TINDAK TUTUR DALAM SIDANG PARIPURNA ANGGOTA DPRD SUMATERA UTARA DAN IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA
TESIS
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Oleh, HERNAWATY NIM 8146191009
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
i
ABSTRAK
HERNAWATY, NIM 8146191009, Tindak Tutur Dalam Sidang Paripurna Anggota DPRD Sumatera Utara Dan Implikasi Dalam Pembelajaran Bahasa. Tesis. Medan: Program Studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Pascasarjana UNIMED, Juni 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk tindak tutur lokusi, ilokusi dan perlokusi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara dalam sidang Paripurna. Pada penelitian ini, sumber data diperoleh secara langsung dari tuturan pimpinan sidang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara dalam sidang Paripurna.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Alat pengumpulan data yang digunakan untuk menjaring data adalah peneliti sendiri dan di bantu dengan dokumentasi dan alat perekam yang digunakan pihak yang berwenang di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara. Teknik pengumpulan data dengan teknik rekam dan teknik catat. Teknik analisis data adalah menyimak tuturan yang terjadi dalam sidang paripuna anggota dewan sumatera utara. Mengindentifikasi tuturan kedalam beberapa jenis tindak tutur yang diteliti yaitu tindak tutur lokusi, ilokusi dan perlokusi. Mencatat tuturan (urutan data, konteks data, jenis tindak tutur dan waktu persidangan. Menelaah dan membahas seluruh data yang telah diseleksi. Kemudian menerapkannya kedalam pembahasan masalah.
Hasil kesimpulan menjelaskan mengenai bentuk tindak tutur lokusi, ilokusi dan perlokusi terdapat dalam sidang paripurna. Wujud tindak tutur ditemukan terdapat 28 tuturan, diantaranya jenis tindak tutur lokusi sebanyak 3 tuturan, jenis tindak tutur ilokusi sebanyak 22 tuturan, dan tindak tutur perlokusi sebanyak 3 tuturan.
ii
ABSTRACT
HERNAWATY, NIM 8146191009, Speech Acts In the plenary session of Members of Parliament of North Sumatra and Implications in Learning English. Thesis. Medan: Language Study Program and Literature Graduate UNIMED Indonesia, in June 2016.
This study aims to determine how the form of locutions speech acts, illocutionary and perlocutions members of the Regional Representatives Council of North Sumatra in plenary session. In this study, the data sources obtained directly from the speech chairperson member Legislative Council of North Sumatra in plenary session.
The method used in this study is a qualitative research method is descriptive. Data collection tool used to collect the data are researchers themselves and help with documentation and recording equipment used authorities in the House of Representatives North Sumatra. Data collection techniques and technical recording technique noted. The data analysis technique is to listen to the speech that occurs in the trial paripuna board member of North Sumatra. Identifying utterances into some kind of speech acts studied were locutions speech acts, illocutionary and perlokusi. Noting utterances (sequences of data, the data context, of speech acts and the time trial. Examining and discussing all the data that have been selected. Then apply it into the discussion of the problem.
The conclusion explains the form of locutions speech acts, illocutionary and perlokusi contained in the plenary session . The form of speech acts found to contain 28 utterances, such locutions of speech acts as much as 3 speech, of speech acts illocutionary as much as 22 utterances, and the speech act as much as 3 perlokusi speech.
