• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study of nutrient fluxes and chlorophyll-a contents and its relation to the process of mixing in Southern Makassar Strait

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study of nutrient fluxes and chlorophyll-a contents and its relation to the process of mixing in Southern Makassar Strait"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A

SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES

PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR

KAHARUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Fluks Nutrien dan Kandungan Klorofil-A serta Kaitannya dengan Proses Percampuran di Selatan Selat Makassar adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Kaharuddin

(3)

ABSTRACT

KAHARUDDIN. Study of nutrient fluxes and chlorophyll-a contents and its relation to the process of mixing in Southern Makassar Strait. Under direction of JOHNISKANDAR PARIWONO and ALANFRENDYKOROPITAN.

Vertical nutrient flux within nitrate, phospate, and silicate organic particle is the primary organic element that has important role to the productivity rate of water and as indicator of maximum limit of the chlorophyll-a concentrate value. The orientation studies in viewing the rate of vertical nitrate flux due to turbulent activity causing the mixture to control the atmospheric pressure at the surface layers, shear flows and their interaction with the bottom shallow contours of the topography Southern Makassar Strait (Dewakang Sill). Slope and sill contribute to the mass trapping of water and strengthening the activities of internal waves, internal tides, and upwelling/downwelling around the slope and ridge sill, play a role in stimulating the movement of the magnitude of nutrient fluxes vertically. The analysis methods of vertical nutrient fluxs is evaluated by using the param estimation frequency Brunt-Vaisala (N2), current shear Richardson Number (Ri), coefficient diffusion vertical eddy (Kz), show scale flux value that is between layer in the surface layer (eufotic zone). The result of the analysis shows gradien fluctuations in salinity gradients and patterns of stratification, temperature, and density every inchs determine the amount of buoyancy frequency ratio of about 1 x 10-4 - 5.81 x 10-3 s-2, and shear strength of signals at the current depth bin ranged from 1 x 10-3 s-2 - 4 x 10-3 s-2, the magnitude of the Ricardson Number indicates a strong mixing approximately bin at a depth of 68 m - 206 m at 0.20- 2.58. Based on the estimation of the depth coefficient diffusion vertical eddy (Kz) shows improvement in vertical diffusion layer at a depth pycnocline of the bin (12.79 - 189.79 m) with a range of 1.70 x 10-4 - 6.43 x 10-5 m2 s-1 and coefficient diffusion vertical eddy (Kz) from density (σo) with a range 1.54 x 10-4 - 7.17 x 10-2 m2 s-1).

Increased Kz value at bin in vertical depth not contribute strongly to the vertical nitrate flux due to the surface layer of the thermocline layer, that is the energy required to penetrate the strong diffusion layer. Eufotik layer gradient flux of nutrients 2.54 x 10-2 µg-A m-2 s-1. Nutrient fluxs concentrations negatively correlated with chlorophyll-a concentration gradient in depth with the closeness (r) to Si (0.3813), followed by the N (-0.2373) and P (-0.2745). The value of vertical eddy diffusion (Kz) is inversely proportional the buoyancy frequency (N2) and the presence of high concentrations of nutrients contained in the limit of the thermocline. Element of organic silicate (Si) is more influential than other organic elements to simulate the thickness of the concentration of chlorophyll-a.

(4)

RINGKASAN

KAHARUDDIN. Kajian fluks nutrien dan kandungan klorofil-a serta kaitannya dengan proses percampuran di Selatan Selat Makassar. Dibimbing oleh JOHN ISKANDAR PARIWONO dan ALAN FRENDY KOROPITAN.

Dewakang Sill merupakan bagian perairan yang berada di Selatan Selat Makassar, dan merupakan jalur utama transpor aliran Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) bagian timur. Wilayah perairan ini sebagai tempat pertemuan massa air dengan karakteristik yang berbeda, yaitu massa air Samudera Pasifik melewati Selat Makassar dan massa air Laut Jawa. Keberadaan dua massa air tersebut menyebabkan adanya front dan terbentuknya pelapisan massa air terhadap kedalaman, hal ini terlihat dari profil salinitas dan suhu perairan ditambah dengan kecepatan arus yang berbeda pula. Perbedaan densitas terhadap kedalaman perairan menyebabkan stratifikasi lapisan dan percampuran massa air. Proses percampuran massa air oleh aktifitas turbulensi secara vertikal dan horizontal, selain adanya perbedaan gradien densitas juga dipengaruhi oleh aktivitas pasang surut internal dan gelombang internal di atas topografi dasar (slope dan sill).

Keberadaan Dewakang Sill pada kedalaman antara 600 – 700 m, menjadi penghalang pergerakan dan distribusi massa air menuju Laut Flores dan Laut Banda. Karakteristik shear arus dengan kecepatan yang bervariatif sepanjang kanal yang terbentuk dengan adanya perbedaan densitas/kedalaman menyebabkan terjadinya proses downwelling/upwelling dan osilasi dari gelombang internal yang memicu terjadinya turbulen di sisi slope dan sill. Aktivitas turbulen berperan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya fluks nutrien antar lapisan secara vertikal. Besarnya kontribusi aktivitas fisik yang terjadi di sekitar kontur dasar berfluktuasi oleh shear arus dan kondisi densitas kedalaman berpengaruh terhadap pengangkutan serta perpindahan bahang (energi) dan partikel nutrien ke lapisan permukaan secara vertikal. Laju fluks nutrien (nitrat) secara vertikal sebagai refleksi difusi vertikal sangat menentukan laju kedalaman lapisan produktivitas fitoplankton. Ketebalan konsentrasi klorofil-a dari aktivitas produksi fitoplankton sebagai sinyal mengukur ketersediaan dan perpindahan nutrien dari lapisan dalam ke lapisan termoklin dan lapisan permukaan tercampur. Kondisi ini dapat dijelaskan melalui korelasi variabel nutrien dengan gradien densitas dan shear

arus pada interval kedalaman perairan. Sehingga penelitian ini difokuskan untuk melihat dan mengestimasi jumlah energi dan laju fluks nutrien dan korelasinya dengan kandungan klorofil-a sebagai akibat dari kontribusi interaksi topografi terhadap proses percampuran di Selatan Selat Makassar termasuk Dewakang Sill.

(5)

lunak WinADCP dengan koreksi pasut, dan data nutrien (nitrat, posfat, dan silikat) serta klorofil-a dari tabung rosette pada CTD. Data nutrien dan klorofil-a sebanyak 52 sampel dengan kedalaman standar (5, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 200, 250, 300, 350, 400, 500, 700, 1000) pada 5 Stasiun dari Selatan Dewakang Sill

menuju Laut Jawa. Proses pengukuran nilai konsentrasi nutrien dan klorofil-a dengan menggunakan spektrofotom (885nm) di laboratorium kimia hara dan laboratorium produktivitas primer, puslit oseanografi, LIPI. Perhitungan data dengan metode frekuensi Brunt Vaisala (N2), estimasi difusi vertikal (Kz) dan perhitungan data arus SADCP dengan menghitung nilai shear dan Richardson Number (Ri), koefisien difusian eddy vertikal (Kz), nilai Kz dengan nilai konsentrasi nutrien (nitrat) digunakan untuk menghitung fluks nutrien vertikal, selanjutnya menghitung nilai korelasi antara konsentrasi nutrien dan konsentrasi klorofil-a terhadap kedalaman.

Stasiun pengamatan di Selatan Selat Makassar dari Dewakang Sill (114 BT - 119 BT) menunjukkan profil kontur dasar yang dangkal sepanjang Laut Jawa, dimana terdapat kanal-kanal dan slope diantara seamount dan sill. Keberadaan topografi dasar ini menjadi indikator pembatas penyebaran massa air dan menyebabkan adanya aktivitas fisik sebagai interaksi disepanjang punggung ambang dan slope. Berdasarkan karakteristik massa air terlihat adanya pola pelapisan salinitas, suhu, dan densitas terhadap kedalaman pada tiga lapisan utama. Profil suhu pada lapisan permukaan tercampur, termoklin, menunjukkan adanya stratifikasi yang relatif stabil terhadap kedalaman dengan gradien 0.02 oC. Lapisan termoklin ditemukan pada kedalaman 114 m - 163 m dengan variasi ketebalan antara 4 m - 21 m pada suhu 20 oC. Pelapisan salinitas menunjukkan pola sangat fluktuatif antara lapisan permukaan, piknoklin dan lapisan dalam. Salinitas tertinggi dan terendah ditemukan pada lapisan permukaan hingga lapisan piknoklin (33.65 - 34.09 psu), akibat adanya intrusi massa air berbeda.

