• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Tinggi Pemotongan Padi pada Kegiatan Panen Manual dan Perontokan Menggunakan Throw-In Type Power Thresher.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Tinggi Pemotongan Padi pada Kegiatan Panen Manual dan Perontokan Menggunakan Throw-In Type Power Thresher."

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI TINGGI PEMOTONGAN PADI PADA KEGIATAN PANEN

MANUAL DAN PERONTOKAN MENGGUNAKAN

THROW-IN TYPE POWER THRESHER

SANTOSA ADI NUGROHO

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Studi Tinggi Pemotongan Padi pada Kegiatan Panen Manual dan Perontokan Menggunakan Throw-In Type Power Thresher” adalah benar karya saya dengan arahan dari Dr Ir I Wayan Astika, MSi dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)
(5)

SANTOSA ADI NUGROHO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

pada

Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

STUDI TINGGI PEMOTONGAN PADI PADA KEGIATAN PANEN

MANUAL DAN PERONTOKAN MENGGUNAKAN

(6)
(7)

ABSTRAK

SANTOSA ADI NUGROHO. Studi Tinggi Pemotongan Padi pada Kegiatan Panen Manual dan Perontokan Menggunakan Throw-In Type Power Thresher. Dibimbing oleh I WAYAN ASTIKA.

Salah satu cara perontokan gabah adalah menggunakan power thresher tipe pelemparan jerami atau throw-in. Sebelum dilakukan perontokan, padi dipotong dengan pemotongan atas. Tujuan penelitian ini adalah mengukur dan membandingkan susut dan kinerja kegiatan mulai dari pemotongan, pengangkutan, dan perontokan antara tinggi pemotongan 30, 40, 50, dan 60 cm dari permukaan tanah dengan menggunakan sabit dan power thresher. Pemotongan terbaik dari segi susut dan biaya total adalah pemotongan 40 cm karena susut dan biaya total yang dihasilkan terendah yaitu 4.59 %, Rp 2 043 360/ha untuk Ciherang dan 5.03 %, Rp 1 704 860/ha untuk Inpari 13. Pemotongan terbaik dari segi kapasitas adalah pemotongan 60 cm karena kapasitasnya terbesar. KLE pemotongan, KLE pengangkutan, dan KLE perontokan masing-masing sebesar 0.005 ha/jam.orang, 0.075 ha/jam.orang, dan 0.191 ha/jam untuk Ciherang dan 0.006 ha/jam.orang, 0.104 ha/jam.orang, dan 0.215 ha/jam untuk Inpari 13. Faktor tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan tinggi pemotongan padi untuk menentukan besar kerugian dan keuntungan yang diakibatkan dari susut, biaya, dan kapasitas kerja yang dihasilkan.

Kata kunci: kapasitas, padi, potong, susut, tinggi

ABSTRACT

SANTOSA ADI NUGROHO. Study of Height of Cutting Paddy on Manual Harvesting and Threshing by Using Throw-In Type Power Thresher. Supervised by I WAYAN ASTIKA.

One way of threshing paddy grain is using throw-in type power thresher. Before threshing, paddy is cut at the upper point of the straw. The purpose of this study was to measure and compare the losses and working performances during cutting, transporting, and threshing among the height of 30, 40, 50 and 60 cm cutting above the ground with sickle and power thresher. The 40 cm height of cutting gave the lowest losses and total cost, those are 4.59 %, Rp 2 043 360/ha for Ciherang dan 5.03 %, Rp 1 704 860/ha for Inpari 13. The 60 cm height of cutting gave the best capacity, EFC (Effective Field Capacity) of cutting, EFC of transporting, and EFC of threshing are 0.005 ha/hour.person, 0.075 ha/hour.person, dan 0.191 ha/hour for Ciherang and 0.006 ha/hour.person, 0.104 ha/hour.person, dan 0.215 ha/hour for Inpari 13. Those factors can be taken into consideration, especially in selecting the height of cutting paddy based on the amount of losses and benefits that are caused by grain losses, costs, and work performances.

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Studi Tinggi Pemotongan Padi pada Kegiatan Panen Manual dan Perontokan Menggunakan Throw-In Type Power Thresher” dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibunda Siti Sunaryati, ayahanda Pujo Sriyono (Alm), kakak Danang Adi Hapsoro, dan adik Radite Adi Yuwono serta semua keluarga besar atas doa, kasih sayang, dukungan dan semangat untuk penulis selama pembuatan karya ilmiah ini.

2. Dr Ir I Wayan Astika, MSi selaku dosen pembimbing serta Dr Ir Gatot Pramuhadi, MSi dan Dr Ir I Dewa Made Subrata, MAgr selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sampai menyelesaikan skripsi ini.

3. Firman, Andri Marzuki, Ghozali, Sulyaden, Abas, dan Ahmad beserta seluruh staff TMB dan CREATA, Bu Emil, Bu Indah, Bu Qori, Bu Mar, Pak Nandang, Mas Ardi, Pak Qodir, Bu Pia, dan Bu Cetty yang telah membantu dalam proses belajar mengajar serta melayani kami dengan sangat baik.

4. Teman-teman seperjuangan khususnya kepada Amalia Retnasari ESL 47, Aghra dan Dennis TEP 44, Andriannova IPTP 47, Doni Saun Saputra STK 47, serta teman-teman TMB 47, Haga Putranto, Marchawanda Aditya, Qoniurrohmatullah, Puri Sahanaya, Ekasari Rahmawati, Rizki Agung Prandita, Safrullah Cahya Mardika, Sigit Eko Prastya, Rizki Wiradinata, Rizky Aidil, Dhanny Apriyatna, Wenny Sulistyowati, Yusuf Saputra, Danang Aria PB, Muhammad Fachri Hasim, Nurbaiti Araswati, Dwi Budi Aswin, Bagus yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan masukan serta turut serta langsung dalam membantu proses penelitian.

5. Terima kasih kepada seluruh pihak yang pernah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat dijadikan acuan para pembaca untuk melakukan penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya di bidang panen maupun pascapanen.

Bogor, Agustus 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

METODE 2

Tempat dan Waktu 2

Alat dan Bahan 3

Prosedur 3

Rancangan Percobaan 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Kondisi Tanaman 12

Kondisi Pemanen 14

Pengaruh Tinggi Pemotongan dan Varietas Terhadap Nilai Susut 15

Kapasitas Kerja 19

Analisis Biaya 23

SIMPULAN DAN SARAN 24

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 27

(14)

DAFTAR TABEL

1 Hasil pengukuran rata-rata kondisi tanaman 13

2 Sebaran tinggi batang padi varietas Ciherang 13

3 Sebaran tinggi batang padi varietas Inpari 13 14

4 Kondisi pemanen saat penelitian 14

5 Pengaruh tinggi potong dan varietas terhadap nilai susut rata-rata 15 6 Persentase gabah tercecer papan sampel, tak terpotong, dan penumpukan

sementara 17

7 Persentase gabah tak terontok, terbawa kotoran, dan keluar alas

perontokan pada berbagai varietas dan tinggi pemotongan 18 8 Rasio antara bobot padi (jerami dan gabah) terhadap gabah yang

dihasilkan dari varietas Ciherang dan Inpari 13 19

9 KLE pemotongan padi pada berbagai varietas dan tinggi potong 19 10 Kapasitas pengangkutan rata-rata dengan asumsi jarak angkut 10 m 20 11 Kapasitas perontokan rata-rata gabah berbagai tinggi potong 21 12 Potensi hasil panen dan gabah tak terpotong secara aktual dan teoritis 22

