• Tidak ada hasil yang ditemukan

Telaah Konservasi pada Penerapan Tri Hita Karana dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera Batur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Telaah Konservasi pada Penerapan Tri Hita Karana dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera Batur"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

TELAAH KONSERVASI PADA PENERAPAN TRI HITA KARANA

DALAM PENGEMBANGAN WISATA

GEOPARK KALDERA BATUR

I NENGAH DEDI SETIADI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Telaah Konservasi pada Penerapan Tri Hita Karana dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera Batur adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing akademik dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

I Nengah Dedi Setiadi

(4)

ABSTRAK

I NENGAH DEDI SETIADI. Telaah Konservasi pada Penerapan Tri Hita Karana dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera Batur. Dibimbing oleh E. K. S. HARINI MUNTASIB dan ARZYANA SUNKAR

Geopark Kaldera Batur (GKB) merupakan kawasan yang ditetapkan oleh UNESCO dengan tujuan konservasi, edukasi dan geowisata. Oleh karena GKB berada di Bali yang masyarakatnya dominan beragama Hindu serta memiliki filosofi hidup Tri Hita Karana (THK), perlu dilakukan telaah nilai-nilai konservasi pada THK sebagai dasar pengembangan wisata GKB. Penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi lapang, analisis isi dan studi literatur terkait penerapan THK di empat desa adat. Nilai konservasi yang terkandung dalam filosofi THK lebih kepada hubungan manusia dengan lingkungannya (palemahan). Masyarakat disekitar GKB menerapkannya dari aspek tata ruang, tata waktu, dan pandangan terhadap sumberdaya. Konsep ruang menjadi dasar dalam menentukan zonasi kawasan GKB yaitu zona inti pada utama mandala, zona penyangga pada madya mandala dan zona transisi pada nista mandala.

Pengembangan wisata diarahkan lebih intensif pemanfaatannya pada bagian yang memiliki nilai kesakralan yang kurang (profan) yaitu pada bagian nista mandala, sedangkan untuk kawasan yang memiliki nilai kesakralan tinggi (utama mandala) diarahkan pengembangan wisata terbatas.

Kata kunci: Geopark Kaldera Batur, konservasi, Tri Hita Karana, wisata.

ABSTRACT

I NENGAH DEDI SETIADI. Conservation Values in the Implementation of Tri Hita Karana for The Development of Batur Caldera Geopark Tourism. Supervised by E K.S. HARINI MUNTASIB and ARZYANA SUNKAR

Batur Caldera Geopark (BCG) is an area appointed by UNESCO for conservation, education, and geotourism. Since BCG is located in Bali where the majority of the people are Hindus following the life philosophy of Tri Hita Karana (THK), therefore it is necessary to study the conservation values of THK as the basis of tourism development in BCG. Data were collected through in depth interview, direct observations, content analysis and literature study related to the application of THK in four villages. The conservation values underlying the philosophy of THK were comprised of the relationship of human with nature (palemahan), indicated by its implementation from the perspectives of space, time and views of the natural resources. The concept of space is the basis in determining the zoning of BCG where the core zone in the area called is utama mandala, the buffer zone is the madya mandala and the transition zone is the nista mandala. The more intensified tourism development area were directed for area with low sacredness values or the nista mandala.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

TELAAH KONSERVASI PADA PENERAPAN TRI HITA KARANA

DALAM PENGEMBANGAN WISATA

GEOPARK KALDERA BATUR

I NENGAH DEDI SETIADI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Telaah Konservasi pada Penerapan Tri Hita Karana dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera Batur

Nama : I Nengah Dedi Setiadi NIM : E34100010

Disetujui oleh

Prof Dr E.K.S. Harini Muntasib, MS Pembimbing I

Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Atas asungkertha waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “Telaah Konservasi pada Penerapan Tri Hita Karana dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera

Batur”.

Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Prof Dr E.K.S Harini Muntasib, MS dan Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc selaku dosen pembimbing yang selalu sabar dan memberikan saran, arahan dan bimbingan selama penelitian serta penyusunan. Keluarga tercinta yang selalu setiap saat memberikan doa, dukungan dan kasih sayang. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Badan Dharma Dana Nasional yang telah membantu biaya selama pelaksanaan kuliah di IPB. Kepada Ni Kadek Willi Rusiana Putri, sahabat-sahabat VDV, KMHD dan Nepenthes raflesia 47 yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang selalu memberikan semangat serta berbagi suka dan duka selama menuntut ilmu di IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR ISTILAH viii

PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Tujuan 1

Manfaat 2

METODE 2

Waktu dan Lokasi Penelitian 2

Alat Penelitian 2

Jenis dan Metode Pengambilan Data 2

Teknik Penentuan Informan 3

Analisis Data 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 4

Filosofi Tri Hita Karana 4

Penerapan Tri Hita Karana dalam Kehidupan Masyarakat

di kawasan Geopark Kaldera Batur 4

Nilai Konservasi yang Terdapat dalam Penerapan Tri Hita Karana

terhadap Geopark Kaldera Batur 13

Arah Pengembangan Wisata di GKB berbasiskan THK 18

SIMPULAN DAN SARAN 19

Simpulan 19

Saran 19

(10)

DAFTAR TABEL

1 Informan di setiap desa di sekitar GKB 3

2 Awig-awig Desa Adat Kedisan terkait dengan pelestarian alam 6 3 Bentuk dan aktivitas masyarakat terkait dengan konservasi

di keempat lokasi penelitian 13

4 Konsep peringkelan yang masyarakat terapkan dalam kehidupan 16

DAFTAR GAMBAR

1 Bukit Sampeanwani dalam kawasan GKB 8

2 Bentuk konservasi terhadap tumbuhan dan sumber mata air 9

3 Aktivitas perlindungan terhadap pohon 10

4 Pemanfaatan kawasan Geopark Kaldera Batur oleh masyarakat sekitar 11 5 Pemanfaatan kawasan Geopark Kaldera Batur sebagai tambak ikan

(mina sari) 12

6 Pemanfaatan satwa dimasing-masing desa adat 12

7 Konsepsi keruangan di GKB berdasarkan THK 15

8 Zonasi cagar biosfer 16

9 Pengelolaan berkelanjutan berdasarkan konsep THK dalam

(11)

DAFTAR ISTILAH

Istilah Arti

Awig-Awig Peraturan tertulis bagi sebuah desa adat di Bali yang bersumber dari ajaran agama Hindu dan tradisi, yang berisikan ketentuan-ketentuan tentang harmonisasi hubungan manusia dengan Pencipta, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya.

Bali Aga Kelompok masyarakat Bali yang telah ada sejak

sebelum pengaruh kerajaan Hindu Jawa sampai ke Bali.

Bali Majapahit Kelompok masyarakat bali yang telah terpengaruh kerajaan Hindu Jawa.

Desa Adat Sering juga disebut desa pekraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali, yang mengurusi masalah-masalah agama, adat dan budaya.

Dewasa Ayu Hari baik untuk melakukan kegiatan, mulai dari menenam, memanen, menangkap, menangkarkan, dll.

Duwe Tenget Menyakralkan sumberdaya (hayati dan non hayati) sebagai penjelmaan Tuhan maupun sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan gaib.

Duwengan Sareng Merupakan prinsip milik bersama.

Hulu Ampad Sistem penentuan status kedudukan seseorang.

Ida Bhatari Mapacingak

Masyarakat panca abian (Yeh Mampeh, Melilit, Batu Kembang, Sapura, Batur) wajib menghaturkan hasil pertaniannya sebagai ucapan syukur atas anugrah yang telah dilimpahkan-Nya.

Ida Bhatari Mapaingkupan

masyarakat harus mengingat sejarah asal usul dan tempat berstananya Dewa-Dewa yang ada di sekitar Gunung Batur serta hubungannya dengan Dewa-Dewa yang berstana diluar Gunung Batur seperti Pura Besakih dan Pura Kehen.