iv
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian …… ……...………. 75
4.2 Jenis-Jenis Tindak Tutur Anggota Dewan di Persidangan... 75
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian...………… 79
4.3.1 Tindak Tutur yang direalisasikan dalam sidang oleh anggota dewan.. 79
v
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ... 95
5.2 Saran ... 96
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.Aneka jenis tindak tutur pimpinan dalam memimpin sidang ... 23
4.1. Tindak Tutur Lokusi 2.2. Diagram Sarana-Tujuan Lanjutan ... 76
4.2. Tindak Tutur Ilokusi (Komunikatif) ………... 76
4.3. Tindak Tutur Ilokusi (Komunikatif) ………... 76
4.4. Tindak Tutur Ilokusi (Komunikatif) ………... 77
4.5. Tindak Tutur Ilokusi (Komunikatif) ………... 77
4.6. Tindak Tutur Kompetitif (Ilokusi) ……….. 77
4.7. Tindak Tutur Menyenangkan (Ilokusi) ….……….. 77
4.8. Tindak Tutur Bekerjasama (Ilokusi)……..……….. 77
4.9. Tindak Tutur Perlokusi……..……….. 78
4.10. Contoh Tindak Tutur Lokusi……….. 93
4.11. Contoh Tindak Tutur Ilokusi ……..………... 94
iii
DAFTAR GAMBAR
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Persoalan tindak tutur (speech act) dalam wacana pertuturan telah banyak
diteliti dan diamati orang. Namun, sejauh yang peneliti ketahui dalam konteks proses
persidangan, masalah tindak tutur anggota dewan belum banyak diteliti dan dibahas
orang, khususnya sebagai bahan penulisan tesis. Masalah pokok yang dijadikan objek
penelitian ini adalah tindak tutur anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera
Utara dalam sidang paripurna.
Peristiwa tutur di persidangan menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk
diteliti ketika kita jumpai adanya berbagai variasi tuturan yang terkait dalam
penggunaan bahasa di sidang paripurna anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Sumatera Utara. Sidang paripurna merupakan suatu konteks yang membicarakan
tentang hal-hal yang menyangkut kepentingan rakyat, salah satunya Pembahasan
Perda No.23 Tahun 2016 tentang pendapatan daerah dari masyarakat pinggir pantai
(Nelayan). Pada sidang paripurna banyak hal dapat terjadi terutama dalam
penyampaian pendapat sering terjadi salah tafsir, sehingga suasana rapat atau sidang
menjadi tidak terkendali, menjadi ricuh dan kadang hasil sidang seharusnya
diputuskan terpaksa tertunda. Salah satu cuplikan dalam sidang paripurna anggota
Dewan di Senayan pada tanggal 28-10-2014 berikut ini:
Anggota Dewan : “Jadi anggota dibawah jadi anggota, bukan diatas ketua!” (tanpa menunggu dipersilahkan untuk berbicara, dan dilakukan secara berulang-ulang) (a)
(suasana tidak kondusif dan terjadi perlombaan penyampaian pendapat, sehingga suaana menjadi gaduh dan ricuh)
2
kanakan, kemudian tidak mau menyerahkan nama-nama (Misbakhun) (dengan nada ketus)
Ketua Sidang : “ Saya jelaskan ,”
Anggota Dewan : “tapi jangan dikatakan surat ini surat abal-abal, hasil kemarin itu disyahkan Menhumkam pak Muktaji sebagai sekjen sebagai anggota fraksi kita ikut gak jadi masalah.” (d)
Menurut teori, ada hubungan antara bentuk tuturan dengan tindakan.
Kalimat-kalimat tidak saja dipakai untuk melaporkan, tetapi dalam hal tertentu, Kalimat-
kalimat-kalimat itu harus diperhitungkan sebagai pelaksanaan suatu tindakan. Tindak tutur
mencakup ekspresi situasi psikologis (seperti : berterima kasih, memohon maaf) dan
tindak sosial, seperti mempengaruhi perilaku orang lain (misalnya, memerintah,
mengingatkan) (Ibrahim, 1993:109). Oleh karena itu, tindak tutur selalu menghasilkan
tuturan dan efek tindakannya, baik yang bersifat psikologis maupun sosial. Tuturan
dipahami sebagai produk tindak ujar dan sekaligus bentuk tindak ujar. Leech (1993)
menyatakan bahwa tindak tutur itu merupakan salah satu jenis tindak bahasa yang
berorientasi kepada tujuan.
Variasi bentuk tuturan ketua sidang diyakini berasal dari berbagai tindakan
yang dilakukan oleh penutur ketua sidang dan munculnya jenis-jenis tindakan itu
terkait dengan strategi yang ditempuh oleh penutur untuk mencapai tujuan pertuturan.
