• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Tukar-Menukar (Barter) Tanah Hak Milik (Studi Kasus : Gugatan Perdata NOMOR:06/Pdt.G/2006/PN. Tembilahan-Riau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perjanjian Tukar-Menukar (Barter) Tanah Hak Milik (Studi Kasus : Gugatan Perdata NOMOR:06/Pdt.G/2006/PN. Tembilahan-Riau)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

Nuri : Perjanjian Tukar-Menukar (Barter) Tanah Hak Milik (Studi Kasus : Gugatan Perdata NOMOR:06/Pdt.G/2006/PN. Tembilahan-Riau), 2008.

USU Repository © 2009

PERJANJIAN TUKAR-MENUKAR (BARTER)

TANAH HAK MILIK

(STUDI KASUS : GUGATAN PERDATA

NOMOR:06/Pdt.G/2006/PN. TEMBILAHAN-RIAU)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NURI

NIM : 040200021

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN Program Kekhususan Hukum Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Nuri : Perjanjian Tukar-Menukar (Barter) Tanah Hak Milik (Studi Kasus : Gugatan Perdata NOMOR:06/Pdt.G/2006/PN. Tembilahan-Riau), 2008.

USU Repository © 2009

PERJANJIAN TUKAR-MENUKAR (BARTER)

TANAH HAK MILIK

(STUDI KASUS : GUGATAN PERDATA

NOMOR:06/Pdt.G/2006/PN. TEMBILAHAN-RIAU)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NURI

NIM : 040200021

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP : 131 764 556

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS RosnidarSembiring,SH,M.Hum NIP : 131 764 556 NIP : 131 961 345

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat, berkat, karunia serta rahmatNya, Penulis dapat diberi kesempatan menikmati perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara hingga pada akhirnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan syarat utama kelulusan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Di dalam penulisan skripsi ini, Penulis mengangkat topik dalam bidang hukum perjanjian dengan judul “PERJANJIAN TUKAR-MENUKAR TANAH HAK MILIK (STUDI KASUS: GUGATAN PERDATA NO: 06/Pdt. G/2006/PN. TEMBILAHAN-RIAU)” yang dalam pembahasannya menguraikan tentang kasus perjanjian tukar-menukar tanah hak milik antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan H. EDDI MAHMUDDIN BETA, dan perlindungan hukum yang di berikan terhadap para pihak dalam perjanjian tukr-menukar tanah hak milik tersebut.

Penulis menyadari sepenuhnya akan ketidaksempurnaan dan kekurangan skripsi ini, untuk itu dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk kesempurnaan skripsi ini.

(4)

ii

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan Penulis serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing, serta banyak memberikan petunjuk serta masukan-masukan kepada Penulis dalam penulisan skripsi ini.

7. Ibu Erna Herlinda, SH, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik dari Penulis yang telah banyak memberi pengarahan dan masukan kepada Penulis di bidang akademik.

(5)

iii

9. Ayahandaku tercinta Subli Sitompul dan Ibundaku tercinta Cahaya Sianturi yang dengan sepenuh hati dan segenap jiwa telah mencurahkan kasih sayang kepada ananda, tiada yang melebihi kasih sayang Ayahanda dan Ibunda, doa restumu mengalir dalam setiap hembusan nafas ananda. 10.Adik-adikku tersayang Nelly Febrianti dan Rio Saputra , makasih atas

kasih sayang dan perhatian yang tulus, kalian adalah adik-adik terbaikku. 11.Pendeta R. Pangaribuan dan keluarga serta seluruh Jemaat Huria Kristen

Batak Protestan (HKBP) Tembilahan, terima kasih atas motivasi dan doa yang telah diberikan. God Bless Us..AMIN…

12.Keluarga besar Sitompul dan Sianturi terima kasih atas semua kasih sayang, motivasi, perhatian dan doa yang tulus untuk Ku. Aku bersyukur mempunyai keluarga seperti kalian semua.

13.Nantulangku tersayang dan keluarga , terima kasih atas perhatian, doa, dan kasih sayangnya…

14.Bang Ewin, yang punya andil besar bagi kelulusan Penulis di PTN, makasih yach atas bantuan dan pengorbanan yang udah di kasih buat aku. 15.Tulang K. Sianturi dan keluarga, terimakasih atas semua yang telah

diberikan buat ku dan keluarga, kiranya Tuhan selalu menyertai kita dengan naungan Kasih Sayang-Nya…AMIN

(6)

iv

17.Cik Nonoy, Mak Aban dan Abah, makasih ya udah mau jadi orang tua angkatku yang baik dan perhatian….

18.Teman-teman kuliahku di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Stambuk 2004 terkhusus Group A (D5, Eva, Sere, Rachmad, Andres, Rudi, Okto, Anto, Ano) dan teman-taman terbaikku yang tidak bisa kusebutkan satu persatu…Kalian bikin kuliah jadi terasa menyenangkan, kebersamaan kita akan jadi satu kenangan manis..C..U..Good Luck Yach.. 19.Buat keluarga besar PERMAHI, terima kasih atas kebersamaan kita

selama ini..

20.Buat sahabat-sahabatku di SMA ( Nuraini (noy), Hanna, Mazilah, Ita), I Miss U All Girl..

21.Buat sahabat-sahabatku satu kost di GG. Kamboja 33 (k’ Lela yang centil, k’Tuti yang keibuan, Lia yang lucu, Sarah yang aneh, Qora imut, Grace ku tersayang, Aini yang manja, Nini yang manis, Linda yang baik, Aisyah sang penghiburku & suka usil, Ayu yang baik hati , Imar yang dewasa, Lisa yang rajin, Sity yang kocak , Fitri mentel yang banyak gaya) terima kasih atas kasih sayang, atas kesetiaan kalian dikala aku susah dan senang, juga kekocakan yang kita perankan masing-masing yang buat awet muda…I Love U all Girl.

22.Buat kakak kost, k’ Sri & k’ Dewi yang udah kasih warna dalam pengalaman hidupku..

(7)

v

24.Kak Juni, Pak Man, dan Pak Min, makasih yach….udah mau melayani kami di perpustakaan hukum..

25.Akhirnya …terima kasih buat semua dan siapapun yang telah mendoakan Penulis dengan tulus dan memberi semangat untuk terus maju.

