• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian ekstraksi steroid teripang pasir (Holothuria scabra) sebagai sumber testosteron alami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian ekstraksi steroid teripang pasir (Holothuria scabra) sebagai sumber testosteron alami"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

(

) SEBAGAI SUMBER

TESTOSTERON ALAMI

KURNIA HARLINA DEWI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul : “KAJIAN

EKSTRAKSI STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria scabra J)

SEBAGAI SUMBER TESTOSTERON ALAMI “ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Agustus 2008

Kurnia Harlina Dewi

(3)

ABSTRACT

Kurnia Harlina Dewi. Study on the extraction of steroid from sandfish (Holothuria scabra) as natural testosterone. Under the supervision of Tun Tedja Irawadi, Wan Ramli Wan Daud, Etty Riani and Khaswar Syamsu.

Sandfish has a potency as a source of the steroid hormones. The research aimed to study the extraction methods (conventional methods : maceration, soxhlet and refluxs) and Supercritical Fluids Extraction (SFE) in order to find the best method of testosterone extraction.

The study used experimental design and descriptive analysis. Solvent selected for sandfish extraction consists of acetone, methanol, methanol: chloroform (1:2 v/v) and chloroform. The material solvent ratio was 1:1, 1:2 and 1:3 w/v, respectively. Effects of temperature (40o, 50o and 60oC) and time (0, 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210 and 240 minute) on scaled-up of refluxs extraction were studied. The treatments for extraction of sandfish testosterone using SFE were at temperature levels (40, 50 and 60oC) and pressure levels (23, 25 and 27 MPa), ratio of flow rate SFE : co-solvent (2,7:0,3, 2,5:0,5 dan 2:1 ml/minute). Identification of testosterone consists of qualitative analysis (color test, thin layer chromatography/TLC and FT-IR) and quantitative analysis (spectrophotometer and HPLC)

The highest yield in maceration was obtained by using acetone at ratio of 1:3 (w/v), i.e. 0, 077 mg/100 g (dry basis), while in soxhlet extraction the highest yield was obtained by using methanol chloroform solvent at ratio of 1:3 (w/v) i.e. 0,622 mg/100 g (dry basis) and in refluxs extraction the highest yield was obtained by using methanol chloroform at ratio 1:2 v/v i.e. 7,614 mg/100 g (dry basis). The effects of temperature on refluxs extraction at scale of 3000 ml, showed that the extraction yield of testosterone increases with the increasing of temperature up to 50oC and above which the value of the extraction yield is not significant. The purity of testosterone increases with the increasing of temperature, but it is not significant. The highest yield of testosterone i.e. 7,905 mg/100 g dry basis at temparature 50oC and the highest purity (0,776%) was obtained at temperature 60oC.

The highest yield and the highest purity of testosterone using SFE was obtained at temperature 50oC and pressure 27 MPa i.e. 6,337 mg/100 g dry basis and i.e. 1,899%. The effects of flow rate ratio CO2 : co-solvent, showed that the extraction yield of testosterone increases with the increasing of flow rate ratio, but purity of testosterone increases with the increasing of flow rate ratio up to 2,5:05 ml/minute and above which the purity of testosterone decreases. The highest yield of testosterone i.e. 9,281 mg/100 g dry basis at flow rate ratio CO2 : co-solvent ratio 2:1 ml/ minute and the highest purity (1,176%) was obtained at flow rate ratio CO2 : co-solvent 2,5:0,5 ml/ minute.

(4)

RINGKASAN

Kurnia Harlina Dewi. “KAJIAN EKSTRAKSI STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria scabra J) SEBAGAI SUMBER TESTOSTERON ALAMI dibawah bimbingan Tun Tedja Irawadi, Wan Ramli Wan Daud, Etty Riani dan Khaswar Syamsu.

Teripang yang dikenal sebagai gingseng laut, digemari sebagai makanan kesehatan karena meningkatkan vitalitas (laki-laki), serta berpotensi menjadi sumber testosteron. Testosteron tidak hanya digunakan sebagai obat, tetapi juga digunakan sebagai sex reversal berbagai hewan air yang jenis kelamin jantannya lebih bernilai ekonomis, seperti udang galah, ikan gapi dan berbagai ikan hias lainnya. Untuk memperoleh testosteron yang tinggi perlu dilakukan upaya meningkatkan hasil testosteron yang diperoleh dengan melakukan kajian tentang ekstraksi teripang, baik secara konvensional maupun secara Supercritical Fluids Extraction (SFE).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode ekstraksi yang mampu menghasilkan testosteron yang tinggi dari ekstrak teripang. Tujuan penelitian ekstraksi secara konvensional adalah mendapatkan metode, jenis pelarut dan rasio bahan dengan pelarut, suhu ekstraksi dan lama ekstraksi yang tepat. Sedangkan tujuan penelitian ekstraksi secara SFE adalah untuk mendapatkan suhu, tekanan, rasio laju alir co-solvent serta lamanya ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi.

(5)

High Performance Liqiud Chromatography (HPLC). Analisis kualitatif juga dilakukan dengan Fourier Transform-Infra Red (FT-IR). Metode analisis statistik yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada tahap pemilihan metode, jenis pelarut dan rasio serta pemilihan suhu dan tekanan pada SFE. Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial in time (Repeated Measurment Annova) dilakukan dalam mengkaji pengaruh lama dan suhu pada ekstraksi perkolasi skala 3000 ml serta lama ekstraksi dan rasio laju alir co-solvent pada SFE.

Pelarut yang menghasilkan bobot (mg/100 g bk teripang segar) testosteron tertinggi pada ekstraksi secara maserasi adalah aseton (0,077), sedangkan ekstraksi secara soxhlet (0,622) dan reflux (7,614) adalah pelarut campuran metanol kloroform. Rasio bahan dan pelarut yang menghasilkan bobot (mg/100 g bk teripang segar) testosteron tertinggi pada ekstraksi secara maserasi dan soxhlet

adalah rasio 1:3, sedangkan ekstraksi secara reflux adalah rasio 1:2. Metode ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah metode reflux karena menghasilkan rendemen (mg testosteron/100 g teripang segar) tertinggi (7,614) dibandingkan ekstraksi secara soxhlet (0,622) dan maserasi (0,077) serta menggunakan pelarut lebih sedikit.

Ekstraksi secara reflux skala 3000 ml memperlihatkan bahwa suhu yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah suhu 50oC. Peningkatan suhu dari 40 ke 50oC meningkatkan bobot testosteron dari 6,349 ke 7,905 mg/100 g bk teripang segar, sedangkan peningkatan suhu selanjutnya tidak menunjukkan perbedaan bobot testosteron yang nyata. Akan tetapi, peningkatan suhu (40, 50 dan 60oC) tidak berpengaruh terhadap persentase testosteron (bobot testosteron/bobot ekstrak kasar) yakni sebesar 0,689, 0,692 dan 0,776%. Waktu yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah 180 menit pada semua suhu ekstraksi, peningkatan waktu ekstraksi selanjutnya tidak menunjukkan perbedaan bobot testosteron. Semakin meningkatnya suhu ekstraksi, waktu ekstraksi yang diperlukan semakin singkat (dari 240 menit menjadi 120 menit) untuk menghasilkan bobot testosteron yang sama (6,349 mg/100 g bk teripang segar).

(6)

bk teripang segar) dan persentase testosteron tertinggi adalah pada suhu 50o C. Peningkatan suhu dari 40 ke 50oC meningkatkan bobot rata-rata testosteron dari 4,300 ke 5,010 dan persentase testosteron dari 1,298 ke 1,366%. Peningkatan suhu selanjutnya (60oC) menurunkan bobot testosteron menjadi 2,451 dan persentase testosteron menjadi 0,856%. Tekanan yang menghasilkan bobot dan persentase testosteron tertinggi adalah pada tekanan 27 MPa. Peningkatan tekanan dari 23 ke 27 MPa meningkatkan bobot testosteron rata-rata dari 3,081 ke 4,881 mg/100 g bk teripang segar dan meningkatkan persentase testosteron dari 0,904 ke 1,615%. Kondisi ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah pada suhu 50oC dan tekanan 27 MPa (6,337 mg/100 g bk teripang segar).

Pengaruh penggunaan co-solvent pada ekstraksi secara SFE menunjukkan bahwa penggunaan co-solvent meningkatkan bobot testosteron yang diperoleh dan mempersingkat waktu ekstraksi. Rasio laju alir CO2 dan co-solvent yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah rasio 2:1 ml/menit. Peningkatan rasio laju alir CO2 dan co-solvent dari rasio 2,7:0,3 menjadi 2:1 ml/menit meningkatkan bobot testosteron dari 2,194 menjadi 9,281 mg/100 g bk teripang segar. Waktu ekstraksi yang menghasilkan bobot testosteron tertinggi adalah 45 menit. Semakin banyak co-solvent yang digunakan maka waktu ekstraksi yang diperlukan semakin singkat (dari 240 menit menjadi 15 menit) untuk menghasilkan bobot testosteron yang sama (2,194 mg/100 g bk teripang segar). Semakin lama ekstraksi, bobot testosteron yang dihasilkan semakin meningkat.

(7)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(8)

KAJIAN EKSTRAKSI STEROID TERIPANG PASIR

(

Holothuria scabra J

) SEBAGAI SUMBER

TESTOSTERON ALAMI

KURNIA HARLINA DEWI

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh gelar Doktor

Pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(9)

Ujian Tertutup

Penguji Luar Komisi : Prof. Dr. Ir. M. Anwar Nur, MSc. Ujian Terbuka

(10)

Judul Disertasi : Kajian Ekstraksi Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra ) Sebagai Sumber Testosteron Alami

Nama : Kurnia Harlina Dewi NRP : F. 361030031

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS. Prof. Dr. Ir. Wan Ramli Wan Daud Ketua Anggota

Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc. Dr. Ir. Etty Riani, MS. Anggota Anggota

Ketua Program Studi

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Hibah Pasca yang di danai oleh Dikti.

