• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penangguhan Eksekusi (Stay) Benda Agunan Dalam Kepailitan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penangguhan Eksekusi (Stay) Benda Agunan Dalam Kepailitan"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGGUHAN EKSEKUSI (STAY) BENDA

AGUNAN DALAM KEPAILITAN

TESIS

Oleh:

FREDDY SIMANJUNTAK

067005010

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

NASKAH PUBLIKASI

PENANGGUHAN EKSEKUSI (STAY) BENDA

AGUNAN DALAM KEPAILITAN

TESIS

Oleh:

FREDDY SIMANJUNTAK

067005010

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

ABSTRAK

Pasal 55 ayat 1 Undang-undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa setiap kreditur separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, namun dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa hak eksekusi kreditur tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit. Kedua ketentuan pasal ini tidak taat asas (inkonsisten). Dua ketentuan dalam Undang-undang Kepailitan tersebut telah mengaburkan konsep dan tujuan dari hukum jaminan. Di satu pihak mengakui hak dari kreditur separatis tetapi di pihak lain justru mengingkari hak separatis tersebut, yaitu dengan tidak menempatkan benda-benda debitur pailit yang dibebani hak jaminan sebagai benda-benda di luar harta pailit.

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yuridis, yaitu penelitian hukum yang bertujuan untuk meneliti tentang sinkronisasi dan perbandingan ketentuan hukum. Dalam penelitian ini digunakan data primer dan sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dengan melakukan analisis terhadap penangguhan eksekusi terhadap benda agunan dalam kepailitan. Adapun pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana eksekusi benda agunan oleh kreditur separatis berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, apakah penangguhan eksekusi (stay) benda agunan yang dianut oleh Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan telah sejalan dengan konsep dan tujuan dari hukum jaminan, bagaimana upaya perlawanan atas penangguhan eksekusi (stay) benda agunan.

(4)

tersebut dikarenakan kurang efektifnya ketentuan mengenai upaya perlawanan yang diberikan oleh Undang-undang Kepailitan.

(5)

ABSTRACT

In Bankruptcy Law 37/2004 Article 55 paragraph (1) expresses stated that each secured creditor may execute its right as if there is no bankruptcy, however in article 56 paragraph (1) stated that execution right of the creditor postponed for the period at the latest ninety days as of date of awarding of decision of bankruptcy’s declaration. These two rules inconsistence and they made the objective and concept of security law blurred. In one side, it is confess the secured creditor’s right but in other side it is break the secured creditor right and it isn’t place the debtor’s properties that burdened by the security’s right as outer part of bankrupt’s property.

This study is a normative which tends to find the synchronization and comparison of legal provisions. This study used primary and secondary data. This analytical descriptive study describes and analyzes the stay of guarantee object in bankruptcy. The subject matters of this thesis are how is the execution of guarantee object by secured creditors based on the Bankruptcy Law 37/2004, whether the stay of guarantee object in Bankruptcy Law 37/2004 in line with the objective and concept of security law or not, and how is the opposition effort of the stay of guarantee object. Based on the research that was conducted, the debtor’s bankrupt declaration is important to the creditors that related to the bankrupt declaration, especially to the secured creditors. They may enforce their security rights in ram without requiring the court assistance for the purpose of enforcing its security. The creditor’s right to enforce its security rights subject to a stay for ninety days after the debtor declared bankrupt. The creditor or the third party whose the right was stay, may propose the application to the curator for put the execution or change the requirements of the execution and if the curator denied the application, so that the creditor or the third party can propose the application to superintendent judge.

The objective in bankruptcy not in line with the objective and concept of security law yet. That is because of the stay which obtained in bankruptcy against the rules in security law, especially for the bankrupt’s property and the position of secured creditor, that should can enforce their security rights in ram without requiring the court assistance for the purpose of enforcing its security. And for the debtor’s property that burdened by the security right is property that separate from the bankrupt’s property. There is no the creditor’s opposition effort to the stay of the guarantee object yet that held by the curator or the superintendent judge. That is because of the less of effectiveness the rules of opposition effort in bankruptcy law.

(6)

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang paling utama saya ucapkan puji syukur ke hadirat Allah

SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat serta

karunia-Nya sehingga segala proses menjadi mudah dan tesis ini dapat saya selesaikan.

Saya menyadari bahwa dalam penyelesaian tesis ini tidak luput dari bantuan

dari berbagai pihak, baik itu yang bersifat bantuan materil maupun bantuan moril.

Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih yang terdalam kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara , Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,

Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister;

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T.

Chairun Nisa B, MSc, atas kesempatan bagi saya menjadi mahasiswa Program

Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, atas segala pelayanan,

pengarahan serta masukan yang diberikan kepada saya selama menuntut ilmu

pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara;

4. Terima kasih yang sedalm-dalamnya dan penghargaan yang

setinggi-tingginya saya ucapkan kepada Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku

(7)

Siregar, SH,M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh

perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide yang terbaik

serta kritik dan saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik

dalam penulisan tesis ini.

5. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum dan Syafruddin S. Hasibuan, SH,

MH selaku penguji tesis penulis.

6. Seluruh Dosen penulis pada Program Pascasarjana USU yang telah banyak

memberikan ilmu serta motivasi dalam setiap perkuliahan.

7. Orang tua tercinta, Ayahanda Katio Simanjuntak, Ibunda Siti Murni Siagian

yang telah mencurahkan semua kasih sayang kepada ananda serta tidak

pernah henti memberikan dukungan baik itu materil maupun moril, serta

do’anya yang terus terucap demi kesuksesan ananda.

8. Adik-adikku tercinta, Hendrik Iskandar Simanjuntak, Taufiq Ismail

Simanjuntak, A.Md, Asnika Putri Simanjuntak, Siti Maysarah Simanjuntak

yang selalu memberikan dorongan dan do’a agar penulis cepat menyelesaikan

studi, Abang bangga memiliki kalian.

9. Tulang Abdul Hakim Siagian, SH, M.Hum dan Nantulang Mainilini

Butar-butar beserta anak-anaknya.

10.Abang-abang dari Kantor Advokat A. Hakim Siagian & Partners : Bang

(8)

11.Khusus teruntuk Syuratty Astuti Rahayu Manalu, SH, S.Pd yang telah

mendukung dan membantu menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah membalas

kebaikanmu dengan berlipat ganda.

12.Rekan-rekan seperjuangan pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 2006.

13.Seluruh staf pegawai di Program Studi Ilmu Hukum SPS USU atas segala

bantuannya serta kemudahan yang kalian berikan.

Akhir kata Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah turut membantu dalam penyelesaian tesis ini. Semoga segala bantuan dan

bimbingan yang penulis terima, dibalas oleh Allah SWT dan penulis berharap semoga

tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi penulis dan pihak-pihak

yang memerlukan dan mengembangkannya.

Medan, Agustus 2008

Penulis

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Fredy

Tempat lahir : Alang Bombon

Tanggal lahir : 09 Juni 1983

Jenis kelamin : Pria

Agama : Islam

Status perkawinan : Belum kawin

Alamat : Jl. Tuar 11 No 22 Lk-11 Kelurahan Amplas Kecamatan

Medan Amplas Kota Medan

Telepon : 081361205380

Pendidikan : - SD Negeri Pulau Rakyat Tahun 1995

- SMP Negeri 1 Pulau Rakyat Tahun 1998

- SMU Negeri 1 Pulau Rakyat Tahun 2001

- Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2006

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Kerangka Konsepsi... 20

G. Metodologi Penelitian ... 53

1. Jenis dan Sifat Penelitian... 53

2. Sumber Data ... 53

3. Teknik Pengumpulan Data ... 54

4. Analisis Data ... 54

BAB II EKSEKUSI BENDA AGUNAN OLEH KREDITUR SEPARATIS A. Kreditur dalam Hukum Kepailitan... 57

