• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN JURIDIS TENTANG TANAH DAN HAK MILIK ATAS

B. Tinjauan Umum Terhadap Hak Milik

4. Hapusnya hak milik

Ketentuan yang mengatur mengenai hapusnya hak milik ini dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 27 UUPA.

Hak milik hapus apabila:

a. tanahnya jatuh kepada negara,

1. karena pencabutah hak berdasarkan Pasal 18;

2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; 3. karena diterlantarkan;

4. karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2). b. tanahnya musnah.

1.Hapusnya hak milik karena pencabutan hak

Alasan pertama hapusnya hak milik adalah karena adanya pencabutan hak, menurut ketentuan Pasal 18 UUPA, yang menyatakan sebagai berikut:

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut tata cara yang diatur dengan undang-undang.

Ketentuan Pasal 18 UUPA ini selanjutnya dilaksanakan dengan Undang- Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda- benda yang ada diatasnya. Dalam rumsan Pasal 1 Undang-undang No. 20 Tahun 1961 dikatakan bahwa:

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka

54

Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Meteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.

Selanjutnya dalam rumusan Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 dikatakan lebih lanjut bahwa :

(1) Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda tersebut pada Pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.

(2) Permintaan tersebut pada ayat (1) pasal ini oleh yang berkepentingan disertai dengan:

i. rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak.

ii. keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas, dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan.

iii. rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan.

Dengan demikian jelaslah bahwa pencabutan hak atas tanah harus didasarkan pada suatu rencana peruntukan dan penampungan pihak-pihak yang dicabut haknya tersebut.

2. Hapusnya Hak Milik karena Penyerahan Sukarela

Budi Harsono menunjukkan bahwa, hapusnya hak milik karena penyerahan sukarela ini berhubungan Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelasanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.43

(1) Ketentuan tentang pengadaan tanah dalam Keputusan Presiden ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Dari judul yang diberikan pada Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum tersebut dapat dilihat bahwa pada prisipnya ketentuan ini, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentigan Umum tersebut, yang menyatakan bahwa:

(2) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

(3) Pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara jual-

43

Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Jambatan, Jakarta, 2000, hal. 133

56

beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden ini dibatasi untuk:

1. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut:

a. Jalan umum, saluran pembuangan air;

b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi;

c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; d. Pelabuhan atau Bandar udara atau terminal;

e. peribadatan;

f. Pendidikan atau sekolahan; g. Pasar Umum atau Pasar INPRES; h. Fasilitas pemakaman umum;

i. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;

j. Pos dan Telekomunikasi; k. Sarana olahraga;

l. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya; m. Kantor Pemerintah;

3. Hapusnya Hak Milik karena Diterlantarkan

Pengaturan mengenai tanah yang terlantar dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar tersebut mengatur mengenai kriteria tanah terlantar, yang di dalam meliputi Tanah Hak Milik, dengan rumusan sebagai berikut:

Pasal 3, berbunyi :

Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.

Pasal 4, berbunyi :

Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan tanah yang terlantar adalah:

1. tanah yang tidak dimanfaatkan dan/atau dipelihara dengan baik;

2. tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari pemberian haknya tersebut.

Selanjutnya atas bidang tanah yang dinyatakan terlantar tersebut, ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban

58

dan Pendayagunaan Tanah Terlantar memberikan sanksi berupa tindakan yang dapat diambil terhadap tanah terlantar tersebut.

1. Ganti rugi dibebankan pada pihak yang oleh Menteri ditetapkan sebagai pemegang hak yang baru atas tanah tersebut.

2. Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah terlantar menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

3. Kepada bekas pemegang hak atau pihak yang sudah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang kemudian dinyatakan sebagai tanah terlantar diberikan ganti rugi sebesar harga perolehan yang berdasarkan bukti- bukti tertulis yang ada telah dibayar oleh yang bersangkutan untuk memperoleh hak atau dasar penguasaan atas tanah tersebut yang jumlahnya ditetapkan oleh Menteri.

4. Dalam hal pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tersebut telah mengeluarkan biaya untuk membuat prasarana fisik atau bangunan di atas tanah yang dinyatakan terlantar, maka jumlah yang telah dikeluarkan tersebut diperhatikan dalam penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam penetapan ganti rugi.

4. Hapusnya Hak Milik karena Dikuasai atau Dialihkan kepada Subjek Hukum yang Tidak Berhak Memangku Kedudukan Hak Milik Atas Tanah

Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria menentukan bahwa:

Pasal 21, berbunyi :

(3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak- hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.44

(2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Pasal 26, berbunyi :

45

Ketentuan tersebut pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari rumusan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia tunggal saja yang dapat memperoleh Hak Milik Atas Tanah.

