juga penawar racun. Maka ia memperoleh balasan

amalannya, tidak terkena dosa makar, tetapi semua urusan diserahkan kepada

Allah, karena kepadanya tempat kenbali dan mengadu.

Sepanjang sejarah, belum pernah ada dasar hidup bertoleransi dan

bertindak adil dengan pihak lawan sebagaimana dalam Islam. Ini bukan sekedar

formalitas belaka, namun berdasar pada realitas sejarah. Teks perjanjian antara

Rasulullah saw dan bangsa Yahudi mengindikasikan klaim Islam mengenai

anjuran bersikap adil dengan Ahli Kitab. Teks Nabi yang menggambarkan jalinan

kuat anatara kaum Muhajirin dan kaum Anshar dan ungkapan perpisahan dengan

Rasulullah saw, pada bangsa Yahudi, “Kaum Yahudi mempunyai agama sendiri

sendiri, demikian halnya umat Islam. Dalam kerangka agamanya terdapat doktrin

keharusan meraih kemenangan atas pihak lawan. Diantara mereka pun terdapat

kewajiban untuk bisa saling menasihati, serta berbuat kebajikan, namun tidak

dalam keburukan. Sesungguhnya, yang turut berperang maka ia dalam posisi

aman, dan barangsiapa yang tidak ikut (peperangan karena alasan syar’i) maka ia

pun dalam posisi aman, kecuali ia yang berbuat zalim atau dosa.” Aturan ini

diratifikasi pasca pembentukan daulah Islam di Madinah.11

Patut diketahui, toleransi terhadap non muslim bukan dalam koenteks

muwalah ‘perwalian’ meski kami tidak melarangnya, tetapi sebaliknya kami

11

Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur’an, cet.1, (Jakarta: Gema

(30)

menganjurkan berbuat baik dan adil dalam berinteraksi dengan mereka, namun ini

berlaku selama mereka tidak melancarkan serangan. Sehubungan dengan hal ini

Allah berfirman,

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah: 8)

Kesalahan menginterpretasikan ayat bukan tidak mungkin menjadi faktor

utama kerancuan membedakan toleransi dengan persaudaraan. Kerancuan ini

timbul karena fanatisme dan juga niat yang buruk. Kebenaran yang semestinya

terpatri ialah bahwa toleransi terjalin antara beberapa individu, sementara itu

persaudaraan terbina karena usaha bersama menciptakan hawa perdamaian dan

sikap saling menolong. Diakui, perbedaan ini hanya dapat disentuh oleh individu

yang hidup dalam nuansa Islam dengan segenap jiwa dan hati tetapi tidak bagi

mereka yang mengklaim menganut Islam namun tidak mengaktualisasikannya.

Oleh karena itu, mereka disebut sebagi kaum Muslim, tetapi bukan Muslim.12

Kautsar Azhari Noer dalam buku yang berjudul, Membela Kebebasan Beragama, mengatakan:

Kebebasan beragama bersifat mutlak dan harus mendapat jaminan dari Negara. Tanpa kebebasan tidak dimungkinkan iman yang tulus. Kebebasan beragama itu menurut saya mutlak dan, karena itu, harus

12

Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur’an, cet.1, (Jakarta: Gema

(31)

dijamin. Kebebasan itu adalah karunia Tuhan, maka kita tidak berhak mengungkung dan merampas kebebasan itu. Alasan mengapa Tuhan menganugerahi manusia kebebasan, supaya manusia tulus dalam beriman dan beragama.”13

2. Pandangan Katolik Tentang Kebebasan Beragama

Konsili vatikan II dapat dikatakan merupakan titik tolak hidup Gereja yang

dialogis . Dengan titik tolak, tidak dimaksudkan bahwa, seakan-akan hidup Gereja

yang dialogis tidak pernah ada-ada sebelumnya. Dialog, sebagaimana dicetuskan

Vatikan II mempnyai akar pada Tradisi hidup Gereja .14

Sidang Raya XII Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) 1994

menegaskan, bahwa Gereja berpartisipasi dan melayani dalam pembangunan

nasional sebagai pengamalan Pancasila dengan menghadirkan tanda-tanda

Kerajaan Allah, yaitu kesejahteraan, keadilan, kebebasan, persaudaraan,

perdamaian, dan kemanusiaan yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dunia ini

dengan kedatangan kerajaan-Nya. Dalam menghadapi tantangan untuk Gereja-gerja dan umat

Kristen Indonesia memahami dan menyadari benar, bahwa ia hadir dan diutus

dalam masyarakat majemuk Indonesia yang berdasarkan Pancasila di

tengah-tengah kemajemukan denominasi (aliran) gerejawi yang ada di Indonesia.

