PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I)
Oleh:
ANDRY KURNIAWAN NIM: 102046125283
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I)
Oleh:
ANDRY KURNIAWAN NIM: 102046125283
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. Drs. H. Ahmad Yani, MA.
NIP: 150 269 678
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S 1)pada Program Studi Muamalat.
Jakarta, 19 Februari 2009
Disahkan oleh
Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (...) NIP. 150 210 422
Sekretaris : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH. (...) NIP. 150 318 308
Pembimbing I : Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. (...)
Pembimbing II: Drs. H. Ahmad Yani, MA. (...)
NIP. 150 269 678
Penguji I : Dr. Hasanuddin, M. Ag (...) NIP. 150 268 590
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tanggal 19 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S 1)
pada Program Studi Muamalat
Jakarta, 7 Februari 2007
Disahkan oleh
Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
Ketua : Dr. Euis Amalia, M.Ag (...) NIP. 150 289 264
Sekretaris : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH. (...) NIP. 150 318 308
Pembimbing I : Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. (...)
Pembimbing II: Drs. H. Ahmad Yani, MA. (...)
NIP. 150 269 678
Penguji I : Dr. Hasanuddin, M. Ag (...) NIP.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 03 Maret 2009
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Kehadirat Allah SWT, pemilik Alam Semesta. Karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi di
akhir zaman yang menjadi suri teladan bagi seluruh umat manusia.
Dalam menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi bukanlah
hal yang mudah, tetapi harus dilewati dengan berbagai rintangan yang tidak terduga
sebelumnya. Tahap demi tahap dengan selalu memohon ridho kepada Allah SWT,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, dengan didukung oleh
pihak-pihak dari luar.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Mu’amalat
Konsentrasi Perbankan Syariah.
3. Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., MH., selaku Sekretaris Program
Studi Mu’amalat Konsentrasi Perbankan Syariah.
4. Ibu Dra. Hj. Hafni Muchtar, S.H., MH., MM., selaku Pembimbing Skripsi.
6. Papah dan Mamah yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan
serta senantiasa mencurahkan segala dukungan baik moril maupun materil.
7. Saudara-saudaraku Etty Widdyan, Erry Suryana, Irwan Supriyana, Andryana
Widdyan dan Andryani Widdyan, serta keponakanku: Arif Permana Putera
yang selalu mengisi hari-hariku di rumah dengan canda dan tawa.
8. Irmalia yang selalu menyemangatiku baik dalam keadaan susah maupun
senang. Dhanu, Oke, Fauzan, Azis, Arfah, Fidyar, Anggoro, serta rekan-rekan
kampus, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Mengingat segala keterbatasan dan kemampuan, penulis menyadari masih
adanya kekurang sempurnaan pada skripsi ini, kritik dan saran yang membangun
selalu terbuka lebar demi perbaikan dalam penulisan skripsi selanjutnya.
Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi
penulis.
Depok, 03 Maret 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ... 9
E. Review Terhadap Penelitian Terdahulu ... 10
F. Sistematika Penulisan... 14
BAB II KERANGKA TEORI A. Sejarah Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai...15
B. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai ...19
C. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ...21
D. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pengkreditannya...24
E. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai ...36
F. Subjek Dan Objek Pajak Pertambahan Nilai ...45
G. Pajak Pertambahan Nilai Yang Ditanggung Pemerintah...53
H. Faktur Pajak ...54
BAB III PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Perpajakan Memurut Hukum Islam ...61
1...P
engertian Hukum Islam...61
2...P
ajak Dalam Islam...63
3...S
ejarah Pemungutan Zakat Dan Pajak Dalam Islam ...64
4...D
asar Hukum Pemungutan Pajak Dalam Hukum Islam ...68
5...P
ersamaan Dan Perbedaan Antara Zakat Dan Pajak ...77
6...K
arakteristik Pajak Dalam Hukum Islam ...79
B. Analisa Praktik Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Perspektif
Hukum Islam...80
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ...84
B. Saran-saran...85
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Telaah ilmiah terhadap ajaran agama Islam adalah untuk kepentingan umum
dalam kehidupan duniawi sebagai persiapan menghadapi kehidupan ukhrawi. Karena
itu ajaran Islam tidak hanya mempelajari ataupun mendalami masalah teologi dan
ritual semata, tetapi juga mencakup persoalan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Islam memandang bahwa harta kekayaan dan penghasilan yang diperoleh oleh
manusia dari berbagai kegiatan ekonomi merupakan harta yang dimiliki oleh Allah
Swt. dan diamanatkan kepada manusia. Oleh karena itulah, di dalam harta tersebut
terdapat hak orang lain dan salah satu cara untuk membelanjakan harta tersebut yaitu
dengan membayar zakat untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya
berdasarkan al-Qur’an dan hadits, serta membayar pajak kepada negara untuk
digunakan dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Hal ini sesuai dengan perkataan yang dilontarkan oleh Ali bin Abi Thalib,
seperti yang dikutip oleh B. Wiwoho yang mengatakan bahwa negara itu ibarat
sebuah taman. “Pagar yang menjaga keselamatan taman itu adalah undang-undang,
yaitu kekuasaan yang wajib ditaati. Taat dan kepatuhan rakyat kepada undang-undang
itulah yang menjadi sebab teguhnya pemerintahan. Pemerintah itu adalah ibarat
Tentara itu adalah alat negara yang harus ditanggung semua keperluannya oleh kas
negara dan kas negara itu dikumpulkan dari rakyat…”1
Pada zaman Rasulullah saw., sisi penerimaan APBN terdiri atas kharaj
(sejenis pajak tanah), zakat, khums/ghanimah (pajak
5 1
dari harta rampasan perang),
jizyah (sejenis pajak atas badan orang non muslim), dan penerimaan lain-lain
(diantaranya kaffarah/ denda).2 Lain halnya pada masa kekhalifahan Umar bin
Khaththab RA yang menerapkan ‘usyr (pajak
10 1
dari hasil perdagangan). Oleh
karena itulah ‘usyr bukan bersumber dari al-Qur’an dan bukan pula dari Sunnah nabi
SAW, akan tetapi bersumber dari ijtihad para sahabat.3
Negara Indonesia merupakan negara yang besar dan tentunya dengan
permasalahan yang besar pula, terutama dalam permasalahan di bidang
perekonomian. Oleh karena itulah, pemerintah mempunyai tiga fungsi utama, yang
oleh Musgrave dan Musgrave disebut sebagai Fiscal Function seperti yang dikutip
oleh Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, yaitu:
1. Mengatasi masalah inefisiensi dalam mengalokasikan sumber-sumber
ekonomi,
1
B. Wiwoho., et., al., Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1992), Cet.ke 3, h.35.
2
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta, Gema Insani Press, 2001), cet.ke 1, h. 25.