(11)

a. Kreditur Konkuren ... 59

b. Kreditur Preferen ... 59

c. Kreditur Separatis ... 60

d. Kreditur Pemegang Hak Istimewa ... 63

2. Kedudukan Kreditur Separatis dalam Hukum Kepailitan ... 64

3. Akibat Kepailitan bagi Kreditur Separatis... 68

B. Benda Agunan dalam Hukum Kepailitan ... 69

C. Daya Eksekusi Putusan Pailit... 73

D. Eksekusi Benda Agunan oleh Kreditur Separatis ... 76

BAB III PENANGGUHAN EKSEKUSI (STAY) BENDA AGUNAN DALAM HUKUM KEPAILITAN A. Penangguhan Eksekusi (stay) Benda Agunan dalam Hukum Kepailitan... 83

1. Pengertian Stay ... 83

2. Tujuan Stay ... 83

3. Pelaksanaan Hak setelah Stay ... 85

B. Eksekusi Benda Agunan berdasarkan Hukum Jaminan... 85

1. Hukum Jaminan ... 85

a. Asas-asas Hukum Jaminan... 87

b. Sifat dan Bentuk Perjanjian Jaminan ... 88

2. Eksekusi pada Benda Agunan berdasarkan Hukum Jaminan ... 90

(12)

BAB IV UPAYA PERLAWANAN TERHADAP PENANGGUHAN EKSEKUSI

(STAY) BENDA AGUNAN

A. Upaya Hukum dalam Kepailitan... 101

1. Kasasi... 101

2. Peninjauan Kembali ... 105

B. Upaya Perlawanan terhadap Penangguhan Eksekusi Benda Agunan dan

Pelaksanaannya ... 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 112

B. Saran... 115

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal masalah kepailitan

dalam tata hukumnya. Di Indonesia misalnya, secara formal hukum kepailitan sudah

ada bahkan telah diatur secara khusus dengan diberlakukannya Faillissements

Verordening Stb. Tahun 1905 No. 217 Jo Stb. Tahun 1906 No. 348.

Lebih lanjut dengan semakin berkembangnya masalah kepailitan dan

perdagangan dalam masyarakat, maka dalam rangka pembangunan hukum nasional

berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,

pemerintah berpendapat perlu untuk menerbitkan undang-undang yang baru, yaitu

Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, untuk selanjutnya disebut dengan Undang-undang Kepailitan.

Urgensi dari hukum kepailitan di Indonesia terjadi setelah krisis ekonomi

melanda Indonesia pada tahun 1997. Salah satu dampak negatif dari krisis ekonomi

pada saat itu adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing

khususnya Dollar Amerika Serikat, yaitu dari nilai 2.372 rupiah menjadi 17.700

rupiah per dolar.F

1

1

Ginandjar Kartasasmita, Globalization and the Economic Crisis: the Indonesia Story, Harvard University, hal 3, 26 Oktober 2000 dalam Elyta Ras Ginting, Kedudukan Kreditur Separatis

(14)

Keadaan ekonomi semakin buruk karena hampir separuh dari jumlah utang

tersebut telah jatuh tempo pada tahun 1998 dan berdasarkan laporan dari Badan Pusat

Statistik (BPS), sekitar 23.000 perusahaan besar dan menengah yang ada telah pailit

secara tehnis serta merupakan keterpurukan perekonomian Indonesia akan dicatat

sebagai krisis ekonomi terburuk di Asia.F

2

Krisis ekonomi tidak hanya menyebabkan debitur mengalami kesulitan

likuiditas di bidang bisnis tapi secara praktis, debitur sudah berada dalam keadaan

pailit, karena upaya rescheduling tidak lagi bermanfaat ditempuh oleh kreditur untuk

menagih piutangnya.

Di sisi lain, keadaan debitur yang sudah pailit atau insolvent secara teknis ini

menimbulkan strategic jockeing, dimana para kreditur yang tidak beritikad baik

untuk keuntungan dirinya sendiri menggugat debitur ke pengadilan untuk membayar

utangnya atau memaksa debitur membayar utang dengan menggunakan jasa debt

collector.

Meskipun ada beberapa alternatif yang ditawarkan untuk penyelesaian utang

piutang antara debitur dan kreditur namun yang menjadi masalah adalah tidak adanya

niat yang sungguh-sungguh dari para debitur untuk melunasi utang-utangnya.F

3

F Dalam

hal ini hukum harus dapat menjadi alat untuk menciptakan keadilan dan kepastian

hukum bagi kreditur yang pada akhirnya hukum dapat mendorong pemulihan

ekonomi, dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas, prediktabilitas dan keadilan

2

Ibid.

3

(15)

dalam hukum Negara. Dalam rangka penegakan hukum kepailitan perlu dibuat

pendekatan dengan pengkajian hukum yang bertujuan mencapai jaminan dan

kepastian hukum bagi para pelaku bisnis.F

4

F Di samping itu, yang harus menjadi

perhatian dalam penegakan hukum adalah sarana yang dapat memperlancar

pertumbuhan sektor perekonomian.

Teori universalitas hukum kepailitan di seluruh dunia pada prinsipnya

menempatkan kreditur separatisF

5

F berada di luar kepailitan debiturnya. Hal ini

dikarenakan kreditur separatis adalah kreditur yang memegang jaminan atas

piutangnya yang dikategorikan sebagai piutang istimewa. Dengan demikian,

meskipun debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan, pembayaran atas piutang kreditur

separatis tetap dijamin.

Namun demikian dalam Pasal 56 ditentukan bahwa hak kreditur separatis

ditangguhkan selama 90 hari sejak dinyatakan debitur dalam keadaan pailit.

Tambahan lagi, Pasal 59 ayat (3) menentukan bahwa kurator dapat menjual barang

agunan setiap waktu dengan membayar jumlah terkecil antara harga pasar pada

pemegang hak. Kedua ketentuan ini seakan-akan bertolak belakang dengan ketentuan

Pasal 55 yang menyatakan kreditur separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah

tidak terjadi kepailitan. Ketentuan ini juga menempatkan kreditur separatis sama

dengan kreditur lainnya yang pembayarannya dilakukan secara pari passu.

4

Bismar Nasution, “Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi Dan Hukum Investasi Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, Januari – Februari 2003, hal 48.

5

(16)

Prinsip umum hukum kepailitan di semua negara ialah mengecualikan

kreditur separatis dari kepailitan debiturnya. Prinsip ini juga dianut oleh

Undang-undang Kepailitan yang dituangkan dalam Pasal 55. Namun demikian, kedudukan

kreditur separatis tidak sepenuhnya bebas dari akibat kepailitan debiturnya karena

Pasal 56 menangguhkan eksekusi jaminan utang yang disebut juga stay.

Selama jangka waktu penangguhan, kurator dapat menggunakan harta pailit

berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang

berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan kurator dalam rangka

kelangsungan usaha debitur, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajarF

6

F bagi

kepentingan kreditur atau pihak ketiga.

Penangguhan bertujuan, antara lain:

1. untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau

2. untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau

3. untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal.

Stay diberlakukan kepada semua kreditur separatis kecuali terhadap kreditur

yang hanya timbul dari perjumpaan utang (set-off) serta terhadap kreditur pemegang

piutang yang dijamin dengan uang tunai.

6

Yang dimaksud “perlindungan yang wajar” adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi kepentingan kreditur atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan. Dengan pengalihan harta yang bersangkutan, hak kebendaan tersebut dianggap berakhir demi hukum. Perlindungan dimaksud, antara lain dapat berupa:

1. ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit;

2. hasil penjualan bersih;

3. hak kebendaan pengganti; atau

4. imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang dijamin) lainnya. (Penjelasan

(17)

Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum

untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang

badan peradilan, dan baik kreditur maupun pihak ketiga dimaksud dilarang

mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan. Termasuk

dalam pengecualian terhadap penangguhan dalam hal ini adalah hak kreditur yang

timbul dari perjumpaan utang (set off) yang merupakan bagian atau akibat dari

mekanisme transaksi yang terjadi di Bursa Efek dan Bursa Perdagangan Berjangka.F

7

Selama masa stay kurator dapat menggunakan atau menjual boedel pailit

terbatas pada barang persediaan (inventory) dan atau benda bergerak (current assets),

meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atas kebendaan.