Profil shear arus pada komponen vektor u dan v menunjukkan sinyal- sinyal laju pergerakan arus yang kuat pada interval kedalaman. Komponen arus menunjukkan shear arus kuat mencapai 1.76 x 10-3 s-2 pada Stasiun 1 – 4, dengan kedalaman bin (12.79 - 208.79 m). Kuatnya shear arus diindikasikan adanya penyempitan aliran di atas topografi kontur yang dangkal. Shear arus dengan sinyal yang relatif melemah pada lapisan permukaan dan menguat di lapisan dalam (3.13 x 10-7 - 1.11 x 10-3 s-2)dengan pola pergerakan acak.

Rasio frekuensi apung (N2) yang membentuk pola pelapisan terhadap kedalaman, kondisi lapisan permukaan dengan gradien fluktuasi berbeda. Lapisan piknoklin yang merupakan lapisan pembatas antara lapisan atas dan lapisan dalam dengan ketebalan yang tebal akibat perubahan gradien densitas dengan kisaran cukup tinggi yang menjadi penghalang secara vertikal dari pergerakan fluida. Nilai frekuensi apung pada lapisan piknoklin relatif sama terhadap kedalaman berkisar 3.45 x 10-4 - 9.78 x 10-5 s-2, sedangkan nilai tertinggi di lapisan permukaan dan di lapisan dalam dengan nilai yang sama (1 x 10-4 s-2 dan 5 x 10-3 s-2).

(6)

Aktivitas turbulensi yang menyebabkan percampuran dalam kolom perairan berdasarkan estimasi difusi eddy vertikal (Kz), yang menjelaskan besaran rasio koefisien difusian berbanding terbalik dengan besaran nilai Richardson Number. Koefisien difusi dengan kedalaman bin (12.79 m - 208.79 m) dengan variasi nilai difusi yang berfluktuatif sepanjang Stasiun pada lapisan permukaan hingga batas lapisan piknoklin. Nilai difusi vertikal eddy (Kz) meningkat pada lapisan dalam di lapisan piknoklin (208.79 m) sampai permukaan (12.79 m) dengan variasi nilai antara 5 x 10-4 - 9 x 10-4 m2 s-1. Nilai difusi terendah dan sedang ditemukan di bagian timur (Stasiun 1) dan bagian barat (Stasiun 4 dan 5) sampai kedalaman 12.79 - 146.79 m) dengan kirasan antara 1 x 10-4 - 5 x 10-4 m2 s

-1

. Aktivitas percampuran turbulen di lapisan piknoklin diindikasikan sebagai pengaruh proses shear arus, pasut internal, dan gelombang internalsepanjang sisi

sill dan slope.

Gradien fluks nutrien (nitrat) dengan menggunakan param difusi eddy vertikal (Kz) dengan nilai kedalaman CTD dikalkulasi dengan konsentrasi nutrien pada kedalaman standar. Besaran nilai difusian (Kz) sebagai aktivitas turbulen percampuran berbanding lurus dengan laju penyebaran vertikal konsentrasi nutrien dengan bertambahnya tekanan. Secara berturut - turut nilai fluks ketiga unsur tertinggi mulai dari fluks silikat sebesar 2.62 x 10-3 µg-A m-2 s-1, kemudian nitrat 1.73 x 10-3 µg-A m-2 s-1, selanjutnya silikat 5.89 x 10-4 µg-A m-2 s-1.

Gradien nutrien berfluktuasi terhadap densitas kedalaman, diiringi dengan gradien standar deviasi (0.02 dan 0.04 µg-A m-2 s-1) yang meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kondisi yang sama terlihat pada konsentrasi fosfat (P) dan silikat (Si). Berdasarkan uji korelasi menunjukkan nilai keeratan (r) pada konsetrasi nitrat dan korelasinya terhadap konsentrasi klorofil-a dengan selang kepercayaan 99% secara berturut-turut adalah Si (0.3813), kemudian N (-0.2373) dan P (-0.2745). Dibandingkan sebaran klorofil-a terhadap kedalaman secara melintang dan vertikal, menjelaskan bahwa konsentrasi dengan nilai berkisar antara 0.07 - 1.38 µg m3

Kata Kunci: Fluks Nutrien, Klorofil-a, Mixing, Selatan Selat Makassar, Dewakang Sill

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A

SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES

PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR

KAHARUDDIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

(10)

Judul Tesis : Kajian Fluks Nutrien dan Kandungan Krolofil-a serta Keterkaitannya dengan Proses Percampuran di Selatan Selat Makassar

Nama : Kaharuddin NIM : C551090031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. John I. Pariwono Dr. Alan F. Koropitan, S.Pi., M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Kelautan

Dr. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(11)

PRAKATA

Ucapan syukur dan terima kasih tercurahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT) yang telah memberikan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis sebagai salah satu syarat kelulusan pada program pascasarjana Ilmu Kelautan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian mengenai Kajian Fluks Nutrien dan Kandungan Klorofil-A serta Keterkaitannya dengan Proses Percampuran (Mixing) di Selatan Selat Makassar ini telah dilaksanakan sejak Agustus 2010.

Pengkajian ini mengenai laju fluks nutrien dan korelasinya terhadap konsentrasi klorofil-a yang merefleksikan produktivitas perairan, sebagai akibat dari proses percampuran di perairan Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi pelengkap informasi dan rujukan ilmiah tentang peranan antara interaksi dari keberadaan topografi laut (sill dan slope) dengan proses fisik di salah satu jalur Arus Lintas Indonesia (ARLIDO). Hasil penelitian ini juga diharapkan sebagai pembanding sejauh mana kontribusi sumber nutrien lautan di Selatan Selat Makassar, selain dari intrusi zat hara (nutrien) antropogenik dari daratan melalui Laut Jawa dan sepanjang Selat Makassar (Muara Kalimantan dan Sulawesi). Selanjutnya menjelaskan bagaimana pengaruh kontribusi isu perubahan iklim global terhadap ketersediaan nutrien dan pada akhirnya menambah informasi dalam aktivitas penangkapan ikan diwilayah tersebut. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2012

(12)

KATA PENGANTAR

Penulis menyampaikan penghormatan dan ucapan terima kasih kepada yang mendukung, memotivasi, dan telah menginspirasi dalam pernyusunan tesis ini :

1. Dr. Ir. John I. Pariwono, selaku pembimbing satu yang telah memberi kesempatan dan meluangkan waktu, arahan serta pikiran selama penyusunan tesis.

2. Dr. Alan F. Koropitan, S.Pi., M.Si., selaku pembimbing dua yang telah memberi kesempatan, meluangkan waktu, ide dan gagasan, arahan serta pikiran selama penyusunan tesis.

3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.,selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang banyak memberikan koreksi penulisan dan motivasi dalam penyelesaian penulisan tesis.

4. Dr Agus Saleh Atmadipoera, DESS., selaku penguji luar komisi pada ujian tahap akhir penyelesaian studi selain bersedia membantu secara konsep dan analisis dalam penyempurnaan hasil penelitian.

5. UPT Baruna Jaya BPPT yang mengijinkan menggunakan data hasil Cruise

Sail Banda dengan Kapal Riset Baruna Jaya pada tanggal 14 - 25 Agustus 2010, terima kasih atas dukungan dan ijin penggunaan data.

6. DIKTIsebagai sponsor Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) 2009, serta semua pihak yang telah membantu memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis.

7. Maxi Elias Timotius Parengkuan, S.IK, M.Sc., terima kasih telah berbagi informasi dan telah berbagi data untuk penelitian ini.

8. Rekan-rekan pascasarjana ilmu kelautan 2009, rekan-rekan di laboratorium data processing, rekan-rekan ITK FPIK IPB mulai dari angkatan 43 sampai 46, terima kasih banyak atas masukan (saran dan kritik).

9. Keluarga besar BARISTAR SQUAD, BARISTAR 2011/2012, Partai Hikmah dan anak PONDOK MALEA, terima kasih hari-harimu untukku, i love you. 10.Kedua orang tua, keluarga besar, saudara di Marangkayu dan bubuhan putri

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Januari 1982 di Marangkayu sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Hamsah Mahmud dan Wardah. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan penulis di SDN 98 Batukaropa Tahun 1996, melanjutkan sekolah ke SMPN 03 Bontomanai, lulus Tahun 1999. Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan Tahun 2002 di Madrasah Aliyah Negeri 02 Tanete. Penulis melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi pada tahun 2002, pada program studi Ilmu Kelautan, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur, lulus pada tahun 2006 dengan gelar strata satu (S1).