13

Budy Munawar Rachman, Membela Kebebasan Beragama : Percakapan tentang

Sekularisme, Liberalisme, dan Plurarilsme, cet.1, (Jakarta: Lembaga Study Agama dan Filsafat,

2010), h. 855-869.

14

Armada Riyanto, Dialog Agama dalam Pandangan Ger eja Katolik, ( Jogjakarta,

(32)

berpartisipasi dan melayani dalam pembangunan nasional secara bersama-sama

dengan melihat seluruh Nusantara sabagai satu wilayah bagi kesaksian dan

pelayanan bersama, Gereja-gereja terpanggil untuk membarui, membangun dan

mempersatukan Gereja serta mengusahakan kemandirian dibidang teologi, daya,

dan dana. Gereja-gereja di Indonesia dengan berpedoman kepada injil yang

memberitakan bahwa Tuhan menghendaki keadilan Kesejahteraan, persaudaraan,

kemanusiaan, kelestariaan, alam bagi dunia dengan kedatangan Kerajaan-Nya,

berpartisipasi dan melayani secara positif, Kreatif, kitis, dan realistis.15

Seluruh manusia diciptakan dengan gambar dan rupa Tuhan yang sama.

Tuhan memelihara dan mengasihi seluruh umat manusia di bumi ini. Maka oleh

karena itu seorang Kristen yang baik adalah mengasihi sesama manusia tanpa

melihat ras, golongan, agama, budaya, atau apapun bentuk perbedaan yang ada.

Dengan mengasihi sesama, umat Kristani dapat mengasihi Tuhan. Ada sebuah

kisah yang sangat menarik untuk disimak tentang perintah yang pertama dalam

Matius.

“Pada waktu orang Farisi mendengar bahwa Yesus sudah membuat

orang-orang Saduki tidak bisa berkata-kata lagi, mereka berkumpul. Seorang-orang dari

mereka, yaitu seorang guru agama, mencoba menjebak, Yesus dengan

satu pertanyaan, “Bapak Guru” katanya, Perintah manakah yang paling

utama di dalam hokum agama?” Yesus menjawab, “cintailah Tuhan

Allahmu dengan sepenuh hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan

15

Weinata Sairin, Visi Gereja Memasuki Milenium Bar: Bunga rampai Pemikiran, cet 1,

(33)

segenap akalmu. Itulah perintah pertama dan terpenting! Perintah kedua

yang sama dengan perintah itu: Cintailah sesamamu seperi engkau

mencintai dirimu sendiri”. (Matius 22: 34-39)

Kasih anak manusia harus berdasarkan kasih kepada Allah:

“Inilah tandanya bahwa kita mengasihi anaanak Allah, yaitu bahwa kita

menuruti perintah-perintah-Nya (1 Yoh. 5:3).

Surat Yohanes yang pertama, yang berkata kasih kepada Allah adalah

tanda bahwa umat Kristian mengasihi saudaranya sesama manusia. Juga berkata

bahwa kekurangan kasih kepada sesama adalah tanda bahwa kita kurang

mengasihi Allah.16

Kerajaan Allah artinya Allah yang meraja. Dan kalau Allah meraja, maka

orang-orang kecil dan tertindas mendapat perhatian istimewa, karena Allah

menghendaki persaudaraan semua orang. Persaudaraan dan kekeluargaan tidak

ada, kalau di satu pihak ada yang menindas dan di lain pihak ada yang ditindas,

kalau ada yang berkelimpahan dan ada yang kelaparan.

Keterlibatan dalam masyarakat berarti pelaksanaan hidup beriman, jadi

bukan hanya tuntutan dari luar, melainkan kebutuhan atau dorongan dari dalam.

Dengan demikian orang-orang yang kita layani bukanlah obyek cinta kasih

kristiani, melainkan subjek yang memungkinkan cinta kasih itu terwujud.17

16

Molcom Mrownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologis bagi

Pekerjaan Orang Kristen Dalam Masyarakat, ( Jakarta BPK Gunung Mulia, 2004), h. 24

17

(34)

Dari penjelasan di atas, dalam ajaran Katolik tentang hubungan antar umat

beragama, khususnya kebebasan memeluk agama, toleransi, dan sebagainya

terlihat jelas bahwa gereja berpartisipasi dan melayani dalam pembangunan

nasional sebagai pengalaman Pancasila dengan menghadirkan tanda-tanda

kerajaan Allah, yait kesejahteraan, keadilan, kebebasan, persaudaran, perdamaian,

dan kemanusiaan yang dikehendaki oleh Tuhan.