Jangka waktu penangguhan berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri

lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensiF

8

F. Kreditor atau pihak ketiga

yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada kurator untuk

mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebutF

9

F.

Dalam memutuskan permohonan mengangkat penangguhan atau mengubah

syarat penangguhan, Hakim pengawas mempertimbangkan:

7

Bismar Nasution dan Sunarmi, Hukum Kepailitan Di Indonesia, (Medan: SPS USU, 2007), hal 67.

8

Yang dimaksud dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar.

9

(18)

a. lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah berlangsung;

b. perlindungan kepentingan kreditur dan pihak ketiga dimaksud;

c. kemungkinan terjadinya perdamaian;

d. dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan manajemen usaha

debitur serta pemberesan harta pailit.F

10

Keadaan debitur yang sudah insolvent secara teknis dan juridis ini berakibat

hukum bahwa pemberesan atas boedel pailit sudah dapat dimulai dan kreditur

separatis sudah dapat melaksanakan sendiri hak eksekusinya atas barang jaminan

yang dimilikinya. Namun demikian, Pasal 59 membatasi hak kreditur separatis untuk

mengeksekusi haknya yaitu hanya selama 2 (dua) bulan terhitung sejak keadaan

insolvensi dimulai. Jika kreditur separatis tidak melaksanakan haknya tersebut dalam

jangka waktu 2 (dua) bulan maka kurator yang akan melaksanakan hak kreditur

separatis dengan cara menjual sendiri benda agunan tersebut.

Dari Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan tersebut terdapat

dua ketentuan yang tidak taat asas (inkonsisten), yaitu dalam Pasal 55 ayat (1) yang

secara tegas menyebutkan bahwa setiap kreditur separatis dapat mengeksekusi

haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, namun dalam ketentuan berikutnya yaitu

pada Pasal 56 ayat (1) menyatakan bahwa hak eksekusi kreditur tersebut

ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh hari sejak tanggal

putusan pernyataan pailit diucapkan.

10

(19)

Menurut hemat penulis dua ketentuan dalam Undang-undang Kepailitan

tersebut telah mengaburkan konsep dan tujuan dari hukum jaminan. Di satu pihak

mengakui hak dari kreditur separatis tetapi di pihak lain justru mengingkari hak

separatis tersebut, yaitu dengan tidak menempatkan benda-benda debitur pailit yang

dibebani hak jaminan sebagai benda-benda di luar harta pailit.

B. Perumusan Masalah

Hukum kepailitan sebagai hukum secara khusus pada dasarnya mengandung

dua unsur penting yaitu unsur penting yaitu unsur keadilan dan perlindungan yang

seimbang antara debitur dan kreditur. Namun beberapa ketentuan dalam

Undang-undang Kepailitan jelas tidak mencerminkan perlakuan yang seimbang (equal

treatment) tersebut. Hal ini dikarenakan Undang-undang Kepailitan masih

mengadopsi hukum kepailitan Belanda sebagai model dasarnya karenanya

Undang-undang Kepailitan Indonesia tetap masih mewarisi elemen sistem hukum kontinental

yang berakar dari tradisi sestem hukum yang Eropa Sentris. Rejim hukum kepailitan

sistem hukum Eropa (civil law) pada dasarnya lebih memihak pada debitur dari pada

kreditur. Karena itu, Undang-undang Kepailitan tidak terlepas dari tradisi

keterpihakan kepada debitur dalam kepailitan.

Kedudukan kreditur separatis dalam Undang-undang Kepailitan dianggap

kontroversial karena dalam Pasal 55 ditegaskan kreditur separatis berada di luar

(20)

mengeksekusi benda agunan yang ada padanya dibekukan selama 90 hari terhitung

sejak debiturnya dinyatakan pailit. Ketentuan automatic stay yang diatur dalam Pasal

56 tersebut bertentangan dengan tradisi kreditur separatis yang menginginkan

fleksibilitas yang luas dalam memilih waktu yang tepat untuk melaksanakan hak

mereka sesuai dengan keadaan pasar.

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang

akan diteliti dan dianalisis dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana eksekusi terhadap benda agunan oleh kreditur separatis

berdasarkan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan?

2. Apakah penangguhan eksekusi (stay) benda agunan yang dianut oleh

Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan telah sejalan dengan konsep

dan tujuan dari hukum jaminan?

3. Bagaimana upaya perlawanan atas penangguhan eksekusi (stay) benda

agunan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah ditentukan di atas, tujuan yang hendak

dicapai dengan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis eksekusi terhadap benda agunan oleh

kreditur separatis berdasarkan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang

(21)

2. Untuk mengetahui dan menganalisis keselarasan penangguhan eksekusi (stay)

benda agunan yang dianut oleh Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan telah sejalan dengan konsep dan tujuan dari hukum jaminan.

3. Untuk mengetahui upaya perlawanan atas penangguhan eksekusi (stay) benda

agunan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memeliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian yang bersifat teoritis diharapkan bahwa hasil penelitian

dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum terutama hukum bisnis

dalam hal penangguhan eksekusi (stay) benda agunan dalam kepailitan.

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian yang bersifat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat

digunakan sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi hukum

terutama yang berkaitan dengan kepailitan seperti Hakim Niaga.

E. Keaslian Penulisan

Penelitian ini diberi judul “Penangguhan eksekusi (stay) benda agunan dalam

(22)

Pascasarjana USU Medan, peneliti mendapati belum ada tesis yang memfokuskan

ulasan penangguhan eksekusi (stay) benda agunan. Sebagai catatan ada beberapa

penelitian yang telah dilakukan dibidang hukum kepailitan yaitu:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Sunarmi yang berjudul “Tinjauan Kritis

terhadap Undang-undang Kepailitan: Menuju Hukum Kepailitan yang

Melindungi Kepentingan Kreditor dan Debitor”.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Manahan M.P Sitompul yang berjudul

“Syarat-syarat Pernyataan Pailit Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang

No. 4 Tahun 1998 dan Penerapannya Oleh Pengadilan Niaga”.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Kurnia Yani Dharmono yang berjudul

“Efektifitas Perlindungan Hukum Kreditor Sebelum Putusan Penjatuhan Pailit

Dalam Praktek Penegakan Hukum Di Pengadilan Niaga”.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Elyta Ras Ginting yang berjudul “Kedudukan

Kreditur Separatis Dalam Perkara Kepailitan”.

Penelitian yang dilakukan oleh Elyta Ras Ginting memang menyinggung

sepintas lalu tentang penangguhan eksekusi (stay), akan tetapi

pembahasannya hanya terbatas dalam lingkup pengertian dan tujuan stay.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa meskipun ada beberapa

penelitian di bidang hukum kepailitan yang pernah dilakukan di Pascasarjana USU

Program Ilmu Hukum, namun ternyata topik ulasan dan pembahasannya tidak

(23)

kepailitan. Dengan demikian, penelitian yang akan dilakukan ini adalah benar-benar

asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini teori yang dipergunakan adalah “a creditor’s bargain”

yang dikemukakan oleh Thomas H Jakson. Tehnik dasar Jackson adalah menyaring

hukum kepailitan melalui model “a creditor’s bargain”. Dalam model ini, seseorang

yang kehilangan kepemilikannya dalam kepailitan ditunjukkan untuk menyetujui

lebih dulu adanya kerugian.F

11

Diharapkan penangguhan eksekusi (stay) tidak merupakan pelanggaran

terhadap teori “a creditor’s bargain” tetapi stay merupakan tindak lanjut atas teori “a

creditor’s bargain” yaitu antara kreditur separatis dan debitur sama-sama saling

diuntungkan atas tindakan penangguhan eksekusi (stay) tersebut.

Walaupun pembebasan debitur dapat menjadi penyebab motivasi dari

sebahagian besar kasus-kasus kepailitan, kebanyakan dari proses kepailitan faktanya

terkait pertanyaan berapa besar pembagian piutang kepada kreditur yaitu antara lain:

a. Asset disusun sedemikian sehingga mereka dapat dialokasikan diantara

pemegang klaim melawan debitur atau kekayaan debitur.

b. Tagihan ditentukan sedemikian sehingga peserta-peserta di dalam proses

pembagian mungkin dipertemukan.