Ida Bhatari Mapasanjan

masyarakat sekitar GKB wajib menjaga lingkungan dengan memuliakan alam, keindahan Gunung Batur dan sekitarnya.

Ida Bhatari Mapatirtaan

masyarakat wajib menjaga 11 sumber mata air (tirtha) yang ada disekitar Gunung Batur.

Ida Bhatari Mapatoyan masyarakat harus ingat upacara (wali-walian) di pura yang berada disetiap penjuru mata angin (pura

pangider) Gunung Batur yang mencangkup 11 Pura.

Ingkel Pantangan untuk melakukan aktivitas pada waktu-waktu tertentu.

Kaje Pola religius yang mengarah ke gunung (tempat yang

ditinggikan).

Kelod Pola religius yang mengarah pada danau (tempat yang lebih rendah).

(12)

Istilah Arti

Madya Mandala Bagian dari Tri Mandala yang memiliki nilai kesakralan sedang.

Mendak Toya Merupakan upacara untuk memohon kehadiran sumber mata air.

Mina Sari Kelompok yang memanfaatkan danau sebagi tambak ikan.

Nista Mandala Bagian dari Tri Mandala yang bersifat profan

Pakelem Upacara yang dipersembahkan kepada Dewi Danu

selaku dewi kesuburan.

Palemahan Bagian dari Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan alam.

Parahyangan Bagian dari Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan Tuhan.

Pawongan Bagian dari Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan manusia.

Purana Bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat tentang mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu.

Rwa Bhineda Merupakan dualisme yang bertolak belakang seperti baik dengan buruk.

Subak Abian Merupakan sistem pertanian pada lahan kering (ladang).

Subak Uma Merupakan sistem pertanian pada lahan basah (sawah).

Tri Mandala Merupakan tiga pembagian waktu berdasarkan tingkat kesuciannya.

Tri Hita Karana merupakan tiga hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

Tumpek Mendekatkan diri pada Maha Pencipta dengan

menyukuri segala ciptaan-Nya.

Utama Mandala Bagian dari Tri Mandala merupakan ruang yang disucikan dan memiliki nilai kesakralan.

Wana Kerti Upacara pelestarian hutan.

Yadnya Korban suci yang dipersembahkan secara tulus ikhlas.

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Geopark Kaldera Batur (GKB) merupakan geopark pertama yang ditetapkan di Indonesia sebagai anggota Global Geopark Network UNESCO (GGN-UNESCO). Geopark merupakan suatu konsep manajemen pengembangan kawasan secara berkelanjutan yang mengintegrasikan tiga keragaman yaitu keragaman geologi (geodiversity), keragaman hayati (biodiversity), dan keragaman budaya (cultural diversity) yang bertujuan untuk pembangunan serta pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis pada asas konservasi terhadap ketiga keragaman tersebut (Azman et al. 2010). Geopark Kaldera Batur (GKB) memiliki keragaman geologi mencangkup 28 geosite, 20 geoevidence, dan 15 geofeture. Keragaman biologinya meliputi flora dan fauna yang dikelola dalam Taman Wisata Alam Penelokan dan Taman Wisata Alam Bukit Payang Gunung Batur serta kawasan hutan disekitarnya, sedangkan keragaman budaya yaitu proses pemakaman yang tidak dikubur oleh masyarakat di Desa Adat Trunyan (Kemenparekraf 2011).

Masyarakat sekitar GKB sebagian besar menganut Agama Hindu dan menerapkan ajarannya dalam filosofi hidup Tri Hita Karana (THK). Tri Hita Karana (THK) merupakan tiga hubungan harmonis yang menyebabkan kebahagiaan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Penerapan THK di Bali disampaikan dalam aturan adat (awig-awig)¸ perencanaan tata ruang wilayah Provinsi Bali (Perda No. 16 Tahun 2009) maupun dalam ajang penganugrahan THK awards dikalangan perhotelan yang bertujuan untuk memasyarakatkan THK. Mengingat kehidupan yang berkembang secara dinamis, memasyarakatkan THK dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan secara lahir dan bathin. Hal ini terbukti ketika terjadi bom Bali I dan bom Bali II, Bali mampu bangkit dalam waktu yang singkat. Berdasarkan data tahunan BTDC (2010) diperlukan waktu selama delapan bulan untuk pemulihan pariwisata akibat tragedi bom Bali.

Pengembangan wisata akan menimbulkan masalah apabila kaidah masyarakat tidak dijadikan dasar dalam pengembangannya, untuk itu kaidah-kaidah yang ada dalam masyarakat perlu diterapkan didalam pengembangan geopark. Sehingga telaah nilai-nilai konservasi dalam THK perlu dikaji sebagai dasar pengembangan wisata GKB.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu melakukan telaah nilai konservasi pada penerapan Tri Hita Karana dalam pengembangan wisata Geopark Kaldera Batur, yang meliputi:

a. Kajian terhadap aspek-aspek konservasi yang terkandung di dalam Tri Hita Karana

(14)

2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa data maupun informasi kepada pengelola di dalam pengembangan wisata GKB yang berbasiskan Tri Hita Karana. Budaya masyarakat di GKB terkait pemanfaatan ruang dan waktu bisa digunakan sebagai dasar dalam penentuan zonasi kawasan GKB sehingga masyarakat dengan penuh kesadaran ikut melakukan upaya konservasi GKB berdasarkan nilai-nilai keyakinan masyarakat.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2014 di kawasan Geopark Kaldera Batur (GKB) yaitu Desa Adat Batur, Desa Adat Songan, Desa Adat Trunyan dan Desa Adat Kedisan. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan jumlah situs geologi yang ditemukan dan budaya masyarakat Bali dalam menerapkan THK yang terdiri dari masyarakat Bali Aga (Bali mula) dan masyarakat Bali Majapahit. Situs yang ditemukan di Desa Adat Batur adalah sebanyak 15 situs, di Desa Adat Songan sebanyak 4 situs, serta di Desa Adat Kedisan dan Trunyan terdapat 1 situs (Kemenparekraf 2011). Sementara itu, dari segi masyarakat, keempat lokasi penelitian menganut budaya Bali Mula (Bali

Aga) tetapi Desa Adat Batur menganut kedua budaya tersebut yaitu Bali Mula dan

Bali Majapahit. Menurut Goris (1926) dalam Hudnyana (2002) desa Bali Mula

(Bali Aga) merupakan desa-desa tua yang telah ada sebelum pengaruh kerajaan Hindu Jawa masuk ke Bali yang biasanya ada di daerah pegunungan seperti Gunung Batur dan sekitarnya.

Alat dan Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perekam suara, kamera, dan laptop, sedangkan instrumen penelitian yaitu panduan wawancara.

Jenis dan Metode Pengambilan Data

(15)

3 Wawancara

Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur yaitu informan diberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan secara terbuka terkait dengan penerapan THK dalam kehidupan masyarakat sekitar GKB.

Observasi Lapang

Observasi dilakukan secara non partisipan yaitu dengan melihat penerapan nilai THK dalam kehidupan masyarakat, seperti pola pemanfaatan ruang dan waktu oleh masyarakat disekitar GKB.

Analisis Isi (Content Analysis)

Analisis isi (content analysis) dilakukan terhadap aturan adat (awig-awig) maupun ajaran kepercayaan masyarakat yang terkait dengan konservasi pada kitab Purana Hulundanu Batur dan awig-awig desa adat.

Studi Literatur

Studi literatur dilakukan untuk menunjang data primer dengan mempelajari dan menelaah laporan, penelitian, dan sumber lainnya yang terkait dengan penelitian.