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ...iii

DAFTAR ISI ...xiii

DAFTAR GAMBAR ...xv

DAFTAR TABEL ...xv

LAMPIRAN ...xvii

PENDAHULUAN ...1

Latar Belakang ...1

Rumusan Masalah ...4

Tujuan ...7

Manfaat Penelitian ...7

TINJAUAN PUSTAKA ...8

Oseanografi Selatan Selat Makassar ...8

Sill dan Slope Region ...10

Percampuran (Mixing) ...13

Suhu ...16

Salinitas ...17

Densitas ...18

Fluks Nutrien ...19

Klorofil-a dan Produktivitas Perairan ...20

METODE PENELITIAN ...24

Lokasi dan Waktu ...24

Alat dan Bahan ...25

Metode Pengambilan Data ...25

Data Fisik Perairan ...25

Data Kontur Kedalaman ...26

Data Nutrien ...27

Data Krolofil ...28

Analisis Data ...29

(15)

Percampuran (Mixing) ...31

Frekuensi Apung (Bouyancy Frequency) ...31

Bilangan Richardson (Ri) ...32

Difusi Eddy Vertikal (Kz) ...32

Fluks Nutrien ...34

Hubungan Klorofil-a dan Nitrat...35

HASIL DAN PEMBAHASAN ...36

Deskripsi Topografi Selatan Selat Makassar ...36

Profil Pelapisan Massa Air ...37

Sebaran Melintang Suhu ...37

Sebaran Melintang Salinitas ...40

Identifikasi Jenis Massa Air ...44

Arus Melintang Perairan Selatan Selat Makassar ...46

Proses Percampuran Massa Air ...50

Frekuensi Apung (N2)...50

Shear Arus Vertikal (S2) ...52

Bilangan Richardson (Ri) ...54

Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (Kz) ...56

Variasi Turbulensi Fluks Nutrien ...61

Korelasi Nutrien Terhadap Kandungan Klorofil-a ...66

KESIMPULAN ...71

Kesimpulan ...71

Saran ...72

DAFTAR PUSTAKA ...73

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Lokasi data CTD ...26 2 Lokasi data SADCP ...26 3 Karakter aliran massa air Selatan Selat Makassar dan sekitarnya berdasarkan

Stasiun pengamatan ...45 4 Nilai rata - rata difusi vertikal eddy (Kz) dengan densitas (σo) ...58

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Skema kerangka pemikiran ...6 2 Skematis utama dari gambar dasar laut (Stewart, 2008). ...12 3 Simulasi jalur aliran nitrogen dalam lapisan atas perairan pada ekosistem

(Bahamon, 2003) ...20 4 Peta lokasi/Stasiun penelitian di perairan Selatan Selat Makassar. ...24 5 Diagram alur pengolahan data ...30 6 Bentuk kontur topografi dasar sepanjang perairan Selatan Selat Makassar

(satelit USGS, etopo 2) ...36 7 Profil suhu perairan Dewakang Sill secara melintang berdasarkan data CTD38 8 Profil melintang salinitas perairan Dewakang Sill berdasarkan data CTD ..41 9 Diagram TS Selatan Selat Makassar berdasarkan titik pengamatan (a). Hasil

pembesaran kotak hijau pada Gambar (b) massa air NPSW dan (c) massa air NPIW ...45 10 Penampang melintang kecepatan arus komponen U (m s-1) ...47 11 Penampang melintang kecepatan arus komponen V (m s-1) ...49 12 Profil distribusi melintang frekuensi apung (N2) berdasarkan data CTD ....51 13 Profil vertikal shear arus (S2) perairan Selatan Selat Makassar...54 14 Profil distribusi melintang bilangan Richardson perairan Selatan Selat

Makassar ...55 15 Profil koefisien difusi vertikal eddy (Kz) dengan densitas (σo) perairan

Selatan Selat Makassar ...58 16 Profil Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (Kz) berdasarkan nilai shear (S2)

arus perairan Dewakang Sill ...60 17 Grafik fluks nitrat vertikal (µg-A m2 s-1) berdasarkan difusi vertikal eddy (Kz)

dari densitas (σo) ...63

18 Grafik fluks nitrat vertikal (µg-A m2 s-1) berdasarkan difusi vertikal eddy (Kz) dari shear arus (S2) ...64 19 a) Profil distribusi melintang kandungan klorofil-a perairan Dewakang Sill b)

rata-rata (solid) dan rata-rata +/- standard deviasi (dashed) profil gradien klorofil dari data Roxcete CTD. ...66 20 Korelasi fluks nutrien dengan konsentrasi kandungan klorofil-a berdasarkan

Kz densitas (σo) ...68

21 Korelasi fluks nutrien dengan konsentrasi kandungan klorofil-a berdasarkan

(18)

LAMPIRAN

Halaman 1 Rata-rara ± standar deviasi (dashed) profil gradien nutrien (nitrat, fosfat, dan

silikat) dari data Roxette CTD ...78 2 Grafik vertikal suhu dan salinitas Perairan sepanjang Stasiun pengamatan

Selatan Selat Makassar ...79 3 Profil vertikal Thorpe displacement (d) berdasarkan nilai densitas (σo) terhadap

kedalaman (m) ...81 4 Diagram alir pengolahan param fisik dari CTD dengan perangkat lunak ODV 82 5 Fluks nutrien berdasarkan estimasi difusi vertikal eddy (Kz) dari shear arus (S2)

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dasar laut Indonesia merupakan bagian dari Laut Mediterania Australasia yang memiliki rangkaian topografi yang paling rumit, dengan serangkaian cekungan yang sangat dalam dengan interkoneksi yang sangat terbatas sehingga masing-masing cekungan dicirikan oleh berbagai air bawah tersendiri. Sirkulasi dan pembaruan massa air yang terjadi sepanjang musim dengan stabilitas kolom perairan yang kuat, sehingga perpindahan massa air yang lambat sangat tergantung dari laju masukan massa air di atas ambang (sill). Keberadaan ambang menunjukkan adanya perbedaan antara karakter massa air di Samudra Pasifik dan massa air di pulau-pulau Selatan Indonesia atau utamanya di Samudra Hindia. Aktivitas arus pasang surut yang terjadi di sepanjang sisi sill dan slope merupakan fenomena yang sangat kuat, mengakibatkan terjadinya turbulensi (Tomczak dan Godfrey, 2002). Selain itu adanya pengaruh musiman di wilayah ini yang juga berperan dalam kontrol sirkulasi dan pembaruan massa air melalui konveksi.

Proses percampuran yang terjadi di laut dalam skala kecil dan besar secara umum dapat ditelaah dengan mempelajari dinamika dan karakteristik dari beberapa param oceanografi terkait. Percampuran massa air terjadi akibat adanya perbedaan densitas yang dapat digambarkan oleh kondisi suhu, salinitas, dan kedalaman. Secara global suhu dan salinitas lautan mencirikan massa air pada perairan yang berbeda, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Korelasi antara suhu dan salinitas di suatu perairan dapat menjadi acuan dalam mengamati asal-usul, penyebarannya, terbentuknya pelapisan, dan proses percampuran massa air secara temporal dan spasial.

(20)

salinitas memiliki ketebalan densitas yang berbeda, oleh Wyrtki (1960) mengatakan perbedaan ketebalan lapisan densitas perairan dipengaruhi proses dinamika perairan.

Kondisi lautan yang mengalami ketidakstabilan membawa fluida dalam proses percampuran dikelompokkan ke dalam dua bagian (Stewart, 2003), yaitu stabilitas statik sebagai perubahan densitas terhadap kedalaman sedangkan stabilitas dinamik sebagi shear kecepatan dan double-diffution yang berkaitan dengan gradien salinitas dan suhu lautan. Pergerakan massa air yang diakibatkan oleh variasi aliran turbulen dapat membentuk percampuran fluida dengan fluktuasi yang sangat tinggi. Selanjutnya Stewart (2008) mengatakan bahwa percampuran massa air sering terjadi di lapisan batas seperti batas Continental Slope, di atas gunung laut dan mid ocean ridge, front, dan mixed layer di permukaan.

Percampuran di lapisan internal sepanjang Slope dan Sill, menurut Emery

et al. (2005), bahwa sumber energi yang paling berperan dalam proses percampuran di lapisan internal adalah aktivitas gelombang internal. Peranan frekuensi supefluid inertial, kecepatan dan perpindahan isopycnal di laut memiliki kontribusi terhadap gelombang internal dan turbulensi (Klymak dan Moum, 2007).

Sirkulasi dan pergerakan massa air dari Samudra Pasifik yang melewati beberapa selat di bagian utara perairan Indonesia menuju ke Samudra Hindia yang juga melewati beberapa selat utama di bagian selatan perairan Indonesia. Massa air yang bergerak dari utara dan barat Samudra Pasifik masuk ke perairan Indonesia dengan kondisi massa air yang hangat, dan sebagai penciri dari massa

Dinamika dari proses percampuran tersebut terbentuk ketika aktivitas gelombang internal mengalami kondisi pecah (breaking). Selain fenomena gelombang internal, percampuran internal juga terjadi melalui mekanisme vertikal

shear (tegangan menegak) sebagai pembentuk turbulensi. Faktor pemicu utama dari vertikal turbulensi oleh Bowden (1960); Hill et al. (1962) dalam Khaira (2009), adalah efek gesekan dasar laut terhadap arus. Pada kemiringan dasar Slope

(21)

air tropis. Pasokan massa air mengalami pergerakan dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia terjadi sebagai akibat adanya perbedaan gradien tekanan di kedua samudra tersebut. Menurut Rochford (1969) dalam Bakti (1998) mengatakan bahwa perairan tropis memiliki ciri dengan suhu (>27 o

Lane-Serff (2004) menjelaskan bahwa gambaran dari topografi sepanjang selat di daerah sill dan daerah slope

C), salinitas (<34.5 psu), dan oksigen terlarut (>4.0 ml/l). Massa air tersebut banyak dipengaruhi oleh intrusi massa air dari daratan melalui limpasan air tawar (run-off) dan curah hujan musiman sepanjang tahun. Sebelum mencapai Samudra Hindia massa air tersebut melewati beberapa selat dengan topografi yang bervariasi.