11

Sunarmi, Tinjauan Kritis Terhadap Undang-Undang Kepailitan: Menuju Hukum

(24)

c. Peraturan menentukan siapa yang diprioritaskan, diantara

penagih-penagih, akan mendapatkan apa dan dalam kedudukan sebagai apa.F

12

Ketiga pertimbangan yang telah diuraikan di atas memungkinkan bahwa

kreditur tak terjamin pada umumnya akan setuju kepada sistem kolektif sebagai

pengganti rencana pemulihan piutang individu karena tidak ada kreditur tunggal.

Bagaimanapun para kreditur akan setuju kepada sistem kolektif kecuali jika ada suatu

sistem yang mengikat semua kreditur lain. Untuk mengijinkan debitur membuat

perjanjian dengan kreditur lain yang akan memilih ke luar daripada kerangka

penyelesaian. Hal ini akan menghancurkan keuntungan suatu proses kolektif.

Teori “a creditor’s bargain” kemudian dikembangkan kembali oleh Thomas

H. Jackson dan Robert E. Scott yang menyatakan bahwa tujuan utama dari kepailitan

untuk memaksimalkan kesejahteraan kelompok secara bersama-sama. Teori ini

kemudian dikenal dengan teori Creditors Wealth Maximization yang merupakan teori

yang paling menonjol dan paling banyak dianut dalam hukum kepailitan. Jackson

merumuskan hukum kepailitan dari perspektif ekonomi sebagai “An acillary, parallel

system of debtcollection law”, sedangkan keadaan pailit adalah suatu cara

melaksanakan suatu putusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap harta debitur.

Kritik David Gray Carlson terhadap Versi efisiensi dari kontraktarianisme akan

terpusat pada kenyataan bahwa semua atau kebanyakan kreditur akan menawar untuk

mendapatkan otoritas yang setara dalam kepailitan.

12

(25)

Menurut Jakcson semua kreditur akan setuju untuk mendapatkan prioritas

yang setara dalam kepailitan. Inilah yang disebut dengan “tawar menawar kreditur

(creditor bargain). Kesetaraan kreditur pada debitur pada gilirannya adalah esensi

dari kepailitan. Kreditur betul-betul mempunyai pandangan yang setara terhadap

kesempatan mereka dalam kasus kebangkrutan debitur. Kreditur hanya peduli dengan

maksimalisasi recovery mereka. Jika para kreditur bekerja sama, mereka bisa

memperoleh keuntungan bahkan dengan menangkap nilai perusahaan yang sedang

berjalan (going concern) suatu perusahaan atau paling sedikit dengan mengurangi

ongkos administrasi atas recovery dari pengutang.

Tujuan dari kepailitan adalah pemaksimalan hasil ekonomi dari asset yang ada

untuk para kreditur sebagai satu kelompok dengan meningkatkan nilai aset yang

dikumpulkan untuk mana hak-hak kreditur ditukarkan.

Dalam kepailitan seluruh harta benda debitur diperuntukkan bagi pembayaran

tagihan-tagihan kreditur maka jika harta bendanya itu tidak untuk memenuhi

kewajiban atas semua tanggungan itu, tentu harta benda itu harus dibagi diantara para

kreditur menurut perbandingan tagihan mereka masing-masing.F

13

F Pembagian harta

kekayaan pailit ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan para kreditur.

Hukum yang memberikan perlindungan terhadap kreditur dari kreditur

lainnya berupaya mencegah salah satu kreditur memperoleh lebih banyak dari

kreditur lainnya dalam pembagian harta kekayaan. Sedangkan perlindungan dari

debitur yang tidak jujur diperoleh dengan mewajibkan debitur mengungkapkan secara

13

(26)

penuh (full disclosure) kondisi keuangannya kepada seluruh kreditur secara periodik.

Sementara itu, apabila debitur berada keadaan dapat ditolong maka debitur

dimungkinkan untuk dapat keluar secara terhormat dari permasalahan utangnya.

Dengan demikian jelas mengapa sejak berabad-abad telah ada peraturan

kepailitan, karena dirasakan perlu untuk mengatur hak-hak dan kewajiban debitur

yang tidak dapat membayar utang-utangnya serta hak-hak dan kewajiban para

kreditur.

Dari kesimpulan ini segera dapat dipahami mengapa masalah kepailitan selalu

dihubungkan dengan kepentingan para kreditur, khususnya tentang tata cara dan hak

kreditur untuk memperoleh kembali pembayaran piutangnya dari seorang debitur

yang dinyatakan pailit. Dan sekaligus juga berhubungan dengan perbedaan

kedudukan hak diantara para kreditur.

Hukum kepailitan pada dasarnya mengandung dua unsur penting yaitu unsur

keadilan dan perlindungan yang seimbang antara debitur dan kreditur. Namun hukum

kepailitan Indonesia dalam beberapa ketentuannya, jelas tidak mencerminkan

perlakukan yang seimbang (equal treatment).F

14

F Hal ini disebabkan hukum kepailitan

Indonesia berasal dari hukum kepailitan Belanda yang tetap mewarisi elemen sistem

hukum kontinental yang berakar dari tradisi hukum Eropa yang sentries. Rejim

hukum kepailitan sistem hukum Eropa (Civil Law) pada dasarnya memihak kepada

kreditur daripada debitur.

14

(27)

Di samping teori yang telah diuraikan di atas maka untuk menjawab

permasalahan-permasalahan yang diajukan dipergunakan pendekatan dengan

kerangka sistem. Kerangka berfikir menjadikan konsep keadilan dan perlindungan

yang seimbang terhadap kepentingan kreditur dan debitur dalam hukum kepailitan

sebagai paradigma filosofis. Selanjutnya paradigma yang bersifat konstan ini

diinteraksikan dengan potensi yang dimiliki Indonesia dan perkembangan situasi dan

kondisi yang berupa kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam hukum kepailitan

baik dari segi substansi maupun dalam praktek serta kondisi perdagangan nasional

dan global. Interaksi ini menghasilkan wawasan garis politik tentang kepailitan berisi

ide-ide perubahan revisi haluan negara termasuk hukum kepailitan yang tertuang

dalam propenas yang kemudian dituangkan dalam pembentukan Undang-undang

Kepailitan yang mengandung asas keadilan, kepastian hukum, cepat, efektif dan

memberikan perlindungan hukum yang seimbang terhadap kreditur dan debitur.

Selanjutnya akan berpengaruh terhadap penegakan hukum yang pada akhirnya akan

tercipta suatu sistem hukum dan perundang-undangan yang kondusif untuk

mendukung dunia usaha khususnya dengan dukungan hukum kepailitan yang lebih

kondusif.

Hal ini sesuai dengan asas yang terkandung dalam Undang-undang No. 37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan yang berisi antara lain adalah:

(28)

Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan

perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang

dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh

Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah

terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak

beritikad baik.

b. Asas Kelangsungan Usaha.

Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan

perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

c. Asas Keadilan.

Dalam Kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan

mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang

berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya

kesewenangan-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan

masing-masing terhadap debitur dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya.

d. Asas Integrasi

Asas integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian bahwa

sistem hukum formal dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari

sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Jika dirujuk kepada cita-cita yang ingin dicapai hukum, paling tidak ada 3

(29)

masyarakat diantaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan

kepentingan-kepentingan yang bisa menimbulkan konflik (conflict of interest).

Melalui hukum diharapkan konflik itu bisa ditekan sekecil-kecilnya dan seminimal

mungkin.