Teknik Penentuan Informan

Masyarakat Bali percaya terhadap pemimpinnya sehingga penentuan informan dapat ditentukan secara langsung dari kalangan pendeta maupun pemimpin adat (Tabel 1). Penentuan informan terkait dengan informasi terhadap nilai THK dimasing-masing desa adat serta penerapannya.

Tabel 1 Informan di setiap desa di sekitar GKB

Informan Metode Pengambilan Data

Pendeta Wawancara mendalam

Kelihan Adat Wawancara mendalam

Bendesa Adat Wawancara mendalam

Kepala Desa Wawancara mendalam

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangli

Wawancara mendalam

Analisis Data

(16)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Filosofi Tri Hita Karana

Tri Hita Karana (THK) merupakan penerapan isi dari ajaran Kitab Suci Weda yang telah ada sejak tahun 1969 (Peters dan Wisnu 2013). Filosofi ini menggambarkan tiga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan manusia (pawongan) dan manusia dengan alam (palemahan). Parahyangan merupakan kewajiban setiap manusia untuk mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta (aspek budaya), pawongan

merupakan sebuah pengakuan yang tulus dari manusia itu sendiri, bahwa manusia tidak dapat hidup menyendiri (aspek sosial), sedangkan palemahan adalah bentuk kesadaran manusia bahwa manusia hidup dan berkembang di alam, dan merupakan bagian dari alam itu sendiri (aspek ekologi) (Utama dan Nanniek 2011; Harmini 2009). Ketiga aspek dalam THK merupakan prinsip utama dalam keberhasilan kegiatan wisata yang memiliki unsur-unsur ekologi, sosial budaya dan ekonomi.

Terkait dengan kelestarian sumberdaya alam, Kitab Bhagavad Gita IV.31 menyebutkan “ nayam loka ‘sty ayajnasya” yang berarti bahwa sumberdaya alam digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dilestarikan atas dasar ketulus ikhlasan (yadnya). Yadnya merupakan dasar dalam pelaksanaan kegiatan bagi masyarakat Hindu Bali yang diimplementasikan kedalam filosofi (tattwa), etika (susila) dan ritual (upacara). Terdapat sarana kegiatan upacara yang digunakan dalam yadnya yaitu buah, bunga, daun dan air seperti yang tersurat dalam Bhagawad Gita IX.26 “patram puspam phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tat aham bhakty-upahrtam asnami prayatatmanah” (siapapun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci). Keempat sarana tersebut harus ada disetiap upacara keagamaan. Jika dicermati, hal ini mengandung makna pemanfaatan yang berkelanjutan terhadap sumberdaya alam hayati dan non hayati.

Penerapan Tri Hita Karana dalam Kehidupan Masyarakat di Kawasan Geopark Kaldera Batur

Kawasan GKB mencakup daerah yang berada di sekitar Gunung Batur yang terdiri atas: 15 desa dinas, hutan lindung, Taman Wisata Alam (TWA) Penelokan, serta TWA Bukit Payang dan Gunung Batur (TWA BPGB). Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan dasar acuan penerapan THK, dimana Desa Adat Batur dan Songan menggunakan acuan dari ajaran Purana Hulundanu Batur, Desa Adat Kedisan menggunakan aturan adat Desa Pekraman Kedisan ( awig-awig) yang disusun dari ajaran Purana Batur, dan Desa Adat Trunyan menggunakan ajaran leluhur yang secara turun temurun tetap diwariskan melalui sistem Hulu ampad.

(17)

5 yang mengitari Gunung (Manca krama ngiderin Gunung Batur) yang sangat erat kaitannya dengan pelestarian alam:

1. Pelestarian terhadap sejarah kawasan: masyarakat harus mengingat sejarah asal usul dan tempat berstananya Dewa-Dewa yang ada di sekitar Gunung Batur serta hubungannya dengan Dewa-Dewa yang berstana diluar Gunung Batur seperti Pura Besakih dan Pura Kehen. Nilai yang disampaikan yaitu tetap menjaga GKB karena kawasan GKB merupakan kawasan suci (Ida bhatari mapaingkupan).

2. Pelestarian lingkungan: masyarakat sekitar GKB wajib menjaga lingkungan dengan memuliakan alam, keindahan Gunung Batur dan sekitarnya (Ida bhatari mapasanjan).

3. Pelestarian budaya: masyarakat harus ingat upacara (wali-walian) di pura yang berada disetiap penjuru mata angin (pura pangider) Gunung Batur yang mencangkup 11 Pura yaitu: Pura Sampian Wani, Pura Padang Sila, Pura Pelisan, Pura Jati, Pura Pasar Agung, Pura Toya Mas Bungkah, Pura Taman Sari, Pura Pura Toya Mas Mampeh, Pura Batu Rupi (Batu Sepit), Pura Jaba Kuta dan Pura Guna Lali/Kodo (Ida bhatari mapatoyan).

4. Perlindungan sumber mata air: masyarakat wajib menjaga 11 sumber mata air (tirtha) yang ada disekitar Gunung Batur yang meliputi Tirtha Telaga Waja, Tirtha Danu Kuning, Tirtha Danu Gadang, Tirtha Bantang Anyud, Tirtha Pelisa, Tirtha Mengening, Tirtha Pura Jati, Tirtha Rejeng Anyar, Tirtha Toya Mas Bungkah, Tirtha Toya Mas Mampeh, Tirtha Sampian Wani-Alas Pingitan (Ida bhatari mapatirtaan).

5. Perlindungan sumberdaya alam yaitu mempersembahkan hasil pertanian dalam bentuk upacara oleh masyarakat panca abian (Yeh Mampeh, Melilit, Batu Kembang, Sapura, Batur) (Ida bhatari mapacingak).

(18)

Tabel 2. Awig-awig Desa Adat Kedisan terkait dengan pelestarian alam Pasal

(pawos)

Isi awig-awig Artinya

7

Ayat 1 menyebutkan tentang pembakaran hutan “yening wenten salah sinunggil

jatma sane nunjelin wana patut digelis kesadokang ring sang mawang rat, yening wenten silih sinunggil krama desa nunjelin wana patut keni pamidanda manut pararem Desa Adat Pakraman Kedisan”.

Jika ada salah seorang warga yang membakar hutan akan dilaporkan kepihak yang berwajib dan dikenakan sanksi sesuai kesepakatan Desa Adat Kedisan.

Ayat 3 terkait menebang pohon

yening wenten salah sinunggil jatma sane ngebah taru sing tengahin wana patut kesadokang ring sang mawang rat, yening wenten silih sinunggil krama desa sane ngebah taru sekama-kama ring perlindungan jurang (tukad) dalam 100 meter saking sisih tukad krama punika keni pamidanda manut parerem”.

Jika ada salah seorang warga yang menebang kayu dari dalam hutan akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib, apabila ada warga yang menebang kayu pada daerah yang dilindungi yaitu minimal 100 meter dari sungai akan dikenakan sanksi berdasakan kesepakatan desa.

Ayat 4 terkait dengan penambangan batu dan pasir “yening wenten salah sinunggil jatma sane ngerereh batu wiadin bias keanggen dagangan jatma punika patut kesadokang ring sang mawang rat, yening wenten silih sinunggil krama desa sane ngerereh batu wiadin bias ring tukad utawi jurang keanggen daganagan patut keni pamidanda manut pararem Desa Adat Pakraman Kedisan”.

Jika ada warga yang menambang pasir dan batu untuk diperdagangkan dilaporkan pada pihak yang berwajib dan jika ada warga yang

menambang batu tepi sungai dan jurang akan dikenakan sanksi sesuai kesepakatan desa.

Ayat 5 terkait dengan pelepasan hewan ternak kedalam hutan “yening wenten salah sinunggil jatma sane ngelebang wewalungan luirnyane: banteng, bawi, utawi kambing krama punika digelis kesadokang ring sang mawang rat, yening wenten silih sinunggil krama desa sane ngelebang wewalungan luirnyane: banteng, bawi, utawi kambing maka sami punika dados keambil olih krama desa nglantur krama punika jaga kasukserahang ring sang ngawenangang”.