Penulis berpendapat bahwa ajran Katolik khususnya Gereja sangat

mementingkan persaudaraan oleh sesama umat beragama, ajaran Katolik tidak

mengajarkan tentang permusuhan antar sesama umat beragama dan sesama

manusia, menurut ajaran Katolik, seluruh manusia diciptakan dengan gambar dan

rupa Tuhan yang sama. Maka oleh karena itu ajaran Katolik mengajarkan setiap

manusia untuk mengasihi sesama manusia tanpa melihat ras, golongan, agama,

budaya, ataupuin bentuk perbedaaan yang ada.

3. Kebijakan Pemerintah Tentang Pendirian Rumah Ibadat

Sesuai dengan tujuannya, kehadiran Surat Keputusan Bersama (SKB) pada

tahun 1969 itu dipandang sebagai salah satu solusi yang tepat untuk memelihara

kerukunan antar umat beragama. Pada satu sisi umat beragama berhak untuk

mendirikan rumah ibadat, namun implementasian hak tersebut perlu diatur agar

tidak menimbulkan masalah yang dapat mengganggu hubungan antar umat

beragama.18

18

Hasil Kajian Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama

(35)

Berikut beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kebebasan

beragama dan juga prosedur pendirian rumah ibadat :

• Kebebasan beragama dalam peraturan perundang-undangan telah dijelaskan,

khususnya dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 tentang agama

disebutkan,

a) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

b) Negara menjmin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.19

• Dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. :

01/Ber/Mdn-Mag/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah

Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan

Ibadat oleh Pemeluk-pemeluknya dijelaskan, Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi : “Kepala Departemen Agama memberikan bimbingan, pengarahan dan pengawasan terhadap mereka yang memberikan penerangan/penyuluhan/ceramah agama/khotbah-khotbah di rumah-rumah

ibadat, yang sifatnya menuju kepada persatuan antara semua golongan masyarakat dan saling pengertian antara pemeluk-pemeluk agama yang berbeda”.20

19

Untuk lebih lengkap, lihat pada lembar lampiran, Peraturan perundang-undangan

tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia, (lampiran). 20

Lihat, Dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. :

01/Ber/Mdn-Mag/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah Dalam Menjamin

Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat oleh Pemeluk-pemeluknya,

(36)

• Selanjutnya, kebijakan pemerintah yang terkait dengan prosedur pendirian

rumah ibadat dijelaskan dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri No. : 9 dan 8 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Tugas

Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat

Beragama, Pemberdayaan Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah

Ibadat, pasal 14 ayat, disebutkan:

Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:

a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling

sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat

sesuai dengan tingkat batas wilyah.

b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang ayng

dissahkan oleh lurah/kepala desa.

c. Rekomendasi tertulis oleh kepala kantor departemen agama

kabupaten/kota; dan,

d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.21

• Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No: 1 Tahun

1979 Tentang Tata Cara Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada

Lembaga Keagamaan di Indonesia, pasal 3 dijelaskan sbb:

”Pelaksanaan penyiaran agama dilakukan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati sesama umat

21

Lihat, dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. : 9

dan 8 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Kerukunan Umat Beragama, dan

(37)

beragama serta dengan dilandasankan kepada penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk/menganut dan melakukan ibadat menurut agamanya.”22

22

Lihat, Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No: 1 Tahun

1979 Tentang Tata Cara Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga

(38)

BAB III

RENCANA PENDIRIAN GEREJA SANTA BERNADET

A. Latar Belakang Didirikannya Gereja Santa Bernadet

Paroki Santa Bernadet – Ciledug, pada mulanya merupakan bagian wilayah

pelayanan Paroki Santa Maria, Kota Tangerang. Karena daya tamping Gereja Santa

Maria di Kota Tangerang tidak mampu lagi ditambah, apalagi jarak yang terlalu jauh

bagi umat Katolik di Ciledug dan sekitarnya maka, pada tanggal 11 Februari 1990

dibentuk wilayah paroki sendiri dengan badan hukumnya bernama Pengurus Gereja

dan Papa Roma Katolik Paroki Santa Bernadet-Cailedug, dibawah naungan

Keuskupan Agung Jakarta. Selama dua tahun sejak pembentukan paroki, kegiatan

ibadat hari Minggu dan hari-hari raya dilaksanakan dengan berpindah-pindah, di

tempat-tempat yang cukup untuk waktu itu:

1. Gedung Pertemuan Peruru di Kompleks Peruri, Sudimara Timur, Ciledug

2. Lapangan Sepak Bola Galapuri di Kompleks Peruri, Sudimara Timur, Ciledug

3. Gedung Tinggi Asrama Polri, Jl. K.H. Hasyim Ashari, Ciledug

4. Lokagenta di Kompleks Departemen Keuangan, Karang Tengah

5. Gedung Arsip di Kompleks Departemen Keuangan, Karang Tengah1

1

Dikutip dari Proposal Permohonan Rekomendasi, Panitia Pembangunan Gereja Paroki Santa

Bernadet, 2010, h. 2

(39)

Tiadanya sarana ibadat umat Katolik di kecamatan-kecamatan lain di sekitar

Ciledug, menjadikan umat Katolik di wilayah-wilayah itu juga menjadi pelayanan

PGDP Paroki Santa Bernadet – Ciledug. Dengan demikian diperlukan sarana ibadat

yang mampu menampung mereka.