Aliran massa air yang melewati selat dengan kedalaman yang relatif dangkal dengan kemiringan slope yang relatif berbeda dan terdapatnya beberapa zona-zona gunung laut atau yang disebut sebagai sill,yang berkontribusi sebagai penghalang pergerakan dan memberi respon yang berbeda terhadap dinamika aliran di perairan tersebut. Keberadaannya mencirikan karakteristik massa air akibat adanya kolam-kolam yang menampung dan menghambat pergerakan massa air secara lokal. Proses stratifikasi massa air di daerah ini disebabkan oleh adanya perbedaan densitas. Adanya perbedaan densitas dapat menciptakan percampuran, baik secara vertikal atau horisontal yaitu terjadi stratifikasi berdasarkan kedalaman. Hal ini menurut Ffield (1994) menyebabkan adanya perubahan jumlah bahang, kadar garam, dan momentum massa air.

Proses pelapisan atau stratifikasi massa air menurut Stewart (2003) dipengaruh oleh perbedaan suhu, salinitas dan densitas lautan. Stratifikasi vertikal sangat ditentukan oleh nilai stabilitas vertikal dengan menguji gradien densitasnya secara vertikal. Hubungan antara densitas massa air dan pergerakan vertikal massa air, berupa pergerakan vertikal fluida (Pond dan Pickard, 1983). Selanjutnya menurut Xing dan Davies (2007) dalam perhitungannya mengunakan model hidrostatik dengan konveksi buatan terjadi percampuran vertikal yang signifikan.

(22)

bahwa selain fenomena aliran arus, karaktristik massa air di daerah ini memiliki densitas yang berbeda, dan fenomena pelapisan massa air oleh topografi.

Fenomena pencampuran massa air secara vertikal mengakibatkan adanya fluks nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (eufotik). Konsentrasi nutrien di permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan bawahnya. Menurut Matsura et al. (1979) dalam Tubalawony (2007) mengatakan bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat dengan menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan mulai menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada lagi klorofil-a pada lapisan di bawah termoklin. Selanjutnya menurut Menzel dan Ryther (1960); Eppley dan Peterson (1979); Bahamon et al. (2003) mengatakan bahwa penyebaran nitrogen ke atas diatur oleh densitas air dan konsetrasi nitrat berkontribusi dalam mengontrol distribusi spasial dari fitoplankton.

Analisis perhitungan biomassa fitoplankton suatu perairan dapat dilakukan melalui pengukuran konsentrasi klorofil-a. Hal ini dikarenakan klorofil-a merupakan salah satu pigmen penting dalam proses fotosintesis pada fitoplankton. Dengan demikian sangat penting artinya mengukur nilai konsentrasi klorofil-a dan sebarannya untuk mengetahui ketersediaan fitoplankton, yang pada akhirnya dapat melihat tingkat kesuburan suatu perairan di zona sill dan slope. Nilai klorofil maksimum tidak selalu berada di dekat atau di atas permukaan, tetapi terkadang berada lebih dalam di bawah daerah eufotik (Parson et al., 1984 dalam

Rumusan Masalah Bahamon at el., 2003).

Dinamika massa air dan interaksinya dengan kontur dari sill dan slope

(23)

menganalisa profil vertikal param fisik utama massa air, penyebaran vertikal dari nitrat (NO3), dan menganalisa kandungan klorofil-a. Untuk menelaah peranan dari

proses percampuran (mixed) dengan mempelajari dinamika pergerakan massa air yang terjadi di daerah sill dan slope lautan yang dipengaruhi oleh pola salinitas, suhu, tekanan, dan densitas, sehingga dapat ditentukan bagaimana karakteristik massa air secara horizontal dan vertikal pada daerah tersebut. Keberadaan dari kontur topografi yang berbeda diharapkan dapat memberi gambaran bagaimana proses fisik yang terjadi di dasar, yang mengakibatkan percampuran sebagai indikasi dalam pendekatan adanya fluks nutrien di lapisan dalam dan lapisan termoklin, yaitu melalui difusi nutrien secara vertikal. Seberapa besar pengaruhnya dalam transport nutrien dari lapisan dalam hingga mencapai lapisan eufotik.

Pendekatan ini untuk menjawab efek antara topografi dan proses-proses fisik di dalamnya terhadap pola fluks nutrien secara vertikal dan selanjutnya korelasi antara nilai fluks nutrien dengan kandungan krolofil-a. Nilai fluks vertikal dengan menganalisa nilai frekuensi apung dan nilai shear arus selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai difusivitas vertikal. Nilai difusivitas vertikal digunakan dalam menghitung laju fluks nutrien vertikal selanjutnya dikorelasikan dengan jumlah konsentrasi klrofil-a terhadap kedalaman. Kandungan klorofil-a selanjutnya digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton dan potensi organik di suatu perairan serta merupakan salah satu param yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Jumlah dari kandungan klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografi suatu perairan.

(24)

Kerangka Pemikiran

Secara singkat kerangka berpikir dalam pendekatan masalah dari proses penelitian mengenai kajian fluks nutrien dan kosentrasi klorofil-a serta kaitannya dengan proses percampuran (mixing) di daerah Slope dan Sill, seperti disajikan pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran

Wilayah Slope Wilayah Sill

Karakter Massa Air

Mixing

Flux Nutrien(NO3)

Kandungan Krolofil-a

Produktifitas Primer Sill Dan Slope

Frekuensi Brunt-Vaisala Difusi Turbulensi

(25)

Tujuan

Berdasarkan pemaparan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengkaji profil suhu salinitas perairan, profil kecepatan komponen arus (u dan v), dan kalkulasi besaran nilai shear arus secara vertikal di daerah sill dan

slope.

b. Mengkaji percampuran massa air sebagai pengaruh interaksi proses fisik dengan kontur dasar terhadap frekuensi apung (Brunt-Vaisala), dan difusi vertikal di daerah selat (sill dan slope).

c. Mengkaji variasi sebaran nutrien secara vertikal dan kandungan klorofil-a di perairan selat (sill dan slope).

d. Menganalisis nilai fluks nutrien vertikal dan keterkaitannya dengan konsentrasi klorofil-a dengan gradien kedalaman di Selat (sill dan slope).

Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini secara harfiahnya sebagai bagian dari pengabdian di dunia pendidikan diharapkan memberi manfaat di antaranya sebagai berikut : a. Memberi pembaruan, pelengkapan dan penambahan informasi yang telah ada

sebelumnya

b. Menjadi informasi bagaimana kondisi dasar perairan Indonesia pada suatu daerah dan peranannya terhadap dinamika massa air serta keterkaitannya terhadap produktivitas perairan Indonesia dan laut secara global.

c. Menjabarkan profil stratifikasi lapisan massa air dan peran arus lintang dengan dinamikanya terhadap topografi Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill di lautan Indonesia yang menjadi dasar pembelajaran perkembangan perubahan iklim dunia.

d. Menjelaskan efek percampuran massa air yang terbangkitkan oleh topografi

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Oseanografi Selatan Selat Makassar

Secara umum massa air yang dibawa oleh Arlindo berasal dari Samudra Pasifik bagian utara dan selatan bergerak menuju Samudra Hindia. Perairan Selat Makasar dan Laut Flores dominan dipengaruhi oleh massa air laut Pasifik Utara sedangkan Laut Seram dan Halmahera lebih banyak dipengaruhi oleh massa air dari Pasifik Selatan. Massa air yang mengalir melewati perairan Indonesia oleh (Gordon et al.,1994) melalui dua jalur utama, yaitu:

1. Jalur barat, massa air mengalir melalui Laut Sulawesi dan lapisan dalam Makasar. Sebagian massa air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Samudra Hindia sedangkan sebagian besar lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Samudra Hindia melalui Selat Ombai dan celah Laut Timor (Timor passenge)

2. Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku terus ke Laut Banda. Massa air dari Laut Banda akan mengalir mengikuti dua rute. Rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui Basin Timor dan celah Timor, antara Pulau Rote dan paparan benua Australia.