Gejala yang hampir serupa diperlihatkan pada peristiwa percakapan antara guru
dengan siswa di kelas ketika pelajaran sedang berlangsung. Menurut penelitian para
ahli wacana, telah ditemukan 17 jenis tindakan guru di kelas, di antaranya tindak
prawacana pemula (preface starting act), tindak memberi informasi (information act),
tindak panggilan (summons), tindak pemancingan (elicitation act), tindak
3
dalam tuturan yang berbeda. Jika dalam peristiwa komunikasi di kelas ditemukan 17
jenis tindakan guru, bagaimana halnya dengan tindakan anggota dewan sebagai ketua
sidang paripurna. Peristiwa komunikasi yang dilatarbelakangi oleh latar sosial dan
tujuan yang berbeda ada kemungkinan terdapat perbedaan dalam tindak wacana.
Sebagaimana dikemukakan oleh Saville-Troike (1989:27), tiap situasi tutur
dimungkinkan untuk mendapatkan kekhasan deskripsi (etnografis) yang berbeda
dengan deskripsi (etnografis) pada situasi tutur yang lain. Berpijak pada apa yang
telah disampaikan Saville-Troike di atas, kemungkinan besar deskripsi tindak tutur
wacana kelas dan peristiwa rapat atau sidang paripurna berbeda. Dengan demikian,
usaha meneliti tindak tutur angggota dewan sebagai ketua sidang merupakan usaha
untuk merekonstruksi tindakan-tindakan apa yang menjadi tujuan ketua sidang ketika
ia memproduksi tuturannya. Gambaran masalah dapat dipahami melalui tiga aspek,
yaitu tindak tutur, anggota (sebagai partisipan tutur), dan sidang di paripurna (sebagai
situasi tutur) sebagaimana tersurat pada judul penelitian. Suatu tindak tutur
mengasumsikan adanya peristiwa tutur, dan sebuah peristiwa tutur terjadi dalam
situasi tutur atau ranah tertentu. Ketua sidang merupakan komponen partisipan tutur
yang memiliki peran tertentu yang memungkinkan terjadinya peristiwa tutur di sidang
paripurna. Partisipan anggota dewan juga mengisyaratkan adanya partisipan lain
yang terlibat dalam peristiwa tutur. Sidang mengisyaratkan adanya situasi yang
melingkupi tindak tutur dan peristiwa tutur, tujuan pertuturan, norma, kaidah
pertuturan, dan topik.
Kekhasan deskripsi tindak tutur yang terjadi dalam situasi rapat atau sidang
tampaknya menjadi objek yang menarik untuk diteliti, terutama kekhasan tindak tutur
dari partisipan kunci, yakni ketua. Dari kajian ini akan diperoleh informasi penting
4
yang akan dicapai dari setiap tindak tutur, dan penempatan jenis-jenis tindak tutur
dalam struktur wacana. Informasi ini sangat bermanfaat untuk membangun
pengetahuan tentang hubungan antara tindak tutur dengan peristiwa tutur dalam
konteks situasional dan sosial. Mengingat pentingnya pengetahuan tentang tindak
tutur dalam situasi persidangan, maka penelitian tentang tindak tutur ketua di dalam
memimpin sidang mendesak untuk dilakukan.
Tindak tutur selalu melibatkan pemakaian bahasa karena dengan bahasa ketua
dapat mengutarakan dan menerima informasi yang berupa pikiran, ide atau gagasan,
maksud, pendapat, perasaan, pengalaman, harapan, emosi, dan sebagainya, kepada
atau dari orang lain secara langsung. Pemakaian bahasa terkait dengan fungsi bahasa
dalam komunikasi. Halliday (1992:107) mengemukakan, “a text is an operational unit
of language”. Pengoperasian bahasa tersebut tidak dapat dilepaskan dari penggarapan
isi tuturan, gaya penuturan, maupun konteks pertuturannya. Penggarapan unsur
kebahasaannya, misalnya pemilihan kata dan pengkalimatannya, tidak semata-mata
ditentukan oleh kaidah ketatabahasaan secara internal melainkan juga ditentukan oleh
pemenuhan fungsi bahasa dalam hubungan kemanusiaan, baik yang merujuk pada
fungsi ideasional, interpersonal, maupun tekstual.