Medan, Maret 2008 Hormat Penulis,

(8)

vi DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAKSI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Perumusan Masalah ... 7

C.Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Penulisan ... 10

G.Sistematika Penulis ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN DAN PERJANJIAN TUKAR MENUKAR A. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian 1. Pengertian perjanjian ... 14

2.Syarat-syarat sahnya perjanjian ... 16

3. Sistem dan asas dalam perjanjian ... 23

(9)

vii

5.Hapusnya perjanjian ... 30

B.Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Tukar-Menukar 1.Pengertiaan perjanjian tukar-menukar ... 31

2. Subjek dan objek dalam perjanjian tukar-menukar ... 33

3. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tukar-menukar ... 33

4. Akiban perjanjian tukar-menukar ... 35

BAB III TINJAUAN JURIDIS TENTANG TANAH DAN HAK MILIK ATAS TANAH A. Tinjauan Umum Terhadap Tanah 1. Pengertian tanah ... 37

2. Jenis-jenis hak atas tanah dalam UU No.5 Tahun 1960 ... 38

B.Tinjauan Umum Terhadap Hak Milik 1. Pengertian hak milik ... 46

2. Sifat dan ciri hak milik ... 47

3. Subjek hak milik ... 49

(10)

viii

BAB IV PERJANJIAN TUKAR-MENUKAR (BARTER) TANAH HAK MILIK ANTARA HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN (HKBP) TEMBILAHAN DENGAN H. EDDI MAHMUDDIN BETA

A. Bentuk Dan Isi Perjanjian Tukar-Menukar (Barter) Tanah Antara Huria Kristen Batak Protestan Tembilahan Dengan H. Eddi Mahmuddin Beta………..……….... ... 61 B. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Tembilahan No.06 / Pdt.G /

2006 / PN. TBH ... 65 C. Putusan Pengadilan Negeri Tembilahan No.06 / Pdt.G / 2006 /

PN.TBH ... 77 D. Perlindungan Hidup Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Tukar-Menukar (Barter) Tanah ada Putusan Pengadilan Negeri Tembilahan Nomor : 06/Pdt.G/2006/PN.TEMBILAHAN ... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 86 B. Saran... 88

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(11)

ix

PERJANJIAN TUKAR-MENUKAR (BARTER) TANAH HAK MILIK (STUDI KASUS : GUGATAN PERDATA

NOMOR : 06/Pdt.G/2006/PN.TEMBILAHAN) NURI

Prof.Dr.Tan Kamello,SH,MS Rosnidar Sembiring,SH,M.Hum

ABSTRAKSI

Tanah mempunyai arti penting bagi manusia. Manusia hidup dan berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya berhubungan dengan tanah. Begitu berharganya tanah maka manusia selalu berupaya untuk mendapatkannya. Upaya ini dapat dilakukan salah satunya adalah dengan tukar-menukar (barter), seperti halnya yang telah dilakukan antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tembilahan dengan H.EDDI MAHMUDDIN BETA. Alasan yang mendorong keduanya untuk melakukan tukar-menukar adalah HKBP Tembilahan memerlukan tanah dengan luas dan lokasi yang cocok untuk pekuburan umat kritiani sekaligus untuk tempat membangun rumah ibadah (gereja) yang lebih baik lagi dan H. Eddi Mahmuddin Beta memerlukan tanah yang strategis untuk tempat Perumahan / perkantoran. Dengan kebutuhan masing-masing akan tanah maka mereka saling bersepakat melakukan tukar-menukar tanah hak milik mereka satu sama lain.

Keinginan kedua belah pihak untuk saling menukarkan tanah milik mereka dituangkan dalam perjanjian tukar-menukar (barter) tanah tertanggal 19 Desember 2003. Namun ketika kedua belah pihak sedang melengkapi syarat-syarat dalam butir-butir perjanjian, timbullah masalah dimana Para Penggugat yang merupakan warga / anggota dan/atau pengurus HKBP Tembilahan menggugat ke Pengadilan Negeri Tembilahan dan memohon agar perjanjian tukar-menukar (barter) tanah antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tembilahan dengan H.Eddi Mahmuddin Beta tersebut dibatalkan dengan alasan Para Tergugat telah melakukan pembohongan. Permasalahan inilah yang akan penulis bahas dalam skripsi ini.

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuhan Yang Maha Pemurah telah menciptakan manusia disertai Bumi, Air dan ruang angkasa untuk kelangsungan dan perkembangan hidup manusia.

Tanah yang merupakan permukaan bumi (sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka (3) dan Pasal 4 ayat (1) UUPA) merupakan tempat manusia hidup dan berkembang, tanah menjadi sumber bagi segala kepentingan hidup manusia. Manusia hidup dan berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya berhubungan dengan tanah. Setiap orang memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya tetapi pada saat meninggalpun manusia membutuhkan tanah guna tempat penguburannya.

Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan maka manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasi tanah. Penguasaan tanah diupayakan semaksimal mungkin untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Berbagai upaya dilakukan oleh manusia untuk dapat menguasai tanah dan tentunya mempertahankannya juga dari pihak lain.

(13)

2

kenyataan bahwa manusia tidak mungkin hidup terlepas dari tanah. Berbagai aktivitas manusia selalu berhubungan dengan tanah dan dilakukan diatas tanah. Rumah sebagai tempat berlindung, berbagai gedung kantor, pabrik, pusat perbelanjaan, sekolah, dan bahkan juga pembangunan rumah ibadah didirikan diatas tanah.

Tanah juga bagi kebanyakan orang merupakan simbol status yang penting untuk menunjukkan keberadaan seseorang. Semakin banyak bidang tanah yang dimiliki dan semakin luas tanah yang dimiliki seseorang maka menunjukkan bahwa orang tersebut semakin berada dan dihormati orang lain. Sebagai simbol status orang selalu menginginkan memiliki tanah yang luas, bidang tanah yang banyak, dan berada pada kawasan strategis. Tanah sebagai simbol status ini merupakan salah satu motif yang mendorong orang untuk menguasai tanah.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan kedudukan yang sangat penting bagi tanah dan benda-benda yang melekat pada tanah. Dalam rumusan Pasal 520 KUH Perdata menyatakan bahwa:

“Pekarangan dan kebendaan tak bergerak lainnya yang tidak terpelihara dan tiada pemiliknya, seperti pun kebendaan mereka yang meninggal dunia tanpa ahli waris, atau yang warisannya telah ditinggalkan, adalah milik negara”.1

Begitu berharganya tanah maka manusia selalu berupaya untuk mendapatkannya. Upaya ini dapat dilakukan salah satunya adalah dengan tukar-menukar (barter). Seperti halnya yang telah dilakukan antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tembilahan-RIAU yang merupakan tempat penulis bergereja

1

(14)

dengan H.EDDI MAHMUDDIN BETA. Alasan yang mendorong keduanya untuk melakukan tukar-menukar adalah HKBP Tembilahan memerlukan tanah dengan luas dan lokasi yang cocok untuk pekuburan umat kritiani sekaligus untuk tempat membangun rumah ibadah (gereja) yang lebih baik lagi dan H. Eddi Mahmuddin Beta memerlukan tanah yang strategis untuk tempat Perumahan / perkantoran. Dengan kebutuhan masing-masing akan tanah maka mereka saling bersepakat melakukan tukar-menukar tanah hak milik mereka satu sama lain. Perbuatan ini tentu saja mengakibatkan pemilikan dan hak penguasaan tanah beralih dari satu pihak kepada pihak lain. Tukar-menukar adalah peristiwa hukum yang dikehendaki secara bersama oleh pihak yang bermaksud mengalihkan hak milik atas tanah dengan pihak yang bermaksud untuk menerima pengalihan hak milik atas tanah. Pengertian ini juga sama halnya dengan pengertian perjanjian tukar-menukar pada umumnya yang termuat dalam Pasal 1541 KUH Perdata yang berbunyi:

“Perjanjian tukar-menukar adalah suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai suatu ganti barang lainnya”.2

(1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk

Dalam hal peralihan hak milik atas tanah terjadi karena jual-beli, hibah maupun tukar-menukar, maka ketentuan Pasal 26 UUPA menentukan bahwa:

2

(15)

4

memindahkan Hak Milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.3

Dengan demikian jelaslah bahwa UUPA melakukan pembatasan terhadap peralihan hak milik atas tanah, hanya mereka yang memenuhi ketentuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (2) UUPA saja yang dapat menjadi pemegang hak milik atas tanah.