Disertasi ini berjudul Kajian Ekstraksi Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) Sebagai Sumber Testosteron Alami. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tulisan ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS, selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Wan Ramli Wan Daud, Dr. Ir. Khaswar Syamsu dan Dr. Ir. Etty Riani selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan dan arahan dengan penuh dedikasi serta dorongan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

2. Prof. Dr. Ir. M. Anwar Nur, MSc (Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB), selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup. Prof. Dr. Ir. A. Aziz Darwis, MSc (Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian, IPB) dan Prof. Dr. Hari Eko Irianto (Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan) selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.

3. Dr. Ir. Sam Herodian, MS dan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc, selaku dekan dan wakil dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Dr. Ir. Irawadi Jamaran, selaku ketua program studi TIP dan kepada Dr. Ir. Ani Suryani, DEA., selaku sekretaris Program Studi TIP atas kemudahan dan fasilitas yang diberikan selama studi, serta semua civitas akademika TIP atas segala bantuannya. 4. Dr. Ir. Etty Riani, MS., Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc. dan Dr. Ir. Kaseno, M.

(12)

5. Prof. Madya. Dr. Mohd. Sobri Takriff selaku Ketua Jabatan Kejuruteraan Kimia dan Proses, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Dr. Masturah Markoum selaku penyelia luar, atas semua bimbingan, kemudahan dan fasilitas selama penulis melakukan penelitian di UKM serta civitas akademika Fakulti Kejuruteraan UKM atas segala bantuannya.

6. Sang Cahaya Hati, Ir. H. Yovial Mahyoedin Rajo Dirajo M T, yang selalu memberi dorongan dan bimbingan lahir bathin dalam sabar, doa dan keputihan hati.

7. Ibu Sri Mulyasih, Mbak Yaya, Mbak Santi, Uni Dewi atas segala bantuan dan kerja sama selama pelaksanaan penelitian di IPB. Cik Norly, Cik Rosna, Cik Nonizar, Khuzaimah, Dhenik, Pak Tjukup, Pak Gusri, Pak Wawan, Yos, Ivan, Pak An dan Bu Zes atas dorongan semangat dan doanya dalam kebersamaan selama di Malaysia.

8. Rekan-rekan TIP 2003, Sarifah Nurjanah, Srigunani P, Ismiati, Acep J, Acep M, Firman Noer TA, Sulistyo Sidik, Pak Sjoufjan Awal, Komar Sutriah, Eddy Mulyono atas kebersamaan dan saling memotivasi selama belajar dan penelitian

9. Ayahanda H. Harmaini (alm) dan H. Mahyoedin Yacoeb SH, (alm) atas kebanggaan beliau terhadap pentingnya “pendidikan”. Kepada ibunda Hj. Caya Amin, ibunda Hj. Sri Bainar dan 20 keluarga (kakak, adik dan kemenakan) yang tak dapat ditulis satu persatu, terima kasih atas doa dan dorongan semangatnya. Terima kasih kepada keluarga besar Boer (ni Evi, da Eva dan da Men) atas bantuan yang diberikan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang tidak dapat disebut satu-persatu yang telah membantu penulis selama studi, penelitian dan penyelesaian disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 12 Agustus 1967 sebagai anak ke lima dari pasangan H. Harmaini (Alm) dan Hj. Tjaya Amin. Pendidikan sarjana ditempuh di bidang studi Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, lulus pada tahun 1991, tempat penulis bekerja sebagai staf pengajar sejak 1993 sampai saat ini. Pada tahun 1993, penulis melanjutkan studi di PS.TIP Fakultas Pascasarjana IPB dan menyelesaikannya pada tahun 1996. Pada tahun 2003, dengan Beasiswa program BPPS Departemen Pendidikan Nasional, penulis mendapat kesempatan melanjutkan ke program doktor pada Sekolah Pascasarjana PS.TIP, IPB.

Selama mengikuti program S3 penulis telah menulis beberapa artikel ilmiah antara lain :

1. Kajian Ekstraksi Secara Maserasi Dalam Produksi Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) sebagai Aprodisiaka alami (Study of maserasi extraction of steroids from sandfish (Holothuria scabra) as natural aprhrodisiac) sudah dipublikasikan pada Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, terakreditasi SK No.39/DIKTI/Kep/2004 (JIPI, Edisi Khusus No 2 tahun 2007).

2. Kajian Ekstraksi Secara reflux Dalam Produksi Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) sebagai Aprodisiaka alami (Study of refluxs extraction of steroids from sandfish (Holothuria scabra) as natural aprhrodisiac) diterima untuk diterbitkan akan dipublikasikan pada Journal EXERGY UPN, Yogyakarta.

3. Pengaruh Laju Alir co-solvent Terhadap Hasil Ekstrak Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) pada Supercritical Fluids Ekstraction (Effect of co-solvent in Supercritical Fluids Extraction of sea cucumber/sandfish (Holothuria scabra J) akan disajikan dan dipublikasikan pada Seminar Internasional “SOMCHe”, di Kuala Lumpur, Malaysia, pada bulan November 2008. (Teknik Kimia Universiti Kebangsaan Malaysia, submitted).

Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis.

Bogor, Agustus 2008

(14)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBARDAFTAR TABEL

DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 6

Ruang Lingkup Penelitian ... 7

Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Metode Ekstraksi Konvensional ... 8

Metode Ekstraksi Fluida Superkritis (Supercritical Fluid Extraction) ... 15

Teripang Pasir (Holothuria scabra J) ... 20

Hormon Steroid Testosteron ... 26

Bioassay Aktivitas Biologis Ekstrak Steroid Teripang Pasir ... 27

METODE PENELITIAN ... 31

Tempat dan Waktu penelitian ... 31

Bahan dan Alat Penelitian ... 31

Tahapan Penelitian ... 32

Metode Penelitian ... 49

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

Karakterisasi dan Analisa Kimia Teripang Pasir ... 45

Ekstraksi Teripang Secara Konvensional ... 49

Ekstraksi Teripang Secara Maserasi ... 49

Ekstraksi Teripang Menggunakan Soxhlet ... 51

Ekstraksi Teripang Secara Reflux ... 54

Perbandingan Metode Ekstraksi Secara Maserasi, Soxhlet, Reflux ... 56

Ekstraksi Secara Reflux Skala 3000 mL ... 58

Ekstraksi Teripang Secara SFE ... 60

Pengaruh Suhu terhadap Bobot Testosteron ... 60

Pengaruh Tekanan terhadap Bobot Testosteron ... 63

Perbandingan Hasil Ekstraksi Secara SFE dan Reflux ... 65

(15)

Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Testosteron ... 70

Hasil Uji Warna ... 70

Analisis Kualitatif Testosteron dengan KLT ... 71

Analisis Kuantitatif Testosteron dengan Spektrofotometer UV-Vis . 72 Analisis Kuantitatif Testosteron dengan HPLC ... 72

Analisis Kualitatif Testosteron dengan FT-IR ... 74

KESIMPULAN ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Ilustrasi proses difusi sebagai dasar ekstraksi ... 12

Gambar 2 Tahap-tahap prinsip kerja dalam ekstraksi ... 14

Gambar 3 Diagram fase pada komponen murni CO2 dan nilai densitas, viskositas, koeffisien difusi ... 15 Gambar 4 Teripang pasir (Holothuria scabra J) ... 21

Gambar 5 Rumus bangun steroid testosteron ... 25

Gambar 6 Diagram alir tahapan penelitian ... 33

Gambar 7 Peralatan ekstraksi secara konvensional ... 35

Gambar 8 Skematis ekstraksi skala 3000 ml ... 37

Gambar 9 Peralatan secara SFE ... 38

Gambar 10 Hasil yang diharapkan pada setiap tahapan ... 44

Gambar 11 Bahan baku dalam ekstraksi steroid teripang pasar ... 45

Gambar 12 Hasil ekstraksi teripang secara maserasi ... 49

Gambar 13 Hasil ekstraksi teripang menggunakan soxhlet ... 51

Gambar 14 Hasil ekstraksi teripang secara reflux ... 55

Gambar 15 Perbandingan hasil ekstraksi secara konvensional ... 56

Gambar 16 Bobot testosteron pada ekstraksi secara reflux skala 3000 ml ... 58

Gambar 17 Testosteron (%) pada ekstraksi reflux skala 3000 ml ... 59

Gambar 18 Pengaruh suhu terhadap bobot testosteron pada SFE ... 60

(17)

Halaman Gambar 20 Persentase testosteron pada SFE dan Reflux ... 65 Gambar 21 Bobot hasil ekstrak secara SFE pada berbagai laju alir CO2

co-solvent ... 67

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Sifat beberapa pelarut organik ... 11 Tabel 2 Kondisi kritis untuk berbagai pelarut super kritis ... 16 Tabel 3 Perlakuan suhu, tekanan, aliran CO2 dan co-solvent pada

SFE ... 19 Tabel 4 Hasil bioassay ekstrak steroid sebagai aprodisiaka ... 30 Tabel 5 Hasil analisis proksimat teripang pasir segar ... 47 Tabel 6 Interpretasi spektrum infrared hasil ekstrak dan standar

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Prosedur analisa proksimat teripang pasir ... 93

Lampiran 2 Prosedur penyabunan pada hasil ekstrak teripang ... 95

Lampiran 3 Prosedur analisis kualitatif uji warna ... 96

Lampiran 4 Analisis kualitatif dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 97

Lampiran 5 Hasil analisis kualitatif dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 98

