• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan produk makaroni dari campuran jewawut (Setaria italica L.), ubi jalar ungu (Ipomoea batatas varietas Ayamurasaki) dan terigu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan produk makaroni dari campuran jewawut (Setaria italica L.), ubi jalar ungu (Ipomoea batatas varietas Ayamurasaki) dan terigu"

Copied!
288
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PRODUK MAKARONI DARI

CAMPURAN JEWAWUT (

Setaria italica

L

.), UBI JALAR UNGU

(

Ipomoea batatas

varietas Ayamurasaki

)

DAN TERIGU

F I T R I A N I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Produk Makaroni dari Campuran Jewawut (Setaria italica L.), Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas varietas Ayamurasaki) dan Terigu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Pebruari 2013

Fitriani

(3)

ABSTRACT

FITRIANI. Development of Macaroni Products Made from Mixtures of Foxtail Millet (Setaria italica L.) Flour, Purple Sweet Potato (Ipomoea batatas var. Ayamurasaki) and Wheat Flour. Under supervision of SUGIYONO and EKO HARI PURNOMO.

Foxtail millet and sweet potato are local food commodities which have not been utilized properly. Those food commodities can actually be utilized in production of various food products. The objective of this study was to develop macaroni products made from mixtures of foxtail millet flour, purple sweet potato and wheat flour. Results of the study showed that the best formulation of macaroni product was 40% foxtail millet flour, 50% purple sweet potato and 10% wheat flour. The best product was produced through 10 minutes steaming process. The macaroni product had 3063.13 gf hardness, 7.02% moisture, 3.26% ash, 4.64% fat, 11.43% protein, 80.67% carbohydrate, 6,88% dietary fiber and antioxidant activity of 661,25 mg vit C eq/kg. The organoleptic and physical characteristics of the macaroni products did not change during five weeks storage at room temperature.

(4)

RINGKASAN

FITRIANI. Pengembangan Produk Makaroni dari Campuran Jewawut (Setaria italica L.), Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas varietas Ayamurasaki) dan Terigu Dibimbing oleh SUGIYONO dan EKO HARI PURNOMO.

Indonesia memiliki berbagai komoditas pangan lokal sumber karbohidrat yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk memanfaatkan komoditas pangan lokal tersebut menjadi produk yang memiliki peluang dan daya saing tinggi. Diantara komoditas pangan lokal yang berpotensi unggul untuk dikembangkan adalah jewawut dan ubi jalar. Jewawut memiliki keunggulan antara lain dapat tumbuh pada tanah kurang subur dan kering, mudah dibudidayakan, umur panen pendek dan kegunaannya beragam. Jewawut bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung karbohidrat 74,16%, protein 11,38%, lemak 1,63%, serat kasar 5,65%, kadar abu 3,86%, vitamin A, vitamin C, mineral, betakaroten dan flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan. Salah satu jenis ubi jalar yang sedang dikembangkan adalah ubi jalar ungu. Jenis ini memiliki kandungan antosianin yang tinggi (923,65 mg/100 gr), warna yang menarik dan cita rasa yang enak. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan karena berfungsi sebagai antioksidan, anti hipertensi dan pencegah gangguan fungsi hati. Ubi jalar ungu mengandung zat gizi antara lain : karbohidrat 83,81%, protein 2,79%, lemak 0,43%, serat pangan 4,72% dan kadar abu 3,28%.

Salah satu produk yang dapat dibuat dari jewawut dan ubi jalar ungu adalah makaroni. Produk makaroni banyak dimanfaatkan di restoran dan hotel-hotel berbintang karena kepraktisannya, mudah disiapkan, tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran, dapat digunakan dalam berbagai jenis masakan dan disukai oleh berbagai kalangan. Makaroni relatif mudah dibuat, mudah dikemas dan awet untuk disimpan.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi makaroni dari campuran jewawut, ubi jalar ungu dan terigu terbaik berdasarkan hasil uji organoleptik, menentukan lama pengukusan adonan terbaik, menganalisis kadar proksimat dan aktivitas antioksidan serta untuk mengetahui perubahan organoleptik dan fisik makaroni yang disimpan selama 5 minggu pada suhu ruang.

(5)

Pemilihan formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu terbaik dilakukan dengan uji hedonik menggunakan 40 panelis terhadap makaroni mentah dan matang (direbus selama ± 3 menit). Pada makaroni mentah parameter yang diamati adalah warna dan bentuk sedang pada makaroni matang parameter yang diamati adalah warna, bentuk, kekenyalan, aroma dan rasa. Tingkat kesukaan pada uji hedonik dinyatakan dengan 7 skala numerik yaitu: (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) agak tidak suka, (4) netral, (5) agak suka, (6) suka dan (7) sangat suka. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan jika terdapat perbedaan. Analisis ini menggunakan software SPSS 16. Formulasi terbaik dipilih berdasarkan nilai hedonik tertinggi dan cara pembuatan produk yang lebih mudah dan ekonomis. Formulasi terbaik digunakan pada penelitian tahap kedua yaitu perlakuan lama pengukusan adonan.

Pada penelitian tahap kedua dilakukan pembuatan makaroni formula terbaik dengan perlakuan lama pengukusan adonan. Pengukusan adonan dilakukan selama 5 menit, 10 menit dan 15 menit. Masing-masing perlakuan diulang dua kali sehingga jumlah sampel sebanyak enam. Pemilihan lama pengukusan adonan terbaik dilakukan berdasarkan uji hedonik menggunakan 40 panelis terhadap makaroni mentah dan matang. Selanjutnya dilakukan uji karakter fisik yaitu analisis warna dan kekerasan pada makaroni mentah dengan menggunakan alat chromameter dan texture analyzer sedang pada makaroni matang dilakukan analisis warna, tekstur (kekerasan dan kelengketan), waktu optimum rehidrasi, daya serap air dan kehilangan padatan akibat pemasakan. Lama pengukusan adonan terbaik dipilih pada makaroni dengan waktu pengukusan adonan yang mempunyai rating hedonik tertinggi. Makaroni terbaik dianalisis secara kimia (proksimat dan aktivitas antioksidan).

Makaroni terbaik digunakan pada penelitian tahap ketiga yang bertujuan untuk melihat perubahan organoleptik dan fisik makaroni selama penyimpanan. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengemas makaroni dalam plastik polipropilen (PP) sebanyak 5 bungkus dan disimpan pada suhu ruang. Uji hedonik dilakukan setiap minggu mulai dari hari pertama sejak produk dibuat (minggu ke-nol) sampai minggu kelima. Uji fisik dilakukan dengan analisis warna, tekstur dan kadar air selama 5 minggu.

Berdasarkan hasil uji hedonik pada enam formulasi, formula F1 (30:60:10) tidak berbeda dengan formula F2 (40:50:10). Namun berdasarkan pertimbangan teknik pembuatan dan mutu produk maka dipilih formula F2 karena pembuatannya lebih mudah. Pada formula F2 tidak dilakukan penambahan maupun pengurangan air pada saat pencampuran pasta ubi jalar ungu, tepung jewawut, terigu dan bahan-bahan lain.

(6)

analisis kekerasan pada makaroni mentah 3063,13 gf dan matang 3378,76 gf serta kelengketannya - 634,93 gf, waktu optimum rehidrasi 3 menit, nilai DSA 118,98% bk dan nilai KPAP 8,81% bk. Hasil analisis kimia adalah : kadar air 7,02% bb, kadar abu 3,26% bk, kadar lemak 4,64% bk, kadar protein 11,43% bk, kadar karbohidrat 80,67% bk, kadar serat 6,88% bk dan aktivitas antioksidan 661,25 mg vitamin C eq/kg makaroni.

Berdasarkan hasil uji hedonik dan uji fisik makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu yang dikemas dalam plastik PP dan disimpan pada suhu ruang selama lima minggu menunjukkan bahwa makaroni tersebut masih memenuhi standar mutu. Dengan demikian masa simpan produk tersebut bisa lebih dari lima minggu. Untuk memperpanjang masa simpan makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu, pengemasan dan lingkungan penyimpanan perlu diperhatikan karena produk tersebut bersifat higroskopis.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

PENGEMBANGAN PRODUK MAKARONI DARI

CAMPURAN JEWAWUT (

Setaria italica

L

.), UBI JALAR UNGU

(

Ipomoea batatas

varietas Ayamurasaki

)

DAN TERIGU

F I T R I A N I

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tugas Akhir : Pengembangan Produk Makaroni dari Campuran Jewawut (Setaria italica L.), Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas varietas Ayamurasaki) dan Terigu.