Teks merujuk pada wujud penggunaan bahasa secara konkret, baik dalam
bentuk tuturan lisan maupun tulisan. Sebagai bentuk penggunaan bahasa, tuturan lisan
maupun tulisan kehadirannya mempunyai fungsi tertentu sesuai dengan tujuan
pemakainya. Dalam kaitan itu, sistem mengacu pada kebermaknaan hubungan
komponen fungsional bahasa, yang merujuk pada komponen ideasional, interpersonal,
dan tekstual. Komponen yang mengacu pada aspek struktur linguistik adalah elemen
pembentuk struktur linguistik secara keseluruhan yang secara umum berhubungan
5
Salah satu bentuk bahasa yang digunakan manusia untuk berkomunikasi
adalah bahasa lisan. Bahasa lisan digunakan untuk berkomunikasi secara langsung
antar pembicara, sedangkan bahasa tulis digunakan untuk berkomunikasi tidak
langsung. Dengan menggunakan bahasa lisan, pembicara dapat mengatur efek
kualitas suara, ekspresi muka, isyarat, dan sikap tubuh. Dengan bahasa lisan
pembicara dapat memperoleh umpan balik secara langsung. Jadi, secara garis besar
sarana komunikasi verbal dibedakan menjadi dua macam, yaitu sarana komunikasi
yang berupa bahasa lisan dan sarana komunikasi yang berupa bahasa tulis.
Penggunaan bahasa secara lisan menghasilkan sebuah wacana. Sesuai dengan
sarananya, wacana itu disebut wacana lisan. Wacana yang dihasilkan dalam bentuk
lisan, misalnya berupa percakapan, khotbah, pidato, siaran berita, iklan yang
disampaikan secara lisan, dan siaran langsung di tv atau radio, baik itu berupa dialog
maupun monolog.
Wacana dialog merupakan wacana yang dilakukan oleh dua orang dan terjadi
pergantian peran (dari pembicara menjadi pendengar atau sebaliknya). Pendengar
memberikan tanggapan secara langsung atas ucapan pembicara. Wacana dialog,
misalnya percakapan atau dialog antara dua orang yang sedang mengadakan transaksi
jual beli, tanya jawab, diskusi, dan sebagainya, seperti halnya terdapat pada dialog
percakapan sidang di sidang paripurna.
Untuk mencermati peristiwa dalam sidang paripurna dapat disimpulkan bahwa
tindak tutur yang dilakukan oleh anggota DPRD, sepenggal tindak tutur yang
dihasilkan oleh interaksi sosial yang secara secara pragmatis memiliki tindakan
bahasa yang diwujudkan oleh seorang penutur dalam tindak tutur lokusi, ilokusi dan
6
Dalam sidang paripurna seharusnya anggota dewan harus memahami makna
dalam komunikasinya ketika mengungkapkan kalimat-kalimat agar lebih
komunikatif. Karena kalimat-kalimat komunikatif memiliki dua kategori berdasarkan
maknanya : 1 ) kalimat perlakuan atau pernomative dan 2) kalimat pernyataan atau
constative, contoh dalam siang paripurna pada tanggal 20 Januai 2016, sebagai
berikut : Contoh kalimat perlakuan adalah: 1) Dia berjanji untuk hadir dalam rapat
besok pagi. Kalimat pernyataan 2) Saya berikan waktu skors selama setengah jam,
lalu kita lanjutkan rapat ini nanti. Baik kalimat 1 maupun 2 mengandung makna
perlakuan. Kalimat 1, perlakuan yang dimaksud adalah ‘janji yang diucapkan untuk
masuk sekolah pagi’. Sementara, kalimat 2 adalah seseorang akan diberikan skors
oleh ‘saya si penutur. Artinya, tanpa ada tuturan pemberian skors, seseorang itu atau
‘kamu’ tidak akan kena skors. Sementara, kalimat pernyata adalah kalimat untuk
menyatakan kebenaran. Misalnya, Semarang adalah ibu kota Jawa Tengah.
