• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pendapatan Usahatani dan Optimalisasi Pola Tanam Sayuran di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pendapatan Usahatani dan Optimalisasi Pola Tanam Sayuran di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat"

Copied!
272
0
0

Teks penuh

(1)

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu sumber pendapatan yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar penduduk Indonesia hidupnya tergantung pada sektor pertanian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2011 sebesar 41,49 juta penduduk Indonesia memiliki pekerjaan dalam sektor pertanian. Jumlah tersebut merupakan jumlah paling tinggi jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Sejak tahun 2008 hingga tahun 2010, sektor pertanian menyediakan lapangan pekerjaan hampir 40 persen dari total lapangan pekerjaan yang tersedia, seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2008-2010 (Juta Orang)

No. Lapangan Pekerjaan Utama

2008 2009 2010

Agustus Februari Agustus Februari Agustus 1. Pertanian 41,33 43,03 41,61 42,83 41,49 2. Industri 12,55 12,62 12,84 13,05 13,82

3. Konstruksi 5,44 4,61 5,49 4,84 5,59

4. Perdagangan 21,22 21,84 21,95 22,21 22,49 5. Transportasi,

pergudangan, dan komunikasi

6,18 5,95 6,12 5,82 5,62

6. Keuangan 1,46 1,48 1,49 1,64 1,74

7. Jasa

kemasyarakatan 13,10 13,61 14,00 15.62 15,96

8. Lainnya * 1,27 1,35 1,39 1,40 1,50

Jumlah 102,55 104,49 104,87 107,41 108,21 Keterangan : *) Lapangan pekerjaan utama/ sektor lainnya, yaitu sektor pertambangan, listrik,

gas, dan air.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011

Sektor pertanian terdiri dari beberapa subsektor, yaitu subsektor pangan, hortikultura, dan perkebunan. Salah satu subsektor yang memiliki peranan yang cukup penting adalah subsektor hortikultura. Subsektor hortikultura terdiri dari buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat.

(2)

2 hortikultura bertujuan untuk mendorong berkembangnya agribisnis hortikultura yang mampu menghasilkan produk hortikultura yang berdaya saing, mampu menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan petani dan pelaku, memperkuat perekonomian wilayah, serta mendukung pertumbuhan pendapatan nasional.

Sejak tahun 2005 sampai tahun 2008, subsektor hortikultura sebagian besar mengalami peningkatan, baik dari segi produksi, luas panen, maupun produktivitasnya. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa pertumbuhan produksi, luas panen, dan produktivitas sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman biofarmaka mengalami peningkatan kecuali pada luas panen tanaman hias dan produktivitas tanaman biofarmaka. Kelompok komoditi sayuran menunjukkan pertumbuhan produktivitas yang stabil setiap tahunnya, yakni pada angka sembilan persen.

Tabel 2. Pertumbuhan Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Hortikultura di Indonesia Tahun 2005-2008

Uraian Tahun Pertumbuhan*

(%)

2005 2006 2007 2008

Sayuran

Produksi (Ton) 9,101,986 9,527,463 9,455,463 10,035,093 10.25 Luas Panen (Ha) 944,695 1,007,839 1,001,606 1,026,990 8.71 Produktivitas

(Ton/ Ha) 9.63 9.45 9.44 9.77 1.42

Buah-buahan

Produksi (Ton) 14,786,599 16,171,130 17,116,622 18,027,889 21.92 Luas Panen (Ha) 717,428 728,218 756,766 781,333 8.91 Produktivitas

(Ton/ Ha) 20.61 22.21 22.62 23.07 11.95

Tanaman Hias Produksi

(Tangkai) 173,240,364 166,645,684 179,374,218 205,564,659 18.66 Luas Panen (m) 14,791,004 6,205,093 9,189,976 10,877,307 -26.46 Produktivitas

(Tangkai/ m) 11.71 26.86 19.52 18.90 61.35

Tanaman

Biofarmaka

Produksi (Kg) 321,889,429 416,870,624 444,201,067 398,808,803 23.90 Luas Panen (m) 182,917,951 222,662,711 245,253,798 227,952,040 24.62 Produktivitas

(Kg/ m) 1.76 1.87 1.81 1.75 -0.58

Keterangan : *) Pertumbuhan tahun 2008 atas tahun 2005

(3)

3 Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki peranan penting bagi masyarakat. Sayuran berperan dalam rangka pemenuhan kecukupan pangan dan gizi masyarakat di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan karena sayuran merupakan sumber vitamin, mineral, dan serat yang diperlukan untuk kesehatan tubuh dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan, dan pendidikan, tingkat kesadaran masyarakat terhadap kesehatan tubuh juga meningkat. Minat masyarakat terhadap sayuran terus meningkat karena pola hidup sehat yang telah menjadi gaya hidup masyarakat. Hal ini menyebabkan permintaan sayur terus meningkat. Pada tahun 2005, tingkat konsumsi sayuran penduduk Indonesia adalah sebesar 35,30 kilogram per kapita per tahun, tahun 2006 sebesar 34,06 kilogram per kapita per tahun, tahun 2007 sebesar 40,90 kilogram per kapita per tahun, dan 51,31 kilogram per kapita per tahun pada tahun 2008. Sedangkan konsumsi sayuran saat ini adalah sebesar 41,9 kilogram per kapita per tahun (Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian). Nilai tersebut masih jauh dari standar konsumsi yang direkomendasikan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), yaitu 73 kilogram per kapita per tahun.

Oleh sebab itu, produksi tanaman sayuran Indonesia diharapkan dapat memenuhi konsumsi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun, hingga saat ini para petani masih sering menghadapi berbagai kendala dalam mengembangkan pertaniannya. Salah satu kendala yang dihadapi oleh petani adalah keterbatasan sumberdaya yang dimiliki, seperti penguasaan lahan, modal, tenaga kerja, dan input produksi pertanian lainnya. Kendala tersebut berpengaruh pada tingkat produksi sayuran.

(4)

4

Tabel 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Sayuran di Indonesia Tahun 2006-2010

No Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

1 2006 1,007,839 9,527,463 9.45

2 2007 1,001,606 9,455,464 9.44

3 2008 1,026,991 10,035,094 9.77

4 2009 1,078,159 10,628,285 9.86

5 2010 1,110,586 10,706,386 9.64

Total 5,225,181 50,352,692 9.64

Sumber: Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, 2011 (diolah)

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa produksi sayuran di Indonesia tahun 2006-2011 relatif mengalami peningkatan. Peningkatan produksi tersebut disebabkan oleh peningkatan luas panen yang berpengaruh pada peningkatan produktivitas juga. Namun, pada tahun 2007, penurunan luas panen sayuran menyebabkan penurunan pada produksi dan produktivitas sayuran. Penurunan luas panen diduga karena adanya konversi lahan pertanian menjadi lahan industri dan pemukiman yang semakin meningkat, terutama di daerah perkotaan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif tinggi, sehingga membutuhkan lahan yang lebih luas untuk dijadikan sebagai tempat pemukiman.

(5)

5

Tabel 4. Produksi Sayuran Tahun 2006-2010 menurut Kabupaten dan Kota di Jawa Barat

No Kabupaten/ Kota

Tahun Jumlah

(Kg)

2006 2007 2008 2009 2010

1 Karawang 109,852 106,765 3,856,287 1,923,602 7,351,864 13,348,370 2 Bandung 999,402 1,037,057 1,296,036 2,092,598 5,568,161 10,993,254 3 Subang 45,642 28,973 385,605 736,431 4,708,205 5,904,856 4 Cianjur 431,445 476,821 342,857 3,353,943 1,093,124 5,698,190 5 Garut 560,679 602,476 650,464 807,675 701,571 3,322,865 6 Bogor 166,989 162,407 761,950 255,995 823,406 2,170,747 7 Sukabumi 133,741 128,312 143,829 123,724 628,850 1,158,456 8 Majalengka 173,408 160,710 242,918 157,547 203,002 937,585 9 Tasikmalaya 113,511 98,166 144,707 233,573 276,527 866,484 10 Bekasi 72,849 120,403 85,156 241,948 169,187 689,543 11 Indramayu 38,810 76,008 93,121 126,078 89,566 423,583 12 Sumedang 52,140 70,960 66,717 129,501 76,707 396,025 13 Cirebon 54,514 53,598 54,223 64,561 144,457 371,353 14 Kuningan 53,493 51,435 65,109 76,190 114,131 360,358 15 Purwakarta 37,004 34,665 36,035 50,146 121,595 279,445 16 Ciamis 26,915 18,234 20,782 27,766 65,398 159,095 17 Kota Cimahi 1,054 2,489 3,673 7,260 116,968 131,444 18 Kota Banjar 3,359 5,626 4,567 32,837 39,741 86,130 19 Kota Depok 6,501 8,967 5,255 6,411 6,034 33,168 Jumlah 3,081,308 3,244,072 8,259,291 10,447,786 22,298,494 47,330,951 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2011 (diolah)

Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan, dimana salah satu kecamatan yang memproduksi komoditi sayuran adalah Kecamatan Ciawi. Karakteristik tanah dan iklim yang dimiliki Kecamatan Ciawi sangat mendukung untuk pertumbuhan berbagai jenis sayuran. Kemiringan tanah antara 5-40 persen dengan curah hujan yang tinggi menjadikan Kecamatan Ciawi cocok dijadikan sebagai sentra produksi sayuran.