Nama : Fitriani

NIM : F252100055

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. Dr. Eko Hari Purnomo, STP.M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai September 2012 adalah pengembangan produk, dengan judul Pengembangan Produk Makaroni dari Campuran Jewawut (Setaria italica L.), Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas varietas Ayamurasaki) dan Terigu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk pengembangan jewawut dan ubi jalar ungu sebagai sumber karbohidrat alternatif pengganti beras atau pangan fungsional.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. dan Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc. selaku pembimbing, atas masukan dan diskusi yang inspiratif sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan yang sama kepada Ibu Dr. Ir. Dede Robiatul Adawiyah, M.Si. selaku penguji luar komisi dan Ibu Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MS. selaku ketua program studi Magister Profesi Teknologi Pangan atas segala masukan untuk penyempurnaan penulisan tugas akhir ini. Terima kasih pula disampaikan kepada Mbak Tika, Pak Junaedi, Pak Gatot, Ibu Rubiah, Ibu Sri, Mbak Vera, Mbak Yana, Mbak Fitri Tafzi, Ibu Retnani, atas segala bantuannya selama penulis dalam belajar dan penelitian. Penghargaan kepada Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar yaitu kepada Bupati Andi Ali Baal Masdar, Wakil Bupati H. Nadjamuddim Ibrahim, Sekda Natsir Rahmat yang telah memberi kepercayaan pada penulis untuk melaksanakan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor. Kepada Kepala BKDD, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan (Pak Basir), Pak Suaib Kambo, Pak I Nengah, Pak Mukim, Ibu Senjawati, ibu Andi Nirwana, Pak Yusuf, Pak Muhiddin dan seluruh teman sejawat yang telah membantu dalam penyelenggaraan pendanaan pembiayaan studi dan penelitian penulis. Ucapan terima kasih kepada almarhum ayah, almarhum ibu, kakak, tante, paman serta seluruh keluarga yang telah membantu dan senantiasa memanjatkan doa untuk keberhasilan studi penulis.

Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Pebruari 2013

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kabupaten Polewali Mandar, provinsi Sulawesi Barat pada tanggal 10 Juni 1970 sebagai anak bungsu dari lima bersaudara dari ayah Abdul Waris dan ibu Djunainia Atjo. Tahun 1989 penulis melanjutkan pendidikan Diploma III pada jurusan Penyuluhan Pertanian Fakultas Non Gelar Teknologi Universitas Hasanuddin dan lulus tahun 1992. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan jenjang pendidikan Strata-I Program Studi Budidaya Tanaman di Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 1996.

(13)

DAFTAR ISI

1.1 Penetrasi panas pada formulasi makaroni ... 27

1.2 Uji organoleptik ... 28

1.2.1 Makaroni mentah ... 28

1.2.2 Makaroni matang ... 31

2 Pengaruh Lama Pengukusan Adonan pada Pembuatan Makaroni Jewawut, Ubi Jalar Ungu dan Terigu ... 37

2.1 Penetrasi panas pada formulasi F2 ... 37

2.2 Penentuan lama pengukusan adonan ... 38

2.3 Uji fisik makaroni mentah dan matang ... 42

2.4 Proksimat makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu .. 46

2.5 Aktivitas antioksidan ... 51

3 Perubahan Organoleptik dan Fisik pada Penyimpanan Makaroni Jewawut, Ubi Jalar Ungu dan Terigu ... 52

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kimia jewawut ... 6

2 Komposisi kimia ubi jalar ungu per 100 gram ... 9

3 Perlakuan kombinasi jewawut, ubi jalar ungu dan terigu ... 14

4 Spesifikasi pengukuran dengan texture analyzer ... 24

5 Rata-rata warna makaroni mentah dan matang pada pengukusan adonan selama 5 menit, 10 menit dan 15 menit ... 42

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman dan biji jewawut jenis foxtail millet (Setaria italica L.) 5 2 Ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki ... 8 3 Proses pembuatan produk pasta (makaroni dan sejenisnya)

(Midwest Research Institute 1995) ... 12 4 Pembuatan makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu ... 15 5 Perambatan panas pada 6 formulasi makaroni jewawut, ubi jalar

ungu dan terigu selama proses pengukusan adonan ... 27 6 Rata-rata nilai hedonik dari parameter warna mentah pada 6

formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf

uji 5% Duncan ... 29 7 Warna makaroni mentah pada 6 formulasi makaroni jewawut,

ubi jalar ungu dan terigu ... 30 8 Rata-rata nilai hedonik dari parameter bentuk mentah pada 6

formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf

signifikan 0,05 ... 30

formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada

taraf signifikan 0,05 ... 33 12 Rata-rata nilai hedonik dari parameter kekenyalan pada 6

formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf

uji 5% (Duncan) ... 34 13 Rata-rata nilai hedonik dari parameter aroma pada 6 formulasi

makaroni jewawut. ubi jalar ungu dan terigu. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji

(16)

14 Rata-rata nilai hedonik dari parameter rasa pada 6 formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji

5% (Duncan) ... 36 15 Perambatan panas makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu

formulasi terbaik (F2) pada pengukusan adonan selama 5 menit,

10 menit dan 15 menit ... 37 16 Nilai rating hedonik dari makaroni mentah pada Tahap 2. Tanda

berbeda menunjukkan produk berbeda nyata pada taraf uji 5%

(Duncan) ... 38 17 Warna makaroni mentah pada Tahap 2. ... 39 18 Nilai rating hedonik dari makaroni matang pada Tahap 2. Tanda

berbeda menunjukkan produk berbeda nyata pada taraf uji 5% (Duncan), sedang yang tidak diberi tanda berarti tidak berbeda

pada taraf signifikan 0,05 ... 41 19 Kekerasan dan kelengketan makaroni mentah dan matang pada

pengukusan adonan selama 5 menit, 10 menit dan 15 menit. ... 44 20 Waktu optimum rehidrasi makaroni pada pengukusan adonan

selama 5, 10 dan 15 menit ... 45 21 Daya serap air (DSA) dan kehilangan padatan akibat pemasakan

(KPAP) makaroni pada pengukusan adonan selama 5, 10 dan 15

menit ... 46 22 Aktivitas antioksidan pada tepung jewawut, ubi jalar ungu dan

makaroni ... 51 23 Rata-rata nilai hedonik makaroni mentah yang disimpan selama

5 minggu. ... 53 24 Rata-rata nilai hedonik makaroni matang yang disimpan selama

(17)

28 Rata-rata nilai kekerasan (hardness) dan kelengketan (stickiness) pada makaroni matang yang disimpan selama lima minggu. Tanda berbeda menunjukkan produk berbeda nyata pada taraf

uji 5% (Duncan) ... 58

29 Rata-rata kadar air makaroni yang disimpan selama lima minggu. Tanda berbeda menunjukkan produk berbeda nyata

taraf uji 5% (Duncan) ... 59

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Gambar proses pembuatan makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan

terigu ... 69

2 Cara pengamatan perambatan panas pada adonan makaroni ... 70

3 Formulir isian uji hedonik makaroni mentah ... 71

4 Formulir isian uji hedonik makaroni matang ... 72

5 Data penetrasi panas pada F1 selama 10 menit ... 74

6 Data penetrasi panas pada F2 selama 10 menit ... 74

7 Data penetrasi panas pada F3 selama 10 menit ... 75

8 Data penetrasi panas pada F4 selama 10 menit ... 75

9 Data penetrasi panas pada F5 selama 10 menit ... 76

10 Data penetrasi panas pada F6 selama 10 menit ... 76

11 Gambar tentang cara penyiapan makaroni matang dan penilaian sampel ... 77

12 Data hasil uji hedonik dari warna makaroni mentah pada Tahap I 78

13 Data hasil uji hedonik dari bentuk makaroni mentah pada Tahap I 79

14 Data hasil uji hedonik dari warna makaroni matang pada Tahap I 80

15 Data hasil uji hedonik dari bentuk makaroni matang pada Tahap I 81

16 Data hasil uji hedonik dari kekenyalan makaroni matang pada Tahap I ... 82

17 Data hasil uji hedonik dari aroma makaroni matang pada Tahap I 83

18 Data hasil uji hedonik dari rasa makaroni matang pada Tahap I ... 84

19 Analisis ragam uji hedonik warna makaroni mentah dari 6 formulasi ... 85

20 Analisis ragam uji hedonik bentuk makaroni mentah dari 6 formulasi ... 86

21 Analisis ragam uji hedonik warna makaroni matang dari 6 formulasi ... 86

(19)

