Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: NURCHOLIS NIM: 1110043100006
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
NURCHOLIS : 1110043100006. CYBER PORNOGRAPHY (PORNOGRAFI
DUNIA MAYA) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM. Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqh, Program Studi Perbandingan Madzhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015. 1 x 66 Halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perbuatan apa saja yang termasuk dalam kejahatan dunia maya serta bagaimana hukum positif Indonesia mengatur tentang kejahatan cyber pornography. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pornografi dunia maya.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka (library research), dengan mencari buku-buku atau bahan bacaan lain yang berkaitan dengan masalah pornografi dunia maya. Serta mengambil data dari Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cyber pornography merupakan suatu perbuatan kejahatan, karena dalam hukum Islam perbuatan tersebut sudah termasuk perbuatan mendekati zina yang diharamkan. Selain itu, cyber pornography juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terutama bagi kalangan anak-anak dan remaja baik terhadap perilaku, moral (akhlak), maupun terhadap sendi-sendi serta tatanan keluarga dan masyarakat beradab.
Kata Kunci: Cyber Pornography, Pornografi Dunia Maya
Pembimbing : Hj. Siti Hanna, Lc., M.A. dan Dr. H. Nahrowi, S.H., M.H.
i
Alhamdulillah, tak ada kata yang pantas penulis ucapkan selain ungkapan
puja dan puji serta syukur atas karunia yang tak terhingga yang diberikan Allah
swt, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “CYBER
PORNOGRAPHY (PORNOGRAFI DUNIA MAYA) DALAM PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM”.
Shalawat serta salam dicurahkan kepada Nabi akhir zaman, Nabi
Muhammad Saw, juga kepada keluarganya, sahabatnya, dan ummatnya yang
senantiasa istiqomah dalam menjalankan semua ajarannya sampai akhir zaman,
Aamin.
Setelah perjuangan yang berat dan melelahkan, akhirnya skripsi ini selesai
ditulis. Penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si., selaku Ketua
Program Studi Perbandingan Madzhab dan Ibu Hj. Siti Hanna, Lc.,
ii
membantu memberikan arahan dalam penyusunan sampai pada akhir
skripsi.
4. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan di lingkungan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan pengetahuan dan bantuannya kepada penulis.
5. Segenap Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dalam
pengumpulan bahan skripsi ini.
6. Keluarga penulis, kedua orang tua tersayang Bapak H. Kusairi dan
Ibu Hj. Naziro yang sangat penulis hormati dan cintai, yang telah
memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan doa demi kelancaran
dan kesuksesan penulis. Kakak-kakak penulis, Musleha, Anton
Setianto, dan Muhamad Sulaiman, yang selalu memberikan
semangat, motivasi, serta dorongan doa yang sangat luar biasa
kepada penulis. Keponakan tersayang Iecha yang selalu menghibur
dan melepas rasa lelah penulis.
7. Sahabat terbaikku, Abdul Rosyid dan Muhammad Hilman Tohari.
Terima kasih atas semua persahabatan yang telah kita rajut selama
ini. Terima kasih atas canda tawa dan dorongan semangatnya,
iii
Muhtadin, Aqid, Aziz, Anas, Arifin, Sya’ban, Deuis, Adam, serta
teman-teman yang lain yang tidak penulis sebutkan satu persatu,
terima kasih atas kebersamaan kita selama ini.
Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril
maupun materi, penulis ucapkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah Swt
membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai amal
jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan
skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak. Amiin.
Jakarta,Dzulqa’dah 1436 H September 2015 M
iv ABSTRAK
KATA PENGANTAR...…... i
DAFTAR ISI... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 8
D. Tinjauan Pustaka... 9
E. Metode Penelitian... 11
F. Sistematika Penulisan... 13
BAB II CYBER PORNOGRAPHY SEBAGAI VARIAN DARI TINDAK PIDANACYBER CRIME A. Pengertian dan Macam-macam Tindak Pidana Cyber Crime... 15
B. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak PidanaCyber Crime... 20
C. Definisi dan KarakteristikCyber Pornography... 23
v
B. Unsur Kriminal & Pertanggungjawaban Pidana Cyber Pornography... 32 C. DampakCyber Pornographydi Masyarakat ... 39
BAB IV KEJAHATAN CYBER PORNOGRAPHY DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Islam ... 44
B. Pandangan Hukum Islam terhadapCyber Pornography... 49
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ... 60
B. Saran ... 61
1
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi dan informasi pada masa kini berkembang
pesat, seperti komputer yang pada awalnya merupakan mesin penghitung
yang cepat, namun saat ini komputer merupakan suatu alat bantu yang
mampu melaksanakan tugas-tugas pengolahan data yang juga merupakan
suatu alat yang memegang peranan penting dalam suatu sistem
penyimpanan data elektronik.1 Pada saat ini komputer sudah memasuki
hampir semua bidang kehidupan masyarakat. Dari kalangan perguruan
tinggi sampai sekolah menengah bahkan sampai dengan dapur-dapur rumah
tangga komputer telah menyumbangkan jasanya.2
Selain itu sistem komputer yang terus berkembang melahirkan suatu
jaringan yang dapat menghubungkan antara komputer yang satu dengan
yang lain, juga dapat memberikan berita ke komputer yang lain walaupun
berlainan area.3 Jaringan tersebut adalah internet (Interconnected Network) yang merupakan jaringan komputer yang terdiri dari ribuan jaringan
komputer independen yang dihubungkan satu dengan yang lainnya. Internet
atau nama pendeknya Net merupakan jaringan komputer yang terbesar di
1
John J Longkutoy,Pengenalan Komputer,(Jakarta : Cendanamas, 1978), h. 34.
2
Eko Nugroho,Pengenalan Komputer, (Yogyakarta : Andi Offset, 1990), h. 3.