(6)

6 produksi sayuran Kelompok Tani Pondok Menteng mengalami fluktusi. Hal ini terjadi karena masih terdapat kendala yang dihadapi oleh petani dalam kegiatan usahataninya, seperti hama dan penyakit tanaman, modal pertanian, maupun ketersediaan input pertanian lainnya. Hasil produksi sayuran Kelompok Tani Pondok Menteng dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Produksi Sayuran di Kelompok Tani Pondok Menteng Tahun 2010-2011

No Jenis Komoditi

Tahun Jumlah

(Kg)

2010 2011

1 Caesin 49,674 65,208 114,882

2 Timun 134,418 86,235 220,653

3 Kacang Panjang 132,034 15,156 147,190

4 Buncis 129,887 37,968 167,855

5 Jagung Manis 64,334 34,151 98,485

6 Cabe Keriting 22,039 21,582 43,621

7 Tomat 2,018 29,556 31,574

Total 534,404 289,856 824,260

Sumber: Gapoktan Rukun Tani Desa Citapen, 2012 (diolah)

Kendala yang dihadapi oleh petani berpengaruh terhadap hasil pertanian yang kurang maksimal, termasuk pada pertanian sayuran. Oleh sebab itu, usaha-usaha dalam peningkatan hasil pertanian sangat dibutuhkan dalam pengembangan sektor pertanian. Salah satu usaha yang dilakukan adalah melalui diversifikasi pertanian.

Diversifikasi pertanian merupakan bagian dari program yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan hasil pertanian, peningkatan pendapatan, perluasan kesempatan kerja, dan penanggulangan kemiskinan. Program lainnya antara lain intensifikasi pertanian, ekstensifikasi pertanian, mekanisasi pertanian, dan rehabilitasi pertanian. Diversifikasi pertanian merupakan usaha penganekaragaman jenis usaha atau tanaman pertanian untuk menghindari ketergantungan pada salah satu hasil pertanian. Diversifikasi pertanian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan memperbanyak jenis kegiatan pertanian, seperti bertani dan beternak, atau bertani dan memelihara ikan. Cara kedua adalah dengan memperbanyak jenis tanaman pada suatu lahan, seperti menanam jagung dan padi pada suatu lahan tertentu.

(7)

7 untuk meminimalkan risiko kegagalan pertanian. Jika salah satu komoditas mengalami gagal panen, maka komoditas lain akan menutupi atau mengurangi kerugian yang dialami oleh petani.

Dalam pengaturan pola tanam, pemilihan jenis komoditi yang diusahakan mempengaruhi pendapatan pertanian yang akan diperoleh. Jenis tanaman yang semakin beragam tidak menjamin pendapatan petani yang semakin tinggi. Oleh sebab itu, dibutuhkan optimalisasi pola tanam sayuran dalam memaksimalkan pendapatan usahatani karena pada akhirnya suatu kegiatan usahatani akan dinilai dari pendapatan atau keuntungan yang dinikmati oleh petani.

1.2 Perumusan Masalah

Pondok Menteng merupakan kelompok tani yang terletak di Desa Citapen Kecamatan Ciawi yang bergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Rukun Tani. Anggota kelompok tani ini terdiri dari 104 orang anggota yang memiliki mata pencahariaan utama sebagai petani. Kegiatan pertanian yang diusahakan oleh Kelompok Tani Pondok Menteng adalah usahatani sayuran. Adapun jenis sayuran yang diusahakan antara lain cabai keriting, buncis, kacang panjang, tomat, timun, jagung manis, dan caisin. Selain komoditi sayuran, Kelompok Tani Pondok Menteng juga mengusahakan komoditi padi sawah.

Sayuran merupakan salah satu komoditas komersial yang permintaannya dipengaruhi oleh pasar. Usahatani sayuran dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga petani, melainkan untuk memenuhi permintaan pasar (market oriented). Oleh sebab itu, pada umumnya petani memanfaatkan informasi pasar dalam menentukan jenis sayuran yang akan diusahakan. Salah satunya adalah harga jual sayuran. Berdasarkan informasi tersebut, petani cenderung melakukan usahatani dengan sistem spesialisasi dengan mengusahakan jenis sayuran yang memiliki harga lebih tinggi. Namun, kenyataannya petani sayuran di Kelompok Tani Pondok Menteng masih menerapkan sistem usahatani diversifikasi. Sistem usahatani diversifikasi dilakukan melalui pengaturan pola tanam, yaitu kombinasi jenis sayuran yang akan diusahakan.

(8)

8 sifatnya yang mudah rusak, dan harga yang fluktuatif. Salah satu risiko yang dihadapi oleh petani di Pondok Menteng adalah harga jual yang berfluktuasi. Fluktuasi harga yang terjadi akan berpengaruh terhadap keputusan petani dalam menentukan jenis tanaman yang diusahakan. Adapun harga rata-rata sayuran yang berlaku di Kecamatan Ciawi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkembangan Rata-rata Harga Sayuran di Kecamatan Ciawi Tahun 2010-2011

No Nama Komoditi

Rata-Rata Per Tahun (Rp)

2010 2011 2012

1 Caesin 2,617 1,054 1,186

2 Timun 1,550 1,617 1,457

3 Cabe Kriting 18,413 14,917 11,143

4 Tomat 3,000 1,600 1,857

5 Buncis 2,867 3,917 3,500

6 Kacang Panjang 2,242 3,208 3,214

7 Jagung Manis 1,692 1,867 1,171

Sumber: Gapoktan Rukun Tani Desa Citapen, 2012 (diolah)

Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa tingkat harga yang berlaku di Kecamatan Ciawi sangat berfluktuasi. Harga komoditi caesin pada tahun 2010 adalah Rp 2,617, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2011 menjadi Rp 1.054, dan Rp 1.186 pada tahun 2012. Hal tersebut juga terjadi pada komoditi lainnya.

Berdasarkan uraian tersebut, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana pola tanam dan pendapatan usahatani sayuran Kelompok Tani Pondok Menteng?

2. Bagaimana pengaruh perubahan harga output terhadap pola tanam, pendapatan, dan indeks diversifikasi?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

(9)

9 2. Mengidentifikasi pola tanam dan tingkat diversifikasi usahatani sayuran di

Kelompok Tani Pondok Menteng.

3. Menentukan pola tanam optimal serta menganalisis pengaruh perubahan harga dan lahan terhadap pola tanam, pendapatan usahatani, dan indeks diversifikasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi semua pihak, baik bagi petani sayuran, penulis, maupun masyarakat.

1. Bagi Kelompok Tani Pondok Menteng, penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam mengambil keputusan sebagai pertimbangan dalam pemilihan pola tanam yang akan dilakukan.

2. Sebagai bahan informasi dan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

3. Sebagai sarana bagi penulis untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dari bangku kuliah.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(10)

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Tanam Diversifikasi

Secara umum diversifikasi dapat diartikan sebagai upaya

penganekaragaman produksi dengan cara pengembangan jenis atau bentuk. Diversifikasi aktivitas ekonomi memberi dampak pada pendapatan dan mampu mempengaruhi alokasi sumberdaya (Sumaryanto, 2006). Diversifikasi berpeluang dalam meningkatkan kesempatan kerja, penggunaan modal, dan sumberdaya lainnya. Dalam kegiatan pertanian, diversifikasi usahatani dilakukan dengan tujuan untuk memperkecil risiko akibat terjadinya fluktuasi harga, perubahan cuaca, dan serangan hama dan penyakit.

Diversifikasi usahatani sudah dikembangkan sejak Pelita II (1974-1978) dalam rangka menuju swasembada pangan. Program ini dikembangkan untuk mendorong intensifikasi dan ekstensifikasi tanaman palawija dan hortikultura. Pada awalnya, alasan petani melakukan diversifikasi usahatani adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang beragam. Namun, seiring dengan perkembangannya, diversifikasi usahatani dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar dan untuk meningkatkan pendapatan petani (Rusastra, et al, 2004).

Dalam melakukan diversifikasi usahatani petani memiliki pertimbangan-pertimbangan dalam memutuskan pola tanam yang akan dilakukan. Selain untuk meningkatkan pendapatan usahatani, hal tersebut juga dilakukan untuk memperkecil risiko usahatani yang sedang dilakukan. Oleh sebab itu, pengelolaan sumberdaya dilakukan seoptimal mungkin untuk memaksimalkan pendapatan.

Terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan pola tanam (Rusastra, et al, 2004, Sumaryanto, 2006, Saliem, dan Supriyati, 2006). Faktor pertama yang harus dipertimbangkan adalah kondisi fisik tanah yang meliputi ketersediaan air, keadaan tanah, serta kondisi iklim dan cuaca. Komoditas yang akan diusahakan disesuaikan dengan kondisi fisik tanah yang tersedia. Hal ini dilakukan dengan harapan agar kegiatan usahatani dapat berjalan dengan baik.

(11)

11 pendapatan dari usahatani, pemilikan peralatan (pompa irigasi), serta luas dan status garapan. Ketersediaan modal, peralatan, dan kepemilikan lahan pertanian berkaitan dengan keberhasilan dan keberlanjutan usahatani yang dijalankan. Sedangkan kontribusi pendapatan usahatani terkait dengan bagaimana hasil kegiatan usahatani yang telah dijalankan mampu meningkatkan pendapatan petani.