23 Analisis ragam uji hedonik kekenyalan makaroni matang dari 6

formulasi ... 88 24 Analisis ragam uji hedonik aroma makaroni matang dari 6

formulasi ... 89 25 Analisis ragam uji hedonik rasa makaroni matang dari 6 formulasi 90 26 Data penetrasi panas pada F2 selama 5 menit ... 91 27 Data penetrasi panas pada F2 selama 10 menit ... 91 28 Data penetrasi panas pada F2 selama 15 menit ... 92 29 Data hasil uji hedonik dari warna makaroni mentah ulangan 1 dan

2 pada Tahap II ... 93 30 Data hasil uji hedonik dari bentuk makaroni mentah ulangan 1

dan 2 pada Tahap II ... 94 31 Data hasil uji hedonik dari warna makaroni matang ulangan 1 dan

2 pada Tahap II ... 95 32 Data hasil uji hedonik dari bentuk makaroni matang ulangan 1

dan 2 pada Tahap II ... 96 33 Data hasil uji hedonik dari kekenyalan makaroni matang ulangan

1 dan 2 pada Tahap II ... 97 34 Data hasil uji hedonik dari aroma makaroni matang ulangan 1 dan

2 pada Tahap II ... 98 35 Data hasil uji hedonik dari rasa makaroni matang ulangan 1 dan 2

pada Tahap II ... 99 36 Analisis ragam uji hedonik dari warna makaroni mentah pada F2

selama pengukusan adonan 5, 10 dan 15 menit ... 100 37 Analisis ragam uji hedonik dari bentuk makaroni mentah pada F2

selama pengukusan adonan 5, 10 dan 15 menit ... 101 38 Analisis ragam uji hedonik dari warna makaroni matang pada F2

selama pengukusan adonan 5, 10 dan 15 menit ... 102 39 Analisis ragam uji hedonik dari bentuk makaroni matang pada F2

selama pengukusan adonan 5, 10 dan 15 menit ... 102 40 Analisis ragam uji hedonik dari kekenyalan makaroni matang

pada F2 selama pengukusan adonan 5, 10 dan 15 menit ... 103 41 Analisis ragam uji hedonik dari aroma makaroni matang pada F2

(20)

42 Analisis ragam uji hedonik dari rasa makaroni matang pada F2

selama pengukusan adonan 5, 10 dan 15 menit ... 105 43 Data hasil pengukuran warna makaroni mentah dan matang ... 107 44 Data dan grafik hasil pengukuran kekerasan makaroni mentah ... 108 45 Data hasil pengukuran kekerasan dan kelengketan makaroni

matang ... 109 46 Gambar rerata tekstur (kekerasan dan kelengketan) makaroni

matang ... 110 47 Hasil analisis aktivitas antioksidan pada jewawut, ubi jalar ungu

dan makaroni ... 111 48 Data hasil rata-rata warna makaroni mentah uji hedonik pada

penyimpanan mulai M0 sampai M5 ... 112 49 Data hasil rata-rata bentuk makaroni mentah uji hedonik pada

penyimpanan mulai M0 sampai M5 ... 113 50 Data hasil rata-rata warna makaroni matang uji hedonik pada

penyimpanan mulai M0 sampai M5 ... 114 51 Data hasil rata-rata bentuk makaroni matang uji hedonik pada

penyimpanan mulai minggu M0 sampai M5 ... 115 52 Data hasil rata-rata kekenyalan makaroni matang uji hedonik pada

penyimpanan mulai M0 sampai M5 ... 116 53 Data hasil rata-rata aroma makaroni matang uji hedonik pada

penyimpanan mulai M0 sampai M5 ... 117 54 Data hasil rata-rata rasa makaroni matang uji hedonik pada

penyimpanan mulai M0 sampai M5 ... 118 55 Analisis ragam uji hedonik penyimpanan warna makaroni

mentah mulai Minggu ke-0 sampai Minggu ke-5 ... 119 56 Analisis ragam uji hedonik penyimpanan bentuk makaroni

mentah mulai Minggu ke-0 sampai Minggu ke-5 ... 119 57 Analisis ragam uji hedonik penyimpanan warna makaroni

matang mulai Minggu ke-0 sampai Minggu ke-5 ... 120 58 Analisis ragam uji hedonik penyimpanan bentuk makaroni

matang mulai Minggu ke-0 sampai Minggu ke-5 ... 120 59 Analisis ragam uji hedonik penyimpanan kekenyalan makaroni

(21)

60 Analisis ragam uji hedonik penyimpanan aroma makaroni

matang mulai Minggu ke-0 sampai Minggu ke-5 ... 121 61 Analisis ragam uji hedonik penyimpanan rasa makaroni matang

mulai Minggu ke-0 sampai Minggu ke-5 ... 122 62 Data hasil pengukuran warna makaroni mentah dan matang pada

M0 ... 122 63 Data hasil pengukuran warna makaroni mentah dan matang pada

M1 ... 123 64 Data hasil pengukuran warna makaroni mentah dan matang pada

M2 ... 123 65 Data hasil pengukuran warna makaroni mentah dan matang pada

M3 ... 124 66 Data hasil pengukuran warna makaroni mentah dan matang pada

M4 ... 124 67 Data hasil pengukuran warna makaroni mentah dan matang pada

M5 ... 125 68 Analisis ragam warna makaroni mentah dan matang pada

penyimpanan mulai M0 sampai M5 ... 126 69 Data hasil pengukuran tekstur makaroni mentah dan matang pada

M0 ... 128 70 Data hasil pengukuran tekstur makaroni mentah dan matang pada

M1 ... 128 71 Data hasil pengukuran tekstur makaroni mentah dan matang pada

M2 ... 129 72 Data hasil pengukuran tekstur makaroni mentah dan matang pada

M3 ... 129 73 Data hasil pengukuran tekstur makaroni mentah dan matang pada

M4 ... 130 74 Data hasil pengukuran tekstur makaroni mentah dan matang pada

M5 ... 130 75 Analisis ragam tekstur makaroni mentah dan matang pada

penyimpanan mulai M0 sampai M5 ... 131 76 Data hasil analisis kadar air makaroni mulai M0 sampai M5 ... 132 77 Analisis ragam kadar air makaroni pada penyimpanan mulai M0

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki beragam jenis pangan sumber karbohidrat antara lain beras, jagung, ubi jalar, ubikayu, kentang, sagu, sorgum, jewawut dan sebagainya. Namun pemanfaatan komoditi pangan lokal selain beras belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya diversifikasi pangan dengan memanfaatkan bahan pangan lokal selain beras menjadi produk yang memiliki peluang bisnis dan daya saing tinggi. Diantara komoditi pangan yang berpotensi unggul untuk dikembangkan di Indonesia adalah jewawut dan ubi jalar.

Jewawut berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka memperkuat ketahanan pangan sebagai sumber karbohidrat pengganti beras. Tanaman ini tersebar hampir di seluruh Indonesia seperti pulau Buru, Jember, Sulawesi Selatan seperti Enrekang, Sidrap, Maros, Sulawesi Barat yaitu Polewali Mandar, Majene dan daerah lainnya. Jewawut memiliki keunggulan dibanding dengan tanaman sumber karbohidrat lain, seperti dapat tumbuh pada hampir semua jenis tanah termasuk tanah kurang subur, tanah kering, mudah dibudidayakan, umur panen pendek dan kegunaannya beragam (Suherman et al. 2009). Jewawut mengandung karbohidrat 74,16% lebih tinggi dibanding gandum yang hanya 69%. Ini menunjukkan bahwa jewawut berpotensi sebagai sumber pangan fungsional, terutama sebagai sumber energi (Rauf dan Lestari 2009).

(23)

negeri seperti Cina jewawut dianggap sebagai suatu makanan bergizi dan sering direkomendasikan untuk ibu hamil dan orang tua. Sejak tahun 1990 jewawut di Cina digunakan untuk membuat keripik, jewawut gulung kering dan tepung untuk makanan bayi. Di Sinegal jewawut diolah menjadi bubur, produk ekstruder atau makanan ringan dan pensubtitusi yogurt. Jewawut yang digunakan sebagai sumber pangan umumnya yang memiliki warna menarik seperti warna kekuningan dan flavor yang tajam (Dykes dan Rooney 2006).

Berdasarkan hasil penelitian, jewawut memiliki kandungan protein yang hampir sama dengan terigu dan bahkan mengandung protein gluten. Gluten adalah protein lengket dan elastis yang dapat membuat adonan menjadi kenyal dan dapat mengembang karena bersifat kedap udara. Sifat elastis gluten pada adonan dapat memudahkan pembentukan makaroni. Disamping itu dapat menambah kekuatan produk akhir untuk mempertahankan bentuknya setelah dimasak (Sari 2010).