3
2. Mendistribusikan penghasilan dan kekayaan kepada masyarakat sehingga
tercapai masyarakat yang adil dan makmur, serta
3. Untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari
fluktuasi perekonomian dan menjaga/ menjamin tersedianya lapangan
kerja (memperkecil tingkat pengangguran) serta penjaga stabilitas harga. 4
Pada umumnya negara mempunyai sumber-sumber penghasilan yang terdiri
dari:
1. Bumi, air dan kekayaan alam.
2. Pajak-pajak, bea dan cukai.
3. Penerimaan Negara, Bukan Pajak (non tax).
4. Hasil Perusahaan Negara.
5. Sumber-sumber lain.5
Saat ini, pajak merupakan kontributor terbesar dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) kita yang berarti perannya sangat besar bagi kelangsungan
pembangunan bangsa ini.6 Pemerintah tidak dapat semena-mena untuk dapat menarik
pendapatan yang berasal dari pajak. Oleh karena itulah, penarikan pajak yang
dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan pada azas keadilan serta hukum pajak
yang diletakkan dalam pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 Republik
4
Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005), ed.ke 1, h. 3.
5
H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002), ed.Revisi, cet.ke 4, h. 11.
6
Indonesia yang berbunyi: “segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan
undang-undang”.
Jadi setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan
Undang-undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang hanya dipungut berdasarkan
Keputusan Presiden atau berdasarkan Peraturan Pemerintah atau berdasarkan
peraturan-peraturan lain yang lebih rendah daripada Undang-undang.7
Lain halnya dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan,
Keputusan Direktur Jenderal Pajak serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang
berkaitan dengan pelaksanaan Undang-undang pajak. Selain itu pula berbagai
peraturan daerah, baik Peraturan Daerah Propinsi maupun Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, yang mengatur tentang pemberlakuan suatu jenis pajak daerah di
suatu propinsi atau kabupaten/kota.
Lahirnya Undang-undang Pajak Nasional, sebagai pengganti undang-undang
pajak yang berlaku sebelumnya yang isinya sebagian besar berasal dari zaman Hindia
Belanda, seperti Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan
tahun 1932 dan Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944.8 Merupakan salah satu
faktor yang mendukung keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan sampai
sekarang, sehingga kelahirannya memiliki arti sejarah bagi bangsa dan negara.
Undang-undang Pajak Nasional ini terdiri dari:
7
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, (Bandung, PT. Rafika Aditama, 1998), ed. Revisi, cet.ke 5, h. 7.
8
1. Undang-undang No. 6 tahun 1983 yang telah diubah untuk kedua kalinya,
dan terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan umum dan tata cara Perpajakan.
2. Undang-undang No. 7 tahun 1983 yang telah diubah untuk ketiga kalinya,
dan terakhir dengan Undang-undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (PPh).
3. Undang-undang No. 8 Tahun 1984 yang telah diubah untuk kedua kalinya,
dan terakhir dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas barang
Mewah (PPnBM). 9
Selain undang-undang yang tertera pada undang-undang pajak nasional,
terdapat undang-undang yang mengatur tentang pemungutan pajak, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 1994.
2. Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materai.
3. Undang-undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 tahun 2000.
4. Undang-undang Nomor 18 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
9
Undang-undang No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang lebih dikenal dengan
Undang-undang pajak Pertambahan Nilai 1984 merupakan salah satu produk
reformasi sistem perpajakan nasional (tax reform) 1983. sebagai pengganti
Undang-undang No. 19 Tahun 1951 Drt. Jo Undang-Undang-undang No. 35 Tahun 1953 tetang Pajak
Penjualan, Undang-undang PPN 1984 ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985.10
Dalam perjalanannya, UU Nomor 8 Tahun 1983 ini telah dua kali diubah yaitu:
1. Mulai 1 januari 1995 diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1994 meliputi
pasal 1 sampai dengan pasal 17 berurutan.
2. Mulai 1 Januari 2001 diubah untuk yang kedua kalinya dengan UU Nomor
18 tahun 2000 meliputi pasal 1 sampai denga pasal 16C namun tidak
berurutan. 11
Berdasarkan atas dasar hukum tersebut, maka pemerintah mewajibkan kepada
warga negaranya untuk membayar pajak yang merupakan salah satu sumber utama
pendapatan pemerintah pusat maupun daerah yang berguna untuk
pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus,
dipergunakan untuk membiayai public investment, dan diambil dari sebagian
kekayaan warganya tanpa mendapatkan prestasi-kembali dari negara dari pembayaran
atau penyetoran pajak.
10
Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), ed. Revisi, cet.ke 6, h. 15.
11
Oleh karena itulah apabila terdapat kelalaian dalam membayar atau menyetor
pajak maka pemerintah yang dalam hal ini fiskus dapat menagih pajak dengan
memberikan surat paksa berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Pemungutan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000, akan tetapi apabila terdapat suatu perselisihan maka
dapat ditindak dengan hukum yang berlaku, berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak yang menggantikan UU No. 17 tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai populer di Indonesia pada 1980-an
karena relatif mudah bagi pemerintah untuk memungutnya. Berbeda dengan Pajak
penghasilan (PPh) yang dipungut setelah berlalunya kurun waktu tertentu dan
kemungkinan timbulnya perselisihan atas jumlah pajak yang harus dibayar, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dipungut tunai ketika barang terjual dan jumlahnya jelas.
Sepintas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tampak memang lebih mudah, tetapi
ternyata menimbulkan ekses negatif pada harga dan jumlah yang diperdagangkan.12
Akan tetapi dari banyaknya Undang-Undang pajak yang berlaku di Indonesia,
tidak terdapat Undang-Undang yang mendefinisikan pajak secara rinci. Hal ini
tampaknya terkait dengan definisi pajak itu sendiri, yang apabila di definisikan maka
akan terlihat jelas bahwa pajak itu merupakan salah satu alat kepentingan penguasa. 13
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pada pembahasan ini penulis tertarik untuk
12
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, h. 46.
13
membahas masalah perpajakan dengan judul “Praktik Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Perspektif Hukum Islam”. Pembahasan ini berdasarkan Undang-undang No. 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Masalah pajak adalah masalah negara dan setiap orang yang hidup dalam
suatu negara harus berurusan dengan pajak, oleh karena itu masalah pajak juga
menjadi masalah seluruh rakyat dalam negara tersebut. Dengan demikian setiap orang
sebagai anggota masyarakat suatu negara harus mengetahui segala permasalahan
yang berhubungan dengan pajak.