Pasal 21 bebunyi :

(1) Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

(2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.4

(1) Hak Milik dapat diberikan kepada :

Bahkan selanjutnya dalam ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 jo. Pasal 7, yang menyatakan bahwa:

a. Warga negara Indonesia;

b. Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:

1. Bank Pemerintah;

2. Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh pemerintah.

3

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 523

4

(16)

(2) Pemberian Hak Milik untuk badan hukum hanya dapat diberikan atas tanah-tanah tertentu yang benar-benar berkaitan langsung dengan tugas pokok dan fungsinya.

Dalam hal pemberian hak atas tanah secara individual atau kolektif sepanjang mengenai Hak Milik yang dipunyai badan hukum keagamaan, badan hukum sosial dan badan hukum lain yang ditunjuk oleh pemerintah, Hak Guna Usaha, Hak Pakai tanah pertanian diatas tanah negara dan hak-hak lainnya yang menurut sifatnya harus memerlukan izin peralihan hak, dalam penerbitan keputusan pemberian haknya harus mencantumkan persyaratan izin peralihan hak dan mencatatnya dalam sertifikat.

Yang selanjutnya dipertegas kembali dengan ketentuan Pasal 134 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Hak Pengelolaan tersebut, yang menyatakan bahwa izin peralihan hak atas tanah diperlukan hanya untuk peralihan Hak Milik yang dipunyai oleh badan hukum keagamaan, badan hukum sosial dan badan hukum lain yang ditunjuk oleh pemerintah, Hak Guna Usaha, Hak Pakai tanah pertanian di atas tanah negara dan hak-hak lain yang di dalam sertifikatnya dicatat memerlukan izin.

(17)

6

cara tukar-menukar. Dalam hal peralihan hak atas tanah yang dilakukan antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tembilahan dengan H.EDDI MAHMUDDIN BETA, dilakukan dengan diawali pembuatan perjanjian antara para pihak yang sepakat untuk mengadakan tukar-menukar tanah dengan maksud menegaskan dan memperjelas hak dan kewajiban diantara para pihak.

Seperti halnya perjanjian pada umumnya, pada perjanjian tukar-menukar tanah hak milikpun dibuat berdasarkan kesepakatan bebas kedua belah pihak yang cakap bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif)

Perjanjian yang telah ditandatangani dan dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya sesuai dengan isi Pasal 1338 ayat (1) Buku III KUH Perdata tentang perikatan yang dikenal dengan asas pacta sunt servanda.

(18)

Disinilah pentingnya perlindungan hukum yang dapat menjamin kepentingan-kepentingan para pihak dalam perjanjian tukar-menukar tanah hak milik, terkhusus bagi kasus yang terjadi di tempat penulis seperti yang telah digambarkan sepintas diatas.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka masalah yang dapat dirumuskan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk dan isi perjanjian tukar-menukar tanah hak milik antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan H. EDDI MAHMUDDIN BETA pada Gugatan Perdata No. 06/ Pdt.G/ 2006/PN. Tembilahan

2. Bagaimana kasus posisi perjanjian tukar-menukar tanah hak milik antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan H. EDDI MAHMUDDIN BETA dalam Gugatan Perdata No. 06/Pdt.G/2006/PN. Tembilahan?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian tukar-menukar tanah hak milik pada putusan Pengadilan Negeri Tembilahan No. 06/ Pdt.G/ 2006/PN. Tembilahan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulis membahas masalah perjanjian tukar-menukar tanah hak milik antara Huria Kristen Batak Protestan dengan H. EDDI MAHMUDDIN BETA adalah sebagai berikut:

(19)

8

Tembilahan dengan H. EDDI MAHMUDDIN BETA, meliputi bentuk dan isi perjanjian tukar-menukar.

2. Untuk mengetahui kasus posisi perjanjian tukar-menukar tanah hak milik antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tembilahan dengan H. EDDI MAHMUDDIN BETA

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap kepentingan para pihak dalam perjanjian tukar-menukar tanah hak milik yang bermasalah.

Setiap manusia selalu mengharap adanya suatu manfaat dalam melakukan suatu pekerjaan. Demikian juga dengan penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Secara Praktis

Diharapkan dengan penulisan skripsi ini dapat memuaskan rasa ingin tahu penulis terutama mengenai perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam perjanjian menukar, dalam hal ini berkaitan dengan perjanjian tukar-menukar tanah hak milik.

2. Secara Teoritis

(20)

D. Keaslian Penulisan

Pembahasan tentang perjanjian tukar-menukar tanah sebagai objek dalam penulisan skripsi sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru lagi. Akan tetapi beberapa skripsi yang ada, pada umumnya hanya membahas tentang pelaksanaan perjanjian tukar-menukar tanah hak pakai yang salah satu pihak dalam perjanjian adalah pemerintah. Sedangkan pada skripsi ini yang menjadi bahasan adalah perjanjian tukar-menukar tanah hak milik yang di haki oleh orang atau badan hukum. Dan sepanjang pengamatan penulis pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pembahasan tentang perjanjian tukar-menukar tanah hak milik yang bermasalah masih secara umum saja.

Oleh karena itu keaslian penulisan skripsi ini terjamin adanya. Sehingga bukan merupakan hasil ciplakan ataupun penggandaan hasil karya orang lain. Kalaupun dalam penulisan skripsi ini terdapat kutipan maupun pendapat orang lain, hal tersebut semata-mata dilakukan untuk mendukung fakta-fakta dalam penulisan skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

“Perjanjian” adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu”.5

5

Prof. R. Subekti,SH, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 1

(21)

10

Salah satu bentuk perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata adalah perjanjian tukar-menukar. Perjanjian tukar-menukar dalam Pasal 1541 KUH Perdata disebutkan:”Tukar-menukar ialah suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain”.

Dalam pembuatan perjanjian tukar-menukar maka yang harus diperhatikan adalah bagaimana perjanjian itu dibuat agar tidak menimbulkan masalah baik bagi para pihak dalam perjanjian itu sendiri maupun bagi pihak ketiga.

Objek dari perjanjian tukar-menukar adalah semua barang baik bergerak maupun tidak bergerak yang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dengan demikian maka tanah hak milik dapatlah menjadi objek dalam perjanjian tukar-menukar. Hak milik atas tanah sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut:

“Hak milik adalah Hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.”

F. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian dengan menggunakan dua metode penelitian, yaitu metode penelitian kepustakaan (Library Research) dan metode penelitian lapangan (Field Research).

(22)

penulisan skripsi ini untuk digunakn sebagai dasar ilmiah dalam pembahasan materi.