Selain jewawut, komoditi lain yang berpotensi untuk dikembangkan adalah ubi jalar. Produktifitas ubi jalar di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 10,8 ton/ha (Deptan 2009). Salah satu jenis ubi jalar yang sedang dikembangkan adalah ubi jalar ungu. Jenis ini memiliki kandungan antosianin yang tinggi, warna yang menarik dan cita rasa yang enak. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan karena berfungsi sebagai antioksidan, anti hipertensi dan pencegah gangguan fungsi hati (Suda et al. 2003).

Pemanfaatan ubi jalar sebagai bahan pangan masih terbatas dalam bentuk pangan olahan tradisional, seperti ubi rebus, ubi goreng, kolak, ketuk, timus dan keripik. Pengolahan lebih lanjut jewawut dan ubi jalar ungu menjadi bentuk produk pangan yang mudah dikonsumsi, bercita rasa tinggi dan bergizi akan meningkatkan tingkat konsumsi dan nilai tambah dari komoditi tersebut.

(24)

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka perlu dilakukan penelitian pemanfaatan tepung jewawut dan ubi jalar ungu sebagai bahan baku pembuatan makaroni. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan formulasi makaroni jewawut dan ubi jalar ungu, serta kondisi proses yang terbaik.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menentukan formulasi makaroni dari campuran jewawut, ubi jalar ungu dan terigu terbaik berdasarkan hasil uji organoleptik makaroni mentah dan matang.

2. Menentukan lama pengukusan adonan terbaik berdasarkan uji organoleptik makaroni mentah dan matang, menganalisis kadar proksimat dan aktivitas antioksidan.

3. Mengidentifikasi perubahan fisik makaroni yang disimpan pada suhu ruang selama lima minggu.

Manfaat

Penelitian ini dapat memberi manfaat :

1. Memberi alternatif produk olahan jewawut dan ubi jalar ungu yang dapat meningkatkan minat, tingkat konsumsi dan nilai tambah komoditi tersebut. 2. Sumber informasi dan bahan pertimbangan dalam pendirian usaha makaroni

(25)
(26)

Menurut Singh et al. (2003) pear millet yang banyak dipakai sebagai sumber pangan yang memiliki protein kasar lebih tinggi 1-2% dari sorgum, tetapi rendah kandungan asam amino esensialnya seperti lisin, triptopan, treonin dan asam amino yang mengandung sulfur. Leder (2004) menyatakan protein jewawut memiliki fraksi protein albumin dan globulin sebesar 22-28%, prolamin sebesar 28-35%, glutelin 28-32%. Fraksi prolamin jewawut lebih kecil dari sorgum. Semua jenis jewawut memiliki kandungan asam amino lisin terbatas, pear millet

memiliki kandungan lisin lebih tinggi dari jenis millet lainnya. Kandungan lemak umumnya lebih tinggi dari sorgum (3-6%), sebanyak 75% termasuk asam lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA) dengan jenis PUFA yang terbanyak adalah asam linoleat. Kandungan vitamin jewawut umumnya vitamin C, A dan mineral umumnya Fe, Ca, Mg, dan Zn. Kandungan mineral Fe umumnya lebih tinggi dari sorgum. Komposisi kimia jewawut dari beberapa sumber dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia jewawut

Komponen Nurmala (1997) Leder (2004) Yanuar (2009)

Kadar air (% bb) 12,51 - 7,61

Kadar abu (%) 3,86 - 1,77

Protein kasar (%) 11,38 - 7,29

Lemak (%) - - 1,63

Serat kasar (%) 5,65 2,20 -

Karbohidrat (%) - 75,00 81,52

Energi kasar (kal/g) 386,00 363,00 -

P (mg/100g) 50,00 - -

Mg (mg/100g) 122,10 - -

Fe (mg/100g) 7,80 3,00 -

Zn (mg/100g) 3,60 - -

Ca (mg/100g) 19,80 - -

Vitamin A (mg/100g) 0,023 - -

(27)

Jewawut mengandung komponen fitokimia yaitu komponen fenolik dan golongan flavonoid (termasuk tanin), tetapi kandungan taninnya lebih rendah dari sorgum. Warna jewawut disebabkan oleh komponen glikosilvitesin, glikosiloritin, alkali-labil dan asam ferulat. Komponen fenolik ini memiliki sifat antioksidan yang dapat menekan reaksi oksidasi yang merugikan bagi tubuh (Leder 2004).

Jewawut juga mengandung senyawa non gizi yaitu asam fitat dan asam oksalat. Proso millet mengandung asam fitat lebih besar dari beras. Asam oksalat dalam bentuk larut air dan dapat membentuk komplek dengan kalsium. Pearl millet juga mengandung senyawa goitrogen seperti tioamid (Leder 2004). Collet (2004) menyebutkan jewawut seperti pear millet bebas dari asam sianida (HCN) yang bersifat toksik.

Biji jewawut dikonsumsi sebagai bahan makanan di berbagai negara Asia, Eropa bagian Tenggara dan Afrika Utara. Jewawut biasanya diolah dengan cara dimasak dan dimakan seperti beras, baik utuh maupun dengan dihancurkan. Di Cina bagian Utara, tepung jewawut menjadi bagian dari bahan makanan pokok untuk membuat adonan roti dan mie. Di Rusia dan Burma (Myanmar) jewawut digunakan sebagai bahan untuk membuat cuka, bir dan alkohol (Dykes dan Rooney 2006). Di Sinegal, pear millet dapat diolah menjadi bubur, produk ekstruder atau snack dan pensubtitusi yogurt.

Manfaat kesehatan dari mengkonsumsi pear millet dilaporkan oleh Rooney

et al. (1992) yang menyatakan bahwa dedak pearl millet memiliki kemampuan menurunkan kadar kolesterol lebih baik dibanding jagung dan gandum. Selain itu, peranan pearl millet dalam mencegah penyakit kardiovaskular dilaporkan oleh Cho et al. (2000) yang menyatakan bahwa ekstrak heksan pearl millet dapat menghambat pembentukan 3-hidroksi-3metilglutaril CoA (HMG-CoA) reduktase pada sel hati tikus.

(28)
(29)

Ubi jalar ungu mengandung vitamin A, B1, B2, C dan E. Mineral kalsium, kalium, magnesium, tembaga dan seng, serat pangan serta karbohidrat bukan serat (Suda et al. 2003). Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, total kandungan antosianin ubi jalar varietas Ayamurasaki bervariari pada setiap tanaman, yaitu berkisar antara 20 mg/100 gram sampai 924 mg/100 gram berat basah (Widjanarko 2008). Pigmennya lebih stabil bila dibandingkan antosianin dari sumber lain, seperti kubis merah, eldeberi, bluberi, dan jagung merah (Kano et al. 2005). Kandungan nutrisi ubi jalar ungu juga lebih tinggi bila dibandingkan ubi jalar varietas lain, terutama kandungan lisin, Cu, Mg, K, Zn yang berjumlah rata-rata 20% (Widjanarko 2008). Tabel 2 menunjukkan komposisi kimia dan karakter fisik ubi jalar ungu.

Tabel 2 Komposisi kimia ubi jalar ungu per 100 gram Sifat kimia dan fisik Jumlah

Kadar air (% bb) 67,77

Kadar abu (%) 3,28

Kadar lemak (%) 0,43

Gula reduksi (%) 1,79

Karbohidrat (% bk) 83,81*

Protein (% bk) 2,79*

Serat pangan (% bk) 4,72*

Kadar antosianin (mg/100 gr) 923,65 Aktivitas antioksidan (%) 61,24

Warna (L) 37,50

Warna (a) 14,20

Warna (b) 11,50

Sumber : Widjanarko 2008; *Susilawati dan Medikasari 2008.

(30)

Astawan (1999) sifat elastis gluten pada adonan menyebabkan makaroni tidak mudah putus pada proses pencetakan dan gelatinisasi. Oleh karena itu dalam penelitian ini diperlukan suatu pengikat agar pasta ubi jalar ungu tidak rapuh dan mudah putus ketika melewati proses pencetakan. Pengikat yang digunakan disini adalah tepung jewawut dan terigu.