Dari latar belakang yang telah diuraikan, maka terlihat betapa seriusnya
pemerintah dalam upaya untuk memungut pajak dari warga negaranya, walaupun
tidak terdapat Undang-Undang yeng menjelaskan serara rinci dari definisi pajak itu
sendiri. Tertarik dengan hal itu, maka pada pembahasan penelitian ini penulis
berupaya mengkaji lebih jauh tentang pemungutan Pajak pertambahan Nilai (PPN).
Penulis ingin merumuskan beberapa hal yang terkait dalam pembahasan skripsi ini
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan pajak dan zakat dalam Islam?
2. Bagaimanakah teori dan aplikasi peraktik pemungutan Pajak
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Pembahasan dalam penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang peraktik pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN). Selanjutnya, di harapkan dapat memeperoleh gambaran yang jelas
mengenai hal tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dengan jelas kedudukan pajak dan zakat dalam
hukum Islam.
b. Untuk mengetahui dengan jelas teori dan aplikasi peraktik
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut hukum Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu :
a. Manfaat yang bersifat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan berguna
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang
perpajakan di Indonesia, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
b. Manfaat yang bersifat praktis, sebagai upaya bagi pemerintah untuk
membuat Undang-Undang yang mengatur tentang pemungutan pajak
yang sesuai dengan hukum Islam.
Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis
yang dilakukan dengan cara penelaahan naskah. Data-data yang diperlukan dalam
pembahasan skripsi ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan.
Adapun data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu yaitu data yang
diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku serta sumber lainnya
yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan metode ini penulis memperoleh
data dengan mengumpulkan, mempelajari serta menelaah buku-buku bacaan yang
sesuai dengan judul penelitian.
Sedangkan untuk metode pengumpulan data, penulis menggunakan studi
pustaka serta studi dokumentasi, yaitu metode yang didasarkan pada sumber
dokumen atau bahan bacaan. Data yang telah terkumpul diseleksi dan disusun
kemudian dianalisa dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu menerangkan secara
sistematis dengan meneliti permasalahan yang ada pada tulisan ini untuk kemudian
ditarik suatu kesimpulan sehingga membentuk suatu karya tulis yang mencerminkan
satu kesatuan yang utuh.
Adapun teknik penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2007”.
Review Terhadap Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu, penulis hanya menemukan dua penulis lain yang
membahas tentang Pajak Pertambahan Nilai. Seperti yang dilakukan oleh Fauziah
Pertambahan Nilai Pada Kredit Kendaraan Bermotor dan Murabahah (Studi Kasus
BNI Konvensional dan BNI Syariah)”.
Isi dari penelitian yang ditulis Fauziah yaitu: Pembahasan tentang Pengertian
PPN, Mekanisme Pemungutan PPN, Objek dan Subjek PPN, Dasar Pengenaan Pajak,
serta Tarif PPN, Pengertian Kredit dan Unsur-unsurnya, Jenis-jenis Kredit, Analisis
Penentuan Besarnya kredit untuk konsumtif, Definisi Murabahah, Landasan Syariah,
Jenis-jenis Murabahah serta aplikasinya dalam perbankan Islam.
Sedangkan kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan Fauziah yaitu:
a. Komposisi angsuran yang ada pada kredit kendaraan maupun murabahah hampir
sama, yaitu sama-sama dalam angsuran tersebut terdiri dari nilai pokok dan harga
jual termasuk PPN dan PPnBM. Yang membedakan yaitu, pada kredit terdiri dari
bunga, sedangkan murabahah terdiri dari margin atau nisbah bagi hasil.
b. Komponen bungan terdiri dari cost of fund, biaya operasional, cadangan resiko
kredit macet, laba yang diinginkan serta pajak.
c. Komponen murabahah terdiri dari peta persaingan, target pembiayaan, target dana
pihak ketiga, target pendapatan, dan target biaya operasional.
d.Penghitungan kredit dengan Efektif In Area Rates/ Sliding Rate, sedangkan
murabahah dengan Flat Rate.
e. Pengenaan PPN pada kredit kendaraan dan murabahah dilakukan sekali yaitu pada
saat penyerahan barang dari supplier/dealer kepada nasabah.
f. Penghitingan PPN berdasarkan mekanisme kredit pajak.
Sedangkan penulis lainnya yaitu Nurahdiyani HM (tahun 2007) yang
berjudul, Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Pajak Pertambahan
Nilai Pada Produk Murabahah di Bank Muamalat Indonesia.
Isi dari penelitian Nurahdiyani yaitu: Pengertian serta jenis-jenis Pajak,
Gambaran Umum Pajak Pertambahan Nilai, Pengertian, Mekanisme, Karakteristik,
Tipe Pemungutan, Prinsip Pemungutan, Barang Kena Pajak, Jasa Kena Pajak, Objek
dan Subjek PPN, Dasar Pengenaan serta Tarif PPN, Pengertian Murabahah, landasan
Syariah, Syarat-syarat, Jenis murabahah kepada pemesan pembelian, aplikasinya
dalam perbankan.
Sedangkan kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan Nurahdiyani HM
yaitu:
a. Bank Muamalat Indonesia mengenakan PPN hanya sekali yaitu pada saat
pembelian barang kepada supplier.
b. Murabahah merupakan produk pembiayaan dalam rangkan perantaraan antara
pemilik dana dan pengguna dana.
c. SK Dirjen Pajak No. 243 dan No. 271, tanggal 04 September 2003 menetapkan
bahwa murabahah menjadi produk yang dikenai pajak sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang masih berlaku.
d. Adanya ketidak pastian hukum dalam pengenaan PPN pada transaksi murabahah.
Sedangkan pada pembahasan skripsi ini penulis membahas tentang PPN
termasuk di dalamnya sejarah pemungutan, pengertian dasar pengenaan,
[image:21.612.111.528.302.525.2]pemerintah, faktur pajak, dan karakteristik. Sedangkan dalam hukum Islam, penulis
membahas tentang pengertian hukum Islam itu sendiri, pajak dalam Islam, sejarah
pemungutan zakat dan pajak dalam Islam, dasar hukum pemungutan pajak dalam
Islam, persamaan antara zakat dan pajak, serta karakteristik pajak dalam Islam.
Sedangkan kesimpulan dari tulisan ini yaitu:
a. Pajak dikenal dalam hukum Islam dengan sebutan al-dharibah yang memiliki arti
beban, wajib, tetap, tentu, dan lain-lain. Sedangkan zakat memiliki arti bersih,
suci, berkah, maslahat, dan berkembang. Diantara keduanya terdapat persamaan
dan perbedaan.
b. Pajak Pertambahan Nilai tidak boleh dipungut, karena tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum Islam. Diantaranya yaitu, tidak adanya perbedaan dalam
pengenaan tarif pajak yaitu orang yang berpenghasilan rendah serta orang yang
berpenghasilan tinggi, tidak adanya kejelasan objek pajak baik yang halal maupun
yang haram. Serta PPN tidak dapat diqiyaskan dengan ‘ushr karena ‘ushr
merupakan penyeimbangatas apa yang dilakukan oleh orang kafi terhadap orang
muslim.