Pada tahun 1992 PGDP Paroki Santa Bernadet – Ciledug memperoleh izin

untuk menyelenggarakan ibadat di bangunan sementara Sekolah Sang Timur di

Kelurahan Karang Tengah, Kecamatan Ciledug (sebelum pemekaran kecamatan).

Setelah berjalan 12 tahun, pada bulan Oktober 2004 kegiatan ibadat diminta

diberhentikan oleh kelompok massa tertentu.

Semenjak kegiatan beribadat dilakukan di bangunan sementara Sekolah Sang

Timur dihentikan, maka kegiatan ibadat pada hari Minggu dilakukan secara tersebar

dan berpindah-pindah di rumah-rumah dengan daya tamping sebatas rumah tinggal,

di wilayah pemukiman yang kondusif. Sedangkan sebagian besar yang lain beribadat

di berbagai di lokasi gereja Katolik di wilayah DKI Jakarta dan Kabupaten

Tangerang.

Adapun ibadat pada hari-hari Natal dan Paskah diselenggarakan di berbagai

tempat yang memungkinkan pelaksanaannya seperti:

1. Gedung Olahraga, Tangerang

2. Gedung Serba Guna Palem Ganda Asri, Karang Tengah

(40)

4. Gedung Biru Universitas Budi Luhur, Pesanggrahan, Jakarta Selatan2

B. Prosedur Pendirian Gereja Santa Bernadet

Berdasarkan Akta Notaris Aloysius M. Jasin, SH, No. 83 Tanggal 29 Agustus

2008 mengenai perubahan anggaran dasar, nama badan hukum yang mengelola

Paroki Santa Bernadet menjadi Pengurus Gereja dan Papa Roma Katolik Paroki

Santa Bernadet, disingkat dan selanjutnya disebut PGDP Santa Bernadet,

berkedudukan di Kota Tangerang, dengan wilayah pelayanan di tujuh kecamatan:

1. Kecamatan Cipondoh

2. Kecamatan Pinang

3. Kecamatan Karang Tengah

4. Kecamatan Ciledug

5. Kecamatan Larangan

6. Kecamatan Pondok Aren

7. Kecamatan Serpong Selatan

Kini umat Katolik di tujuh kecamatan tersebut di atas berjumlah 10.486 jiwa

(per 28 Mei 2009). Peribadatan yang terselenggara dilayani oleh dua orang pastor,

yaitu:

1. Pastor Kepala: Pastor Derikson Alverius Turnip, CICM.

2

Dikutip dari Proposal Permohonan Rekomendasi, Panitia Pembangunan Gereja Paroki Santa

(41)

2. Pastor Rekan : Pastor Juvensius Jemdi, CICM.

Dalam hal diperlukan, dimintakan pastor dari Jakarta.

Saat ini domisili PGDP Paroki Santa Bernadet di Kompleks Barata, Jl. Barata

Raya No. 32, Karang Tengah, Tangerang 15157. PGDP Paroki Santa Bernadet telah

memiliki tanah bersertifikt Hak Milik seluas 6050 m2 berlokasi di RT 07/RW 04

Kelurahan Sudimara Pinang, Kecamatan Pinag dan bermaksud membangun tempat

ibadat/gereja Katoli di tanah tersebut.3

Setelah terbit Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri

No. 9 Tahun 2006 / No. 8 Tahun 2006, yang antara lain mengatur tentang syarat

pembangunan tempat ibadat, maka PGDP Paroki Santa Bernadet berusaha memenuhi

ketentuan tersebut.

