• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I :.................................................... PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsep

Kontrak jasa konstruksi adalah perjanjian pemborongan sebagai suatu kesepakatan antara pemilik proyek (pengguna jasa) dengan pelaksana pekerjaan (penyedia jasa), untuk membangun suatu konstruksi dalam hal ini bangunan perumahan.

Penunjukan langsung adalah penetapan pelaksana jasa tanpa melalui tender atau pelelangan.

Pelaksana jasa konstruksi adalah orang perseorangan atau badan usaha yang kegiatan usahanya menyediakan jasa layanan jasa konstruksi.

Kegagalan bangunan adalah bangunan yang menjadi objek kontrak tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati dalam kontrak atau bangunan yang terlambat diselesaikan.

Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Rumah adalah kebutuhan dasar yang bersifat struktural. Perbaikan mutu hidup masyarakat yang diwujudkan dalam pembangunan nasional harus diikuti dan disertai perbaikan perumahan secara seimbang. Perbaikan bukan saja dalam pengertian kuantitatif, tetapi juga dalam pengertian kualitatif dengan memungkinkan terselenggaranya perumahan sesuai dengan hakekat dan fungsinya. Upaya pengadaan perumahan tidak harus diwujudkan dalam pemilikan tanah, akan tetapi sekurang-kurangnya daapt diwujudkan dalam mendapatkan kesempatan mempergunakan rumah.

Masalah hunian merupakan kebutuhan dasar manusia dan sebagai hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (shelter for All) serta perlunya pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian dari proses pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dengan mengedepankan strategi pemberdayaan (enabling strategy) dalam penyelenggaraan pembangunan dan permukiman. Ditambah

dengan deklarasi “Cities Without Slums” yang mengamanatkan pentingnya upaya perwujudan daerah perkotaan yang bebas dari permukiman kumuh.16 Untuk itu diperlukan partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama guna mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan dalam mendukung terbentuknya masyarakat yang mandiri, produktif dan berjati diri.

Pembangunan perumahan dan permukiman diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman (LN Tahun 1992 No.23;TLN No.343669) mulai berlaku tanggal 10 Maret 1992.

Undang-undang ini sebagai Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1964 Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 6 Tahun 1962 Tentang Pokok-pokok Perumahan (LN Tahun 1962 No.40;TLN No.2476) menjadi undang-undang (LN Tahun 1964 No.3;TLN No.2611).

Pembangunan perumahan dan permukiman dilaksanakan melalui penyediaan rumah sederhana sehat yang diatur dengan Keputusan Menteri (Kepmen) Kimpraswil No.403/kpts/m/2002 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat dan Keputusan Menteri (Kepmen) Kimpraswil No.24/kpts/m/2003 Tentang Pengadaan Rumah Sehat Sederhana Dengan Fasilitas Subsidi Perumahan.

       16

Joko Kirmanto, Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP), http//www.kimpraswil.go.id/Ditjen_mukim/ensiklopedia/perumahan/ksnpp.htm.

Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-undang Dasar 1945 dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.

Perumahan dan Permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan Permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati dirinya.

Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilihan setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan diatas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun ada juga yang dilakukan dengan hak sewa tanah dan tukar bangun, dimana dia hanya menyewa tanah orang lain untuk selanjutnya dapat didirikan rumah. Dalam hal ini antara rumah dan tanah terpisah dalam hal sertifikatnya.

Kebijakan perbaikan permukiman dilakukan melalui pengembangan konsep Tridaya, yaitu pendayagunaan lingkungan, pemberdayaan sosial dan pemberdayaan ekonomi. Dengan ketiga pendekatan tadi kelompok miskin dapat meningkatkan kapasitas mereka untuk memperbaiki secara lebih mendiri kondisi perumahan dan permukiman mereka.17

Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah pembangunan perumahan untuk miskin, penataan lingkungan permukiman, rehabilitasi prasarana permukiman, pengembangan forum lintas pelaku sebagai dasar pemecahan konflik perumahan, pengembangan mekanisme relokasi yang lebih manusiawi dan pelibatan orang miskin dalam pengadaan perumahan. 2. Konsepsi