13 Gabah hasil dan jerami perhitungan teoritis 23

14 Data rata-rata KLE, susut, biaya total, dan pendapatan 23

DAFTAR GAMBAR

1 Sabit 1

2 Power thresher tipe throw-in 2

3 Diagram alir penelitian 4

4 Ketinggian batang padi yang diukur 5

5 Perlakuan tinggi pemotongan 6

6 Peletakan papan sampel secara acak di antara batang padi 6 7 Tata letak pemasangan alas terpal dan perontok untuk pengamatan 8

8 Cara pembagian gabah hasil dan susut 10

9 Perhitungan susut dan hasil panen gabah teoritis 10 10 Kombinasi perlakuan tinggi pemotongan pada setiap varietas 12 11 Hasil pemotongan padi secara berurut (a) 30 cm, (b) 40 cm,

(c) 50 cm, dan (d) 60 cm dari atas permukaan tanah 16

12 Gabah tak terpotong 17

13 Jerami sisa hasil pemotongan 20

DAFTAR LAMPIRAN

1 Spesifikasi mesin perontok atau power thresher 27

2 Tabel konversi susut 28

3 Rincian biaya operasional pada padi varietas Ciherang 29 4 Rincian biaya operasional pada padi varietas Inpari 13 30

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegiatan panen dan pascapanen padi terdiri dari serangkaian proses, diantaranya pemotongan, pengangkutan dan perontokan. Pemanenan adalah proses pemotongan padi menggunakan alat potong. Tiga cara panen padi yang biasa dilakukan, yaitu potong bawah, potong tengah, dan potong atas. Cara panen dipilih berdasarkan jenis atau cara perontokan yang digunakan. Beberapa alat yang digunakan, yaitu ani-ani, sabit, dan mesin pemanen. Ani-ani dan sabit merupakan alat panen tradisional yang digunakan pada daerah yang masih memiliki banyak tenaga kerja (Nugraha et al 1990). Contoh sabit terdapat pada Gambar 1. Menurut Setyono (2010), pemanenan dengan menggunakan sabit menyebabkan kehilangan hasil 3 - 8 %.

Perontokan merupakan proses pelepasan butiran gabah dari malai dengan cara memberikan tekanan atau pukulan terhadap malai (Setyono et al 1998). Cara perontokan padi, yaitu manual dengan diinjak-injak, dipukul, atau dibanting dan mekanis menggunakan pedal thresher atau power thresher (Hernowo 1979). Beberapa tahun terakhir, penggunaan power thresher menjadi pilihan di beberapa daerah untuk merontokkan padi dibanding yang lainnya. Menurut Litbangtan (2010), power thresher merupakan mesin perontok yang menggunakan sumber tenaga penggerak mesin dikarenakan kapasitas kerja yang lebih besar dan efisiensi kerja yang lebih tinggi. Selain itu, penggunaan power thresher menghasilkan susut perontokan berkisar antara 0.49 – 1.21 % (Indaryani 2009). Contoh power thresher disajikan dalam Gambar 2. Berdasarkan metode pemotongan, power thresher terbagi menjadi dua yaitu hold-on dan throw-in. Menurut Litbangtan (2007), cara hold-on yaitu dengan melakukan potong bawah pada saat panen sehingga batang padi dapat tergenggam dengan baik saat melakukan proses perontokan serta hanya bagian malai yang masuk ke dalam ruang perontokan sedangkan cara throw-in atau pelemparan jerami dilakukan dengan mengumpankan seluruh bagian padi ke dalam ruang perontok sehingga pada saat proses pemotongan, pemotongan atas dilakukan agar dapat meminimalkan kotoran atau jerami sehingga proses perontokan tidak berjalan dengan baik ditandai dengan adanya butir gabah yang tak terontok. Alasan

(16)

2

kemudahan dan kepraktisan dalam penggunaan, power thresher tipe throw-in lebih sering digunakan oleh masyarakat daripada tipe hold-on. Dengan demikian diperlukan adanya suatu penelitian mengenai besarnya penyusutan dan kapasitas kerja selama pemotongan hingga perontokan berdasarkan pengaruh antara tingkat ketinggian pemotongan batang padi terhadap berbagai varietas padi hasil perontokan menggunakan power thresher tipe throw-in.

Perumusan Masalah

Power thresher tipe throw-in dirancang khusus untuk merontokkan gabah hasil panen dengan melemparkan atau memasukkan seluruh bagian padi hasil pemotongan ke bagian perontok. Minimalisasi bagian jerami diharapkan mampu meningkatkan kapasitas kerja dan melihat pengaruh terhadap berbagai susut. Minimalisasi dilakukan dengan menaikkan tinggi pemotongan yang dilakukan pada saat panen.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Mempelajari pengaruh tinggi pemotongan batang padi menggunakan sabit dan alat perontok power thresher tipe throw-in terhadap jumlah susut dan kapasitas kerja..

2. Mendapatkan tinggi pemotongan batang padi yang optimum.

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan selama lima bulan mulai bulan Oktober 2014 hingga Februari 2015. Penelitian dilaksanakan di dua tempat. Pertama, pengambilan data dilakukan di lahan petani di Komplek IPB 2, Desa Ciherang. Kedua, pengambilan data dilakukan di Batuhulung, Desa Balumbang Jaya. Keduanya berada di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

(17)

3

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Sabit,

2. Power thresher tipe throw-in dengan spesifikasi teknik terlampir pada Lampiran 1,

3. Timbangan digital, 4. Tachometer,

5. Penggaris atau meteran, 6. Roll meter,

7. Papan kayu ukuran 14 x 40 cm2, 8. Grain moisture tester,

9. Alas terpal milik petani berukuran 4 x 4 m2, dan 10.Alas terpal pengamatan ukuran 8 x 8 m2.

Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah 1. Tanaman padi varietas Ciherang seluas 180 m2, dan 2. Tanaman padi Inpari 13 siap panen seluas 180 m2.

Prosedur

(18)

4

(19)

5

Gambar 4 Ketinggian batang padi yang diukur

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan yang dilakukan terdiri atas 3 tahap, yaitu 1. Pengukuran tinggi batang padi tertinggi (PT),

2. Pengukuran tinggi batang padi perundukan (PR), dan

3. Pengukuran tinggi pemotongan batang padi untuk perontokan menggunakan power thresher.

Penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan perlakuan tinggi pemotongan yang digunakan pada penelitian utama. Ketinggian batang padi tertinggi adalah ketinggian setiap batang padi dari permukaan tanah hingga posisi malai tertinggi. Ketinggian batang padi perundukan adalah ketinggian setiap batang padi dari permukaan tanah hingga posisi malai terendah. Ketinggian batang padi tertinggi dan perundukan yang diukur disajikan pada Gambar 4.