Hama dan penyakit merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan pola tanam. Hama merupakan binatang pengganggu tanaman, seperti serangga, ulat, dan kutu tanaman. Sedangkan penyakit adalah gangguan pada tanaman yang disebabkan oleh mikroorganise yang tidak terlihat oleh mata, seperti cendawan dan bakteri. Untuk mendapatkan hasil produksi yang maksimal, pengendalian hama dan penyakit dalam kegiatan budidaya sayuran harus dilakukan dengan baik. Hal ini karena hama dan penyakit tanaman berpotensi menyebabkan kegagalan panen dan berdampak pada pendapatan petani.

Selain itu, faktor lain yang menjadi pertimbangan petani dalam memilih pola tanam adalah ketersediaan dan aksesibilitas bahan tanaman, aksesibilitas dan kelancaran pemasaran, karakteristik sosial budaya masyarakat terkait dengan adopsi teknologi. Ketersediaan dan aksesibilitas bahan tanam terkait dengan ketersediaan input-input pertanian yang akan digunakan. Sedangkan aksesibilitas dan kelancaran pemasaran terkait dengan pemasaran/ penjualan hasil (output) pertanian.

2.2 Analisis Pendapatan Usahatani

(12)

12 sudah banyak dilakukan. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yuningsih (1999), Wicaksono (2006), dan Sitanggang (2008).

Yuningsih (1999) melakukan analisis optimalisasi pendapatan usahatani pada keragaman jenis usaha petani nenas di Desa Buni Bayu, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Dalam penelitiannya, Yuningsih menghitung pendapatan bersih dengan mengurangkan total penerimaan dengan total biaya usahatani tanaman nenas. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa pendapatan bersih petani lahan sempit golongan pemilik-penyewa penggarap sebesar Rp 22.318.120 per hektar, Rp 14.324.883 per hektar untuk petani lahan sempit golongan pemilik penggarap, dan Rp 11.753.807 per hektar untuk petani lahan sempit golongan penyewa penggarap. Sedangkan petani lahan luas golongan pemilik-penyewa penggarap memperoleh pendapatan Rp 46.014.514 per hektar dan Rp 30.997.250 per hektar untuk petani luas golongan pemilik penggarap. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa petani lahan luas golongan pemilik-penyewa penggarap memperoleh pendapatan paling besar.

Setelah melakukan analisis terhadap pendapatan usahatani, Yuningsih kemudian melakukan analisis terhadap nilai R/C ratio dan B/C ratio untuk melihat efisiensi usahatani nenas. Nilai R/C ratio dan B/C ratio berturut-turut untuk petani berlahan sempit adalah 2,02 dan 1,02 untuk petani pemiliki-penyewa penggarap, 1,64 dan 0,64 untuk petani pemilik penggarap, 1,40 dan 0,40 untuk petani penyewa penggarap. Sedangkan untuk petani berlahan luas, nilai R/C ratio dan B/C ratio masing-masing adalah 4,22 dan 3,22 untuk petani pemiliki-penyewa penggarap, 4,04 dan 3,05 untuk petani pemilik penggarap. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa usahatani nenas yang dilakukan oleh petani lahan luas golongan pemilik-penyewa penggarap adalah yang paling efisien.

(13)

13 2.831.588 untuk musim tanam III. Sedangkan petani berlahan sempit memperoleh pendapatan sebesar Rp 1.254.366 untuk MT I, Rp 1.800.632 untuk MT II, dan Rp 1.964.352 untuk musim tanam III.

Wicaksono (2006) kemudian melakukan analisis R/C ratio untuk melihat efisiensi usahatani sayuran di Desa Cipendawa. Nilai R/C ratio yang diperoleh untuk petani berlahan luas luas adalah adalah 2,03 untuk MT I, 1,89 untuk MT II, dan 2,14 untuk musim tanam III. Sedangkan petani berlahan sempit memperoleh nilai 1,26 untuk MT I, 1,49 untuk MT II, dan 1,54 untuk musim tanam III. Sehingga, rata-rata nilai R/C ratio untuk petani berlahan luas adalah 2,02 dan 1,41 untuk petani berlahan sempit. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa petani berlahan luas lebih efisien dibandingkan dengan petani berlahan sempit.

Sitanggang (2008) melakukan analisis usahatani dan tataniaga lada hitam di Desa Lau Simere, Kecamatan Tiga Lingga, Kabupaten Dairi. Dalam menganalisis tingkat pendapatan petani, Sitanggang menggunakan metode penghitungan pendapatan usahatani terhadap 44 kepala keluarga petani, yakni selisih antara total penerimaan dengan total biaya usahatani lada hitam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerimaan rata-rata yang diterima oleh setiap petani per ha per tahun adalah Rp 15.367.666 dengan total biaya sebesar Rp 8.412.999, sehingga diperoleh pendapatan usahatani sebesar Rp 6.954.667.

2.3 Optimalisasi Pola Tanam

Penelitian tentang optimalisasi pola tanam sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Namun, tidak semua penelitian melakukan kajian terhadap komoditas sayuran. Penelitian-penelitian terdahulu antara lain dilakukan oleh Nasution (2000), Purba (2000), Asmara (2002), Sunarno (2004), Kastaman,

et al (2005), Lestari (2006), Wicaksono (2006), dan Chaerunnisa (2007).

(14)

14 pisang barangan dengan pola tanam polikultur, yaitu pisang barangan ditumpangsarikan dengan pepaya. Sedangkan pola tanam C menanam pisang barangan dengan tanaman sela, yakni jagung.

Analisis optimalisasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

Linear Programming. Fungsi tujuan yang ingin dicapai adalah memaksimalkan pendapatan petani pisang barangan. Sedangkan fungsi kendala terdiri dari kendala lahan, kendala tenaga kerja, kendala modal, dan kendala ketersediaan sarana produksi.

Hasil analisis menunjukkan pola tanam yang paling optimal dari ketiga pola tanam tersebut adalah pola tanam A dan pola tanam B. Agar pola tanam C optimal, maka pola tanam C harus diubah menjadi pola tanam monokultur jagung. Total pendapatan yang diperoleh pada kondisi optimal adalah Rp 1.284.734 per hektar untuk pola tanam A, Rp 989.735 per hektar untuk pola tanam B, dan Rp 2.754.148 per hektar untuk pola tanam C. Maka, total pendapatan dengan pola tanam optimal adalah sebesar Rp 1.334.604 per hektar atau meningkat sebesar 28,39 persen dari pendapatan aktual.

Purba (2000) melakukan analisis optimalisasi pola tanam jahe dengan berbagai jenis kombinasi tanaman di Desa Tajinan, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang. Purba melakukan analisis pola tanam terhadap 30 orang petani jahe. Usahatani jahe pada penelitian ini pada umumnya dilakukan secara tumpang sari. Tanaman yang biasanya ditumpangsarikan dengan jahe adalah cabai rawit, talas, ketela pohon, jagung, dan buncis. Petani pada umumnya mengusahakan jahe dengan dua atau tiga tanaman sela. Pola tanam yang paling dominan adalah tanaman jahe yang ditumpangsarikan dengan cabai rawit, talas, dan ketela pohon.

Analisis optimalisasi dilakukan dengan menggunakan Linear Programming. Fungsi tujuan dalam penelitian ini adalah memaksimalkan pendapatan bersih petani jahe dengan kombinasi jenis tanaman dan alokasi sumberdaya yang optimal. Pendapatan bersih diperoleh dengan mengurangkan penerimaan total dengan pengeluaran total.

(15)

15 penyewaan tenaga kerja luar keluarga, aktivitas penjualan hasil produksi, dan aktivitas pengambilan modal kredit. Sedangkan yang menjadi kendala adalah kendala luas lahan, kendala tenaga kerja keluarga, kendala modal kredit, dan kendala modal sendiri.

Berdasarkan analisis optimalisasi yang dilakukan, pola tanam yang paling optimal adalah jahe ditumpangsarikan dengan tanaman cabai rawit pada petani berlahan sempit dan jahe ditumpangsarikan dengan tanaman buncis pada petani berlahan luas. Dalam keadaan optimal, petani berlahan sempit memperoleh pendapatan sebesar Rp 2.824.557.973 per hektar per tahun atau meningkat sebesar 37,77 persen dari pendapatan sebelum optimal. Sedangkan petani berlahan luas memperoleh pendapatan sebesar Rp 11.746.726.682 per hektar per tahun atau meningkat sebesar 7.08 persen dari pendapatan sebelum optimal.

Asmara (2002) menganalisis optimalisasi pola usahatani tanaman pangan pada lahan sawah dan ternak domba di Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Dalam penelitiannya dipaparkan bahwa berdasarkan kemampuan lahan sawah untuk ditanami dalam satu tahun, sumberdaya lahan yang dikuasai oleh petani dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu lahan sawah satu kali tanam per tahun, lahan sawah dua kali tanam per tahun, dan lahan sawah tiga kali tanam per tahun.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Linear Programming. Fungsi tujuan dalam model analisis ini adalah memaksimumkan tingkat pendapatan rumah tangga petani dari usahatani yang dijalankannya. Aktivitas yang dipertimbangkan dalam model Linear Programming tingkat petani meliputi aktivitas pola tanam, aktivitas memelihara ternak, aktivitas menyewa tenaga kerja, dan aktivitas meminjam kredit. Sedangkan kendala yang dipertimbangkan dalam model ini adalah kendala lahan, kendala tenaga kerja keluarga, kendala hijauan, kendala bibit tanaman, kendala pupuk anorganik, kendala modal sendiri, dan kendala kredit usahatani.