3
Jogiyanto Hartono,Pengenalan Komputer, Edisi ke III, Cet. I, (Yogyakarta : Andi, 1999),
dunia. Jaringan komputer ini dapat terdiri dari lembaga pendidikan,
pemerintahan, militer, organisasi bisnis dan organisasi-organisasi lainnya.4
Perkembangan teknologi komputer, informasi dan komunikasi saat ini
sangat cepat. Kehadiran internet telah memunculkan paradigma baru dalam
kehidupan manusia. Paradigma baru tersebut yaitu kehidupan manusia tidak
lagi bersifat manual, namun berkembang menjadi serba online dan global. Kehidupan berubah dari yang bersifat nyata (real) ke realitas baru yang bersifat maya (virtual). Realitas yang kedua ini biasa dikaitkan dengan internet dancyber space.5
Teknologi selain membawa keuntungan berupa semakin
dipermudahnya hidup manusia, juga membawa kerugian-kerugian berupa
semakin dipermudahkannya penjahat melakukan kejahatannya. Teknologi
juga memberikan pengaruh yang signifikan dalam pemahaman mengenai
kejahatan terhadap aliran-aliran dalam kriminologi yang menitikberatkan
pada faktor manusia, baik secara lahir maupun psikologis.6
Saat ini, internet telah membentuk masyarakat dengan kebudayaan
baru. Masyarakat yang tak lagi dihalangi oleh batas-batas teritorial antara
negara yang dahulu ditetapkan sangat rigid sekali. Masyarakat baru dengan
kebebasan beraktifitas dan berkreasi yang paling sempurna. Namun dibalik
kegemerlapan itu, internet juga melahirkan kekerasan-kekerasan baru.
Diantaranya, muncul kejahatan yang lebih canggih dalam bentuk “cyber
4
Jogiyanto Hartono,Pengenalan Komputer, h. 341.
5
Abdul Wahid dan Mohammad Labib,Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Jakarta : PT.
Refika Aditama, 2005), h. 103.
6
Agus Raharjo,Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi,
crime”. Hal ini ditandai dengan berkembang pesatnya situs-situs porno dalam berbagai tampilan situs yang sangat menggoda atau tempat
penyebaran kabar bohong (fitnah) yang paling efektif. Bahkan berbagai data
terakhir menunjukkan bahwa transaksi terbesar perdagangan melalui
internet diperoleh melalui bisnis pornografi ini.7Hal tersebut saat ini dikenal
dengan istilah“cyber pornography”.
Beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia diantaranya yaitu
video porno Ariel “Peterpan” dengan Luna Maya dan Cut Tari yang
diunggah di internet pada tahun 2010. Pada kasus tersebut Ariel ditetapkan
sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal 4 Undang-undang Pornografi,
pasal 27 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan pasal 282
KUHP tentang kesusilaan.8
Selain itu, pada Mei 2013 aktor Taura Denang Sudiro alias Tora
Sudiro dan Darius Sinathrya mendatangi Sentra Pelayanan Kepolisian Polda
Metro Jaya untuk membuat laporan penyebaran dan pendistribusian gambar
atau foto hasil rekayasa yang melanggar kesusilaan di media elektronik.
Dalam laporan tersebut, disimpulkan bahwa foto yang melanggar kesusilaan
yang tersebar di media elektronik tersebut merupakan foto editan, bukan
foto asli. Hanya kepala mereka (Tora dan Darius) dipasang ke dalam
gambar asli. Editor tidak bekerja keras (mengubah) foto tersebut, karena
hampir mirip gambar asli. Namun sampai saat ini, pelaku yang mengedit
7
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2003), h. 196-197.
8
Benhan, “Kontroversi UU Pornografi dalam Penahanan Ariel Peterpan”, artikel diakses
dan memposting gambar itu pertama kali belum tertangkap, dikarenakan
kesulitan melacak disebabkan kendala waktu yang cukup lama, karena foto
tersebut diedit kira-kira tahun 2010.9
Pemanfaatan internet sebagai akses untuk melakukan kejahatan
pornografi sebenarnya bukan hal baru. Namun maraknya pemberitaan media
massa akhir-akhir ini tentang video porno online yang mengeksploitasi
anak-anak sebagai obyeknya, sungguh sangat memprihatinkan. Tim Cyber
Crime Direktorat Tindak Pidana Khusus Mabes Polri beberapa waktu lalu
berhasil mengungkap pengelola situs internet memuat ratusan ribu video
porno yang sebagian besar diperankan oleh anak berusia SMP dan SMA.
Perdagangan video porno ditaksir mencapai 14 ribu video. Bahkan dari
ribuan video yang ditemukan sekitar 100 film diperankan oleh siswi SMP
yang masih berusia sekitar 10-12 tahun.10
Dalam hukum positif Indonesia, baik Undang-undang No. 44 Tahun
2008 (UU Pornografi) dan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 (UU ITE)
dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kejahatan pornografi yang
menggunakan media internet tersebut. Selain itu, pasal 282 KUHP juga
masih dapat digunakan karena rumusan pasal tersebut yang cukup luas,
ditambah lagi pasal 44 UU Pornografi menegaskan bahwa semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana
9Bayu Marhaenjati,
“Tora dan Darius Laporkan Penyebar Foto Rekayasa Adegan Syurnya ke Polisi”, artikel diakses pada 2 November 2014 http://www.beritasatu.com/hiburan/113924-tora-dan-darius-laporkan-penyebar-foto-rekayasa-adegan-syurnya-ke-polisi.html/.
10
Badan Intelijen Negara, “Waspadai maraknya Video Porno Anak” artikel diakses pada 2
pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
UU tersebut.11
Dampak pornografi berpotensi menimbulkan kerusakan otak melebihi
bahaya narkoba. Tidak dapat dipungkiri, pornografi menyebabkan
kecanduan. Contoh sederhana adalah ketika seseorang menyaksikan sebuah
film porno, maka suatu saat pasti ada keinginan untuk menontonnya lagi.