Penelitian Utama

A. Pengamatan Kondisi Tanaman

Kondisi tanaman padi yang diukur adalah jumlah batang per rumpun, bobot gabah per 1000 butir, butir per malai, dan kerapatan sebanyak 5 kali ulangan serta pengukuran tinggi batang padi tertinggi dan perundukan sebanyak 20 rumpun secara acak di dalam petakan.

B. Pengukuran Susut dan Kapasitas Pemotongan

Susut pemotongan adalah banyaknya gabah yang hilang akibat pemotongan pada saat panen. Pemotongan batang padi dilakukan dengan menggunakan sabit dengan 4 taraf perlakuan tinggi pemotongan, disajikan dalam Gambar 5, yaitu pada ketinggian 30 (T1 atau kontrol), 40 (T2), 50 (T3) , dan 60 (T4) cm dan pada varietas yang berbeda, yaitu Ciherang (V1) dan Inpari 13 (V2). Penentuan tinggi

PT PR

Batang padi

Malai

(20)

6

pemotongan tersebut dipilih berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan dengan pemotongan rata-rata sebesar 30.2 cm sehingga tinggi pemotongan 30 cm digunakan sebagai kontrol.

Pengukuran susut pemotongan dilakukan dengan menggunakan metode papan sampel yang berukuran 14 x 40 cm2 sebanyak 9 buah yang diletakkan secara acak. Peletakan papan disajikan dalam Gambar 6. Pengukuran dilakukan pada ubinan seluas 3 x 3 m2 untuk setiap ulangan sebanyak 5 kali untuk masing-masing perlakuan tinggi pemotongan dan varietas. Terdapat tiga parameter susut pemotongan pada penelitian ini, yaitu bobot gabah pada papan sampel, bobot gabah tak terpotong, dan bobot gabah tercecer pada penumpukan sementara. Menurut Litbangtan (2009), susut panen dihitung dengan menggunakan Persamaan 1.

� =�� + �� + ��� + ���� / � �� + ��� + ���� / � % (1)

Keterangan

SP : Susut pemotongan (%)

Wt : Bobot gabah susut berdasarkan jumlah butir gabah bernas yang menempel pada 9 papan dari tabel konversi pada Lampiran 2 (kg/ha)

Wp : Bobot gabah hasil panen ubinan (kg)

Wgt : Bobot gabah yang tercecer selama penumpukan sementara (kg) Wgtt : Bobot gabah yang tidak terpotong pada saat panen (kg)

Aa : Luas petakan (ha)

Tinggi Pemotongan ±40 cm (T2)

Tinggi Pemotongan ±30 cm (T1 atau kontrol)

Permukaan Tanah

Tinggi Pemotongan ±50 cm (T3) Tinggi Pemotongan ±60 cm (T4)

Gambar 5 Perlakuan tinggi pemotongan

Papan sampel

Batang padi

(21)

7 Lama pemotongan atau waktu efektif pemotongan diukur untuk selanjutnya dihitung menggunakan Persamaan 2 sehingga didapatkan nilai kapasitas pemotongan atau KLE pemotongan.

� =

Keterangan

KLEp : Kapasitas lapang efektif pemotongan (ha/jam.orang) Aɑ : Luas petakan (ha)

Tp : Waktu efektif pemotongan (jam)

C. Pengukuran Susut dan Kapasitas Pengangkutan

Setelah melalui proses pemotongan, padi diangkut dari penumpukan sementara di lahan hingga ke bagian perontokan. Bobot padi sebelum pengangkutan dan sesudah pengangkutan ditimbang dan dikonversi menjadi bobot gabah yang diperoleh dari hasil kali bobot padi dengan rasio padi gabah sehingga susut pengangkutan adalah bobot gabah yang hilang selama proses pengangkutan atau selisih dari bobot gabah sebelum dan sesudah angkut. Rasio padi gabah adalah perbandingan antara padi (jerami dan gabah hasil) dengan gabah hasil pemanenan. Pengukuran pada tahap ini masih dipisahkan berdasarkan perlakuan sebagaimana proses pemotongan. Susut pengangkutan dihitung menggunakan Persamaan 3 dan 4. Setelah itu, jarak dan waktu efektif pengangkutan pada petakan diukur dan dikonversi menjadi 10 meter jarak angkut agar lebih mudah untuk dibandingkan. Selanjutnya, kapasitas pengangkutan dan KLE pengangkutan dihitung dengan menggunakan Persamaan 5 dan 6. Selain itu, banyaknya jumlah pengangkutan atau intensitas angkut dihitung dengan menggunakan Persamaan 7.

=� − �

(22)

8

Jɑ : Jarak angkut (m)

Kɑ : Kapasitas pengangkutan (kg/jam.orang) Wɑ : Bobot padi saat pengangkutan (kg) Tɑ : Waktu efektif pengangkutan (jam)

KLEɑ : Kapasitas lapang efektif pengangkutan (ha/jam.orang) P : Produktivitas lahan atau gabah hasil panen (kg/ha) rpg : Rasio padi gabah

D. Pengukuran Susut dan Kapasitas Perontokan

Menurut Indaryani (2009), perontokan adalah proses pelepasan gabah dari jerami. Padi hasil pengangkutan dirontokkan dengan menggunakan power thresher tipe throw-in yang ditaruh di alas yang telah disiapkan sebelumnya, yaitu alas terpal 8 x 8 m2 dan alas terpal milik petani ukuran 4 x 4 m2. Tata letak penempatan mesin perontok dan alat disajikan pada Gambar 7. Beberapa parameter susut perontokan adalah bobot gabah yang terlempar keluar alas, bobot gabah tak terontok, dan gabah terbawa kotoran. Gabah terlempar keluar alas adalah bobot gabah yang terlempar keluar alas milik petani dan masih berada di dalam alas pengamatan 8 x 8 m2. Gabah tak terontok adalah gabah yang masih menempel pada jerami dan keluar ke bagian pembuangan. Gabah terbawa kotoran adalah gabah yang tertinggal pada mesin dan juga gabah rontok yang terbuang bersama jerami. Pengukuran pada tahap ini masih dipisahkan berdasarkan perlakuan sebagaimana proses pemotongan. Perhitungan susut perontokan dihitung dengan menggunakan Persamaan 8.

= � + � + � + � � + � + � %

Keterangan

Sr : Susut perontokan (%)

Wr0 : Bobot gabah hasil perontokan (kg) Wr1 : Bobot gabah terlempar keluar alas (kg) Wr2 : Bobot gabah tak terontok (kg)

Wr3 : Bobot gabah terbawa kotoran (kg)

(23)

9

Menurut BSN (2008), kapasitas perontokan diukur dan dihitung menggunakan Persamaan 9. Setelah itu, kapasitas lapang efektif perontokan dihitung menggunakan Persamaan 10. Selain itu, perbandingan antara padi dan gabah atau rasio padi gabah dihitung menggunakan Persamaan 11. Rasio padi gabah diperlukan untuk menentukan porsi gabah atau jerami pada beberapa perhitungan seperti pada kapasitas pengangkutan dan jerami potong teoritis.