Jika ada warga yang melepaskan ternaknya seperti: sapi, babi dan kambing akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib, jika ada salah seorang warga yang melespaskan semua binatang yang disebutkan tersebut bisa diambil oleh warga lain untuk dipelihara.

28

Ayat 1. B terkait dengan aturan pembangunan “Ngutsahayang ngangge gagulak

asta bumi miwah asta kosala-kosali sanistane manut ring patistis niskala”.

Diusahakan dalam membangun minimal menggunakan aturan dari konsep asta bumi dan asta kosala-kosali sesuai dengan dunia gaib (niskala).

33

Ayat 1 “sehanan warga desa tan kepatut nyemuh, ngutang luhu, mebacin ring

margi, ring danu, ring genah sane tan kepatutan duaning prasida ngicalang pasukrtaan desa pekraman”.

Setiap warga tidak dibenarkan untuk menjemur, membuang sampah, membuang limbah di jalan, di danau, karena akan menyebabkan kerusakan pada alam.

Ayat 3 “Telajakan karang, merajan, patut kepiara nyabran rahina tur ketandurin

sarwa sari”. Halaman pekarangan, tempat suci wajib dipelihara dengan menanami bunga.

Ayat 4“Sehanan warga desa pekraman kepatutan madruwe genah mebacin (WC)” Setiap warga diharuskan memiliki tempat pembuangan limbah atau WC. Sumber: Awig-awig Desa Adat Kedisan

(19)

7 Berdasarkan keempat lokasi penelitian, Desa Trunyan memiliki tradisi unik yaitu pemakaman mayat yang tidak dikubur yang diletakan dibawah pohon kemenyan. Penerapan nilai THK dari ajaran leluhur diteruskan dengan sistem

hulu ampad. Desa Adat Trunyan termasuk kedalam warisan budaya (cultural heritage) karena masyarakat Trunyan adalah masyarakat Bali asli (Bali Aga). Menurut ahli antropologi Margaret Mead (1930) dalam (Kurnia dan Oman 2012)

kata “aga” berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti “gunung” sehingga

kehidupan masyarakat Bali Aga memiliki peranan penting terhadap pelestarian Gunung Batur.

Hubungan Manusia dengan Pencipta

Masyarakat sekitar GKB menganggap sumberdaya disekitarnya adalah sebagai sesuatu yang disakralkan dan disucikan. Sumberdaya adalah duwe tenget

yaitu penjelmaan Tuhan ataupun yang memiliki kekuatan magis dan berasal dari dunia yang berbeda (niskala). Pandangan duwe tenget dilakukan terhadap gunung dan bukit (tanah, batuan dan api), sumber air, serta satwa dan tumbuhan.

Tanah, Batuan dan Api

Kawasan GKB selain memiliki keanekargaman hayati juga memiliki keanekargaman non hayati, salah satunya geologi. Kawasan GKB secara geologi tidak dapat dipisahkan dari sejarah geologi Pulau Bali, yang memiliki umur antara 20 juta sampai 60 juta tahun yang lalu (miosen), serta beberapa lava yang unik seperti lava tube, bukit dalam kaldera, dll (Sutawidjaja et al. 2012).

Hasil penelitian mendapatkan bahwa, bagi masyarakat gunung dan bukit dipercaya sebagai tempat beristananya para dewa dan dewi. Pemimpin adat (Kelihan adat) Batur I Wayan Sukadia menjelaskan isi Raja purana Batur yang menyatakan bahwa Gunung Batur sebagai lambang laki-laki (lingga) dan Danau Batur sebagai lambang perempuan (yoni). Masyarakat percaya bahwa Gunung dan Danau Batur adalah lambang kesuburan. Dua hal yang bertolak belakang antara laki-laki (lingga) dan perempuan (yoni) dikenal dengan rwa bhineda, dalam konsep ini sekaligus menjadikan patokan arah dimana gunung (tempat yang ditinggikan) dianggap sebagai arah utara (kaje) dan danau (daerah lebih rendah) dianggap sebagai selatan (kelod) (Petters and Wisnu 2013). Boehmer and Travor (1995) menyatakan utara (kaje) merupakan arah gunung, sakral, suci, dan tempat peristirahatan leluhur, sedangkan selatan (kelod) mewakili laut dan ketidaktentraman. Pandangan terhadap konsep rwa bhineda menjadikan Gunung dan Danau Batur sebagai patokan (pancer) dalam kawasan GKB yang memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat disekitar GKB dan Bali pada umumnya.

(20)

8

Gambar 1 Bukit Sampeanwani dalam kawasan GKB (Disbudpar Bangli 2011) Sumber Mata Air

Danau Batur merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat di sekitar kawasan GKB pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya sebagai sumber pengairan subak. UNESCO (2010) menyatakan subak merupakan salah satu warisan budaya dunia yang patut dilestarikan. Danau Batur terletak di dataran tinggi sehingga mampu mengairi daerah-daerah yang ada didataran rendah di sekitarnya. Walaupun belum ada penelitian mengenai asal-usul air yang digunakan dalam irigasi subak di Bali, tetapi masyarakat yakin sumber air berasal dari Danau Batur. Sebagai bentuk ungkapan terima kasih masyarakat Bali, di daerah-daerah yang memiliki subak dilaksanakan upacara di Pura Ulun Subak masing-masing sebagai bentuk ungkapan terima kasih kepada Dewi Kesuburan (Dewi Danuh) pada bulan Purnama Kedasa (kesepuluh).

Terdapat sebanyak 11 sumber mata air yang masyarakat sucikan (tirtha) disekitar Danau Batur melalui berbagai macam upacara seperti memohon air (mendak toya), menjaga hutan disekitar Danau Batur dengan mendirikan Pura Alas Pingitan (mengkramatkan hutan) melalui upacara wana kerti, serta upacara

pakelem yang ditujukan kepada Dewi Danuh sebagai Dewi Kesuburan berupa menenggelamkan sesajen (banten) di Danau Batur. Sesajen yang disembahkan dalam pekelem seperti kerbau, sapi, babi, kambing, bebek, dan ayam serta hasil bumi lainnya. Jero Gede Batur Alitan (pendeta Desa Adat Batur) menyampaikan

Selain untuk memohon keselamatan manusia dan alam semesta, upacara ini juga untuk mengingatkan manusia agar senantiasa menghormati dan menjaga kelestarian alam sekitar”.

Kegiatan yang masyarakat terapkan di GKB hampir sama dengan konservasi dunia barat yang menggunakan pengetahuan ekologi tradisional untuk menciptakan praktik-praktik pengelolaan lingkungan yang berhubungan dengan sistem dan kepercayaan mereka. Salah satunya Suku Indian Tukano, Suku Indian Tukano yang menggantungkan hidup dari hutan dan ikan sungai. Masyarakat Suku Tukano memiliki panduan keagamaan dan budaya yang kuat yang melarang masyarakatnya menebang pohon sepanjang hulu sungai Rio Negro, karena hulu tersebut penting dalam melindungi populasi ikan. Masyarakat Tukano percaya kalau hutan adalah milik ikan, dan mereka tidak boleh menebangya (Chernella 1987; Reichel 1996) dalam (Indrawan et al. 2007).