Jika kecanduan kokain bisa dihilangkan dari tubuh pecandunya, tapi ingatan
tentang adegan atau gambar porno akan tetap tinggal di otak selamanya.
Pornografi yang dijejalkan ke otak secara terus-menerus pada akhirnya akan
menyebabkan jaringan otak mengecil dan fungsinya juga terganggu.12
Ditinjau dari hukum Islam, pada zaman Rasulullah belum ditemukan
teknologi komputer dan internet seperti zaman ini. Maka dari itu tidak ada
satu ayat atau hadits pun yang menyebutkan secara eksplisit eksistensi
kejahatan dunia maya seperti yang ada di zaman sekarang ini.13
Pornografi dalam al-Qur’an diletakkan dalam dua prinsip utama.
Pertama, larangan memandang lawan jenis (laki-laki memandang
perempuan dan perempuan memandang laki-laki) dengan pandangan
mesum dan penuh birahi, sekalipun keduanya mengenakan pakaian pantas
11Shanti Rachmadsyah,
“Cyber Pornografi (Pornografi Dunia Maya)”, artikel diakses pada
3 November 2014 dari
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4b86b6c16c7e4/cyber-
pornography-(pornografi-dunia-maya)-12
Muhammad Fahri Mansyur, “Dampak Pornografi Melebihi Bahaya Narkoba”, artikel
diakses pada 5 November 2014 dari
http://www.slideshare.net/mobile/muhammadfahrimansyur/dampak-pornografi-melebihi-bahaya-narkoba.
13
dan wajar, apalagi berpakaian seronok. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS.
An-Nuur (24): 30-31
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera-putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Kedua, perintah untuk memelihara secara utuh dan sempurna
kemaluan, dengan cara tidak membiarkannya kelihatan kecuali kepada
orang yang diperbolehkan. Prinsip yang kedua ini dijelaskan di dalam QS.
Al-Ahzab (33): 59
Artinya : “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Ahzab (33): 59)
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh
mengenai perbuatan-perbuatan berkenaan dengan tindak pidana cyber pornography, serta pandangan hukum Islam tentang pornografi dunia maya. Oleh karena itu, penelitian skripsi ini penulis tuangkan dalam karya ilmiah
yang berjudul “CYBER PORNOGRAPHY (PORNOGRAFI DUNIA
MAYA) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam skripsi ini, penulis ingin mengemukakan suatu fenomena yang
telah terjadi di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut adalah
dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki keahlian dan
kemampuan dalam menggunakan komputer atau teknologi canggih saat ini,
namun hal ini tidak dapat dibiarkan supaya tidak dapat tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan di masyarakat. Karena luasnya bahasan
mengenai cyber pornography, maka penulis membatasi kepada beberapa permasalahan, yaitu:
1. Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan sebagai kejahatan dalam dunia
maya.
2. Kejahatan cyber pornography yang diatur dalam Hukum positif Indonesia.
3. Pandangan hukum Islam tentang kejahatan pornografi dalam dunia
maya.
Dari beberapa pembatasan masalah diatas, kemudian penulis
merumuskan permasalahan utama dalam skripsi ini, sebagai berikut:
1. Perbuatan apa sajakah yang dirumuskan sebagai kejahatan dalam
dunia maya?
2. Bagaimanakah hukum positif mengatur tentang kejahatan cyber pornography?
3. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang kejahatan pornografi
dalam dunia maya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui berbagai macam perbuatan yang dirumuskan
sebagai kejahatan dalam dunia maya.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang hukum positif yang
mengatur tentang kejahatancyber pornography.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pandangan hukum Islam
terhadap kejahatan pornografi dalam dunia maya.
Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini
adalah:
a. Secara Akademis
Dilihat dari akademis, manfaat dari penulisan ini adalah memberikan
pengetahuan tambahan di bidang hukum Islam dan hukum positif
tentang tindak pidanacyber pornography. b. Secara Praktis
Dari segi praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan penjelasan
kepada masyarakat luas tentang bagaimana cyber pornography itu terjadi dan hukum apa saja yang mengatur tentang kejahatan tersebut.
D. Tinjauan Pustaka
Dari beberapa literatur yang ada penulis akan mengambil untuk
menjadikan sebuah perbandingan mengenai cyber pornography. Adapun judul-judul skripsi itu antara lain:
“Cyber Sex dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam” yang
Jinayah Siyasah tahun 2008. Dalam skripsi ini dijelaskan tentang penyebab
dan dampak dari cyber sex, serta penanggulangan dan pandangan hukum
positif dan hukum Islam. Skripsi ini juga membahas tentang hukum
melakukan suatu kejahatan dengan media komputer, dengan menguraikan
tentang perkembangan teknologi yang kian cepat tidak hanya memudahkan
komunikasi manusia dalam urusan bisnis atau sosial saja, tetapi juga dalam
hal berasmara. Dengan teknologi yang semakin canggih, seni bercinta dapat
dilakukan dengan melihat, mendengar dan merasakan dengan mengunjungi
situs-situs internet tertentu tanpa harus berhubungan badan atau terjadi
kontak fisik. Pada intinya hanya menggunakan imajinasi dalam meraih
kepuasan seksual. Sedangkan penulis lebih mengarah kepada hukum
berbagai macam kejahatan yang mengandung unsur pornografi dalam dunia
maya.
“Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pornografi
Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif” yang ditulis oleh
Syahputra Atmanegara Konsentrasi Pidana Islam Program Studi Jinayah
Siyasah tahun 2007. Dalam skripsi ini dijelaskan tentang pornografi sebagai
tindak pidana kesusilaan dalam hukum pidana, perbuatan yang tergolong
sebagai tindak pidana pornografi secara umum, serta analisis putusan hakim
tentang penegakan hukum dari tindak pidana pornografi. Sedangkan
pembahasan penulis lebih mengarah tentang pornografi dalam lingkup dunia
“Data Elektronik Sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pidana
Perzinahan Menurut Hukum Islam” yang ditulis oleh Rizki Syafa’at Nur
Rahim Konsentrasi Perbandingan Hukum Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum tahun 2012. Dalam skripsi ini dijelaskan tentang
pembuktian dalam kasus perzinahan, syarat persaksian dalam hukum Islam,
serta bagaimana kedudukan data elektronik yang berupa gambar atau video
sebagai alat bukti perzinahan menurut hukum Islam. Sedangkan penulis
lebih mengarah kepada pembahasan tentang segala aktivitas yang
mengandung unsur pornografi di dunia maya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya.14 Kemudian penelitian ini
bersifat hukum normatif doktriner, karena di dalamnya akan dipakai
aturan-aturan yang telah baku dan juga pendapat-pendapat para ahli.
Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
jenis kualitatif karena data yang diperoleh berupa data kualitatif yakni
berupa kata-kata, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti.
14
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, (Jakarta: UI Press, 1986), h.
2. Sumber Data
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang
diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer (data dasar),
sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan
data sekunder.
Adapun dalam penelitian hukum ini sumber data yang penulis gunakan
adalah sumber data sekunder yang mencakup:15
a. Bahan hukum primer, yaitu Undang-undang No. 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum,
kamus-kamus hukum, termasuk data-data atau dokumen-dokumen dari
internet yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.16
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu
buku-buku tafsir, terjemahan dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen, yaitu
dengan membaca, meneliti dan mempelajari dokumen dan data-data yang
15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Cet. XIII, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), h. 13.
16
diperoleh dari karya-karya atau literatur dan referensi yang berhubungan
dengan judul skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Dalam tahap ini teknik analisis data yang digunakan berupa analisis
normatif kualitatif.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan karya tulis ini, penulis mengacu kepada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi yang disusun oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
BAB I : Berisi tentang Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : Cyber pornography sebagai varian dari tindak pidana cyber crime. Dalam bab ini penulis akan memuat tentang pengertian dan macam-macam tindak pidana cyber crime, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
cyber crimeserta definisi dan karakteristikcyber pornography. BAB III : Tinjauan hukum positif Indonesia terhadap kejahatan cyber
pornography, unsur kriminal dan pertanggungjawaban pidana daricyber pornographyserta dampaknya di masyarakat.
BAB IV : Kejahatan cyber pornography dalam perspektif Hukum Islam. Bab ini berisi tentang tujuan pemidanaan dalam hukum Islam
serta pandangan hukum Islam terhadap kejahatan cyber pornography.
BAB V : Merupakan bagian penutup yang berisikan kesimpulan dari
pembahasan skripsi dan saran. Serta di akhir dilengkapi dengan
15
TINDAK PIDANACYBER CRIME
A. Pengertian dan Macam-macam Tindak Pidana Cyber Crime
Dewasa ini komputer sudah merupakan suatu alat bantu yang amat
bermanfaat bagi masyarakat dan digunakan pada berbagai aktivitas manusia
dalam kehidupannya, seperti rumah tangga, sekolah, perdagangan dan
pemerintahan. Namun, dengan penggunaan komputer yang semakin
meningkat tersebut pada akhirnya disadari, bahwa berbagai kemungkinan
yang buruk dapat atau telah terjadi, baik yang diakibatkan oleh keteledoran
dan kekurangan kemampuan, maupun kesengajaan yang dilandasi sikap
batin yang tidak terpuji.1
Kehadiran internet sebagai sebuah fenomena kemajuan teknologi
menyebabkan terjadinya percepatan globalisasi dan lompatan besar bagi
penyebaran informasi dan komunikasi di seluruh dunia. Penggunaan internet
sebagai media informasi multimedia membuat beragam karya digital dapat
secara terus-menerus digandakan dan disebarluaskan ke ribuan orang dalam
waktu singkat, hanya dengan menekan beberapa tombol komputer. Tidak
heran jika internet dipandang sebagai lautan informasi.2
1
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung : Alumni,
2010), h. 27.
2
Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, (Jakarta : Ghalia
Perkembangan teknologi informasi ini di satu sisi akan mempermudah
manusia dalam menjalankan aktivitasnya, di sisi lain dapat menimbulkan
berbagai masalah yang memerlukan penanganan yang serius, seperti
munculnya berbagai bentuk kejahatan baru yang dikenal dengan cyber crime.3
Istilah cyber crime saat ini merujuk pada suatu tindakan kejahatan yang berhubungan dengan dunia maya (cyber space) dan tindakan kejahatan yang menggunakan komputer. Ada ahli yang menyamakan antara tindak
kejahatancyber crimedengan tindak kejahatan komputer, dan ada ahli yang membedakan di antara keduanya.
Pada awalnya para ahli hukum terfokus pada alat/perangkat keras
yaitu komputer. Namun dengan adanya perkembangan teknologi informasi
berupa jaringan internet, maka fokus dari identifikasi terhadap definisicyber crime lebih diperluas lagi yaitu seluas aktivitas yang dapat dilakukan di dunia maya (cyber space) melalui sistem informasi yang digunakan. Jadi tidak sekedar pada komponen hardware-nya saja kejahatan tersebut dimaknai sebagai cyber crime, tetapi sudah dapat diperluas dalam lingkup dunia yang dijelajah oleh sistem teknologi informasi yang bersangkutan.
Sehingga akan lebih tepat jika pemaknaan daricyber crimeadalah kejahatan teknologi informasi.4
3
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi
Informasi, (Bandung : Refika Aditama, 2005), h. 122.
4
Budi Suhariyanto,Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime): Urgensi Pengaturan
Kejahatan dalam dunia maya (cyber crime) secara sederhana dapat diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan media
internet sebagai alat bantu. Memang definisi ini relatif sederhana dan belum
mencakup semua aspek yang terkandung dalam kejahatan ini, tetapi
pengertian ini kiranya dapat dipakai sebagai pedoman dalam memahami
jenis kejahatan ini.