Formulasi hukum atas fenomena dan formasi transaksi ekonomi sering sulit

dijelmakan ke dalam suatu spirit yang sebenarnya. Ajaran Pacta Sun Servanda; siapa

berhutang harus membayar, berangkat dari pemikiran logis juridis semata, yaitu

debitur (sipenghutang) harus membayar kewajibannya. Tanpa menyentuh soal-soal

mendasar mengapa hutang itu harus sampai terjadi. Asas good faith semestinya juga

diberlakukan pada kreditur yang nakal. Agar tercipta nilai keadilan yang

sebenarnya.F

15

Hukum eksekusi yaitu hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hak-hak

kreditur dalam suatu perjanjian kredit (utang piutang) yang dijamin dengan harta

kekayaan tertentu milik debitur, apabila debitur tersebut ternyata tidak memenuhi

prestasinya.F

16

Dalam suatu hubungan utang piutang, ada kewajiban prestasi dari debitur dan

hak atas prestasi dari kreditur, hubungan hukum akan terlaksana jika masing-masing

pihak memenuhi kewajibannya. Namun dalam hubungan utang piutang yang sudah

dapat ditagih (opeisbaar), jika debitur tidak memenuhi prestasinya maka kreditur

15

Robinta Sulaiman dan Joko Prabowo, Lebih Jauh Tentang Kepailitan, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Universitas Pelita Harapan, 2000), hal xii.

16

(30)

mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutang (hak verhaal atau hak eksekusi),

terhadap harta kekayaan debitur yang digunakan sebagai jaminan.F

17

Hak pemenuhan dari kreditur itu dilakukan dengan cara penjualan

benda-benda agunan yang hasilnya digunakan untuk pemenuhan utang debitur. Penjualan

benda-benda tersebut dapat terjadi melalui penjualan di muka umum karena adanya

janji (beding) lebih dahulu (parate executie) terhadap benda-benda tertentu yang

dipakai sebagai agunan, juga dapat terjadi melalui penjualan karena adanya penyitaan

(beslag) terhadap benda-benda tersebut, atau karena adanya kepailitan.F

18

Suatu penyitaan yang dilakukan terhadap benda-benda tertentu dari debitur,

bertujuan untuk kepentingan pelunasan piutang dari kreditur-kreditur tertentu.

Sedangkan penyitaan dalam kepailitan tertuju terhadap seluruh harta benda debitur

untuk kepentingan para kreditur bersama untuk dapat melaksanakan haknya terhadap

benda milik debitur melalui eksekusi, kreditur harus mempunyai alas hak untuk

melakukan eksekusi tersebut, yaitu melalui sita eksekutorial (executorial beslag).

Syarat diadakannya titel eksekutorial ini adalah demi melindungi debitur terhadap

perbuatan yang melampui batas dari kreditur.F

19

Titel eksekutorial dapat timbul pertama berdasarkan keputusan hakim yang

dibuat dalam bentuk eksekutorial, yang isinya memutuskan bahwa debitur harus

17

Ibid.

18

Ibid.

19

(31)

membayar sejumlah tertentu, dan yang kedua berdasarkan proses akta notaris yang

sengaja dibuat dalam bentuk eksekutorial.F

20

Menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Kehakiman, grosse dari akta

notaris yang demikian mempunyai kekuatan eksekutorial, yang dalam akta itu dimuat

antara lain mengenai pernyataan pengakuan sejumlah utang tertentu dari debitur

kepada kreditur dan untuk mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan

pengadilan, maka pada kepala akta harus dicantumkan perkataan “demi keadilan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.F

21

Sebagai pengecualian dari apa yang diuraikan di atas, jika terjadi kepailitan

maka eksekusi dapat dilakukan tanpa memerlukan titel eksekutorial terlebih dahulu,

dimana para kreditur dari debitur pailit dapat mengajukan piutangnya masing-masing

untuk diverifikatie (pencocokan utang), setelah selesai rapat pencocokan dilakukan

penjualan terhadap harta kekayaan debitur dan hasilnya akan dibagikan pada para

kreditur. Sedangkan bagi kreditur yang berkedudukan sebagai separatis, mereka tetap

melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.F

22

Kemudian eksekusi juga ternyata dapat dilakukan tanpa mempunyai titel

eksekutorial, yaitu melalui parate eksekusi atau eksekusi langsung. Para kreditur

separatis dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri, mereka dapat

20

Ibid.

21

Ibid.

22

(32)

melaksanakan haknya secara langsung tanpa melalui keputusan pengadilan atau

grosse akta notaris.F

23

Kewenangan untuk melaksanakan parate eksekusi itu pada umumnya timbul

karena telah diperjanjikan terlebih dahuluseperti halnya pada hipotek, hak

tanggungan atau jaminan fidusia. Hanya pada gadai, parate eksekusi timbul karena

ditetapkan oleh undang-undang.F

24

Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri itu harus didaftarkan dalam

register umum untuk mempunyai hak kebendaan, sedangkan penjualan lelangnya

harus dilakukan di muka umum, menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan di

hadapan pejabat yang berwenang untuk itu.F

25

2. Kerangka Konsepsi

Untuk menghindarkan kesalahpahaman atas berbagai istilah yang

dipergunakan, maka di bawah ini akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah berikut:

1). Kepailitan dan Hukum Kepailitan

Kata Pailit berasal dari bahasa Perancis yaitu Failite yang berarti kemacetan

pembayaran, sedang orang yang berhenti membayar dalam bahasa Perancis disebut

“le failli”. Kata kerja “failit” berarti gagal”F

26

F atau yang dalam bahasa belanda dikenal

23

Ibid.

24

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit, hal 31-33.

25

R. Soebekti dan Tjirosudibio, Op. Cit, Pasal 1211.

26

Lee Aweng, Tinjauan Pasal Demi Pasal FV (Faillisement Verordening) S.1905.No.217 jo

1906 No 348 Js perpu No 1 Tahun 1998 dan Undang-undang No 4 Tahun 1998, Tanpa penerbit,

(33)

dengan istilah Failiteit. Sedangkan dalam hukum anglo Amerika, pailit dikenal

dengan istilah Bankruptcy Act.F

27

F

Dari segi bahasa, arti pailit bermakna negatif sekaligus cermin moral yang

tidak diterima oleh masyarakat. Menurut John Duns “The social stigma attached to

bankcruptcy was considerable. It was directly linked with criminal behavior. F

28

F

Istilah “Pailit” atau “bankruptcy” juga berkaitan dengan etimologi kata “Bank” yaitu

“banc”atau “banca rotta” (Italy) yang artinya bench or table broken atau pailitnya si

penukar uang.F

29

F

Dalam bahasa Indonesia, istilah pailit diadopsi dari bahasa belanda

failit, dan failit itu sendiri berasal dari kata falere yang artinya menipu atau

bohong-bohongan.

Pengertian “Pailit” juga tidak ada dijelaskan baik dalam ordonansi Kepailitan

maupun oleh Perpu No 1 Tahun 1998 Jo Undang-undangNo 4 Tahun 1998 tentang

Kepailitan. Istilah “pailit”didefinisikan secara tegas dalam Pasal 1 angka (1)

Undang-undangNo 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU yang menggantikan Perpu No

1 tahun 1998 Jo Undang-undang No 4 Tahun 1998 sebagai berikut “ Kepailitan

adalah sita umum atas semua kekayaan kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan

pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas

sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”.

27

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2007), hal 4

28

Jhon Duns, Insolvency Law and Policy, (London: Oxford Univerity Press, 2003), hal 24.

29

(34)

Berdasarkan hal itu maka dari arti pailit dalam hukum Indonesia adalah

kondisi seseorang yang dalam keadaan berhenti membayar utangnya yang sudah

jatuh tempo (default to pay the mature debts which is due and payable). Kepailitan

adalah suatu keadaan dimana seseorang berhenti tidak mampu lagi membayar

hutangnya dengan putusan hakim atau pengadilan negeri.F

30

F Maka secara sederhana,

kepailitan dapat diartikan sebagai suatu penyitaan umum atas semua asset debitur.

Debitur pailit juga tidak serta merta kehilangan kemampuannya untuk melakukan

tindakan hukum, akan tetapi hanya kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus

harta kekayaannya yang dimasukkan ke dalam harta pailit terhitung sejak pernyataan

kepailitan.

Pendapat senada dikemukakan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio sebagaimana

dikutip Sentosa Sembiring sebagai berikut: Pailit berarti keadaan seorang debitur

apabila ia telah menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan yang

menghendaki campur tangan hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para

krediturnya.F

31

Para ahli hukum memiliki sudut pandang yang berbeda dalam merumuskan

hukum kepailitan tergantung dari teori yang mereka anut. Dalam kepustakaan hukum

kepailitan secara umum dikenal ada enam teori hukum kepailitan yang

masing-masing memiliki sudut pandang yang berbeda tentang hakekat dan fungsi kepailtan.