= �

� = �

�� =

Keterangan

Kr : Kapasitas perontokan (kg/jam) Wr : Bobot gabah hasil perontokan (kg) Tr : Waktu efektif perontokan (jam)

KLEr : Kapasitas lapang efektif perontokan (ha/jam) P : Produktivitas lahan atau gabah hasil panen (kg/ha) rpg : Rasio padi gabah

Wp : Bobot padi (kg)

E. Perhitungan Potensi Hasil Panen dan Susut Pemotongan Teoritis

Potensi hasil panen adalah gabah yang dihasilkan dari lahan tanpa memperhatikan nilai susut. Potensi hasil panen aktual diperoleh dari penjumlahan nilai susut gabah dan produktivitas lahan setelah panen dan perontokan sedangkan potensi hasil panen secara teoritis dihitung menggunakan Persamaan 12. Selain itu, perhitungan jerami potong dihitung menggunakan Persamaan 13.

�ℎ = �� × �× × R : Kerapatan (rumpun/ha)

Ph : Potensi hasil panen panen (kg/ha) Wj : Jerami hasil pemotongan (kg/ha)

(24)

10

Keterangan,

Tx : Tinggi Pemotongan (30 cm, 40 cm, 50 cm, atau 60 cm)

F. Analisis Biaya

Biaya pada penelitian ini mencakup biaya yang dibutuhkan untuk pemotongan, pengangkutan, dan perontokan serta biaya akibat susut. Biaya tersebut

Gambar 9 Perhitungan susut dan hasil panen gabah teoritis Gambar 8 Cara pembagian gabah hasil dan susut Bagian tak terpotong

atau gabah susut Bagian terpotong atau gabah hasil

(25)

11 dihitung menggunakan Persamaan 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, dan 22. Biaya perontokan memiliki parameter tambahan seperti sewa perontok serta harga bensin.

=

Bp : Biaya pemotongan (Rp/ha) Utp : Upah tenaga pemotong (Rp/jam) Bɑ : Biaya pengangkutan (Rp/ha) Utɑ : Upah tenaga pengangkut (Rp/jam) Ur : Upah perontokan (Rp/ha)

Utr : Upah tenaga perontok (Rp/jam) Bbb : Biaya bahan bakar (Rp/ha) Kbb : Konsumsi bahan bakar (l/ha) Hbb : Harga bahan bakar (Rp/ha) Br : Biaya perontokan (Rp/ha) Bo : Biaya operasional (Rp/ha) Sr : Sewa perontok (Rp/ha) Bs : Biaya akibat susut (Rp/ha) St : Susut total (%)

P : Produktivitas lahan (kg/ha) H : Harga gabah (Rp/kg) Bt : Biaya total (Rp/ha)

(26)

12

Br : Biaya perontokan (Rp/ha) Bs : Biaya akibat susut (Rp/ha) Pd : Pendapatan (Rp/ha)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan perlakuan tinggi pemotongan yang terdiri dari 4 taraf, yaitu

1) Tinggi pemotongan 30 cm sebagai kontrol (T1), 2) Tinggi pemotongan 40 cm (T2), dan

3) Tinggi pemotongan 50 cm (T3), 4) Tinggi pemotongan 60 cm (T4),

dengan varietas yang diujikan sebagai kelompok, yaitu 1) Ciherang (V1), dan

2) Inpari 13 (V2).

Peubah yang diamati adalah susut pemanenan yang terdiri dari susut pemotongan, pengangkutan, dan perontokan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan ketika terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan (p<0.05), maka akan dilakukan uji lanjut dengan metode least significant difference. Kombinasi perlakuan terdapat pada Gambar 10.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Tanaman

Pengukuran kondisi tanaman dilakukan sebelum dan sesudah kegiatan pemanenan. Hasil pengukuran rata-rata kondisi tanaman dapat dilihat pada Tabel 1. Penanaman bibit padi varietas Ciherang dan Inpari 13 dilakukan menggunakan sistem tanam tegel secara manual.

Gambar 10 Kombinasi perlakuan tinggi pemotongan pada setiap varietas

(27)

13

Tabel 1 Hasil pengukuran rata-rata kondisi tanaman

Parameter Satuan Varietas

Ciherang Inpari 13

Umur panen hari 130 120

Tinggi batang tertinggi cm 76.9 80.83

Tinggi perundukan cm 66.91 69.08

aKerapatan merupakan jumlah rumpun dalam luasan ubinan 1 x 1 m2

Masing-masing varietas, memiliki ketinggian batang padi tertinggi dan perundukan yang berbeda-beda. Sebaran tinggi batang padi keseluruhan tersaji dalam Tabel 2 untuk varietas Ciherang dan Tabel 3 untuk varietas Inpari 13. Padi varietas Inpari 13 relatif lebih tinggi baik dari segi batang tertinggi maupun perundukan.

Tabel 2 Sebaran tinggi batang padi varietas Ciherang

Selang ketinggian

(cm)

Kuantitas Persentase (%)

(28)

14

Tabel 3 Sebaran tinggi batang padi varietas Inpari 13

Kondisi Pemanen

Pemanen padi pada varietas Ciherang yaitu Wawan berstatus sebagai penggarap lahan dan pemodal. Pekerjaannya dimulai dari prapanen meliputi pembelian bibit dan pupuk, pengolahan tanah, penanaman bibit, pemupukan, hingga perontokan sedangkan pada varietas Inpari 13 yaitu Burhan hanya berstatus sebagai pekerja meliputi penanaman, penyiangan, dan pemanenan. Kondisi pemanen secara umum terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kondisi pemanen saat penelitian Selang

ketinggian (cm)

Kuantitas Persentase (%)

Batang

Pemanen Satuan Varietas

Ciherang Inpari 13

Nama - Wawan Burhan

Umur Tahun 43 32

Pengalaman Tahun ± 15 ± 5

Jenis Kelamin - Laki-laki Laki-laki

(29)

15

Pengaruh Tinggi Pemotongan dan Varietas Terhadap Nilai Susut

Tinggi pemotongan memberikan pengaruh nyata (P<0.01) terhadap susut pemotongan dan perontokan. Varietas hanya memberikan pengaruh nyata pada susut pemotongan (P<0.05) dan perontokan (P<0.01) sedangkan interaksi antar varietas dan tinggi potong tidak berpengaruh nyata. Pengaruh tinggi pemotongan dan varietas disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Pengaruh tinggi potong dan varietas terhadap nilai susut rata-rata Parameter Tinggi (P<0.05) dan bila disertai bintang berbeda sangat nyata (P<0.01)

Berdasarkan tinggi potong, susut pemotongan rata-rata terkecil adalah pada tinggi potong 40 cm dan terbesar adalah 60 cm. Susut pengangkutan rata-rata terkecil adalah pada tinggi potong 30 cm dan terbesar adalah 60 cm. Susut perontokan rata-rata terkecil adalah pada tinggi potong 40 cm dan terbesar 30 cm. Berdasarkan varietas, padi Ciherang memiliki nilai susut pemotongan, pengangkutan, dan perontokan rata-rata lebih kecil daripada padi Inpari 13. Hal ini disebabkan oleh gabah Inpari 13 lebih mudah rontok dibanding Ciherang.