(16)

16 Indonesia yang menempatkan padi sebagai sumber makanan pokok. Sedangkan untuk musim tanam III (MT III), padi bukan merupakan tanaman yang dominan diusahakan oleh petani. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor dalam penentuan komoditas ini.

Usahatani optimal pada tingkat petani meliputi aktivitas pola tanam padi-bera untuk lahan satu kali tanam/ tahun, pola tanam padi-padi dan padi-bawang merah untuk lahan dua kali tanam/ tahun, serta pola tanam padi-bawang merah-bawang merah, padi-merah-bawang merah-ubi jalar, dan padi-(padi+merah-bawang merah)-(padi+bawang merah) untuk lahan tiga kali tanam/ tahun. Usahatani optimal tingkat wilayah meliputi aktivitas pola tanam padi-bera pada lahan satu kali tanam/ tahun, pola tanam padi-ubi jalar dan padi-bawang merah pada lahan dua kali tanam/ tahun, pola tanam padi, bawang merah, padi-bawang merah-padi-bawang merah, dan padi-padi-bawang merah-ubi jalar pada lahan tiga kali tanam/ tahun. Pola tanam optimal pada skenario I meliputi pola tanam padi-bera, padi-padi, padi-bawang merah, padi-padi-bawang merah, dan padi-padi-ubi jalar. Pada skenario II meliputi pola tanam padi-bera, padi-bawang merah, dan padi-bawang merah-bawang merah.

Pendapatan petani pada kondisi optimal untuk kategori lahan satu kali tanam per tahun adalah Rp 1.904.199 atau meningkat sebesar 36,64 persen dari Rp 1.393.605 pendapatan sebelum optimal. Untuk kategori lahan dua kali tanam per tahun, pendapatan petani adalah Rp 3.305.674 atau meningkat sebesar 36,14 persen dari Rp 2.428.160 pendapatan sebelum optimal. Sedangkan pendapatan optimal untuk kategori lahan dua kali tanam per tahun adalah Rp 3.829.634 atau meningkat sebesar 37,84 persen dari Rp 2.778.233 pendapatan sebelum optimal.

Aktivitas memelihara domba merupakan aktivitas optimal yang dapat dilakukan petani bersamaan dengan aktivitas pola tanam baik pada solusi tingkat usahatani maupun solusi wilayah. Pada solusi optimal, terjadi peningkatan jumlah pemeliharaan ternak domba. Untuk tingkat petani terjadi peningkatan dari lima unit ternak menjadi tujuh sampai delapan unit ternak.

(17)

17 luas lahan yang diolah, yakni petani berlahan luas dan petani berlahan sempit. Rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh petani adalah 3.056 m2. Petani berlahan luas memiliki lahan di atas luas lahan rata-rata petani. Sedangkan petani berlahan sempit memiliki lahan di bawah luas lahan rata-rata petani.

Sama seperti penelitian sebelumnya, penelitian ini juga menggunakan alat analisis Linear Programming dengan fungsi tujuan memaksimalkan pendapatan bersih dengan kombinasi jenis tanaman dan alokasi sumberdaya yang optimal. Aktivitas-aktivitas yang terjadi adalah aktivitas produksi, aktivitas pembelian pupuk, aktivitas menyewa tenaga kerja luar keluarga, dan aktivitas penjualan. Sedangkan kendala yang dihadapi adalah kendala lahan, kendala transfer pembelian pupuk, kendala tenaga kerja keluarga, kendala transfer penjualan, dan kendala modal sendiri.

Hasil analisis optimalisasi pola tanam untuk petani berlahan luas menunjukkan bahwa pola tanam yang memberikan pendapatan maksimal adalah horinso, brokoli, dan wortel+bawang daun. Sedangkan untuk petani berlahan sempit adalah horinso, brokoli, dan horinso. Hasil optimal petani berlahan luas lebih kecil dibandingkan petani berlahan sempit. Tetapi, tambahan pendapatan per hektar yang diperoleh petani berlahan luas lebih besar dibandingkan petani berlahan sempit. Hal ini disebabkan oleh petani berlahan luas kebih berdiversifikasi.

Kastaman (2005) melakukan penelitian tentang model optimalisasi pola tanam pada lahan kering di Desa Sarimukti, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut. Dalam penelitiannya diuraikan bahwa rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh petani adalah kurang dari 0,5 Ha. Pola tanam dilakukan secara bergilir, sehingga satu tanaman umumnya ditanam hanya satu kali dalam setahun, yaitu kentang – kol/ kubis – tomat. Dari pola tanam tersebut, diperoleh keuntungan sebesar Rp 63.000.000 per ha setiap tahunnya. Komoditi andalan petani Kabupaten Garut adalah kentang, kol/ kubis, tomat, wortel, cabai, kacang merah, sawi, buncis, kembang kol, dan bawang daun.

(18)

18 meminimalkan biaya. Sedangkan fungsi kendala yang digunakan adalah kendala luas lahan dan kendala tenaga kerja. Pola tanam optimal dalam penelitian ini terdiri dari tiga alternatif, yaitu alternatif satu dengan urutan pola tanam MT I, MT II, MT III, alternatif dua dengan pola tanam MT II, MT III, MT I, dan alternatif dua dengan pola tanam MT II, MT III, MT I.

Pada alternatif I, komoditi yang diusahakan adalah kembang kol dan kol/ kubis pada MT I, kembang kol, kol/ kubis, dan sawi pada MT II, kembang kol, kentang, sawi, dan buncis pada MT III. Pada alternatif II, komoditi yang diusahakan adalah kembang kol, kentang, sawi, kacang merah, cabai, dan buncis pada MT I, kembang kol, kol/ kubis pada MT II, dan kembang kol, kol/ kubis, dan sawi pada MT III. Sedangkan pada alternatif III, komoditi yang diusahakan adalah dan kembang kol, kol/ kubis, dan sawi pada MT I, kembang kol, kentang, sawi, kacang merah, cabai, dan buncis pada MT II, dan kembang kol, kol/ kubis pada MT III. Hasil optimalisasi merekomendasikan alternatif III sebagai pola tanam terbaik yang memberikan keuntungan paling besar, yaitu sebesar Rp 82.304.000 atau meningkat sebesar Rp 30.340.700 dari Rp Rp 51.963.300 sebelum dilakukan optimalisasi.

Lestari (2006) melakukan analisis optimalisasi pola tanam sayuran organik di Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Lestari melakukan analisis dengan menggunakan dua alternatif, yaitu alternatif I dan alternatif II. Kedua alternatif tersebut dibatasi oleh pergiliran tanaman yang telah dilakukan, yaitu kacang-kacangan pada musim tanam I, sayuran buah pada musim tanam II, sayuran daun pada musim tanam III, dan umbi pada musim tanam IV. Alternatif I menganalisis permasalahan pola tanam sayuran organik berdasarkan pergiliran tanaman selama setahun. Sedangkan alternatif II menganalisa permasalahan pola tanam sayuaran organik dengan cara menganalisa setiap jenis sayuran pada setiap musim tanam dan tetap memperhatikan pergiliran pola tanam yang telah ditentukan.

(19)

19 Alat analisis yang digunakan oleh Lestari adalah Linear Programming. Fungsi tujuan pada permasalahan pola tanam alternatif I adalah memaksimumkan tingkat pendapatan bersih petani dari pola tanam sayuran organik selam setahun yang telah ditentukan. Sedangkan pola tanam alternatif II bertujuan untuk memaksimumkan tingkat pendapatan petani dari usahatani sayuran organik yang akan dilakukan. Aktivitas-aktivitas yang diamati dalam permasalahan pola tanam alternatif I dan II tidak memiliki perbedaan. Adapun aktivitas-aktivitas tersebut meliputi aktivitas penjualan hasil, aktivitas pembelian bibit/ benih, aktivitas pembelian pupuk organik, dan aktivitas menyewa tenaga kerja luar keluarga. Begitu juga dengan kendala yang terdapat pada pola tanam alternatif I sama dengan kendala yang terdapat pada pola tanam alternatif II, yaitu kendala lahan, kendala ketersediaan tenaga kerja luar keluarga, kendala benih, dan kendala pupuk organik.

Berdasarkan kedua alternatif yang digunakan, pola tanam yang disarankan tidak jauh berbeda. Alternatif I dan alternatif II masing-masing menyarankan buncis (0,238 ha dan 0,236 ha)-kacang merah (0,498 ha dan 0,5 ha)-tomat (0,763 ha)-bit (0,736 ha)-wortel (0,736 ha). Sumberdaya pembatas utama pada alternatif I adalah lahan, pada alternatif II adalah lahan pama musim tanam III. Pola tanam optimal alternatif I lebih peka terhadap perubahan pendapatan dan ketersediaan sumberdaya dari pada pola tanam optimal alternatif II.

Aktivitas pola tanam yang disarankan setelah ketersediaan bibit/ benih diturunkan adalah buncis (0,236 ha dan 0,361 ha)-kacang merah (0,5 ha dan 0,375 ha)-tomat (0,736 ha)-bit (0,736 ha)-wortel (0,736 ha)-wortel (0,736 ha). Pendapatan pola tanam optimal alternatif I dan II mengalami penurunan setelah terjadi perubahan ketersediaan bibit/ benih dimana penurunan pendapatan alternatif II lebih besar.