Dari uraian tersebut diatas semua dapat ditarik kesimpulan bahwa skripsi yang
ditulis oleh Fauziah (tahun 2005) dan Nurahdiyani HM (tahun 2007) serta penulis
terdapat perbedaan dalam pemabahasannya walaupun berpusat pada pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai, karena Fauziah (tahun 2005) dan Nurahdiyani HM (tahun 2007)
membahas tentang pengenaan PPN pada produk murabahah dalam perbankan
Sistematika Penulisan
Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, penulis membagi
menjadi empat bab dengan perincian sebagai berikut :
Bab kesatu berisi tentang latar belakang ini menguraikan alasan dan
ketertarikan penulis meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penulisan dan tehnik penulisan, review terhadap penelitian
terdahulu serta sistematika penyusunan.
Bab kedua berisi tentang kerangka teori, pada bab ini penulis akan membahas
secara sekilas tentang sejarah pemungutan PPN, pengertian PPN, dasar pengenaan
PPN, penghitungan PPN serta pengkreditannya, pemungutan PPN, subjek dan objek
PPN, PPN yang ditanggung pemerintah, faktur pajak, karakteristik PPN
Bab ketiga membahas tentang praktik pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dalam perspektif hukum Islam, yang terdiri dari: pengertian hukum islam,
pajak dalam Islam, sejarah pemungutan zakat dan pajak dalam hukum Islam,
persamaan antara zakat dan pajak karakteristik pajak dalam hukum Islam, serta
analisa praktik pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam perspektif hukum
Islam.
Bab keempat adalah penutup, pada bab ini penulis memberikan
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Sejarah Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa yang
mana hal ini sesuai dengan perkembangan negara dan masyarakat pada waktu itu,
baik dalam bidang kenegaraan maupun dalam bidang sosial dan ekonomi. Pada
mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, akan tetapi merupakan suatu
pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam tujuannya untuk memelihara
negara dari segala bentuk kepentingan dan ancaman.14
Akan tetapi dalam perkembangannya pemberian sukarela tersebut berubah
sesuai dengan tema dasar penguasa untuk mensiasati rakyatnya agar bersedia menjadi
abdi bagi kepentingannya. Dimana penguasa kala itu membangun mitos-mitos bahwa
kekuasaan yang berada di tangannya merupakan kekuasaan yang langsung diterima
dari Tuhan. Yang pada akhirnya mereka memungut upeti dari rakyatnya sebagai
bentuk kesetiaan rakyat terhadap kepentingan penguasanya.15 Hal ini terkait dengan
pernyataan E.R.A. Seligmen dengan artikelnya dalam Encyclopedia of the Social
Sciences, seperti yang dikutip oleh Masdar F. Mas’udi, dengan pernyataan bahwa:
“Dalam tradisi pemerintahan kuno dan feodal, tax (upeti) telah dikenakan secara paksa tanpa kaitan apa pun dengan aspirasi keadilan. Pungutan ini umumnya
14
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002
), ed. Revisi, cet.ke 4, h. 1.
15
dikenakan atas rakyat jelata yang tak punya pengaruh dan terhadap budak-budak belian”.16
Akan tetapi dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat
tidak lagi hanya untuk kepentingan penguasa saja, tetapi sudah mengarah terhadap
kepentingan rakyat itu sendiri.
Dengan adanya perkembangan dalam masyarakat, maka upeti yang
merupakan pemberian secara cuma-cuma dengan tidak meninggalkan sifat utamanya
yaitu memaksa, kemudian dibuat suatu aturan yang lebih baik agar sifat memaksanya
tetap dipertahankan namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Oleh karena itulah,
rakyat diikut sertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak yang
bertujuan untuk kepentingan rakyat itu sendiri.17 Dan aturan-aturan inilah yang
nantinya menjadi cikal bakal dalam praktik pemungutan pajak yang saat ini berlaku
yang disebut dengan Undang-undang.
Pajak Pertambahan Nilai ataupun Pajak Penjualan sudah dikenal sejak
berabad-abad yang lalu seperti halnya Spanyol yang telah menerapkan pajak
penjualan dengan nama “alcabala” dalam abad ke-14 serta di negara-negara lain yang
berada di bawah pengaruhnya. Pajak ini dikenakan dengan tarif 10 %.18
Pada tahun 1916, Jerman menerapkan the Stamp Sales Tax untuk membiayai
perang dan juga menutup dana yang besar. Pada tahun 1918 dikembangkan menjadi
General Turnover Tax yang dikenakan atas seluruh penyerahan barang dan jasa yang
16
Ibid, h. 105.
17
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, hukum Pajak, (Jakarta, Salemba Empat, 2007), ed. 3, h. 5.
18
dilakukan oleh para pengusaha. Dikarenakan banyaknya protes dari para pengusaha
kecil atas penerapan pajak tersebut. Pada tahun 1919 Carl Friedrich von Siemens,
seorang konsultan pemerintah, mengusulkan the Refined Turnover Tax sebagai
pengganti General Turnover Tax akan tetapi usulan ini tidak mendapat perhatian dari
penerintah. Dan akhirnya pada tanggal 1 Januari 1968, Jerman menerapkan
“Consumption Type Value Added Tax (VAT)” sebagai pengganti General Turnover
Tax.19
Akan tetapi Perancis lah yang menerapkan VAT sampai tingkat pedagang
besar pada tahun 1954, walaupun Jerman yang pertama kali mencetuskannya. Karena
Perancis telah memperluas objek pajaknya sampai dengan penyerahan barang yang
dilakukan pedagang eceran. Dan akhirnya negara-negara eropa mensyaratkan VAT
bagi setiap negara calon anggota VAT.20
Sedangkan sejarah Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia yang termasuk
kedalam kategori pajak tidak langsung, yaitu:21
a. Pajak Pembangunan I (PPbI)
Pajak pembangunan I yang dipungut secara resmi sejak tanggal 1 Juni 1947,
dipungut atas rumah makan, penginapan, dan penyerahan jasa di rumah-rumah
makan. PPb I merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, akan tetapi
sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 PPb I dipungut oleh
Pemerintah Daerah sejak tahun 1957.
19
Ibid., h. 10.
20
Ibid., h. 11.