5. Hapusnya Hak Milik karena Kemusnahan Tanahnya

Jika kita kembali kepada pengertian dasar hak-hak atas tanah, dan khususnya Hak Milik Atas Tanah bersuber pada keberadaan atau eksistensi dari suatu bidang tanah tertentu. Dengan musnahnya bidang tanah yang menjadi dasar

44

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Op cit, hal. 522

45

60

pemberian hak atas tanah oleh negara, maka demi hukum hak atas tanah tersebut, termasuk Hak Milik Atas Tanah menjadi hapus.

61 BAB IV

PERJANJIAN TUKAR-MENUKAR (BARTER) TANAH HAK MILIK ANTARA HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN (HKBP)

TEMBILAHAN DENGAN H. EDDI MAHMUDDIN BETA

A. Bentuk dan Isi Perjanjian Tukar-menukar (Barter) Tanah antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tembilahan dengan H. Eddi Mahmuddin Beta

Sebagaimana bentuk dan isi perjanjian yang lahir karena kesepakatan pada umumnya, bentuk dan isi perjanjian tukar-menukar tanah antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tembilahan dengan H. Eddi Mahmuddin Beta ditentukan oleh kesepakatan kedua belah pihak

H. Eddi Mahmuddin Beta sebagai pihak pertama dan T. Lumban Tobing (Bertindak atas nama HKBP Tembilahan) sebagai pihak kedua telah bersepakat untuk menukarkan tanah hak milik mereka masing-masing, dimana kesepakatan itu mereka tuangkan dalam bentuk perjanjian yang isinya mereka sepakati secara bersama-sama. Dengan demikian jelaslah maksud dan tujuan kedua belah pihak yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tembilahan dengan H. Eddi Mahmuddin Beta adalah untuk mengikatkan diri untuk saling memberikan tanah milik mereka secara bertimbal balik. Bentuk perjanjian yang semacam ini disebut perjanjian tukar-menukar.

62

Adapun isi perjanjian tukar-menukar(barter) tanah antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tembilahan dengan H. Eddi Mahmuddin Beta tertanggal 19 Desember 2003 adalah sebagai berikut :

Identitas para pihak dalam perjanjian tukar-menukar (barter) tanah tertanggal 19 Desember 2003, yaitu :

I. H. EDDI MAHMUDDIN BETA, alamat Jl. Sawarna Bumi Tembilahan, Pekerjaan Wiraswasta, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA (I)

II . T. LUMBAN TOBING (Bertindak atas nama HKBP Tembilahan), alamat Jl. H. Sadri Tembilahan, Pekerjaan Wiraswasta/ Pensiunan Polri, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA (II)

III. Tanah Yang Akan Ditukar (Barter) Sebagai Berikut: a. Dari Pihak Pertama :

Sebidang tanah dengan Lebar ±32 Meter Panjang 100 Meter (Disesuaikan Surat Agraria) Terletak di Jl. Telaga Biru (Prt. 10 Tembilahan)

b. Dari Pihak Kedua :

Sebidang tanah dengan Lebar ±32 Meter Panjang 100 Meter (Disesuaikan Surat Agraria) Terletak di Jl. Telaga Biru (Prt. 10 Tembilahan)

IV. Bunyi Perjanjian Sebagai Berikut :

A. Kedua belah pihak menyetujui tukar-menukar (Barter) tanah tersebut dan menerima luasan masing-masing seperti di atas, dimana Pihak Pertama akan mendapatkan dari Pihak Kedua sebidang tanah dengan Lebar ±32 Meter Panjang 100 Meter (Disesuaikan Surat Agraria) Terletak di Jl. Telaga Biru (Prt. 10 Tembilahan). Sedangkan Pihak Kedua akan

mendapatkan ganti tanahnya dari Pihak Pertama berupa Sebidang tanah dengan Lebar ±32 Meter Panjang 100 Meter (Disesuaikan Surat Agraria) Terletak di Jl. Telaga Biru (Prt. 10 Tembilahan)

B. Kewajiban Pihak Pertama:

1. Menyetujui dan menandatangani beserta kelompok masyarakat Jl. Harapan Ujung bahwa tanah dari Pihak Pertama akan dijadikan oleh Pihak Kedua Tempat Pekuburan dan Rumah Ibadah HKBP serta keperluan lain.