(30)

16

Susut Pemotongan

Pemotongan padi dilakukan dengan menggunakan sabit. Pemotong biasanya melakukan dua hingga empat kali pemotongan rumpun padi sebelum menumpuknya sementara di lahan. Perlakuan tinggi pemotongan sangat mempengaruhi jumlah padi yang tercecer pada papan. Menurut Setyono (2010), pemanenan dengan menggunakan sabit menyebabkan kehilangan hasil 3 - 8 %.

Padi hasil pemotongan berdasarkan tinggi potong disajikan dalam Gambar 9. Bila pemotongan dilakukan dengan sangat tinggi, bukan hanya batang padi saja yang digenggam oleh petani tetapi terdapat sebagian malai padi yang tergenggam sebelum melakukan pemotongan. Padi yang pada saat pemotongan malainya yang tergenggam mudah sekali rontok sehingga susut yang dihasilkan lebih tinggi daripada malai yang tidak terpegang pada saat pemotongan.

Susut pemotongan untuk varietas padi Ciherang dan Inpari 13 yaitu sebesar 3.18 % dan 3.75 % pada tinggi pemotongan sedang atau 30 cm. Nilai susut yang dihasilkan termasuk rendah dikarenakan diantaranya metode pengukuran yang dilakukan. Terdapat beberapa metode dalam pengukuran susut pemotongan yaitu, metode 9 papan dan metode pembandingan. Menurut Ikhsan (2014), susut panen padi menggunakan sabit sebesar 7.89 %. Analisis susut pemotongan menggunakan metode 9 papan akan menghasilkan nilai susut yang jauh lebih rendah daripada metode pembandingan. Metode pembandingan menggunakan perbandingan antara petak kontrol (dilakukan proses pemotongan dengan sangat hati-hati agar tidak terjadi losses) dengan petak perlakuan. Masing-masing analisis melebihi kelebihan dan kekurangan. Kekurangan metode pembandingan adalah bila pemilihan sampel tidak dilakukan secara selektif maka akan dihasilkan nilai error atau kesalahan perhitungan karena bobot padi yang dihasilkan pada petak kontrol lebih rendah dari petak perlakuan dikarenakan jumlah rumpun antar petakan tidak sama. Seharusnya bobot gabah pada petak kontrol lebih besar daripada petak perlakuan. Metode 9 papan memiliki kekurangan yaitu kurang leluasanya petani dalam memotong dan meningkatnya kehati-hatian sehingga dapat mempengaruhi nilai susut. Kelebihan metode pembandingan adalah lebih mendekati keadaan riil, sedangkan metode 9 papan adalah menghindari bias dalam pengukuran petakan maupun dalam pemilihan keseragaman kesuburan tanaman, sehingga tidak akan terjadi angka negatif karena perbedaan produksi antara petak kontrol dan perlakuan.

Gambar 11 Hasil pemotongan padi secara berurut (a) 30 cm, (b) 40 cm, (c) 50 cm, dan (d) 60 cm dari atas permukaan tanah

(31)

17 Tabel 6 Persentase gabah tercecer papan sampel, tak terpotong, dan penumpukan

sementara

Pemotongan yang terlalu tinggi menghasilkan susut yang tinggi pula. Tinggi potong 60 cm menghasilkan gabah tak terpotong yang besar disertai gabah tercecer yang besar pula. Meskipun begitu, pada tinggi potong 40 cm dihasilkan nilai susut pemotongan sebesar 3.35 %. Berdasarkan Tabel 5, terjadi penurunan nilai susut pemotongan total rata-rata dan kembali meningkat pada pemotongan 50 dan 60 cm.

Susut Pengangkutan

Pengangkutan padi dilakukan dengan mengangkut padi dari penumpukan sementara hingga ke bagian perontokan. Tinggi pemotongan menyebabkan batang padi yang akan diangkut menjadi semakin pendek sehingga menyulitkan pengangkut dalam melakukan proses pengangkutan dan menyebabkan banyak gabah yang tercecer ditandai dengan berkurangnya bobot setelah pengangkutan. Besarnya susut pengangkutan dapat dilihat pada Tabel 5, susut pengangkutan rata-rata tertinggi sebesar 0.65 % (Ciherang) dan 0.79 % (Inpari 13) pada tinggi pemotongan 60 cm meskipun kedua nilai tersebut tidak berbeda nyata. Penyebab meningkatnya nilai susut pengangkutan yang lain yaitu, kontak antara tangan petani dengan gabah secara langsung akibat jerami yang terlalu pendek menyebabkan gabah rontok dengan mudah.

(32)

18

Susut Perontokan

Perontokan padi dilakukan dengan menggunakan power thresher tipe throw-in dengan menggunakan 510 rpm. Penggunaan rpm yang disarankan dalam perontokan padi berkisar antara 500 – 600 rpm (Litbangtan 2010). Menurut Hasbullah dan Indaryani (2011), susut perontokan menggunakan power thresher berkisar antara 0.49 - 1.21 % pada pemotongan sedang atau 30 cm. Penelitian ini menghasilkan nilai susut terendah pada pemotongan 40 cm. Parameter pengamatan susut perontokan terbagi menjadi gabah tak terontok, gabah terbawa kotoran, dan gabah keluar alas perontok. Persentase parameter tersebut disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Persentase gabah tak terontok, terbawa kotoran, dan keluar alas perontokan pada berbagai varietas dan tinggi pemotongan

Tinggi potong 30 cm (T1) menghasilkan gabah tak terontok tertinggi sebesar 0.99% (V1) dan 1.12% (V2). Panjangnya jerami atau banyaknya bagian yang tidak diinginkan yang masuk ke bagian perontokan menyebabkan gabah terbuang bersama kotoran dan juga gabah masih menempel pada bagian jerami atau tidak terontok sehingga susut yang dihasilkan tinggi. Semakin tinggi pemotongan padi yang dilakukan maka semakin rendah susut perontokan.

Rasio Padi Gabah

Padi yang baik adalah tanaman padi yang dapat menghasilkan gabah bernas lebih banyak, dengan kata lain rasio antara padi dan gabah yang dihasilkan tinggi. Semakin tinggi rasio antara bobot padi dan gabah yang dihasilkan menunjukkan potensi produksi varietas tersebut tinggi. Menurut Nugraha (2011), rasio antara berat padi (jerami dan gabah) terhadap gabah yang dihasilkan dari perontokan varietas Ciherang dan Inpari 13 yaitu 7.82 dan 6.64 dengan tinggi pemotongan sedang atau 30 cm. Rasio padi gabah yang dihasilkan disajikan dalam Tabel 8. Semakin besar rasio gabah padi yang dihasilkan artinya nilainya rendah maka semakin baik proses perontokan karena bagian yang tidak diinginkan dapat diminimalkan. Rasio yang rendah dapat menyebabkan mesin perontok macet, kapasitasnya rendah, dan susut perontokan yang dihasilkan meningkat.