Menurut Vanessa Finch, ke enam teori tersebut adalah creditors wealth maximization,

30

Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 37 Tahun 2004

31

Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait

(35)

contraction approach, the communitarian vision, the forum vision, the etchical vision,

dan the multiple values/electic approach.F

32

Dari sekian banyak teori hukum kepailitan, yang paling menonjol dan paling

banyak dianut adalah teori Creditors Wealth Maximization yang dikemukakan oleh

Thomas H. Jackson. Jackson merumuskan hukum kepailitan dari perfektif ekonomi

sebagai “An acillary, paralel system of debt-collection law,F

33

F sedangkan keadaan

pailit adalah suatu cara melaksanakan suatu putusan tentang apa yang akan dilakukan

terhadap harta debitur.F

34

Retnowulan SusantoF

35

F melihat hukum kepailitan itu sebagai suatu prosedur

pembayaran hutang dalam rangka merealisasikan ketentuan Pasal 1131 dan 1132

KUH Perdata yang mengatur tentang tanggung jawab debitur terhadap

perikatan-perikatan yang dilakukan krediturnya. Pandangan yang sama dinyatakan oleh Jerry

Hoff yang merumuskan hukum kepailitan dari segi fungsinya sebagai suatu sitaan

umum; “Bankruptcy is a general statutory attachment encompassing all assets of the

debtor.”F

36

F

Ahli hukum insolvency dan kepailitan lainnya, seperti Andrew Keay dan

Michael Murray menganut kombinasi teori Creditor’s Wealth Maximization dan

Forum Vision, meninjau hukum kepailitan dari sifatnya sebagai hukum yang

32

Vanessa Finch, Corporate Insolvency Law: Perspective And Principles, (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), hal 24-41.

33

Thomas H. Jackson, The Logic And Limits of Bankruptcy Law, Newyork: Harvard University Press), hal 3-4.

34

Ibid, hal 34 “Bankcruptcy is a way of implementing a decision as to what to do with assets

of a debtor”

35

Lihat Bernadette Waluyo, Kepailitan dan PKPU (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal 1

36

(36)

memaksa dan berlaku secara kolektif yaitu, “A collective process in that individual

creditors are not able to enforce their debts independently of the other creditors.”F

37

Dari beberapa rumusan hukum kepailitan tersebut diatas, dapat disimpulkan

bahwa hukum kepailitan adalah sutu prosedur tentang penagihan dan pembayaran

utang yang berlaku secara kolektif terhadap debitur yang sudah tidak mampu lagi

membayar utangnya dimana dengan dinyatakan debitur dalam keadaan pailit, harta

debitur jatuh menjadi boedel pailit yang akan digunakan untuk membayar seluruh

utangnya pada kreditur.

Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para

kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk

menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan

menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur

dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.

Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang

memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti

membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai

dua fungsi sekaligus, yaitu: Pertama, kepailitan sebagai lembaga pemberi agunan

kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung

jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur. Kedua, kepailitan

sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap

37

(37)

kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan

tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum

khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan

sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.

Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan adanya

jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh

debitur terhadap kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang proporsional. Adapun

hubungan kedua Pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur (Pasal 1131)

merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (Pasal 1132) secara

proporsional, kecuali kreditur dengan hak mendahului (hak Preferens).

Jiwa dari hukum kepailitan Indonesia pada dasarnya ada dalam Pasal 2 ayat

(1) Jo Pasal 8 ayat (4).F

38

F Yang mengatur tentang syarat-syarat kepailitan serta sifat

dan karekter dari pembuktian dan prosedur dalam mengajukan kepailitan. Karenanya

kedua Pasal ini harus dibaca senafas dalam menentukan pailit tidaknya seorang

debitur.

Pasal 2 ayat (1) menentukan syarat materil yang harus dipenuhi sebagai dasar

dari timbulnya keadaan pailit terhadap debitur yaitu debitur mempunyai 2 (dua) atau

lebih utang atau memiliki lebih dari seorang kreditur (concursus creditorium), debitur

tidak membayar lunas sedikitya 1 (satu) utang dan utang yang tidak dibayar itu telah

38

(38)

jatuh tempo dan dapat ditagih (due and payable). Di samping syarat materil, syarat

formil tidak kalah penting dalam hal mencegah sia-sianya permohonan kepailitan

hanya karena formalitas tidak terpenuhi. Permohonan pailit dapat diajukan oleh

debitur dan kreditur. Hak persona standing right lainnya untuk memohon pailit

debitur adalah:

a. Bank Indonesia dalam hal yang diajukan pailit adalah bank

b. Bapepam dalam hal yang diajukan pailit perusahaan efek

c. Menteri Keuangan dalam hal diajukan pailit adalah Perusahaan Asuransi,

Perusahaan Reasuransi atau Badan Usaha Miliki Negara yang bergerak

dibidang kepentingan publik

d. Kejaksaan bertindak sebagai proxy legal mandatory mewakili kepentingan

publik dapat mengajukan kepailitan.

e. Jika permohonan pailit diajukan oleh debitur yang menikah dengan

pencampuran harta perkawinan, permohonan harus disertai izin suami/istri.

(Pasal 4 ayat 1 jo Pasal 23 dan 110 ayat (2))

f. Permohonan pailit harus diajukan oleh seorang Advokat (Pasal 7)

g. Permohonan pailit harus diajukan ke Pengadilan NiagaF

39

39

Permohonan pailit harus diajukan ke Pengadilan Niaga, yaitu:

a. Ditempat kedudukan hukum dari debitur atau tempat kedudukan hukum terakhir debitur

jika debitur telah meninggalkan wilayah Indonesia. (Pasal 3 ayat (1) dan (2))

b. Ditempat kedudukan dari firma atau CV (Pasal 5).

c. Jika debitur tidak bertempat tinggal di indonesia tapi menjalankan usahanya di Indonesia

(39)

Mahadi mengatakan bahwa salah satu syarat terbentuknya suatu norma

hukum adalah ada asas yang tersebunyi yang menjadi dasar norma hukum itu dan

menjiwai norma hukum tersebut. F

40

F Undang-undang Kepailitan dan PKPU

mengandung bebarapa asas sebagai berikut:

1. Asas Transparansi, Cepat, Efektif serta Adil.F

41

2. Asas Lex Speciali Derogat Lege Generali atau Asas Integrasi.F

42

3. Asas Kepailitan Sebagai Sitaan Umum.F

43

d. Jika debitur berbentuk badan hukum (legal entity), permohonan diajukan ketempat

kedudukan hukum sebagaimana telah ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum bersangkutan (Pasal 3 ayat (5)).

40

Mahadi, Falsafah Hukum ( Suatu Pengantar), (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hal 85

41

Asas ini dengan tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-undangKepailitan dan PKPU

sebagai asas keseimbangan yang bertujuan tidak hanya melindungi kepentingan debitur tapi juga melindungi kepentingan kreditur agar hukum kepailitan tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

42 Pada hakekatnya, hukum kepailitan adalah hukum acara yang khusus (Lex Specialis)

mengatur prosedur dari kepailitan, proses pencocokan utang, pemberesan boedel pailit, pembayaran utang dan proses reorganisasi utang atau dikenal sebagai PKPU. Namun demikian, jika ada hal-hal tidak diatur dalam lex Specialis, maka lex generalis merupakan rujukan wajib. Yang termasuk lex Generalis sehubungan dengan kepailitan adalah Herzeine Indosich Reglement/RechtReglement

Buitengewesten (HIR/RBG), Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan ketentuan dalam KUH

Perdata. ( dalam Elyta Ras Ginting, Op. Cit, hal 66)

Bandingkan pula Munir Fuady, Op.Cit, hal 6. Berpendapat bahwa pada prinsipnya prosedur hukum acara perdata biasa (HIR atau RBG) tetap berlaku untuk perkara permohonan pailit sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang Kepailitan tersebut.