Dalam rangka memenuhi butir-butir ketentuan dalam peraturan bersama

tersebut, PGDP Paroki PGDP Paroki Santa Bernadet telah menunjuk kami sebagai

Panitia Pembangunan Gereja Paroki Santa Bernadet. Selama masa kerja periode

pertama, kami telah melakukan sosialisai meliputi perkenalan, pendekatan, kegiatan

kemasyarakatan lingkup RT/RW, bakti sosial, pemahaman dan penyampaian

kehendak kepada para pihak, seperi:

1. Warga Sekitar

2. Ketua RT. 01 s.d RT. 07 di RW. 04

3

Dikutip dari Proposal Permohonan Rekomendasi, Panitia Pembangunan Gereja Paroki

(42)

3. Ketua RW. 04 dan Ketua RW. 03

4. Tokoh-tokoh Masyarakat

5. Ulama Setempat

6. Lurah Sudimara Pinang

7. Camat Sudimara Pinang

8. MUI Kecamatan Pinang

9. Walikota Tangerang

10.FKUB Kota Tangerang

11.Kandepag Kota Tangerang

12.Kanwil Kota Tangerang

Sesungguhnya, jauh sebelum panitia dibentuk, komunikasi atau sosialisasi

telah dilakukan oleh umat Katolik setempata/sekitar lokasi, sebagai konsekuensi logis

masyarakat. Saat ini kami telah mendapat dukungan sebagian anggota masyarakat

/sekitar yang menyatakan tidak berkeberatan atas pembangunan gereja Katolik,

sebanyak 186 orang.4

Jika di lihat dari Proposal Permohonan Rekomendasi Panitia Pembangunan

Gereja Paroki Santa Bernadet tahun 2010, penulis berpendapat bahwa persyaratan

yang dipenuhi oleh panitia pembanguna gereja Santa Bernadet dalam mendirikan

rumah ibadah, sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah tentang pendirian rumah

4Dikutip dari Proposal Permohonan Rekomendasi, Panitia Pembangunan Gereja Paroki Santa

(43)

ibadah. Hanya saja pihak pemerintah, dalam hal ini Kelurahan belum merekomendasi

permohonan tersebut. Pihak kelurahan harus mengkaji ulang mengenai tanda bukti

warga yang mendukung didirikannya Gereja Santa Bernadet melalui tanda tangan

warga (muslim) yang mendukung pendirian rumah ibadat, hal ini untuk membuktikan

apakah tanda tangan itu asli ataukah rekayasa. Dan agar tidak ada pihak yang

menuduh atau mengklaim bahwa tanda tangan itu hasil rekayasa atau tidak. Akan

tetapi berdasarkan pengamatan dan dan penelitian penulis, bahwa pihak panitia

pembangunan Gereja telah melakukan pelanggaran peraturan pemerintah, yaitu telah

memberikan uang kepada warga sebagai tanda untuk mendukung rencana pendirian

Gereja.

C. Problem Mendirikan Gereja Santa Bernadet

Dalam pembahasan ini, penulis mendapatkan data-data yang bersumber dari

hasil wawncara penulis dengan Ketua Pembangunan Gereja Paroki Santa Bernadet,

yaitu dengan Antonius Turmijo.

Dalam hasil wawancara penulis, Antonius Turmijo selaku ketua

pembangunan Gereja Santa Bernadet mengungkapkan bahwa sejauh pengalaman

hidupnya sebagai orang yang beragama, bapak Antonius Turmijo selalu merenung,

mengapa di diri manusia selalu tertanam konflik itu selalu ada?, bapak Antonius

Turmijo pada waktu kecil sudah menjadi “korban” konflik agama, hanya berbeda

agama, lalu menjadi ”musuh”. Beliau (Antonius Turmijo) perihatin, kenapa perasaan

(44)

kecil sepertinya sudah tertanam bahwa “kita” (Muslim) harus jauh dengan orang yang

berbeda agama, entah Kristen ataupun Katolik, dalam diri mereka (anak kecil

muslim) terdapat sifat kebencian terhadap umat Kristen maupun Katolik.

Selanjutnya Antonius Turmijo juga mengungkapkan dan berpendapat bahwa

orang tua merekalah (anak kecil muslim) yang memberikan doktrin tentang

hubungan menjauhi terhadap umat Kristen atau Katolik. Kenapa “yang katanya”

secara doktrinial, manusia tidak harus saling membenci sesama manusia maupun

agama, tapi malah tertanam terus perasaan saling membenci terhadap manusia atau

antarumat beragama?5

Kemudian selain itu juga, diakui oleh Antonis Turmijo warga Sudimara

Pinang mempunyai perasaan curiga yang sudah tertanam tentang persyaratan

mendirikan rumah ibadat yang telah terpenuhi semua. Tanda tangan sebagai bukti

tidak berkeberatan atau mendukung atas pendirian rumah ibadat Gereja Santa

Bernadet, dianggap rekayasa oleh warga yang menolak didirikannya Gereja. Bahkan

ada isyu yang berkembang pada masyarakat khususnya warga di Sudimara Pinang

banwa setiap orang atau warga yang tanda tangan diberikan uang oleh Panitia

Pembangunan Gereja agar warga mendukung pendirian gereja. Jika memang tanda

tangan itu dianggap rekayasa, Antonius Turmijo selaku Panitia Pembangunan Gereja

siap untuk bertanggung jawab dan membuktikan bahwa tanda tangan itu asli dan

bukan rekayasa. Jadi, ada beberapa isyu yang sudah tersebar di Sudimara Pinang ,

5

(45)

yang pertama adalah masalah tanda tangan yang sudah dijelaskan , kedua adalah

masalah Kristenisasi.