Makaroni

Produk-produk pasta (makaroni dan sejenisnya) pertama kali diperkenalkan di Italia pada abad ke-13, tetapi peralatan yang efisien dan bahan baku berkualitas tinggi baru tersedia pada abad ke-20. Sebelum revolusi industri, sebagian besar produk makaroni diproduksi dengan tangan (manual tanpa menggunakan mesin) sebagai hasil industri rumah tangga yang dibuat oleh toko-toko kecil dalam jumlah sedikit. Mekanisasi dalam industri pengolahan makaroni dimulai sekitar tahun 1850 ketika alat pengepres mekanis pertama yang disebut “granola” berhasil dibuat. Mesin ini terdiri atas mixer (pencampur), peralatan pengaduk adonan/pasta dan piston mekanis serta silinder untuk memaksa adonan atau pasta melewati die (lubang keluaran). Bentuk die mempengaruhi jenis bentuk produk yang dihasilkan. Pada saat sekarang produk-produk makaroni dibuat dengan menggunakan alat ekstruder yang bersifat kontinyu dan berkapasitas lebih besar. Dengan alat ini proses pencampuran, pengadukan adonan dan pengepresan melewati die dilakukan dalam satu kesatuan (Koswara 2011).

(31)

sangat mempengaruhi jumlah bakteri dalam produk akhir. Karena itu, hanya air bersih dengan jumlah mikroba sangat sedikit yang dapat digunakan untuk membuat makaroni (Koswara 2011).

Secara komersil produk-produk makaroni diproduksi menggunakan teknik ekstrusi. Pembuatannya terdiri atas lima tahap, yaitu penggilingan, pencampuran (mixing), ekstrusi/penekanan dan pembentukan, pengeringan dan pengemasan (Midwest Research Institute 1995). Pada proses pencampuran air ditambahkan pada tepung sehingga dihasilkan adonan (pasta) dengan kadar air 31 persen. Pengadukan dilakukan pada wadah pengadukan yang dilengkapi pengaduk yang bekerja secara mekanis untuk menghasilkan campuran yang merata. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pencampuran adalah adonan yang dihasilkan sedapat mungkin tidak mengandung gelembung udara (yang dapat terbentuk karena pengadukan). Jika gelembung udara ini tidak dihilangkan dari adonan atau pasta, dalam produk akhir akan terbentuk gelembung-gelembung kecil dan warna produk menjadi putih atau seperti kapur. Disamping itu, gelembung udara dapat mengurangi kekuatan produk akhir untuk mempertahankan bentuknya setelah dimasak (Koswara 2011).

Setelah pembentukan adonan, proses selanjutnya adalah ekstrusi dengan menggunakan alat yang disebut ekstruder. Dalam ekstrusi terjadi penekanan adonan secara paksa melalui die, pengadukan adonan yang lebih merata serta pengaturan kecepatan produksi dan mutu produk. Suhu terbaik dalam ekstrusi produk-produk makaroni adalah sekitar 51oC. Jika adonan terlalu panas (di atas 74oC) pasta akan rusak. Makaroni yang sudah dicetak dikeringkan dengan tujuan untuk menurunkan kadar air dari sekitar 31% menjadi 12 sampai 13% (Midwest Research Institute 1995). Untuk lebih jelasnya proses pembuatan makaroni secara umum dapat dilihat pada Gambar 3.

(32)

penelitian-penelitian yang telah dilakukan untuk pembuatan pasta dari bukan bahan konvensional diperlukan perlakuan pemanasan dengan suhu tinggi terhadap sebagian adonan, kemudian bagian tersebut dicampurkan kembali dengan keseluruhan bagian.

Keistimewaan produk pasta atau produk-produk makaroni antara lain : kaya akan karbohidrat kompleks terutama pati, tinggi kandungan proteinnya dan berlemak rendah (tergantung bahan bakunya). Disamping itu mudah disiapkan dan tersedia dalam ratusan bentuk dan ukuran serta dapat digunakan dalam berbagai jenis masakan. Pembuatannya juga relatif sederhana dan lebih mudah disimpan dibanding produk biji-bijian lain seperti roti dan kue. Juga karena keadaannya kering, maka produk ini awet disimpan (Koswara 2011).

Penambahan air dan bahan lain

Gambar 3 Proses pembuatan produk pasta (makaroni dan sejenisnya) (Midwest Research Institute 1995).

Penepungan

Pencampuran

Ekstrusi

Pengeringan

Makaroni dan sejenisnya

(33)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Seafast Center, Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Biokimia Pangan, Laboratorium Analisis Pangan dan Instrumen Institut Pertanian Bogor selama lima bulan mulai bulan April sampai bulan September 2012.

Bahan dan Alat

Bahan

Tepung jewawut yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari varietas lokal dari desa Bala, kecamatan Balanipa, kabupaten Polewali Mandar, provinsi Sulawesi Barat. Ada empat jenis jewawut yang dibudidayakan di desa Bala yaitu jewawut minna, emas, rambutan dan delima. Keempat jenis ini merupakan foxtail millet (Setaria italica L.) atau disebut juga rumput ekor kucing. Jenis jewawut yang dipilih untuk penelitian makaroni adalah jewawut emas, karena mempunyai warna yang menarik, aroma dan rasa yang lebih enak. Ubi jalar ungu berasal dari Gunung Picung, kecamatan Ciampea kabupaten Bogor. Jenis ubi jalar ungu tersebut dikenal oleh petani di daerah ini dengan sebutan ubi bit (varietas Ayamurasaki). Ubi jalar ungu yang digunakan dipanen pada umur 5 bulan dan dipilih dengan berat rata-rata 4 sampai 5 buah/kg, karena kandungan pati lebih optimal dibanding yang ukurannya kecil.

(34)

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat persiapan sampel pembuatan makaroni dan alat untuk analisa sampel antara lain : penggilingan tepung merek Honda kapasitas mesin 5 PK, ayakan 100 mesh, baskom, pisau, timbangan, alat pengukus, termokopel tipe DR 130 merek OMEGA, pencetakan (noodle machine MS9), oven pengering (Pilot Plant 6072 Dreieich. West Germany), panci stainless steel, chromameter Minolta CR-300, texture analyzer

TA-XT2i dan kompor gas.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap :

Tahap 1. Penentuan formulasi jewawut, ubi jalar ungu dan terigu

Penetapan formulasi dalam penelitian ini melalui proses penelitian pendahuluan yang dilakukan dengan mencoba beberapa formulasi mulai dari formulasi 100% jewawut, 100% ubi jalar ungu dan 50% jewawut : 50% ubi jalar ungu. Awalnya penelitian ini direncanakan tidak memakai terigu, tetapi makaroni yang dihasilkan bentuknya kurang bagus dan rendemennya sedikit karena pasta banyak yang lengket pada alat ekstrusi, sehingga ditambahkan terigu 10% dalam formulasi. Dari beberapa macam kombinasi tepung jewawut, ubi jalar ungu dan terigu yang telah dicoba hanya ada 6 formulasi yang dapat dibentuk makaroni. Keenam formulasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Diagram alir cara pembuatan makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu dapat dilihat pada Gambar 4.

Tabel 3 Perlakuan kombinasi jewawut, ubi jalar ungu dan terigu

No Perlakuan Tepung jewawut (g) Ubi jalar ungu (g) Terigu (g)

1 F1 30 60 10

2 F2 40 50 10

3 F3 50 40 10

4 F4 60 30 10

5 F5 70 20 10

(35)

s

Gambar 4 Pembuatan makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu.

Jewawut

Pencucian

Penirisan

Penepungan

Pengayakan 100 mesh

Ubi jalar ungu

Sortasi

Pencucian

Pengupasan

Penimbangan sesuai formulasi

Penghancuran / Mashing

Pengukusan selama15 menit

Penimbangan sesuai formulasi

Pencetakan pasta berbentuk pipa dengan diameter ± 0,5 cm

Pemotongan bentuk makaroni ukuran ± 2 cm

Pengeringan suhu oven ± 63ºC (selama 2 - 2,5 jam)

Pengukusan adonan

Pengulenan

Tepung jewawut + Pasta ubi jalar ungu + Terigu + margarin 2,5% + CMC

1% + garam 0,5%

Pemotongan Pengayakan

Pengeringan

(36)

Pada penelitian ini makaroni dibuat dari pasta ubi jalar ungu yang diperoleh dari penghancuran ubi jalar ungu yang telah dikukus selama 15 menit. Keuntungan dari penggunaan pasta ubi jalar adalah waktu produksi yang lebih singkat, rendemennya lebih tinggi dibanding tepung ubi jalar karena yang terbuang hanya kulitnya saja dan dapat diproduksi oleh industri rumah tangga tanpa membutuhkan mesin seperti untuk memproduksi tepung ubi jalar. Disamping itu, kadar air yang tinggi pada pasta ubi jalar ungu dapat dimanfaatkan untuk mengikat tepung jewawut, terigu dan bahan-bahan lainnya pada saat pencampuran dan pengulenan. Gambar tentang cara pembuatan makaroni secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pada tahapan pengukusan adonan dilakukan pengamatan perambatan panas dengan menggunakan termokopel, dengan cara kabel dari alat dimasukkan ke dalam adonan dibuat bulatan sebesar genggaman tangan, selanjutnya adonan dimasukkan dan ditempatkan secara acak ke dalam alat pengukus dengan suhu 100ºC. Perubahan suhu pada adonan dapat diamati pada monitor termokopel dan dicatat setiap menit. Gambar cara pengamatan perambatan panas dapat dilihat pada Lampiran 2. Tujuan pengamatan ini untuk melihat pindah panas tak tunak dari masing-masing formulasi.