(20)

20 alternatif I adalah pupuk organik musim tanam III dan pada alternatif II adalah sumberdaya lahan musim tanam III.

Wicaksono (2006) menganalisis pendapatan usahatani dan optimalisasi pola tanam sayuran di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Wicaksono membagi petani menjadi dua kelompok berdasarkan luas lahan yang diolah, yaitu petani berlahan sempit dan petani berlahan luas. Usahatani sayuran dilakukan secara monokultur dan tumpang sari.

Untuk mengetahui pola tanam optimal, Wicaksono menggunakan alat analisis Linear Programming dengan fungsi tujuan untuk memaksimalkan pendapatan bersih dengan kombinasi jenis tanaman dan alokasi sumberdaya yang optimal. Aktivitas-aktivitas yang terjadi adalah aktivitas pembelian pupuk, aktivitas menyewa tenaga kerja, aktivitas produksi, dan aktivitas penjualan. Sedangkan kendala yang dihadapi adalah kendala lahan, kendala transfer pembelian pupuk, kendala tenaga kerja keluarga, kendala transfer penjualan, dan transfer modal sendiri.

Pola tanam optimal untuk petani berlahan luas adalah wortel pada musin tanam I. bawang daun pada musim tanam II, dan wortel tumpang sari dengan bawang daun pada musim tanam III. Sedangkan pola tanam optimal untuk petani berlahan sempit adalah bawang daun pada musim tanam I wortel tumpangsari dengan bawang daun pada musim tanam II, dan bawang daun pada musim tanam III. Petani berlahan luas dan berlahan sempit dihadapkan pada pilihan komoditas dan input yang ada sehingga untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal, petani harus merencanakan kombinasi tanaman dan input secara optimal. Petani berlahan luas dan petani berlahan sempit masih dapat dipotimalkan pendapatnnya.

Pada petani berlahan luas, kenaikan dan penurunan harga jual output

(21)

21 penurunan. Secara umum, pengaruh harga jual lebih mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam memilih pola tanam.

Chaerunnisa (2007) melakukan optimalisasi pola tanam sayuran di Kawasan Agropolitan Babelan, Jawa Barat. Pada penelitian ini diuraikan bahwa lahan yang dimiliki petani relatif kecil, yaitu kurang dari 0,2 ha untuk petani yang tinggal di daerah atas (dataran tinggi) dan lebih dari 0,2 ha untuk petani yang tinggal di daerah bawah (pesisir). Hal tersebut mengaibatkan terjadinya perubahan pola tanam yang dilakukan. Petani daerah atas memilih jenis tanaman yang memiliki umur yang relatif singkat agar dapat dipanen lebih cepat juga akibat keterbatasan lahan yang dimiliki. Sedangkan petani daerah bawah memilih jenis tanaman yang memiliki umur relatif lebih lama karena lahan yang dimiliki dapat dibagi-bagi untuk berbagai jenis tanaman. Hal ini memungkinkan petani untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dengan mengatur pola tanam secara bergilir.

Alat analisis yang digunakan oleh Chaerunnisa adalah Linear Programming dengan fungsi tujuan untuk memaksimumkan pendapatan bersih dengan kombinasi jenis tanaman dan alokasi sumberdaya yang optimal. Penelitian ini menguraikan bahwa kendala yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah kendala luas lahan, kendala jumlah benih/ bibit, kendala jumlah pupuk, kendala jumlah obat-obatan, kendala jumlah tenaga kerja keluarga, dan kendala permintaan pasar.

(22)

22 Pengalokasian lahan pada kondisi optimal berbeda dengan alokasi lahan pada kondisi aktual. Pada kondisi optimal, alokasi lahan untuk tanaman caisin, kangkung, bayam, paria, dan ketimun lebih besar daripada kondisi aktual. Pada tanaman lainnya, alokasi lahan pada kondisi optimal lebih rendah dari kondisi aktual. Pada kondisi optimal, alokasi lahan untuk caisin seluas 198 ha, kacang panjang 16 ha, cabai merah 3,5 ha, paria 20,94 ha, ketimun 8,4 ha, labu air 8 ha, kangkung 330 ha, bayam 308 ha, dan blewah 4 ha.

Pendapatan yang diperoleh pada kondisi tersebut mencapai Rp 4.732.964.247,40 dalam satu tahun. Pendapatan yang diperoleh pada kondisi optimal lebih tinggi Rp 521.719.175,40 atau sekitas 12,39 persen dibandingkan dengan pendapatan aktualnya. Pada kondisi optimal tersebut, input produksi merupakan sumberdaya yang berlebih. Input yang habis terpakai adalah bibit ketimun dan pestisida alami. Kedua input tersebut merupakan input yang digunakan untuk menanam ketimun. Penambahan pendapatan akan diperoleh jika dilakukan penambahan jumlah bibit ketimun dan pestisida alami. Penambahan pestisida alami sebesar satu liter akan menambah pendapatan sebesar Rp 10.889.536,00.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yang telah dikemukakan, dapat diketahui bahwa tujuan yang ingin diperoleh dari suatu kegiatan usahatani, baik usahatani sayuran maupun usahatani bukan sayuran adalah untuk memaksimalkan pendapatan usahatani dengan kombinasi komoditi yang optimal. Penelitian ini juga akan mengkaji kombinasi optimal jenis sayuran yang diusahakan dalam memaksimalkan pendapatan petani.

(23)
(24)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Kombinasi Produk Optimum

Penentuan kombinasi produksi dilakukan untuk memperoleh lebih dari satu output dengan menggunakan satu input. Hal ini terjadi karena terbatasnya jumlah input (sumberdaya produksi). Keterbatasan sumberdaya produksi yang dimiliki untuk menghasilkan suatu barang atau jasa ditunjukkan oleh batas kemungkinan produksi (Production Possibility Frontier). Sedangkan kombinasi produksi yang optimum untuk memperoleh keuntungan maksimum dapat diperoleh dengan menggunakan Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) dan garis

isorevenue. KKP (production possibility curve) memperlihatkan seluruh kombinasi dari dua barang (output) yang dapat diproduksi dengan sejumlah sumberdaya yang tersedia dalam perekonomian (Nicholson, 2002). Sedangkan garis isorevenue menunjukkan kombinasi produk yang dapat dijual yang akan memberikan penerimaan tertentu.

Kombinasi output yang optimal akan memberikan keuntungan maksimal. Penentuan kombinasi output optimal tercapai pada saat satu titik pada kurva kemungkinan produksi tepat bersinggungan dengan garis isorevenue. Garis

isorevenue merupakan garis yang menunjukkan kombinasi produk yang akan memberikan penerimaan tertentu. Kombinasi produk optimal dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

X1

a1 A

a2 B

isorevenue

X2

0 b1 b2

(25)

25 Berdasarkan Gambar 1, petani diasumsikan menghasilkan dua jenis sayuran, yaitu X1 dan X2. Jika harga X1 lebih tinggi daripada harga X2, maka petani akan

mengusahakan sayuran pada titik A dengan jumlah X1 sebesar a1 dan X2 sebesar

b1. Sebaliknya, jika harga X2 lebih besar daripada X1, petani akan mengusahakan

sayuran pada titik B dengan jumlah X1 sebesar a2 dan X2 sebesar b2. Apabila

petani memproduksi pada titik A, maka jumlah X1 yang diproduksi lebih besar

dibandingkan dengan X2. Sebaliknya, jika produksi dilakukan pada titik B, jumlah

produk X1 yang diproduksi lebih kecil dibandingkan dengan X2. Hal ini

menunjukkan bahwa setiap kenaikan X1 akan mengurangi X2 dan setiap kenaikan

X2 akan mengurangi X1. Oleh sebab itu, agar diperoleh produksi yang optimal,

jumlah output X1 yang dikurangi harus sama dengan jumlah X2 yang ditambah.

3.1.2 Penerimaan Usahatani, Biaya Usahatani, Pendapatan Usahatani, dan Efisiensi Usahatani

1. Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani adalah hasil perkalian dari jumlah produksi dengan harga satuan produksi. Menurut Soekartawi, et al (1986), penerimaan usahatani adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Penerimaan mencakup produk yang dijual, dikonsumsi sendiri, baik yang digunakan kembali untuk bibit atau yang disimpan di gudang. Menurut Hernanto (1991), penerimaan usahatani merupakan penerimaan dari semua sumber usahatani. Penerimaan ini terdiri dari jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan produk yang dikonsumsi rumah tangga.

2. Biaya Usahatani

Soekartawi, et al (1986) mengatakan bahwa biaya atau pengeluaran usahatani adalah semua nilai masuk yang habis dipakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani. Menurut Hernanto (1991), biaya atau pengeluaran usahatani adalah semua biaya operasional dengan tanpa memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelola usahatani.

(26)

26 usahatani yang tidak bergantung kepada besarnya produksi. Sedangkan biaya tidak tetap (biaya variabel) didefinisikan sebagai pengeluaran yang digunakan untuk tanaman atau ternak tertentu dan jumlahnya berubah kira-kira sebanding dengan besarnya produksi tanaman atau ternak tersebut (Soekartawi, et al, 2011).