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam pengertian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut:

a. Pengertian Perjanjian Pemborongan Dan Konstruksi

Istilah pemborongan dan konstruksi mempunyai keterikatan satu sama lain. Istilah pemborongan mempunyai cakupan yang lebih luas dari istilah konstruksi.18 Sebab istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang dibangun tersebut bukan hanya konstruksinya (pembangunannya), melainkan       

17

Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, http//:www.Yahoo.com

18

Munir Fuady, 1998, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12.

dapat juga berupa pengadaan barang saja, tetapi dalam teori dan praktek hukum kedua istilah tersebut dianggap sama terutama jika terkait dengan istilah hukum/kontrak konstruksi atau hukum/kontrak pemborongan. Jadi dalam hal ini istilah konstruksi dianggap sama, karena mencakup keduanya yaitu ada konstruksi (pembangunannya) dan ada pengadaan barangnya dalam pelaksanaan pembangunan.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (disingkat KUHPerdata), perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 (b) KUHPerdata, “Perjanjian Pemborongan adalah perjanjian dengan mana pihak satu (sipemborong), mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain (pihak yang memborongkan), dengan menerima suatu harga yang ditentukan”.

Dari definisi tersebut diatas, undang-undang memandang bahwa perjanjian pemborongan dan konstruksi tersebut sebagai suatu jenis perjanjian unilateral, dimana hanya pihak kontraktor (si pemborong) yang mengikatkan diri dan berprestasi terhadap yang memborongkan. Padahal antara si pemborong dengan yang memborongkan saling mengikatkan diri dan masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Kewajiban utama dari pihak pemborong adalah melaksanakan pekerjaan, sementara kewajiban yang memborongkan adalah membayar uang borongan (baik dengan sistem fee atau turn key) atau membiarkan pihak pemborong memungut hasil dari

pekerjaannya atau melakukan hal-hal lain dari perjanjian-perjanjian pemborongan yang lain lagi.

Perjanjian pemborongan selain diatur dalam KUHPerdata, dan A.V. 1941 singkatan dari “Algemene voorwaarden voorde unitvoening bij aanneming Van openbore werken in Indonesia”, yang terjemahannya sebagai berikut: syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia.19 Juga diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata berlaku baik bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek swasta maupun pada proyek-proyek pemerintah. Perjanjian pemborongan pada KUHPerdata itu bersifat pelengkap, artinya ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan dalam KUHPerdata dapat digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dalam perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan asal tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Apabila para pihak membuat sendiri ketentuan-ketentuan       

19

F.X. Djumialdji, 1995, Hukum Bangunan, Dasar-dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 6.

dalam perjanjian pemborongan, maka ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata dapat melengkapi apabila ada kekurangan.

Perjanjian harus dibuat secara tertulis, namun hal ini bukanlah merupakan hal yang mutlak, karena tanpa dibuat secara tertulis, perjanjian juga merupakan berlaku sah asal memenuhi persyaratan sahnya perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

Maksudnya kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat mengenai hal-hal yang pokok mengenai perjanjian yang diadakan. Kedua pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri, dan kemauan itu harus dinyatakan. Karena bagaimanapun kuatnya atas besarnya kemauan kita, kalau hanya disimpan dalam hati saja tanpa diucapkan, maka hal itu tidak mempunyai arti apa-apa. Tegasnya sesuatu kemauan itu harus diucapkan lebih dahulu baru mempunyai arti dalam bidang hukum. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Kemauan yang bebas tersebut dianggap tidak ada jika perjanjian telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) atau penipuan (bedrog).20

       20

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

Hal-hal yang berhubungan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri orang perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 Kitan Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1329 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”.

Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat akalnya adalah cakap dimuka hukum. Kecuali mereka yang disebut dalam Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu :

1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3. Orang perempuan bersuami dalam hal-hal yang ditetapkan dengan undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.21

Menurut Pasal 108 KUH Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan izin atau kuasa tertulis dari suaminya. Namun dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, maka Pasal 108 dan 110 KUH Perdata yang

       21

berisi tentang ketidakwenangan seorang perempuan bersuami untuk bertindak dimuka hukum, dicabut.

Dimana bila ditelaah tentang salah satu isi surat edaran dimaksud adalah bahwa seorang perempuan yang sudah bersuami atau berada dalam suatu ikatan perkawinan telah dapat melakukan tindakan hukum dengan bebas serta sudah dibenarkan menghadap di pengadilan walupun tanpa izin suaminya. Dan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, juga diakui kecakapan seorang perempuan bersuami untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini terdapat dalam Pasal 31 Undang-undang Perkawinan, yang menyatakan:

1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam mayarakat.

2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.

Disamping kecapakan ada juga ketidak-cakapan dan ketidakwenangan daam membuat perjanjian. Akibat hukum ketidak-cakapan dan ketidakwenangan dalam membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim pengadilan, tetapi jika pembatalannya tidak dimintakan maka perjanjian itu tetap sah dan mengikat pihak-pihak yang bersangkutan.

3. Mengenai suatu hal tertentu;

Maksudnya bahwa perjanjian itu harus mengenai suatu objek tertentu yang sekurang-kurangnya harus sudah ditentukan jenisnya. Suatu hal tertentu tersebut merupakan pokok perjanjian yang berupa prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan juga merupakan objek perjanjian. Prestasi itu haruslah tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Hal ini perlu, untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan.

Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam perjanjian. Jika prestai itu kabur, sehingga perselisihan itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek perjanjian. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian batal demi hukum.22

3. Suatu sebab yang sah.

Maksudnya bahwa isi dari perjanjian atau hal-hal yang dikehendaki oleh para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus merupakan sesuatu yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan cause yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.23

       22

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, alumni Bandung, hal.94

23

Dua syarat yang pertama disebut syarat-syarat subjektif karena mengenai pihak-pihak atau subjek yang terdapat dalam suatu perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek hukum yang dilakukan itu.24

Perbedaan antara syarat subjektif dan syarat objektif terletak pada akibat hukum yang terjadi.

1. Syarat Subjektif

Syarat subjektif adalah sepakat para pihak yang mengikatkan diri dan kecakapan bertindak dalam bidang hukum yang ditujukan pada orang/subjek perjanjian. Apabila salah satu syarat subjektif tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, dalam arti bahwa salah satu pihak yang mengadakan perjanjian tidak cakap/pihak yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas tanpa meminta kepada hakim agar perjanjian dibatalkan karena subjektif tidak terpenuhi.

2. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu hal yang halal. Keduanya dikatakan syarat objektif karena ditujukan pada benda/objek perjanjian. Apabila salah satu objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya bahwa secara yuridis perjanjian tersebut

       24

dianggap tidak pernah ada dan pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lain untuk memenuhi prestasinya karena dasar hukumnya tidak ada.

Sehubungan dengan uraian diatas, perlu diperlihatkan bahwa undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan suatu perjanjian. Tapi yang diperhatikan dan yang diawasi oleh undang-undang ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak, apakah bertentangan dengan kesusilaan atau tidak.

Menurut undang-undang cause atau sebab yang halal itu adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Saat terciptanya perjanjian ini adalah merupakan suatu hal atau masalah yang penting dalam hukum perjanjian demi terciptanya suatu kepastian hukum yang diharapkan oleh pihak-pihak khususnya. Untuk itu para ahli telah menciptakan beberapa teori tentang terciptanya perjanjian.