Lampiran 6 Analisis kualitatif dan kuntitatif testosteron menggunakan spektrofotometer UV-Vis ... 99

Lampiran 7 Analisis kualitatif dan kuntitatif testosteron menggunakan spektrofotometer HPLC ... 102 Lampiran 8 Prosedur analisis kualitatif menggunakan FT-IR ... 104

Lampiran 9 Prosedur Supercritical Fluids Extractuin (SFS) ... 105

Lampiran 10 Pengamatan bobot testosteron hasil ekstraksi secara maserasi ... 106

Lampiran 11 Analisis keragaman dan uji lanjut hasil ekstraksi secara maserasi (SAS) ... 107 Lampiran 12 Pengamatan bobot testosteron hasil ekstraksi secara soxhlet ... 108

Lampiran 13 Analisis keragaman dan uji lanjut hasil ekstraksi secara soxhlet (SAS) ... 119

Lampiran 14 Pengamatan bobot testosteron hasil ekstraksi secara reflux ... 111

Lampiran 15 Analisis keragaman dan uji lanjut hasil ekstraksi secara reflux (SAS) ... 113

Lampiran 16 Bobot dan persentase testosteron pada berbagai metode ekstraksi .. 114

Lampiran 17 Hasil anova dan uji lanjut DMRT pada berbagai metode, pelarut dan RAL in time ... 115

Lampiran 18 Bobot testosteron hasil ekstraksi secara reflux RAL in time ... 117

(20)

Lampiran 20 Bobot testosteron pada ekstraksi skala 3000 ml RAL in time ... 119

Lampiran 21 Analisis keragaman dan uji lanjut bobot testosteron ... 121

Lampiran 22 Persentase bobot testosteron terhadap bobot ekstrak (%) ... 122

Lampiran 23 Analisis keragaman dan uji lanjut kemurnian testosteron ... 123

Lampiran 24 Bobot hasil ekstrak pada berbagai suhu dan tekanan (SFE) ... 124

Lampiran 25 Analisis keragaman dan uji lanjut bobot ekstrak secara SFE ... 126

Lampiran 26 Bobot testosteron hasil ekstrak pada berbagai suhu dan tekanan (SFE) ... 127

Lampiran 27 Analisis keragaman dan uji lanjut bobot testosteron secara SFE ... 128

Lampiran 28 Persentase bobot testosteron terhadap bobot ekstrak pada SFE (%) ... 129 Lampiran 29 Analisis keragaman dan uji lanjut kemurnian testosteron (%) ... 130

Lampiran 30 Bobot hasil ekstrak pada SFE + co-solvent ... 131

Lampiran 31 Analisis keragaman dan uji lanjut DMRT bobot ekstrak dengan RAL in time ... 132

Lampiran 32 Bobot testosteron pada SFE + co-solvent... 133

Lampiran 33 Analisis keragaman dan uji lanjut DMRT bobot testosteron dengan RAL in time ... 134

Lampiran 34 Perbandingan bobot testosteron dan ekstrak pada SFE + co-solvent ... 135

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.504 pulau dan garis pantai lebih dari 81.000 km dengan luas perairan laut sekitar 5,8 juta km2 (75% dari total Wilayah Indonesia). Kondisi alam dan iklim yang tidak fluktuatif, menjadikan Indonesia mempunyai potensi sumber daya laut dengan keanekaragaman hayati yang sangat besar, walaupun belum terdayagunakan (Reina 2004). Bioteknologi kelautan yang berkembang pesat bertujuan memanfaatkan biota laut, salah satunya dengan ekstraksi senyawa bioaktif sebagai obat-obatan dan bahan farmasi. Mengingat prospek ekonomi yang besar dari sumber-sumber hayati di laut sebagai bahan obat-obatan itu, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menjadikan bioteknologi kelautan sebagai program unggulan sejak tahun 2002 (Dahuri 2005).

Salah satu hasil laut yang mempunyai nilai penting adalah teripang dengan nama lain teat fish, sea cucumber dan ginseng laut. Secara ekonomi teripang mempunyai nilai penting karena dua hal, yakni sebagai sumber biofarmaka potensial dari hasil laut dan sebagai makanan kesehatan (Kerr 2000). Kandungan kimia teripang basah, terdiri dari 44-55% protein, 3-5% karbohidrat dan 1,5% lemak (Anonim 2004a). Teripang mengandung asam amino esensial, kolagen dan vitamin E. Menurut Fredalina (1998), kandungan asam lemak penting pada teripang seperti EPA (asam eikosapentaenoat ) dan DHA ( asam

dekosaheksaenoat ) berperan dalam perkembangan syaraf otak, agen penyembuh luka dan antithrombotik. Selain itu teripang juga mengandung bahan aktif antihipertensi (Zhao et al. 2007), antibakteri (Haug et al. 2002; Villasin and Christopher 2000; Ridzwan et al. 1995), antifungi (Anonim 2003; Murray et al.

(22)

Penyebaran teripang di Indonesia terdapat pada perairan Pantai Madura, Bali, Lombok, Aceh, Bengkulu, Bangka, Riau dan sekitarnya, Belitung, Kalimantan Barat/Timur/Selatan, Sulawesi, Maluku dan Kepulauan Seribu. Total hasil tangkapan teripang di Indonesia pada tahun 2004 adalah sebesar 184.631 ton (DKP 2006). Di beberapa tempat, antara lain di La Ende, Barangka Sulawesi, bahkan telah dilakukan budidaya pembesaran teripang. Saat ini teripang Indonesia diekspor sebesar 2600 ton/tahun dalam bentuk kering (beche-de-mer),

konoko (gonad kering) dan konowata (usus asin). Produk ini banyak diminati sebagai makanan kesehatan karena dapat meningkatkan vitalitas bagi laki-laki, oleh karena itu diduga teripang mengandung steroid

Kustiariah (2006) berhasil mengidentifikasi steroid dari teripang, dimana testosteron pada hasil ekstrak teripang segar lebih tinggi daripada teripang kering dan mengaplikasikan ekstrak steroidnya pada ayam. Seleksi bahan baku dan bagian tubuh teripang menunjukkan steroid pada teripang pasir lebih tinggi dari pada teripang gamat dan teripang hitam. Bagian tubuh yang mengandung steroid tertinggi adalah bagian daging teripang, dan telah dilakukan bioassay pada mencit terhadap penggunaannya sebagai aprodisiaka (Nurjanah 2008). Selain dimanfa-atkan sebagai aprodisiaka, ekstrak steroid teripang yang mengandung testosteron juga dapat digunakan untuk keperluan sex reversal pada hewan air yang jenis jantannya lebih bernilai ekonomis daripada jenis kelamin betina, seperti pada udang galah, ikan gapi dan ikan hias lainnya (Riani et al. 2008). Ekstrak teripang berpotensi besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber testosteron alami, namun belum didapat metode ekstraksi untuk keperluan produksi massal. Oleh karena itu perlu diteliti faktor-faktor yang berpengaruh pada berbagai metode ekstraksi dan penggandaan skala, sehingga dapat menjadi pedoman untuk ekstraksi ke skala industri.

(23)

Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji penggunaan pelarut (metanol, aseton, metanol kloroform dan kloroform), diduga aseton merupakan pelarut terbaik bagi testosteron pada ekstraksi secara maserasi karena adanya kesesuaian polaritas dengan testosteron. Selain itu, rasio bahan dan pelarut diduga mempengaruhi hasil ekstrak (bervariasi) tergantung dengan metode yang digunakan, serta diduga terdapat kombinasi suhu dan lama ekstraksi yang dapat memberikan hasil testosteron tertinggi.

Metode ekstraksi lain yang berkembang dewasa ini adalah ekstraksi dengan fluida superkritis, dikenal sebagai Supercritical Fluids Extraction (SFE). Teknik ekstraksi ini disukai karena produk hasil bebas dari residu pelarut organik dan resiko oksidasi termal dapat diminimalkan seperti dalam mengekstrak vitamin E dan lemak (Xu et al. 2007). Teknik SFE dapat secara efektif memurnikan campuran yang dikehendaki, tanpa menghasilkan produk yang tak layak untuk aplikasi lebih lanjut dan memerlukan waktu ekstraksi yang lebih singkat, serta menggunakan gas CO2 sebagai pelarut. Keunggulan penggunaan pelarut ini adalah karena CO2 berkerapatan tinggi, mempunyai daya larut tinggi terhadap berbagai komponen, relatif inert, tidak polar, relatif tidak mahal, tidak beracun, tidak mudah terbakar, mudah sekali didaur ulang dan tersedia di pasaran dengan kemurnian tinggi (Hugh dan Krukonis 1993; Rizvi et al. 1999; Sun 2002). Akan tetapi, metode ini memerlukan biaya investasi yang tinggi atau merupakan teknologi padat modal.

Kapasitas pelarut SFE bergantung pada densitas, sehingga sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan tekanan. Nilai tekanan dan temperatur suatu bahan menggambarkan tingkat keadaan bahan tersebut pada kondisi tertentu. Fluida dalam kondisi superkritis memiliki sekaligus sifat gas dan cairan. Kapasitas maksimum pelarut dan variasi luas sifat pelarut dapat dicapai dalam kondisi ini dengan perubahan kecil temperatur dan tekanan. Hal ini menawarkan karakteristik ekstraksi yang menarik, karena berkaitan dengan difusifitas, viskositas, tegangan permukaan serta sifat fisik lainnya.