21
b. Pajak Peredaran 1950 (PPe 1950)
Pajak peredaran dikenakan atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di
Indonesia. Dalam pemungutan pajak peredaran dikenakan tarif tunggal yaitu sebesar
2,5 %, dan bersifat kumulatif. Oleh karena itulah dalam penerapannya pajak ini hanya
bertahan selama 9 bulan.
c. Pajak Penjualan 1951 (Pajak Pertambahan Nilai 1951)
Pajak penjualan ini di pungut berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19
tahun 1951 yang berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1951, yang kemudian ditingkatkan
menjadi menjadi undang-undang berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun
1953, dan dikenal dengan nama Undang-undang Pajak Penjualan 1951. Tingkat
pemungutan dalam undang-undang ini merupakan single stage tax pada tingkat
pabrikan sehingga dapat juga dinamakan a manufacturer’s sales tax. Dalam
pelaksanaannya Pajak Penjualan ini bersifat kumulatif.
Undang-undang Pajak Penjualan ini mengalami perluasan objek pajak.
Perluasan yang pertama dikenakan atas penyerahan 18 jenis jasa berdasarkan
Undang-undang Nomor 20 Prp dan Nomor 21 Prp Tahun 1959. Sedangkan perluasan
yang kedua dikenakan atas pemasukan barang dari luar negeri ke Daerah Pabean22
berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1968, yang sebelumnya dikenal dengan
nama Pajak Masuk berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Prp Tahun 1960.
22
Daerah Pabean seperti yang tertuang dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 18
d. Pajak Pertambahan Nilai 1984 (PPN 1984)
Untuk mengantisipasi sifat kumulatif Undang-undang Pajak Penjualan 1951
dan bersamaan dengan reformasi perpajakan nasional (tax reform) tahun 1983, maka
Undang-undang Pajak Penjualan 1951 diganti dengan Undang–undang Nomor 8
tahun 1983 yang dikenal dengan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
Pajak ini termasuk kedalam kelompok Non Cumulative Multi Stage Sales Tax, yang
mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 April 1985. Sifat non kumulatif dalam
pajak ini terletak pada mekanisme pemungutannya yang dikenakan pada Nilai
Tambah (Added Value) dari Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.
Pada akhir tahun 1994 diundangkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang Mewah yang
mulai berlaku sejak 1995. Kemudian pada tahun 2000 diundangkan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2000 sebagai perubahan kedua Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
B. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
Sebelum membahas tentang Pajak Pertambahan Nilai, ada baiknya kita
mengerti apa yang dimaksud dengan pajak itu sendiri. Terdapat banyak definisi pajak
yang dikemukakan oleh para ahli, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Diantaranya oleh P.J.A. Adriani:23
23
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.
Selain itu juga terdapat definisi yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro:24
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Kemudian disempurnakan dengan beliau, yang isinya sebagai berikut: “Pajak
adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan ‘surplus’-nya digunakan untuk public saving yang merupakan
sumber utama untuk membiayai public investment”.25
Sedangkan yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai yaitu pajak yang
dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam
negeri.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut ketika Pengusaha Kena Pajak
melakukan pembelian barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak maka disebut
dengan Pajak Masukan. Pajak Masukan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang
Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah pasal 1 ayat (24) yaitu: “Pajak masukan adalah Pajak
Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak dan/atau
24
Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, (Yogyakarta, Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2005), ed. 3, cet. ke 1, h. 2.
25
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor barang Kena
Pajak”.
Dan sebaliknya apabila Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dijual
kepada pembeli maka Pengusaha Kena Pajak memungut Pajak Pertambahan Nilai
kepada pembeli yang disebut dengan Pajak keluaran. Pajak keluaran sebagaimana
tertuang dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pasal 1 ayat (25)
yaitu: “Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
penyerahan Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak”.
Pajak Pertambahan Nilai merupakan selisih antara Pajak Masukan dengan
Pajak Keluaran. Apabila Pajak Masukan lebih besar dibandingkan dengan Pajak
Keluaran, maka Pengusaha Kena Pajak berhak untuk memperoleh pengembalian atau
dikompensasikan dengan utang pajak dalam Masa Pajak berikutnya. Dan sebaliknya
apabila Pajak Keluaran lebih besar dibandingkan dengan Pajak Masukan, maka
Pengusaha Kena Pajak wajib menyetorkan selisihnya kepada kas negara.26
C. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagai mana tertuang dalam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas barang Mewah pasal 1 ayat (17) yaitu: “Dasar
26
Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor
atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan yang dipakai
sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang”.
a. Harga Jual
Harga jual sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (18) yaitu: “Harga
Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan barang Kena Pajak, tidak termasu Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak”.
b. Penggantian
Penggantian sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (19) yaitu:
“Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak
termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak”.
c. Nilai Impor
Nilai impor sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (20) yaitu: “Nilai
Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak
d. Nilai Ekspor
Nilai ekspor sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (26) yaitu: “Nilai
Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau yang
seharusnya diminta oleh Eksportir”.
e. Nilai Lain
Nilai lain sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor KMK No. 251/ KMK.03/ 2002 tanggal 13 Mei 2002, dan mulai berlaku 1
Juni 2002 adalah sebagai berikut:
1) Untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor.
2) Untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor.
3) Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah harga jual
rata-rata.
4) Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan harga rata-rata per judul
film.
5) Untuk persediaan barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar.
6) Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut
ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar.
8) Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah
10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
9) Untuk jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh Imbalan yang
diterima berupa service charge, provisi dan diskon.
10)Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah
yang seharusnya ditagih.
11)Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Pusat
ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
jasa Kena Pajak antar cabang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor.
12)Untuk penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pedagang Perantara atau
melalui juru lelang adalah harga lelang.
D. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pengkreditannya
Sebelum penulis membahas tentang penghitungan Pajak Pertambahan Nilai,
maka penulis akan membahas besarnya tarif Pajak Pertambahan Nilai. Besarnya tarif
Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan pasal 7 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000,
yaitu:
a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0%
c. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan
setinggi-tingginya 15% (lima belas persen).
Dalam hal ini pemerintah berwenang dalam menentukan besarnya tarif Pajak
Pertambahan Nilai dengan tetap memakai tarif tunggal, berdasarkan pertimbangan
perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana pembangunan.
Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan mengalikan tarif Pajak Pertambahan
Nilai seperti yang telah tersebut di atas yaitu 10% (sepuluh persen) atau 0% (nol
persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak (Harga Jual, Penggantian, Nilai Ekspor, Nilai
Impor, atau Nilai Lain menurut Ketetapan Menteri Keuangan). Dengan demikian
besarnya Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan rumus sebagi berikut:
Besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dihitung dengan menggunakan rumus
di atas, merupakan besarnhya Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena
Pajak Penjual dan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli.