43

Asas ini terkandung dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan yang menyebutkan “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan si berhutang pada saat pernyataan pailit, beserta segala apa yang diperoleh selama kepailitan. Bandingkan juga dengan J.B.Huinzink, Insolventie. Alih Bahasa oleh Linus Doludjawa. (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal 8, yang berpendapat PKPU bukanlah merupakan suatu sitaan umum sebagaimana halnya dalam kepailitan, oleh karena itu debitur tetap dapat menjalankan usahanya seperti biasanya.

Konsekuensi juridisnya adalah dengan adanya pernyataan pailit dari Pengadilan Niaga, maka seluruh harta debitur pailit berada di bawah sitaan umum guna jaminan pembayaran utang-utangnya. Sitaan umum terhadap harta debitur adalah refleksi dari asas pokok dari schuld dan haftung yang terdapat dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Schuld adalah kewajiban debitur untuk membayar utangnya dan Haftung adalah debitur berkewajiban membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak hutang debitur, guna pelunasan hutang tersebut dalam hal debitur cidera janji.

Lihat Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III-Hukum Perikatan dengan

(40)

4. Asas Pasca Sunt Servanda.F

44

5. Asas I’tikad Baik.F

45

6. Asas Pembagian Merata (Asas Pari Passu).F

46

Secara teoritis, ketentuan distribusi budel pailit secara pari passu berlaku

untuk semua golongan kreditur tapi prinsip ini menurut Goode tidak bersifat

absolut.F

47

F Dalam prakteknya prinsip pari passu ini tidak diterapkan terhadap kreditur

separatis pemegang hak jaminan atas kebendaan (secured creditor).

Dalam ketentuan Kitab Undang-undang hukum Perdata untuk selanjutnya

disebut KUH Perdata, tidak dikenal istilah debitur, akan tetapi istilah si berutang atau

schuldenaar. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata yang dihubungkan dengan Pasal

1235 KUH Perdata, dan Pasal 1239 KUH Perdata, si berutang (schuldenaar) adalah

pihak yang wajib memberikan sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan

44Misalnya tawaran perdamaian yang diterima dan disahkan oleh Pengadilan Niaga menjadi

bukti hak bagi kreditur untuk menuntut pemenuhannya di kemudian hari. Perdamaian tersebut dianggap sebagai perikatan antara debitur dan krediturnya yaitu bahwa debitur menyanggupi akan membayar kreditur dengan persentase tertentu. Jika ternyata debitur tidak dapat memenuhi isi perdamaian yang telah diterima oleh kreditur tersebut, maka kreditur dapat meminta Pengadilan Niaga untuk membatalkan perdamaian karena perdamaian tersebut tunduk pada azas pacta sunt servanda.

45Unsur I’tikad baik dari debitur (bona fide debtor) maupun kreditur (bona fide creditor)

marupakan hal penting dalam kepailitan, sebab lembaga kepailitan rentan disalahgunakan untuk menguntungkan diri sendiri maupun pihak tertentu yang tidak beri’tikad baik. Guna mengantisipasi

kemungkinan prosedur kepailitan disalahgunakan ini, Undang-undang Kepailitan mengatur tentang

actio pauliana (doctrine of preferential transfer) dalam pasal 41-46.

46

Pada dasarnya, konsep kepailitan dari seluruh dunia menganut asas pembagian secara pari

passu atau pro rata distribution. Menurut Jhon Duns, “it is a common principle of insolvensi law that creditors should share equally in the insolvent estate”. (John Duns, Op.Cit hal 318)

Hal yang sama juga dikemukakan oleh R.M Goode mengatakan “The most fundamental

principle of insolvency law is that of pari passu distribution, all creditors participating in the common pool in proportion to the size of their admitted claims. Sedangkan prinsip yang mendasari pembagian pari passu menurut Shirley Quo adalah untuk menjamin bahwa seorang kreditur konkuren tidak

memperolah prioritas lebih dari kreditur konkuren lainnya secara tidak adil. (R.M Goode. Op.Cit, hal 59.)

47

(41)

perikatannya kepada si berpiutang, baik yang timbul karena perjanjian mmaupun

karena undang-undang. Akan tetapi dalam pustaka-pustaka hukum maupun dalam

kehidupan masyarakat sehari-hari, si berutang (schuldenaar) lebih dikenal sebagai

debitur. Oleh karena itu dalam Undang-undang Kepailitan digunakan istilah

debitur.F

48

Istilah kreditur berasal dari bahasa latin ‘credence’ atau ‘credere’ yang artinya

dapat dipercaya. Kata credence ini kemudian menjadi kredit dalam bahasa Inggris

yang memiliki arti yang sama dengan faith, trust (favorable) repute, power based on

confidence, acknowledgement of merit, confidence in a buyers ability to pay atau

reputation of solvency. Kata benda dari credence adalah creditum atau credit (Inggris)

yang artinya sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang (thing entrusted to one).F

49

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Kepailitan menyatakan bahwa kreditur

adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang

dapat ditagih di muka pengadilan

Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon

pailit, yaitu pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke

pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut sebagai pihak penggugat.

48Dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, yang dimaksud dengan

debitur, dalam Pasal 1 angka (3), adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

49

(42)

Menurut Undang-undang kepailitan yang dapat menjadi pemohon dalam suatu

perkara pailit adalah salah satu dari pihak berikut, yaitu:F

50

(1) Pihak debitur itu sendiri;

(2) Salah satu atau lebih krediturnya;

(3) Pihak Kejaksaan, jika menyangkut dengan kepentingan umum;F

51

(4) Pihak Bank Indonesia, jika debiturnya adaah suatu bank;

(5) Pihak Badan Pangawas Pasar Modal, jika debiturnya adalah suatu perusahaan efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian;

(6) Menteri Keuangan, jika debiturnya adalah perusahaan asuransi, reasuransi, dana pension atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.

Pihak debitur pailit adalah pihak yang memohon atau dimohonkan pailit ke

pengadilan yang berwenang. Yang dapat menjadi debitur pailit adalah debitur yang

mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Debitur di sini dapat terdiri dari orang peroangan atau badan pribadi maupun

badan hukum. Sehingga berdasarkan hal tersebut, pihak-pihak yang dapat dinyatakan

pailit adalah sebagai berikut;

a. Orang perorangan, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah menikah

maupun yang belum menikah. Jika permohonan pernyataan pailit diajukan

oleh debitur peorangan yang telah menikah, maka permohonan tersebut dapat

50

Undang-undang No. 37 Tahun 2004, Op.Cit, Pasal 2

51

Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa Indonesia dan Negara, atau kepentingan masyarakat luas. Sebagai contoh apabila debitur dimaksud mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas.

(43)

diajukan atas dasar persetujuan suami atau isterinya, kecuali antara suami dan

isteri tersebut tidak terjadi pencampuran harta.

b. Perserikatan dan perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya, permohonan

pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat

kediaman dari masing-masing persero yang secara tanggung jawab renteng

terikat untuk seluru utang firma;

c. Perseroan, perkumpulan, koperasi, maupun yayasan yang berbadan

hukum,dalam hal ini berlaku ketentuan mengenai kewenangan masing-masing

badan hukum sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya;

d. Harta peninggalan debitur (harta warisan), apabila seseorang atau beberapa

kreditur mengajukan permohonan pailit dan mengurikan secara singkat dam

permohonan pernyataan pailit tersebut, bahwa orang (debitur) yang meninggal

itu dalam keadaan insolvent.

Suatu perkara kepailitan harus diperiksa oleh hakim majelis (tidak boleh

hakim tunggal) baik untuk tingkat pertama maupun untuk tingkat kasasi. Hanya untuk

perkara perniagaan lain yang bukan perkara kepailitan untuk tingkat pengadilan

pertama, boleh iperiksa oleh hakim tunggal dengan penetapan Mahkamah AgungF

52

F

Hakim majelis tersebut merupakan hakim-hakim pada pengadilan niaga, yaitu

hakim-hakim dalam lingkup pengadilan negeri yang telah diangkat menjadi hakim

pengadilan niaga berdasaran keputusan Mahkamah Agung. Selain itu terdapat juga

52

(44)

Hakim Ad Hoc, yaitu hakim yang diangkat dari kalangan para ahli berdasarkan

Keputusan Presiden atas usul dari Ketua Mahkamah Agung.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa terhitung sejak kepailitan

diputuskan debitur pailit tidak lagi berhak melakukan pengurusan atas harta

kekayaannya. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan debitur pailit maupun

pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan debitur pailit sebeum pernyataan paiit

dijatuhkan, diangkat kurator kepailitan.