Menurut Wyrtki (1961) perairan Timur Indonesia memiliki tipe massa air yang dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis, yaitu :

a) North PacificSubtropical Water (NPSW)

Massa air North Pacific Subtropical Water yang berada di Maluku, Laut Sulawesi dan melewati Selat Makassar hingga ke Laut Flores. South Pacific Subtropical Water - SPSW yang melewati Laut Halmahera dan masuk ke Laut Seram dan menyebar hingga ke Laut Banda dan Arafura. North Pacific Subtropical Water Samudra Hindia pada musim barat hanya ditemukan di Laut Sawu dan Laut Timor.

(27)

Massa air North Pacific Intermediate Water terbawa oleh arus Mindanao memasuki Laut Sulawesi melewati Selat Makassar hingga ke Laut Flores, kemudian massa air ini menyebar ke Laut Banda bagian selatan dan masih ada sisa-sisanya yang terlihat di celah Laut Timur dan celah Laut Arafura.

c) Deep Water

Massa air Deep Water berasal dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia dengan laju massa air yang lambat karena melewati cekungan Indonesia.

Berdasarkan hasil observasi dan pemodelan menurut Umasangaji (2006) mengindikasikan bahwa sumber utama Arlindo adalah massa air termoklin Pasifik Utara yang mengalir melalui Selat Makassar (kedalaman sill 650 m). Selanjutnya kontribusi Arlindio dari massa air termoklin yang lebih dangkal dan massa air perairan dalam yang berasal dari Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia melalui rute bagian timur yaitu Laut Maluku dan Laut Halmahera dengan massa air yang lebih tinggi densitasnya melintasi Selat Lifamatola (kedalaman sill 1940 m), Arlindo bergerak ke luar menuju bagian timur Samudera India melalui selat sepanjang rangkaian pulau-pulau Sunda Kecil seperti Selat Ombai (kedalaman sill 350 m), Selat Lombok (300 m), Laut Timor (1890 m).

(28)

musim timur lebih rendah 0.2 yang dilemahkan oleh musim barat. Pada saat bersamaan dengan Berkurangnya Smax pada aliran Arlindo terlihat percampuran

vertikal yang kuat pada musin barat.

Suplai massa air dari Laut Jawa (Java Sea Water - JSW) terhadap pengenceran, fluks bahang dan air tawar di South Equatorial Current Samudra Hindia oleh Atmadipoera et al., (2009) menjelaskan kontribusi massa air JSW pada lapisan permukaan dengan salinitas yang lebih tawar yang melemahkan kontribusi massa air NPSW dilapisan termoklin. Massa air JSW digerakkan ke sisi timur perairan oleh arus muson permukaan dikarenakan percampuran diapycnal

yang kuat. Massa air ini keluar ke Samudra India melalui Selat Lombok, Ombai dan Timor dengan phase lag antara satu dan lima bulan, sehingga salinitas tawaar di permukaan dan termoklin di Samudra Hindia bagian timur dimukan di awal musim timur antara bulan April dan akhir bulan September.

Sill dan Slope Region

Topografi atau bentuk dasar laut dapat dibagi ke dalam batuan utama, relief-relief menengah, dan mikro relief (Neumonn dan Pearson, 1966). Relief utama membedakan antara abysal dan daratan tinggi, pegunungan bawah laut, pegunungan isolat, dan trences laut dalam (Shipek, 1961 dalam Neumonn dan Pearson, 1966), fitur ini diukur secara horisontal dipuluhan dan ratusan kilom atau lebih, dan secara vertikal dalam ribuan m. Relief menggambarkan antara fitur seperti bukit, lembah, saluran, tanggul, selokan, bank, dan jurang yang menjadi bagian dari relief bantuan. Topografi membagi kedalaman ambang kritis yang mengatur pertukaran massa air antar-cekungan dalam laut Indonesia yang dapat diperkirakan dengan membandingkan profil suhu di kedua sisi topografi barrier.

1.

Kedalaman Sill utama antara Laut Utara Pasifik dan laut dalam Indonesia (Gordon et al. 2003) adalah:

2.

Sangihe Ridge membentang dari Sulawesi Mindanao, yang membatasi akses air yang mendalam untuk Laut Sulawesi dan Selat Makassar;

3.

Laut Halmahera dengan kedalaman Sill mengendalikan akses air Pasifik Selatan ke Laut Indonesia ; dan

(29)

Profil dasar laut seperti disajikan pada Gambar 2, secara umum menggambarkan lantai dasar utama lautan yang termasuk di antaranya berupa gunung bawah laut, parit, busur pulau, dan cekungan. Berdasarkan ketetapan Biro Hidrografi Internasional (1953), dan pendefinisian berdasarkan dari Sverdrup, Johnson, dan Fleming (1942), Shephard (1963), dan Dietrich et al., (1980 ) dalam

Stewart, 2008) menetapkan nama dan penjelasan dari bentuk dasar lautan. 1)

Basin yang merupakan kolam-kolam terdalam dari dasar lautan memiliki bentuk lebih kurang seperti lingkaran atau oval. 2) Canyons (Ngarai) yang relatif sempit, alur-alur yang dalam dengan lereng curam, memotong di landasan kontinen dan lereng, dengan dasar miring terus ke bawah. 3) Continental shelves adalah zona yang berdekatan dengan benua (atau sekitar pulau) dan membentang dari batas air terendah dengan kedalaman biasanya sekitar 120 m, dimana ada tanda atau lebih tepatnya lereng yang curam ke kedalaman yang besar. 3) Continental Slopes

adalah declivities ke arah laut dari tepi ke yang lebih mendalam. 4) Plains yang datar, landai atau daerah tingkat hampir dari lantai-laut, seperti dataran abisal. 5)

(30)

Gambar 2. Skematis utama dari gambar dasar laut (Stewart, 2008).

Roberts dan Wood (1979) dalam simulasinya yang memodifikasi topografi di Ridge Greenland-Skotlandia. Mereka menemukan bahwa perubahan ini memiliki dampak yang signifikan terhadap lokasi pembentukan massa air, transportasi massa air yang besar di atas punggung bukit dan transportasi panas ke lintang tinggi. Kehadiran ambang (sill) mempengaruhi pertukaran antara laut marjinal dan laut terbuka, dan memiliki dampak pada pembentukan air lebat yang terjadi di laut marjinal. Walin et al. (2004) menemukan bahwa kedalaman ambang mengatur volume dan transportasi panas antara dua cekungan, jika ambang lebih besar transportasi juga besar. Batas aliran kedalaman ambang ke dalam kolom air dingin dan bahwa ini adalah aliran baroklinik berubah menjadi lereng (slope) barotropik saat ini sementara mengelilingi cekungan. Secara eksplisit peran dinamis ambang merupakan kelas marjinal laut konvektif yang terpisah dari cekungan laut besar seperti fitur topografi(Stewart, 2003).

(31)

pada Dewakang Sill menurut Hatayama (2004) menunjukkan bahwa gelombang internal dari komponen M2 pasang surut yang dominan di wilayah sill dengan amplitudo yang cukup besar menciptakan percampuran vertikal yang kuat yang menyebabkan difusivitas vertikal maksimal mencapai nilai 6 x 10-3 m2 s-1

Percampuran (Mixing)

. Melalui eksperimen model Arlindo olehConkright et al. (1998) dan Gordon et al. (2003) mengamati proses pertukaran massa air vertikal antara lapisan terbuka permukaan dan massa air dalam kolom cekungan sill melalui mekanisme percampuran vertikal dengan melibatkan pengaruh sill, dimana suhu potensial dan densitas dibuat lebih ringan di lapisan dalam dari intrusi massa air permukaan.

Densitas massa air yang terakumulasi di dalam cekungan dengan lapisan yang mengalami pendinginan atau penguapan akan bergerak dan mengalir di atas ambang (sill). Peranan ambang (sill) dalam mengatur pertukaran massa air dalam suatu perairan menurut Gordon et al. (2003) dapat diperkirakan dengan membandingkan profil suhu di kedua sisi batas topografi, yang disebut

thermometric depth. Selain suhu juga dapat di perkirakan dengan salinitas atau oksigen, tetapi secara umum profil dari suhu memiliki jangkauan yang lebih dinamis dan memberi perkiraan yang terbaik tentang kedalaman.

Massa air laut yang dinamik bergerak dalam aliran turbulen, gerak dari turbulensi dengan karakteristik yang berbeda dan menyebabkan percampuran fluida yang besar. Dominansi dari difusi turbulen dalam proses percampuran yang terjadi di laut dikarenakan adanya gradien suhu, salinitas, nutrien dan gas terlarut. Menurut Tomzack dan Godfrey (2000) massa air yang dicirikan dengan karakteristik suhu dan salinitas terjadi oleh proses di permukaan di suatu tempat, dimana terjadi pergerakan lemah dan percampuran dengan massa air lain pada saat air tersebut mengalir. Analisis pergerakan massa air akan membantu dalam mengetahui sirkulasi laut dalam.