(33)

19 Tabel 8 Rasio antara bobot padi (jerami dan gabah) terhadap gabah yang

dihasilkan dari varietas Ciherang dan Inpari 13

Kapasitas Kerja

KLE Pemotongan

Kapasitas pemotongan terbaik adalah kapasitas pemotongan pada tinggi potong 30 cm dan 40 cm yaitu sebesar 0.010 ha/jam.orang untuk varietas Ciherang dan 0.013 ha/jam.orang untuk varietas Inpari 13 pada pemotongan 40 cm. Sedangkan kapasitas pemotongan terendah untuk varietas padi Ciherang dan Inpari 13 adalah sebesar 0.005 dan 0.006 ha/jam.orang. Kapasitas pemotongan secara keseluruhan tersaji dalam Tabel 9.

Tabel 9 KLE pemotongan padi pada berbagai varietas dan tinggi potong

Menurut Ikhsan (2014), kapasitas pemotongan padi adalah sebesar 0.012 ha/jam.orang pada pemotongan normal. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kapasitas pemotongan berada di kisaran 0.005 – 0.013 ha/jam·orang, tergantung pada faktor pemanen, kondisi lahan, dan perlakuan tinggi pemotongan. Padi varietas Ciherang pada penelitian ini memiliki jarak tanam yang lebih rapat bila dibandingkan dengan Inpari 13. Hal ini menyebabkan kapasitas pemotongan padi varietas Inpari 13 lebih besar dikarenakan pada luasan yang sama rumpun padi yang harus dipotong lebih sedikit daripada Ciherang sehingga waktu pemotongan menjadi lebih cepat. Selain itu, semakin tinggi pemotongan yang dilakukan maka nilai KLE pemotongan menurun karena jerami sisa hasil potong yang tinggi menyebabkan petani kesulitan untuk melakukan pemotongan berikutnya.

Varietas padi Tinggi potong (cm) Rasio padi-gabah

Ciherang

(34)

20

KLE Pengangkutan

Tinggi pemotongan 60 cm menghasilkan kapasitas pengangkutan terbesar pada kedua varietas. Berdasarkan Tabel 10, besarnya kapasitas pengangkutan terlihat pada kolom pengangkutan gabah pada varietas Ciherang dan Inpari 13.

Tabel 10 Kapasitas pengangkutan rata-rata dengan asumsi jarak angkut 10 m Varietas

Tinggi potong (cm)

Kapasitas pengangkutan KLE pengangkutan

Pengangkutan yang dilakukan di lahan adalah pengangkutan yang dilakukan dalam bentuk padi. Terjadi penurunan nilai kapasitas pengangkutan karena batang padi yang semakin pendek akan lebih sulit diangkut daripada batang padi yang panjang akan tetapi bila dilihat dari banyaknya gabah yang dapat diangkut maka kapasitas pengangkutan dalam bentuk gabah dan KLE pengangkutan maka akan semakin besar. Kapasitas pengangkutan gabah diperoleh dari hasil kali kapasitas pengangkutan padi dikali dengan rasio padi gabah yang terdapat pada Tabel 8 sedangkan kapasitas pengangkutan berdasarkan luasan atau KLE pengangkutan diperoleh dari hasil kali gabah per harata-rata dikali kapasitas pengangkutan gabah. Intensitas angkut adalah banyaknya pengangkutan padi seluas 1 ha dengan asumsi rata-rata jarak angkut adalah 10 m. Jarak angkut yang berbeda tentunya menghasilkan kapasitas yang berbeda sehingga perlu adanya kesamaan jarak angkut agar kapasitas pengangkutan rata-rata dapat dibandingkan.

Gambar 13 Jerami sisa hasil pemotongan

Tinggi potong 60 cm Tinggi potong

(35)

21

KLE Perontokan

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa semakin tinggi pemotongan padi yang dilakukan atau semakin sedikit batang padi yang dimasukkan ke dalam thresher maka semakin besar kapasitas yang dihasilkan. Kapasitas perontokan gabah tertinggi diperoleh dari tinggi potong 60 cm. Batang padi dengan pemotongan rendah atau batang panjang menyebabkan mesin membutuhkan waktu lebih lama untuk memisahkan antara gabah dan jerami. Bila terjadi overload, hal ini akan menyebabkan silinder perontok macet sehingga kapasitas perontokan rendah. Besarnya kapasitas perontokan disajikan dalam Tabel 11. Menurut Herawati (2008), kapasitas kerja power thresher berkisar antara 360.5-1143.1 kg/jam pada pemotongan normal atau 30 cm tergantung dari spesifikasi mesin dan kecepatan putar silinder.

Tabel 11 Kapasitas perontokan rata-rata gabah berbagai tinggi potong Varietas Tinggi potong

(cm)

Terjadi peningkatan kapasitas perontokan berdasarkan tinggi potong, semakin tinggi pemotongan yang dilakukan maka semakin besar kapasitas perontokan yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian pemotongan 60 cm menghasilkan kapasitas perontokan terbesar. Hal ini disebabkan karena pemotongan 60 cm menghasilkan jerami atau kotoran yang masuk ke bagian perontokan sedikit sehingga gabah lebih cepat rontok dan waktu yang dibutuhkan untuk merontok lebih cepat.

Potensi Hasil Panen dan Susut Pemotongan Teoritis

(36)

22

Tabel 12 Potensi hasil panen dan gabah tak terpotong secara aktual dan teoritis

Varietas

Berdasarkan hasil analisis, potensi hasil panen aktual lebih rendah bila dibandingkan dengan teoritis karena terdapat beberapa susut yang tidak terukur seperti pada saat penumpukan setelah proses angkut, gabah yang tersangkut di dalam silinder perontok atau terbuang keluar alas pengamatan 8 x 8 m2. Semakin tinggi pemotongan yang dilakukan, semakin besar susut yang dihasilkan. Tinggi potong 30 cm menghasilkan susut pemotongan aktual lebih tinggi daripada teoritis disebabkan diantaranya oleh batang padi yang patah akibat burung dan angin, juga tidak sempurnanya proses pemotongan yang dilakukan sedangkan pada tinggi potong 40, 50, dan 60 cm, susut pemotongan aktual lebih rendah daripada teoritis disebabkan oleh kecenderungan petani untuk menurunkan potongan yang dilakukan sehingga malai padi yang berada tepat pada ketinggian potong tersebut diambil sebagai gabah hasil bukan terbuang sebagai susut.

Dasar perhitungan potensi hasil panen dan susut pemotongan teoritis adalah asumsi mengenai penggunaan alat potong atau mower yang disertai bagian penadah untuk proses pemotongan dan pengangkutan. Selain untuk memotong, alat ini berfungsi untuk menampung padi hasil pemotongan sehingga gabah tercecer pada papan, gabah tercecer pada penumpukan sementara, dan gabah hilang saat pengangkutan dapat dihindari. Susut yang diperhitungkan hanya berdasarkan gabah tak terpotong. Hal ini dilakukan untuk melihat sampai sejauh mana nilai susut bisa diturunkan. Pemotongan 30 cm merupakan pemotongan terbaik karena susut pemotongan yang dihasilkan terendah dan produktivitas lahan yang dihasilkan terbesar.