2. Menyetujui dan menandatangani segala keperluan surat untuk poin B.1 seperti kepada RT, RW, Lurah, Camat atau pejabat yang lebih tinggi. 3. Bertanggung jawab akan pemindahan kerangka dari Parit 10 ke Parit 8

dibantu oleh Pihak Kedua seperti masalah administrasi.

4. Memberikan tanah di Parit 8 kepada Pihak Kedua dalam bentuk Surat Agraria (BPN).

5. Membuat jalan sampai dengan lokasi Parit 8 (melalui Jalan Harapan Ujung) sehingga bisa dilalui keperluan pemindahan kuburan dan transport lainnya.

6. Membuat jembatan kayu 2 unit pada anak sungai / parit pada Jalan Harapan Ujung trsebut.

7. Membuat jembatan beton pada sungai / Parit 8 sehingga sampai kelokasi.

64

8. Sesuai permintaan masyarakat Parit 8 / Jalan Harapan Ujung supaya dibuat jalan tanah selebar 3 meter, searah Parit 8 terletak 50 meter dari sungai panjang 64 meter menuju pekuburan Muslim milik mereka. 9. Membuat jalan tanah lebar 3 meter searah jalan Telaga Biru panjang

±300 meter pada batas tanah sebelah barat. C. Kewajiban Pihak Kedua:

1. Memberikan tanah panjang 100 Meter dan Lebar 32 Meter di Jalan Telaga Biru Tembilahan Kepada Pihak Pertama dalam bentuk surat Agraria (BPN).

2. Membantu proses pemindahan Kerangka dari Parit 10 Ke Parit 8 seperti izin Pemerintah, administratif nama kerangka dan lain-lain. D. Tambahan yang perlu diperhatikan kedua pihak

1. Bahwa tanah HKBP (Pihak kedua) di Parit 10 saat ini statusnya masih tanah kuburan, untuk itu perlu diajukan izin pemindahan tanah HKBP hasil barter di Parit 8, dan setelah disetujui barulah pemindahan kerangka sekaligus status tanah berubah menjadi tanah biasa. Seterusnya akan diurus suratnya sampai surat Agraria (BPN) kemudian dipecah lalu seratus meter akan diberikan kepada Pihak Pertama.

2. Dalam semua proses diatas kedua pihak harus sama-sama ikut bertanggungjawab dalam pelaksanaannya sehingga lancer.

E. Bila proses di atas tidak dapat berjalan maka perjanjian tukar-menukar (Barter) tidak dapat dilaksanakan (Batal).

B. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Tembilahan No: 06/Pdt.G/2006/ PN. TBH

Kasus perjanjian tukar-menukar (barter) tanah hak milik diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tembilahan dalam perkara Tuan St. M. Panggabean, Tuan St. B. Nababan, Tuan St. R. Simatupang, Tuan St. J. Gultom, Tuan St. Marantu Pakpahan, Tuan St. Arusdin Sidauruk, NY. St. M. Samosir, Tuan St. Jhan Godfried v. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pusat, di Tarutung, Tapanuli Utara- Sumatera Utara, Cq. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Tembilahan Alamat Jalan Gajah Mada No. 16 Tembilahan, T. Lumban Tobing, H. Edy Mahmuddin Beta alias H. Eddi Mahmuddin Beta, Pdt. Ribbon Pangaribuan, Pemerintah R.I, Cq. Menteri Dalam Negeri R.I, Cq. Gubernur Kepala Daerah Propinsi Riau, Cq. Bupati Indragiri Hilir, Cq. Camat Tembilahan Hulu, Alamat Jalan Propinsi No. 2 Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Pemerintah R.I. Cq. Kepala Badan Pertanahan Nasional, Cq. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Riau, Cq. Kepala Kantor/Dinas Pertanahan Nasional Kabupaten Indragiri Hilir, Alamat Jalan Kembang Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir pada tanggal 7 September 2006 dengan Register Perkara Nomor :06/Pdt.G/2006/PN. TEMBILAHAN.