Undang-undang kepailitan dengan tegas telah menunjuk kurator sebagai

satu-satunya pihak yang menangani seluruh kegiatan pengurusan dan pemberesan harta

pailit. Hal tersebut secara umum dinyatakan dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang

Kepailitan bahwa “tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta

pailt harus diajukan oleh atau terhadap kurator”.F

53

Dalam suatu putusan pernyataan pailit selain dicantumkan mengenai

pengangkatan hakim pengawas dan kurator, juga dicantumkan mengenai besarnya

imbalan jasa bagi kurator yang ditetapkan berdasarkan pedoman yang ada dalam

53Dalam Pasal 70 ndang-undang Kepailitan disebutkan bahwa terdapat dua macam kurator,

yaitu Balai Harta Peninggalan (BHP) apabila debitur dan keditur yang memohonkan pailit tidak mengajukan usul megenai pengangkatan kurator kepada pengadilan, dan kurator lainnya yaitu:

a. Orang perorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang

dibutuhkan dalam rangka mengurus atau membereskan harta pailit;

b. Telah terdaftar pada Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia)

c. Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, maka kurator berwenang untuk

melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.53

(45)

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. 09.HT.05.10 tahun 1998,

yang telah ditetapkan di Jakarta tanggal 22 September 1998.

Yang dimaksud dengan imbalan jasaF

54

F adalah upah yang harus dibayarkan

kepada:

a. Kurator, kurator tambahan, atau kurator pengganti dalam rangka pengurusan

dan atau pemberesan harta pailit;

b. Kurator sementara dalam rangka mengawasi pengelolaan usaha debitur, dan

mengawasi pembayaran kepada debitur, pengalihan atan pangagunan

kekayaan debitur dalam rangka kepailitan yang memerlukan persetujuan

kurator.

Untuk mengawasi pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit oleh

kurator, maka dalam suatu putusan penyataan pailit oleh pengadilan niaga juga harus

diangkat Hakim Pengawas.

Secara umum dalam Pasal 65 Undang-undang Kepailitan dikatakan bahwa

hakim pengawas bertugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit,

dan sebelum mengambil suatu ketetapan mengenai pengurusan dan pemberesan harta

54 Mengenai besarnya imbalan jasa bagi kurator dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri

Kehakiman Republik Indonesia No. 09.HT.05.10 tahun 1998, ditentukan sebagai berikut:

a Dalam hal kepailitan berakir dengan perdamaian, maka besarnya imbalan jasa adalah sebesar

suatu presentase dari nilai hasil harta pailit di luar utang sebagaimana ditentukan dalam perdamaian;

b Dalam hal kepailtan berakhir dengan pemberesan, maka besarnya imbalan jasa adalah sebesar

suatu presentase dari nilai pemberesan harta pailit;

c Dalam hal permohonan pernyataan pailit ditolak ditingkat kasasi atau peninjauan kembali,

(46)

pailit, maka pengadilan harus terlebih dahulu mendengar pendapat dari hakim

pengawas.

Hakim pengawas juga berhak untuk memperoleh segala keterangan yang

diperlukan mengenai kepailitan, mendengar keterangan saksi-saksi, ataupun untuk

memerintahkan diadakannya penyidikan oleh ahli-ahli, dan untuk pemanggilan

saksi-saksi tersebut di atas, harus atas nama hakim pengawas.F

55

Jumlah kreditur yang berkepentingan dengan kepailitan debitur bisa sangat

banyak, jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan tidak mustahil mencapai ribuan.

Selain jumlahnya yang sangat banyak, jenis-jenis kreditur juga beragam. Apabila

kreditur jumlahnya banyak dan beragam jenisnya, tentu akan sulit bagi kurator untuk

dapat berhubungan dengan masing-masing kreditur. Untuk mengatasi kesulitan yang

demikian, undang-undang kepailitan sangat memungkinkan dibentuknya suatu

Panitia Kreditur oleh pengadilan yang anggota-anggotanya diangkat dari kreditur

yang ada.

Dalam Undang-undang Kepailitan, mengenai panitia kreditur diatur pada Bab

II Kepailitan, bagian ketiga tentang pengurusan harta pailit khususnya paragraph tiga

mulai Pasal 79 sampai dengan Pasal 84. Panitia kreditur sendiri dibedakan menjadi

dua yaitu panitia kreditur sementara dan panitia kreditur tetap.F

56

55Apabila saksi mempunyai tempat kedudukan hukum (domisili hukum) di luar kedudukan

hukum pengadilan yang menetapkan putusan pernyataan pailit, maka hakim pengawas dapat melimpahkan pendengaran keterangan dari saksi yang bersangkutan, kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan saksi.

56

(47)

Menurut ketentuan undang-undang kepailitan kepada panitia kreditur

diberikan hak untuk setiap waktu meminta diperihatkan segala buku atau surat

mengenai kepailitan, dan kurator diwajibkan untuk membeikan segala keterangan

yang diminta kepada panitia kreditur.

Tugas utama panitia kreditur adalah untuk memberikan pendapat pada

kurator, demikian pula kurator dapat meminta pendapat dari panitia kreditur setiap

waktu yang dianggap perlu, ataupun untuk mengadakan rapat dengan panitia kreditur.

Selain memberikan pendapat kepada kurator sebagai tugas utama, panitia

kreditur juga mempunyai tugas-tugas yang lain, yaitu sebagai berikut:

a. Memeriksa surat-surat atau buku-buku yang berhubungan dengan kepailitan,

serta meminta keterangan yang diperlukan;

b. Meminta untuk diadakan rapat kreditur bila dianggap perlu;

c. Wajib memberikan pendapat pada kurator untuk memberikan jawaban

terhadap gugatan.

Pendapat yang diberikan oleh panitia kreditur kepada kurator tidaklah

mengikat kurator, apabila kurator tidak setuju dengan pendapat dari panitia kreditur

tersebut. Apabila terjadi hal yang demikian, maka yang berwenang untuk

memutuskan perbedaan pendapat itu adalah hakim pengawas.

kurator dalam tugasnya memeriksa keadaan harta pailit dan melakukan pencocokan kepada hakim pengawas.

Referensi

Dokumen terkait

Problem Atau Masalah Yang Muncul dan Cara Penyelesaiannya Dalam Pelaksanaan Eksekusi Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Hutang…… 85.

Apabila terjadi perselisihan, dimana pihak pemilik agunan tidak bersedia menyerahkan objek Jaminan Fidusia untuk pelaksanaan eksekusi melalui lelang, maka

Dari ketentuan ini terlihat bahwa, eksekusi jaminan perbankan syariah di Kota Surabaya tidak sedikit yang diajukan melalui jalur eksekusi non sukarela

Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas penulis ingin mengkaji dan menuangkan masalah pengaman eksekusi benda jaminan fidusia oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pada rumah penyimpanan benda sitaan Negara (RUPBASAN) memiliki prosedur da- lam proses eksekusi benda sitaan Negara dan barang rampasan Negara. Proses eksekusi

Agunan kebendaan, baik untuk benda bergerak maupun tidak bergerak dapat berupa hak tanggungan, gadai, hipotek, dan jaminan fidusia serta jaminan resi gudang,

Dengan demikian, digunakannya jaminan fidusia pada lembaga pembiayaan tersebut menggerakan penulis untuk melakukan penelitian tentang eksekusi benda sebagai obyek

Atas resiko-resiko yang diterima bank tersebut, pihak bank tidak dapat melakukan eksekusi atau sita terhadap benda jaminan nasabah, hal ini disebabkan karena tidak terpenuhinya