Metode penelitian lapangan (Field Research) penulis lakukan dengan mengambil data sekunder berupa putusan pada Pengadilan Negeri Tembilahan di Propinsi Riau yang beralamat di Jalan Prof. Yamin No. 3 Tembilahan sebagai pengadilan tingkat pertama yang memeriksa, mengadili, serta memutus Perkara Perdata No.06/Pdt.G/2006/PN.TBH.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini mempunyai sistematika yang mempunyai kaitan atau hubungan yang erat antara yang satu dengan yang lainnya karena pada dasarnya adalah isi tulisan ini merupakan satu kesatuan. Untuk memberikan kemudahan dalam memahami isi tulisan ini, maka digunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : PEDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN DAN PERJANJIAN TUKAR- MENUKAR

(23)

12

asas-asas dalam perjanjian, wanprestasi dalam perjanjian, hapusnya perjanjian.

Kemudian tinjauan terhadap perjanjian tukar menukar yang meliputi pengertian perjanjian tukar-menukar, subyek dan obyek dalam perjanjian tukar-menukar, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tukar-menukar, dan akibat hukum perjanjian tukar-menukar.

BAB III : TINJAUAN JURIDIS TENTANG TANAH DAN HAK MILIK ATAS TANAH

Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum terhadap tanah yang meliputi pengertian tanah, dan jenis-jenis hak atas tanah dalam pasal 16 UU No.5 Tahun 1960. Kemudian tinjauan umum terhadap hak milik yang meliputi pengertian hak milik, sifat/cirri hak milik, subyek hak milik, dan hapusnya hak milik.

BAB IV:PERJANJIAN TUKAR-MENUKAR (BARTER) TANAH ANTARA HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN (HKBP) TEMBILAHAN DENGAN H. EDDI MAHMUDDIN BETA

(24)

dalam perjanjian tukar-menukar tanah pada putusan Pengadilan Negeri Tembilahan No. 06/ Pdt.G/2006/PN.TBH

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

(25)

14 BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN

DAN PERJANJIAN TUKAR-MENUKAR

A.Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian

1.

Pengertian perjanjian

Perjanjian dalam bahasa Belanda disebut Overeenkomst. Secara yuridis pengertian perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Subekti memberikan rumusan perjanjian sebagai berikut : “Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal “.6

Peristiwa ini menimbulkan suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan atau dengan kata lain perjanjian itu menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan atas apa yang diucapkan atau dituliskan kedua belah pihak yaitu pihak yang berhak dan yang berkewajiban.7

6 Subekti, Hukum PerjanjianI, Intermasa, Jakarta, 1991, hal. 1

(26)

Abdulkadir Muhammad, memberikan pengertian tentang perjanjian yaitu :”Suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan.”8

Hal ini dapat diketahui dari perumusan :”Satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri” sehingga terdapat consensus antara pihak-phak.

Selanjutnya dikemukakannya bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut masih terdapat beberapa kelemahan, yakni:

1. Hanya menyangkut sepihak saja.

9

Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus

Dalam pengertian perbuatan mencakup juga tindakan melaksanakan tugas/pekerjaan orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming). Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) yang tidak mengandung suatu consensus seharusnya dipakai kata “persetujuan”.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas

8

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 9

9

(27)

16

hukum keluarga.Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja.10

Menurut M. Yahya Harahap, parjanjian atau verbintenis mengandung pengertian:”Suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melunasi prestasi”.

4. Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan Pasal 1313 KUH Perdata tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian sehingga tidak jelas tujuan atau maksud dari pihak-pihak untuk mengikatkan diri itu untuk apa.

11

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang, dengan demikian agar suatu perjanjian tersebut

Dari rumusan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum yang lahir dari adanya kesepakatan antara dua pihak atau lebih, dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya pada pihak yang lain untuk memenuhi kewajiban dan pihak kedua berhak untuk menuntut hak yang disepakati bersama.

2 Syarat-syarat sahnya perjanjian

10

Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki oleh para pihak, termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain dalam arti sempit perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III KUH Perdata, jadi hukum perjanjian sebagai bagian dari hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan adalah bagian dari pada hukum kekayaan, maka hukum yang timbul antara para pihak di dalam perjanjian dalam lapangan hukum kekayaan, Ibid. hal. 23

11

(28)

dikatakan sah harus memiliki syarat-syarat berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.12

Keempat syarat ini merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, artinya setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi perjanjian yang sah. Hal ini berarti bahwa seluruh perjanjian harus memenuhi keempat syarat tersebut yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Dari keempat syarat tersebut, dapat dibedakan atas dua golongan,yaitu: a. Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena

menyangkut orang atau person yang melakukan perjanjian.

b. Syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif, karena mengenai perbuatan yang diperjanjikan.

Dari pengelompokan di atas, tidaklah dapat dikatakan bahwa syarat objektif lebih penting dari syarat subjektif atau sebaliknya syarat subjektif lebih bernilai dibanding syarat objektif, karena pada dasarnya keempat syarat itu merupakan hal yang essensial di dalam setiap persetujuan atau perjanjian. Karena tanpa dipenuhi keempat syarat tersebut, maka perjanjian dianggap tidak pernah ada.

12

(29)

18

Ad.1. Sepakat Mereka Yang Mengikat Diri

Yang dimaksud dengan kata sepakat dari mereka yang mengikatkan diri adalah bahwa para pihak untuk saling mengikatkan diri satu sama lain dalam suatu perjanjian. Artinya para pihak tersebut harus sepakat,setuju,seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. 13

a. Salah pengertian (dwaling) atau kekhilafan

Namun untuk mengetahui sah atau tidaknya suatu perjanjian telah ditentukan oleh Pasal 1321 KUH Perdata yang menyatakan bahwa tidak dianggap sah suatu kesepakatan, jika kesepakatan itu diberikan karena:

b. Paksaan (dwang) c. Penipuan (bedrog)

Kesepakatan yang diberikan karena salah pengertian atau kekhilafan, paksaan, penipuan memperlihatkan adanya kecacatan dalam kesepakatan atau persetujuan itu. Terhadap persetujuan yang demikian, para pihak atau yang bukan batal demi huku m.

Dalam hal kekhilafan, yang dapat batal demi hukum adalah mengenai sari pokok atau hal yang essensial dalam persetujuan tersebut.Hal ini diatur dalam Pasal 1322 KUH Perdata yang berbunyi:

“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan”. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi

13

(30)

mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan. Kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.

M. Yahya Harahap mengatakan bahwa dwaling atau kekhilafan atau salah pengertian yang menyebabkan lenyapnya persetujuan harus mengenai

1. Pokok atau maksud obyek persetujuan

2. Kedudukan hukum subyek yang membuat suatu persetujuan 3. Hak subyek hukum yang bersangkutan.14

Perumusan dari Pasal 1324 KUH Perdata ini menurut beliau belum sempurna, harus ditambahkan bahwa yang diancam itu harus merupakan hal yang tidak diperbolehkan hukum.

Mengenai pemaksaan (dwang ) terjadi apabila orang yang dipaksa itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menyetujui persetujuan tersebut.

Wiryono Prodjodikoro mengatakan: Dalam Pasal 1324 KUH Perdata paksaan itu harus sepantasnya menakutkan suatu pihak terhadap suatu ancaman, bahwa apabila ia tidak menyetujui perjanjian yang bersangkutan, maka ia akan menderita suatu kerugian yang nyata”.