Contoh :
PT. Ma’irandry adalah produsen roti yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak. Selama bulan Juni 2006 telah menyumbangkan kepada
korban bencana gempa sebanyak 10.000 dos roti kering. Harga per dos roti kering
adalah Rp 5.000,00 termasuk laba kotor sebesar 25%. Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang atas penyerahan barang Kena Pajak secara cuma-cuma kepada korban
Harga Jual: 10.000 dos x Rp 5.000,00 ...= Rp 50.000.000,00
(-) Laba kotor: 25/125 x Rp 50.000.000,00 ...= Rp 10.000.000,00
Dasar Pengenaan Pajak ... ...= Rp 40.000.000,00
PPN yang terutang: 10% x Rp 40.000.000,00 ...= Rp 4.000.000,00
a. Ketentuan Umum Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai
Ketentuan tentang pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
adalah sebagai berikut:
1) Syarat utama pengkreditan pajak adalah Faktur Pajak.
2) Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dilakukan pada
Masa Pajak yang sama.
3) Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka
Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.
4) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan
dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan
pada Masa Pajak berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum
dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
2000 pasal 9 ayat (3), maka apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih
besar daripada pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai
yang harus dibayar oleh Pengusaha kena Pajak. Sedangkan dalam pasal 9 ayat (4)
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan
kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya.
Contoh :
PT Mekarsari sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha kena Pajak oleh Kantor
Pelayanan Pajak Depok. Berikut ini adalah informasi berkaitan dengan Pajak
masukan yang telah dibayar dan Pajak Keluaran yang dipungut oleh PT Mekarsari
selama Masa Pajak Januari dan Februari 2006.
1) Masa Pajak Januari 2006
a) Pajak yang telah dibayar saat perolehan Barang Kena Pajak = Rp 9.000.000,00
b) Pajak Keluaran yang telah dipungut ...= Rp 5.000.000,00
2) Masa Pajak Februari 2006
a) Pajak yang telah dibayar saat perolehan Barang Kena Pajak = Rp 9.000.000,00
b) Pajak Keluaran yang telah dipungut ...= Rp 11.000.000,00
Besarnya pajak yang lebih dibayar untuk Masa Pajak Januari 2006 dan
Februari 2006 adalah sebagai berikut:
1) Masa Pajak Januari 2006
a) Pajak Keluaran ...= Rp 5.000.000,00
b) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan...= Rp 9.000.000,00
c) Pajak yang lebih dibayar ...= Rp 4.000.000,00
2) Masa Pajak Februari 2006
b) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan ...= Rp 9.000.000,00
c) Pajak yang kurang dibayar ...= Rp 2.000.000,00
d) Pajak yang lebih dibayar pada Masa Pajak sebelumnya
(Januari 2006) ...= Rp 4.000.000,00
e) Pajak yang kurang dibayar Masa Februari 2006 ...= Rp 2.000.000,00
Pajak yang lebih dibayar sebesar Rp 2.000.000,00, dapat diajukan
permohonan restitusi atau dikompensasi dengan Masa Pajak Maret 2006.
b. Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan
Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 9 ayat (8) dan pasal 16B ayat 3
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, bahwa Pajak masukan yang tidak dapat
dikreditkan yaitu:
1) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
2) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang tidak berhubungan langsung dengan
kegiatan usaha;
3) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan dan pemeliharaan
kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan kombi kecuali
sebagai barang dagangan atau disewakan;
4) Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
Daerah Pabean, sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak;
5) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutan pajaknya berupa Faktur
Pajak Sederhana;
6) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5);
7) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
daerah pabean yang faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6)27;
8) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan
penerbitan ketetapan pajak;
9) Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu
dilakukan pemeriksaan;
27
10)Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan
atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
c. Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang
Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 252/KMK.03/2002 dan Nomor 253/KMK.03/2002. pedoman menghitung
yang berdasarkan keputusan tersebut adalah sebagai berikut:28
1) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak uang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak Pedagang Eceran, sebesar 80% dari Pajak Keluaran;
2) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak uang dilakukan selain oleh
Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran, sebesar 70% dari Pajak
Keluaran;
3) Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak, sebesar 40% dari Pajak Keluaran.
4) Pajak Keluaran dihitung dengan cara mengalikan nilai peredaran bruto
dan atau penerimaan bruto (tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai)
yang terutang Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang
bersangkutan dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai.
28
Sedangkan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak
Pedagang Eceran yang penghitungan PPh-nya tidak menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
253/KMK.03/2002, yaitu apabila:29
1) Pengusaha Orang Pribadi atau Badan selaku Pedagang Eceran dengan
jumlah peredaran bruto kurang dari Rp 600.000.000,00 dan atau lebih
dari Rp 600.000.000,00 setahun serta mampu menyelenggarakan
pembukuan.
2) Penyerahan barang dagangan yang dilakukan terutang Pajak
Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dari Harga Jual pada
SPT Masa PPN.
3) Wajib membuat Faktur Pajak, memungut dan menyetor pajak yang
terutang serta melaporkannya.
4) Pengkreditan Pajak Masukannya menggunakan pola yang diatur dalam
Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Nomor 8 Tahun 1984.
Contoh:
Arif Permana mengelola sebuah toko elektronik “Suramadu”. Selain menjual
barang-barang elektronik, Arif Permana juga melayani service perlengkapan
elektronik. Pajak Penghasilan-nya dihitung menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto. Dalam bulan Juli 2005 memperoleh peredaran bruto:
29
1) Dari penyerahan barang elektronik Rp 55.000.000,00 termasuk Pajak
Pertambahan Nilai;
2) Dari penyerahan service elektronik Rp 7.700.000,00 termasuk Pajak Pertambahan
Nilai.
Pajak Masukan sehubungan dengan perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak dalam bulan Juli 2005 berdasarkan Faktur Pajak Standar adalah Rp
3.450.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar ke kas negara untuk Masa Pajak
Juli 2005 dihitung sebagai berikut:
1) Pajak keluaran:
a) Penyerahan Barang Kena Pajak =
10/110 x Rp 55.000.000,00 ... = Rp 5.000.000,00
b) Penyerahan Jasa Kena Pajak =
10/110 x Rp 7.700.000,00 ... = Rp 700.000,00
Rp 5.700.000,00
2) Pajak masukan:
a) Penyerahan Barang Kena Pajak =
80% x Rp 5.000.000,00 ... = Rp 4.000.000,00
b) Penyerahan Jasa Kena Pajak =
40% x Rp 700.000,00... = Rp 280.000,00
Rp 4.280.000,00
d. Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusahan Kena Pajak yang
Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Pertambahan Nilai dan
Tidak Terutang Pajak Pertambahan Nilai
1) Apabila penyerahan yang terutang dan tidak terutang dapat diketahui
dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang
terutang pajak.