Satwa dan Tumbuhan

Masyarakat lokal diseluruh dunia memiliki kearifan lokal yang berbeda dalam melindungi sumberdayanya. Bentuk perlindungan terhadap sumberdaya

(21)

9 yang dilakukan oleh masyarakat lokal seperti melindungi hutan (communal forest) dan melindungi lokasi keramat (sacred groves) dari penebangan komerial (Indrawan et al. 2007). Salah satu bentuk perlindungan yang dilaksanakan oleh masyarakat sekitar GKB dengan menyakralkan (duwe tenget) tumbuhan dan satwa pada tempat dan lokasi tertentu seperti kuburan dan pura (Gambar 2). Tumbuhan yang dianggap duwe tenget seperti pohon pulai (Alstonia scholaris), beringin (Ficus benjamina), kemenyan serta kamboja, dipercaya memiliki kekuatan gaib (tenget) sehingga masyarakat memberikan tanda dengan kain hitam putih (poleng) maupun putih kuning (Gambar 2b), sedangkan satwa yang dianggap sebagai duwe (tenget) yaitu segala jenis satwa yang yang berada disekitar kawasan yang disucikan, seperti ular, burung, dll. Pohon diberikan kain dan didoakan oleh para pendeta sebagai bentuk perlindungan terhadap pohon (Indrawan 2007).

(a) (b)

Gambar 2 Bentuk konservasi terhadap tumbuhan dan sumber mata air (a) Pura Beji Hulun Danu Batur, (b) pohon Beringin di Desa Kedisan

Masyarakat sekitar GKB tidak berani membunuh satwa yang dianggap duwe tenget secara sembarangan karena dipercaya dapat mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Boehmer dan Travor (1992) menyatakan bahwa masyarakat adat di Bali menyakralkan (tenget) satwa karena dianggap anugrah Tuhan (gift from god), seperti di Goa Lawah (kelelawar), Goa Gajah, dan Sangeh (monkey forest).

(22)

10

(a) (b)

Gambar 3 Aktivitas perlindungan terhadap pohon. a) para pendeta di Thailand berdoa terhadap pohon. b) aksi konservasi kaum wanita di Chipko (sumber: Indrawan et al. 2007)

Hubungan Manusia dengan Manusia

Hubungan manusia dengan manusia (pawongan) merupakan elemen yang mengatur bagaimana manusia bisa berfikir secara arif dan bijaksana didalam memanfaatkan sumberdaya. Pawongan terjalin dalam suatu sistem yang dikenal dengan desa adat, menurut Peraturan Daerah Provinsi No 3 Tahun 2001 bahwa desa adat yang merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang dijiwai oleh ajaran agama hindu dan nilai-nilai budaya yang hidup di Bali sangat besar peranannya dalam bidang agama dan sosial budaya sehingga perlu diayomi, dilestarikan dan diberdayakan. Sebagai masyarakat desa adat terdapat aturan yang mengikat untuk saling menghormati dengan yang lain serta memandang antar sesama adalah sama (tat wam asi).

Pengelolaan potensi sumberdaya oleh masyarakat adat dilaksanakan dengan rapat adat (paruman) atas dasar paras poros dan para aparo, serta prinsip kebersamaan (duwenang sareng-sareng). Kawasan GKB merupakan kawasan milik bersama. Keeksistensian dalam upaya menjaga identitas adat dilaksanakan dengan kebersamaan oleh seluruh masyarakat desa sesuai dengan kedudukan (linggih), etika peran (sesana), kewajiban (swadharma) dan hak (swadikarta) dengan penuh kesadaran.

Masyarakat disekitar GKB memiliki peran dan tanggung jawab dalam perencanaan dan pembangunan GKB seperti misalnya masyarakat lokal Padang Mat Sirat yang terdiri dari tiga desa yaitu Kg Batu Ara, Kuala teriang, dan Kuala Melaka secara gotong royong dalam pembangunan Geopark Lengkawi (Azman et al. 2010).

Hubungan Manusia dengan Lingkungan

Kawasan Geopark Kaldera Batur merupakan kawasan yang subur, karena mengandung unsur hara yang berasal dari letusan Gunung Batur. Masyarakat desa Batur, Songan, Kedisan dan Trunyan memanfaatkan kawasan sebagai lahan perkebunan yaitu subak abian (ladang). Sistem pengairan yang dilakukan dalam

(23)

11 bebatuan sehingga tanaman sulit untuk tumbuh. Masyarakat disana menggali bebatuan tersebut hingga menemukan substrat tanah berpasir untuk dijadikan lahan pertanian. Karena kawasan ini merupakan kawasan yang dilindungi sebagai warisan dunia sekaligus ada kawasan konservasi tentu kegiatan merubah bentang alam dan memanfaatkan sumberdaya tersebut tidak sesuai dengan dasar ditetapkannya sebagai geopark.

Bentuk pemanfaatan kawasan lainnya yaitu pemanfaatan bebatuan dan pasir oleh masyarakat Desa Songan sebagai hasil tambang (galian C) (gambar 4b). Hasil tambang berupa pasir dan batu dimanfaatkan untuk bahan bangunan yang dikirim ke seluruh daerah di Bali. Masyarakat memanfaatkan bahan material tersebut untuk membangun rumah, tempat ibadah, dll. Jenis bebatuan yang dimanfaatkan dalam hal ini yaitu andesitic basaltic yang merupakan salah satu lava yang masuk dalam status perlindungan geologi (geokonservasi) (Kemenparekraf 2011). Sebagai kawasan geopark tentu hal ini menjadi permasalahan dalam pengelolaan. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli menyatakan bahwa batas kawasan (zonasi) masih belum jelas serta belum mempunyai rencana pengelolaan terhadap kawasan, menyebabkan pembuatan kebijakan terhadap galian C masih menjadi permasalahan didalam keberlanjutan geopark. Menurut Brahmantyo (2012) hal tersebut merupakan permasalahan dikotomi pemanfaatan sumberdaya alam antara pembangunan dengan konservasi, manfaat ekonomi dari geokonservasi harus muncul dan geowisata sebagai alternatifnya.

(a) (b)

(24)

12

Gambar 5 Pemanfaatan kawasan Geopark Kaldera Batur oleh masyarakat sekitar sebagai tambak ikan (mina sari)

Pemanfaatan sumberdaya disamping untuk galian C, tambak ikan dan perkebunan juga digunakan satwa dan tumbuhan sebagai sarana upacara. Terdapat sebanyak 20 satwa yang digunakan dalam upacara adat oleh masyarakat sekitar GKB baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Setiap desa adat menggunakan satwa yang berbeda (Gambar 6) tergantung dari besar kecilnya upacara yang dilaksanakan. Terdapat sebanyak sebelas satwa (55%) yang tidak dilindungi digunakan dalam upacara adat oleh masyarakat sekitar GKB yang meliputi: ayam (Gallus gallus domesticus), bebek (Anas superciola), babi (Sus barbatus), sapi (Bos javanicus domesticus), kerbau (Bubalus bubalis), anjing (Canis lupus), kambing (Capra aegagrus), lele (Chlarias scopoli), sikep (Pernis ptilorhynchus), yuyu dan ikan kecil (nyalian). Satwa yang dilindungi sebanyak sembilan spesies (45%) yaitu penyu (Chelonia mydas), rusa (Rusa timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), musang (Paradoxurus hermaphroditus), trenggiling (Manis javanica), lutung (Trachypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), burung gagak (Corvus enca) dan cendrawasih kuning kecil (Paradisaea minor).

Gambar 6. Pemanfaatan satwa di setiap desa adat

Gambar 6 menunjukkan bahwa setiap desa adat memanfaatkan satwa yang dilindungi yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) untuk kegiatan upacara adat. Penyu sebagai sarana upacara wajib dipersembahkan karena dianggap sebagai yadnya yang utama sebagai simbol

(25)

13 keseimbangan alam, dan hanya digunakan pada saat upacara besar misalnya

panca wali krama yaitu setiap sepuluh tahun sekali dan upacara besar ngenteg linggih yang tidak tentu setiap tahunnya (Sudiana dalam Bali Post 2003), hal ini didasari atas mitologi penjelmaan Dewa Wisnu yang turun kedunia (Awatara Wisnu) dalam wujud penyu (Bedawang Nala), sebagai dasar keseimbangan ekosistem.