Pindah panas tak tunak (unsteady state heat transfer) terjadi apabila bahan pangan dipanaskan atau didinginkan dalam kondisi dimana suhu pada titik tertentu dari bahan atau medium berubah dengan adanya perubahan suhu. Pada kondisi tak tunak suhu suatu benda (T) dapat dinyatakan sebagai fungsi dari posisi atau lokasi (x) dan waktu (t), atau secara matematis T=f(x,t). Analisis tentang perubahan suhu pada proses pindah panas tak tunak ini penting, terutama untuk kepentingan desain proses pengolahan secara tepat (Kusnandar et al. 2006).

(37)

panelis dianalisis dengan menggunakan software SPSS 16. Formula terbaik dipilih berdasarkan hasil uji organoleptik makaroni mentah dan matang serta cara pembuatan yang paling mudah. Formula terbaik digunakan pada penelitian Tahap 2.

Tahap 2. Penentuan lama pengukusan adonan makaroni

Pada Tahap 2 dilakukan pembuatan makaroni dengan formulasi terbaik hasil penelitian Tahap 1. Dalam hal ini dibuat perlakukan lama pengukusan adonan. Pengukusan adonan makaroni dilakukan selama 5 menit, 10 menit, dan 15 menit. Masing-masing perlakuan diulang 2 kali sehingga diperoleh jumlah 6 sampel. Waktu pengukusan ditentukan dari saat adonan makaroni dimasukkan ke dalam alat pengukus yang mempunyai suhu 100ºC. Suhu adonan makaroni selama pengukusan diukur setiap menit. Adonan makaroni yang telah dikukus diolah lebih lanjut menjadi makaroni melalui tahapan proses seperti pada Gambar 4.

Makaroni yang dihasilkan diuji sebagai berikut :

1. Uji organoleptik dilakukan pada makaroni mentah dan matang. Pada makaroni mentah kriteria yang diamati adalah warna dan bentuk. Pada makaroni matang kriteria yang diamati adalah warna, bentuk, kekenyalan, aroma dan rasa. 2. Uji fisik dilakukan pada makaroni mentah dan matang. Pengamatan terhadap

makaroni mentah meliputi warna (chromameter) dan kekerasan (texture analyzer). Pengamatan terhadap makaroni matang meliputi warna (chromameter), kekerasan dan kelengketan (texture analyzer), waktu optimum rehidrasi, daya serap air dan kehilangan padatan akibat pemasakan.

Berdasarkan hasil uji organoleptik dan fisik ditentukan waktu pengukusan adonan terbaik. Makaroni mentah terbaik selanjutnya diuji secara kimia yang meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat dan aktivitas antioksidan.

Tahap 3. Penyimpanan makaroni pada suhu ruang

(38)

kadar air metode oven. Uji organoleptik dilakukan setiap minggu selama lima minggu pada makaroni mentah dan matang. Parameter yang diamati pada makaroni mentah dan matang sama pada Tahap 1 dan Tahap 2.

Metode Analisis

1. Uji Organoleptik (Setyaningsih et al. 2010)

Pengujian organoleptik pada penelitian ini menggunakan uji hedonik atau uji kesukaan yang merupakan salah satu uji penerimaan. Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya (ketidaksukaan), di samping itu mereka juga mengemukakan tingkat kesukaan/ketidaksukaan. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut sebagai skala hedonik, seperti sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka dan sangat tidak suka. Dalam analisisnya skala hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Dengan adanya skala hedonik ini secara tidak langsung uji hedonik dapat digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan.

Uji rating hedonik dilakukan pada 40 orang panelis terhadap produk makaroni mentah dan matang (direbus selama 3 menit). Uji rating hedonik dilakukan pada sampel makaroni mentah dengan parameter yang diuji warna dan bentuk, pada makaroni matang parameter yang diuji adalah warna, bentuk, kekenyalan, aroma dan rasa. Tingkat kesukaan pada uji rating hedonik dinyatakan dengan 7 skala numerik yang menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap produk dari skala 1 untuk sangat tidak suka dan skala 7 untuk sangat suka. Data-data kuantitatif dianalisis menggunakan anova rancangan acak kelompok, taraf signifikan yang digunakan 0,05 dan dilanjutkan dengan uji Duncan jika terdapat perbedaan antar perlakuan. Analisis ini menggunakan

software SPSS 16. Data yang didapat kemudian dilihat sampel mana yang memiliki nilai rating hedonik tertinggi. Formulir isian untuk pengujian organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.

(39)

2. Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)

Cawan aluminium kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit kemudian ditimbang (a gram). Sampel yang beratnya ± 5 gram dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isi dan tutupnya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105ºC sampai beratnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang (b gram). Perhitungan kadar air dapat dilakukan berdasarkan basis basah dengan rumus :

Kadar air (% bb) = x 100%

Keterangan : % bb = kadar air / bahan basah a = berat cawan (g)

b = berat cawan dan sampel akhir (g) c = berat sampel awal (g)

3. Kadar Abu (AOAC 1995)

Cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600ºC, kemudian didinginkan dalam desikator selama 20 menit dan ditimbang. Sebanyak 3-5g sampel ditimbang dan dimasukkan dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600ºC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dapat dihitung berdasarkan basis basah atau basis kering dengan rumus :

Kadar abu (% bb) = x 100%

Kadar abu (% bk) =

x 100%

Keterangan : % bb = kadar abu / bahan basah (%) % bk = kadar abu / bahan kering (%)

W = berat sampel awal sebelum diabukan (g)

(40)

4. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100 - 110ºC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5g, dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut heksana.

Refluks dilakukan selama minimum lima jam dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven yang bersuhu 100ºC sampai beratnya konstan, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan basis basah atau basis kering dengan rumus :

Kadar lemak (% bb) = x 100%

Kadar lemak (% bk) =

x 100%

Keterangan : % bb = kadar lemak / bahan basah (%) % bk = kadar lemak / bahan kering (%) W = berat sampel (g)

W1 = berat labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g) W2 = berat labu lemak kosong (g)

5. Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC 1995)

Jumlah sampel yang digunakan sedikit (0,1- 0,5g) yang kira-kira akan membutuhkan 3-10ml HCl 0,01N atau 0,02N pada saat titrasi. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal. Kemudian ditambahkan 1g K2SO4, 40 mg HgO dan 2 ml H2SO4 dan beberapa butir batu didih untuk

mencegah terbentuknya gelembung. Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih.

Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, labu Kjeldahl dibilas dengan akuades 3-4 kali, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH. Di bawah kondensor alat destilasi dipasangkan erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0,2%

dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0,2% dalam alkohol). Gas NH3

(41)

erlenmeyer. Kemudian kondensat tersebut dititrasi dengan HCl 0,02N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan metode yang sama seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan rumus :

% N =

Kadar protein (% bb) = % N x faktor konversi

Kadar protein (% bk) =

x 100%

Keterangan : % bb = kadar protein / bahan basah (%) % bk = kadar protein / bahan kering (%) % N = kandungan nitrogen pada sampel (%)

6. Kadar Karbohidrat (by difference)

Kadar karbohidrat basis basah dan basis kering dihitung berdasarkan by difference dengan menggunakan persamaan :

Kadar karbohidrat (% bb) = 100% - (P + A + KA + L) Kadar karbohidrat (% bk) = 100% - (P + A + L)

Keterangan : % bb = kadar karbohidrat / bahan basah % bk = kadar karbohidrat / bahan kering P = kadar protein (%)

A = kadar abu (%) KA = kadar air (%) L = kadar lemak (%)

7. Kadar Serat Kasar (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis serat kasar adalah menimbang residu setelah sampel direaksikan dengan asam dan basa kuat. Sampel digiling sampai dapat melewati saringan berdiameter 1 mm. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram, diekstrak lemaknya dengan soxhlet dan pelarut petroleumeter atau heksana. Sampel bebas lemak dipindahkan secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer 600 ml lalu ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 0,025N. Erlenmeyer tersebut

(42)

dikeringkan di dalam oven, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel yang telah selesai dididihkan kemudian didinginkan dan disaring melalui kertas yang telah diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%.