15

Dalam hal penipuan, selanjutnya dikemukakannya pula bahwa satu macam pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan , melainkan harus ada suatu rangkaian pembohongan yang dalam hubungannya satu dengan yang lainnya merupakan suatu tipu muslihat.16

14

M. Yahya Harahap, Op.cit. hal. 6

15

Wiyono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung, 1989, hal. 3

16

(31)

20

Ada perbedaan antara tipu muslihat dengan kekhilafan, dimana bedanya terletak pada unsur kesengajaan. Pada penipuan terdapat unsur kesengajaan dari orang yang melakukannya, sedang pada kekhilafan unsur tersebut tidak ada. Ad.2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perjanjian.

Untuk sahnya suatu perjanjian memerlukan kecakapan dari subyek yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain setiap orang yang sudah dewasa, waras akal budinya adalah cakap menurut hukum.

Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah:

1. Orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu (dibatalkan dengan keluarnya SEMA No.3 Tahun 1963, maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap di muka pengadilan tanpa seizin suami).

Orang yang belum dewasa yang dimaksud dalam hal ini adalah seperti yang ditunjuk oleh Pasal 330 KUH Perdata yaitu mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

(32)

dungu, sakit otak atau mata gelap atau terlalu boros, sehingga tidak mampu bertanggungjawab atas kepentingan sendiri karena itu dalam melakukan suatu perbuatan hukum mereka diwakili oleh pengampunya (curator ).17

17

Bandingkan dengan pendapat A. Qiram Syamsuddin Meliala yang menyatakan, orang yang cakap adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah kawin. Tidak termasuk orang-orang sakit ingatan atau bersifat pemboros yang karena itu oleh pengadilan diputuskan berada di bawah pengampuan dan seorang perempuan yang telah bersuami. Mengenai hal ini setelah dikeluarkan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertidak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap di muka pengadilan tanpa seizing suami. Setelah dikeluarkannya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tersebut sejak saat itu beberapa pasal dalam KUH Perdata sudah dinyatakan tidak berlaku lagi, antara lain Pasal 108,284 ayat (3) dan Pasal 1238 KUHPerdata, A, Qiram Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Liberty yogyakarta,1985, hal. 10

Mengenai ketentuan bagi orang-orang perempuan yang dianggap tidak cakap dalam membuat persetujuan-persetujuan, ha ini sesuai dengan Pasal 1467 KUH Perdata yang menyatakan bahwasanya antara suami istri tidak diperbolehkan melakukan persetujuan jual beli.

Kemudian Pasal 1678 KUH Perdata juga menentukan bahwa antara suami istri selama dalam ikatan perkawinan dilarang mengadakan penghibaan. Namun ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah-hadiah atau pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlalu tinggi mengingat kemampuan si penghibah.

Ad.3. Suatu Hal Tertentu

(33)

22

Tentang objek / prestasi perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu yang logis dan praktis. Takkan ada arti dari perjanjian jika undang-undang tidak menentukan hal demikian.

Dengan demikian dapat dimengerti, agar perjanjian itu memenuhi kekuatan hukum yang sah, bernilai dan mempunyai kekuatan yang mengikat, prestasi yang menjadi objek perjanjian harus tertentu sekurang-kurangnya jenis objek itu harus tertentu.18

18

Objek dalam perhubungan hukum ialah hal yang diwajibkan atau hal terhadap mana seorang mempunyai hak. Dalam perhubungan hukum antara seorang manusia atau suatu badan hukum dan suatu harta benda, objeknya ialah harta benda itu terhadap mana seorang manusia atau badan hukum itu mempunyai hak-hak dan /atau kewajiban-kewajiban, Wiryono Projodikoro,Op.cit, hal. 40

Ad.4. Suatu Sebab Yang Halal

Suatu sebab yang halal di sini tidak lain daripada perjanjian itu sendiri,sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian, pada dasarnya tidak diperdulikan oleh undang-undang.

Yang dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.

(34)

Dalam bahasa yang praktis dapat dikatakan, menurut undang-undang suatu sebab yang halal itu apabila tidak bertentangan dan dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Dengan kata lain sebab atau causa yang melahirkan perjanjian adalah sebab atau causa yang sah dan halal.19

Sistem terbuka yang dianut Buku III KUH Perdata mengandung asas kebebasan dalam membuat perjanjian. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” 3.Sistem dan asas dalam perjanjian

Buku III KUH Perdata mengenai Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka, artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian juga merupakan “hukum pelengkap”.Berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan, manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian, namun demikian terdapat beberapa pasal yang bersifat memaksa (imperative) yang tidak boleh tidak harus ada dalam suatu perjanjian, misalnya Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai sanya suatu perjanjian.

19

(35)

24

Dengan menekankan pada perkataan “semua” maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan membuat perjanjian itu dan menjadikannya sebagai undang-undang. Perjanjian harus dibuat dengan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian seperti tercantum pada Pasal 1320 KUH Perdata sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi pihk-pihak yang membuatnya sebagai undang-undang.20

Di dalam kamus ilmiah asas

Asas-asas hukum perjanjian

21

diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan pundamental. Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembang nilai-nilai yang dimasyarakatkan menjadi landasan hubungan sesama anggota.22

1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian

Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas umum (general principle) yang harus diindahkan oleh setiap orang yang terlibat di dalamnya antara lain: a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini merupakan salah satu asas yang sangat terkenal dalam hukum kontrak. Berdasarkan asas ini antara pihak bebas untuk menentukan apa-apa saja yang diinginkan untuk dicantumkan dalam perjanjian. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup :

20

Undang- Undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik,Ibid, hal. 27

21

Pius A Partanto dan M.Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Aroka, Surabaya, 1994, hal. 48

22

(36)

2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa dia ingin membuat perjanjian 3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya

4. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian 5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian

6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (Aanvullend)23

Namun asas kebebasan berkontrak bukan tanpa batas. Asas kebasan berkontrak di batasi oleh undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, keadilan dan itikad baik serta kepatuhan.24

Dengan kata lain, asas konsensualitas ini mensyaratkan bahwa perjanjian ini telah sah jika tercapai sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak membutuhkan lagi formalitas. Asas hukum perdata barat ini berbeda dengan hukum adat, karena hukum adat tidak mengenal asas konsensualitas melainkan asas konkrit, yang berarti untuk terjadinya perjanjian masih diperlukan lagi adanya tindak lanjut b. Asas Konsensualitas

Berdasarkan asas konsensualitas ini, perjanjian sejak tercapainya konsesi atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.

23

Sutan Remi Syahdeni, Kebebasan berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 47

24

(37)

26

konkrit setelah adanya kesepakatan itu misalnya memberikan panjar, menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan lain-lain.