(24)

2002); steroid pada tes urine (Stolker et al. 1999 dan Cawley et al. 2005); mikrokapsul (Steckel et al. 1997), minyak ikan (Catchpole et al. 2000), minyak kacang mete (Patel et al. 2005), minyak berbagai hasil pertanian (King et al. 2004), berbagai minyak tak tersabunkan (Lesellier 2001) dan makanan (Ong et al. 1990). Sedangkan penelitian menggunakan SFE untuk mengekstrak steroid pada teripang belum pernah dilakukan. Pada ekstraksi teripang secara SFE, diduga terdapat kombinasi suhu dan tekanan yang menghasilkan testosteron tertinggi. Hal ini berkaitan dengan adanya pengaruh kombinasi densitas, viskositas dan volatilitas dari sistim yang dapat memberikan hasil testosteron tertinggi.

Selain dengan variabilitas kepadatan pada berbagai suhu dan tekanan, hasil ekstrak dapat ditingkatkan dengan penambahan co-solvent, yakni suatu zat organik yang mempunyai volatilitas sedang terhadap CO2 sebagai pelarut dan senyawa yang akan diekstrak. Penggunaan co-solvent bertujuan meningkatkan polaritas dan kekuatan pelarut (CO2 dan co-solvent) dan interaksi spesifiknya dengan senyawa yang diekstrak (Rizvi 1999). Peranan lain co-solvent adalah dapat meningkatkan selektivitas separasi (Hugh dan Krukonis 1993). Dengan keunggulan penggunaan co-solvent pada ekstraksi secara SFE, maka semakin banyak co-solvent yang digunakan testosteron yang diperoleh semakin meningkat serta waktu ekatraksi yang diperlukan semakin singkat. Jumlah co-solvent yang digunakan ditentukan dari rasio laju alir CO2 dan co-solvent. Oleh karena itu, diduga terdapat rasio laju alir CO2 dan co-solvent tertentu yang dapat memberikan testosteron tertinggi.

(25)

Perumusan Masalah

Testosteron yang beredar merupakan testosteron sintetik yang mempunyai efek samping dalam penggunaannya. Di beberapa negara maju hormon ini sudah dilarang peredarannya, sehingga sangat sulit memperolehnya. Efek samping testosteron sintetik yang membahayakan adalah bersifat karsinogenik. Riani et al. (2008) melaporkan bahwa penggunaan 17 α-metil testosteron pada hewan uji menyebabkan timbulnya benjolan-benjolan yang abnormal, sebagai gejala awal karsinogenik. Kesadaran penggunaan produk alami memicu dan memacu pencarian sumber-sumber testosteron alami, diantaranya adalah teripang.

Penelitian testosteron pada teripang baru sampai tahap identifikasi dan

bioassay sebagai aprodisiaka pada manusia dan keperluan sex reversal pada hewan, belum sampai pada tahap bagaimana mengekstraksi testosteron teripang dengan rendemen yang tinggi dan produksi massal. Kajian ini perlu untuk menjadikan steroid teripang sebagai komoditi hasil laut yang potensial dikembangkan pada skala komersil di masa datang, baik dengan teknologi konvensional maupun dengan teknologi modern.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendapatkan pelarut, rasio bahan dengan pelarut, metode ekstraksi serta kondisi ekstraksi (suhu dan lama ekstraksi) yang menghasilkan testosteron tertinggi baik pada pada ekstraksi konvensional maupun pada ekstraksi non konvensional (SFE). Lebih rinci tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan jenis pelarut, rasio bahan dan pelarut serta metode ekstraksi yang menghasilkan bobot testosteron tertinggi pada hasil ekstrak teripang secara konvensional skala 300 ml.

2. Mendapatkan suhu dan lama ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi pada hasil ekstrak teripang skala 3000 ml dengan metode konvensional terpilih.

(26)

4. Mendapatkan rasio laju alir CO2 dengan co-solvent dan lama ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi pada hasil ekstrak teripang secara SFE. 5. Membuktikan terdapat testosteron pada hasil ekstrak teripang secara kualitatif

dan kuantitatif.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Menjadi dasar perancangan proses produksi testosteron dari teripang.

2. Menjadi referensi bagi pihak-pihak terkait, seperti investor dalam dan luar negeri, peneliti, industri kecil dan menengah dan pihak pemerintah (pemda) dalam perancangan industri steroid teripang, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah teripang.

3. Menjadi masukan dalam pengembangan industri kelautan di Indonesia untuk komoditas selain ikan, khususnya teripang.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan karakterisasi dan identifikasi teripang berdasarkan bobot dan ukuran sebagai bahan baku untuk ekstraksi.

2. Ekstraksi teripang pada skala 300 ml secara konvensional (maserasi, soxhlet

dan reflux) dengan berbagai pelarut dan rasio bahan pelarut pada skala 300 ml. 3. Ekstraksi teripang pada skala 3000 ml dengan metode, pelarut dan rasio terpilih untuk mendapatakan suhu dan lama ekstraksi yang menghasilkan tetsosteron tertinggi.

4. Ekstraksi teripang dengan metode SFE pada berbagai suhu dan tekanan.

5. Ekstraksi teripang dengan metode SFE pada kondisi ekstraksi (suhu dan tekanan) terpilih, menggunakan berbagai rasio laju alir CO2 dan co-solvent. 6. Menganalisis secara kualitatif dan kuantitatif testosteron pada hasil ekstraksi

(27)

Kerangka Pemikiran Penelitian

Penambahan nilai suatu produk dapat dilakukan melalui penemuan bahan baku baru, penemuan proses baru ataupun produk baru. Salah satu hasil laut yang potensial dikembangkan adalah teripang pasir (Holothuria scabra J) yang merupakan bahan baku baru sumber steroid. Produksi testosteron dari teripang pasir dapat memberikan nilai tambah suatu bahan menjadi produk yang bernilai tinggi, yakni dari teripang yang hanya diekspor dalam bentuk beku/kering menjadi produk testosteron.

Untuk menjembatani hasil temuan testosteron dalam teripang dan pemanfaatan testosteron dengan permintaan testosteron alami, diperlukan kajian ekstraksi teripang pasir sebagai sumber testosteron alami. Kajian ini akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi testosteron pada hasil ekstraksi teripang, baik pada ekstraksi secara konvensional maupun secara SFE, untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Hal ini sangat penting sebagai pedoman pengembangan proses ekstraksi testosteron dari ekstrak teripang sehingga dapat dikembangkan ke skala industri.

Kajian perbandingan ekstraksi konvensional dan SFE dalam mengekstrak testosteron pada hasil ekstrak teripang sangat perlu dilakukan sebagai dasar pertimbangan pemilihan penerapan metode ekstraksi sesuai dengan kondisi setempat (ketersediaan modal, sarana dan prasarana, tenaga kerja dan lain-lain) dalam pengembangan industri testosteron dari ekstrak teripang.

Kebutuhan konsumen akan testosteron alami, membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan nelayan melalui keterjaminan harga teripang, sehingga secara simultan industri ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Metode Ekstraksi Konvensional

(28)

sedangkan ilmu yang mempelajari cara tersebut disebut metodologi (wikipedia.org). Ekstraksi adalah proses penyarian senyawa aktif (penarikan sari) dari simplisia untuk memperoleh keseluruhan senyawa-senyawa yang terkandung pada simplisia bersangkutan (ekstraksi total) ataupun golongan senyawa tertentu saja (Ansel 1989). Sudut pandang kimia mendefinisikan ekstraksi sebagai pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut, dan pemisahannya terjadi atas dasar kemampuan larut yang berbeda dari komponen-komponen dalam campuran (Coulson dan Richardson 1999).

Metode ekstraksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara memisahkan yang harus ditempuh atau dijalankan untuk mendapatkan senyawa target (testosteron) yang diinginkan. Efektivitas ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain kondisi alamiah simplisia (jaringan lunak/keras, bahan segar atau dikeringkan), ukuran partikel simplisia, suhu proses, tekanan udara dalam proses, jenis pelarut dan metode ekstraksi (peralatan ekstraksi). Pelarut yang digunakan berupa pelarut non polar (heksan, sikloheksan dan toluene), pelarut semi polar (kloroform, diklorometan, dietil eter dan etil asetat) dan pelarut polar (metanol, etanol dan air).

Menurut Ansel (1989) metode dasar dari ekstraksi bahan obat adalah maserasi (proses”M”) dan perkolasi (proses “P”). Maserasi berasal dari bahasa latin macerare yang artinya merendam, merupakan proses bahan yang akan diekstrak direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakan sel-sel sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Perkolasi berasal dari kata “per” artinya melalui dan “colare” artinya merembes. Perkolasi merupakan proses ekstraksi dimana bahan yang akan diekstrak diletakkan di dalam alat (perkolator) dengan pelarut yang dialirkan merembes melalui kolom. Ada banyak metode ekstraksi yang dapat digunakan dalam mengekstrak bahan aktif, diantaranya adalah :

(29)

Perkolasi : Metode ekstraksi senyawa aktif dari simpisia menggunakan penambahan cairan penyari (pelarut) secara berkesinambungan (continuous extraction process) sehingga senyawa aktif tersari sempurna (Ansel 1989)

Soxhlet : Metode ekstraksi dengan menggunakan peralatan soxhlet, pelarut dan simplisia berada pada tempat terpisah, penyarian terjadi secara berulang akibat pergerakan pelarut melalui proses pemanasan dan kondensasi (Ruiz-Jimenez et al. 2004)

Reflux : Metode ekstraksi dengan mereflux simplisia bersama dengan pelarut pada tempat yang sama, menggunakan pemanasan dan kondensor balik sehingga pelarut akan masuk kembali dalam tempat proses ekstraksi berlangsung (Garcia-Ayuso et al. 1998) Menurut Coulson dan Richardson (1999), ada empat faktor penting yang berpengaruh pada proses ekstraksi, yakni ukuran partikel, pelarut, suhu dan pengadukan. Ukuran partikel berpengaruh terhadap luas permukaan yang menentukan kontak bahan dan pelarut, pelarut berpengaruh terhadap kesesuaian komponen yang akan diekstrak, suhu dan pengadukan berpengaruh terhadap kelarutan komponen yang akan diekstrak. Selanjutnya dijelaskan bahwa, secara umum suatu proses ekstraksi biasanya terdiri atas tiga tahap, yakni :

‰ Pertama, perubahan fase padat menjadi campuran dalam pelarut (mencampurkan bahan ekstrak dengan pelarut) dan membiarkannya saling kontak.