Dalam wawancara berikutnya, Antonius Turmijo mengungkapkan, Memang,

umat Katolik mempunyai program kemasyarakatan, seperti bakti sosial yaitu

pengobatan gratis kepada warga Sudimara Pinang, pendidikan dan lain sebagainya.

Dan itu kemudian malah dianggap sebagi usaha Kristenisasi. Ketiga adalah masalah

dana. Isyu yang berkembang pada warga Sudimara Pinang, dana untuk pendirian

rumah ibadah Gereja Santa Bernadet adalah dari Amerika, itu tidak benar.6

Menurut Antonius Turmijo, bahwa pada dasarnya dalam hubungan antar

agama, bersosialisasi jika tidak ada gangguan sama sekali seratus persen, tidaklah

manusia dapat hidup bersama, berdampingan, lalu sesuatu itu bisa mengganggu atau

tidak, sangat personal. Pada salah satu masalah, orang merasa terganggu dan tidak

terganggu, itu sangat personal. Tetapi secara umum, mugkin ada yang secara sosial

ada masalah yang bisa menganggu. Jadi batasannyna memang hak oarang lain.

Selama masih hidup di dunia ini, proses sosial itu bukan hanya menyangkut masalah

agama saja. Agama menyangkut proses psikolog sosial. Sejauh menyangkut

hubungan antara Islam dan Kristen, mengapa hal-hal yang menurut Antonius Turmijo

tidak mengganggu malah diangap megganggu.7

6

Antonius Tumidjo, Wawancara Pribadi, Sudimara Pinang, 3 November 2010

7

(46)

Selanjutnya dalam hasil wawancara penulis dengan Antonius Turmijo

mengungkapkan, baru-baru ini beliau sempat kecewa terhadap aparat pemerintah

Kelurahan Sudimara Pinang sampai saat ini Pemerintah belum merekomendasi surat

permohonan Panitia Pembangunan Gereja Santa Bernadet. Pihak Pemerintah

berpendapat, bahwa permasalahannya adalah mayoritas dan minoritas keagamaan di

Tangerang, khususnya di Sudimara Pinang. Pihak Pemerintah meengatakan bahwa,

warganya banyak yang menganut agama Islam dibandingkan dengan Katolik.

Padahal sepengatahuan saya (Antonius Turmijo) tentang persyaratan mendirikan

rumah ibadat, tidak tercantum atau tertulis mengenai mayoritas dan minoritas, itu

tidak ada. Sampai sekarang saya masih bingung, tapi saya diajarkan oleh orang

terdekat dan juga menurut ajaran kami (katolik) agar selalu sabar. Ketua RW

Sudimara Pinang juga tidak akan menanda tangani rencana persetujuan pembanguan

gereja, selain tidak setuju, Ketua RW juga khawatir akan digencet (diancam) oleh warga jika ia mendukung. Itulah yang menurut Antonius Turmijo, menjadi

penghambat kebebasan dalam hal mendirikan rumah ibadat.8

8

(47)

BAB IV

REALITAS PROBLEM KEBEBASAN BERAGAMA

A. Respons Tokoh Islam terhadap Rencana Pendirian Gereja

Dalam pembahasan ini, penulis mendapatkan data-data yang bersumber dari

hasil wawncara penulis dengan Ketua FOKUS (Forum Komunikasu Umat Isalam

Sudimara Pinang), yaitu dengan Bapak H. Sidih.

Terbentuknya FOKUS (Forum Komunikasi Umat Islam Sudimara Pinang)

dilatar belakangi oleh keresahan warga Sudimara Pinang dan juga kekhawatiran

Tokoh Masyarakat Sudimara Pinang atas tindakan Panitia Pembangunan Gereja

Santa Bernadet yang selalu berupaya mendirikan Gereja. Selain itu juga para Tokoh