Pengungkapan kalimat yang dilakukan oleh anggota dewan dalam sidang
paripurna sudah membudaya dalam penyampaian suatu konteks yang tidak sesuai
sehingga kericuhan tidak dapat dihindarkan. Konteks merupakan salah satu
pendukung terciptanya suasana komunikatif. Konteks adalah sesuatu yang melingkupi
dan menyertai hadirnya ujaran atau teks ketika dilakukan kegiatan berbahasa. Konteks
meliputi konteks fisik dan konteks sosial psikologis. Konteks fisik seperti tempat,
waktu, media dan lain-lain sedangkan konteks sosial psikologis, misalnya, keadaan
batin pemeran, hubungan antara peran dan latar belakang sosial ekonomi, pendidikan
dan lain-lainnya (Konteks : Pembahasan Perlengkapan Alat-alat Tulis di DPR Pusat).
Ketua : “bagaimana saudara-saudara kita tunda saja hasil rapat hari ini, karena masih banyak ketidak sepakatan kita semua!”. Anggota : “jangan ketua, lanjut saja!....(suasana menjadi kurang
kondusif)
7
Anggota : “tunda ketua, tunda saja ketua!!!” (berjalan sambil berkata- kata)
Sebagai pemuka masyarakat yang merupakan panutan masyarakat untuk
menjalankan amanat rakyat, tindak tutur yang dilakukan berdasarkan analisis peneliti
selalu menggunakan tindak tutur ilokusi.
Tindak tutur yang terjadi di berbagai tempat tersebut dapat kita teliti sesuai
dengan pemahaman mengenai ilmu pragmatik. Levinson dalam Tarigan (1987:33),
berpendapat bahwa pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan
konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa,
dengan kata lain telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta
menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Untuk itu dalam
meneliti tindak tutur kita harus dapat memahami kaitan antara tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tutur dengan konteks tuturannya.
Tindak tutur para anggota dewan yang ditayangkan beberapa waktu yang lalu
menjadi permasalah bagi peneliti khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya,
karena tindak tutur yang terjadi dalam tayangan televisi dalam sidang paripurna
beberapa waktu yang lalu bukan mencerminkan tindak tanduk sebagai petinggi negara
kita yang mana mereka sesungguhnya wakil bangsa ini untuk menyelesaikan
permasalahan bangsa ini dari berbagai daerah. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya
bukan keputusan untuk kepentingan bersama melainkan suatu tontonan dengan sikap
keegoisan masing-masing dengan tindak tutur yang tidak diharapkan. Hal ini terjadi
dikarenakan pengetahuan yang dangkal dan minim dapat mengakibatkan hal yang
diuraikan tersebut bisa terjadi. Tidak hanya dalam kegiatan resmi seperti sidang
8
yang baik dan penuh dengan kesopan-santunan sangat diperlukan, karena dapat
mencerminkan kepribadian manusia itu sendiri.
Suatu percakapan diperlukan kemampuan pemahaman tentang tujuan, nada,
dan sikap penutur terhadap mitra tutur serta topik tuturan. Dengan demikian akan
terjadi suatu pemahaman pesan, baik yang tersirat maupun yang tersurat dalam suatu
percakapan. Pemahaman terhadap pesan yang tersirat dapat dilihat melalui makna
kalimat yang dituturkan, sedangkan pemahaman terhadap pesan yang tersurat dapat
dilihat melalui kepekaan dalam menilai perbedaan watak, gaya bicara dan kebiasaan
seseorang. Pimpinan sidang dalam memimpin dituntut memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi dengan mitra tuturnya sebaik mungkin, antara lain dengan
menggunakan bahasa yang cocok dan diksi yang terseleksi, sehingga membentuk
suatu tuturan yang baik. Tujuannya adalah agar proses persidangan dapat berjalan
dengan lancar dan menghasilkan suatu keputusan yang baik, dalam artian tidak
merugikan orang lain. Dalam semantik tindak tutur bahasa digunakan untuk
mengerjakan sesuatu, melukiskan sesuatu, dan bahasa digunakan untuk berjanji,
menghina, menyatakan persetujuan, mengkritik, dan sebagainya. Itulah sebabnya
antara bahasa dan pikiran seolah-olah tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan
pengamatan peneliti, pimpinan sidang dalam memimpin sidang melakukan tindak
tutur dengan partisipan tutur lainnya. Dalam persidangan seorang pimpinan harus
menghasilkan wacana yang diarahkan untuk pencapaian suatu tujuan tertentu.
Pimpinan sebagai partisipan tutur adalah pengendali persidangan dari awal sampai
dengan akhir sidang.
Penggunaan bahasa dalam pembelajaran di kelas merupakan realitas
pembelajaran di kelas. Guru/dosen sebagai orang yang memiliki peranan penting
9
menyampaikan ide kepada siswa. Oleh karena itu bahasa memiliki peranan dalam
perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa dan menerapkan kunci
penentu menuju keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Sesuai dengan
penjelasan di atas maka peneliti tertarik untuk menganalisis tindak tutur anggota
dewan. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti meneliti tindak tutur dalam
sidang paripurna anggota Dewan Sumatera Utara dengan judul “Tindak Tutur Dalam
Sidang Paripurna Anggota DPRD Sumatera Utara dan Implikasi dalam Pembelajaran
Bahasa”. Dengan demikian tindak tutur anggota dewan yang mana bisa diterapkan dalam pembelajaran maupun yang tidak diterapkan dipembelajaran.
1.2 Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, ada beberapa hal yang dapat
diidentifikasi yaitu :
1. Metode penutur yang biasa digunakan adalah metode konvensional yang ada
umumnya sering membuat para anggota dewan menjadi bosan dengan penuturan
yang tidak menarik
2. Masih minimnya penggunaan tindak tutur dalam berbahasa pada saat sidang
anggota dewan
3. Kurang optimalnya penggunaan tindak tutur dalam berbahasa pada saat sidang
anggota dewan
4. Kurangnya pengetahuan penutur dalam menggunakan tindak tutur pada saat sidang
anggota dewan
5. Kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi antara pimpinan sidang dengan para
10
bahasa yang cocok dan diskusi yang terseleksi, sehingga membentuk suatu tuturan
yang baik.
1.3 Batasan Masalah
Agar memperoleh hasil yang mendalam dan terfokus, masalah dibatasi pada
empat hal yaitu jenis tindak tuturnya, realisasinya dalam sidang dan implikasi tindak
tutur dalam pembelajaran dilihat dari jenis tindak tutur: (1) tindak lokusi (locutionary
act), (2) tindak ilokusi (illocutionary act), dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary
act), sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Austin, Searle dan Leech (1993).
1.4 Rumusan Masalah
Dari uraian dalam latar belakang masalah, dapatlah dirumuskan masalah
penelitian yaitu:
1. Jenis tindak tutur apakah digunakan dalam sidang paripurna anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara?
2. Bagaimana tindak tutur itu direalisasikan dalam sidang paripurna anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara?