Asas konsensualitas ini tercermin dalam unsur pertama dari Pasal 1320 KUH Perdata.25

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Yang dimaksud dengan itikad baik adalah niat dari pihak atau pihak-pihak dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan kepentingan umum. Niat adalah suatu pola sikap batin seseorang yang menjadi dasar perbuatan yang akan dilakukan kemudian. Niat tersebut harus merupakan niat yang jujur untuk tidak merugikan mitra janjinya.

c. Asas Itikad Baik

26

25

Asas konsensualitas dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”, kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (wil), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian,Ibid, hal. 113

26

Bandingkan dengan pendapat Salim HS, yang menyatakan asas itikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik muthlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik muthlak penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif, Salim, Op. cit, hal. 11

(38)

Ketentuan tersebut harus dipandang sebagai tuntutan keadilan, karenanya ketentuan tersebut tidak dapat disimpangi oleh para pihak. Dengan kata lain, sekalipun para pihak telah sepakat untuk dimuatnya suatu ketentuan dalam perjanjian yang bersifat berat sebelah sehingga dirasakan tidak adil, namun tetap saja ketentuan itu tidak dapat diberlakukan karena bertentangan dengan asas itikad baik itu.

d. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.Sebagaimana bunyinya dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut, asas tersebut berarti “Semua perjanjian yang dibuat secara sah adalah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Jadi orang yang ingkar janji dalam pandangan asas ini, diartikan sebagai pengingkaran terhadap undang-undang. Asas pacta sunt servanda (janji itu mengikat) ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat

secara sah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak sahnya semua perjanjian asal memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana tersebut pada Pasal 1320 KUH Perdata, mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.27

Dengan asas ini pihak debitur dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian e. Asas Force Majeur

27

(39)

28

karena suatu keadaan atau kejadian yang terjadi setelah perjanjian itu dibuat yang berada di luar daya atau kemampuan debitur untuk dapat menghentikan, menghindari atau mengendalikan kejadian atau keadaan yang menyebabkan tidak mungkin dilaksanakannya kewajiban tersebut.

Dengan demikian kejadian atau keadaan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur (Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata).28

Asas force majeur ini dikenal juga dengan istilah-istilah lain yaitu asas overmacht atau asas keadaan memaksa.29

Menurut M.Yahya Harahap,”wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya”,

4. Wanprestasi dalam perjanjian

Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana salah satu pihak tidak dapat melaksanakan prestasinya sesuai dengan apa yang telah dijanjikannya, karena kesalahannya dan ia telah diatur.

30

28

Overmacht adalah suatu keadaan memaksa yaitu suatu keadaan di luar kekuasaannya pihak debitur, yang menjadi dasar hukum untuk “memaafkan” kesalahan pihak debitur. Jadi suatu overmacht mengandung dua unsur yaitu keadaan diluar kekuasaannya pihak debitur dan bersifat memaksa dan keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian dibuat, sehingga pihak debitur tidak memikul resikonya. Dengan demikian jika terbukti adanya keadaan Overmacht ini pihak debitur akan luput dari penghukuman untuk menanggung resiko suatu perjanjian. Dengan lain perkataan Overmacht merintangi pihak debitur untuk memenuhi prestasi, Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islm Indonesia Yogyakarta, 1989, hal. 63

29

Beberapa unsur yang harus dipenuhi, sehingga suatu keadaan digolongkan sebagai keadaan memaksa yaitu peristiwa itu terjadi di luar kehendak debitur, terjadinya peristiwa itu tidak disengaja, peristiwa itu tidak dapat dikendalikan (dikuasai) oleh debitur, peristiwa itu berkaitan dengan obyek dan/atau cara pemenuhan kontrak/perjanjian, peristiwa itu menyebabkan debitur tidak dapat atau terhalang memenuhi kewajibannya, Janus Sidabalok, Pengantar Hukum Ekonomi, Bina Media Medan, 2000, hal. 96

30

Yahya Harahap, Op.cit, ha. 60

(40)

timbulnya kerugian bagi seseorang atau barang milik orang lain disebabkan karena kurang hati-hatinya memalukan suatu perbuatan atau mengurus sesuatu sebagaimana dikehendaki oleh hukum”.31

Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa:32 a. Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi; b. Debitur terlambat memberikan prestasinya;

c. Debitur keliru di dalam melaksanakan prestasinya;

d. Debitur melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukukan.

Tentang tidak dipenuhinya kewajiban (ingkar janji) tersebut ada dua kemungkinan penyebabnya, yakni karena kesalahan (baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian) dan karena keadaan memaksa. Jika wanprestasi itu benar-benar menimbulkan kerugian maka pihak yang wanprestasi “wajib” mengganti kerugian yang timbul. Akan tetapi untuk itu harus ada hubungan “sebab-akibat” antara wanprestasi dengan kerugian. Sesuai dengan Pasal 1266 KUH Perdata bahwa tiap perjanjian timbal-balik selalu dianggap telah dianggap telah dibuat dengan syarat wanprestasi dari salah satu pihak akan berakibat pembatalan perjanjian, pembatalan mana yang harus diminta kepada hakim.

Dalam hal wanprestasi atau kelalaian, apakah seseorang melakukan wanprestasi atau lalai, maka harus dibuktikan di muka hakim. Tidak mudah untuk menyatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali tidak diperjanjikan

31

Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1980, hal. 212

32

(41)

30

dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan suatu prestasi yang diwajibkan padanya.

5. Hapusnya perjanjian

Masalah hapusnya perjanjian biasa juga disebut hapusnya persetujuan, berarti menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan bersama antara para pihak.

Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan, dengan demikian hapusnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan, yaitu:

a. Tujuan persetujuan telah tercapai; b. Karena persetujuan para pihak. Berdasarkan uraian diatas, maka :

a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, misalnya perjanjian ditentukan akan berlaku untuk waktu tertentu;

b. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya perjanjian tersebut, misalnya Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata bahwa para ahli waris dapat mengadakan persetujuan untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan, tetapi waktu perjanjian pada Pasal 1066 ayat (4) KUH Perdata membatasi berlakunya hanya untuk 5 tahun; c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan

terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus;

(42)

e. Perjanjian hapus karena putusan hakim;

maksud dari berakhirnya perjanjian harus benar-benar dibedakan dengan berakhirnya perikatan. Hal ini dikarenakan suatu perikatan dapat berakhir, sedangkan perjanjian yang merupakan sumbernya masih tetap ada misalnya pada perjanjian jual beli. Jika semua perikatan-perikatan dalam perjanjian telah berakhir maka perjanjian akan berakhir. Perjanjian dapat pula mengakibatkan berakhirnya perikatan yaitu apabila suatu perjanjian berakhir dengan berlaku surut, misalnya sebagai akibat pembatalan karena wanprestasi. Maka semua perikatan telah menjadi berakhir, tetapi kewajiban atas pemenuhan prestasi tetap ada.

B.Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Tukar-Menukar 1. Pengertian perjanjian tukar-menukar

Perjanjian tukar-menukar diatur dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUH Perdata. Perjanjian tukar-menukar adalah

“Suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai suatu ganti barang lainnya.”(Pasal 1451 KUH Perdata).