‰ Kedua, proses difusi pelarut melalui pori-pori ataupun secara langsung membawa hasil ekstrak keluar dari partikel.

‰ Ketiga, perpindahan solute (komponen yang diekstrak) dari larutan ekstrak (campuran), berkaitan patikel utama dari campuran.

Goad dan Toshihiro (1997) membagi proses rangkaian ekstraksi meliputi persiapan bahan yang akan diekstrak, kontak bahan dengan pelarut, pemisahan residu dengan filtrat dan proses penghilangan pelarut dari ekstrak.

(30)

Salah satu perlakuan pendahuluan pada proses ekstraksi adalah pengecilan ukuran, dilakukan dengan menggunakan peralatan yang bekerja secara pemotongan, penekanan dan/atau kombinasinya. Persiapan sample mengikuti beberapa metode untuk proses ekstraksi sterol, yaitu : (1) material segar yang akan diekstraksi digiling atau dijadikan tepung, (b) material segar dihomogenisasi menggunakan pelarut menjadi pasta, (c) material segar pertama dibekukan kemudian dihomogenisasi dengan pelarut, (d) material dikeringkan di oven atau udara kering, dilakukan penepungan dan ekstraksi, selanjutnya dihomogenisasi dengan pelarut (e) jaringan diliopilisis dan ditepungkan sebelum diekstrasi dengan pelarut (Goad dan Toshihiro 1997)

Bahan Pelarut

Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi tergantung pada sifat komponen yang akan diisolasi, yakni polaritas suatu senyawa. Senyawa polar diekstrak menggunakan pelarut polar, demikian juga dengan senyawa semi polar dan non polar. Oleh karena itu penentuan polaritas bahan yang akan diekstrak dan polaritas bahan pelarut sangatlah perlu dalam pemilihan bahan pelarut. Menurut Tzia dan Liadakis (2003) dasar pemilihan pelarut adalah kelarutan, pemisahan, tegangan permukaan dan viskositas serta ideal (tidak bersifat racun, stabil, tidak reaktif, ramah lingkungan dan murah). Metode yang ideal digunakan untuk mengekstrak lipid dari suatu jaringan yakni dengan memindahkan semua campuran lipophilik yang diperlukan secara efisien tanpa perubahaan formasi asli atau kehilangan akibat hidrolisis, autoksidasi atau degradasi (Goad dan Toshihiro 1997).

(31)

maculate, Cladolabes bifurcates dan Cucuraria sp) menggunakan kloroform secara reflux pada suhu 60oC. Ibrahim (2001) berhasil mengisolasi senyawa steroid dari lintah laut (Discodoris sp) menggunakan pelarut aseton dingin yang dilanjutkan dengan partisi menggunakan campuran asetil asetat dan air. Dengan teknik ekstraksi yang sama, Alwir (2001) mengisolasi steroid dari cacing laut (Eunice siciliensis). Beberapa pelarut dengan sifat-sifatnya perlu menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan pelarut seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Sifat beberapa pelarut organik (Adam dan Dyson 2004). Pelarut Konst Dielektrik

(Debye)

Titik Didih

Sikloheksan 2,0 81

Dioksan 2,2 102

Karbon Tetraclorida 2,2 76

Benzen 2,3 80

Metanol Kloroform (1:2)* 14,1 61-65

Isopropanol 18,3 68

(32)

atau menggunakan pelarut dengan peningkatan polaritas secara seri, (d) Homogenisasi pada pelarut ekstraksi dan (e) ultrasonik pada material kecil dalam cairan ekstraksi atau dalam satu seri pelarut (Goad dan Toshihiro 1997).

Aspek Fundamental dalam Ekstraksi

Ekstraksi sebagai proses difusi, adalah proses dimana molekul diangkut dari satu bagian ke bagian lain dalam sistem karena pergerakan acak yang disebabkan oleh gradien konsentrasi. Ekstraksi dengan pelarut dapat dianggap sebagai proses difusi dalam keadaan cair karena transfer larutan, bahkan dalam padatan. Ilustrasi proses difusi sebagai dasar ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ilustrasi proses difusi sebagai dasar ekstraksi (Tzia dan Liadakis 2003)

Sistem Ekstraksi Secara Konvensional

Perancangan sistem ekstraksi dan rincian pemilihan peralatan yang sesuai tergantung pada tujuan proses dan sifat fisis material yang akan diekstraksi. Kemampuan melarut dan pemilihan bahan pelarut cairan yang sebagian besar didasarkan pada air, hidrokarbon seperti heksan atau alkohol digunakan untuk mengekstrak komponen tertentu yang diinginkan.

Model Operasi (Cox dan Rydberg 2004)

Pori-pori kapiler

Padatan Cairan

Kelarutan

Degradasi Bahan terlarut Pelarut

(33)

Model operasi dalam ekstraksi dibedakan atas ekstraksi batch, quasi-continuous dan continuous, sedangkan berdasarkan tahapan prinsip kerja dibedakan atas ekstraksi satu tahap dan ekstraksi banyak tahap dan hubungan antar tahap dibedakan atas yakni co-current, cross-current dan counter-current

Model operasi ekstraksi batch. Ekstraksi dilakukan dalam vessel yang telah diisi dengan bahan padat yang akan diekstrak. Bahan pelarut selanjutnya disaring melalui bed solid atau ditambahkan ke vessel sampai padatan sepenuhnya terbenam. Kadang campuran pelarut bahan padat digerakkan untuk meningkatkan terjadinya perpindahan massa. Setelah waktu tahan tertentu (holding time), campuran pelarut-ekstrak, disebut miscella, ditarik dari vessel dan bahan padat dibuang. Proses ini hampir ditinggalkan, kecuali pada beberapa aplikasi khusus, karena gangguan yang diperlukan operasi untuk bongkar-muat dan diperlukan jumlah bahan pelarut yang besar.

Model operasi ekstraksi quasi-continuous, bertujuan meningkatkan efisiensi ekstraktor, beberapa batch ektraktors dapat dioperasikan secara urut menggunakan bahan pelarut yang terisi dalam satu ekstraktor dan dilewatkan melalui bed solid yang masih berisi sejumlah unsur ekstraksi. Peningkatan konsentrasi larutan akan terjadi pada cara ini, secara berangsur-angsur mendekati total kapasitas bahan pelarut. Setelah suatu interval tertentu, masukan dan keluaran diubah sedemikian sehingga bed solid yang diekstrak sampai hasil tertinggi ditutup untuk pembuangan hingga giliran ekstraktor selanjutnya. Model operasi continuous, pada operasi kontinu lengkap, bahan solid harus diambil dan dibuang secara kontinu dari dan ke ekstraktor.

Prinsip Kerja

(34)

dan pemulihan pelarut yang seekonomis mungkin. Tahap-tahap dan prinsip kerja ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Tahap-tahap prinsip kerja dalam ekstraksi (Tzia dan Liadakis 2003)

Tiga cara yang berbeda digunakan untuk menghubungkan berbagai tahap, yakni co-current, cross-current dan counter-current (Gambar 2). Dalam ekstraksi

co-current, dua phasa mengalir pada arah yang sama diantara berbagai pemberi kontak/kontaktor. Pada diagram dalam Gambar 4 di perlihatkan bahwa dengan konfigurasi ini tidak ada kelebihan dari kontak tunggal karena keseimbangan dicapai pada kontaktor pertama, aliran terpisah telah dalam keseimbangan juga ketika memasuki kontaktor kedua, maka relatif tidak terjadi perubahan konsentrasi.

Pada konfigurasi kedua, (b) cross-current, hasil yang dimurnikan berhubungan dengan sampel pelarut segar. Hal ini merupakan cara ekstraksi klasik dalam laboratorium jika menggunakan corong separator dan akan meningkatkan recovery larutan. Dalam skala industri, hal ini jarang digunakan karena konsentrasi larutan yang diinginkan berkurang pada produksi massa phasa produk. Bentuk ketiga (c) adalah counter current, yang biasanya digunakan dalam industri. Volume phasa tetap, dan dengan feeding kedua phasa pada ujung yang berlawanan dari kontaktor, gaya penggerak ekstraksi, yaitu perbedaan konsentrasi larutan kedua phasa, akan maksimal.