Jenis-jenis kejahatan yang masuk dalam kategori cyber crime
diantaranya:5
1. Cyber-terorism
National Police Agency of Japan (NPA) mendefinisikan Cyber Terrorism sebagai serangan elektronik melalui jaringan komputer terhadap infrastruktur yang memiliki efek potensi paling penting pada
kegiatan sosial dan ekonomi bangsa.
2. Cyber-pornography:penyebarluasan muatan atau materi yang bersifat cabul, termasuk pornografi, muatan tidak senonoh, dan pornografi
terhadap anak.
3. Cyber-harassment: pelecehan seksual melalui e-mail, websites, atau
chat programs.
4. Cyber-stalking:kejahatan melakukan pengintaian melalui penggunaan komputer dan internet.
5. Hacking: penggunaan kemampuan membuat atau mengubah suatu program dengan maksud yang bertentangan dengan hukum.
5
6. Carding (credit-card fraud): melibatkan berbagai macam aktivitas yang melibatkan kartu kredit. Carding muncul ketika seseorang yang bukan pemilik kartu kredit menggunakan kartu kredit tersebut secara
melawan hukum.
Dengan memperhatikan jenis-jenis kejahatan sebagaimana
dikemukakan di atas, dapat diklasifikasikan beberapa kategori dari cyber crime, diantaranya yaitu:
1. Kejahatan dengan kekerasan atau secara potensial mengandung
kekerasan, seperti: cyber terrorisme (melakukan teror di internet),
cyber stalking (kejahatan melakukan pengintaian), dan cyber pornography(pornografi dunia maya).
2. Kejahatan tanpa kekerasan, meliputi: hacking (perusakan suatu program),cyberfraud(penipuan di internet).
3. Kejahatan non kekerasan lainnya, seperti iklan internet prostitusi,
perjudian di internet, dan penjualan narkotika di internet.6
Selain itu, dapat digambarkan bahwa cyber crime memiliki ciri-ciri khusus, yaitu:
1. Sedikit melibatkan kontak fisik (Minimize of physical contact) 2. Menggunakan peralatan (equipment) dan teknologi
3. Memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media dan
informatika) global.7
6 Tekkom BSI,
Beberapa bentuk kejahatan yang berhubungan erat dengan
penggunaan teknologi informasi yang berbasis utama komputer dan jaringan
telekomunikasi ini, dalam beberapa literatur dan praktiknya dikelompokkan
dalam beberapa bentuk yaitu:
1. Unauthorized Access to Computer System and Service. Kejahatan ini dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem
jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa
sepengetahuan dari pemilik jaringan komputer yang dimasukinya.
Motifnya bisa bermacam-macam, antara lain adalah sabotase,
pencurian data, dan sebagainya. Contohnya perusakan website milik Pemerintah RI olehhacker(Kompas, 11/08/1999).
2. Illegal Contents. Kejahatan ini dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu yang tidak benar, tidak etis,
dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban
umum. Contohnya pornografi, pemuatan berita bohong, dan lain-lain.
3. Data Forgery. Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan dalam system yang
terkomputerisasi.
4. Cyber Espionage. Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain,
dengan memasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran. Biasanya
7
kejahatan ini ditujukan untuk saingan bisnis yang dokumen atau
datanya tersimpan dalam sistem yang terkomputerisasi.
5. Cyber Sabotage and Exortion. Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu
data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang
terhubung ke internet.
6. Offence Against Intellectual Property. Kejahatan ini ditujukan terhadap HAKI yang dimiliki pihak lain di internet. Contohnya meniru
tampilan web suatu situs tertentu.
7. Infringements of Prifacy. Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia.
Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi
seseorang yang tersimpan secara komputerisasi.8
B. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana
Cyber Crime
Melalui kemajuan teknologi informasi masyarakat memiliki ruang
gerak yang lebih luas. Aktivitas manusia yang semula bersifat nasional telah
berubah menjadi internasional, peristiwa yang terjadi di suatu negara dalam
hitungan detik sudah dapat diketahui oleh penduduk di belahan dunia
lainnya, sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil.9 Manfaat teknologi
dan informasi selain memberikan dampak positif juga disadari memberi
8
Abdul Wahid dan Mohammad Labib,Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Bandung :
Refika Aditama, 2010), h. 83.
9
peluang untuk dijadikan sarana melakukan tindak kejahatan-kejahatan baru
sehingga diperlukan upaya proteksi.10
Internet atau yang disebut pula dengan cyber space sesungguhnya dapat diartikan sebagai sebuah ruang, dimana entitas elektronik (netters) berinteraksi. Dengan kata lain, pelaku-pelaku dunia digital yang ada di
berbagai sudut belahan dunia membutuhkan apa yang disebut sebagai ruang
elektronik untuk melakukan aktivitasnya. Sifat aktivitas internet yang khas
dan tidak mengenal batas teritorial wilayah negara pada akhirnya
menimbulkan permasalahan mendasar, yaitu menyangkut kemampuan
hukum dalam melaksanakan fungsinya melakukan pengaturan dan
penegakan sanksi.11
Cyber Crime merupakan suatu perbuatan melanggar hukum yang secara khusus diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu, dalam hukum
positif di Indonesia, juga terdapat beberapa perundang-undangan lain yang
mengatur tentang cyber crime khususnya berkaitan dengan cyber pornography, diantaranya yaitu:
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).
Undang-undang ini telah disahkan dan diundangkan pada
tanggal 21 April 2008, walaupun sampai saat ini belum ada sebuah PP
yang mengatur teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat
10
Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik, (Jakarta : Rineka Cipta,
2009), h. 39.
11
menjadi sebuah undang-undang yang dapat menjerat pelaku-pelaku
cyber crimeyang tidak bertanggungjawab dan menjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi guna mencapai
sebuah kepastian hukum.