Residu di kertas saring dicuci dengan air mendidih dilanjutkan dengan alkohol 95%. Kertas saring dikeringkan di dalam oven 100-105ºC selama 1-2 jam atau sampai beratnya konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar serat kasar dapat dihitung berdasarkan basis basah dan basis kering dengan rumus :

Kadar serat kasar (% bb) = x 100%

Kadar serat kasar (%bk) =

x 100

Keterangan : % bb = kadar serat kasar / bahan basah (%) % bk = kadar serat kasar / bahan kering (%) W = berat sampel (g)

W1 = berat residu + kertas saring kering (g) W2 = berat kertas saring kering (g)

8. Aktivitas Antioksidan Metode DPPH (Kubo et al 2002)

Prinsip pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH ketika larutan DPPH bercampur dengan senyawa yang dapat mendonorkan atom hidrogen (zat antioksidan), maka DPPH akan tereduksi dan akan kehilangan warna ungunya.

Buffer asetat 100 mM (pH 5,5) sebanyak 1,5 ml ditempatkan pada tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2,805 ml etanol PA, 0,15 ml DPPH 10 mM dalam metanol dan 0,045 ml ekstrak sampel yang digunakan untuk pengujian kadar antioksidan. Campuran divorteks dan disimpan pada ruang gelap dengan suhu kamar selama 20 menit. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 517 nm. Sebagai standar digunakan asam askorbat dengan konsentrasi 25 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm dan 400 ppm. Kemudian dibuat kurva standar asam askorbat dengan persamaan :

Y = 0,0014 x – 0,0190 R2 = 0,9995 nilai x = kosentrasi (µg/ml).

nilai y = Absorbansi blanko (standar) – absorbansi sampel

Nilai aktivitas antioksidan (mg vit C eq/1000gr sampel) =

(43)

Antioksidan pada ekstrak sampel dinyatakan dalam mg vitamin C eqivalen per 1000 gram sampel. Kurva standar pengukuran aktivitas antioksidan dengan standar vitamin C dapat dilihat pada Lampiran 55.

Analisis Fisik

a. Warna Metode CIE L*a*b* (Hutching 1999)

Sampel makaroni mentah dan matang yang tebalnya 2 - 3 mm ditempatkan pada wadah yang transparan. Pengukuran menghasilkan nilai L*, a*, b* dan oHue. L* menyatakan parameter kecerahan (warna akromatis, 0 : hitam sampai 100 : putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a* (a* + = 0 sampai 60 untuk warna merah, a*- = 0 sampai -60 untuk warna hijau). Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b* (b*+ = 0 sampai 60, untuk warna kuning, b*- = 0 sampai -60 untuk biru). Nilai Hue dikelompokkan sebagai berikut :

Red purple : Hueo 342 – 18 Green : Hueo 162 - 198

Red : Hueo 18 – 54 Purple : Hueo 306 - 342

Yellow red : Hueo 54 – 90 Blue purple : Hueo 270 - 306

Yellow : Hueo 90 – 126 Blue green : Hueo 198 - 234

Blue : Hueo 234 – 270 Yellow green : Hueo 126 – 162

b. Pengukuran Kekerasan dan Kelengketan dengan Texture Analyzer TA-XT2i Kekerasan dan kelengketan (tekstur) makaroni diukur dengan menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i, alat ini dilengkapi dengan program komputer (Sofware Texture Expert) yang berguna untuk memaksimalkan analisis hasil pengukuran, termasuk dalam interpretasi datanya. Prinsip pengukuran dengan Texture Analyzer TA-XT2i adalah mengukur besarnya gaya yang dibutuhkan untuk menekan sampel pada jarak yang telah ditentukan. Instrumen gaya yang digunakan meliputi probing, crushing, sawing, dan

snaping.

(44)

(P/2) dan makaroni matang probe silindris 35 mm (P/35). Data yang dihasilkan dari pengukuran ini berupa kurva kompresi yang menggambarkan hubungan antara gaya dan waktu yang diberikan terhadap sampel. Selanjutnya terhadap kurva yang diperoleh digunakan untuk menentukan karakteristik tekstur makaroni mentah berupa kekerasannya dan makaroni matang berupa kekerasan dan kelengketannya.

Tabel 4 Spesifikasi pengukuran dengan texture analyzer

Test Mode and Option TPA makaroni mentah TPA makaroni matang

Parameter :

Pre test speed 1,00 mm/s 2,00 mm/s

Test speed 1,00 mm/s 1,00 mm/s

Post test speed 10,00 mm/s 2,00 mm/s

Distance 3,00 mm -

Strain - 75 %

Tryger type Auto 5 g Auto 10 g

c. Waktu Optimum Rehidrasi (Oh et al. 1983)

Metode analisa untuk menghitung waktu optimum rehidrasi yaitu dengan merebus makaroni sebanyak 5g dalam 150ml air. Setiap setengah menit diamati dengan cara menjepit makaroni diantara dua buah cawan petri. Makaroni telah masak apabila sudah tidak tampak bagian yang berwarna putih (bening semua).

d. Daya Serap Air (Rasper dan de Man 1980)

Perhitungan didasarkan pada hasil penetapan kadar air sebelumnya. Cawan aluminium dikeringkan dalam oven 105oC selama 10 menit, lalu didinginkan dalam desikator. Sebanyak 3 g sampel dimasukkan ke dalam air mendidih, direbus selama 3 menit pada suhu 100oC, kemudian ditiriskan lalu ditimbang (A). Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam oven 105oC selama 6 jam sampai diperoleh berat konstan (B).

Penetapan absorpsi air berdasarkan perhitungan :

DSA (bk %) =

(45)

Keterangan :

A = Berat sampel sebelum dikeringkan B = Berat sampel setelah dikeringkan

e. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) (Oh et al. 1983)

Sebelum dianalisa, diukur waktu optimum untuk merebus makaroni dengan cara merebus 5 g makaroni di dalam 150 ml air. Setiap setengah menit diamati dengan cara menjepit makaroni diantara dua buah cawan petri. Makaroni telah masak apabila bagian tengah (core) sudah berwarna bening. Setelah mencapai waktu optimum, makaroni ditiriskan dan disiram dengan air kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Selanjutnya makaroni ditimbang dan dikeringkan pada suhu 105oC sampai berat konstan. Kemudian ditimbang kembali, sementara itu dilakukan juga pengukuran kadar air makaroni.

(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Formulasi Makaroni dari Jewawut, Ubi Jalar Ungu dan Terigu

1.1. Penetrasi panas pada formulasi makaroni

Pengamatan penetrasi panas pada adonan makaroni dilakukan pada 6 formulasi (F1, F2, F3, F4, F5 dan F6) selama 10 menit. Data penetrasi panas diperoleh dari dua kali ulangan dan masing-masing ulangan terdiri dari 3 sampai 5 sampel. Hasil analisis penetrasi panas disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Perambatan panas pada 6 formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu selama proses pengukusan adonan.

Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa semakin lama waktu pengukusan, suhu adonan makaroni dari semua formulasi semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan suhu antara medium (alat pengukus 100ºC) dan suhu adonan makaroni (suhu awal ± 30 ºC), maka akan terjadi proses pindah panas dari medium (alat pengukus) ke adonan makaroni, sehingga suhu di dalam adonan meningkat. Panas dari alat pengukus akan berpindah ke dalam adonan makaroni secara konduksi dan suhu pada posisi tertentu dari adonan akan terus meningkat selama pemanasan, dan jika pemanasan ini terus dilanjutkan maka

(47)

suhu adonan akan terus meningkat hingga tercapai kondisi kesetimbangan (Kusnandar et al. 2006). Gambar 5 memperlihatkan bahwa perbedaan formulasi tidak mempengaruhi kecepatan perambatan panas, terlihat pada standar error bar dari grafik saling bersinggungan yang berarti kecepatan perambatan panas pada semua formulasi adalah sama.

1.2 Uji organoleptik

Uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap 6 formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya. Pengujian dilakukan pada 40 panelis tidak terlatih. Menurut Chambers dan Wolf (1996) uji afektif minimal menggunakan 30 panelis pada skala laboratorium. Uji hedonik ini dilakukan pada makaroni mentah dan matang.