(35)

Metode Ekstraksi Fluida Superkritis (Supercritical Fluid Extraction)

Supercritical Fluid Extraction (SFE) adalah suatu metode ekstraksi dengan prinsip memisahkan komponen di atas titik kritis tekanan dan suhu suatu fluida, yaitu suatu keadaan dimana fluida berada dalam keadaan seimbang antara bentuk gas dan bentuk cair (Hugh dan Krukonis 1993). Pada kondisi SFE, daya larut mempunyai nilai lebih tinggi dan lebih selektif daripada bentuk cair atau bentuk gas (Rizvi 1999). Pada kondisi tersebut, daya larut dari pelarut yang digunakan sangat besar, sehingga dapat melarutkan zat lain dalam jumlah yang besar pula. Fluida superkritis ditandai oleh kerapatannya yang tinggi, kekentalan yang relatif rendah dan koeffisien diffusinya berada di antara fase gas dan fase cair. Sifat ini menyebabkan fluida superkritis berpotensi tinggi dan lebih unggul dibandingkan jenis pelarut lain. Diagram antara suhu dan tekanan CO2 dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram fase pada komponen murni CO2 dan nilai densitas, viskositas, koeffisien difusi (Hugh dan Krukonis 1993)

Rizvi (1999) menyebutkan bahwa karakteristik fluida superkritis sangat tergantung pada kondisi fisiknya, terutama suhu dan tekanan. Pemilihan parameter ini akan berperan pada perubahan-perubahan densitas, viskositas dan difusivitas. Perubahan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi dalam SFE, misalnya kelarutan suatu zat tergantung pada besarnya

(36)

densitas, suhu dan tekanan pelarut. Sedangkan kelarutan zat bervariasi, tergantung pada bobot molekul yang dilarutkan dan struktur zat yang berlainan. Penerapan fluida superkritis didasarkan pada penelitian yang menunjukkan bahwa banyak gas memperlihatkan peningkatan kekuatan, bila tekanan sampai kondisi di atas titik kritisnya. Kemampuan inilah yang dapat melarutkan bahan padat pada tekanan dan suhu kritis. Suhu maksimum dimana gas dapat cair disebut suhu kritis dan tekanan yang diperlukan untuk menyebabkan pencairan pada suhu tersebut disebut tekanan kritis. Beberapa pelarut dengan kondisi suhu dan tekanan kritisnya terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kondisi kritis berbagai pelarut superkritis (Hugh dan Krukonis 1993) Pelarut Suhu Kritis (oC) Tekanan Kritis (atm)

Karbondioksida 31,1 72,8

Etana 32,3 48,2

Etilen 9,3 49,7

Propana 96,7 41,9

Propilen 91,9 45,6

Isopropanol 235,2 47,0

Benzen 289,0 48,3

Toluena 318,6 40,6

Air 374,2 217,6

Pelarut yang banyak digunakan dalam SFE adalah CO2 karena berkerapatan tinggi, mempunyai daya larut terhadap berbagai komponen sangat tinggi, relatif inert, tidak polar, tidak mahal, tidak beracun, tidak mudah terbakar, tetapi mudah sekali didaur ulang dan tersedia dipasaran dengan kemurnian tinggi sehingga dijamin tidak meninggalkan residu dalam hasil akhir (Hugh dan Krukonis 1993; Rizvi 1999; Sun 2002). Teknik ekstraksi dalam industri farmasi umumnya menggunakan ekstraksi secara destilasi dan ekstraksi dengan pelarut (perkolasi, maserasi dan soxhlet). Teknik konvensional ini membutuhkan waktu, peralatan operasi, penanganan, volume serta biaya bahan pelarut yang tinggi. Selain itu penggunaan suhu yang tinggi dapat menimbulkan kehilangan dan degradasi senyawa target yang diinginkan.

(37)

kuku, darah, urine), makanan, tanaman dan hewan. Umumnya SFE mengekstrak komponen tidak mudah larut seperti minyak, lemak, asam lemak, kolesterol, steroid, limbah. Ekstraksi minyak dari hasil pertanian seperti pada kedelai, kacang, biji kapuk, jagung (King 2004), minyak biji jambu mete (Patel 2005), minyak dari kayu Eucalyptus globulus (Gonzalez-Vila et al. 2000), asam lemak tak tersabunkan pada minyak Callophylum calaba ( Crane et al. 2005), lemak tak tersabunkan (Lesellier 2001), ekstraksi asam lemak pada biji anggur (Cao dan Yoichiro 2003), asam lemak pada minyak biji kachnar (Ramadhan et al. 2005), kolesterol dari lemak hewan (Russo 2004) dan komposisi asam lemak pada produk ikan yang digaramkan (Ikura, Tarako, Tobiko dan Kazunoko). Pada bidang medis, SFE digunakan dalam ekstraksi komponen pharmaceutical penting dari mikroalga (Mendes 2003; Dean dan Khudker 1996), steroid pada sampel biologi (Kureckova et al. 2002), Secosteroid dari hasil laut (Scalia dan Domenica 2004), metiltestosteron, nortestosteron dan testosteron pada urine (Stolker et al. 1999).

(38)

Variasi temperatur pada SFE mempengaruhi densitas pelarut, sifat volatilitas dan desorpsi komponen pada matrik/jaringan. Pada temperatur tinggi volatilitas meningkat, tetapi densitas CO2 menurun. Indikasi ini menyatakan bahwa peningkatan efisiensi ekstraksi dengan menaikkan suhu tergantung pada bobot molekul. Peningkatan suhu dari 308 ke 348 K meningkatkan efisiensi ekstraksi medroxyprogesteron asetat (med) disebabkan peningkatan suhu mendekati sifat gas mengakibatkan densitas menurun, volatilitas meningkat, desorpsi komponen pada matrik meningkat. Pengaruh penurunan densitas lebih kecil daripada efek peningkatan volatilitas sehingga peningkatan suhu akan meningkatkan hasil med. Sebaliknya, peningkatan suhu 308 ke 348 K menurunkan efisiensi ekstraksi cyproteron acetat (cyp) sebab rendahnya densitas menurunkan hasil ekstraksi (Yamini et al. 2002). Sedangkan pengaruh tekanan terlihat bahwa peningkatan tekanan (100, 200 dan 300) pada suhu 308 K meningkatkan efisiensi pengekstrakan med, tetapi menurunkan efisiensi cyp.

Pengaruh suhu dan tekanan diteliti oleh Ghasemi et al. (2006) dalam mengekstrak Artemisia sieberi. Peningkatan suhu dari 308 ke 318 K meningkatkan hasil ekstrak, tetapi peningkatan suhu 318 ke 328 K menurunkan hasil ekstrak. Hal ini disebabkan peningkatan suhu akan meningkatkan volatilitas, tetapi juga mengakibatkan turunnya densitas. Pada peningkatan suhu 308 ke 318 K, peningkatan volatilitas lebih dominan dari penurunan densitas, maka hasil meningkat, sedangkan peningkatan suhu 318 ke 328 K, penurunan densitas lebih dominan daripada peningkatan volatilitas, maka hasil menurun. Pengaruh tekanan (10,2, 20,2 dan 30,4 MPa) menunjukkan peningkatan hasil karena peningkatan tekanan akan meningkatkan densitas, sehingga kelarutan meningkat. Peningkatan volatilitas akan mengakibatkan pelarut mendekati sifat gas di mana densitas akan berkurang maka kemampuan mengekstrak akan menurun. Di sisi lain, peningkatan volatilitas akan mengakibatkan viskositas berkurang, difusifitas meningkat sehingga kemampuan mengekstrak meningkat, maka hasil ekstraksi meningkat. Pengaruh mana yang lebih dominan akan menentukan hasil ekstrak meningkat atau menurun.

(39)

et al. (2006) yang mendapatkan hasil bahwa semakin tinggi tekanan, maka ekstrak yang diperoleh semakin tinggi. Penelitian Mendes (2003) menyatakan hasil ekstrak pada tekanan 35 MPa > 27,5 MPa > 20 MPa, Vederaman (2004) menghasilkan ekstrak tertinggi 270 bar (≈27 MPa) dari 230 bar dan 250 bar. Sedangkan Petel (2005) menunjukkan hasil ekstrak pada tekanan 300 bar > 250 bar > 225 bar > 200 bar dan Gahseni (2006) menunjukkan hasil ekstrak pada tekanan 30,4 MPa tertinggi dari tekanan 20,2 MPa dan 10,1 MPa. Secara ringkas penelitian tentang pengaruh suhu dan tekanan pada berbagai komoditi terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Perlakuan suhu, tekanan,aliran CO2 dan co-solvent pada SFE Perlakuan

Lesellier et al. 2001 Lemak tak tersabunkan : Sterol dan Free Sterol 75oC 10 M Pa

40o C, 200 atm perbandingan dengan soxhlet, destilasi uap dan maserasi

Scalia et al. 1999 Chamamole Flower : Komposisi minyak

Perbandingan Soxhlet (pelarut toluen, sikloheksan, diklorometan) dengan SFE

Miege et al. 1998 Limbah pertanian

Teripang Pasir (Holothuria scabra J)

Klasifikasi Teripang

(40)

tidak bertulang belakang yang bertubuh lunak atau berduri. Klasifikasi teripang menurut Wibowo et al. (1997) adalah sebagai berikut :

Filum : Echinodermata Sub Filum : Echinozoa 2. Stichopus : Stichopus variegatus J

3. Thelonata : Thelonata ananas J

4. Actinopyga :

a. Actinopyga lecanora J

b. Actinopyga miliaris

c. Actinopyga echinitis

Morfologi Teripang Pasir (Holothuria scabra)

Warna teripang bervariasi tergantung jenisnya, mulai dari berwarna hitam, coklat atau kehijauan bahkan ada beberapa jenis yang mempunyai warna terang seperti merah muda, oranye, ungu, bergaris atau belang (Young 1997). Tubuh teripang umumnya lunak atau licin, berotot tebal atau tipis dengan kulit halus atau berbintik-bintik. Teripang pasir (Holothuria scabra J), seperti ditunjukkan pada Gambar 1 mempunyai tubuh bulat panjang, dengan punggung abu-abu atau kehitaman berbintik putih atau kuning, di seluruh permukaan tubuh diselimuti lapisan kapur yang tebal tipisnya tergantung umur. Teripang umumnya menempati ekosistem terumbu karang dengan perairan yang jernih, bebas polusi, air relatif tenang, mutu air dengan salinitas 29-33 ppt (Wibowo et al. 1997).

Teripang adalah hewan detritus yang melakukan kegiatan makan dengan cara menyapu pasir ke dalam mulutnya. Pergerakan teripang yang lambat menyebabkan ia perlu mempunyai mekanisme pertahanan tubuh yang efisien, yaitu mengeluarkan holothurin yang toksik dan dapat melumpuhkan. Holothurin

(41)

yang memenuhi syarat komersial adalah yang telah mencapai bobot 400-500 gram/ekor, minimal mencapai 300 gram/ekor.