Masyarakat khawatir akan adanya Kristenisasi di Sudimara Pinang, terkait rencana

pendirian rumah ibadah. Dalam proses rencana pendirian Gereja Santa Bernadet, dari

mulai tahun 2001 sampai dengan saat ini tahun 2010 ada beberapa kejadian yang

mengarah ke arah konflik antara umat Islam dan umat Katolik. Salah satu contohnya

yaitu, umat Katolik pernah melakukan kebaktian di gedung kecil serbaguna yang

berada di kompleks Tarakanita, yaitu kompleks umat Katolik yang berdekatan dengan

rumah warga Sudimara Pinang.1

1

Wawancara Pribadi, Bapak Sidih, Sudimara Pinang, 28 November 2010

Warga merasa terganggu dengan kendaraan yang

parkir dekat halaman rumah warga. Selain itu juga, umat Katolik telah melanggar

perjanjian antara tokoh warga Sudimara Pinang dan Panitia Pembangunan Gereja,

(48)

bahwa umat Katolik tidak akan melakukan peribadatan di lokasi tersebut. Tapi pada

akhirnya segera dilakukan sosialisasi dan musyawarah antar tokoh agama Sudimara

Pinang dengan umat Katolik. Dan emosi warga dapat direda oleh para tokoh

Sudimara Pinang.

Oleh karena itulah, pada awal tahun 2010 dengan pertimbangan di atas, Tokoh

Islam, Tokoh Masyarakat dan Warga Sudimara Pinang membentuk FOKUS (Forum

Komunikasi Umat Islam Sudimara Pianang). FOKUS (Forum Komunikasi Umat

Islam Sudimara Pinang) bertujuan untuk melindungi warga dari aksi Kristenisasi,

menghalangi warga jika terjadi konflik, menggalang aksi penolakan atas rencana

pendirian Gereja Santa Bernadet, dan sebagainya.

Sebagai ketua FOKUS (Forum Komunikasi Umat Islam Sudimara Pinang)

yang ditunjuk oleh warga dan tokoh Sudimara Pinang, H. Sidih mengungkapkan

bahwa ia menolak rencana didiriknnya Gereja Santa Bernadet. Ada beberapa alasan

yang menyebabkan warga dan pengurus FOKUS (Forum Komunikasi Umat Islam

Sudimara Pinang) menolak,2

1. Sebagian besar warga Kelurahan Sudimara Pinang, memeluk agama Islam.

Sangat tidak wajar ada pembangunan Gereja Katolik di tengah-tengah

pemukiman umat Islam.

diantaranya:

2. Rencana pembangunan Gereja Katolik, jaraknya kurang lebih 100 m - 150 m,

dari Masjid As-Shabirin, Mushalah Al-Azhar, dan Mushalah Al-Muhajirin.

2

(49)

3. Penduduk Kelurahan lain yang berbatasan dengan langsung dengan Kelurahan

Sudimara Pinang di sebelah Selatan Kelurahan Paku Jaya, di sebelah Utara

Kelurahan Pinang, di sebelah Barat Kelurahan Kunciran, dan di sebelah

Timur Kelurahan Pedurenan, yang mayoritas penduduknya memeluk agama

Islam.

4. Mengantisipasi misi Kristenisasi umat islam di lingkungan Kelurahan

Sudimara Pinang dan sekitarnya.3

Selanjutnya, dalam hasil wawancar H. Sidih mengakui bahwa pernah di bujuk

dan dijanjikan akan diberikan uang yang besar jika H. Sidih menandatangani atau

mendukung rencana pembangunan Gereja Santa Bernadet. H. Sidih juga mengatakan

bahwa ada sebagian warga Sudimara Pinang yang menandatangani izin mendirikan

Gereja tersebut dan diberikan uang sebesar Rp. 500.000; per orang, menurut H. Sidih

tindakan tersebut adalah salah dan menyalahi peraturan pemerintah.

Selama pihak Panitia Pembangunan Gereja Santa Bernadet terus melakukan

upaya mendirikan Gereja tersebut, maka FOKUS (Forum Komunikasi Umat Islam

Sudimara Pinang) dan sebagai warga Sudimara Pinang akan terus berupaya menolak

izin pembangunan Gereja Katolik tersebut. Karena menurut H. Sidih, Panitia

Pembangunan Gereja Santa Bernadet juga telah menyalahi atau melanggar perjanjian

yang menyatakan bahwa Ketua Panitia Pembangunan Gereja Santa Bernadet yaitu

3

FOKUS (Forum Komunikasi Umat Islam Sudimara Pinang), Proposal Penolakan Gereja

(50)

Antonius Turmijo tidak akan meneruskan rencana pembangunan Gereja Santa

Bernadet tersebut, tapi malah dilanggar.4

Dalam pembahasan ini, dan untuk melengkapi data-data, penulis juga

melakukan wawancara dengan Bapak Ustadz Sugeng selaku Tokoh Masyarakat dan

diapandang sebagi Ustandz oleh warga Sudimara Pinang.