Duduk perkaranya dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :

Penggugat I, II, III, IV, V, VI, VII, dan VIII kesemuanya adalah Warga / Anggota dan/atau Pengurus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Tembilahan. Sedangkan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah

66

persekutuan orang Kristen dari segala suku dan golongan bangsa Indonesia dan segala bangsa di seluruh dunia yang dibaptis ke dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus (Pasal 2 ayat (2) aturan HKBP Tahun 2002) antara lain berfungsi sebagai Lembaga / Badan Sosial dan keagamaan yang mempunyai harta kekayaan yang diperoleh dari warga / anggota dan dipergunakan untuk kepentingan warga / anggota secara keseluruhan, oleh karena itu harta kekayaan milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Tembilahan pada hakekatnya adalah harta kekayaan milik warga / anggota secara bersama-sama (kolektif) yang dipergunakan untuk kepentingan warga / anggota secara keseluruhan. Oleh karena itu para Penggugat merasa mempunyai hubungan hukum dan mempunyai kepentingan hukum terhadap harta kekayaan milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Tembilahan tersebut

Salah satu harta kekayaan milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Tembilahan adalah sebidang tanah semula berukuran Lebar 176 (seratus tujuh puluh enam) meter dan Panjang 48 (empat puluh delapan) meter, dahulu terletak di Parit 10, kenegerian Tembilahan, Kecamatan Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, dengan batas-batas:

Sebelah Utara dengan Tembok/Jalan; Sebelah Selatan dengan tanah Nazaruddin; Sebelah Barat dengan tanah Krisman Silalahi; Sebelah Timur dengan Parit 10

Sekarang tanah tersebut di parit 10, Jalan Telaga Biru, RT. 03, RW. 11, Kelurahan Tembilahan Hulu, Kecamatan Tembilahan Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, dengan batas-batas:

Sebelah Utara dengan Jalan Telaga Biru;

Selatan dengan tanah H. Ramli / D. Tampubolon; Sebelah Barat dengan tanah Krisman Silalahi; Sebelah Timur dengan Parit No. 10.

Tanah milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Tembilahan tersebut berasal dari pemberian / hibah dari Krisman Silalahi (sudah meninggal dunia), berdasarkan Surat Pernyataan Hibah tertanggal 10 Desember 1975 yang diterima oleh Maringan Nainggolan mewakili Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Tembilahan dan Krisman Silalahi memperoleh tanah tersebut dari Ramli KH berdasarkan Surat pengakuan Jual Beli tanggal TUJUH BELAS bulan SEPTEMBER 1900 TUJUH PULUH LIMA dan sejak saat itu dengan izin Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir tanah tersebut dipergunakn sebagai tempat kuburan / makam umat Kristiani sehingga tanah tersebut dikenal dengan tanah kuburan Kristen.

Oleh karena pada saat ini lokasi tanah tersebut tidak cocok lagi sebagai tempat kuburan karena sudah semakin ramainya warga Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Tembilahan, lokasi tanah sudah berada dalam lingkungan pemukiman penduduk dan adanya pembangunan jalan di atas tanah tersebut serta pelebaran Jl. Telaga Biru sehingga panjangnya berkurang menjadi 32 (tiga puluh dua) meter dan lebarnya tetap 176 (seratus tujuh pulu enam) meter,

68

untuk merelokasi kuburan telah disepakati dilakukan Tukar-menukar (Barter) tanah antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Tembilahan yang diwakili oleh T. Lumban Tobing dengan H.Eddi Mahmuddin Beta yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Tukar-menukar (Barter) Tanah tertanggal 19 Desember 2003. Perjanjian tukar-menukar (barter) tanah ini memuat syarat-syarat, hak dan kewajiban antara kedua pihak, yakni :

Pihak H. Eddi Mahmuddin Beta akan menyerahkan sebidang tanah dengan Lebar ±32 Meter Panjang 100 Meter (Disesuaikan Surat Agraria) Terletak di Jl. Telaga Biru (Prt. 10 Tembilahan) kepada Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tembilahan. Sedangkan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tembilahan akan menyerahkan kepada H. Eddi Mahmuddin Beta sebidang tanah dengan Lebar

±32 Meter Panjang 100 Meter (Disesuaikan Surat Agraria) yang terletak di Jl. Telaga Biru (Prt. 10 Tembilahan).

Bunyi perjanjiannya sebagai berikut :

A. Kedua belah pihak menyetujui tukar-menukar (Barter) tanah tersebut dan menerima luasan masing-masing seperti di atas

B. Kewajiban Pihak Pertama:

1. Menyetujui dan menandatangani beserta kelompok masyarakat Jl. Harapan Ujung bahwa tanah dari Pihak Pertama akan dijadikan oleh Pihak Kedua Tempat Pekuburan dan Rumah Ibadah HKBP serta keperluan lain.

2. Menyetujui dan menandatangani segala keperluan surat untuk poin B.1 seperti kepada RT, RW, Lurah, Camat atau pejabat yang lebih tinggi.