Biaya usahatani mencakup pengeluaran tunai dan tidak tunai. Biaya tunai usahatani didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani, seperti biaya pembelian sarana produksi, biaya pembelian bibit, pupuk dan obat-obatan serta biaya upah tenaga kerja. Sedangkan biaya tidak tunai terdiri dari biaya penyusutan alat-alat pertanian dan biaya sewa lahan (Soekartawi, et al, 2011).

3. Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani merupakan balas jasa terhadap penggunaan faktor produksi. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan usahatani yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Pendapatan usahatani akan berbeda untuk setiap petani, dimana perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan faktor produksi, tingkat produksi yang dihasilkan, dan harga jual yang tidak sama nilainya.

Analisis pendapatan usahatani bermanfaat bagi petani dalam menjalankan kegiatan usahataninya. Tujuan utama dari analisis pendapatan adalah (Soeharjo dan Patong, 1987; Soekartawi, et. al, 1986):

a. Menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha

b. Menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Bagi seorang petani, analisis pendapatan bermanfaat dalam membantu mengukur apakah usahataninya berhasil atau tidak. Suatu usahatani dikatakan berhasil apabila pendapatannya memenuhi syarat sebagai berikut (Soeharjo dan Patong, 1973).

a. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi yang mungkin melekat pada pembelian tersebut.

(27)

27 c. Cukup untuk membayar tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk upah

lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah.

Bentuk dan jumlah pendapatan yang diperoleh oleh petani memiliki manfaat yang sama, yakni untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta sebagai pembentukan modal usahatani yang akan digunakan untuk mengembangkan usahatani. Dengan demikian, jumlah pendapatan yang diperoleh petani dapat menentukan tingkat hidup petani.

Selain itu, perhitungan imbalan terhadap tenaga kerja (return to labor) dan imbalan terhadap modal (return to capital) juga dilakukan. Perhitungan ini dilakukan untuk menilai keuntungan investasi terhadap penggunaan tenaga kerja dan modal usahatani (Soekartawi, et. al, 2011). Imbalan terhadap tenaga kerja (return to labor) dihitung dengan mengurangkan modal dari penerimaan bersih usahatani. Sedangkan imbalan terhadap modal (return to capital) dihitung dengan mengurangkan nilai tenaga kerja dari penerimaan bersih usahatani.

4. Efisiensi Usahatani

Nilai R/C ratio dapat menunjukan ukuran efisiensi suatu usahatani. Semakin besar nilai R/C maka semakin efisien usaha yang dilakukan. Rasio antara besar penerimaan dengan total biaya (R/C) dalam usahatani bisa digunakan untuk melihat apakah kegiatan usahatani menguntungkan (profitable) atau tidak. Besar atau nilai R/C menunjukan besaran penerimaan yang akan diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam produksi usahatani. Jika nilai R/C meningkat maka menunjukan adanya peningkatan penerimaan dan semakin efisien biaya yang digunakan. Nilai R/C > 1, menujukan bahwa penerimaan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan sehingga usaha menguntungkan atau profitable

untuk dijalankan. Nilai R/C = 0, menunjukkan bahwa penerimaan sama dengan biaya yang dikeluarkan atau usaha berada pada posisi impas. Sedangkan nilai R/C < 1, menunjukkan bahwa penerimaan lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan sehingga usaha yang dijalankan tidak menguntungkan.

3.1.3 Pola Tanam Usahatani

(28)

28 kapan akan dilakukan pengolahan dan kapan akan dilakukan bera. Dalam menjalankan usahanya, sebagian petani tidak hanya mengusahakan satu cabang usahatani melainkan terdiri dari berbagai cabang usahatani, seperti cabang usahatani tanaman pangan dan ternak. Hal ini dilakukan oleh petani atas dasar berbagai pertimbangan. Salah satunya adalah dengan harapan agar memperoleh pendapatan yang lebih tinggi karena mampu mengurangi risiko kerugian akibat gagal panen pada salah satu cabang usahatani. Usahatani pada satu cabang usahatani memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan usahatani pada lebih dari satu cabang usahatani.

Tujuan dari pola tanam adalah untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal, dan manajemen yang dimiliki oleh petani sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Hal yang harus diperhatikan oleh petani dalam mengatur pola tanammnya adalah bahwa semua kombinasi tanaman yang dipilih harus memenuhi persyaratan teknis, lingkungan, ekonomi, dan sosial, seperti pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi lahan dan iklim (Sunarno, 2004).

Soeharjo dan Patong (1973) membagi usahatani berdasarkan polanya menjadi usahatani khusus, usahatani tidak khusus, dan usahatani campuran. Usahatani khusus adalah usahatani yang memiliki satu cabang usaha. Sedangkan usahatani tidak khusus adalah usahatani yang dilakukan terdiri dari berbagai cabang usaha pada sebidang tanah. Usahatani campuran adalah usaha yang dilakukan secara bercampur antara tanaman dengan ternak.

Optimalisasi adalah suatu persoalan untuk membuat nilai suatu fungsi beberapa variabel menjadi maksimum atau minimum dengan memperhatikan pembatasan-pembatasan yang ada. Pembatasan tersebut meliputi lahan bagi suatu usahatani, tenaga kerja (man) yang merupakan jumlah ketersediaan tenaga kerja keluarga dalam kegiatan usahatani, modal (money) merupakan ketersediaan modal (uang) yang dimiiki petani untuk kegiatan usahatani (Lestari, 2006).

(29)

29 karena itu, optimalisasi pola tanam membantu petani dalam membuat suatu pola tanam menjadi optimal dengan menggunakan sumberdaya yang terbatas sehingga menghasilkan pendapatan yang maksimal.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Menurut Taha (1996), tahap-tahap yang harus dilalui dalam melakukan suatu studi riset operasi adalah:

a. Identifikasi Persoalan

Aspek utama yang berkaitan dengan definisi masalah adalah: (a) deskripsi tentang sasaran dan tujuan sistem model yang dihadapi, (b) identifikasi alternatif keputusan dari sistem tersebut, (c) pengenalan tentang keterbatasan, batasan, dan persyaratan sistem tersebut.

b. Pengembangan Model

Kegiatan yang dilakukan adalah: (a) memilih model yang cocok dan sesuai dengan permasalahannya, (b) merumuskan segala macam faktor yang terkait di dalam model yang bersangkutan secara simbolik ke dalam rumusan model matematik, (c) menentukan peubah-peubah beserta kaitan satu sama lain, (d) menetapkan fungsi tujuan dan kendala-kendalanya dengan nilai-nilai dan parameter yang jelas.

c. Pemecahan Model/ Analisis Model

Hal penting dari kegiatan ini adalah: (a) melakukan analisis terhadap model yang telah disusun dan dipilih tersebut, (b) memilih hasil-hasil yang terbaik/ optimum, dan (c) melakukan uji kepekaan dan analisis pasca optimal terhadap hasil-hasil analisis model tersebut.

d. Pengesahan Model

(30)

30 e. Implementasi Hasil Akhir

Hasil-hasil yang diperoleh berupa nilai-nilai yang akan dipakai dalam kriteria pengambilan keputusan yang dapat dipakai dalam perumusan strategi-strategi, target-target, dan langkah-langkah kebijakan yang akan diambil oleh pengambil keputusan dalam bentuk alternatif-alternatif.

Pengaturan pola tanam merupakan suatu cara yang dilakukan oleh petani dalam kegiatan usahataninya. Pengaturan pola tanam dilakukan dengan menentukan jenis tanaman apa yang akan diusahakan, berapa jumlahnya, kapan akan diusahakan, baik dengan cara monokultur atau dengan tumpangsari. Tujuan yang ingin diperoleh petani dalam menentukan pola tanam adalah untuk memperoleh pendapatan maksimum dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan optimal.

Kelompok Tani Pondok Menteng merupakan salah satu kelompok tani yang terletak di Desa Citapen Kecamatan Ciawi yang melakukan kegiatan usahatani sayuran. Jenis sayuran yang paling sering diusahakan oleh Kelompok Tani Pondok Menteng adalah cabai keriting, buncis, kacang panjang, tomat, timun, jagung manis, dan caisin. Kelompok tani ini melakukan kegiatan usahatani sayuran secara diversifikasi dengan pola tanam tertentu.

Penentuan jenis sayuran yang akan diusahakan dalam satu musim tanam dilakukan berdasarkan pertimbangan tertentu. Berdasarkan penelitian terdahulu, penentuan pola tanam diperkirakan dipengaruhi oleh kondisi fisik lahan, keadaan rumah tangga petani, hama dan penyakit tanaman, ketersediaan dan aksesibilitas input pertanian, dan aksesibilitas dan kelancaran pemasaran hasil pertanian, serta harga jual sayuran. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mengkaji optimalisasi pola tanam sayuran di Kelompok Tani Pondok Menteng untuk melihat pola tanam optimal dalam memberikan pendapatan maksimal bagi petani.

(31)

31 memiliki luas lahan di atas luas rata-rata lahan yang dimiliki oleh petani di Kelompok Tani Pondok Menteng. Sedangkan petani sempit merupakan petani dengan luas lahan lebih kecil dari luas rata-rata lahan.