Gambar 4 Teripang pasir (Holothuria scabra J) (http://www/.Enchanted Learning.com).

Di Indonesia ditemukan tiga genus teripang, yaitu Holothuria, Muelleria

dan Stichopus. Ketiga genus tersebut yang banyak dieksplotasi adalah H.scabra,

H. edulis, H. argus, H. marmorata, H. vacubanda, M. lecanora, S. ananas, S. chloromatus dan S. variegatus, yang berprospek dibudidayakan adalah H. scabra

(Rustam 2006). Wibowo et al. (1997) mengelompokkan teripang berdasarkan harga di pasar Internasional, yakni kelompok teripang harga tinggi (H. fuscogilva,

H. nobilis dan Thelonata ananas), kelompok harga sedang (H. scabra, A. miliaris,

A. lecanora, A. mauriatana, S. chloronatus) dan kelompok teripang harga rendah (H. edulis, A. echinetes, B. asgus, H. atra, H. fuscopunctata). Hasil penelitian Nurjanah (2008) menunjukkan Holothuria scabra mempunyai kandungan steroid lebih tinggi dibandingkan teripang gamat (S. variegatus) dan teripang hitam (H. nobilis).

(42)

Teripang kering mempunyai kandungan nutrisi yang terdiri atas kadar air (8,90%), protein (82,00%), lemak (1,70%), abu (8,60%), karbohidrat (4,80%), vitamin A (455 ug), vitamin B (thiamine 0,04 %, riboflavin 0,07 %, niacin 0,4 %) dan total kalori (385 cal/100g). Kadar protein yang cukup besar memberikan nilai gizi yang cukup baik, disamping itu protein teripang mempunyai asam amino yang lengkap. Kandungan lemaknya mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat diperlukan bagi kesehatan jantung dan otak (Fredalina et al. 1998). Dari hasil analisis terhadap tubuh teripang diketahui bahwa teripang mengandung protein ±44%, karbohidrat antara 3-5% dan lemak 1,5% (Anonim 2004).

Selain itu teripang juga mengandung bahan aktif antibakteri (Haug et al. 2002; Villasin and Christopher 2000), antifungi (Aryantina 2002), antikoagulan (Mulloy et al. 2000), sebagai penghasil protease (Fu et al. 2005a) dan arginine kinase (Fu et al. 2005b), bahan aktif antihipertensi (Zhao et al. 2007), antikanker (Murwani dan Agus 2003), T-antigen lectin (Gowda et al. 2008), triterpen glikosida (Kovalchuk et al. 2006; Yuan et al. 2007; Ismail 2008) dan sterol bebas (Stonik et al. 1997; Ponomarenko et al. 2000).

Ridzwan et al. (1995) menemukan bahan aktif antibakteria dari ekstraksi pelarut metanol dan Phosphat Buffered Saline (PBS).pada tiga spesies teripang di Sabah, yakni H. atra, H. scabra dan B. argus. Hasil ekstrak diujikan terhadap tujuh bakteria S. faecalis, S. viridens, S. pneumonieae, S. auriens, E. coli, Shigella sinnei dan Proteus mirabilis. Bahan aktif antibakteria juga terdeteksi pada jaringan tubuh, telur dan organ dalam (A. rubens), kulit (S. droebachiensis) dan telur (C. frendosa) yang diamati terhadap E. coli, C. glutamicum, V. anguillarum

dan S. aureus (Haug et al. 2002). Pada jaringan tubuh Parastichopus parvimensis

ditemukan antibakteria yang diamati terhadap B. substilis dan E. coli (Villasin dan Christopher 2000).

Antifungi pada teripang (Actinocopyga lecanora) yang diekstrak menggunakan metanol, etil acetat, n-butanol, menunjukkan aktivitas antifungi terhadap 21 fungi (Kumar et al. 2006). Ekstrak senyawa bioaktif antifungi juga dapat diekstrak menggunakan pelarut etanol, etil asetat dan kloroform dari

(43)

Gowda (2008) melakukan purifikasi dan karakterisasi T-antigen spesifik lektin pada cairan coelomic Holothuria scabra (HSL) yang memberikan respon tahan terhadap aglutinasi bakteria. Gelatin dari teripang (Acaudina molpadioides) dihidrolisa menggunakan bromelin dan alcalase menghasilkan bahan bioaktif sebagai antihipertensi ( Zhao et al. 2007) dari teripang (Acaudina molpadioides) Stonik et al. (1998) berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi komposisi 78 sterol bebas dari ekstrak teripang (P. trachus, H. nobilis, H. scabra, T. orientale dan B. natans) dengan menggunakan HPLC, GLC, GLC-MS dan NMR. Spesies yang mengandung sterol bebas terbanyak adalah H. scabra sebanyak 60 sterol bebas, diikuti H. nobilis sebanyak 42 sterol bebas, B.natans sebanyak 39 sterol bebas, T. orientale sebanyak 37 sterol bebas dan P. Trachus sebanyak 34 sterol bebas. Sedangkan pada Synapta maculata terdapat 32 sterol bebas,

Cladolabes bifurcatus terdapat 7 sterol bebas dan Cucumaria sp terdapat sterol bebas sebanyak 30 macam.

Teripang dikenal sebagai makanan kesehatan bagi Masyarakat China dan pesisir karena dapat meningkatkan vitalitas bagi laki-laki. Hal ini berkaitan dengan kandungan steroid pada teripang, yakni testosteron (atau senyawa antaranya), sebagaimana telah diteliti lebih lanjut oleh Kustiariah (2006), Riani et al. (2008) dan Nurjanah (2008). Ekstrak steroid dari teripang pasir segar lebih tinggi dibandingkan ekstrak steroid teripang kering (Kustiariah 2006). Teripang pasir (Holothuria scabra) juga mengandung steroid yang lebih tinggi (58.46 ±2,94 x10-4 g/g, bk) dibandingkan teripang hitam (H.nobilis) dan teripang gamat (S. variegatus). Steroid teripang tertinggi terdapat pada daging, (58,46 x10-4±2,94 g/g, bk) pada gonad (30,79 ±2,94 x10-4g/g, bk) dan pada jeroan (28,13 ±1,89 x10 -4

g/g, bk) (Nurjanah 2008).

Hormon Steroid Testosteron

Steroid merupakan derivat sistem cincin perhidroksiklopentanofenantren

(44)

dihasilkan oleh bagian tertentu berupa kelenjar dan langsung berdifusi ke dalam peredaran darah menuju organ tubuh tertentu. Dilain pihak, Schunack et al.

(1990) mendefinisikan hormon sebagai senyawa aktif biologis, bekerja dalam konsentrasi yang kecil, yang dibentuk dalam jaringan atau organ tertentu dari organisme hewan dan manusia, melalui aliran darah mencapai organ sasaran dan memperlihatkan kerja spesifik.

Sterol merupakan kelompok steroid yang mengandung gugus hidroksil pada C3 dan rantai alifatik tersusun paling sedikit 8 atom C tertempel pada C17. Sterol utama pada bahan hewani adalah kolesterol, sedangkan sterol utama pada bahan nabati adalah fitosterol (terdapat 10 atom C pada C17). Kolesterol merupakan senyawa penting (senyawa antara) dalam pembentukan hormon steroid, salah satunya adalah hormon kelamin jantan yaitu testosteron dan androstedion. Pengenalan hormon steroid (hormon kelamin) estrogen dan androgen pada tahap awal dilakukan dengan melihat C17 dimana hanya mempunyai gugus hidroksil atau keto. Selanjutnya terlihat estradiol (esterogen) pada cincin A merupakan fenolik sedangkan androgen (testosteron dan progesteron) hanya mempunyai satu ikatan rangkap (Gambar 2). Dengan demikian akan terdeteksi dengan jelas perbedaan testosteron dan estrogen (Montgomery 1993).

Testosteron

(45)

Gambar 5 Rumus bangun steroid testosteron (Schunak 1990)

Testosteron sebagai aprodisiaka

Berdasarkan kerja genitalis hormon steroid, cukup banyak produk yang dapat dikembangkan dari steroid teripang. Berdasarkan kerja hormon estrogen, steroid dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pada wanita, sedangkan hormon androgen dapat digunakan untuk peningkatan vitalitas laki-laki (aprodisiaka) dan pembentukan otot. Produk steroid yang telah dikomersilkan banyak ditemui dalam berbagai bentuk, diantaranya steroid berbentuk tablet, steroid berbentuk kapsul keras, steroid berbentuk kapsul lunak dan steroid berbentuk ampul (cair). Steroid banyak digunakan baik secara langsung maupun melalui oral, tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Produk steroid yang segmen pasarnya wanita, umumnya menonjolkan fungsinya untuk menghaluskan kulit dan

(46)

awet muda, sedangkan untuk segmen pria, lebih menekankan fungsi pembentukan otot perkasa dan peningkatan vitalitas. Produk lain yang ada di pasar komersial adalah steroid kompleks alami (Natural Sterol Compex) dengan merk dagang relacore, zantrex dan estrin D.

Keinginan untuk tampil lebih prima, baik secara stamina maupun bentuk badan yang ideal menjadikan produk aprodisiaka berkembang pesat, bahkan berupa obat-obatan konvensional, seperti jamu. Produk yang mengandung aprodisiaka dalam negeri keluaran Sido Muncul adalah Kuku Bima TL, menggunakan aprodisiaka dari kuda laut yang berguna untuk meningkatkan libido (Anonim 2004 b). Produk aprodisiaka luar negeri penggunaannya lebih bervariasi, tidak hanya berupa oral tablet (Anabol tab, Sustanon 250), tetapi juga berupa krim atau gel dengan merk dagang orgasmus cream, erotisin cream,

libimex cream.