Selalu dipertanyakan saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak mengenai hal ini ada beberapa ajaran, yaitu :

1. Teori kehendak (wilstheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menulis surat.

2. Teori pengiriman (verzendtheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

3. Teori pengetahuan (vernemingstheori) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. 4. Teori kepercayaan (vertrouwenstheori) mengajarkan bahwa kesepakatan

itu terjadi pada saat pernyataan kehendak itu dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.25

Mengenai ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 2002, perjanjian pemborongan berlaku bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah, tetapi bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek swasta tidak menutup kemungkinan untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan tersebut. Sedangkan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 2002 tersebut bersifat memaksa atau dengan kata lain tidak boleh dilanggar, terutama bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah.

4. Pengertian Perumahan

Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang. Selain berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan alam atau       

25

cuaca dan makhluk lainnya, rumah juga memiliki peran sosial budaya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jatidiri. Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungan permukimannya maka terlihat bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman dimana masyarakat menempati tempat tinggalnya.26

Perumahan dan permukiman merupakan yang seutuhnya. Selain sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, perumahan dan permukiman, “papan” juga berfungsi strategis di dalam mendukung terselenggaranya pendidikan keluarga, persemaian budaya dan peningkatan kualitas generasi akan datang yang berjatidiri. Indonesia yang memiliki kesadaran untuk selalu menjalin hubungan dengan sesama manusia, lingkungan tempat tinggalnya serta senantiasa mengingat akan Tuhannya.

Rumah tinggal merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Setiap keluarga pasti membutuhkan rumah untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya, rumah juga sebagai wadah kegiatan keluarga, rumah berperan besar dalam membentuk kebahagian dan kesejahteraan manusia sebagai individu, keluarga dan masyarakat.

       26

Eko Budi Hardjo, 1998, Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Perkotaan, Gajahmada Univrsity Press, Yogyakarta,hal.20

Pada tahap awal pembangunan perumahan bagi rakyat, rumah dilihat sebagai barang konsumtif yang bersifat fasif dan statis semata, karena dahulu rumah tidak begitu dianggap penting, namun kemudian bahwa rumah disadari sebagai kebutuhan sosial dan bahkan dapat berperan sebagai alat atau instrumen pembangunan yang aktif dan dinamis, maka perumahan telah membawa fungsi yang lebih luas bukan saja sekedar untuk pengadaan papan saja, melainkan untuk menggairahkan semangat membangun, menumbuhkan motivasi untuk kegiatan swadaya masyarakat.

Kebutuhan akan rumah mewah pada mulanya tidak begitu penting, karena rumah dilihat sebagai barang konsumtif yang bersifat fasif dan statis semata, pembangunannya dilakukan secara tradisional seimbang dengan iklim dan suhu. Tipe perumahan disesuaikan dengan adat istiadat serta kebudayaan dan bahan-bahan pembangunan setempat.27

Perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat memunculkan kecenderungan untuk membangun rumah-rumah dengan dinding batu merah dan batako yang biasanya mencerminkan kedudukan sosial penghuninya. Keadaan tersebut membuat masalah perumahan dan permukiman menjadi sangat penting, sebab perhatian akan ditujukan terhadap banyaknya dan kualitas perumahan.

       27

Heinz Frick, 1995, Rumah Sederhana Kebijaksanaan Perencanaan dan konstruksi, Kanisius, Jakarta, hal. 10.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman dalam Pasal 1 angka 1 di sebutkan bahwa “rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga”, selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman dan Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pembangunan Perumahan Nasional disebutkan bahwa “Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan”.

Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, disebutkan bahwa:

(1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. (2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk

berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

Menurut Hayward mengemukakan bahwa konsep tentang rumah adalah sebagai berikut:

a. Rumah sebagai pengejewantahan jati diri yaitu rumah sebagai simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuninya.

b. Rumah sebagai wadah keakraban yaitu rasa memiliki, kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman.

c. Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi yaitu rumah disini dan merupakan tempat kita melepaskan diri dari dunia luar, dari tekanan dan ketegangan dari kegiatan rutin.

d. Rumah sebagai akar kesinambungan yaitu rumah dilihat sebagai tempat untuk kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam proses masa depan.

e. Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari. f. Rumah sebagai pusat jaringan sosial.

g. Rumah sebagai struktur fisik.28

Dokumen terkait