Jumlah penyu yang digunakan sebagai sarana upacara di Desa Adat Batur dan Desa Adat Songan rata-rata satu ekor pertahun sedangkan di Desa Adat Kedisan dan Desa Adat Trunyan akan bergantung dari besarnya upacara yang diselenggarakan. Berdasarkan data TCEC (2006) permintaan penyu setiap tahunnya untuk kegiatan keagamaan di Bali kurang lebih sebanyak 200-300 ekor, dibandingkan dengan kemampuannya berkembangbiak setiap satu musim sebanyak 2-3 kali (Limpus 1995) dalam (Ridla 2007) dengan rata-rata sebanyak 100 butir telur yang akan menetas setelah kurang lebih 55 hari (Nuitja 1992). Jika dilihat pemanfaatan penyu untuk upacara tidak melebihi kemampuan reproduksinya, sehingga masih memungkinkan untuk hidup secara lestari.

Pemanfaatan tumbuhan sebagai sarana upacara yang sering dipakai yaitu daun, bunga dan buah seperti dalam ajaran Bhagawad Gita IX.26 serta kacang-kacangan, umbi-umbian, dan pohon. Merujuk pada penelitian Mustaid et al.

(2004) terdapat sebanyak 462 jenis tanaman yang digunakan didalam upacara Agama Hindu di Bali dimana 65 jenis (14,1%) sudah termasuk katagori langka atau dilindungi. Masyarakat melakukan penanaman dan pemeliharaan tanaman upacara yang sebagian besar diantaranya sudah mulai langka seperti pangi (Pangium edule Reinw) dan nagasari (Mesua perica L). Pemahaman antara hubungan ritual dan budaya dengan konservasi perlu dimiliki oleh semua orang. Hal ini menjadi dasar keterlibatan masyarakat secara tulus ikhlas (yadnya) dan sukarela dalam semua kegiatan konservasi (Wisnu 2011).

Nilai Konservasi yang Terdapat dalam Penerapan Tri Hita Karana Terhadap Geopark Kaldera Batur

Berdasarkan analisis isi dari ajaran raja purana, awig-awig desa adat Kedisan, wawancara dengan tokoh adat dan peneran nilai leluhur di desa adat Trunyan serta observasi lapangan, nilai konservasi dari penerapan THK disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Bentuk dan aktivitas masyarakat terkait dengan konservasi di keempat lokasi penelitian

(26)

14

Tabel 3 Bentuk dan aktivitas masyarakat terkait dengan konservasi di keempat lokasi penelitian (lanjutan)

Nilai konservasi yang terkandung dari penerapan nilai THK oleh masyarakat disekitar GKB berdasarkan lima elemen penyusun alam (panca maha butha) yang meliputi: tanah (pertiwi), air (apah), angin (bayu), panas (teja) dan ruang kosong (akasa) yang di dianalogikan dengan tubuh manusia yaitu segala sesuatu yang padat seperti tulang melambangkan pertiwi, segala sesuatu yang cair seperti keringat, darah, dan lain sebagainya melambangkan apah, segala sesuatu yang panas seperti suhu tubuh melambangkan teja, udara dalam tubuh dari bayu

dan rongga-rongga tubuh melambangkan akasa (Bhuana Kosa III.12), sehingga perlindungan terhadap alam sama dengan perlindungan terhadap diri sendiri (tat twam asi). Ketika manusia menganggap dirinya adalah bagian dari alam akan terjadi hubungan yang menyeluruh dan dialektis (Hadi 2000).

Penerapan nilai konservasi di kehidupan masyarakat sekitar GKB mencakup aspek ruang, waktu dan pandangan terhadap sumberdaya. Aktivitas masyarakat terhadap gunung dan pola pemanfaatan kawasan GKB termasuk kedalam aspek ruang, kegiatan upacara dan pemanfaatan sumberdaya pada waktu tertentu termasuk kedalam aspek waktu, serta menjadikan sumberdaya memiliki kekuatan secara magis merupakan pandangan terhadap sumberdaya tersebut.

Aspek Tata Ruang

Aspek tata ruang tradisional di Bali khususnya di sekitar GKB antara lain

(27)

15 dan catus patha (Wesnawa 2010, Jiwa 2003). Konsepsi penataan ruang tidak hanya menjaga keseimbangan alam tetapi juga terdapat menyediakan ruang untuk berinteraksi dengan yang lain. Setiawan (2006) menyatakan bahwa penataan ruang bertujuan menjamin kepentingan publik sekaligus individu, efisiensi sumber daya, konservasi lingkungan dan budaya, mengurangi konflik pemanfaatan ruang, mengurangi ketimpangan spasial, dan menjamin keberlanjutan pembangunan wilayah. Melihat hal tersebut, aspek budaya menjadi penting sebagai dasar didalam pembangunan kawasan GKB.

Tri mandala merupakan salah satu ajaran dalam THK yang terkait dengan aspek ruang yang bisa diterapkan dalam penentuan zonasi kawasan GKB. Prinsip

Tri mandala yang terdiri dari utama mandala, madya mandala dan nista mandala

sesuai dengan zona di kawasan konservasi maupun di cagar biosfer, dimana lokasi yang sangat penting dilindungi oleh zonasi diluarnya. Hal ini penting sebagai upaya perlindungan terhadap sumberdaya dengan pertimbangan-pertimbangan dari berbagai aspek seperti ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat (Permenhut No P.56/ menhut-II/2006).

Penerapan bagian-bagian Tri Mandala terhadap kawasan GKB secara universal sebagai utamaning mandala yaitu Gunung dan Danau Batur serta sumber mata air yang masyarakat sucikan di dalam THK sebagai konsep

parahyangan. Madya mandala yaitu daerah pemukiman dimana terjadinya interaksi manusia dengan sesama (pawongan), sedangkan nista mandala yaitu areal pemanfaatan oleh masyarakat seperti areal kebun atau subak abian (Gambar 7). Pembagian ruang lingkup konsep ruang (Tri Mandala) yang lebih kecil yaitu pada tingkat desa adat dan perumahan. Utama mandala yaitu kahyangan tiga (tiga pura tempat berstananya dewa Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa) untuk ruang lingkup desa dan pura keluarga (sanggah) untuk ruang lingkup rumah.

Madya mandala yaitu pemukiman warga untuk lingkup desa dan bangunan tempat tinggal untuk lingkup perumahan. Nista mandala yaitu areal kebun maupun ladang sebagai aspek palemahan. Pertimbangan dalam penentuan ruang yaitu utama mandala sebagai ruang yang disucikan dan memiliki nilai kesakralan,

madya mandala yaitu ruang memiliki pemanfaatan sedang dan nista mandala

sebagai ruang yang bernilai profan (Wesnawa 2010).

Nista mandala

Utama mandala

Madya mandala

(28)

16

Prinsip ruang dalam THK memiliki kesesuaian dengan prinsip Man And Biosphere (MAB) dalam menentukan zonasi kawasan yaitu zona inti sebagai

utama mandala, zona penyangga sebagai madya mandala dan zona transisi sebagai nista mandala (Gambar 8). Tetapi dalam hal fungsinya terjadi perbedaan, dimana desa adat (pemukiman) berada pada zona penyangga pada konsep Tri Mandala, sedangkan pada cagar biosfer pemukiman berada pada zona transisi. Hal ini mengisyaratkan jika manusia sebagai pemeran utama terhadap keberlanjutan GKB. Konsep keruangan berdasarkan THK apabila diterapkan maka masyarakat disekitar GKB sudah tidak asing lagi dengan konsep zonasi kawasan geopark dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga konsep ruang pada THK bisa digunakan secara universal dalam zonasi geopark.