Delik yang berkaitan dengan cyber pornography diatur dalam beberapa pasal dalam UU ITE, yang bunyinya sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.12
Pasal 34
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:
a. Perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b. Sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum.13
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
a. Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi
12
Pasal 27 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
13
b. Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus
penyebaran foto atau film pribadi seseorang.14
C. Definisi dan KarakteristikCyber Pornography
Cyber Pornography berasal dari dua kata, yaitu cyber dan
pornography. Cyber merupakan singkatan dari cyber space. Kata cyber
berasal dari kata cybernetics yang merupakan suatu bidang ilmu yang memadukan antara robotik, matematik, elektro dan psikologi.15 Cyber spaceyaitu sebuah ruang imajiner atau “maya”. Cyber spacesesungguhnya merupakan sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang menawarkan
realitas baru dalam kehidupan manusia yang disebut dengan realitas virtual
(maya).16Singkatnya, katacyberdisini dapat diartikan sebagai dunia maya. Sedangkan pornography berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne dan
graphein yang secara harfiah berarti “tulisan tentang pelacur”.17 Pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu penggambaran tingkah laku
secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu
birahi.18
Sebenarnya belum ada definisi khusus yang disepakati oleh para ahli
mengenaicyber pornography. Dari beberapa literatur yang penulis telusuri,
14
Criminalita Informatica, “Undang-undang yang Mengatur tentang Cyber Crime”, artikel
diakses pada 26 November 2014 dari http://criminalita-informatica.blogspot.com/2013/05/undang-undang-yang-mengatur-tentang.html.
15
Adek We, “Cyber Crime”, artikel diakses pada 30 November 2015 dari
http://www.academia.edu/6752746/CYBER_CRIME.
16
Abdul Wahid dan Mohammad Labib,Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), h. 32.
17
Relly Komaruzaman, “Pornografi”, artikel diakses pada 26 Nopember 2014 dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/pornografi.
18
pengertian daricyber pornographyhanya berkisar pada terjemahan dari kata tersebut, yaitu pornografi dunia maya. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa cyber pornography dapat diartikan sebagai penyebarluasan muatan atau materi pornografi dalam dunia maya melalui teknologi informasi
berupa internet. Selain itu, pencemaran nama baik dan penyebarluasan
fitnah dalam bentuk tulisan, gambar, maupun video yang mengandung unsur
pornografi ke dalam internet juga termasuk dalam ruang lingkup cyber pornography.
Dunia maya (cyber/virtual world) atau internet dan World Wide Web
(www) saat ini sudah sangat penuh (berlimpah) dengan bahan-bahan
pornografi atau yang berkaitan dengan masalah seksual. Menurut perkiraan,
40 % dari berbagai situs di www menyediakan bahan-bahan seperti itu.
Bahkan dinyatakan dalam tesis Peter David Goldberg, yang bersumber dari
Nua Internet Surveys 2001 bahwa seks merupakan topik paling populer di internet (the most populer topic on the internet). Dalam tesis Goldberg dikemukakan pula bahwa perdagangan bahan-bahan porno melalui internet
sudah mencapai miliaran dolar US per tahun, sekitar 25 % pengguna
internet mengunjungi lebih dari 60.000 situs seks tiap bulan dan sekitar 30
juta orang memasuki situs seks setiap hari.19
Di Indonesia sendiri, beberapa tahun belakang masih sedikit sekali
adanya warung internet (warnet) di sepanjang jalan raya, namun sekarang
warnet sudah terdapat dimana-mana bahkan tidak hanya di sepanjang jalan
19
Barda Nawawi Arief,Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di
raya namun sudah masuk di gang-gang perkampungan. Dengan demikian
maka akan sulit untuk mencegah masyarakat khususnya generasi muda yang
demam internet bahkan anak-anak membuka situs-situs porno yang telah
tersedia di jaringan internet. Ironisnya mereka tidak hanya membuka secara
sekilas saja, namun hingga menyebabkan ketagihan.
Berawal dari rasa penasaran dan karena terbawa teman maka mulailah
mengklik muatan pornografi di dunia maya. Lama-kelamaan intensitas
kunjungan ke situs porno pun semakin rutin. Dilandasi rasa penasaran yang
cukup tinggi, maka semakin sering mengakses tautan pornografi.
Seorang ahli bedah otak dari Amerika Serikat Dr. Donald Hilton Jr,
mengatakan bahwa pornografi sesungguhnya merupakan penyakit, karena
mengubah struktur dan fungsi otak, atau dengan kata lain merusak otak.
Terjadi perubahan fisiologis ketika seseorang memasukkan gambar-gambar
pornografi lewat mata ke otaknya.20 Kerusakan yang dihasilkannya pun
sangat dahsyat. Kecanduan pada pornografi di dunia maya sebenarnya sama
seperti kecanduan pada narkotika, perbedaannya jika kecanduan narkoba
jelas terlihat efeknya, sedangkan kecanduan pornografi tidak terlihat secara
fisik.
20Diah Kartika,
“Pornografi Merusak Otak 2x Lebih Parah Ketimbang Narkoba”, artikel
26
CYBER PORNOGRAPHY
A. Cyber Pornographydalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia
Cyber crime telah menjadi bahaya nyata yang merugikan masyarakat dan negara. Setiap pengguna komputer saat memasuki dunia maya melalui
jaringan internet sama artinya dengan memposisikan dirinya akan menjadi
korban berbagai bentuk informasi global yang bersifat menjerat,
menyesatkan, menipu dan mengorbankannya.1
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa internet dipenuhi dengan
informasi yang kadang kala berlebihan. Salah satu informasi tersebut atau
bahkan tidak bisa dibilang informasi adalah materi pornografi. Internet telah
menjadi semacam ‘referensi’ dalam mencari materi yang berbau pornografi.