(37)

23 Tabel 13 Gabah hasil dan jerami perhitungan teoritis

Varietas Tinggi potong (cm)

Terdapat beberapa aspek biaya yang digunakan dalam analisis, antara lain biaya operasional, biaya akibat susut, dan biaya total. Selain itu, pendapatan juga dihitung pada masing-masing tinggi potong untuk melihat seberapa besar hasil yang diterima oleh petani dalam bentuk uang. Biaya, pendapatan, susut, dan KLE rata-rata keseluruhan tersaji dalam Tabel 14.

Tabel 14 Data rata-rata KLE, susut, biaya total, dan pendapatan

Varietas Parameter Satuan Tinggi potong (cm)

30 40 50 60

Ciherang

KLE pemotongan ha/jam.orang 0.010 0.010 0.007 0.005

KLE pengangkutan ha/jam.orang 0.039 0.055 0.059 0.075

KLE perontokan ha/jam 0.132 0.145 0.165 0.191

KLE pemotongan ha/jam.orang 0.012 0.013 0.011 0.006

KLE pengangkutan ha/jam.orang 0.064 0.081 0.090 0.104

(38)

24

Kenyataannya, pekerja diupah berdasarkan sistem bagi hasil sebesar seperlima bagian. Pembagian ini dilakukan dengan kerja mulai dari pengolahan tanah hingga perontokan sehingga sulit untuk dibandingkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini diasumsikan pemanen diupah berdasarkan jam kerja yaitu sebesar Rp 50 000 per orang dengan 6 jam kerja efektif per hari (umumnya jam kerja pemanen adalah 8 jam per hari tetapi angka tersebut merupakan penjumlahan dari waktu kerja efektif, waktu untuk beristirahat sejenak, sekedar minum, berbincang, mengasah sabit, dan lain-lain). Rincian biaya operasional tersaji dalam Lampiran 3 dan 4.

Besarnya biaya akibat susut, tergantung dari besarnya jumlah susut (%) pada masing-masing kegiatan. Bobot susut diperoleh dari produktivitas panen aktual dikalikan susut total. Biaya susut adalah bobot susut dikalikan dengan harga gabah asumsi sebesar Rp 4 000/kg. Tinggi potong 60 cm menghasilkan biaya akibat susut terbesar, yaitu Rp 3 195 297/ha untuk Ciherang dan Rp 3 077 860/ha untuk Inpari 13 sedangkan biaya susut terendah dihasilkan dari perlakuan 40 cm yaitu sebesar Rp 636 741/ha dan Rp 563 241/ha.

Biaya operasional serta biaya akibat susut yang besar tentunya akan mengurangi pendapatan yang diterima oleh petani. Semakin besar biaya maka semakin berkurang pendapatan petani. Selain itu, biaya yang rendah menghasilkan kapasitas yang rendah, menyebabkan pekerjaan menjadi semakin lama. Hal ini terlihat dari penurunan rata-rata KLE pada penurunan tinggi potong.

Hubungan KLE, Susut, dan Biaya

Berdasarkan hasil penelitian, semakin besar kapasitas kerja maka semakin besar biaya yang dibutuhkan. Hal ini terlihat dari peningkatan biaya seiring dengan naiknya tinggi potong. Kapasitas kerja, susut, dan biaya mulai dari pemotongan, pengangkutan, dan perontokan, bila dibandingkan maka perlakuan 40 cm

menghasilkan susut gabah serta biaya total terendah yaitu, 4.59 % dan Rp 2 043 360/ha untuk Ciherang serta 5.03 % dan Rp 1 704 860/ha untuk Inpari 13

serta kapasitas yang dihasilkan rendah tetapi perlakuan 60 cm menghasilkan kapasitas rata-rata terbesar serta susut gabah dan biaya total rata-rata yang dihasilkan tertinggi yaitu sebesar 7.65 % dan Rp 3 131 441/ha untuk Ciherang serta 11.38 % dan Rp 3 077 860/ha untuk Inpari 13.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Pemotongan yang optimum berdasarkan kapasitas adalah pemotongan 60 cm baik varietas Ciherang maupun Inpari 13 karena menghasilkan kapasitas terbesar. KLE pemotongan, KLE pengangkutan, dan KLE perontokan yang dihasilkan masing-masing sebesar 0.005 ha/jam.orang, 0.075 ha/jam.orang, dan 0.191 ha/jam untuk varietas Ciherang dan 0.006 ha/jam.orang, 0.104 ha/jam.orang, dan 0.215 ha/jam untuk varietas Inpari 13.

(39)

25 tinggi. Susut dan biaya total, serta pendapatan masing-masing adalah sebesar 4.59 %, Rp 2 043 360/ha, dan Rp 11 824 640/ha untuk varietas Ciherang serta 5.03 %, Rp 1 704 860/ha, dan Rp 9 499 140/ha untuk varietas Inpari 13.

Saran

Kapasitas yang besar membutuhkan biaya yang besar dan menghasilkan susut yang tinggi serta berkurangnya pendapatan. Sebaliknya, kapasitas yang kecil membutuhkan biaya yang minim, menghasilkan susut yang rendah serta pendapatan yang yang dihasilkan tinggi sehingga perlu dipertimbangkan antara kapasitas, nilai susut, dan pendapatan dalam melakukan tinggi pemotongan padi pada saat panen.

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. Syarat mutu dan cara uji mesin perontok padi tipe pelemparan jerami. SNI 7429:2008. Jakarta (ID): BSN. Hasbullah R dan R Indaryani. 2011. Penggunaan mesin perontok untuk menekan

susut dan mempertahankan kualitas gabah. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Perteta; 2011 Juli 21-22. Jember, Indonesia. Jember (ID): Perteta. hlm 114-124.

Herawati H. 2008. Mekanisme dan kinerja pada sistem perontokan padi. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian; 2008 November 18-19. Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta (ID). hlm 1-13.

Herawati H. 2008. Mekanisme dan kinerja pada sistem perontokan padi. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah 6(2): 195-203.

Hernowo A. 1979. Mempelajari pengaruh beberapa cara perontokan padi varietas IR-36 terhadap kualitas hasil perontokan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ikhsan M. 2014. Studi kapasitas kerja dan susut saat panen padi (Oryza sativa l.) varietas ciherang menggunakan paddy mower [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Indaryani R. 2009. Kajian penggunaan berbagai jenis alat/mesin perontok terhadap susut perontokan pada beberapa varietas padi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[Litbangtan] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007. Alat dan mesin padi di Indonesia [internet]. [diacu 2014 September 25]. Tersedia dari: http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id/eng/phocadownload/Artikel/Buku_a lat_dan_mesin_panen_padi_di_Indonesia.pdf.

[Litbangtan] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Metode baru pengukuran susut panen [internet]. [diacu 2014 Oktober 25]. Tersedia dari: http://www.pustaka-deptan.go.id.

(40)

26

[Litbangtan] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010. Perontokan pa-di dengan power thresher [internet]. [pa-diacu 2014 Agustus 18]. Tersepa-dia dari: http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/perontokan-padi-dengan-power-thresher.