(32)
[image:32.595.117.483.80.626.2]

32

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Pendapatan Usahatani dan Pola Tanam Sayuran di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

Usahatani sayuran

Pola Tanam Diversifikasi - Cabai keriting

- Buncis - Caisin

- Kacang panjang - Tomat

- Mentimun - Jagung manis

Tujuan Pondok Menteng Memaksimalkan Pendapatan

- Kombinasi jenis tanaman optimal - Alokasi sumberdaya

optimal

Evaluasi

Kelompok Tani Pondok Menteng

Kondisi Aktual Analisis Optimalisasi Pola

Tanam dengan Linear Programming - Analisis Primal-Dual - Analisis Sensitivitas - Analisis Post Optimal

Rekomendasi Analisis Pendapatan

(33)

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa Kelompok Tani Pondok Menteng merupakan salah satu kelompok tani yang melakukan usahatani sayuran. Hal lain yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi penelitian yang dilakukan adalah ketersediaan data dan ketersediaan pihak Kelompok Tani Pondok Menteng untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni sampai bulan Juli 2012.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani responden. Data ini digunakan untuk mengetahui karakteristik petani dan menganalisa pendapatan usahatani, serta pola tanam yang diterapkan oleh petani. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya dalam bentuk kuesioner, antara lain mengenai nama, umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, dan luas lahan yang diolah. Pertanyaan tentang jenis tanaman yang diusahakan, produksi yang dihasilkan, kebutuhan tenaga kerja, benih, pupuk, dan pestisida yang digunakan untuk satu jenis tanaman sayuran digunakan untuk menganalisa pendapatan usahatani dan pola tanam.

(34)

34

4.3 Metode Penentuan Sampel

Teknik penentuan sampel dilakukan melalui metode Probability Sampling

(Random Sampling) dengan Simple Random Sampling, dimana setiap petani yang menjadi anggota Kelompok Tani Pondok Menteng memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih. Hal ini dilakukan karena semua anggota Kelompok Tani Pondok Menteng melakukan kegiatan usahatani sayuran.

Kelompok Tani Pondok Menteng memiliki anggota sebanyak 104 petani (populasi). Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah sesuai dengan kriteria sebaran normal, yakni sebanyak 30 orang petani. Petani sampel dipilih dengan sistem arisan, dimana ke-30 sampel tersebut kemudian akan digolongkan menjadi petani luas dan petani sempit.

4.4 Metode Pengolahan Data

Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode kuantitatif dan kualitatif. Pengolahan data kualitatif dilakukan secara deskriptif dengan memberikan gambaran tentang pendapatan usahatani petani. Data yang dianalisa dalam penelitian ini adalah data usahatani sayuran. Analisis yang digunakan adalah analisis terhadap biaya, penerimaan, pendapatan, dan efisiensi usahatani dengan menggunakan rasio penerimaan atas biaya (R/C). Data kuantitatif diperoleh setelah dilakukan proses pengolahan untuk menemukan variabel dan koefisien yang ditabulasikan berdasarkan aktivitas-aktivitas yang ada dan akan dianalisis dengan menggunakan Linear Programming.

4.4.1 Analisis Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dan pengeluaran total usahatani (Soekartawi. et al, 1986). Pendapatan usahatani menjadi ukuran yang digunakan untuk melihat penggunaan faktor-faktor produksi, pengelolaan, dan penggunaan modal petani. Penerimaan merupakan hasil kali jumlah fisik output dengan harga yang diterima oleh petani. Sedangkan pengeluaran adalah pengeluaran usahatani untuk benih/ bibit, tenaga kerja, pupuk, obat-obatan, penyusutan alat, serta sewa lahan.

(35)

35 Pd = TR – TC

Dimana:

Pd = Pendapatan usahatani

TR = Total penerimaan TC = Total biaya

Metode perhitungan pendapatan usahatani yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada uraian berikut ini. Pendapatan usahatani diperoleh dengan menghitung selisih total penerimaan dengan total biaya pada setiap musim tanam.

1. Penerimaan:

a. Hasil penjualan cabai keriting xxx

b. Hasil penjualan caisin xxx

c. Hasil penjualan kacang panjang xxx

d. Hasil penjualan tomat xxx

e. Hasil penjualan timun xxx

f. Hasil penjualan bawang daun xxx g. Hasil penjualan buncis

Total penerimaan xxx

2. Biaya variabel a. Sarana produksi

- Bibit xxx

- Pupuk kandang xxx

- Pupuk kimia xxx

- Pestisida xxx

b. Tenaga kerja luar xxx

c. Tenaga kerja keluarga xxx

Total Biaya Variabel xxx

3. Biaya tetap

a. Sewa lahan xxx

b. Penyusutan xxx

Total biaya tetap xxx

Total biaya (2 + 3) xxx

Pendapatan usahatani (1-2-3) xxx

(36)

36 usahatani dapat dikatakan efisien jika R/C > 1. Semakin besar nilai R/C, maka usahatani tersebut semakin efisien. R/C ratio atas total biaya dirumuskan sebagai berikut.

R/C ratio atas biaya total =

Dimana,

TR : Total penerimaan, merupakan hasil kali jumlah produk dengan harga TC : Total biaya, merupakan penjumlahan total biaya variabel dengan total

biaya

P : Harga produk Q : Total produksi TVC : Total biaya variabel TFC : Total biaya tetap

4.4.2 Indeks Diversifikasi

Indeks diversifikasi merupakan indeks untuk mengukur keragaan diversifikasi dalam konteks perusahaan atau usahatani. Indeks diversifikasi pertanian dapat diukur dengan menggunakan rumus Indeks Diversifikasi Simpson. Semakin besar nilai diversifikasi Simpson, maka semakin banyak jenis komoditi yang ditanam, artinya semakin kegiatan usahatani yang dilakukan semakin terdiversifikasi. Indeks diversifikasi pertanian dituliskan dalam bentuk persamaan berikut.

Dimana,

q1 = penerimaan masing-masing komoditi

q = penerimaan total usahatani

4.4.3 Analisis Optimalisasi Pola Tanam

(37)

37 Hasil analisis yang dilakukan dapat digunakan oleh petani dalam mempertimbangkan komoditas apa yang akan diusahakan.

Menurut Soekartawi (1995), Linear Programming adalah metode perhitungan untuk perencanaan terbaik di antara kemungkinan-kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan. Linear Programming akan menghasilkan berbagai alternatif pemecahan masalah dalam pengambilan keputusan. Namun, hanya akan ada satu pemecahan masalah yang optimum (maksimum atau minimum). Umumnya, penerapan model ini menggunakan asumsi bahwa alokasi sumberdaya sebelum penerapan perencanaan belum optimal atau belum efisien dan sesudah penerapan pola alokasi sumberdaya menjadi optimal.

Linear programming pada hakekatnya merupakan suatu teknik perencanaan yang bersifat analitis dengan menggunakan model matematik dengan tujuan menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan masalah. Dari alternatif tersebut kemudian dipilih mana yang terbaik dalam rangka menyusun strategi dan langkah-langkah kebijakan lebih lanjut tentang alokasi sumberdaya optimal. Pilihan alternatif tersebut berkaitan dengan alokasi sumberdaya yang terbatas guna mencapai tujuan dan sasaran perusahaan secara optimal (Nasendi dan Anwar, 1985).

Pendekatan dengan metode Linear Programming memiliki lima asumsi (Nasendi dan Anwar, 1985), yaitu:

1. Linearitas, fungsi tujuan dan faktor-faktor pembatas harus dinyatakan sebagai faktor linear.

2. Proporsionalitas, naik turunnya nilai tujuan (Z) dan penggunaan sumberdaya atau fasilitas yang tersedia akan berubah secara sebanding dengan perubahan tingkat kegiatan.

3. Aktivitas, nilai tujuan setiap kegiatan tidak saling mempengaruhi atau kenaikan dapat ditambah tanpa mempengaruhi bagian nilai Z yang diperoleh dari kegiatan lain.

4. Divisiblitas, keluaran (output) yang dihasilkan setiap kegiatan dapat berupa bilangan pecahan, demikian pula dengan nilai Z yang dihasilkan.

(38)

38 Analisis optimalisasi dilakukan dengan menggunakan Linear Programming. Data yang diperoleh ditabulasikan berdasarkan aktivitas yang ada dan dimasukkan ke dalam bentuk Linear Programming. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer, yaitu melalui program LINDO (Linear, Interactive, and Discrete Optimizer). Hasil analisis ini akan berupa analisis

primal, analisis dual, analisis sensitivitas, dan post optimal. a. Analisis Primal

Analisis primal memberikan informasi tingkat kegiatan yang terbaik dan menghasilkan tujuan yang maksimum dengan keterbatasan sumberdaya yang tersedia. Dari analisa ini juga dapat diketahui kegiatan-kegiatan apa yang tidak menghasilkan tujuan maksimum dan berapa besar kerugian per satuan kegiatan bila kegiatan tersebut dipaksa diusahakan.

b. Analisis dual

Pada analisis dual akan diperoleh hubungan antara tingkat kegiatan optimal dengan keterbatasan sumberdaya yang dimilikinya. Nilai slack/ surplus

memberikan jumlah kelebihan dan kekurangan pemanfaatan sumberdaya pada tingkat kegiatan optimal. Apabila nilai slack-nya nol, berarti sumberdaya tersebut habis terpakai (langka). Sebaliknya, jika nilai slack-nya tidak sama dengan nol, berarti sumberdaya tersebut tersedia dalam jumlah yang berlebih, dimana angka slack-nya menunjukkan jumlah kelebihan (surplus). Nilai bayangan (dual prices) sumberdaya yang langka tidak sama dengan nol, sedangkan sumberdaya yang tidak langka mempunyai nilai bayangan sama dengan nol. Dari nilai bayangan tersebut, akan diketahui sumberdaya yang menjadi kendala utama dalam mencapai hasil yang optimal, dimana sumberdaya yang menjadi kendala merupakan sumberdaya yang memiliki nilai bayangan tertinggi. Sumberdaya ini dapat memberikan tambahan pendapatan bersih paling tinggi jika ketersediaannya ditambah satu satuan.

c. Analisis Sensitivitas

(39)

39 tentang berapa perubahan (naik atau turun) harga atau biaya kegiatan yang diperbolehkan agar tidak merubah hasil optimal dan berapa perubahan (naik atau turun) kuantitas sumberdaya yang masih diperbolehkan sehingga hasil optimal tidak berubah.

d. Anaisis Post Optimal

Analisis post-optimal digunakan untuk mempelajari nilai-nilai dari peubah pengambilan keputusan dalam suatu model. Jika satu atau beberapa parameter model tersebut berubah, maka kondisi optimal akan berubah. Analisis post-optimal dilakukan setelah diketahui kondisi optimal awal dari suatu model.