2) Apabila penyerahan yang terutang dan tidak terutang tidak dapat
diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000
adalah sebagai berikut:
a) Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Barang Modal yang
digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan
Nilai, serta kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan
Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Maka dihitung dengan rumus, sebagai berikut:
p’ x
T PM
p’ : Prosentase rata-rata penggunaan Barang Modal untuk kegiatan lain yang tidak terutang PPN dan atau dibebaskan dari PPN dalam satu tahun buku.
T : Masa manfaat Barang Modal yang ditentukan sebagai berikut: - untuk bangunan 10 tahun.
- untuk Barang Modal lainnya 5 tahun.
Contoh:
Pada bulan April 2005 Ramadhan membeli generator listrik dengan maksud
digunakan seluruhnya untuk kegiatan pabrik.
1) Nilai Perolehan ...=Rp100.000.000,00
2) Pajak Pertambahan Nilai (Pajak Masukan) ...=Rp 10.000.000,00
Pajak Masukan sudah dikreditkan seluruhnya dalam SPT Masa PPN Masa Pajak
April 2005. Selama tahun 2005 ternyata bahwa:
1) Untuk Masa 6 bulan I digunakan:
a) 45% untuk perumahan karyawan dan direksi;
b) 55% untuk kegiatan pabrik.
2) Untuk Masa 6 bulan II digunakan:
a) 35% untuk perumahan karyawan dan direksi;
b) 65% untuk kegiatan pabrik.
Rata-rata penggunaan di luar kegiatan usaha yang berhubungan langsung dengan
usaha (p’) adalah:
2 % 35 % 45 +
= 40%
Masa manfaat Barang Modal 5 tahun .
Besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali untuk tahun 2005 adalah:
40% x
5
00 , 000 . 000 . 10 Rp
Jadi, Pajak Masukan yang harus dikembalikan untuk tahun 2005 adalah sebesar Rp
800.000,00. Sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya, maka harus memakai rumus
yang sama dengan penyesuaian atas p’.
b) Pengusaha kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu
campuran, menghasilkan atau memperdagangkan barang dan atau
jasa, yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dan tidak terutang
Pajak Pertambahan Nilai. Dapat dikreditkan sebanding dengan
jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap
peredaran seluruhnya. Maka wajib menghitung kembali Pajak
Masukan yang telah dikreditkan dengan rumus, sebagai berikut:
• Barang Modal
• Bukan Barang Modal
Contoh:
PT Khayangan melakukan perhitungan kembali Pajak Masukan yang telah
dikreditkan atas pembelian 2 buah truk yang digunakan dalam penyerahan Barang
Kena Pajak yang terutang PPN dan penyerahan yang tidak terutang PPN. Pajak
Masukan sebesar Rp 50.000.000,00 (10/110 x Rp 550.000.000,00) atas pembelian
Y X
x
T PM
Y X
x PM
X : Jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang PPN atau yang dibebaskan dari pengenaan PPN selama satu tahun.
Y : Jumlah seluruh peredaran selama satu tahun buku.
T : Masa manfaat Barang Modal yang ditentukan sebagai berikut:
- untuk bangunan 10 tahun.
- untuk Barang Modal lainnya 5 tahun.
truk tersebut telah dikreditkan pada Masa PPN bulan Maret 2003. Masa manfaat truk
sesuai dengan ketentuan yang berlaku selama 5 tahun. Untuk biaya operasional truk
selama tahun 2003, telah dibeli BBM dari depo Pertamina sebesar Rp 4.000.000,00,
dan PPN-nya sebesar Rp 400.000,00 telah dikreditkan.
Dari pembukuan diketahui bahwa jumlah penyerahan yang tidak terutang
PPN selama tahun 2003 adalah Rp 150.000.000,00, sedangkan jumlah penyerahan
yang terutang PPN sebesar Rp 750.000.000,00.
Pajak Masukan yang harus dikembalikan dihitung sebagai berikut:
1) Untuk Barang Modal:
0,00 750.000.00 Rp
0,00 150.000.00 Rp
X
5
,00 50.000.000 Rp
...= Rp 2.000.000,00
2) Untuk bukan Barang Modal:
0,00 750.000.00 Rp
0,00 150.000.00 Rp
X Rp 400.000,00...= Rp 80.000,00
Jumlah ...= Rp 2.080.000,00
E. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
1. Dasar Hukum Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Pasal 1 angka 27 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
merumuskan bahwa: “Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan
Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut”.
2. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Yang kedalam pemungut Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:30
a. Instansi Pemerintah
1) Kantor Perbendaharaan Negara.
2) Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah.
b. Badan-badan tertentu:
1) Pertamina.
2) Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya di bidang
pertambangan.
3) Badan Usaha Milik Negara dan Milik Daerah.
4) Bank Pemerintah dan Bank Pembangunan Daerah.
5) Bank Indonesia
3. Teori Pemungutan Pajak31
a. Teori Asuransi
Yang dimaksud dengan asuransi di sini adalah sama dengan pengertian
asuransi yang sudah kita kenal, yaitu untuk menjaga dan melindungi keselamatan dan
keamanan jiwa dan juga harta benda. Jadi dalam teori ini dalam pemungutan pajak
30
Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai , h. 370.
31
dapat kita katakan bahwa negara berperan dalam melaksanakan tugasnya untuk
melindungi semua orang dan juga harta bendanya.
Oleh karena itulah untuk mewujudkan semua itu maka diperlukan
pembayaran pajak yang dikatakan sebagai premi yang harus dibayarkan oleh
masing-masing orang. Akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat banyak kejanggalan
antara negara dengan perusahaan asuransi, diantaranya:
1) Ketika terdapat kerugian tidak terdapat penggantian oleh negara,
karena yang mengganti kerugian tersebut adalah perusahaan asuransi.
2) Tidak adanya hubungan secara langsung antara pembayaran pajak
yang dianggap sebagai suatu premi dengan jasa yang diberikan oleh
negara.