3. Bertanggung jawab akan pemindahan kerangka dari Parit 10 ke Parit 8 dibantu oleh Pihak Kedua seperti masalah administrasi.

4. Memberikan tanah di Parit 8 kepada Pihak Kedua dalam bentuk Surat Agraria (BPN).

5. Membuat jalan sampai dengan lokasi Parit 8 (melalui Jalan Harapan Ujung) sehingga bisa dilalui keperluan pemindahan kuburan dan transport lainnya.

6. Membuat jembatan kayu 2 unit pada anak sungai / parit pada Jalan Harapan Ujung trsebut.

7. Membuat jembatan beton pada sungai / Parit 8 sehingga sampai kelokasi.

8. Sesuai permintaan masyarakat Parit 8 / Jalan Harapan Ujung supaya dibuat jalan tanah selebar 3 meter, searah Parit 8 terletak 50 meter dari sungai panjang 64 meter menuju pekuburan Muslim milik mereka. 9. Membuat jalan tanah lebar 3 meter searah jalan Telaga Biru panjang

±300 meter pada batas tanah sebelah barat. C. Kewajiban Pihak Kedua:

1. Memberikan tanah panjang 100 Meter dan Lebar 32 Meter di Jalan Telaga Biru Tembilahan Kepada Pihak Pertama dalam bentuk surat Agraria (BPN).

2. Membantu proses pemindahan Kerangka dari Parit 10 Ke Parit 8 seperti izin Pemerintah, administratif nama kerangka dan lain-lain.

70

D. Tambahan yang perlu diperhatikan kedua pihak

1. Bahwa tanah HKBP (Pihak kedua) di Parit 10 saat ini statusnya masih tanah kuburan, untuk itu perlu diajukan izin pemindahan tanah HKBP hasil barter di Parit 8, dan setelah disetujui barulah pemindahan kerangka sekaligus status tanah berubah menjadi tanah biasa. Seterusnya akan diurus suratnya sampai surat Agraria (BPN) kemudian dipecah lalu seratus meter akan diberikan kepada Pihak Pertama.

2. Dalam semua proses diatas kedua pihak harus sama-sama ikut bertanggungjawab dalam pelaksanaannya sehingga lancer.

E. Bila proses di atas tidak dapat berjalan maka perjanjian tukar-menukar (Barter) tidak dapat dilaksanakan (Batal).

Perjanjian Tukar-menukar (Barter) Tanah antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tembilahan yang diwakili T. Luban Tobing dengan H. Eddi Mahmuddin Beta pada tanggal 19 Desember 2003 merupakan tindak lanjut atas rencana pembangunan Gereja HKBP Tembilahan dimana pada awalnya dibentuk Panitia Pembangunan Gereja HKBP Tembilahan berdasarkan Keputusan Rapat Anggota Jemaat HKBP Tembilahan tentang Rencana Pembangunan Gereja HKBP di Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, tanggal 22 September 1998 dan kemudian susunan kepanitiaan diganti dengan Panitia Pembangunan Gereja HKBP Tembilahan Resort Tembilahan Periode 2003-2007 berdasarkan Surat Keputusan HKBP Tembilahan Nomor:01/05/SK/PEMB/HKBP-TBH/2003 tanggal 11 Mei 2003 yang kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian Tukar- menukar (Barter) Tanah tersebut.

Penggugat menganggap semua syarat-syarat, hak dan kewajiban kedua belah pihak sebagaimana tertuang dalam Surat Perjanjian Tukar-menukar (Barter) Tanah tertanggal 19 Desember 2003 tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, dimana sebelum syarat-syarat, hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam Surat Perjanjian Tukar-menukar (Barter) tanah tanggal 19 Desember 2003 dilaksanakan sebagaimana mestinya, Pdt. Ribbon Pangaribuan baik selaku diri sendiri maupun Ketua Panitia Pembangunan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Tembilahan telah menyerahkan tanah milik HKBP objek tukar- menukar (tanah objek sengketa) kepada H. Eddi Mahmuddin Beta berdasarkan Surat Keterangan yang dibuat oleh Pdt. Ribbon Pangaribuan Nomor:05/ D.22/ R.23/ H I/ 04/ 2005 tanggal 29 April 2005. Sebahagian tanah milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Tembilahan yaitu berukuran lebar 100 (seratus) meter dan panjang 32 (tiga puluh dua) meter diperjualbelikan oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Tembilahan melalui Pdt. Ribbon Pangaribuan yang bertindak untuk dan atas nama HKBP Tembilahan sebagai penjual kepada

Dokumen terkait