• Tidak ada hasil yang ditemukan

Format Hubungan Negara dan Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Format Hubungan Negara dan Masyarakat"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

FORMAT HUBUNGAN NEGARA DAN MASYARAKAT

Junjungan SBP Simanjuntak

Abstract: The state are compulsary associations claimming control over territories and the people within them, administrative, legal, extractive, and coercive organizations are the core of any state. The state must be considered as more than goverment, it is continous administrative, legal, beaucratic and coercive system that attemp not only to structure relationship between civil society and public authority in a polity but also to structure many crucial relationship within civil society as well.

Keywords: civil society, state

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini pengkajian mengenai format hubungan negara dan menarik untuk dibicarakan terlebih karena globalisasi membawa perubahan yang meluas, mendasar dan cepat pada setiap aspek kehidupan. Berbagai konsep dan teori mengenai hubungan negara dan masyarakat turut mengalami perubahan. Fenomena perubahan ini bisa dilihat dari semakin intensnya masyarakat menuntut hak-haknya sebagai konsekuensi logis dari demokratisasi. Disamping itu banyak peristiwa politik yang terjadi dibelahan bumi ini dimana bagi sebagian pengamat menganggap bahwa hal itu merupakan proses awal dari demokratisasi yang akan terjadi dalam skala global.

Bukti lainnya adalah runtuhnya tembok Berlin, terceraiberainya Uni Soviet, keberhasilan gerakan solidaritas di Polandia pimpinan Lech Wallesa, maraknya gerakan pro demokrasi di Hongaria, Cekoslowakia, dan tumbangnya rezim sosialis komunis di Yugoslavia dan banyak lagi peristiwa lainnya yang tidak lain adalah dampak daripada demokratisasi.

Gerakan demokrasi telah menempatkan kekuatan masyarakat sebagai kelompok yang mempunyai hak otonom menuntut jaminan bagi hak-hak asasi manusia dimana kebebasan berbicara, kebebasan menyatakan pendapat, serta rasa keadilan yang merata, termasuk masalah pembagian sumber daya ekonomi yang merata menjadi bagian dari proses ini.

Persoalan ini merupakan masalah aktual dalam hubungannya dengan negara, dimana semangat demokrasi turut mewarnai hubungan masyarakat sipil dengan negara. Bagaimana negara menyatakan keberadaannya di tengah tengah masyarakat sipil yang kompleks dan

memiliki jaringan-jaringan yang memiliki potensi tersendiri yang dapat mempengaruhi negara.

Sejalan dengan hal itu Heningsen mengatakan bahwa masyarakat sipil dapat diartikan sebagai pengelompokan dari warga negara yang dengan bebas dan egaliter mampu untuk mengadakan wacana tentang segala hal yang berkaitan dengan masalah yang dihadapinya.

Di dalam masyarakat sipil ini terdapat jaringan-jaringan, kelompok-kelompok sosial yang terdiri dari keluarga, organisasi–organisasi sukarela, sampai pada organisasi yang mungkin pada awalnya di bentuk oleh negara untuk melayani kepentingan masyarakat itu sendiri. Walaupun masyarakat mampu untuk mengimbangi negara tetapi masyarakat tidak menghalangi negara untuk berperan sebagai penjaga perdamaian atau keamanan dan sebagai wasit diantara berbagai kepentingan yang bertolak belakang.

Pemahaman yang berbeda mengenai masyarakat sipil ini dikemukakan oleh Karl Marx yang mengatakan bahwa negara yang melindungi masyarakat sipil dan masyarakat sipil yang mengimbangi negara adalah mubazir dan penuh penipuan. Maka dari itu formulasi masyarakat sipil tidak diperlukan, karena begitu eksploitasi berakhir, munculah tatanan sosial yang tak memerlukan penguatan yang bersifat memaksa sebagaimana peranan negara. Hanya perpecahan internal yang patologis dari masyarakat yang dapat menciptakan kebutuhan akan negara; jadi hilangnya kondisi itu maka secara otomatis akan menghilangkan kebutuhan akan sebuah negara (Karl Marx, Membangun Masyarakat Sipil, 1994).

(2)

adalah konsep negara sebagaimana yang diformulasikan oleh Max Weber yang mengatakan bahwa “Negara sebagai organisasi pemaksa yang bertugas mengendalikan wilayah dan penduduk yang tinggal dalam wilayah tersebut melalui pengorganisasian yang bersifat koersif, ekstraktif, legal, dan administratif.” Tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Alfred Stepan yang mengatakan bahwa “Negara mempunyai kemampuan bertindak tidak hanya untuk menentukan bentuk hubungannya dengan masyarakat tetapi lebih daripada itu menentukan hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat, dimana negara mempunyai karakteristik yang intervensionis artinya sedikit banyak negara ikut mencampuri urusan masyarakatnya sendiri.”

Secara konsepsional format hubungan negara dan masyarakat setidaknya dapat ditelusuri melalui 4 model yaitu:

1. Model Bureaucratic Polity. (Karl D Jackson)

Bureaucratic polity secara khusus

melihat sejauh mana pembuatan keputusan terisolasi dari pengaruh pengaruh kekuatan sosial politik diluar elite. Jackson mengatakan bahwa ketika pada tahun 1957 format demokrasi di Indonesia diakhiri dengan diberlakukannya undang-undang darurat perang, ternyata format hubungan masyarakat dengan negara tidak banyak mengalami perubahan yang fundamental, bahkan sejak kepemimpinan jatuh ke tangan orde baru kekuasaan masih terkonsentrasikan di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno (1959-1966).

Dalam model Bureaucratic Polity pemegang kekuasaan tertinggi adalah Presiden dimana ia memiliki kekuasaan yang didasarkan pada kewenangan resmi dan bukan sekedar legitimasi tradisional. Untuk itu Presiden harus disokong oleh sekurang-kurangnya konsensus minimal dari elite militer dan birokrasi. Sejalan dengan hal itu maka keputusan-keputusan Presiden harus dikonsultasikan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada elite militer dan birokrasi.

Peranan Militer di negara berkembang pada dasarnya adalah untuk mendukung aspirasi politik masyarakat di bawah kepemimpinan sipil. Ketika peranannya telah menyimpang jauh dari apa yang dimaksud di atas maka, ia dianggap

telah melakukan intervensi politik. Sedangkan pada umumnya di negara berkembang atau di Dunia Ketiga, lebih banyak kecenderungan militer untuk melibatkan diri dalam perpolitikan nasional.

Keterlibatannya militer di Dunia Ketiga dimungkinkan terjadi oleh karena beberapa faktor, seperti dikemukakan oleh Bilver Singh: (1). Apabila ada kelompok-kelompok kuat dalam masyarakat yang mengancam eksistensi angkatan bersenjata. (2), militer akan melakukan intervensi politik untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar yang oleh korps perwira dianggap lebih sesuai dengan struktur-struktur politik yang ada dalam masyarakat. (3). Adanya keterlibatan militer di negara-negara dunia ketiga ini membuat diskusi tentang rezim militer menjadi semakin menarik terlebih karena memberikan pengaruh pada format hubungan masyarakat dengan negara, sebagaimana yang dikemukakan oleh Amos Perlmutter bahwa apa yang disebut sebagai rezim militer tidaklah harus didominasi oleh militer. (Bilver Singh, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal: 5). Rezim militer dapat dijelaskan dari bagaimana hakikat hubungan elite negara seperti antara struktur militer dan sipil; bagaimana otonomi birokrasi negara dan institusi militer; bagaimana hakikat sarana politis dan administratif yang dimanfaatkan oleh rezim tersebut untuk mencapai modernisasi, bagaimana legitimasi struktur birokratis, komisi, partai politik, kelompok– kelompok kepentingan dan militer itu sendiri.

Satu hal yang menarik adalah bahwa adanya semacam kaidah yang biasanya berlaku dalam militer yakni melakukan intervensi, apabila terjadi krisis politik, ekonomi, sosial yang muncul sebagai akibat dari perubahan masyarakat.

(3)

Jadi sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya maka alasan militer untuk campur tangan biasanya meliputi alasan–alasan sbb: Anti kolonialisme, nasionalisme, oposisi terhadap rezim nasionalis, anti-oligarkisme, dorongan untuk melindungi institusi militer dari pelanggaran dan ketakutan akan hilangnya otonomi dan kekuasaan militer, keinginan untuk mempromosikan modernisasi dan perkembangan ekonomi, serta tanggapan terhadap ancaman dari sayap kiri (Amos Perlmutter, Political Roseland Millitary Rules, 1980, hal 238).

Model Kepolitikan birokratik juga harus dibedakan dengan pemerintahan militer atau kediktatoran militer, atas dasar ”gaya” dan ”tujuan” (bentuk kebijakan) pemerintahan yang lebih bercorak birokratik dan tehnokratik daripada militeristik. Jackson memberi gambaran bagaimana kompetisi untuk memperoleh kekuasaan yang berlangsung di lingkungan para pengambil keputusan (the ruling circle) yang jumlahnya kurang dari 1000 orang di Jakarta, yaitu melalui penggunaan jaringan hubungan ”patron-client” yang secara nyata dapat mengatasi dan memotong jalur hubungan lain yang lebih sempit, seperti etnik, famili dan aliran.

Hubungan ”patron-client” adalah hubungan-hubungan yang terjadi antara bapak dan anak buah yang bersifat pribadi dan saling menguntungkan. Dalam hal ini tugas patron tidak sekedar memberi imbalan material namun merangkap sebagai pelindung dan penasehat masalah-masalah pribadi, kepercayaan dan mistik. Sedangkan pihak klien dituntut kesetiaannya untuk mengabdi sekaligus bersedia secara total untuk ikut berjuang guna mempertahankan keutuhan kekuasaan dari patron.

2. Model Neopatrimonialism (Donald K

Emerson, R William Liddle, Harold Crouch) Model ini didasarkan pada pandangan Guenther Roth sebagai hasil penafsiran terhadap tesis ”kekuasaan patrimonial” yang dikemukakan oleh Max Weber. Menurut model ini penguasaan perorangan/pribadi disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat modern, melalui detradisionalisasi patrimonialisme klasik dan kemudian dibentuk patrimonialisme baru, dimana legitimasi didasarkan pada imbalan-imbalan material. Kekuasaan perorangan/pribadi dapat

diperluas daya jangkaunya melalui penggunaan organisasi–organisasi modern seperti, birokrasi, militer dan organisasi-organisasi kepentingan lainnya.

Konsep kekuasaan dalam negara neopatrimonial diturunkan dari konsep Jawa (Mataram) yang melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang ”homogen, mengumpul dan berjumlah tetap”. Dalam pengertian ini, antara pemegang kekuasaan dan gejala kekuasaan dipandang merupakan satu kesatuan. Oleh sebab itu aktifitas politik dipahami harus selalu terpusat pada si pemegang kekuasaan. Benedict Anderson, mengatakan bahwa budaya yang ada di negara-negara Dunia Ketiga seperti halnya Indonesia masih bersifat feodal. Kekuasaan politik masih dianggap sebagai perpanjangan dari kekuasaan ke Ilahian, sehingga tidak bisa ditentang" (Benedict Anderson, Teori Negara, 1996, hal: 107). Adapun kekuasaan dikonsentrasikan kepada pemegangnya melalui penggunaan hubungan patron-client, sehingga struktur kekuasaan dapat digambarkan sebagai lingkaran–lingkaran vertikal yang memusat (seperti spiral lancip). Lingkungan di luar pusat kekuasaan diwarnai oleh kompetisi untuk mendapatkan perhatian dan keistimewaan dari pusat kekuasaan.

Tali pengikat utama dari kelangsungan struktur kekuasaan ini adalah berupa imbalan– imbalan material yang didiseminasikan dari pusat kekuasaan ke stuktur–struktur bawahnya, melalui jaringan hubungan yang ada tersebut. Menurut R William Liddle penguasaan perorangan/pribadi ini terbagi atas tingkatan-tingkatan yaitu: (1). Lembaga Kepresidenan dengan Presiden sebagai penguasa mutlaknya. (2). Eselon kedua yang terdiri dari berbagai kelompok yang saling berkompetisi seperti: militer, partai politik, birokrasi pemerintahan dll.

(4)

kelas-kelas sosial yang ada. Kekuasaan yang lebih besar dari pada kekuatan yang ada di tangan rakyatnya. Ketika masyarakat jajahan ini berhasil memperoleh kemerdekaan, pemerintah atau birokrasi kolonial yang ada masih tetap utuh. Penguasa nasional yang baru seringkali merasa bahwa perangkat kekuasaan ini memudahkan mereka untuk memerintah. Karena itu di banyak negara Dunia Ketiga yang memperoleh kemerdekaan, bentuk pemerintahannya harus dipertahankan, atau sangat sedikit diubah oleh penguasa yang baru, dan inilah yang disebut sebagai negara pasca kolonial" (Hamza Alavi, Teori Negara, 1996, hal: 109).

3. Model Bureaucratic Capitalist State

(Richard Robinson)

Model ini dikembangkan atas dasar ”teori perjuangan kelas” dan persepsi masyarakat yang mengacu pada pandangan Karl Marx yang mengatakan bahwa: masyarakat sipil merupakan suatu penipuan. Melindungi masyarakat sipil dan masyarakat sipil yang melindungi negara adalah mubazir dan penuh penipuan. Menurutnya formulasi masyarakat sipil tidak diperlukan: begitu eksploitasi berakhir, munculah tatanan sosial yang tak memerlukan penguatan yang bersifat memaksa.

Menurut pandangan ini struktur politik terdiri dari formasi kelas-kelas ekonomi domestik yang berkoeksistensi dengan dan terintegrasikan kedalam kapitalisme internasional. Dalam perspektif ini negara sebagai alat yang digunakan oleh kelompok-kelompok konglomerat untuk mempertahankan penguasaan mereka terhadap sumberdaya ekonomi yang ada. Kelompok-kelompok ini berkoalisi dengan birokrat dan kaum kapitalis komprador domestik yang sebagian besar merupakan borjuasi Cina dan kapitalisme internasional. Sebagaimana yang dikatakan oleh Peter Evans bahwa persekutuan antara Borjuasi lokal, modal asing dan pemerintah (Peter Evans, Teori Negara, hal 113, 1996).

Sehubungan dengan itu maka nasionalisme merupakan basis ideologi bagi terselenggaranya akumulasi modal negara, berguna untuk berargumentasi melawan perusahaan–perusahaan multinasional.

Nasionalisme memberikan legitimasi bagi birokrat pemerintah untuk menjalankan perannya di mata borjuasi lokal. Nasionalisme

juga merupakan satu-satunya basis di mana pemerintah dapat menyatakan kepada rakyat banyak bahwa mereka sedang menjalankan pembangunan nasional, yang hasilnya nanti dinikmati oleh segala lapisan masyarakat. (Alejandro, Teori Negara, hal: 115, 1996).

Pada model ini struktur politik tersusun sebagai konsekuensi dari-dan merupakan respon terhadap tekanan-tekanan stuktural yang berbasis pada pertentangan-pertentangan ekonomi, dengan pemihakan negara kepada kelestarian dominasi kelompok koalisi penguasa ekonomi ini. Atas dasar itu maka pengambilan keputusan dan kebijakan berorientasi kepada kepentingan kelompok ini, dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional yang menghindari kerugian dari kelompok-kelompok ini. Apabila kelompok ini mengalami kerugian maka akan berakibat fatal pada struktur secara keseluruhan, termasuk didalamnya kekuasaan rezim.

4. Model Bureaucratic Authoritarian Regime

(Juan Linz, Guillermo O Donnel, Dwight Y King).

Model ini menjelaskan bahwa negara sangat mandiri dalam menghadapi masyarakatnya, dimana untuk itu negara secara terus menerus menolak tuntutan-tuntutan politik para pemimpin masyarakat terutama yang berasal dari kelas bawah, bahkan para pemimpin rakyat juga disingkirkan dari kedudukan–kedudukan politik yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan yang di lakukan oleh negara (Guillermo O, Donnel, Teori Negara, hal: 109, 1996).

Model ini mendalilkan bahwa dominasi negara harus jelas, modern dan relatif stabil dan memiliki keunggulan struktur serta kemampuan luar biasa untuk mempertahankan diri dan mengendalikan berbagai macam tekanan potensial yang muncul dari masyarakat selama modernisasi. Model ini memperkuat dirinya melalui landasan legitimasi yang variatif, yaitu suatu kombinasi yang diperhitungkan antara prinsip-prinsip tradisional, kharismatik, legal-rasional, substantif-rasional dan prinsip-prinsip efisiensi teknis.

(5)

persyaratan sebagai berikut: (a) tercapai kesepakatan mengenai prosedur-prosedur politik untuk menghasilkan pemerintahan; (b) pemerintah pemegang kekuasaan adalah atas dasar hasil pemilu yang bebas; (c) pemerintah memiliki otoritas untuk menghasilkan kebijakan– kebijakan; dan (d) kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dihasilkan sudah lebih mandiri serta tidak dipengaruhi oleh institusi kepentingan lainnya

Proses transisi menuju demokrasi ini biasanya mencakup tahap liberalisasi politik dan tahap demokratisasi, dimana hal ini bisa

(6)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict ROG; The Idea Of Power Politic in Javanese Culture, dalam Claire Holt (ed): Culture Politics in Indonesia, Itacha: Cornell University Press, 1972.

Budiman, Arif; Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Idiologi, Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Emerson, Donald K; Indonesia”s Elite: Political Culture and Cultural Politics, Ithaca, Cornell University Press, 1976.

Guillermo O Donnel; Transisi Menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta, 1998.

Henningsen, ”Democracyor the Promise of Civil Society and the State”, London-New York; Verso 1988.

Maruto M.D; Anwari WMK; Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat; Kendala, dan Peluang Menuju Demokrasi, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2002

Referensi

Dokumen terkait

FAIL BUKTI KETRAMPILAN JURUBINA BANGUNAN (BUILDING CONSTRUCTOR) TAHAP 1 - -. NAMA PELATIH SITI NUR SHAFIKAH BINTI

 Bila  kita  kaji,  masyarakat  di  negara-­negara  maju yang  sudah  dapat  dikatakan  sebagai  masyarakat  madani,  maka  ada  beberapa  prasyarat  yang harus   dipenuhi

1) Agar dapat menambahkan user baru yang dapat menggunakan sistem operasi secara pribadi, dan lebih aman menyimpan data dalam sistem operasi yang memiliki banyak user. 2)

Simpangan baku(S) adalah nilai yang menunjukan tingkat variasi kelompok data atau ukuran standar penyimpangan dari nilai rata-ratanya... X = nilai rata-rata data n = jumlah data

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien JKN terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas Andalas dan Klinik Simpang

6 Berdasarkan keadaan dan kajian yang dikumpulkan sesuai dengan teori di atas, maka dengan masih tingginya karies gigi peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian tentang

Dengan adanya penelitian tindakan kelas diharapkan terjadi pembaharuan dalam proses belajar di kelas dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi guru sebelumnya untuk

Tujuan dari penulisan ini adalah membuat sebuah sistem yang dapat membantu kinerja dari departeman kesehatan dalam menentukan kelayakan suatu perusahaan kecil atau industri