Terkait kebebasan beragam , sebagai warga Negara Indonesia, meyakini

bahwa di dalam Undang-Undang terdapat enam agama yaitu Budha, Hindu, Kristen,

Konghucu, Katolik dan termasuk Islam di dalamnya dan ada juga kepercayaan, jadi

Ksebagai warga Negara Indonesia bebas memilih. Dan dalam Al-Qur’an dijelaskan,

lakum dinukum waliyadin, antara elu-elu ya gua-gua (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Jadi kebebasan beragama yah silahkan saja, tapi kan ada patokan

(batasan). Terkait rencana pendirian gereja Santa Bernadet, Ustadz Sugeng termasuk

yang menolak. Karena ustadz Sugeng sebagai Tokoh Masyarakat dan dianggap

Ustadz, jadi sikap Usatdz Sugeng menjadi panutan bagi masyarakat di Sudimara

Pinang. Jika Ustadz Sugeng mendukung rencana pendirian gereja Santa Bernadet, apa

nanti kata warga Sudimara Pinang?

Kalau di kampung Sudimara Pinang memang banyak yang memeluk agama

Islam, dan seharusnya Panitia Pembangunan Gereja Santa Bernadet jangan membuat

Gereja terlebih dahulu, karena belum saatnya. Karena ada persyaratan yang harus

dipenuhi, sesuai dengan peraturan pemerintah.

4

(51)

Sebagai tokoh Islam dan juga tokoh masyarakat di Sudimara Pinang, Usatdz

Sugeng telah melakukan musyawarah dengan berbagai ulama yang berada di

Sudimara Pinang. Dari hasil musyawarah tersebut telah dibentuk FOKUS (Forum

Komunikasi Umat Islam Sudimara Pinang) telah sepakat dan kompak akan terus

menolak rencana pendirian gereja tersebut. Jadi menurut Ustadz Sugeng, selama

warga Sudimara Pinang dan pengurus FOKUS masih menyikapi dengan menolak

Gereja tersebut tidak akan berdiri.5

B. Respons Pemerintah terhadap Rencana Pendirian Gereja

Di Kelurahan sudimara Pinang memang ada rencana pembangunan Gereja

Santa Bernadet, jika dlihat dari persyaratan yang dipenuhi, memang sudah lengkap,

tetapi memang ada pihak-pihak atau warga di Sudmara Pinang yang yang menolak

terhadap rencana pembangunan tempat ibadah (gereja), warga yang menolak lebih

banyak dibandingkan oleh pihak-pihak yang mendukung. Bahkan, pada waktu panitia

Pembangunan Gereja akan mengajukan proposal permohonan rekomendasi, warga

Sudimara Pinang yang menolak didirikannya Gereja Santa Bernadet telah datang ke

Kelurahan terebih dahulu membawa surat dan bukti penolakan terhadap izin

pembangunan Gereja tersebut. Dan setelah dibandingkan ternyata warga yang

menolak lebih banyak dibandingkan dengan warga yang mendukung.

5

(52)

Pada awalnya, sepuluh tahun yang lalu memang pihak Panitia Pembangunan

Gereja Santa Bernadet membeli tanah dengan luas 6050 m2. Tanah akan digunakan

untuk mendirikan sarana ibadah umat Katolik (gereja) yang berada di komleks

Tarakanita di Kelurahan Sudimara Pinang, Kecamatan Pinang Kota Tangerang.

Proses pembelian tanah dlakukan sesuai peraturan. Tapi sayangnya pada waktu itu ,

warga tidak mengetahui jika di atas tana itu akan dibangun Gereja. Tidak lama

kemudian, maka warga mengetahui bahwa di atas tanah tersebut akan dibangun

Gereja dan warga kemudian melakukan aksi penolakan kepada Pemerintah.6

Sebagai pihak Pemerintah, harus toleransi, hormat menghormati dengan

agama yang lain. Begitupun masyarakat, terkait izin mendirikan tempat ibadah

(Gereja Santa Bernadet ) yang berada di Kelurahan Sudimara Pinang, Kecamatan

Pinang Kota Tangerang, warga Sudimara Pinang masih tinggi paham fanatisme

terhadap agama yang di anutnya, jadi dengan faham fanatisme yang masih tinggi

tersebut, sikap penolakan waraga terhadap rencana pembanguan Gereja akan terus

dilakukan. Dan sebaliknya, dari pihak Gereja juga akan terus berusaha mendaptkan

izin dari warga dan Pemerintah terkait pebangunan Gereja Santa Bernadet. 7

Pihak pemerintah, dalam hal ini Kelurahan Sudimara Pinang khawatir jika

rencana pembangunan Gereja Santa Bernadet diizinkan, maka akan terjadi konflik

yang besar anatar umat Bergama di Sudimara Pinang. Bahkan dari FKUB (Forum

6

Wawancara Pribadi, Ahamad Tribuana, Kantor Kelurahan Sudimara Pinang, 4 November 2010

7

Referensi

Dokumen terkait