Nugraha S, A Setyono, dan Damardjati. 1990. Pengaruh Keterlambatan Perontokan Padi terhadap Kehilangan Hasil dan Mutu. Di dalam: Laporan Hasil Penelitian 1988/1989. Sukamandi: Balai Penelitian Tanaman Padi.

(41)

27 Lampiran 1 Spesifikasi mesin perontok atau power thresher

A. Mesin :

A.1. Nama : Power thresher tipe throw-in

A.2. Merk : Agrindo

A.3. Tipe/model : TPA 1000 - MG A.4. Dimensi : panjang total : 1.2 m lebar total : 1.1 m tinggi total : 1.4 m A.5. Sistem perontokan : Gerigi gerak

A.6. Sistem transmisi : Sabuk-puli B. Motor Penggerak (Engine) :

B.1. Nama : Motor Diesel

B.2. Merk : Kubota

B.3. Tipe/model : RD55H B.4. Isi silinder : 340 cc

B.5. Daya maksimum : 5.5 hp, 4.0 kW B.6. Putaran poros : 2200 rpm

Keterangan :

1. Hopper (pemasukan)

2. Drum perontok

3. V-Belt

4. Blower

5. Rumah/rangka perontok

6. Motor diesel

7. Roda

Throw-In type power thresher

(42)

28

Lampiran 2 Tabel konversi susut

(43)

29 Lampiran 3 Rincian biaya operasional pada padi varietas Ciherang

Parameter Satuan Jumlah

30 cm 40 cm 50 cm 60 cm

KLE pemotongan ha/jam.orang 0.010 0.010 0.007 0.005

Upah tenaga pemotong Rp/jam.orang 8 333 8 333 8 333 8 333

Biaya pemotongan Rp/ha 833 333 833 333 1 190 476 1 666 667

Kapasitas pengangkutan gabah kg/jam.orang 135.08 191.28 203.01 258.45

KLE pengangkutan ha/jam.orang 0.039 0.055 0.059 0.075

Upah tenaga pengangkut Rp/jam.orang 8 333 8 333 8 333 8 333

Biaya pengangkutan Rp/ha 213 884 151 041 142 316 111 787

Kapasitas perontokan gabah kg/jam 459.18 502.90 570.37 662.95

KLE perontokan ha/jam 0.132 0.145 0.165 0.191

Upah tenaga perontok Rp/jam 25 000 25 000 25 000 25 000

Upah perontokan Rp/ha 188 759 172 350 151 963 130 741

Sewa perontok Rp/ha 150 000 150 000 150 000 150 000

Produktivitas lahan kg/ha 3 467 3 467 3 467 3 467

Konsumsi bahan bakar liter/jam 2.1 2.1 2.1 2.1

Harga bensin Rp/liter 6 900 6 900 6 900 6 900

Biaya bensin Rp/ha 109 404 99 894 88 077 75 778

Biaya perontokan Rp/ha 448 163 422 245 390 040 356 519

Biaya operasional Rp/ha 1 495 380 1 406 619 1 722 832 2 134 973

(44)

30

Lampiran 4 Rincian biaya operasional pada padi varietas Inpari 13

Parameter Satuan Jumlah

30 cm 40 cm 50 cm 60 cm

KLE pemotongan ha/jam.orang 0.012 0.013 0.011 0.006

Upah tenaga pemotong Rp/jam.orang 8 333 8 333 8 333 8 333

Biaya pemotongan Rp/ha 694 444 641 026 757 576 1 388 889

Kapasitas pengangkutan gabah kg/jam.orang 179.36 226.26 253.11 290.01

KLE pengangkutan ha/jam.orang 0.064 0.081 0.090 0.104

Upah tenaga pengangkut Rp/jam.orang 8 333 8 333 8 333 8 333

Biaya pengangkutan Rp/ha 130 138 102 702 92 393 80 497

Kapasitas perontokan gabah kg/jam 403.05 446.21 550.12 602.32

KLE perontokan ha/jam 0.144 0.159 0.196 0.215

Upah tenaga perontok Rp/jam 25 000 25 000 25 000 25 000

Upah perontokan Rp/ha 173 740 156 933 127 290 116 260

Sewa perontok Rp/ha 150 000 150 000 150 000 150 000

Produktivitas lahan kg/ha 2 801 2 801 2 801 2 801

Konsumsi bahan bakar liter/jam 2.1 2.1 2.1 2.1

Harga bensin Rp/liter 6 900 6 900 6 900 6 900

Biaya bensin Rp/ha 100 699 90 959 73 777 67 384

Biaya perontokan Rp/ha 424 439 397 892 351 067 333 644

Biaya operasional Rp/ha 1 249 021 1 141 619 1 201 036 1 803 029

(45)

31

Proses pemotongan dan

peletakan papan sampel Tata letak alas pengamatan, petani, dan power thresher

Gabah terbawa kotoran atau tertinggal pada mesin

Gabah keluar alas perontokan

Gabah hasil perontokan

Penimbangan bobot gabah sebelum pengangkutan

(46)

32

Jerami hasil perontokan Pengukuran bobot gabah pada papan sampel

(47)

33

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada 21 Juni 1992 dari Bapak Pujo Sriyono dan Ibu Siti Sunaryati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan akademik di SDN Polisi 1 Kota Bogor pada tahun 2004 SMPN 4 Kota Bogor pada tahun 2007 SMAN 5 Kota Bogor pada tahun 2010 dan diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2010 pada program Studi Teknik Mesin dan Biosistem Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu Ketua Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Engineering Design Club (EDC) di bawah departemen TMB pada tahun ketiga. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Gambar Teknik (2014). Penulis mengikuti kegiatan praktik lapangan di PT Momenta Agrikultura Sentul Bogor Jawa Barat pada bulan Juni - Agustus 2013 dengan judul “Budidaya dan Penanganan Pascapanen Caisim di PT Momenta Agrikultura (Amazing Farm)

Gambar

Gambar 1  Sabit
Gambar 2  Power thresher tipe throw-in
Gambar 3  Diagram alir penelitian
Gambar 4  Ketinggian batang padi yang diukur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah dari responden mengalami dysmenorrhea primer tingkat nyeri sedang yaitu sebanyak 23 responden (46%), lalu 17

Pada halaman pemeliharaan ini terdapat menu data pegawai, data bagian, data user login, data kompetensi, data detail kompetensi , data indikator, data kegiatan dan data detail

Cara penentuan konsentrasi benzena dalam tubuh yang paling spesifik adalah dengan mengukur kadar S-phenil mercapturic acid dalam urin, tetapi pengukuran metabolit

Penelitian dilakukan di perairan Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah pada 2010 – 2011 (Gambar 1).Pengukuran panjang dan berat ikan dilakukan setiap bulan selama 2 tahun terhadap

Return on Asset, Return on Equity, dan Net Profit Margin berpengaruh secara bersama- sama/simultan terhadap praktik perataan laba, yang berarti rasio profitabilitas

Melalui pendekatan saintifik dan model Problem Based Learning serta metode eksperimen, demonstrasi dan diskusi, peserta didik menerapkan konsep pengukuran berbagai

Zat tambahan makanan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan, dan biasanya merupakan unsur khas makanan mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi,

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas rahmat dan cinta kasih-Nya yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat