WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN
KONTRAK KERJA KONSTRUKSI MELALUI
PENUNJUKAN LANGSUNG DI KABUPATEN
ACEH BESAR OLEH BRR NAD – NIAS
T E S I S
Oleh
MUHAMMAD ZAKI
077011044/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN
KONTRAK KERJA KONSTRUKSI MELALUI
PENUNJUKAN LANGSUNG DI KABUPATEN
ACEH BESAR OLEH BRR NAD – NIAS
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
MUHAMMAD ZAKI
077011044/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Keputusa Presiden No. 80 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pasal 20 pada intinya menentukan bahwa cara pemilihan penyedia jasa, yaitu dapat dilakukan melalui Penunjukan Langsung. Metode penunjukan langsung dibuat dalam bentuk kontrak konstruksi yang berisi perjanjian pemborongan antara pemilik pekerjaan dan kontraktor untuk melaksanakan, menyelesaikan dan memelihara pekerjaan, namun pelaksana jasa kontruksi tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana yang ditentukan hanya melakukan pembangunan seadanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Berdasarkan kondisi tersebut, adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui bentuk-bentuk wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi pada Satuan Kerja Perumahan dan Permukiman (Satker Perkim) Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-NIAS dan untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi melalui penunjukan langsung serta untuk mengetahui akibat hukum wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi pada Satuan Kerja Perumahan dan Permukiman (Satker Perkim) Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-NIAS.
Untuk membahas permasalahan tersebut diatas, maka penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis dan jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai pendekatan gabungan antara yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Aceh Besar. Alasannya adalah pelaksanaan kontrak kerja konstruksi tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dan lapangan dengan wawancara kepada responden dan informan. Responden adalah Divisi Perumahan dan Permukiman BRR NAD – NIAS, Bidang Layanan Hukum BRR NAD-NIAS, Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa Konstruksi (kontraktor). Sedangkan yang menjadi informan adalah Bidang Pengawasan BRR NAD – NIAS, Biro HUMAS BRR NAD-NIAS, Biro HUMAS/HUKUM Pemerintah Aceh dan masyarakat korban bencana.
tersebut kepada penyedia jasa konstruksi sebenarnya telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hanya saja akibat kurang telitinya panitia pelaksana dalam menilai rekanan tersebut mengakibatkan terjadinya wanprestasi. Wanprestasi terjadi karena kenaikan harga material, besarnya biaya tambahan yang harus dikeluarkan, dan akibat kelalaian penyedia jasa untuk dapat menyelesaikan proyek tepat pada waktunya. Akibat hukum yang timbul dari tindakan penyedia jasa yang tidak melaksanakan kewajibannya adalah penyedia jasa bersangkutan dikenakan sanksi salah satunya dengan memasukkan penyedia jasa dalam daftar hitam rekanan sehingga tidak dipercaya lagi melaksanakan proyek lainnya. Upaya penyelesaian yang ditempuh terhadap penyedia jasa yang tidak melaksanakan kewajibannya dilakukan melalui musyawarah di antara para pihak. Hal ini didahului dengan pemberian teguran dan diupayakan penyelesaian kontrak dengan membuat addendum kontrak. Disarankan bagi pengguna jasa untuk melihat kemampuan penyedia jasa yang melaksanakan pembangunan perumahan tersebut, jangan asal anak daerah atau kontraktor lokal, yang perlu kualitas. Disarankan kepada pengguna jasa untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tidak perlu harus penyedia jasa anak daerah, untuk pembangunan perumahan Aceh/Nias di pergunakan tenaga yang benar-benar ahli dan bertanggung jawab. Dituntut kesadaran pengguna jasa untuk tidak menuntut pemotongan harga proyek yang terlalu banyak.
ABSTRACT
Decision of president, number 80, the year of 2003 about execution of implementing of goods/service govemment. At section 20 it determining that way of election of service feeder, that is can be done through direction. Direction method of direct is made in the form of works and contractor to execute its, finalizes and looks after work, but construction service executor didn’t execute its achievement as much as possible, based on the condition, as for intention of this research is to know form of defaults in execution of construction job contract at set of housing job and settlement of rehabilitation body and reconstruction NAD-NIAS and know factors causing the happening of default dalm execution of construction of construction job contrac at set of housing job and settlement of rehabilitation body and reconstruction NAD-NIAS.
To study the problems is upper, hence research done, it has the character of analytical descriptical and research type which will be applied is use approach of alliance between juridical normative and juridical sociological. Location of this research is big Aceh sub-province. Its reason is execution of construction job contract unmatched to rule applied. Data collecting method applied is bibliography research and field by interviewing responder and informan. Responder is housing division and settlement of rehabilitation body and reconstruction NAD-NIAS, law service area BRR NAD-NIAS, service user and reconstruction service feeder, although an informan is observation area BRR NIAS, public bureau BRR NAD-NIAS, law bureau at Acehnese government and disaster victim public.
between the parties. This thing is preceded with giving of exhortation and strived solving of contract with making contract addendum.
Suggested that service feeder in tendering can do correct consideration to the price of various in bond materials to avoid loss later. To service feeder is suggested to execute provisions in contract carefully to avoid sanction and penalty and in order not to the happening of exhortation by service user. Suggested to consumer to do assessment carefully to ability of service feeder in working so that not happened default and dispute later. Suggested to service user and service feeder to finalize dispute upon mutual consensus because more profitingly is both parties.
Keywords : Construction Job Contract Default; Development of Housing
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Berkat,
Rahmat dan Hidayah-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Wanprestasi Dalam
Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Melalui Penunjukan Langsung Di
Kabupaten Aceh Besar Oleh BRR NAD-NIAS”. Shalawat dan Salam
disampaikan kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah
mengantarkan umat manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh
dengan ilmu pengetahuan. Tesis ini merupakan suatu persyaratan akademik
untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Program
Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Medan.
Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, penulis banyak menerima
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga penulis sangat berbesar
hati untuk mengucapkan terima kasih. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Rektor I Universitas Sumatera Utara yang amat terpelajar Prof. dr. Chairuddin P.
Lubis, DTM dan H. Sp.A (K), para pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Yang amat terpelajar Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa. B, M.Sc., beserta para
3. Yang amat terpelajar Bapak Prof.Dr.H.Muhammad Yamin,SH,MS,CN., selaku
Ketua Jurusan Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan dalam Program Magister Kenotariatan yang sangat
berharga ini, dan juga sebagai Ketua Pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk menyumbangkan pikiran dan memberikan petunjuk dalam
pengarahan materi ilmiah;
4. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., sebagai
anggota Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
bimbingan, petunjuk dalam pengarahan materi ilmiah serta dorongan dalam
menyelesaikan tesis ini.
5. Yang amat terpelajar Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn., sebagai anggota
Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
saran maupun masukan dalam menyempurnakan penulisan tesis ini.
6. Yang amat terpelajar Bapak Syahril Sofyan, SH, SpN, MKn dan juga
Dr. Teungku Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, yang masing-masing sebagai
penguji mulai dari tahap proposal tesis yang selalu memberikan arahan dan
petunjuk dalam penyempurnaan tesis ini hingga selesainya tesis ini.
7. Bapak Ir. Bambang Sudiatmo., selaku Deputi Bidang Perumahan dan
Perumahan dan Permukiman BRR NAD-NIAS, Bapak Ir. Ramli Ibrahim, MMA.,
selaku Deputi Pengawasan BRR NAD-NIAS, Bapak Ir. Adjar Sabdo Budi.,
selaku Inspektur II Kedeputian Pengawasan BRR NAD-NIAS, Bapak
Muhammad Insa Ansyari, SH., selaku Kepala Bidang Layanan Hukum BRR
NAD-NIAS, Bapak Hamid Zein, SH, M.Hum., selaku Kepala Biro Humas dan
Hukum Pemerintah Aceh, yang telah bertindak sebagai responden dan informan
selama penulis melakukan kegiatan penelitian.
8. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan membimbing penulis
sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.
9. Seluruh Staf Biro Pendidikan serta teman-teman di Sekolah Pascasarjana
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak
memberikan bantuan dalam penulisan tesis ini.
10.Pada kesempatan yang baik ini, penulis menyampaikan terimakasih kepada kedua
orang tua tercinta, khususnya kepada Ayahanda Drs. Armiya Mahyiddin dan
Ibunda Nuriah Saad, yang selalu memberikan do’a, dorongan dan motivasi baik
lahiriah dan bathiniah, serta pendidikan yang amat sangat berguna sehingga dapat
menyelesaikan program studi ini dengan baik, serta kepada keponakanku Firman
Syahputra dan Putri Sara yang manis-manis, kakanda Mursyida, adik-adikku Sri
Marlina, SKM dan Sirajul Munir, SE.Ak, serta juga abang ipar Tarifuddin dan
11.Untuk teman-teman yang setia berdialog kualitatif, Bang Satiruddin, Bang Surya,
Zulhujjaian (Zul), Juni, Bang Ancha, Bang Edi, Bang Umri, Bangun, Sabrina,
Henny, Kak Herly, Kak Ros, Kak Emi, Wira, dan Keluarga Besar AMA Medan
atas perhatian, bantuan dan dorongan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis ini, serta rekan-rekan Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.
12.Terima kasih kepada Staf dan Pegawai di Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah melayani dengan baik.
Medan, 06 Juli 2009
Penulis
MUHAMMAD ZAKI, SH
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Nama : Muhammad Zaki, SH
Tempat/Tgl. Lahir : Banda Aceh, 25 Juli 1977
Alamat : Jl. Jama’ah Lr.B Gang Sahabat No.6 Kelurahan
Beurawe Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh 23124
II. Orang Tua
Ayah : Drs. Armiya Mahyiddin
Ibu : Nuriah M. Saad
III. Pendidikan
1. SDN 44 Banda Aceh : Tamat Tahun 1991
2. MTs Al-Fauzul Kabir Kota Jantho : Tamat Tahun 1994
3. SMA Al Mishbah Banda Aceh : Tamat Tahun 1997
4. S-1 Fakultas Hukum UNMUHA Aceh : Tamat Tahun 2005
5. S-2 Magister Kenotariatan (M.K.n) SPs-USU : Tamat Tahun 2009
Medan, 06 Juli 2009
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR... v
RIWAYAT HIDUP ... ix
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL ... xii
BAB I :... PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah... 16
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian... 17
E. Keaslian Penelitian ... 18
F. Kerangka Teori dan Konsep ... 18
G. Metode Penelitian... 35
1. Jenis Penelitian ... 35
2. Lokasi Penelitian ... 36
3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 37
4. Sumber Data ... 37
5. Metode Pengumpulan Data ... 39
6. Alat Pengumpulan Data... 41
7. Analisis Data ... 42
1. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Kerja
Konstruksi... 43
2. Bentuk-bentuk Wanprestasi Dalam Kontrak Kerja Konstruksi 49 3. Prosedur Yang ditempuh Dalam Melakukan Penunjukan Langsung ... 54
4. Kedudukan Dan Eksistensi Dari Sub Kontraktor Dalam Perjanjian Pemborongan dan Konstruksi ... 66
BAB III : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA WANPRESTASI BERKAITAN DENGAN PENUNJUKAN LANGSUNG PELAKSANA JASA KONSTRUKSI ... 72
1. Faktor Kenaikan Barang Bangunan... 72
2. Besarnya Biaya Tambahan yang Dikeluarkan ... 76
3. Kelalaian Penyedia Jasa ... 81
BAB IV : AKIBAT HUKUM DAN UPAYA PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI ... 95
A. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi... 95
B. Upaya Penyelesaian Wanprestasi ... 108
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 120
A. Kesimpulan ... 120
B. Saran... 121
DAFTAR PUSTAKA ... 122
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Pembangunan Rumah Baru Untuk Kabupaten Aceh Besar Belum
Dimanfaatkan ... 85
2. Kontrak Pembangunan Perumahan Yang Tidak Sesuai Dengan
Ketentuan Yang Berlaku ... 96
3. Hasil Analisa Pekerjaan Pembangunan Rumah Tipe 36 dikabupaten
Aceh Besar ... 101
4. Asas dan Tujuan Pengaturan Jasa Konstruksi Sesuai Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1999 ... 110
5. Jenis Usaha Jasa Konstruksi Berdasarkan Undang-undang Nomor 18
Tahun 1999 dan PP Nomor 28 Tahun 2000 ... 112
Telah diuji pada
Tanggal : 06 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN
Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum
2. Chairani Bustami Bustami, SH, SpN, MKn
3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah bencana dasyat gempa bumi dan tsunami berlalu, kini para korban
bencana yang tersisa, terutama bagi mereka yang rumahnya hancur diterjang
gelombang tsunami atau bahkan hilang tidak berbekas akibat telah menjadi lautan
memerlukan rumah tempat mereka berteduh demi kelangsungan hidup mereka.
sebelumnya bagi mereka telah didirikan barak-barak, namun kondisi barak tersebut
tidak memungkinkan bagi mereka untuk bisa hidup leluasa. hal ini disebabkan
disamping barak tersebut sangat kecil, kebutuhan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) tidak
memadai, juga kebutuhan air bersih tidak mencukupi. mereka menginginkan adanya
bantuan untuk didirikan rumah, walaupun rumah tersebut tidak sebagus tempat
tinggal mereka sebelumnya yaitu sebelum bencana itu datang.
Memulihkan kondisi Nanggroe Aceh Darussalam pasca Tsunami dan
merealisasikan keinginan warga tentulah tidak mudah dan tidak segampang
membalikkan telapak tangan. hal ini perlu dilakukan dengan bertahap-tahap.
Pelaksanaan rekonstruksi oleh pemerintah pada tahap awal yang mereka bangun
adalah sarana dan prasarana umum, seperti jalan, sekolah-sekolah, tempat-tempat
ibadah, jembatan, pelabuhan, jaringan-jaringan listrik dan komunikasi dan lain
mereka mendirikan rumah-rumah bagi mereka para korban Tsunami terutama bagi
mereka yang telah lama tinggal dibarak-barak dan tenda-tenda pengungsian.1
Penyerahan suatu pekerjaan kepada penyedia jasa konstruksi didahului
dengan pemilihan oleh pengguna jasa terhadap penyedia jasa konstruksi yang dinilai
mampu dan layak melaksanakan pekerjaan tersebut. Pemilihan ini didasarkan
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. Berdasarkan Pasal 20 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun
2003 pada intinya menentukan bahwa cara pemilihan penyedia jasa, yaitu melalui (1)
Pelelangan Umum; (2) Pelelangan Terbatas; (3) Penunjukan Langsung; dan (4)
Pemilihan Langsung.
Metoda Pelelangan Umum/Seleksi Umum adalah metoda pemilihan Penyedia
Barang/Jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui
media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga
masyarakat luas dan dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat
mengikutinya.
Metoda Pelelangan Terbatas/Seleksi Terbatas adalah metoda pemilihan
Penyedia Barang/Jasa yang dilakukan dengan pengumuman secara luas melalui
media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia
barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia
barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.
1
Metoda Pemilihan Langsung/Seleksi Langsung adalah metoda pemilihan
Penyedia Barang/Jasa yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya
penawaran, sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah
lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta harus
diumumkan minimal melalui papan penumuman resmi untuk penerangan umum dan
bila memungkinkan melalui internet.
Metoda Penunjukan Langsung adalah metoda pemilihan Penyedia
Barang/Jasa yang dilakukan dengan menunjuk langsung 1 penyedia barang/jasa
dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga
yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.
Mengenai teknis pelaksanaan terdapat pula peraturan-peraturan lain seperti
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam lampiran 1 keputusan tersebut
dicantumkan mengenai ketentuan-ketentuan tentang pelelangan, pengadaan dan
penunjukan langsung unit pemborong/pembelian.
Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa penentuan pelaksana jasa
konstruksi dapat dilakukan melalui penunjukan langsung. Penunjukan langsung
merupakan salah satu sistem penetapan pelaksanaan kontrak kerja konstruksi tanpa
melalui tender, dimana pengguna jasa dapat memilih pelaksana jasa yang dipandang
Dalam menentukan pelaksana jasa yang akan ditetapkan sebagai pelaksana
suatu proyek konstruksi dilakukan oleh panitia pemilihan langsung yang dibentuk
oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja atau Pemimpin Proyek yang beranggotakan 5 orang
yang terdiri dari unsur-unsur (1) Perencanaan Pekerjaan, (2) Penanggung Jawab
Keuangan dan (3) Penanggung Jawab Peralatan dan Pemeliharaan.
Setelah penunjukan langsung perjanjian pelaksanaan pekerjaan konstruksi
juga dibuat dalam bentuk kontrak konstruksi yang berisi perjanjian pemborongan
seperti pada kontrak konstruksi melalui pelelangan umum maupun pelelangan
terbatas. Dalam pembuatan kontrak selama ini tidak melibatkan Notaris baik dari segi
pembuatan maupun dalam hal Legalisasi. kontrak yang dibuat merupakan perjanjian
baku, dimana isi kontrak telah dibuat terlebih dahulu oleh pihak BRR selanjutnya
kontraktor atau penyedia jasa tinggal menyetujui saja isi kontrak yang telah dibuat
tersebut, selain kontrak yang telah dipersiapkan, pihak BRR juga yang menyediakan
bestek rumah (gambar rumah yang akan dibangun). Di dalam kontrak dimaksud juga
ikut diperjanjikan hal-hal yang menjadi kewajiban pelaksana jasa konstruksi dalam
Dalam rangka mencari pelaksana jasa yang benar-benar berbobot untuk
melaksanakan pembangunan fisik ini, juga berpedoman pada syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh pelaksana jasa/kontraktor yang ingin ikut serta dalam pelaksanaan
pekerjaan tersebut yaitu antara lain :
a. Telah lulus prakualifikasi sesuai dengan bidang dan klasifikasi yang telah
ditentukan.
b. Tidak termasuk Daftar Hitam Rekanan.
Syarat-syarat tersebut di atas merupakan syarat yang harus dipenuhi penyedia
jasa sebelum pelelangan pekerjaan dilaksanakan dan ini merupakan seleksi
pendahuluan oleh Pemerintah Daerah, dalam hal ini dilaksanakan oleh panitia
pelelangan pekerjaan. Sedangkan pada kualifikasi yang dinilai adalah kemampuannya
dalam menangani proyek, Termasuk kemampuan modal yang cukup untuk
membiayai pekerjaan selama borongan itu belum diserahterimakan.
Untuk kelancaran proses administrasi dalam pelaksanaan Kontrak Kerja
Konstruksi, maka dibuat suatu perjanjian dibawah tangan dan ditandatangani antara
para pihak (pemerintah/pimpinan proyek dengan perusahaan/kontraktor) untuk
melakukan pekerjaan pemborongan dimaksud. dalam hal ini perjanjian dibuat dengan
menggunakan Bahasa Indonesia, yang dibuat dalam rangkap secukupnya dan
masing-masing rangkap mempunyai kekuatan hukum yang sama. Dalam surat perjanjian
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku antara pemilik pekerjaan dan kontraktor
untuk melaksanakan, menyelesaikan dan memelihara pekerjaan termasuk
Namun demikian, dalam pelaksanaannya penunjukan langsung yang
dilakukan selama ini sering menyebabkan terjadinya kegagalan bangunan. Hal ini
disebabkan pelaksana jasa tidak mampu melaksanakan pekerjaan sesuai dengan
kontrak.
Dalam kontrak melalui penunjukan langsung ini juga menghendaki kontraktor
pelaksana bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya sesusai dengan
yang dimuat dalam kontrak. Akan tetapi, dalam kenyataannya masih terdapat para
pelaksana jasa konstruksi yang tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana yang
ditentukan. Kondisi ini disebabkan kontraktor pelaksana yang menjadi rekanan dalam
penunjukan langsung hanya melakukan pembangunan seadanya dan mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini dapat dilihat dari proyek baik proyek
bangunan maupun jalan di Provinsi NAD yang dibangun dengan asal-asalan. Hal
ini dibuktikan dengan seringnya terjadi kegagalan bangunan akibat wanprestasi dari
pelaksana jasa.
Berdasarkan penelitian pada Deputi Perumahan dan Permukiman BRR
NAD-NIAS diketahui bahwa dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan
perumahan akibat bencana gempa dan tsunami juga dilakukan penunjukan langsung
terhadap penyedia jasa. Pada tahun 2005 telah dilakukan penunjukan langsung
kepada 5 (lima) kontraktor pelaksana pembangunan rumah 214 unit Type 36 di
Kabupaten Aceh Besar yang kesemuanya berakibat pada terjadinya kegagalan
Hal ini seperti yang dilakukan oleh PT. Aceh Setia Abadi membangun 37
(tiga puluh tujuh) unit berlokasi di Kecamatan Lhoknga; PT. Putra Sinar Desa
membangun 80 (delapan puluh) unit berlokasi di Kecamatan Leupung; CV. Putera
H-Dua membangun 17 (tujuh belas) unit berlokasi di Kecamatan Baitussalam; PT. Jasa
Mandiri membangun 40 (empat puluh) unit berlokasi di Kecamatan Baitussalam; PT.
Jasa Adek membangun 40 (empat puluh) unit berlokasi di Kecamatan Peukan Bada.
Kelima kontraktor pelaksana tersebut tidak mampu menyelesaikan
pembangunan perumahan dilokasi proyek yang dibangun mereka masing-masing
sebagaimana ditentukan dalam kontrak dengan pengguna jasa pemborongan. Setelah
jangka waktu pembangunan habis, kontraktor pelaksana yang dipilih melalui
penunjukan langsung tersebut hanya melaksanakan pekerjaan awal saja. Sebagian
besar rumah telah ditempati oleh pemiliknya namun kondisi rumah tersebut seperti
fasilitas listrik, air bersih dan jalan serta saluran belum ada, oleh karena itu pemilik
berinisiatif untuk mengurus sendiri.
Selain daripada tersebut diatas terdapat dua perusahaan yang melakukan hal
yang sama adalah CV. Ranup Lampuan membangun 30 (tiga puluh) unit berlokasi di
Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar dan CV. Fakta Utama Jaya membangun
13 (tiga belas) Unit rumah yang berlokasi di Desa Lambaro Najid, Kecamatan Peukan
Bada Kabupaten Aceh Besar. Kedua penyedia jasa tersebut sudah lama tidak ada
kegiatan dan dibiarkan proyek terlantar begitu saja tanpa ada pemberitahuan pada
pihak pengguna jasa, ketika dikonfirmasi kepada penyedia jasa mereka malah tidak
yang selanjutnya berakibat pemutusan kontrak oleh pengguna jasa, tidak hanya itu
kasus tersebut sudah diperkarakan ke pengadilan oleh pengguna jasa dalam hal
Satuan Kerja Pengembangan Perumahan dan Permukiman Kabupaten Aceh Besar.
Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan penunjukan langsung
juga dapat menimbulkan kegagalan bangunan akibat pemilihan yang dilakukan tidak
melalui prosedur dan pengawasan yang ketat. karena pengguna jasa dalam hal ini
bidang Pengawasan BRR memprioritaskan kontraktor lokal yang mengerjakan
proyek tersebut, padahal kalau dilihat dari segi kualitas maupun kemampuannya
melaksanakan pekerjaan jauh dari kriteria atau prosedur yang telah ditetapkan,
demikian juga situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu menjadi salah satu
pertimbangan pihak BRR untuk menyerahkan proyek perumahan tersebut untuk
dikerjakan sampai selesai meskipun tidak sesuai dengan prosedur dan pengawasan
yang seharusnya dilakukan.2
Peraturan mengenai hukum perjanjian tercantum dalam buku III KUHPerdata
yang berjudul Perikatan. Memang antara perjanjian dengan perikatan mempunyai
hubungan yang sangat erat, hal ini dapat diketahui dari isi Pasal 1233 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang menunjukkan bahwa perjanjian merupakan sumber
perikatan di samping undang-undang.
2
Perjanjian pemborongan bangunan termasuk ke dalam perjanjian
pemborongan pekerjaan yang merupakan bagian penting dari hukum perjanjian.
Dalam hukum perjanjian dikenal istilah perjanjian umum dan perjanjian khusus.
Perjanjian khusus biasanya disebut juga perjanjian bernama.
Dengan istilah perjanjian khusus atau disebut juga perjanjian bernama
maksudnya adalah perjanjian yang telah mempunyai nama-nama sendiri. Jadi jenis
perjanjian ini telah mempunyai nama tersendiri yang diberikan oleh pembuat
undang-undang berdasarkan tipe-tipe atau bentuk-bentuk yang banyak terjadi sehari-harinya.
Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah termasuk salah satu dari jenis
perjanjian khusus tersebut. Oleh sebab itu dalam menguraikan pengertian perjanjian
pemborongan pekerjaan secara bersama ada baiknya terlebih dahhulu diuraikan pula
perjanjian. Mengenai definisi perjanjian, Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri dengan satu orang atau lebih”. Selain itu, juga perlu ditelaah
beberapa pendapat para sarjana.
Menurut Sri Soedewi Masjchun Sofwan, pengertian perjanjian itu adalah
suatu perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
seseorang ataupun lebih.3 Wirjono prodjodikoro, juga mengartikan perjanjian sebagai
suatu perbuatan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak dalam mana pihak
yang satu berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal dan pihak yang
3
lain berhak menuntut.4 Sedangkan menurut Subekti, perjanjian adalah peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal.5
Dengan demikian jelaslah bagi kita tentang pengertian perjanjian tersebut
yaitu suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya atau
berjanji terhadap seorang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hak tertentu yang
meletakkan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain.
Berkenaan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana yang telah
disebutkan terlebih dahulu adalah termasuk jenis perjanjian khusus atau perjanjian
bernama, diatur dalam Buku III, Bab VII a, Pasal 1601 b dan dari Pasal 1604-1616
KUH Perdata. Pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan tersebut oleh pasal 1601
b disebutkan: “Pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan yang dengan mana
pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu
pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu
harga yang telah ditentukan”.
Dari bunyi Pasal 1601 b KUHPerdata tersebut dapat ditafsirkan bahwa
pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian antara
seseorang atau badan hukum (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan
seseorang atau badan usaha lain (si pemborong) dimana pihak pertama menghendaki
atau mengharapkan hasil pekerjaan tertentu yang telah diberikannya dan telah
4
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Bale, Bandung, 1986, hal.9
5
disanggupi untuk diadakan oleh pihak lain atas pembayaran sejumlah uang tertentu
sebagai harganya.6
Oleh karena itu hal terpenting yang perlu diperhatikan bagi tiap-taip orang
yang membuat atau mengadakan suatu perjanjian adalah apapun yang telah
diperjanjikannya secara sah berdasarkan hukum harus dilakukan dengan itikad baik
sebagai hukum bagi mereka (Pasal 1338 ayat (1) dan (3) Kitab Undang-undang
Hukum Perdata).
Menurut A, Meliala Qirom Samsudin, bahwa:
Itikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan sesuatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum, sedangkan itikad baik dalam pengertian yang objektif maksudnya bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatuhan atau apa-apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.7
Dengan demikian dalam membuktikan adanya itikad baik dalam suatu
perjanjian adalah apabila pada saat membuat perjanjian adanya kejujuran dari kedua
belah pihak, dan pada tahap pelaksanaan perjanjian itikad baik itu ditunjukkan oleh
kepatuhan dan kebiasaan.
Adapun yang dimaksud dengan perjanjian pengadaan jasa konstruksi menurut
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 adalah suatu perjanjian antara dua pihak yang
pengguna jasa konstruksi dan penyedia jasa konstruksi untuk melaksanakan sesuatu
pekerjaan berupa pembangunan suatu objek tertentu dengan ongkos tertentu pula.
6
R. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal.19
7
Menurut syarat-syarat perjanjian pemborongan yang ditetapkan Direktorat
Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia Pasal 1 butir j bahwa:
“Pengertian perjanjian pemborongan bangunan atau kontrak adalah suatu perjanjian
tertulis sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku antara pemilik dan kontraktor
meliputi segala aspek pelaksanaan pekerjaan”.
Khusus bagi perjanjian pemborongan bangunan yang melibatkan pemerintah
sebagai salah satu pihak, peraturan Hukum Administrasi juga berlaku dalam
pembuatan dan pelaksanaan pemborongan bangunan. Dengan demikian dapatlah
dinyatakan bahwa perjanjian pemborongan bangunan di samping tunduk kepada
Hukum Perdata (hukum privat) juga tunduk kepada ketentuan-ketentuan Hukum
Administrasi Negara (hukum publik). Ketentuan Hukum Perdata mengatur tentang
hak dan kewajiban para pihak sedangkan ketentuan hukum publik mengatur soal-soal
teknis/administrasi.
Menurut Sri Soedewi Masjchun Sofwan bahwa pengaturan standar tersebut
selain berlaku bagi perjanjian pemborongan bangunan mengenai pekerjaan berlaku
bagi pemborong bangunan oleh pihak swasta.8
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa perjanjian telah terjadi pada saat
persetujuan itu disepakati. Dalam hal ini jelaslah persetujuan merupakan hal yang
utama karena setiap pihak yang membuat perjanjian/kontrak telah memikirkan
8
tentang hak yang akan diperoleh sebagai keuntungan baginya dan kewajiban sebagai
beban prestasi yang harus dilaksanakan.
Selanjutnya, dapat dilihat pula pendapat Djumialdji tentang kontrak kerja
konstruksi yang mengatakan bahwa “Kontrak kerja konstruksi adalah suatu
persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong,
mengikatkan diri untuk membayar suatu harga ditentukan”.9
Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa :
1. Pihak yang membuat perjanjian pemborongan atau dengan kata lain yang terkait dalam perjanjian pemborongan disebut yang memborongkan (bouwheer/aanbestender), sedangkan pihak kedua disebut pemborong/kontraktor/ rekanan/pelaksana (annemer).
2. Objek perjanjian pemborongan adalah pembuatan suatu karya (het maken van werk).10
Dalam pelaksanaannya kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bentuk
dokumen yang dikenal dengan dokumen kontrak kerja konstruksi. Dokumen tersebut
yang merupakan surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan konstruksi termasuk
mengenai susunan (model, letak) dari suatu bangunan yang dijadikan objek kontrak.
9
Djumialdji FX, Hukum Bangunan (dasar-dasar hukum dalam Proyek dan sumber Daya Manusia), Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal.4
10
H.S. Salim mengatakan bahwa di dalam suatu dokumen kontrak jasa
konstruksi memuat atau meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Surat perjanjian yang ditandatangani oleh pengguna jasa dan penyedia jasa; 2. Dokumen lelang, yaitu dokumen yang disusun oleh pengguna jasa yang
merupakan dasar bagi penyedia jasa untuk menyusun usulan atau penawaran untuk melaksanakan tugas yang berisi lingkup tugas dan persyaratannya (umum dan khusus, teknis dan administrasi, kondisi kontrak);
3. Usulan atau penawaran, yaitu dokumen yang disusun oleh penyedia jasa berdasarkan dokumen lelang yang berisi metode, harga penawaran, jadwal waktu, dan sumber daya;
4. Berita acara yang berisi kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa selama proses evaluasi usulan atau penawaran oleh pengguna jasa antara lain klarifikasi atas hal-hal yang menimbulkan keraguan;
5. Surat pernyataan dari pengguna jasa yang menyatakan kesanggupan untuk melaksanakan pekerjaan.11
Hubungan hukum merupakan hubungan antara pengguna jasa dan penyedia
jasa yang menimbulkan akibat hukum dalam bidang konstruksi. Akibat hukum, yaitu
timbulnya hak dan kewajiban di antara para pihak. Momentum timbulnya akibat itu
adalah sejak ditandatangani kontrak konstruksi oleh pengguna jasa dan penyedia
jasa.12
Dengan demikian, dapat dikemukakan unsur-unsur yang harus ada dalam
kontrak konstruksi yaitu :
1. Adanya subjek, yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa;
2. Adanya objek, yaitu konstruksi;
11
Salim, HS., H., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 90.
12
3. Adanya dokumen yang mengatur hubungan antara pengguna jasa dan penyedia
jasa.13
Di dalam Blacklaws Dictionary, Contract construction, is :
Type of contract in which plans and specification for construction are made a part of the contract it self and commonly it secured by performance and payment bonds to protect both subcontractor and party for whom building is being constructed.
Artinya, kontrak konstruksi adalah suatu tipe perjanjian atau kontrak yang merencanakan dan khusus untuk konstruksi yang dibuat menjadi bagian dari perjanjian itu sendiri. Kontrak konstruksi itu pada umumnya melindungi kedua subkontraktor dan para pihak sebagai pemilik bangunan sebagai dasar dari perjanjian tersebut.14
Unsur-unsur kontrak konstruksi yang tercantum dalam definisi di atas adalah
(a) adanya kontrak; (b) perencanaan; (c) pembangunan; dan (d) melindungi
subkontraktor dan pemilik bangunan.15
Berdasarkan pengertian di atas, maka bila dilihat dari segi objek yang
diperjanjikan, perjanjian atau kontrak jasa konstruksi terdapat persamaan dan
perbedaan dengan perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa. Persamaannya,
dimana sama-sama menyebutkan pihak yang satu setuju melaksanakan pekerjaan bagi
pihak lainnya dengan pembayaran tertentu. Sedangkan perbedaan pada perjanjian
kerja terdapat hubungan kedinasan antara bawahan dan atasan antara buruh dan
majikan. Pada kontrak kerja konstruksi tidak terdapat hubungan yang demikian,
melainkan penyedia jasa melaksanakan pekerjaan secara mandiri.
13
Ibid, hal. 91
14
Loc.cit
15
Selanjutnya dalam melaksanakan kontrak kerja konstruksi juga tidak terlepas
dari ketentuan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata sebagai patokan yang berlaku umum untuk semua jenis dan
bentuk perjanjian baik yang telah ada maupun yang akan ada. Dengan lain perkataan
merupakan ketentuan yang mengatur syarat-syarat agar kedua belah pihak yang
mengadakan janji dapat dinyatakan telah mengadakan perjanjian.
B. Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja
konstruksi pada Satuan Kerja Perumahan dan Permukiman (Satker Perkim) Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-NIAS?
2. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam
pelaksanaan kontrak kerja konstruksi melalui penunjukan langsung?
3. Bagaimanakah akibat hukum wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja
konstruksi pada Satuan Kerja Perumahan dan Permukiman (Satker Perkim) Badan
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja
konstruksi pada Satuan Kerja Perumahan dan Permukiman (Satker Perkim) Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-NIAS.
2. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam
pelaksanaan kontrak kerja konstruksi melalui penunjukan langsung.
3. Untuk mengetahui akibat hukum wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja
konstruksi pada Satuan Kerja Perumahan dan Permukiman (Satker Perkim) Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-NIAS.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih
lanjut untuk melahirkan berbagai konsep ilmiah yang pada gilirannya
memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang hukum kontrak.
2. Secara praktis, penulis juga berharap bahwa tulisan ini akan bermanfaat bagi
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, ada penelitian atas nama Desi Helfira yang
berjudul “Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Dalam Pelaksanaan Pembangunan
Perumahan Oleh BRR dan Non-Government Organization (NGO) Bagi Korban
Bencana Alam Gempa Bumi Dan Tsunami (Studi Pada Kecamatan Kuta Alam Kota
Banda Aceh) yang membahas tentang bentuk dan isi perjanjian pemborongan yang
dilakukan oleh BRR dan Non-Government Organization (NGO) terhadap
pembangunan perumahan bagi korban Gempa Bumi dan Tsunami dan Pelaksanaan
Perjanjian Pemborongan Pembangunan Perumahan Bagi Korban Bencana serta
Perilaku Penerima Rumah Bantuan Terhadap Pembangunan Rumah, Jadi berbeda
permasalahannya. karena penelitian ini berjudul “Wanprestasi Dalam Pelaksanaan
Kontrak Kerja Konstruksi Melalui Penunjukan Langsung Di Kabupaten Aceh Besar
Oleh BRR NAD –NIAS”, belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya,
sehingga penelitian ini adalah asli dan dapat penulis pertanggungjawabkan.
F. Kerangka teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kontrak jasa konstruksi adalah perjanjian pemborongan sebagai suatu
kesepakatan antara pemilik proyek (pengguna jasa) dengan pelaksana
pekerjaan (penyedia jasa), untuk membangun suatu konstruksi dalam hal ini
Penunjukan langsung adalah penetapan pelaksana jasa tanpa melalui
tender atau pelelangan.
Pelaksana jasa konstruksi adalah orang perseorangan atau badan usaha
yang kegiatan usahanya menyediakan jasa layanan jasa konstruksi.
Kegagalan bangunan adalah bangunan yang menjadi objek kontrak
tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati dalam kontrak atau bangunan
yang terlambat diselesaikan.
Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Rumah
adalah kebutuhan dasar yang bersifat struktural. Perbaikan mutu hidup
masyarakat yang diwujudkan dalam pembangunan nasional harus diikuti dan
disertai perbaikan perumahan secara seimbang. Perbaikan bukan saja dalam
pengertian kuantitatif, tetapi juga dalam pengertian kualitatif dengan
memungkinkan terselenggaranya perumahan sesuai dengan hakekat dan
fungsinya. Upaya pengadaan perumahan tidak harus diwujudkan dalam
pemilikan tanah, akan tetapi sekurang-kurangnya daapt diwujudkan dalam
mendapatkan kesempatan mempergunakan rumah.
Masalah hunian merupakan kebutuhan dasar manusia dan sebagai hak
bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (shelter
for All) serta perlunya pembangunan perumahan dan permukiman sebagai
bagian dari proses pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development) dengan mengedepankan strategi pemberdayaan (enabling
dengan deklarasi “Cities Without Slums” yang mengamanatkan pentingnya
upaya perwujudan daerah perkotaan yang bebas dari permukiman kumuh.16
Untuk itu diperlukan partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama guna
mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan
berkelanjutan dalam mendukung terbentuknya masyarakat yang mandiri,
produktif dan berjati diri.
Pembangunan perumahan dan permukiman diatur dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman (LN
Tahun 1992 No.23;TLN No.343669) mulai berlaku tanggal 10 Maret 1992.
Undang-undang ini sebagai Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun
1964 Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 6
Tahun 1962 Tentang Pokok-pokok Perumahan (LN Tahun 1962 No.40;TLN
No.2476) menjadi undang-undang (LN Tahun 1964 No.3;TLN No.2611).
Pembangunan perumahan dan permukiman dilaksanakan melalui
penyediaan rumah sederhana sehat yang diatur dengan Keputusan Menteri
(Kepmen) Kimpraswil No.403/kpts/m/2002 Tentang Pedoman Teknis
Pembangunan Rumah Sederhana Sehat dan Keputusan Menteri (Kepmen)
Kimpraswil No.24/kpts/m/2003 Tentang Pengadaan Rumah Sehat Sederhana
Dengan Fasilitas Subsidi Perumahan.
16
Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam
Undang-undang Dasar 1945 dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada
hakekatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan
seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan
pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu
masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan
Pancasila.
Perumahan dan Permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta
kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan
dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan
Permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan
semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam
menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan
menampakkan jati dirinya.
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan
dan pemilihan setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan diatas tanah
yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Namun ada juga yang dilakukan dengan
hak sewa tanah dan tukar bangun, dimana dia hanya menyewa tanah orang
lain untuk selanjutnya dapat didirikan rumah. Dalam hal ini antara rumah dan
Kebijakan perbaikan permukiman dilakukan melalui pengembangan
konsep Tridaya, yaitu pendayagunaan lingkungan, pemberdayaan sosial dan
pemberdayaan ekonomi. Dengan ketiga pendekatan tadi kelompok miskin
dapat meningkatkan kapasitas mereka untuk memperbaiki secara lebih
mendiri kondisi perumahan dan permukiman mereka.17
Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah pembangunan
perumahan untuk miskin, penataan lingkungan permukiman, rehabilitasi
prasarana permukiman, pengembangan forum lintas pelaku sebagai dasar
pemecahan konflik perumahan, pengembangan mekanisme relokasi yang
lebih manusiawi dan pelibatan orang miskin dalam pengadaan perumahan.
2. Konsepsi
Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang
dipergunakan dalam pengertian ini, maka perlu diuraikan
pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut:
a. Pengertian Perjanjian Pemborongan Dan Konstruksi
Istilah pemborongan dan konstruksi mempunyai keterikatan satu sama
lain. Istilah pemborongan mempunyai cakupan yang lebih luas dari istilah
konstruksi.18 Sebab istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang
dibangun tersebut bukan hanya konstruksinya (pembangunannya), melainkan
17
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, http//:www.Yahoo.com
18
dapat juga berupa pengadaan barang saja, tetapi dalam teori dan praktek
hukum kedua istilah tersebut dianggap sama terutama jika terkait dengan
istilah hukum/kontrak konstruksi atau hukum/kontrak pemborongan. Jadi
dalam hal ini istilah konstruksi dianggap sama, karena mencakup keduanya
yaitu ada konstruksi (pembangunannya) dan ada pengadaan barangnya dalam
pelaksanaan pembangunan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (disingkat
KUHPerdata), perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan
pekerjaan. Menurut Pasal 1601 (b) KUHPerdata, “Perjanjian Pemborongan
adalah perjanjian dengan mana pihak satu (sipemborong), mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain (pihak yang
memborongkan), dengan menerima suatu harga yang ditentukan”.
Dari definisi tersebut diatas, undang-undang memandang bahwa
perjanjian pemborongan dan konstruksi tersebut sebagai suatu jenis perjanjian
unilateral, dimana hanya pihak kontraktor (si pemborong) yang mengikatkan
diri dan berprestasi terhadap yang memborongkan. Padahal antara si
pemborong dengan yang memborongkan saling mengikatkan diri dan
masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Kewajiban utama dari pihak
pemborong adalah melaksanakan pekerjaan, sementara kewajiban yang
memborongkan adalah membayar uang borongan (baik dengan sistem fee atau
pekerjaannya atau melakukan hal-hal lain dari perjanjian-perjanjian
pemborongan yang lain lagi.
Perjanjian pemborongan selain diatur dalam KUHPerdata, dan A.V.
1941 singkatan dari “Algemene voorwaarden voorde unitvoening bij
aanneming Van openbore werken in Indonesia”, yang terjemahannya sebagai
berikut: syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan
umum di Indonesia.19 Juga diatur dalam Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000
tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata
berlaku baik bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek swasta
maupun pada proyek-proyek pemerintah. Perjanjian pemborongan pada
KUHPerdata itu bersifat pelengkap, artinya ketentuan-ketentuan perjanjian
pemborongan dalam KUHPerdata dapat digunakan oleh para pihak dalam
perjanjian pemborongan atau para pihak dalam perjanjian pemborongan dapat
membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan asal tidak
dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum
dan kesusilaan. Apabila para pihak membuat sendiri ketentuan-ketentuan
19
dalam perjanjian pemborongan, maka ketentuan-ketentuan dalam
KUHPerdata dapat melengkapi apabila ada kekurangan.
Perjanjian harus dibuat secara tertulis, namun hal ini bukanlah
merupakan hal yang mutlak, karena tanpa dibuat secara tertulis, perjanjian
juga merupakan berlaku sah asal memenuhi persyaratan sahnya perjanjian
yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
Maksudnya kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat mengenai hal-hal yang pokok mengenai perjanjian yang diadakan.
Kedua pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas
untuk mengikatkan diri, dan kemauan itu harus dinyatakan. Karena
bagaimanapun kuatnya atas besarnya kemauan kita, kalau hanya disimpan
dalam hati saja tanpa diucapkan, maka hal itu tidak mempunyai arti apa-apa.
Tegasnya sesuatu kemauan itu harus diucapkan lebih dahulu baru mempunyai
arti dalam bidang hukum. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau
secara diam-diam. Kemauan yang bebas tersebut dianggap tidak ada jika
perjanjian telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) atau
penipuan (bedrog).20
20
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
Hal-hal yang berhubungan kecakapan dan kewenangan bertindak
dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri orang perorangan ini diatur
dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 Kitan Undang-undang Hukum
Perdata. Pasal 1329 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan :
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh
undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”.
Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat akalnya
adalah cakap dimuka hukum. Kecuali mereka yang disebut dalam Pasal 1330
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu :
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3. Orang perempuan bersuami dalam hal-hal yang ditetapkan dengan
undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.21
Menurut Pasal 108 KUH Perdata, seorang perempuan yang bersuami,
untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan izin atau kuasa tertulis dari
suaminya. Namun dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
1963 tanggal 4 Agustus 1963, maka Pasal 108 dan 110 KUH Perdata yang
21
berisi tentang ketidakwenangan seorang perempuan bersuami untuk bertindak
dimuka hukum, dicabut.
Dimana bila ditelaah tentang salah satu isi surat edaran dimaksud
adalah bahwa seorang perempuan yang sudah bersuami atau berada dalam
suatu ikatan perkawinan telah dapat melakukan tindakan hukum dengan bebas
serta sudah dibenarkan menghadap di pengadilan walupun tanpa izin
suaminya. Dan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, juga diakui kecakapan seorang perempuan bersuami untuk
melakukan perbuatan hukum. Hal ini terdapat dalam Pasal 31 Undang-undang
Perkawinan, yang menyatakan:
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
mayarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.
Disamping kecapakan ada juga ketidak-cakapan dan ketidakwenangan
daam membuat perjanjian. Akibat hukum ketidak-cakapan dan
ketidakwenangan dalam membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang
telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim pengadilan, tetapi
jika pembatalannya tidak dimintakan maka perjanjian itu tetap sah dan
3. Mengenai suatu hal tertentu;
Maksudnya bahwa perjanjian itu harus mengenai suatu objek tertentu
yang sekurang-kurangnya harus sudah ditentukan jenisnya. Suatu hal tertentu
tersebut merupakan pokok perjanjian yang berupa prestasi yang harus
dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan juga merupakan objek perjanjian.
Prestasi itu haruslah tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Hal
ini perlu, untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah
pihak jika timbul perselisihan.
Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam perjanjian. Jika prestai itu kabur, sehingga perselisihan itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek perjanjian. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian batal demi hukum.22
3. Suatu sebab yang sah.
Maksudnya bahwa isi dari perjanjian atau hal-hal yang dikehendaki
oleh para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus merupakan sesuatu
yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan cause yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.23
22
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, alumni Bandung, hal.94
23
Dua syarat yang pertama disebut syarat-syarat subjektif karena
mengenai pihak-pihak atau subjek yang terdapat dalam suatu perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir disebut syarat objektif karena mengenai
perjanjian itu sendiri atau objek hukum yang dilakukan itu.24
Perbedaan antara syarat subjektif dan syarat objektif terletak pada
akibat hukum yang terjadi.
1. Syarat Subjektif
Syarat subjektif adalah sepakat para pihak yang mengikatkan diri dan
kecakapan bertindak dalam bidang hukum yang ditujukan pada orang/subjek
perjanjian. Apabila salah satu syarat subjektif tidak dipenuhi maka perjanjian
dapat dibatalkan, dalam arti bahwa salah satu pihak yang mengadakan
perjanjian tidak cakap/pihak yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas
tanpa meminta kepada hakim agar perjanjian dibatalkan karena subjektif tidak
terpenuhi.
2. Syarat Objektif
Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu hal yang halal.
Keduanya dikatakan syarat objektif karena ditujukan pada benda/objek
perjanjian. Apabila salah satu objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian
tersebut batal demi hukum, artinya bahwa secara yuridis perjanjian tersebut
24
dianggap tidak pernah ada dan pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak
yang lain untuk memenuhi prestasinya karena dasar hukumnya tidak ada.
Sehubungan dengan uraian diatas, perlu diperlihatkan bahwa
undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan
suatu perjanjian. Tapi yang diperhatikan dan yang diawasi oleh
undang-undang ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan yang akan
dicapai, apakah dilarang undang-undang atau tidak, apakah bertentangan
dengan ketertiban umum atau tidak, apakah bertentangan dengan kesusilaan
atau tidak.
Menurut undang-undang cause atau sebab yang halal itu adalah
apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan
kesusilaan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, sebagaimana
ditegaskan di dalam Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Saat terciptanya perjanjian ini adalah merupakan suatu hal atau
masalah yang penting dalam hukum perjanjian demi terciptanya suatu
kepastian hukum yang diharapkan oleh pihak-pihak khususnya. Untuk itu para
ahli telah menciptakan beberapa teori tentang terciptanya perjanjian.
Selalu dipertanyakan saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak
mengenai hal ini ada beberapa ajaran, yaitu :
1. Teori kehendak (wilstheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada
2. Teori pengiriman (verzendtheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi
pada saat kehendak dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima
tawaran.
3. Teori pengetahuan (vernemingstheori) mengajarkan bahwa pihak yang
menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
4. Teori kepercayaan (vertrouwenstheori) mengajarkan bahwa kesepakatan
itu terjadi pada saat pernyataan kehendak itu dianggap layak diterima oleh
pihak yang menawarkan.25
Mengenai ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 24
tahun 2002, perjanjian pemborongan berlaku bagi perjanjian pemborongan
pada proyek-proyek pemerintah, tetapi bagi perjanjian pemborongan pada
proyek-proyek swasta tidak menutup kemungkinan untuk memberlakukan
ketentuan-ketentuan tersebut. Sedangkan ketentuan Undang-undang Nomor
18 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 dan Keputusan
Presiden Nomor 42 tahun 2002 tersebut bersifat memaksa atau dengan kata
lain tidak boleh dilanggar, terutama bagi perjanjian pemborongan pada
proyek-proyek pemerintah.
4. Pengertian Perumahan
Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan
sandang. Selain berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan alam atau
25
cuaca dan makhluk lainnya, rumah juga memiliki peran sosial budaya sebagai
pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai kehidupan, penyiapan
generasi muda, dan sebagai manifestasi jatidiri. Dalam kerangka hubungan
ekologis antara manusia dan lingkungan permukimannya maka terlihat bahwa
kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi
oleh kualitas perumahan dan permukiman dimana masyarakat menempati
tempat tinggalnya.26
Perumahan dan permukiman merupakan yang seutuhnya. Selain
sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, perumahan dan permukiman,
“papan” juga berfungsi strategis di dalam mendukung terselenggaranya
pendidikan keluarga, persemaian budaya dan peningkatan kualitas generasi
akan datang yang berjatidiri. Indonesia yang memiliki kesadaran untuk selalu
menjalin hubungan dengan sesama manusia, lingkungan tempat tinggalnya
serta senantiasa mengingat akan Tuhannya.
Rumah tinggal merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan
manusia. Setiap keluarga pasti membutuhkan rumah untuk kelangsungan
hidup dan kehidupannya, rumah juga sebagai wadah kegiatan keluarga, rumah
berperan besar dalam membentuk kebahagian dan kesejahteraan manusia
sebagai individu, keluarga dan masyarakat.
26
Pada tahap awal pembangunan perumahan bagi rakyat, rumah dilihat
sebagai barang konsumtif yang bersifat fasif dan statis semata, karena dahulu
rumah tidak begitu dianggap penting, namun kemudian bahwa rumah disadari
sebagai kebutuhan sosial dan bahkan dapat berperan sebagai alat atau
instrumen pembangunan yang aktif dan dinamis, maka perumahan telah
membawa fungsi yang lebih luas bukan saja sekedar untuk pengadaan papan
saja, melainkan untuk menggairahkan semangat membangun, menumbuhkan
motivasi untuk kegiatan swadaya masyarakat.
Kebutuhan akan rumah mewah pada mulanya tidak begitu penting,
karena rumah dilihat sebagai barang konsumtif yang bersifat fasif dan statis
semata, pembangunannya dilakukan secara tradisional seimbang dengan iklim
dan suhu. Tipe perumahan disesuaikan dengan adat istiadat serta kebudayaan
dan bahan-bahan pembangunan setempat.27
Perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat memunculkan
kecenderungan untuk membangun rumah-rumah dengan dinding batu merah
dan batako yang biasanya mencerminkan kedudukan sosial penghuninya.
Keadaan tersebut membuat masalah perumahan dan permukiman menjadi
sangat penting, sebab perhatian akan ditujukan terhadap banyaknya dan
kualitas perumahan.
27
Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan
dan permukiman dalam Pasal 1 angka 1 di sebutkan bahwa “rumah adalah
bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
pembinaan keluarga”, selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman dan Pasal 1 angka
9 Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Perusahaan Umum (Perum) Pembangunan Perumahan Nasional disebutkan
bahwa “Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana lingkungan”.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang
perumahan dan permukiman, disebutkan bahwa:
(1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau memiliki
rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.
(2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk
berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.
Menurut Hayward mengemukakan bahwa konsep tentang rumah
adalah sebagai berikut:
a. Rumah sebagai pengejewantahan jati diri yaitu rumah sebagai simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuninya.
b. Rumah sebagai wadah keakraban yaitu rasa memiliki, kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman.
d. Rumah sebagai akar kesinambungan yaitu rumah dilihat sebagai tempat untuk kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam proses masa depan.
e. Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari. f. Rumah sebagai pusat jaringan sosial.
g. Rumah sebagai struktur fisik.28
G. Metode Penelitian
Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian mulai
dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan
kaidah-kaidah penelitian ilmiah, sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dari judul dan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka
penelitian ini bersifat deskriptif analitis. sifat penelitian deskriptif29 adalah
bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala
atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu atau untuk
menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat. jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai pendekatan
gabungan antara juridis normatif dan pendekatan yuridis sosiologis yang
didukung oleh data primer dan data sekunder. penggunaan pendekatan yuridis
28
Hayward, P.G. Home as an Enviromental and psychological concept, 1987:3, lihat Eko Budihardjo, 1994, Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Perkotaan, Gajahmada University, Yogyakarta, hal. 55.
29
normatif30 dimaksudkan adalah pendekatan untuk mengetahui masalah dan cara
melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wanprestasi
terhadap pelaksanaan kontrak kerja konstruksi melalui penunjukan langsung, dan
perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata yang berjudul perikatan. sedangkan
pendekatan yuridis sosiologis31 dimaksudkan untuk mengetahui implementasi
penegakan hukum dan mencari serta mengambil fakta dari melihat kenyataan
secara langsung terhadap kontrak kerja konstruksi dan segala akibat hukumnya.
Adapun penelitian yuridis sosiologis ini menggunakan data sekunder.
Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum doktrinal yang condong bersifat (kualitatif tidak
berbentuk angka) berdasarkan data sekunder dan penelitian hukum sosiologis atau
non dokrtrinal yang condong bersifat kuantitatif (berbentuk angka), berdasarkan
data primer. Data primer ialah data yang langsung diperoleh dalam bentuk yang
sudah jadi, berupa publikasi/laporan. Penelitian hukum normatif sering disebut
studi hukum dalam buku (law in books), sedangkan penelitian hukum sosiologis
disebut studi hukum dalam aksi/tindakan (law in action). Disebut demikian,
karena penelitian menyangkut hubungan timbal balik antara hukum dan
lembaga- 30
Roni Hanitijo Soemitro, 1980, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Semarang, hal. 11.
31
lembaga sosial lain, jadi merupakan studi sosial yang non doktrinal, bersifat
empiris, artinya berdasarkan data yang terjadi di lapangan.32
2. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan judul tesis yaitu “Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Kontrak
Kerja Konstruksi Melalui Penunjukan Langsung”, maka lokasi penelitian
ditetapkan di Kabupaten Aceh Besar. Alasan dan pertimbangan lokasi penelitian
ini adalah berdasarkan hasil pengamatan bahwa di wilayah tersebut ditemukan
adanya kontrak jasa konstruksi yang mengalami kegagalan bangunan akibat
penunjukan langsung pelaksana jasa.
3. Populasi dan Sampel Penelitian
Semua kontraktor atau penyedia jasa konstruksi yang membangun
perumahan dan permukiman Type 36 Korban Gempa bumi dan Tsunami di
Kabupaten Aceh Besar, Pada tahun 2005 Pelaksanaan Program yang bersumber
dari dana APBN dilakukan secara cermat dengan mengacu pada Keputusan
Presiden Nomor 80 tahun 2003. Saat ini tercatat sebanyak 20 perusahaan kontrak
kerja konstruksi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. dari 20
perusahaan tersebut, diambil secara acak 5 (lima) perusahaan, yaitu PT. Aceh
Setia Abadi, PT. Putera Sinar Desa, CV. Putera H-Dua, PT. Jasa Adek, dan PT.
Jasa Mandiri.
32
4. Sumber Data
a. Data Sekunder
Sebagai data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian
hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas bahan hukum
primer, sekunder dan tertier.33
(1) Bahan hukum primer terdiri dari peraturan Perundang-undangan yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu:
(a) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi (UUJK);
(b) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 Tentang
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
(c) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 dan
perubahan keempat Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2006 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata;
(d) Kontrak-kontrak dari dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR)
NAD-NIAS.
(2) Bahan hukum sekunder, seperti buku-buku, teori-teori, rancangan
undang-undang, yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, artikel-artikel,
tulisan- 33