Gambar 8 Zonasi cagar biosfer (sumber:http://www.mabindonesia.org/cagar.php) Aspek Waktu

Aspek tata waktu yang masyarakat disekitar GKB terapkan dikenal dengan

padewasan, sebagai acuan didalam memulai setiap kegiatan. Dewasa ayu

merupakan hari baik untuk melaksanakan suatu kegiatan, selain itu dalam

padewasan terdapat larangan-larangan yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan tertentu yang terkandung didalam sistem ingkel, dimana satu ingkel

dilaksanakan selama satu minggu (Tabel 4).

Tabel 4 Konsep peringkelan yang masyarakat terapkan dalam kehidupan

Ingkel Larangan

Wong Tidak menyakiti sesama manusia

Sato Tidak menyakiti ternak berkaki empat

Mina Tidak menyakiti ikan

Manuk Tidak menyakiti unggas dan burung

Taru Tidak menyakiti pohon dan menebang pohon

Buku Tidak menebang tanaman yang beruas seperti tebu, bambu

(29)

17 lain seperti dilarang menebangan pohon pada ingkel taru, dilarang menebang tanaman berbuku seperti bambu pada ingkel buku. Pengecualian pada inkel sato

dan manuk, karena masyarakat merasa membutuhkannya setiap hari sehingga tetap dilaksanakan. Konsepsi waktu sesungguhnya membatasi pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan. Penentuan waktu juga menjadi dasar dalam penentuan daur pemanfaatan sumberdaya yang tetap lestari dalam hutan tanaman. Aspek Penghargaan Terhadap Sumberdaya

Keterkaitan konservasi dengan sistem kepercayaan masyarakat Bali dilakukan dengan menyakralkan sumberdaya hayati dan non hayati sebagai suatu kekuatan magis (duwe tenget). Pandangan masyarakat terhadap duwe tenget

memberikan nilai terhadap sumberdaya sehingga tetap lestari karena masyarakat tidak berani manfaatkan (sumberdaya yang dianggap tenget) karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Menurut Utama dan Nanniek (2011) sesungguhnya konsep seperti menyakralkan sumberdaya merupakan pengetahuan lokal yang secara teknis sebagai bentuk perlindungan terhadap sumberdaya sehingga tetap lestari.

Duwe merupakan kata (bahasa Bali) yang multimakna dan multiasosiasi. Secara mendasar duwe merupakan potensi dasar baik berupa fisik (skala) maupun non fisik (niskala) yang bisa dikembangkan untuk kemuliaan hidup dan kehidupan bersama. Disatu sisi duwe merupakan semangat kebersamaan (guyub) tercermin didalam hidup sebagai milik bersama (duwenang sareng sami) untuk kemuliaan dan kelangsungan hidup bersama. Duwe secara tradisi menurut para leluhur kerap dikemas didalam bentuk sistem kepercayaan, tradisi, silsilah desa ataupun mitos keberadaan desa maupun pantangan-pantangan tertentu itu sepatutnya tetap dimaknai dengan bijaksana sebagai kearifan hidup untuk saling menghidupi dan saling memuliakan (konservasi). Sehingga duwe merupakan

“energi penghidup” yang patut disadari(Wisnu 2011).

(30)

18

Sustainable

Gambar 9 Pengelolaan berkelanjutan berdasarkan konsep THK dalam kehidupan masyarakat di sekitar GKB

Arah Pengembangan Wisata di Geopark Kaldera Batur Berbasiskan Nilai Konservasi pada Tri Hita Karana

Masyarakat Bali meyakini filosofi THK yang merupakan implementasi dari ajaran Agama Hindu sebagai filosofi hidup, mencangkup aspek sosial, aspek budaya dan aspek ekologi. Ketiga aspek dalam THK, menjadi dasar dalam menentukan arah pengembangan wisata GKB. Menurut Dumbraveanu (2004) dasar dalam pengembangan wisata yang berkelanjutan dilihat dari aspek ekologi, sosial budaya dan ekonomi, yaitu meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial budaya serta memaksimalkan dampak secara ekonomi.

Geopark merupakan kawasan yang ditetapkan dengan tujuan konservasi, edukasi dan geowisata (Azman et al. 2010). Nilai-nilai konservasi yang terkandung THK yaitu konsep duwe (disakralkan), konsep keruangan (Tri Mandala), dan konsep waktu (Ingkel) menjadi dasar dalam menentukan arah pengembangan wisata GKB. Konsep ruang (Tri Mandala) dalam pengembangan wisata GKB diarahkan lebih intensif pemanfaatannya pada bagian yang memiliki nilai kesakralan yang kurang (profan) yaitu pada bagian nista mandala, sedangkan untuk kawasan yang memiliki nilai kesakralan tinggi (utama mandala) seperti Gunung dan Danau Batur diarahkan untuk pengembangan wisata terbatas. Melalui penerapan nilai-nilai filosofi yang masyarakat sekitar GKB yakini sebagai dasar dalam pengembangan wisata GKB mampu meningkatkan rasa memiliki terhadap kawasan GKB sehingga tetap berkelanjutan. Menurut Alianda (2008) wisata berbasis lingkungan (ekowisata) dilaksanakan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, adat istiadat, seni dan budaya, kebiasaan hidup, kesunyian, memelihara flora dan fauna, serta terpeliharanya lingkungan hidup sehingga tercipta keseimbangan antara manusia dengan lingkungan alam sekitar. Penerapan nilai budaya dan agama oleh masyarakat yang berada disekitar geopark nantinya dapat menjadi dasar pengembangan kawasan, karena bagaimanapun juga kaidah-kaidah masyarakat sekitar geopark sangat menentukan keberhasilan dari pengembangan geopark tersebut.

Spritual

(Duwe tenget)

Sosial

(Duwenang )

Lingkungan

(31)

19

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Nilai konservasi yang terkandung dalam filosofi THK oleh masyarakat sekitar GKB yaitu hubungan manusia dengan alam (palemahan), sesuai dengan aspek konservasi dimana manusia mengelola sumberdaya tetap berkelanjutan. Penerapan nilai konservasi oleh masyarakat sekitar GKB dterapkan melalui: (1) aspek tata ruang yang menjadi dasar penentuan zonasi kawasan GKB yaitu zona inti (utama mandala), zona penyangga (madya mandala) dan zona pemanfaatan (nista mandala); (2) aspek tata waktu yang menjadi pembatasan pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumberdaya melalui hari baik untuk melakukan kegiatan (dewasa ayu) dan pantangan-pantangan pada hari-hari tertentu terhadap pemanfaatan sumberdaya (ingkel); (3) aspek pandangan terhadap sumberdaya melalui penyakralan sumberdaya (duwe tenget), melindungi sumberdaya GKB berdasarkan kebersamaan (duwenang sareng-sareng).

Nilai-nilai konservasi yang terkandung THK yaitu konsep duwe

(disakralkan), konsep keruangan (Tri Mandala), dan konsep waktu (Ingkel)

menjadi dasar dalam menentukan arah pengembangan wisata GKB. Konsep ruang (Tri Mandala) pengembangan wisata GKB diarahkan lebih intensif pemanfaatannya pada bagian yang memiliki nilai kesakralan yang kurang (profan) yaitu pada bagian nista mandala. Sedangkan untuk kawasan yang memiliki nilai kesakralan tinggi (utama mandala) seperti gunung dan danau Batur diarahkan untuk pengembangan wisata terbatas. Melalui penerapan nilai-nilai filosofi yang masyarakat sekitar GKB yakini mampu meningkatkan rasa memiliki terhadap kawasan GKB sehingga tetap berkelanjutan.

Saran

1. Pengelola geopark dalam pengembangan wisata geopark pada lokasi-lokasi yang nantinya dibangun geopark supaya memperhatikan ajaran agama dan keyakinan masyarakat sekitar.