Akan tetapi dalam kenyataannya teori ini tetap dipertahankan karena dapat
dijadikan dasar hukum dalam memungut pajak. Namun para ahli menganggap bahwa
dalam pemungutan pajak berdasarkan teori ini tidaklah terdapat suatu keadilan,
karena dapat merugikan salah satu pihak yaitu perusahaan asuransi.
b. Teori Kepentingan
Teori kepentingan adalah teori yang hanya memperhatikan pembagian beban
pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya berdasarkan atas kepentingan
orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya),
termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Dalam
teori inipun terdapat banyak sanggahan karena dalam ajarannya pajak dikacaukan
c. Teori Gaya Pikul
Yang dimaksud dengan teori gaya pikul yaitu teori yang menjadikan dasar
keadilan pemungutan pajak berdasarkan jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada
warganya. Oleh karena itulah asas keadilan menjadi suatu yang pokok dalam
pemungutan pajak berdasarkan teori ini, dengan kata lain seorang Wajib Pajak yang
pajaknya dipungut oleh fiskus harus diperlakukan secara adil dengan Wajib Pajak
yang lain tanpa adanya tekanan dari beberapa pihak.
W. J. Langen seperti yang dikutip oleh Bohari memberikan arti bahwa: “Gaya
pikul adalah kekuatan untuk membayar uang kepada negara, jadi untuk membayar
pajak, setelah dikurangi dengan minimum kehidupan (basic needs)”.32
A. J. Cohen Stuart seperti yang dikutip oleh Bohari berpendapat bahwa:
“Gaya pikul adalah sama dengan sebuah jembatan, yang pertama-tama harus dapat
memikul bobotnya sendirisebelum dicoba untuk dibebaninya dan menyerahkan
ajaranbahwa yang sangat diperlukan untuk kehidupan harus tidak dimasukkan dalam
pengertian gaya pikul”.33
d. Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini mengajarkan bahwa negara merupakan sekumpulan dari
individu-individu maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak dari warganya. Dan bagi
warganya, bahwa membayar pajak termasuk rasa baktinya kepada negara.34
e. Teori Asas Daya Beli
32
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, h. 38.
33
Ibid., h. 39.
34
Menurut teori ini, bahwa fungsi dari pemungutan pajak yaitu untuk memelihara hidup
masyarakat serta membawa ke arah tertentu. Dengan kata lain yaitu mengambil daya
beli dari masyarakat untuk disalurkan kembali kepada masyarakat.35
4. Asas Pemungutan Pajak
Menurut Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and causes
of the Wealth of Nations (dikenal dengan nama Wealth of Nations) terdapat empat
asas pemungutan pajak yang dikenal dengan “four canons taxation” atau sering
disebut dengan “The four Maxims” seperti yang dikutip oleh Ahmad Tjahjono dan
Muhammad Fakhri Husein, dengan uraian sebagai berikut:36
a. Equality and Equity
Dalam masalah equality seorang fiskus harus mengenakan pajak yang
besarannya sama kepada setiap Wajib Pajak berdasarkan keadaan yang sama pada
setiap Wajib Pajak. Oleh karena itulah apabila seorang Wajib Pajak mempunyai
pengeluaran yang lebih besar dalam kebutuhan hidup primer bagi keluarganya, jika
dibandingkan dengan Wajib Pajak yang mempunyai pengeluaran yang lebih kecil,
maka pengenaan pajaknya akan berbeda walaupun dengan penghasilan yang sama.
Lain halnya dalam masalah equity, bahwa seorang fiskus harus
memperlakukan setiap Wajib Pajak dengan perlakuan yang adil. Akan tetapi tidak
pada kasus-kasus tertentu dimana terdapat suatu perbedaan yang sangat signifikan,
35
Ibid., h. 19.
36
karena sesuatu yang diterapkan adil dalam sesuatu yang sifatnya umum belum tentu
adil dalam sesuatu yang sifatnya khusus, dalam hal ini dalam suatu kasus tertentu.
Equity atau kepatutan mempunyai fungsi, sebagai berikut:
1) Jus adjuvandi, untuk menyesuaikan hukum, dalam hal ini agar tidak
melenceng dari hukum yang telah berlaku.
2) Jus sppelendi, untuk menambah hukum, karena dalam penerapannya
terdapat kasus-kasus yang lebih kompleks.
3) Jus corrigendi, untuk mengoreksi hukum, karena dalam penerapannya
terdapat beberapa masalah yang harus diselesaikan dalam rangka
memperoleh keadilan.37
b. Certainty
Dalam hal ini fiskus harus memberitahu Wajib Pajak dengan pasti dalam
pembayaran pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak mengenai besaranya
pajak yang harus dibayarkan, waktu pembayaran, tempat pembayaran, maupun cara
pembayarannya. Dalam asas ini kepastian hukum tentang subjek pajak maupun objek
pajak yang lebih ditekankan
c. Conveniency of Payment
Dalam hal ini fiskus harus memungut pajak pada saat yang mengenakkan atau
pada saat Wajib Pajak merasa tidak terbebani atau dapat dikatakan juga pada saat
yang tepat, yaitu pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan.
d. Low Cost of Collection
37
Dalam hal ini fiskus yang memungut pajak tidak boleh mengenakan biaya
pemungutan yang besarannya lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah pajak
yang masuk.
Sedangkan menurut Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein dalam
buku “Perpajakan”, yang termasuk dalam asas pemungutan pajak, yaitu:38
a. Asas Domisili
Yang dimaksud dengan domisili disini, yaitu negara dimana Wajib Pajak
tinggal dan dikenakan pajak atas penghasilan Wajib Pajak yang tinggal di
wilayahnya, baik penghasilan yang didapat dari dalam negeriu maupuan luar negeri.
Berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan bagi warga negara asing maka pajak
dikenakan setelah menetap di negara Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan sejak kedatangannya.
b. Asas Sumber
Dalam asas ini, apabila seseorang berpenghasilan dari Indonesia maka negara
Indonesia berhak memungut pajak kepada orang tersebut baik warga negara
Indonesia maupun warga negara asing, walaupun bertempat tinggal di Indonesia
ataupun di luar Indonesia selama orang tersebut memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
c. Asas Kebangsaan
38
Dalam asas ini pajak dikenakan atas hubungannya dengan kebangsaan suatu
negara. Oleh karena itulah, apabila terdapat seseorang mempunyai hubungan
kebangsaan maka ia akan dikenakan pajak walaupun bertempat tinggal di luar negeri.
5. Sistem Pemungutan Pajak
P.J.A. Adriani seperti yang dikutip oleh Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan
membagi sistem pemungutan pajak menjadi tiga bagian, yaitu:39
a. Wajib pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan Undang-undang.
b. Adanya kerja sama antara wajib pajak dengan fiskus.
c. Fiskus menentukan jumlah pajak yang terutang.
Akan tetapi pada saat ini sistem pemungutan pajak dibedakan menjadi:40
a. Official Assessment System
Dalam sistem ini fiskus berperan aktif dalam menghitung dan menentukan
besarnya pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan yang diterbitkan oleh
fiskus. Dan sebaliknya wajib pajak berperan secara pasif dengan hanya membayar
pajak yang ditentuk