(32)

fluida yang tidak stabil di lautan dapat mengalami percampuran. Terdapat dua jenis instabilitas di laut, yaitu instabilitas statik dan dinamik. Intabilitas statik berkaitan dengan perubahan densitas terhadap kedalaman, sedangkan instabilitas dinamik yang berkaitan dengan kecepatandan shear arus dari suhu, salinitas dan densitas dengan gradien fluida bertingkat.

Percampuran vertikal memerlukan energi yang besar dibandingkan percampuran horizontal. Menurut Stewart (2008) bahwa semakin besar frekuensi stabilitas maka semakin besar pula energi yang dibutuhkan untuk percampuran vertikal. Percampuran vertikal sepanjang permukaan dengan densitas konstan sangat penting karena dapat merubah struktur dari laut dalam akhirnya dapat mencapai permukaan dari lapisan tengah juga lapisan di bawahnya.

Sumber energi yang paling berperan dalam percampuran internal adalah gelombang internal (Emery et al., 2005), ditambahkan oleh Stewart (2008) mengatakan bahwa mekanisme dari percampuran internal adalah vertikal shear

berupa kecepatan yang dapat menghasilkan turbulensi. Mekanisme lain dari proses percampuran internal adalah gesekan (shear) vertikal, yang diartikan jika kecepatan berubah menurut kedalaman dalam suatu perairan yang stabil, berstratifikasi, menyebabkan aliran tidak stabil apabila perubahan kecepatan berdasarkan kedalaman dan perbedaan kecepatan arus cukup besar.

Hatayama (2004) menjelaskan bahwa percampuran vertikal dengan menekankan pada sifat massa air Arlindo disebabkan oleh gelombang internal, yang terjadi adanya interaksi antara gundukan di wilayah ambang (Sill) dengan pasang surut. Difusifitas vertikal oleh percampuran yang kuat di wilayah ambang Dewakang dapat mencapai nilai maksimal 6 x 10-3 m2 s-1 dengan salinitas maksimum dan karakteritik lapisan inti termoklin Arlindo yang lemah. Implikasi dari gelombang dan massa air yang terjebak di wilayah ambang menginduksi adanya perpindahan vertikal yang besar sekitar 60 m selama satu priode pasang surut M2 yang dominan.

(33)

dengan peningkatan yang jelas di wilayah sill dan slope (Hatayama 2004). Aktivitas percampuran yang sangat kuat baik secara vertikal dan horizontal terjadi di perairan Indonesia menurut Ffield dan Gordon (1992); Ffield (1994) serta Hautala et al. (1996) menegaskan bahwa massa air dari Arlindo akan melewati beberapa hambatan topografi perairan berupa ambang (sill) seperti pada beberapa selat.

Kondisi topografi ini menjadi kontrol terhadap laju difusi turbulensi vertikal yang bervariasi dan memiliki ketinggian maksimal pada lokasi berbeda. Kekuatan percampuran yang terjadi dipengaruhi oleh variabilitas bentuk dasar perairan, kekuatan aliran, stabilitas massa air, interaksi proses fisik pada massa air berupa turbulensi, gelombang internal, dan pasang-surut internal. Interaksi antara proses fisik dan topografi dasar perairan di daerah selat menurut Gordon (1994) dan Ffield (1994) dapat mengakibatkan terjadinya fluks massa air berupa bahang (energi), partikel garam, nutrien, dan momentum secara vertikal dan horizontal. Berdasarkan hasil pengamatan Jayne et al., (2004) mengatakan bahwa sebagian besar pencampuran terjadi breaking dari gelombang internal dan akibat gesekan (shear) di dasar laut (sepanjang lereng benua, dan di atas dan sekitar seamounts, dan campuran lapisan di permukaan laut). Sebagian besar pencampuran dalam lautan didorong oleh arus pasang surut, yang menjadi turbulen ketika mereka melewati hambatan dasar aliran di laut, termasuk pegunungan tengah laut.

Munk dan Wunsch (1998) menjelaskan bahwa difusi turbulensi panas/bahang di lintang rendah menyediakan energi potensial yang mengerakkan siklus meridional dalam skala besar. Peranan percampuran secara global yang di sebabkan oleh aktivitas gelombang internal, yaitu sebagai pengangkut bahang, nutrien, gas terlarut, dan control pertukaran dari lapisan dalam ke permukaan. Percampuran turbelensi dalam lautan secara umum tidak merata/seragam, namun menurut (Simmons et al., 2004), telah terbukti merata dalam ruang dan waktu, yang pada gilirannya berdampak pada pola produktivitas biologis dan sirkulasi lautan.

(34)

termoklin dikarenakan adanya pengalihan bahang, percampuran oleh aktivitas gelombang, percampuran massa air secara horizontal, dan pengaruh gelombang dalam (internal wave). Peralihan bahang menyebabkan terjadinya proses pembentukan lapisan termoklin musiman, lapisan termoklin sesaat (transient), dan berpengaruh pada kedalaman lapisan termoklin. Pergerakan massa air secara horizontal (adveksi) mengakibatkan hilangnya lapisan sesaat (transient) dan mempengaruhi ketajaman pada lapisaan termoklin serta kedalaman tercampur mempengaruhi struktur lapisan termoklin dan gradien salinitas oleh aksi gelombang.

Proses pelapisan sebaran vertikal densitas kaitannya dengan suhu dan salinitas serta proses-proses yang berkontribusi terhadap stratifikasi suhu dan salinitas. Faktor seperti pola sirkulasi massa air, penguapan, curah hujan dan intrusi aliran sungai oleh Wyrtki (1962) merupakan faktor terbentuknya pelapisan dan sebaran vertikal salinitas. Menurut Sverdrup et al. (1942) bahwa proses percampuran secara vertikal (vertical mixing) dan proses pengangkatan massa air (upwelling) berpengaruh terhadap sebaran vertikal densitas dan kondisi pelapisannya. Selain itu pelapisan yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi musiman.

Adanya hubungan antara sebaran densitas secara vertikal dan pengaruhnya terhadap pergerakan massa air (Pond dan Pickard, 1983) mengatakan bahwa jika suatu fluida ringan (nilai densitas kecil) berada di atas fluida berat (nilai densitas besar), maka tidak akan ada kecenderungan massa air bergerak secara vertikal. Sebaliknya, jika fluida berat berada diatas fluida ringan, maka ada kecenderungan pergerakan massa air secara vertikal yaitu dengan turunnya massa air yang digantikan oleh massa air yang ringan di bawahnya.

Sebaran massa air dapat dianalisa berdasarkan tiga komponen utama (suhu, salinitas, dan densitas). Ketiga komponen ini digunakan untuk menelaah fenomena yang terjadi dalam perairan, seperti sumber dan pergerakan massa air serta pola stratifikasinya.

Suhu

(35)

Khatulistiwa (lintang rendah) suhu akan meningkat, sebaliknya suhu akan semakin menurun saat mendekati kutub (lintang tinggi). Secara vertikal suhu di lautan di bagi menjadi tiga zona (Richard dan Davis, 1991) yaitu :

1.

2.

Lapisan permukaan (homogeneous layer) yang merefleksikan suhu rata-rata tiap lintang

3.

Lapisan termoklin (thermocline layer)

Lapisan permukaan atau lapisan homogen yang terbentuk karena pengadukan massa air oleh angin, arus, pasang surut. Pada laut tropis yang dipengaruhi oleh musim dan letak geografis, pengadukan dapat mencapai kedalaman 50-100 m dengan suhu 26-30

Lapisan dalam (deep layer) yang merefleksikan ciri khas asal massa air tiap lintang

o

C dan gradien tidak lebih dari 0.03

o

C/m. Lapisan termoklin menurut Illahude (1999) dibagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan termoklin atas (main thermokline) dan termoklin bawah (secondary thermokline). Lapisan termoklin yang terbentuk di perairan tropis menurut Gross (1990) dapat mencapai ketebalan antara 100 - 250 m dengan gradien suhu mencapai 0.1 oC/m. Pada lapisan dalam di daerah tropis suhu mencapai 2-4 oC. Lapisan dalam (deep layer) dapat mencapai kedalaman 2500 m dengan penurunan suhu yang lambat, dengan gradien suhu 0.05 o

Salinitas

C/100 m (Illahude, 1999).

Beberapa faktor yang mempengaruhi sebaran salinitas permukaan lautan, yaitu evaporasi, presipitasi, suplai air tawar (run off), dan perubahan arus akibat pergantian musim. Pada perairan Indonesia menurut Illahude (1999) pada musim barat isohaline bergerak lebih ke timur dan pada musim timur isohaline bergerak lebih ke barat. Sebaran salinitas pada lapisan dalam lautan juga bervariasi seperti halnya dengan salinitas di permukaan. Variasi salinitas lapisan dalam lebih dipengaruh oleh proses percampuran (mixing) karena peredaran dan pembentukan massa air (formation of water masses).