3. Apakah implikasi tindak tutur itu dalam pembelajaran bahasa?
1.5 Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka peneliti membuat tujuan penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan jenis tindak tutur yang memenuhi kriteria dalam sidang paripurna
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara
2. Mendeskripsikan tindak tutur itu direalisasikan dalam sidang paripurna anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara
11
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan dua manfaat, yaitu manfaat
teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis dan praktis manfaat penelitian ini dapat
dijelaskan sebagai
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini mengkaji penggunaan bahasa yang dilakukan anggota dewan
dalam persidangan, meliputi jenis tindak tutur yang dilakukan anggota dewan dan
urutan tindak tutur yang dilakukan anggota dewan dalam persidangan baik sidang
internal maupun eksternal. Manfaat teoritis yang diharapkan diperoleh dari hasil
penelitian ini adalah dapat mengembangkan dan menambah khasanah kajian tentang
teori tindak bahasa, terutama berkaitan dengan tindak bahasa dalam ranah atau
domain persidangan, serta mengembangkan kajian analisis wacana dan pragmatik
dalam tindak bahasa.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan diperoleh dari deskripsi hasil penelitian ini
adalah kita dapat mengetahui efektif atau tidak tindak tutur yang dilakukan pimpinan
sidang dalam memimpin sidang. Dengan demikian, dapat memberi masukan
khususnya bagi calon pimpinan sidang selanjutnya tentang pola tindak penggunaan
bahasa dalam persidangan dan pola tindak tutur yang efektif. Di samping itu, dapat
dimanfaatkan oleh para praktisi politik yang duduk bangku dewan dalam menjalankan
tugasnya, yaitu mencari kebenaran material dari persidangan yang terjadi melalui
tuturan antara pimpinan dengan anggota dewan beserta perangkat lainnya secara
12
kepada pemerhati bahasa dalam domain persidangan DPRD Sumatera Utara, dan
dapat dimanfaatkan sebagai acuan melakukan penelitian sejenis lebih lanjut.
Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh tambahan wawasan, pengetahuan, dan
pengalaman bagi peneliti dan masyarakat pada umumnya, dalam memahami makna
tersirat (yang tersembunyi) dan pesan yang terdapat di dalam tuturan, khususnya
tuturan hakim dalam memimpin sidang, sehingga dapat berkomunikasi dengan baik.
Dengan demikian, masyarakat dapat menghadapi situasi komunikasi yang selalu
95
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Simpulan
Berdasarkan hasil uraian dan penjelasan di atas, dapat diambil beberapa
simpulan, antara lain:
1)Jenis tindak tutur yang dilakukan oleh anggota dewan dalam sidang paripurna
adalah sebanyak 28 jenis ketika memimpin sidang dan tuturan anggota dewan.
2)Tindak tutur itu direalisasikan dalam sidang paripurna melalui tindak tutur ekpresif
karena lebih sering digunakan dalam menyatakan atau menunjukkan psikologi
penutur terhadap keadaan, dalam hal ini anggota dewan dalam menyampaikan
pendapatnya dalam keadaan tidak terbeban oleh apapun dan merasa bahwa sidang
paripurna adalah wadah untuk berdiskusi yang sifat kondusif dan dilakukan dengan
keadaan tenang dan mematuhi norma-norma yang berlaku dengan bertujuan sosial.
Tuturan-tuturan tersebut lebih banyak memberikan tuturan bertujuan sosial berupa
pemeliharaan perilaku yang sopan dan terhormat menyampaikan pendapat dan
pertanyaan seperti yang terdapat pada bagian-bagian dari tindak tutur ekspresif
dengan persentase 73,34% lebih besar dari presentase tindak tutur lainnya. Oleh
karena itu dapat dikategorikan baik namun masih perlu mempelajaran tentang
berbahasa yang baik dan benar serta santun demi kemajuan bangsa ini.
3)Penuturan dari pimpinan anggota DPRD Sumatera Utara dapat terimplikasi ke
dalam pembelajaran bahasa di kelas. Di kelas, guru dan siswa menggunakan wujud
verbal tindak ilokusi, dan strategi penyampaian tindak ilokusi sesuai dengan faktor
sosial budaya. Dengan demikian, pemakaian bahasa guru kepada siswa pada
percakapan dalam pembelajaran di kelas menggambarkan kesantunan tindak tutur
96
lokusi, ilokusi dan perlokusi (menyapa, bertanya, menyuruh, mem memerintah,
menerangkan, memberi penilaian, berpesan, dan memarahi, menyuruh, memarahi,
menjawab, mengucapkan selamat, memuji, menanya, menghargai, menyambut).
Pemakaian bahasa siswa kepada guru pada percakapan di kelas, khusunya tuturan
guru, merupakan ujaran sebagai unit terkecil dalam interaksi verbal. Hal itu
berdasarkan pandangan bahwa tuturan atau ujaran sebagi unit terkecil dalam suatu
interaksi verbal senantiasa menyatakan tindakan. Sebagai sesuatu yang menyatakan
tindakan, ujaran itu disebut tindak tutur. Pada dasarnya, semua komunikasi verbal
melibatkan tindak tutur.