1.2.1 Makaroni mentah

Pada makaroni mentah, ada 2 parameter yang diuji yaitu warna dan bentuk. Warna adalah persepsi mata manusia terhadap radiasi elektromagnetik yang dipantulkan oleh benda pada kisaran panjang gelombang visible (400 – 700 nm). Persepsi warna yang dihasilkan oleh mata manusia dipengaruhi oleh komposisi fisik dan kimia objek, komposisi spektral dari sumber sinar dan sensitivitas spektral dari mata. Atribut produk yang dapat dinilai pertama kali secara visual adalah warna produk, dan memberi efek psikologis pada penerimaan konsumen. Warna produk yang unik akan lebih menarik perhatian konsumen daripada warna produk lainnya. Warna harus menarik dan menyenangkan konsumen, seragam serta dapat mewakili citarasa yang ditambahkan.

(48)

F5) yang berwarna merah keunguan pucat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai warna terang dibanding warna pucat dan panelis lebih menyukai warna merah keunguan dibanding warna kuning. Makaroni yang mempunyai kandungan ubi jalar ungu yang tinggi cenderung berwarna merah keunguan yang disebabkan oleh pigmen antosianin, sedangkan makaroni yang mempunyai kandungan jewawut yang tinggi cenderung berwarna kuning yang disebabkan oleh pigmen betakaroten dan komponen flavonoid seperti glikosilvitesin, glikosiloritin, alkali labil dan asam ferulat. Tingkat kesukaan panelis dari warna makroni mentah adalah 5 (agak suka) dan 4 (netral), dapat dilihat pada Gambar 6. Warna makaroni mentah dari masing-masing formula disajikan pada Gambar 7.

Gambar 6 Rata-rata nilai hedonik warna makaroni mentah pada 6 formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Duncan)

(49)
(50)

1.2.2. Makaroni matang

Penyajian sampel pada penelitian makaroni matang dilakukan dengan cara makaroni mentah direbus selama ± 3 menit diair mendidih kemudian ditiriskan, dirapikan pada piring sampel selanjutnya disajikan pada panelis (dapat dilihat pada Lampiran 11). Pada makaroni matang ada 5 parameter yang diuji yaitu warna, bentuk, kekenyalan, aroma dan rasa.

a. Warna

Hasil ANOVA terhadap data hedonik (Lampiran 21) dari warna makaroni matang, menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,05) diantara 6 formulasi yang diuji. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa warna makaroni yang paling disukai oleh panelis adalah F1 dan F2 yaitu formulasi yang mempunyai kandungan ubi jalar ungu yang tinggi. Dapat dilihat pada Gambar 9 tingkat kesukaan panelis pada parameter warna dari makroni matang adalah 5 (agak suka) dan 4 (netral).

Gambar 9 Rata-rata nilai hedonik dari parameter warna matang pada 6 formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Duncan).

(51)
(52)

matang hampir sama pada bentuk makaroni mentah. Bentuk makaroni matang dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 11 Rata-rata nilai hedonik dari parameter bentuk matang pada 6 formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf signifikan 0,05.

c. Kekenyalan

(53)

makaroni yang mengandung ubi jalar ungu yang tinggi mempunyai kekenyalan yang lebih baik dibanding formulasi makaroni yang mempunyai jewawut yang tinggi.

Gambar 12 Rata-rata nilai hedonik dari parameter kekenyalan pada 6 formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Duncan).

d. Aroma

Aroma merupakan komponen bau yang ditimbulkan oleh suatu produk yang teridentifikasi oleh indra penciuman. Jumlah senyawa volatil yang keluar dari produk dipengaruhi oleh suhu, kondisi permukaan, sifat produk dan komposisi kimia produk. Senyawa volatil lebih cepat keluar dari permukaan bahan yang lunak, porous dan lembab. Oleh sebab itu pengujian aroma pada penelitian ini dilakukan pada makaroni matang. Aroma suatu produk banyak menentukan kelezatan produk tersebut dan aroma merupakan indikator enak tidaknya suatu produk. Pada industri pangan pengujian aroma sangat penting karena dapat menentukan tingkat kesukaan suatu produk dengan cepat.

Hasil ANOVA terhadap data hedonik (Lampiran 24) dari aroma makaroni matang, menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,05) diantara 6 formulasi yang diuji. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa formulasi F1 tidak berbeda dengan formulasi F2, F4 dan F5 tetapi berbeda dengan

(54)

formulasi F3 dan F6. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan jewawut dalam formulasi maka tingkat kesukaan terhadap aroma cenderung akan berkurang. Hal ini diduga karena pada jewawut terdapat komponen goitrogen yang diidentifikasi sebagai penyebab off-odor (Reddy et al. 1986) dan dikarakterisasi juga sebagai flavor mousy ((Leder 2004). Komponen goitrogen jewawut ini umumnya berupa senyawa flavonoid. Data hedonik tingkat kesukan panelis dari aroma masing-masing formula disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13 Rata-rata nilai hedonik dari parameter aroma pada 6 formulasi makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Duncan).

e. Rasa

Rasa adalah persepsi gustatori (indra pencicip) terhadap rasa manis, asin, asam dan pahit yang disebabkan oleh senyawa yang larut dalam rongga mulut. Kepekaan orang terhadap rasa pahit jauh lebih tinggi dibandingkan rasa manis. Rasa merupakan komponen sensori yang paling penting dalam uji penerimaan produk pangan. Hal ini mengingat konsumen produk pangan cenderung menyukai makanan dengan cita rasa enak.

(55)

mengandung ubi jalar ungu yang tinggi. Data hedonik dari rasa makaroni matang pada masing-masing formula disajikan pada Gambar 14.

(56)

Skor hasil uji organoleptik untuk semua atribut makaroni mentah dan matang formulasi F1 (30:60:10) tidak berbeda dengan formulasi F2 (40:50:10). Namun dengan pertimbangan teknik pembuatan produk maka formulasi yang dipilih untuk penelitian tahap 2 adalah F2, karena pembuatannya lebih mudah. Pada formulasi F2 tidak dilakukan penambahan maupun pengurangan air pada saat pencampuran pasta ubi jalar ungu, tepung jewawut, terigu dan bahan-bahan lain. Pada formulasi F1 dilakukan pengurangan air dari ubi kukus, dengan cara pemerasan sebelum penghancuran (mashing). Hal ini mengakibatkan hilangnya sebagian antosianin dan nutrisi lain yang terdapat pada ubi jalar ungu.

2 Pengaruh Lama Pengukusan Adonan pada Pembuatan Makaroni Jewawut, Ubi Jalar Ungu dan Terigu

2.1 Penetrasi panas pada formulasi F2

Pengamatan perambatan panas pada Tahap 2 sama prosesnya dengan pengamatan perambatan panas pada Tahap 1, bedanya hanya dilakukan pada formulasi F2 saja, dengan lama pengukusan adonan yang bervariasi yaitu 5, 10 dan 15 menit. Tujuan pengamatan ini untuk melihat suhu akhir masing-masing adonan selama pengukusan. Hasil rata-rata dan standar error of mean (SEM) penetrasi panas F2 dari ulangan 1 dan ulangan 2 disajikan Gambar 15.

Gambar

Gambar 3 Proses pembuatan produk pasta (makaroni dan sejenisnya) (Midwest
Gambar 4  Pembuatan makaroni jewawut, ubi jalar ungu dan terigu.
Tabel 4  Spesifikasi pengukuran dengan texture analyzer
Gambar 5 Perambatan panas pada 6 formulasi makaroni jewawut, ubi  jalar ungu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Akuntansi Amerika diatur oleh badan sektor swasta FASB( Financial Accounting Standard Board –FASB), dan disokong oleh badan Komisi Keamanan dan Kurs ( Securities and

Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh penerapan prinsip Good Corporate Governance terhadap

EFEKTlVlTAS PENGGUNAAN TES URAIAN DAN TES PlLlHAN GANDA DALAM MENGUKUR KEMAMPUAN KOGNlTlF

Perumahan merupakan satu komponen penting dalam pembangunan ekonomi di mana ia telah menjadi dasar kerajaan untuk menyediakan rumah bagi setiap rakyat. Rancangan Malaysia

1) Aktivitas guru masih terdapat kelemahan yang telah dilakukan oleh guru,.. diantaranya adalah guru memilih di antara 5 sampai 10 kata kunci, tetapi tidak

Dari data hasil pengukuran jarak dan sudut antar tiap titik fitur antropolognya maka dilakukan proses pencarian jarak dan sudut tersebut dengan menggunakan

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui bagaimana pola asuh demokratis yang dilakukan oleh masing-masing orang tua, (2) mengetahui bagaimana prestasi

Hasil analisis dalam penelitian kualitatif telah ditemukan adanya 18 faktor yaitu faktor sikap petugas BMT jujur, faktor layanannya cepat, faktor produk BMT sesuai