(36)

salinitas tinggi sejalan dengan bertambahnya kedalaman, lapisan ini terletak di bawah lapisan homogen hingga kedalaman antara 600-1000 m. Selanjunya lapisan dalam berada di lapisan bawah sampai dasar.

Massa air yang didominasi massa air dari Samudra Pasifik yang melewati tiga pintu utama Arlindo (Laut Sulawesi, Laut Maluku, dan Laut Halmahera) mengalami pengenceran akibat intrusi air sungai dan tingginya curah hujan sepanjang tahun. Kondisi ini menyebabkan rata-rata salinitas di perairan tropis kurang dari 34 psu. Menurut Wyrtki (1961) pada musim timur nilai salinitas kurang dari 34 psu dan pada musim barat salinitas lebih besar dari 34‰.

Densitas

Densitas (ρ) atau massa per unit volume (Steward, 2008) dalam suatu perairan densitas dapat ditentukan nilainya dengan menghitung nilai suhu, salinitas dan tekanan. Bila suhu semakin rendah, maka densitas massa air akan meningkat. Hal ini terlihat nyata pada lapisan termoklin dimana densitas meningkat dengan cepat dan dikenal dengan lapisan pegat (discontinuity layer). Selain itu kenaikan salinitas juga dapat meningkat dengan meningkatkan nilai densitas massa air walaupun tidak sekuat pengaruh suhu. Pada lapisan pegat massa air pada lapisan atas tidak dapat bercampur dengan lapisan air di bawahnya bila gradien σt sama besar (Wyrtki, 1961).

Hubungan antara densitas dengan salinitas dan suhu (0 oC) untuk pertama yang dikemukakan oleh Knudsen (1901) dalam Neumann dan Pearson (1966). Nilai σ0= (ρs.0.0 – 1)x 103 merupakan fungsi dari salinitas yang dinyatakan sebagai

berikut :

σ0 = -0.093 + 0.8149 S – 0.000482 S2 + 0.0000068 S3

Perhitungan densitas dengan ketelitian memiliki ketelitian sampai lima angka dibelakang titik (.), tetapi karena perubahan nilai densitas hanya dalam dua digit, maka para ilmuan menggunakan suatu kuantitas yang disebut sebagai sigma (Σ) yang tergantung pada nilai suhu, salinitas, dan tekanan σ(s,t,p) (Steward, 2003);

(37)

ρ(s,t,p) adalah densitas in situ yang merupakan fungsi dari suhu, salinitas, dan

tekanan.

Fungsi empiris untuk menghitung sigma-t (σt) dari nilai sigma-0 (σ0)

berdasarkan perhitungan fungsi D (Forch, 1902) dalam Neumann dan Pearson (1966). Fungsi D merupakan suatu fungsi yang menyatakan efek suhu dengan σ0

yang berbeda. Perhitungan hubungan suhu terhadap densitas yang dinyatakan dengan persmaan :

σt = σ0 – D

dimana D = ∆ t (perubahan suhu), sigma-t (σt) merupakan nilai densitas yang

dihitung pada tekanan atmosfer (p=0 dan suhu (t-0) yang dinyatakan dalam persamaan : σt = (ρ(s,t,0) – 1)x 1000, kebalikan dari nilai densitas in situ adalah

volume spesifik in situ dari nilai densitas pada tekanan (P), suhu (t) dan salinitas (s) yang dinyatakan dengan persamaan :

α

s,t,p =

Fluks Nutrien

Nutrien adalah semua unsur dan senyawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, tembaga, dan vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut mikronutrien atau trace element.

(38)

densitas ini sebagai hasil dari variasi suhu dan salinitas (King, 1963). Massa air yang berasal dari bawah laut relatif dingin, salinitas tinggi dan kaya nutrien. Menurut Hutabarat (1984) bahwa massa air yang berasal dari bawah kandungan oksigennya rendah, tetapi kaya nutrien, terutama nitrat dan fosfat yang berguna untuk proses fotosintesis fitoplankton. Skema aliran nitrogen dalam lapisan pelagis melalui lima bilik, dimana nitrit (NO2-), Nitrat (NO3-) dan amonium

(NH4+) diserap oleh komitas fitoplankton (Gambar 3).

Gambar 3. Simulasi jalur aliran nitrogen dalam lapisan atas perairan pada ekosistem (Bahamon, 2003)

Klorofil-a dan Produktivitas Perairan

Laut tropik dicirikan oleh cukup tersedianya cahaya matahari namun memiliki konsentrasi nutrien yang sangat rendah. Kondisi ini menyebabkan produktivitas laut tropik sangat rendah. 60% produktivitas yang ada di laut terdapat di pantai sedangkan 90% laut terbuka dari laut dunia memiliki laju produktivitas yang lebih rendah (Valiela, 1984). Selain faktor cahaya, silus musiman. Sedangkan perairan Indonesia sendiri menurut Nontji (1794) dalam

(39)

Menurut Tubalawony (2007) bahwa cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa. Sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawah lapisan termoklin. Ditambahkan oleh Matsuura et al. (1979) berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin

Fachruddin Syah (2009) mengatakan bahwa klorofil-a digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton dan potensi organik di suatu perairan dan merupakan salah satu param yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografi suatu perairan. Menurut Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktifitas primer meningkat disekitar ekuator secara vertikal. Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas perairan. Ketika kondisi suatu massa air dapat diketahui dengan melihat sifat-sifat massa air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan kandungan nutrien.

(40)

perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air, dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela,1984) dalam Tubalawony (2007).

Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989) dalam Tubalawony (2007) bahwa nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500–1500 m.

Suhu memiliki peranan terhadap produktivitas primer lautan baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Tomascik et al. (1979) bahwa suhu secara lansung berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis. Laju maksimum fotosintesis (Pmax) sejalan dengan meningkatnya

suhu, atinya perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu tinggi. Secara tidak langsung, suhu juga berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang menjadi batasan dalam pergerakan organisme fitoplankton secara vertikal. Pada suhu rendah organisme fitoplankton dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar, sehingga pemanfaatan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi bila sel-sel fitoplankton dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada (Vailela, 1984 dalam

Tubalawony (2007)

(41)

secara relatif meningkatkan produksi baru. Tubalawony (2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran vertikal massa air di perairan lepas pantai Laut Timor yang umumnya lebih dangkal. Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam kolom perairan umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bagian lain dari perairan Laut Timor.

(42)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus, 2010, dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya IV. Data dari pelayaran difokuskan pada perairan Selatan Selat Makassar, dimana perairan ini diketahui terdapat aktivitas pasang surut internal yang sangat energik, terutama Stasiun yang melintas pada kanal timur Dewakang Sill. Pengambilan dan pengukuran sampel yang dilakukan di perairan Selatan Selat Makassar dengan menempatkan lima Stasiun serta mencakup dua kanal utama yang menjadi jalur Arlindo, salah satunya kanal timur Dewakang Sill. Tiap Stasiun secara umum akan dilihat profil CTD/SACDP. Rute jadwal pengukuran dan pengambilan sampel yang melewati perairan tersebut dapat dilihat pada tampilan Gambar 4, berdasarkan pada data peta peta rupa bumi (RBI) tahu 2009, dengan data batimetri dari etopo2 berupa reanalisis dan pengukuran topografi dasar laut.

Gambar 4. Peta lokasi/Stasiun penelitian di perairan Selatan Selat Makassar. Cross Section (A-B)

Dewakang Sill

Sumber Peta :

1.Rupa Rumi Skala 1:100.000 2.Satelit Etopo2

A

B

(43)

Alat dan Bahan

Beberapa instrumen alat yang digunakan dalam pengambilan/pengukuran sampel di lapangan bersama dengan Kapal Riset Baruna Jaya IV serta spesifikasi alat pada lampiran 6, di antaranya;

a. CTD (Conductivity, Temperature, and Depth) digunakan alat untuk mengukur param oseanografi berupa suhu, salinitas, densitas, dan oksigen. Instrumen dengan tipe Sea-Bird Electronics (SBE) 911 Plus.

b. SADCP (ShipboardAcustic Doppler Current Profiler) tipe RDI 150 Khz. Alat mengukur arus perairan (vertikal dan horinzontal). Alat ini sangat baik digunakan untuk mengukur kecepatan dan arah arus pada perairan yang sempit dan berada di lintang equator.

c. Bottle Rosette Sampler tipe Models 1015-12 and 1015-24 Rosette®, digunakan untuk pengambilan sampel air untuk pengukuran konsentrasi dan distribusi nutrien juga kandungan krolofil-a.