5.2.
Saran
Setelah melakukan penelitian tentang kajian pragmatik tindak tutur lokusi,
ilokusi dan perlokusi pada sidang paripurna. Kemudian diperoleh data-data sesuai
dengan yang dibutuhkan dalam tujuan penelitian, maka diperoleh hasil. Dalam hal ini
peneliti mencoba memberi suatu gambaran berupa saran yang berguna yakni :
1. Penelitian ini dapat menjadi bahan acuan bagi peneliti selanjutnya.
2. Disarankan agar peneliti selanjutnya dapat memanfaatkan hasil penelitian ini
dengan kajian yang lebih mendalam agar hasil saat ini dapat lebih berkembang.
3. Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas wawasan pembaca
97
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Mohammad, dkk., 2006. Pemahaman Proses Kinerja dan Struktur Organisasi di Instansi Pengadilan Negeri Jember.
Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung
Austin, J.L. 1962. How to do Things with Words. Cambridge, mass
Austin, J.L. 1975. How to do Things with Words. Harvard
Brooks. 1964. Language and language learning New York
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta
Chaer, Abdul. 2001. Sosiolinguistik. Jakarta
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Lingistik, Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung
Djajasudarma, Fatimah. 2006. Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung
Halliday, M.A.K. 1992. Bahasa, konteks, dan teks. Yogyakarta
Hymes, Dell. 1989. Foundations In Sociolinguistics An Ethnographic Approach. Philadelphia
Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya
Ibrahim, Abd. Syukur. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya
Kaswanti, Bambang. 1993. PELLBA 6. Yogyakarta
Keraf, Gorys. 1980. Komposisi. Jakarta
Keraf, Gorys. 1994. Komposisi: Sebuah pengantar kemahiran bahasa. Flores: Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta
Kunjana. 2000. Imperatif dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta
Kunjana. 2008. Imperatif dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta
98
Leech, Geoffrey. 1993. The Principles of Pragmatics (Terjemahan M.D.D. Oka). Jakarta
Levinson; Stephen. 1983, Pragmatics. Cambrige, London
McCroskey. James C. Carl E. Larsen dan Mark l. Knap. 1971. An Indroduction to Interpersonal Communication.
Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung
Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta.
Nababan, 1987. Ilmu pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta
Nazir, Mohammad. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta
Orton, Anthony. 1991. Learning Mathematics: Issue, Theory and Classroom Practice. Iowa
Rahardi, Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta
Rani, Abdul. 2006. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa Dalam Pemakaian.
Malang.
Richards, Jack. Platt John, Heidi Weber. 1985. Longman Dictionary of Applied Linguistics. England.
Rustono, 1999. Pokok-PokokPragmatik. Semarang
Saville-Troike, Muriel.1989. The Ethnography of Communication An Introduction.
Searle, John. R. 1983. Speech Act: An Essay in the Philosophy of Language.
Siburian, Tiur dan M. Surip 2013. Metodologi Penelitian Manajemen Pendidikan.
Sinclair, J.Mc. dan R.M. Coulthard. 1978. Toward an Analysis of Discourse (The English Used by Theacher and Pupils). Oxford
Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi.
Stiff, V.L, Johnson, L.J, and Johnson, R.M. 1993. “Cognitive Issue in athematics Education”. In Wilson. I & Patricia. S (Ed). Reseach Ideas for The Classroom: High School Mathematics New York
Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik. Yogyakarta
99
Sugiyono. 2008. Pendekatan kuantitatif, Kualitatif, dan R dan D. Alfabeta.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sumarlan. 2004. Analisis Wacana. Surakarta
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivissme dalam Pendidikan. Yogyakarta
Tarigan, Henry G., 1987. Pengajaran Wacana. Bandung
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta
Yule, George. 1996. Pragmatik. Terjemahan Indah Fajar Wahyuni dan Rombe Mustajab. 2006. Yogyakarta