2. Perlu perencanaan wisata yang berdasarkan nilai-nilai dari THK dalam pengembangan wisata di GKB

DAFTAR PUSTAKA

Alianda FMZ. 2008. Perencanaan dan Desain Lanskap Tapak Ekowisata: Ekotourisme Teori dan Praktek. Aceh (ID): CV Tamita Perdana

[Anonim]. 2004. Awig-Awig Desa Pekraman Kedisan. Kintamani (ID): Masyarakat Desa Adat Kedisan

(32)

20

Azman N, Sharina AH, Ong PL, Salsela S, Ibrahim K. 2010. Public education in heritage conservation for geopark community. Procedia social and behavioral sciences. 7(c): 504-511.

Berreman G. 1985. Chipko: Nonvioent direct action to save Himalayas. South Asian Bulletin. 5: 8-13

Boehmer K, Travor W. 1995. Linking Bali’s Past with a Sustainable Future. Bali Balancing Environmen, Economy and Culture. Canadian (CA): Departement of Geography University of Waterloo.

Brahmantyo B. 2012. Pun geologi perlu konservasi. Geomagz. 2(4):18-36 [BTDC] Bali Tourism Development Corporation. 2010. Anual Report 2010 Byers BA, Cunliffe RN, Hudak AT. 2001. Linking conservation of culture and

nature: a case study of sacred forest in Zimbabwe. Human Ecology. 29 (2):187-218.

Claus CA, Kai MAC, Terre S. 2010. The Role of People in Concervation. Conservation Biology for All. New York (US): Oxford University

Dinas Pariwisata Provinsi Bali. 2009. Kajian Purana Pura Hulundanu Batur Pradesa Songan Kintamani Bangli. Denpasar (ID): Swasta Nulus.

Dumbraveanu D. 2004. Principles and Practice of Sustainable Tourism Planning. Romania: Autoritatea Nationala Pentru Turism.

Hadi SP. 2000. Manusia dan Lingkungan. Semarang (ID): Universitas Diponogoro.

Harmini AA. 2009. Traditional knowledge based ecotourism in Bali. Jurnal Tourism Department Bali State Polytechnic, Indonesia. 1-8.

Hudnyana IDGR. 2002. Tenget dalam Pembangunan Berkelanjutan, Studi Kasus: Revitalisasi Kearifan Lokal Mengenai Lingkungan di Desa Adat Penglipuran, Bangli, Bali [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Indrawan M, Primack RB, Jatna S. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta (ID):

Yayasan Obor.

Jiwa A. 2003. Pempatan Agung dalam Perempatan Agung Menguak Konsepsi Pelemahan Ruang dan Waktu Masyarakat Bali. Denpasar (ID): CV Bali Media.

[Kemenparekraf] Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2011. Batur Caldera Aspiring Geopark: an Application Dossier for Membership to UNESCO Global Network of National Geoparks.

Kurnia A, Oman A. 2012. Trunyan dibawah Lindungan Abang. Geomagz. 2(4): 42-43

Mustaid S, Undharta KE, Sumantera W, Mudiana D, Darma DP, Putri DMS, GW Setiadi. 2004. Konservasi tumbuhan upacara Agama Hindu di Kebun Raya

“Eka Karya” Bali dalam Seminar Tumbuhan Upacara Agama Hindu, UPTBKT Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI.

Nuitja SIN. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Bogor (ID): IPB Nurse K. 2006. Culture as the Fourth Pillar of Sustainable Development. Institute

of International Relations, University of the West Indies, Trindad and Tobago.

(33)

21 [Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan. 2006. P.56/ Menhut-II/2006 Tentang

Pedoman Zonasi Taman Nasional Menteri Kehutanan

Peters JH, Wisnu W. 2013. Tri Hita Karana the Spirit of Bali. Jakarta (ID): Gramedia

Ridla DA. 2007. Analisis Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Cheloniamydes L) dalam Sarang Semi-Alami di Pantai Pengumbahan, kabupaten Sukabumi [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Setiawan B. 2006. Ruang bermain untuk anak dikampung kota: studi persepsi

lingkungan, seting, dan perilaku anak di kampung Code Utara, Yogyakarta.

Jurnal Manusia dan Lingkungan. 2 (3): 1-12

Soedjito H. 2006. Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestari Plasma Nutfah. Jakarta (ID): Kophalindo.

Sudiana. 2003. Pro kontra penyu dalam upacara agama, hanya digunakan pada saat upacara besar. Bali post. Rabu, 30 juli 2003

Sutawidjaja IS, Abdurahman O, Bachtiar T, Atep K. 2012. Kaldera Batur taman bumi pertama di Indonesia. Geomagz. 2(4):18-36

[TCEC] Turtle Conservation Education Centre. 2006. TCEC-Serangan Bali. [internet]. Tersedia pada: http://www.wwf.or.id/en/about_wwf/whatwedo/ marine_species/how_we_work/endangered_marine_species/tcec.cfm

UNESCO Global Geopark Network. 2010. Published by division of ecological and earth sciences. UNESCO Paris

Utama IMS, Nanniek K. 2011. Konservasi Keanekaragaman Hayati dengan Kearifan Lokal. Denpasar (ID): Texas Project

Wesnawa IGA. 2010. Dinamika pemanfaatan ruang berbasis kearifan lokal di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali. Jurnal geografi. 24 (1): 1-10

(34)

22

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bangli, Bali pada tanggal 28 April 1992 dari ayah I Wayan Lemek dan ibu Ni Wayan Subami. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Singaraja dan melanjutkan S1 di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2010. Selama menempuh kuliah di IPB, penulis mengikuti beberapa organisasi seperti menjadi anggota PSDM Himpunan Mahasiswa Konservasi (HIMAKOVA) serta ikut dalam Kelompok Pemerhati Ekowisata 2011-2012, anggota PSDM di Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) IPB 2010-2012, anggota Brahmacarya Bogor 2010-sekarang. Praktek yang pernah diikuti penulis diantaranya Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Sancang dan Taman Wisata Alam Kamojang tahun 2012, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2013, serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Wisata Alam Penelokan tahun 2014. Peneliti juga pernah mengikuti Pelatihan Dasar Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa yang diselenggarakan oleh Direktorat Kemahasiswaan IPB pada tahun 2012. Ikut dalam Program Kreativitas Mahasiswa dalam bidang penelitian tahun 2014. Belajar

berwirausaha dengan menjadi owner “MoCil”.

Gambar

Tabel 1  Informan di setiap desa di sekitar GKB
Gambar 1  Bukit Sampeanwani dalam kawasan GKB (Disbudpar Bangli 2011)
Gambar 2  Bentuk konservasi terhadap tumbuhan dan sumber mata air (a) Pura Beji Hulun Danu Batur, (b) pohon Beringin di Desa Kedisan
Gambar 3   Aktivitas perlindungan terhadap pohon. a) para pendeta di Thailand berdoa terhadap pohon
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terkhusus pada penelitian ini yaitu kelompok pemain gamelan atau yang disebut Sekaa Gong Desa Wisata Penglipuran di mana pada umumnya Sekaa Gong terbentuk dari

Hasil penelitian yang diperoleh adalah penerapan konsep Tri Hita Karana dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu : (1) Parhyangan, yang ditunjukan dengan adanya Pura Subak serta tatanan

kepariwisataan pada para pemimpin persebahyangan (pemangku), petugas kebersihan (pengayah), dan petugas keamanan desa (pecalang), dan 5) Pelatihan, dan Pendampingan

Subjek penelitian ini merupakan orang yang terlibat dalam pengembangan produk berupa lembar kerja peserta didik IPA berorientasi Tri Hita Karana pada tema 5 kelas V SD.. Subjek pada

PENGEMBANGAN MEDIA VIDEO PEMBELAJARAN BERBASIS FALSAFAH TRI HITA KARANA PADA MUATAN MATERI MASUKNYA BANGSA EROPA KE INDONESIA KELAS V SD SKRIPSI Diajukan kepada Universitas