Metode Pengambilan Data Data Fisik Perairan

Pengukuran data oseanografi dengan menggunakan CTD (Conductivity, Temperature, and Depth) akan menampilkan data suhu (oC), salinias (psu), sigma-t (kg/m3

Pengukuran arus secara langsung menggunakan SADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) dengan prinsip kerja berdasarkan perambatan bunyi, dimana kekuatan alat ini mengirimkan berkas bunyi (tranduser) dengan frekuensi tinggi dan merekam hamburannya (scattering) oleh partikel material organik

), kedalaman (m), dan tekanan (dbar). Sensor termisor, digiquartz and

(44)

terlarut dalam air dan disambungkan ke penerima (receiver). Pola pergerakan partikel yang sebanding perubahan frekuensi, memberi gambaran kecepatan yang diamati selanjutnya bunyi tersebut dikalibrasi dengan alat SADCP. Alat ini menentukan kecepatan arus (mm/det), arah arus (derajat), dan kedalaman (m). Data direkam dengan perangkat lunak VMP yang dihubungkan dengan kabel ke

deck box, komputer, kompas kapal dan sumber energi/listrik. Alat ini bekerja secara real time. Kemudian data diolah dengan menggunakan perangkat lunak

microsof excel dan surfer untuk menghitung besarnya volume transport serta mengetahui arah arus pada kedalaman standar. Perekaman data CTD dan SADCP pada waktu yang tidak bersamaan karena adanya pergeseran posisi kapal pada titik Stasiun pengamatan, seperti disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Lokasi data CTD

Stasiun CTD

Koordinat Tanggal dan Waktu Tekanan

(db)

Tabel 2. Lokasi data SADCP

Stasiun

SADCP

Koordinat Tanggal dan Waktu Bin Size

(m)

(45)

perairan, gunung/bendul dasar lautan (Sill). Bentuk kontur kedalaman dan kemiringan slope di gunakan untuk mengidentifiksi pengaruhnya terhadap pergerakan massa air dan pelapisan suhu, proses turbulensi dan percampuran. Proses-proses ini juga dapat menjabarkan fenomena-fenomena tersebut terutama kaitanya dengan proses pengangkutan zat hara (nutrien) bersama pergerakan massa air secara vertikal.

Data Nutrien

Sampel nutrien dengan komponen utama yaitu, nitrat (NO3), fosfat (P),

dan Silikat (S) di peroleh melalui riset pelayaran Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2010 dengan 5 titik Stasiun pengambilan sampel di tiap kedalaman standar yang telah di tentukan (5, 25, 50, 75, 100, 150, 200, 250, 300, 400, 500, 600, 700 dan 1000). Konsentrasi nitrat sebagai dasar analisis nutrien berdasarkan metode oleh Eaton et al., (2005), diukur menggunakan teknik Spektrofotom. Masing-masing komponen dianalisis dengan metode berbeda seperti dijelaskan pada tahapan penentuan. Alat ini dapat menganalisis air contoh dalam tabung dengan acuan larutan stadar sebagai pembanding, kemudian hasilnya direkam dan menampilkan grafik dengan volume tertentu dengan satuan dinyatakan dalam µg-A l. Analisis data nutrien dikerjakan di laboratorium kimia oseanografi – LIPI.

Penentuan nitrat dalam air laut dianalisis menggunakan metode reduksi kadmium, dengan prosedur kerja sebagai berikut :

1. Siapkan kolom reduksi yang dielusi dengan ammonium chloride.

2. Tambahkan 2 ml larutan ammonium chloride pekat ke dalam 100 ml sampel.

3. Masukkan 5 ml sample ke dalam kolom reduksi. Biarkan mengalir.

4. Masukkan sisa sampel. 40 ml eluen pertama untuk membilas wadah penampung. Ambil 50 ml eluen berikutnya.

(46)

6. Diamkan selama 10 menit sampai 2 jam. Ukur absorbansinya pada panjang gelombang 543 nm.

7. Lakukan tahapan 1-6 dengan mengganti sample dengan aquades (sebagai reagen blanko) dan juga larutan standar II.

Penentuan fosfat dalam air laut di analisis menggunakan metode molibdat, dengn prosedur kerja sebagai berikut :

1. Masukkan 10 ml pereaksi campuran ke dalam 100 ml sampel. 2. Sesudah 5 menit, ukur absorbansinya pada 885 nm.

3. Koreksi absorbansi dengan reagen blanko. (Penentuan blanko seperti no. 1, hanya sampel diganti aquadest).

4. Lakukan hal yang sama terhadap larutan standar fosfat . 5. Hitung konsentrasi fosfat dalam sample.

Penentuan silikat silikat dalam air laut dianalisis menggunakan metode molibdosilikat, dengan prosedur sebagai berikut :

1. 25 ml sampel di dalam labu ukur 50 ml bertutup ditambah dengan 10 ml Larutan molibdate, kocok dan diamkan selama 10 menit.

2. Tambahkan reagen pereduksi sampai volume 50 ml dan kocok. 3. Biarkan 2 – 3 jam.

4. Ukur absorbansi larutan pada panjang gelombang 810 nm.

Koreksi absorbansi dengan reagen blanko. (Penentuan blanko seperti diatas, 1 – 3 hanya sampel diganti aquadest).

Data Krolofil

Data krolofil-a diperoleh melalui Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2010 dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya IV. Contoh air untuk penentuan kandungan klorofil-a fitoplankton diambil dengan menggunakan

Rosette Sampler pada kedalaman standar, yaitu pada kedalaman (5, 25, 50, 75, 100, 150, 200, 250, dan 300) pada 5 Stasiun yang tersebar di perairan Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill (Gambar 4).

(47)

CNM berpori 0.45 µm dan berdiam 25 mm. Untuk mempercepat penyaringan dibantu dengan pompa vacum dengan kekuatan hisap <30 cmHg. Setelah penyaringan, filter diekstrak dengan menggunakan larutan aseton 90 % dan selanjutnya disentrifuge pada putaran 4000 rpm selama kurang lebih 30 menit untuk memisahkan antara filtrat dengan cairan yang mengandung klorofil. Kemudian cairan tersebut dibaca fluororecence-nya dengan menggunakan Flurom Turner Model 450 pada besaran 50 kali. Setelah diberi HCl 0,1 N, sampel tersebut kemudian dibaca kembali pada besaran yang sama. Konsentrasi klorofil–a fitoplankton diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

(

)

1

(

3

)

Fs = faktor kalibrasi fluorom

τ = RB/RA

RB = Reading Before (bacaan pada flurom sebelum penambahan asam)

RA = Reading After (bacaan pada flurom setelah penambahan asam)

Ve = volume ektraksi (penambahan aseton 90 % = liter)

Vs = volume saring (liter)

Analisis Data

(48)

Gambar 5. Diagram alur pengolahan data

Sebaran Menegak dan Melintang Suhu dan Salinitas

Data terukur yang diolah dalam Software ODV, hasilnya berupa gambaran profil menegak dan melintang dari suhu, salinitas, sigma-t. Profil sebaran melintang salinitas, suhu, dan sigma-t yang dapat dijadikan dasar analisa tentang karakteristik massa air juga menampilkan variasi salinitas dan suhu maksimum dan minimum. Profil ini juga memberi gambaran terbentuknya pelapisan perairan yang didasarkan pada suhu dan salinitas, bagaimana kondisi di lapisan homogen, termoklin, halohalin, dan lapisan dalam.

Nilai sigma-t (σt) air laut diperoleh dengan terlebih dahulu menghitung nilai sigma-0 (σ0) dengan menggunakan persamaan Knudsen sebagai berikut:

CTD (suhu, salinitas, densitas, kedalaman)

SADCP

Data Vektor (u, v)

Difusivitas Vertikal Eddy (Kz)

Richardson Number

(Ri)

ROSSETE (Nutrien dan Klorofil-a)

Shear Vertikal Arus

Flux Nitrat (JNo3)

Klorofil-a Wilayah Sill/Slope

Brunt-Vaisala (N2)

(49)

σ0 = -0.093 + 0.8149 S – 0.000482 S2 + 0.0000068 S3 Kemudian oleh Fotonoff dan Tabata (1958) persamaan tersebut di atas dirumuskan dalam notasi Sigma (∑):

σ0 =

... (3) dimana:

B0 : (-0.0934458324), B1 : (0.814876576925),B2 : (-4.824961403E-4),

B3 : (6.767861356E-6), dan S : Salinitas

Kemudian nilai Sigma-t dapat dihitung dengan persamaan:

Metode perhitungan percampuran massa air secara vertikal dari lapisan dalam perairan, sebagai analisis awal dengan menghitung nilai frekwensi apung (Bouyancy frequency) menggunakan persamaan Brunt-Vaisala (Millard et al. 1990) dalam Bahamon (2003).

... (5)

Gambar

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran
Gambar 2. Skematis utama dari gambar dasar laut (Stewart, 2008).
Gambar 3. Simulasi jalur aliran nitrogen dalam lapisan atas perairan pada ekosistem
Gambar 4. Peta lokasi/Stasiun penelitian di perairan Selatan Selat Makassar.
+7

Referensi

Dokumen terkait