Bioassay Aktivitas Biologis Ekstrak Steroid Teripang Pasir

Bioassay aktivitas biologis steroid teripang sebagai sex reversal

Tingkat keberhasilan dan dosis pemberian hormon steroid untuk keperluan

sex reversal sangat dipengaruhi oleh jenis steroid yang digunakan, jenis spesies dan tahapan perkembangan organisme. Umumnya aplikasi dilakukan pada fase embrio karena akan memberikan efek perubahan yang bersifat permanen

(organisation effects), sementara pemberian pada fase dewasa umumnya bersifat temporer (activational effets) (Riani et al. 2008).

Pengujian aktivitas steroid dari ekstrak teripang pasir sebagai sex reversal pada udang galah (Riani et al. 2006)

Pengujian aktivitas steroid sebagai sex reversal pada udang dilakukan dengan dua metode yaitu perendaman juvenil dan penyuntikan pada induk. Perendaman pada juvenil terdiri atas lima perlakuan : juvenil direndam dalam cairan tanpa ekstrak steroid, juvenil direndam dengan larutan ekstrak kosentrasi 1 mg/l, 2 mg/l, 3 ml/l dan kontrol positif (hormon 17 α-metil testosteron). Parameter pengamatan nisbah kelamin jantan, derajat hidup, pertumbuhan juvenil.

(47)

44,15%, 49,65%, 49,72% dan 50,45% pada kontrol positif. Pertumbuhan juvenil dengan pemberian ekstrak steroid menunjukkan tidak berpengaruh terhadap rata-rata pertumbuhan harian.

Pemberian esktrak teripang dengan cara penyuntikan pada induk udang galah dilakukan dengan perlakuan yakni kontrol negatif 0,5 ml minyak jagung/1 kg induk, ekstrak steroid teripang 5 mg/1 kg induk, ekstrak steroid teripang 10 mg/1 kg induk, ekstrak steroid teripang 15 mg/1 kg induk dan hormon 17 α Metil testosteron 15 mg/1 kg induk. Parameter yang diamati adalah nisbah kelamin jantan, fekunditas, derajat pengeraman, derajat pembuahan, derajat penetasan, derajat hidup, ukuran telur, konsentrasi testosteron.

Hasil yang diperoleh dengan cara penyuntikan terhadap nisbah kelamin jantan 35,56% pada tanpa pemberian, 42,22% pada pemberian 5 mg/1 kg induk, 63,33% pada pemberian 10 mg/1 gr induk, 48,89% pada pemberian 15 mg/1 kg induk dan kontrol positif. Fekunditas tertinggi pada pemberian 15 mg/ 1 kg induk yakni 686 butir telur/1 gr induk. Derajat pengeraman menunjukkan hasil pengaruh dosis tidak berbeda nyata (99%, 99,15%, 98,98%) dengan kontrol negatif (99,22%), tetapi berbeda nyata dengan kontrol positif (96,68%). Derajat penetasan menunjukkan hal yang sama (98,34%, 98,14%, 97,96%, 98,28%) dengan kontrol positif sebesar 79,92%. Derajat hidup pada kontrol negatif dan pemberian teripang tidak berbeda nyata, sedangkan kontrol positif menunjukkan pengaruh nyata terhadap tingginya jumlah larva yang hidup. Ukuran telur menunjukkan kontrol negatif lebih kecil dari perlakuan lain. Pertumbuhan larva kontrol negatif dan semua dosis pemberian adalah 5,80, sedangkan pada kontrol positif 5,98. Pertumbuhan juvenil menunjukkan hasil tertinggi pada pemberian 15 mg/l (57,14). Konsentrasi testosteron tertinggi terdapat pada pemberian 10 mg/l.

(48)

mg/kg dapat menghasilkan populasi jantan tertinggi yaitu 63,33% dan merupakan perlakuan terbaik.

Pengujian aktifitas steroid dari ekstrak teripang pasir sebagai sex reversal pada ikan gapi (Riani et al. 2008)

Pengujian aktifitas steroid teripang sebagai sex reversal dilakukan dengan pemberian secara oral dan secara perendaman dengan perlakuan pemberian ekstrak teripang 200 mg/kg pakan, pemberian ekstrak teripang 400 mg/kg pakan, pemberian ekstrak teripang 600 mg/kg pakan, kontrol negatif (tanpa steroid testosteron) dan kontrol positif dengan steroid 17α metiltestosteron. Pemberian perlakuan teknik oral adalah dengan memasukkan ke dalam mulut, sedangkan teknik perendaman dilakukan dengan merendam induk ikan gapi yang sedang bunting di dalam larutan yang mengandung hormon selama 24 jam. Dengan teknik perendaman ini diharapkan hormon akan larut dalam air kemudian masuk ke dalam tubuh ikan secara difusi atau melalui insang. Kemudian hormon tersebut akan menuju organ target. Parameter pengamatan yang dilakukan adalah waktu melahirkan, jumlah anak, nisbah kelamin jantan dan persentase kelangsungan hidup.

Teknik pemberian dengan oral menunjukkan perlakuan 200 mg/kg dan kontrol positif terjadi variasi waktu melahirkan yang cukup tinggi. Sedangkan pemberian hormon tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Persentase tertinggi anak berkelamin jantan dari perlakuan steroid dengan dosis 400 mg/kg pakan yaitu sebesar 61,11% dan 58,33% pada kontrol positif serta persentase terkecil sebesar 34,21% diperoleh dari ikan yang pakannya tidak diberi hormon. Rata-rata tingkat kelangsungan hidup masih di atas nilai 90%. Nilai yang terendah adalah pada kontrol positif yaitu 91,86%, sedangkan yang tertinggi yaitu 98,41% pada perlakuan pemberian ekstrak teripang sebesar 400 mg/kg.

(49)

perendaman yang berbeda tidak berpengaruh terhadap variasi jumlah anak yang dilahirkan. Nisbah kelamin jantan diperoleh bahwa rata-rata persentase jantan yang tertinggi diperoleh dari kontrol positif yaitu sebesar 88,89%. Berikutnya adalah perlakuan dengan dosis 400 mg/l yaitu sebesar 78,23% dan rata-rata persentase terkecil diperoleh dari kontrol negatif yaitu sebesar 48%. Tingkat kelangsungan hidup berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup ikan gapi, secara umum keseluruhan perlakuan masih memiliki tingkat kelangsungan hidup rata-rata di atas 90%. Tingkat abnormalitas, terlihat pada pemberian hormon 17α metiltestosteron, berpengaruh terhadap anak ikan gapi yang dilahirkan. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya kematian total pada anak ikan yang dilahirkan dari induk yang diberi pakan mengandung hormon 17α metiltestosteron. Sedangkan induk yang diberi perlakuan ekstrak steroid dan kontrol negatif tidak memperlihatkan kondisi yang abnormal. Begitu pula pada teknik perendaman. Sebagian induk ikan yang direndam dalam larutan hormon 17α metiltestosteron hanya melahirkan anak dalam jumlah sedikit. Sementara pada perlakuan lain dan kontrol negatif rata-rata anak yang dilahirkan berjumlah besar.

Hasil bioassay memperlihatkan bahwa steroid dari ekstrak teripang berpengaruh terhadap persentase kelamin jantan, baik pada udang maupun pada ikan gapi. Hal ini menunjukkan steroid dari ekstrak teripang dapat dijadikan sumber testosteron alami yang digunakan sebagai sex reversal, sehingga efek negatif penggunaan testosteron sintetik dapat dihindari.

Bioassay aktivitas biologis steroid teripang sebagai aprodisiaka

Gambar

Tabel 1  Sifat  beberapa  pelarut organik (Adam dan Dyson 2004).
Gambar 1  Ilustrasi proses difusi sebagai dasar ekstraksi (Tzia dan Liadakis  2003)
Gambar 2   Tahap-tahap prinsip kerja dalam ekstraksi (Tzia dan Liadakis  2003)
Gambar  3   Diagram fase pada komponen murni CO2 dan nilai densitas, viskositas, koeffisien difusi (Hugh dan Krukonis 1993)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabilitas iklim merupakan suatu gejala yang ditimbulkan dari perubahan iklim. Variabilitas iklim menyebabkan fluktuasi curah hujan tidak dapat diprediksi dan cenderung

-arutan merupakan sistem dispersi ang ukuran diameter partikel zat terdispersina sangat kecil (/ !0  cm atau  nm), sehingga tidak dapat dibedakan antara partikel

Berdasarkan pada korelasi antara temuan fosil fauna dan formasi batuan hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta dengan rekonstruksi Biostratigrafi Jawa yang telah

• Ketika Pengumpulan CD Kerja Praktek, pihak terkait harus menandatangani Form Checklist Kelengkapan Penyelesaian KP/TA. • Setelah semua selesai, peserta

Siswa sebagai pribadi terlepas dalam hubungannya dengan pribadi lain atau kelompok harus Siswa sebagai pribadi terlepas dalam hubungannya dengan pribadi lain atau kelompok harus

Rancangan penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen (pre - post test with control design). Penelitian ini bertujuan mencari pengaruh elevasi posisi kepala

3.4 Solusi dalam Menghadapi Kendala Implementasi Pembelajaran Tahfidz dalam Menanam Karakter Jawab Pada Kelas Atas di SDIT Al-Falaah Simo. Menghadapi kendala

Dua alasan inilah yang menjadi tameng bagi saya untuk menjaga diri.”65 Tujuan, prinsip serta arti sebuah keluarga menurut pak Yahya mengarah kepada fungsi edukasi dan fungsi