Hal ini cukup sulit untuk dicegah, karena dalam hal ini informasi tersebar
tanpa batas di internet. Walaupun masih bisa diberikan peringatan, bahwa
suatu situs tidak sepatutnya untuk dikunjungi, tetapi tetap saja bisa
dikunjungi.2
Telah menjadi kesulitan baru bahwa pergerakan pornografi sudah
merambah ke dalam dunia maya. Masalah yang ditimbulkan pornografi di
dunia maya pun saat ini sudah demikian kompleks. Dari mulai materinya
1
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Bandung :
Refika Aditama, 2010), h. 132.
2
Syarif Hidayatullah dan Zulfikar s dharmawan,Islam Virtual Keberadaan Dunia Islam di
yang semakin eksplisit/vulgar dan menjijikan, sehingga membuat banyak
anggota masyarakat yang tergoda untuk mengaksesnya, sampai masalah
pendistribusiannya yang masih dapat terjangkau generasi muda termasuk
anak-anak SD. Sedangkan aparat belum sepenuhnya memahami bagaimana
melakukan upaya penegakkan hukum dengan menggunakan ketentuan
hukum yang berlaku.
Hal ini menjadi salah satu pendorong bagi pembuat Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) untuk menjerat pornografi di lingkungan dunia maya. Sebagaimana
diatur dalam beberapa pasal dalam undang-undang ini sebagai perbuatan
yang dilarang. Pasal 27 ayat 1 mengatur perbuatan yang dilarang dalam hal
penyebaran/pendistribusian muatan melanggar kesusilaan atau pornografi
sebagaimana berbunyi sebagai berikut.
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.”3
Pasal ini memiliki sanksi pidana yang ditentukan dalam Pasal 45 ayat
(1), dimana berbunyi:
“Setiaporang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
3
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”4
Konstruksi Pasal 27 ayat 1 di atas menjelaskan perkembangan modus
kejahatan dan/atau pelanggaran dengan media komputer/internet (dalam
bentuk informasi/dokumen elektronik). Hal tersebut sangatlah penting
khususnya membantu para penegak hukum dalam memproses dan
mengadili kasus-kasus yang telah menggunakan media informasi elektronik
untuk memuluskan kejahatan/pelanggaran yang dilakukan.5
Setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pasal-pasal tersebut, diantaranya dalam hal penetapan pelaku (subjek hukum).
Pelaku yang dapat dijerat oleh ketentuan Pasal 27 ayat 1 UU ITE adalah
pihak yang mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, sedangkan pihak yang
memproduksi dan yang menerima distribusi dan transmisi tersebut tidak
dapat terjerat dengan pasal ini. Selain itu pihak yang mengakses muatan
tersebut juga tidak dapat dipidana dengan pasal ini.6
Dalam hal ini, diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam
mengimplementasikan undang-undang ini agar tidak terjadi kesalahan
dalam penangkapan dan pengenaan pasal yang dituntutkan. Menurut Budi
4
Pasal 45 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
5
Maskun,Kejahatan Siber Cyber Crime; suatu pengantar, (Jakarta : Kencana, 2014), h.
34.
6
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime): Urgensi
Suhariyanto, setidaknya terdapat empat pihak yang bekerja dalam hal
mewabahnya pornografi dunia maya, yaitu: yang memproduksi
(produsen/pembuat), yang menyebarkan (distributor), yang menerima
penyebaran dan/atau pihak yang mengakses. Seharusnya jika memang
tujuan dari pencegahan dan penanggulangan kejahatan pornografi di dunia
maya adalah sama dengan pencegahan dan penanggulangan kejahatan
psikotropika misalnya, yaitu betul-betul memberantas sungguh-sungguh
rantai kejahatan dari pangkal (produsen) sampai dengan ujung (konsumen),
maka seharusnya yang dijadikan sasaran pidana tidak hanya distributor saja,
akan tetapi ketiga pihak lain yang notabenenya mendukung aktivitas
tersebut juga patut dikenakan. Dengan demikian pihak-pihak yang
menyuburkan pornografi di Indonesia akan berpikir ulang untuk turut serta
dalam rantai kejahatan tersebarnya pornografi dunia maya.7
Seperti halnya dalam kasus penyebaran video porno antara Ariel
Peterpan dengan Luna Maya dan Cut Tari. Dalam kasus tersebut, Ariel
sebagai pembuat video tersebut, tidak dikenakan pasal 27 ayat 1 UU ITE,
namun dikenakan Pasal 29 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 44 tahun 2008
tentang Pornografi jo. pasal 56 ke-2 KUHP sebagaimana disebutkan dalam
uraian selanjutnya.8
Adapun Pasal 34 UU ITE digunakan untuk menjerat produsen dan
pemilik perangkat lunak dan perangkat keras dalam hal program muatan
pornografi sebagaimana berbunyi sebagai berikut.
7
Budi Suhariyanto,Tindak Pidana Teknologi Informasi, h. 163.
8
Syahrul Machmud, Penerapan Undang-undang Pornografi pada kasus Ariel Peterpan,
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:
a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis
dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum.9
Pasal ini memiliki sanksi pidana yang ditentukan dalam Pasal 50,
dimana berbunyi:
“Setiaporang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).”10
Selain itu, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
(UU Pornografi) juga dapat digunakan untuk menangani masalah pornografi
dunia maya. Sebagaimana diatur dalam beberapa pasal dalam
undang-undang ini sebagai perbuatan yang dilarang. Adapun pasal-pasal yang dapat
digunakan dalam hal ini yaitu sebagai berikut.
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
9
Pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
10
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.11
Pasal ini memiliki sanksi pidana yang ditentukan dalam Pasal 29,
dimana berbunyi:
“Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”12
Adapun Pasal 5 UU Pornografi digunakan bagi pihak yang
meminjamkan atau mengunduh muatan pornografi di dunia maya,
sebagaimana bunyi pasalnya sebagai berikut.
“Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).”13
Pasal ini memiliki sanksi pidana yang ditentukan dalam Pasal 31,
dimana berbunyi:
11
Pasal 4 ayat 1 dan 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
12
Pasal 29 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
13
“Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).”14
Dalam pasal 4 ayat (1) UU Pornografi di atas, yang dimaksud dengan
“membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan
sendiri. Sedangkan dalam pasal 5 UU Pornografi, yang dimaksud dengan
“mengunduh” (download) adalah mengambil fail dari jaringan internet atau
jaringan komunikasi lainnya.
B. Unsur Kriminal & Pertanggungjawaban PidanaCyber Pornography
1. Unsur Kriminal
Suatu perbuatan yang ditetapkan sebagai perbuatan yang diancam
pidana disebut kriminalisasi. Terdapat beberapa kriteria perlunya suatu
perbuatan dikriminalisasikan antara lain:
1.) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila.
2.) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki
yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau
spiritual) bagi warga masyarakat.
14
3.) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya
dan hasil (cost and benefit principle)
4.) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan hukum yaitu jangan sampai ada
kemampuan beban tugas (overbelasting).15
Perbuatan pornografi dapat memberikan dampak negatif terhadap
moralitas bangsa Indonesia, dan juga menimbulkan berbagai macam
kejahatan lain sehingga dapat merugikan orang banyak. Selain itu,
perbuatan pornografi merupakan bentuk perbuatan yang dilarang oleh
norma agama, kesopanan, kesusilaan masyarakat, maka perbuatan
pornografi tersebut merupakan perbuatan yang tercela, sehingga secara
substansial layak dinyatakan sebagai perbuatan kriminal.
Dalam teks Pasal 27 ayat (1) UU ITE, terdapat tiga unsur yang dapat
dikategorikan sebagai unsur kriminal dalam pornografi dunia maya,
diantaranya:
a. Unsur Subjektif pada pelaku, yaitu unsur kesalahan
Dengan tercantumkannya “dengan sengaja”, maka perlu dibuktikan
mengenai kesengajaan dari pelaku dalam hal melakukan delik yang
diancamkan. Sebagaimana pada umumnya motivasi para pelakucyber crime
terkadang adalah hanya sekedar iseng atau bermain-main saja. Tanpa ada
niat atau motif yang secara sungguh-sungguh untuk kepentingan ekonomi
dirinya misalnya. Unsur kesalahan ini sangat penting untuk menjadi bahan
15
pertimbangan hakim dalam hal pemberian pemberatan ataupun peringanan
bagi pelaku.16
b. Unsur Melawan Hukum
Dalam pasal ini tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai arti atau
makna yang dimaksud dengan “tanpa hak”. Menurut Sutan Remi Syahdeni,
kandungan arti “tanpa hak” bila dikaitkan dengan tindak pidana komputer
adalah “tanpa memiliki kewenangan” atau “tanpa memperoleh izin”.17
Sedangkan menurut Budi Suhariyanto, akan lebih baik jika kata “tanpa
hak” diartikan sebagai “melawan hukum”, karena jika kata “tanpa hak”
diartikan sebagai “tanpa wewenang/memperoleh izin” maka akan menjadi
permasalahan tersendiri, yaitu apakah ada pihak yang berwenang untuk
memberikan izin penyebaran pornografi melalui Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik?18
Jika demikian maka perlu ditegaskan juga siapa dan bagaimana
prosedur dalam memperoleh izin tersebut? Dalam hal ini UU ITE tidak
menjelaskannya. Oleh karena itu, akan menjadi polemik tersendiri jika
ditafsirkan dengan demikian. Maka, penulis sependapat apabila kata “tanpa
hak” tersebut diartikan sebagai “melawan hukum”.
c. Unsur Kelakuan
Dalam pasal ini dijelaskan terdapat tiga perbuatan yang dilarang yaitu:
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
16
Budi Suhariyanto,Tindak Pidana Teknologi Informasi, h. 108.
17
Sutan Remi Syahdeni,Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, (Jakarta : Pustaka Utama
Graffiti, 2009), h. 227.
18
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Dalam perspektif subjek yang
terkena keberlakuan dari UU ITE adalah semua orang pada umumnya baik
itu yang telah dewasa maupun anak-anak. Adapun Pasal 52 ayat (1)
mengatur pemberatan sanksi pidana jika objek kesusilaan/pornografinya
adalah anak-anak sebagaimana berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan
pemberatan sepertiga dari pidana pokok.”19
Dari teks Pasal 52 ayat (1) ini terdapat pemberatan pidana sepertiga
lebih berat dibandingkan dengan ancaman pidana pornografi umum. Hal ini
bisa dipahami sebagai sinkronisasi sistematika perundang-undangan kita
yang telah mengatur ketentuan bahwa jika setiap tindak pidana yang
melibatkan anak-anak sebagai korban tindak pidana, maka pemberatan
pidana menjadi sepertiga lebih berat daripada ancaman pidana umumnya.20
2. Pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya mengandung makna
pencelaan pembuat (subjek hukum) atas tindak pidana yang telah
dilakukannya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana mengandung
didalamnya pencelaan objektif dan pencelaan subjektif. Artinya, secara
objektif si pembuat telah melakukan tindak pidana (perbuatan
terlarang/melawan hukum dan diancam pidana menurut hukum yang
19
Pasal 52 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
20
berlaku) dan secara subjektif si pembuat patut
dipersalahkan/dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya
itu sehingga ia patut dipidana.21
Dalam hal penyebarluasan pornografi di internet, yang dapat
dikenakan pertanggung-jawaban pidana adalah:
a. Orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi (pasal
29 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi)
b. Orang yang menyediakan jasa pornografi yang:
1) menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan;
2) menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
3) mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
4) menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak
langsung layanan seksual (pasal 30 jo. pasal 4 ayat [2] UU
Pornografi)
c. Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi yang
secara eksplisit memuat:
1) menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan;
2) menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
21
Barda Nawawi Arief,Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di
3) mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
4) menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak
langsung layanan seksual (pasal 31 jo. pasal 5 UU Pornografi).
d. Orang yang memperdengarkan,