Algra mengartikan perjanjian tukar-menukar adalah :

“Suatu perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan benda kepada satu sama lain.”33

33

(43)

32

Definisi ini terlalu singkat, karena yang ditonjolkan adalah saling memberikan benda antara satu sama lain. Akan tetapi menurut Salim H.S, perjanjian tukar-menukar adalah suatu perjanjian yang dibuat antar pihak yang satu dengan pihak lainnya, dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang ditukar. Barang yang ditukar oleh para pihak, dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Penyerahan barang bergerak cukup penyerahan nyata, sedangkan barang tidak bergerak menggunakan penyerahan secara yuridis formal.34

a. adanya subjek,

Unsur-unsur yang tercantum dalam kedua definisi di atas adalah

b. adanya kesepakatan subjek hukum,

c. adanya objek, yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak, dan

d. masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukar-menukar.

Dalam dunia perdagangan perjanjian tukar-menukar ini juga dikenal dengan nama “barter”. Sebagaimana dapat dilihat dari rumusan tersebut diatas, perjanjian tukar-menukar ini adalah juga suatu perjanjian konsensual, dalam arti bahwa ia sudah jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang-barang yang menjadi objek dari perjanjiannya.

34

(44)

2. Subjek dan objek dalam perjanjian tukar-menukar

Subjek hukum dalam perjanjian tukar-menukar adalah pihak pertama dan pihak kedua, baik orang dengan orang atau orang dengan badan hukum atau badan hukum dengan badan hukum, asal mereka masing-masing adalah pemilik barang yang dijanjikan untuk diserahkan dalam menukar. Sedangkan objek tukar-menukar adalah semua barang, baik barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak (Pasal 1542 KUH Perdata). Dengan syarat barang yang menjadi objek tukar-menukar tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jika pihak yang satu telah menerima barang yang telah ditukarkan kepadanya, dan kemudian ia membuktikan bahwa pihak yang lain bukan pemilik barang tersebut, maka tak dapatlah ia dipaksa untuk menyerahkan barang yang telah ia janjikan dari pihaknya sendiri, melainkan mengembalikan barang yang telah ia terima (Pasal 1543 KUH Perdata). Pihak yang telah melepaskan barang yang diterima dalam perjanjian tukar-menukar maka ia dapat memilih, apakah ia akan menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga dari pihak lawannya atau menuntut pengembalian barang yang telah ia berikan (Pasal 1544 KUH Perdata) Tuntutan itu hanya dilakukan terhadap satu alternative yang dipaparkan diatas, yaitu menuntut biaya, rugi, dan bunga atau pengembalian barang. Jadi, pihak yang menyerahkan barang tidak dapat menuntut kedua alternative tersebut di atas.

3. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tukar-menukar

(45)

34

akan kenikmatan tentram dan terhadap cacat-cacat tersembunyi (“verborgen gebreken”, “hidden defects”) berlaku bagi seorang yang telah memberikan

barangnya dalam tukar-menukar. Adanya kealpaan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut merupakan wanprestasi (“breach of contract”)yang merupakan alasan menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian.

Jika pihak yang satu telah menerima barang yang ditukarkan kepadanya, dan kemudian dia membuktikan bahwa pihak yang lain bukan pemilik barang tersebut, maka tak dapatlah dia dipaksa menyerahkan barang yang telah dia janjikan dari pihaknya sendiri, melainkan hanya untuk mengebalikan barang yang telah diterimanya itu. Demikianlah ditetapkan oleh Pasal 1543 KUH Perdata.

(46)

4. Akibat hukum perjanjian tukar-menukar

Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat selayaknya juga perjanjian tukar-menukar hanya berlaku diantara para pihak yang membuatnya. Ini berarti bahwa setiap perjanjian, hanya membawa akibat berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata bagi para pihak yang terlibat atau yang membuat perjanjian tersebut. Jadi apa yang menjadi kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh pihak yang satu hanya merupakan dan hanya menjadi kewajibannya sema-mata. Dalam hal terdapat seorang pihak ketiga yang kemudian melaksanakan kewajibannya, maka ini tidak berarti ia dilepaskan atau dibebaskan dari kewajibannya tersebut.

Demikian jelaslah bahwa prestasi yang dibebankan oleh KUH Perdata bersifat personal dan tidak dapat dialihkan dengan begitu saja. Semua perjanjian yang dibuat dengan sah (yaitu yang memenuhi keempat persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata) akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi perjanjian tersebut akan mengikat dan melahirkan perikatan bagi para pihak dalam perjanjian.

(47)

36

“Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.

(48)

37

BAB III

TINJAUAN JURIDIS TENTANG TANAH

DAN HAK MILIK ATAS TANAH

A.Tinjauan Umum Terhadap Tanah

1. Pengertian tanah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Pengertian tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut:

Atas dasar hak menguasai negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah , yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

Dengan demikian , yang dimaksud istilah tanah dalam pasal di atas adalah permukaan bumi.35

34

Permukaan bumi memberikan suatu interpretasi autentik tentang apa yang diartikan oleh pembuat UUPA dengan istilah “tanah”, lihat Sudargo Gautama, Op cit, hal. 94.

(49)

38

yang disebut asas accessie atau asas “perlekatan”.Makna asas perlekatan, yakni bahwa bangunan-bangunan dan benda-benda / tanaman yang terdapat diatasnya merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian, yang termasuk pengertian hak atas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dangan pihak lain (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 500 dan 517).

Sedangkan A.A. Oka Mahendra dalam makalahnya yang disampaikan pada simposium Bidang Pertanahan yang diselenggarakan oleh DPR Golkar di Jakarta pada tanggal 11-14 September 1990 menyatakan bahwa :

“Tanah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat bahkan kehormatan. Karena itulah tanah bukan saja dilihat dalam hubungan ekonomis sebagai salah satu faktor produksi, tetapi lebih dari itu tanah mempunyai hubungan emosional dengan masyarakat. Tanah merupakan sesuatu yang sangat berharga dan bernilai dalam kehidupan masyarakat.36

36

A.A. Oka Mahendra,Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat yang Berkeadilan Sosial Dalam Kebijaksanaan Pembangunan Pertanahan, disampaikan pada Simposium Bidang Pertanahan, DPP Golkar11-14 September 1990, hal. 3

2. Jenis-jenis hak atas tanah dalam UU No.5 Tahun 1960

(50)

Atas dasar ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak atas tanah diberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan , demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Hak-hak atas tanah termuat di dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yang bebunyi:”Hak –hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ialah:

a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai,

e. hak sewa,

f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53”.37

Hak Milik

Pengertian hak milik dalam UUPA diatur dalam Pasal 20 yang berbunyi: “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.

Hak milik adalah hak turun-temurun, artinya hak itu dapat diwariskan berturut-turut tanpa perlu diturunkan derajatnya ataupun hak itu menjadi tiada atau memohon haknya kembali ketika terjadi perpindahan tangan.

37

(51)

40

Hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak “muthlak”, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak.

Kata-kata terkuat dan terpenuh itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lain, yaitu untuk menunjukan, bahwa diantara hak-hak atas tanah yang yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang “ter” (artinya paling) kuat dan terpenuh.

Oleh karena di dalam UUPA semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6 UUPA), hal ini berbeda dengan pengertian hak eigendom yang dirumuskan dalam Pasal 571 KUH Perdata, disebutkan bahwa hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kemilikan atas segala apa yang ada diatasnya dan di dalam tanah.