4.4.3.1Penentuan Variabel Keputusan

Variabel keputusan ditentukan berdasarkan pola tanam sayuran yang akan dioptimalkan. Variabel keputusan menunjukkan kegiatan usahatani sayuran yang dilakukan oleh Kelompok Tani Pondok Menteng. Pola tanam yang dipilih adalah pola tanam aktual yang paling dominan dilakukan oleh petani. Jenis sayuran yang diusahakan oleh Kelompok Tani Pondok Menteng terdiri dari tujuh jenis. Jenis kombinasi sayuran yang diusahakan berbeda untuk setiap musim tanam yang dilakukan. Variabel keputusan yang ditentukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7. Matriks Variabel Keputusan Produksi Sayuran Selama Periode Satu Tahun

Musim Tanam

Jenis Komoditas Cabai

Keriting Caisin Timun Tomat Buncis

Kacang Panjang

Jagung Manis

MT I X11 X21 X31 X41 X51 X61 X71

MT II X12 X22 X32 X42 X52 X62 X72

MT III X13 X23 X33 X43 X53 X63 X73

4.4.3.2Penentuan Fungsi Tujuan

(40)

40 merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan kegiatan produksi.

Penentuan jenis aktivitas diawali dengan menggolongkan kegiatan-kegiatan ekonomi dan permasalahan menjadi aktivitas-aktivitas yang berdiri sendiri. Adapun aktivitas-aktivitas tersebut adalah:

1. Aktivitas produksi merupakan kegiatan memproduksi jenis sayuran tertentu untuk dijual. Aktivitas ini dibedakan berdasarkan musim tanam, yaitu musim tanam 1, 2, dan 3. Aktivitas produksi diukur dalam satuan hektar lahan yang diusahakan. Nilai koefisien fungsi tujuan yang diperoleh merupakan rata-rata biaya produksi di luas biaya pembelian pupuk dan sewa tenaga kerja. Biaya tersebut meliputi biaya pembelian benih, pestisida, dan sarana produksi lainnya, seperti bambu, mulsa, tali rapia, karet gelang, sewa lahan, dan penyusutan.

2. Aktivitas pembelian pupuk dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pupuk dalam kegiatan produksi tanaman sayuran. Aktivitas ini dibedakan berdasarkan jenis pupuk. Pembedaan atas musim tanam terdiri dari musim tanam 1, 2, dan 3. Nilai koefisien fungsi tujuan sama dengan harga beli per kilogram pupuk yang dinyatakan dalam satuan rupiah.

3. Aktivitas menyewa tenaga kerja luar keluarga dilakukan karena tenaga kerja keluarga yang dimiiliki tidak cukup untuk melakukan kegiatan produksi sayuran. Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita. Pembedaan tenaga kerja atas musim tanam terdiri dari musim tanam 1, 2, dan 3. Nilai koefisien fungsi tujuan sama dengan tingkat upah per hari kerja yang dinyatakan dalam rupiah.

4. Aktivitas penjualan yang meliputi seluruh hasil tanaman yang diproduksi dari lahan yang tersedia untuk dijual. Aktivitas ini dibedakan berdasarkan jenis tanaman. Nilai koefisien fungsi tujuan sama dengan harga jual hasil produksi per kilogram yang dinyatakan dalam rupiah.

Secara matematis, model linear programming ditunjukkan dalam persamaan berikut.

(41)

41 Dimana,

i : musim tanam, i=1,2,3 j : jenis komoditi, j=1,2,3,…,7 k : jenis pupuk, k=1,2,3,…,8 a : jenis tenaga kerja, a=1,2 Z : maksimumkan pendapatan

Cij : biaya lain yang dikeluarkan (Rp/ha) untuk komoditi j pada MT ke i

Lij : luas lahan (hektar) yang digunakan untuk komoditi j pada MT ke i

Uik : harga beli pupuk (Rp/kg) jenis k pada MT ke i

Pik : jumlah pupuk (kg) jenis k yang dibeli pada MT ke i

Oik : tingkat upah (Rp/HOK) tenaga kerja jenis a pada MT ke i

T : jumlah tenaga kerja (HOK) jenis a yang disewa pada MT ke i H : tingkat harga jual (Rp) komoditi yang dihasilkan pada MT ke i Q : jumlah komoditi j (kg) yang diproduksi pada MT ke i

4.4.3.3Penentuan Fungsi Kendala

Kendala yang ditetapkan untuk fungsi tujuan adalah kendala lahan, kendala transfer pembelian pupuk, kendala tenaga kerja, kendala transfer penjualan, dan kendala modal.

1. Kendala lahan adalah ketersediaan lahan yang digunakan pada musim tanam ke i (bi) dimana lahan yang digunakan untuk usahatani komoditi j pada

musim tanam ke i (Lij) lebih kecil atau sama dengan ketersediaan lahan.

Secara matematis dapat dilihat pada persamaan berikut.

Kendala lahan =

2. Kendala transfer pembelian pupuk merupakan perpindahan (transfer) pupukdari aktivitas produksi ke aktivitas pembelian pupuk. Besarnya rata-rata kebutuhan pupuk

per hektar komoditi j pada MT ke i (dLij) harus lebih kecil atau sama dengan

pembelian pupuk jenis k pada musim tanam ke i (Pik). Secara matematis dapat dilihat pada persamaan berikut.

Kendala transfer pembelian =

(42)

42 HKW untuk tenaga kerja wanita. Secara matematis dapat dilihat pada persamaan berikut.

Kendala tenaga kerja =

4. Kendala transfer penjualan adalah hasil dari aktivitas produksi ke aktivitas penjualan (fLij) yang jumlahnya lebih kecil atau sama dengan jumlah

produksi (Qij). Secara matematis dapat dilihat pada persamaan berikut.

Kendala transfer penjualan = - fLij + Qij 0

5. Kendala modal sendiri adalah jumlah modal sendiri yang dimiliki petani pada musim ke i (Mi) dimana modal yang diperlukan per hektar lahan (yLij) lebih kecil atau sama dengan jumlah modal yang dimiliki. Secara matematis dapat dilihat pada persamaan berikut.

Kendala modal sendiri =

Setelah dilakukan analisis model optimalisasi, selanjutnya adalah analisis

post optimal yang akan dibuat menjadi beberapa pengaruh. Analisis post optimal

dilakukan untuk melihat

Gambar

Tabel 2. Pertumbuhan Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Hortikultura di
Tabel 4. Produksi Sayuran Tahun 2006-2010 menurut Kabupaten dan Kota di Jawa Barat
Gambar 2.  Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Pendapatan Usahatani dan
Tabel 9.  Penggunaan Lahan Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor
+7

Referensi

Dokumen terkait

JUDUL : ANALISIS HUBUNGAN KINERJA KELOMPOK TANI DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PETANI (Kasus :Desa Sempajaya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo)1. NAMA : WELLA GRACE SIHITE NIM

Pendapatan petani sampel pada usahatani kelapa diperoleh dari selisih antara penerimaan usahatani kelapa dengan total biaya produksi yang dikeluarkan dalam

Analisis Pendapatan Usahatani cabai rawit penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya pendapatan yang diperoleh petani cabai di Desa Kaligambir selama satu musim

Analisis pendapatan dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui besarnya pendapatan yang diperoleh petani responden pada usahatani padi sawah pola jajar legowo di

Pendapatan petani sampel pada usahatani kelapa diperoleh dari selisih antara penerimaan usahatani kelapa dengan total biaya produksi yang dikeluarkan dalam

Dari hasil penelitian tentang Peranan Penyuluhan Terhadap Pendapatan Usahatani Petani Ubi jalar di Kelompok tani Hurip, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten

5.2 Rata-rata Pendapatan Usahatani Kakao di Desa Era Baru Kecamatan Tellulimpoe Kabupaten Sinjai 5.2.1 Pendapatan Usahatani Kakao Sarana produksi yang digunakan petani anggota

Pendapatan merefleksikan nilai yang diperoleh petani dari penerimaan dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam melakukan usahatani pepaya