Di atas tanah bolehlah pemilik mengusahakan segala tanaman dan mendirikan setiap bangunan yang disukai.

Hak Guna Usaha (HGU)

(52)

Berlainan dengan hak milik, tujuan penggunaan tanah yang dipunyai dengan hak guna usaha terbatas, yaitu pada usaha pertanin, perikanan dan peternakan. Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28-34 UUPA.

Ketentuan Terhadap Hak Guna Usaha adalah sebagai berikut:

a. HGU hanya dapat diberikan guna keperluan usaha pertanian, perikanan, dan peternakan.

b. HGU jangka waktunya terbatas, pada suatu waktu pasti berakhir. HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun.

c. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu HGU dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 25 tahun.

d. Diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus mempergunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik.

e. HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, sepanjang jangka waktu berlakunya HGU belum berakhir.

(53)

42

g. HGU tergolong hak atas tanah yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap penggunaan pihak lain. Oleh karena itu maka, HGU termasuk salah satu hak yang wajib didaftarkan.

h. HGU dapat juga dilepaskan oleh yang empunya, hingga tanahnya menjadi tanah negara.

Sesuai dengan ketentuan UUPA, yang dapat menjadi Pemegang Hak Guna Usaha adalah:

a. Warga Negara Republik Indonesia.

b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 31 UUPA)

Hak Guna Usaha terjadi karena penetapan pemerintah, sesuai dengan Pasal 31 UUPA.

Hak Guna Bangunan (HGB)

(54)

Ketentuan Mengenai Hak Guna Bangunan, yaitu:

a. HGB jangka waktuya terbatas, artinya pada suatu waktu pasti berakhir. HGB diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, HGB dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.

b. HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain sepanjang jangka waktu berlakunya HGB tersebut belum habis.

c. HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sepanjang jangka waktu berlakunya HGB tersebut belum habis.

d. HGB tergolong hak yang kuat, artinya tidak mudah dihapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu, HGB termasuk salah satu hak yang wajib didaftarkan.

e. HGB dapat juga dilepaskan oleh yang empunya hingga tanahnya menjadi tanah negara.

Terjadinya HGB terbagi 2 sesuai dengan siapa yang memberikan HGB tersebut yaitu:

a. Di atas tanah negara: terjadi karena Penetapan Pemerintah.

(55)

44

Yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan adalah: a. Warga Negara Republik Indonesia.

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Hak Pakai

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. Hak pakai merupakan hak atas tanah baik untuk tanah bangunan maupun tanah pertanian. Hak pakai dapat diberikan oleh Pemerintah tetapi dapat pula diberikan oleh pemilik tanah. Hak pakai diatur dalam Pasal 41-43 UUPA.

Ketentuan Mengenai Hak Pakai, yaitu:

a. Hak Pakai diberikan atas tanah yang dikuasai oleh negara maupun tanah milik seseorang atau badan hukum.

b. Hak Pakai atas tanah negara diberikan sesuai dengan keputusan pejabat yang berwenang maupun sesuai perjanjian antara pemilik tanah dengan pihak yang akan mendapat Hak Pakai.

(56)

d. Hak Pakai diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.

e. Hak Pakai dapat diberikan secara cuma-cuma, dengan pembayaran, atau pemberian jasa apa pun.

f. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

Mengenai terjadinya hak pakai terbagi menjadi 2 sesuai dengan siapa yang memberikan Hak Pakai tersebut, yaitu:

a. Di atas tanah negara: terjadi sesuai dengan keputusan pejabat yang berwenang untuk memberikan Hak Pakai atas tanah negara.

b. Di atas tanah milik orang lain: terjadi karena perjanjian yang bersifat autentik, yang bermaksud menimbulkan Hak Pakai, antara pemilik tanah dan orang yang akan memperoleh Hak Pakai itu

Sesuai ketentuan UUPA maka yang dapat menjadi Pemegang Hak Pakai adalah:

a. Warga Negara Indonesia,

b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia,

c. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, atau

d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Hak Sewa

(57)

46

keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

Prof. Dr. A. P Parlindungan, SH menyebutkan bahwa:

“Persewaan ini adalah bersifat perseorangan artinya menyewa dari seseorang yang telah mempunyai sesuatu hak atas tanah, sehingga tidak dimungkinkan persewaan tanah yang dikuasai oleh negara, oleh karena negara bukan pemilik tanah”.38

Pengertian hak milik dapat pula diartikan hak yang dapat diwariskan secara turun-temurun secara terus-menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi perpindahan hak. Hak milik diartikan hak yang terkuat Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan

Menurut Penjelasan Pasal 46 UUPA hak membuka tanah dan memungut hasil hutan adalah hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah, hak-hak ini perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas dari pada kepentingan orang atau masyarakat hukum yang bersangkutan.

Selain hak-hak yang telah disebutkan di atas, masih terdapat lagi hak-hak lain yang disebutkan oleh UUPA yaitu seperti hak guna air, hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, kemudian hak-hak lain yang bersifat sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.

B. Tinjauan Umum Terhadap Hak Milik 1. Pengertian hak milik

38

(58)

diantara sekian hak-hak yang ada. Dalam Pasal 570 KUH Perdata, hak milik ini dirumuskan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu, dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak demi kepentingan umum berdasar atas undang-undang dan pembayaran ganti rugi.

Dalam Undang-undang Pokok Agraria, pengertian akan hak milik seperti yang dirumuskan di dalam Pasal 20 UUPA ayat (1): ”hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah”.

Hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh, di dalam penjelasan pasal demi pasal bahwa dalam Pasal 20 UUPA disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya.

Menurut A.P. Parlindungan, kata-kata terkuat dan terpenuh itu dimaksudkan untuk membedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan lain-lainnya, yaitu untukmenunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang “ter”(paling kuat dan penuh).39

Hak milik adalah suatu hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh seseorang atas tanah dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hak milik merupakan hak paling sempurna

2. Sifat dan ciri hak milik

39

(59)

48

diantara hak-hak atas tanah lainnya. Pengertian sebagai hak turun-temurun adalah bahwa hak milik tidak hanya berlangsung selama hidup orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia. Pengertian terkuat berkaitan dengan 2 hal, yaitu:(a) jangka waktu hak milik tidak terbatas:dan (b) hak milik juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan kepada orang yang mempunyai hak milik atas tanah diberi “tanda bukti hak”, yang berarti mudah dipertahankan secara muthlak terhadap pihak lain. Istilah terpenuh dan terkuat tidak berarti tidak terbatas, tetapi dibatasi oleh kepentingan masyarakat dan orang lain. Di luar batas-batas itu, seorang pemilik mempunyai wewenang yang paling luas, ia paling bebas dalam mempergunakan tanahnya dibandingkan dengan pemegang hak-hak yang lain.

Ciri khas ketiga dari hak milik adalah terpenuh. Terpenuh memiliki beberapa maksud, antara lain:

a. Hak milik itu memberikan wewenang kepada yang empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan hak yang lain.

b. Hak milik bisa merupakan induk dari hak-hak lainnya. Artinya seorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang kuat daripada hak milik:menyewakan, membagihasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai.

Referensi

Dokumen terkait