UNTUK MEMBANGUN KEMANDIRIAN DALAM
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU
(STUDI KASUS PADA SATUAN WILAYAH PENGELOLAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI ARAU SUMATERA BARAT)
NURSIDAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Institusi untuk Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu
(Studi Kasus pada Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Arau
Sumatera Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
NURSIDAH. Institutional Development to Build a Self Sustenance in Integrated Watershed Management (The Case of Arau Watershed Unit Management Area, West Sumatera). Under direction of DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, OMO RUSDIANA, and YUZIRWAN RASYID.
Arau Watershed Unit Management Area that is located in Padang City, its condition continued to degrade due to deforestation in the upstream watershed, impact on water crisis, so that the watershed performance is still bad. Meanwhile, reforestation and conservation is constrained by limited funds, ineffective and inefficient forest governance institution and the lack of incentives for forest sustainable management. The study was aimed to build a self sustenance and integrated watershed management through the development of incentives for reforestation and conservation from payment for environmental services (PES) and non PES funds by indentifying exogenous factors that influence action arena in watershed management using Ostrom framework of institutional development analysis. The results show that to achieve good watershed performance, 32,092 ha of forest land must be maintained. The identification of action arena shows that forest degradation occurs due to uncertainty property rights, so forest property right become ill-defined property rights, since the dominant role of the government. More over, this condition has destructed collective action and illegal forest extraction is still continuing and forest degradation become widely spread then forest is considered as open acces property. The obscurity of forest property rights must be solved to find a solution. While customary rules of society that is still good to implement, so property right conflict resolution can be driven to a common property, because of the followings: the common property are not sold susceptible so that land integrity can be maintained; ecxludable so that disruption to the resource can be known early; awakening of collective action in forest management; members of the group can utilize forest resources so that can improve social welfare, and the excesses of open access resources can be avoided. To overcome the limited financing forest conservation and reforestation as well as to increase forest communities income, it can be implemented payments for environmental services in utilization of surface water at 27,657 ha forest area. The presence of funding from the watershed itself, is expected can realize the self sustenance of watershed management. For the realization of sustainable forest management and the integrated and self-sustenance watershed management, co-management model called Nagari Forest Management Model, by means of incorporate formal rules and customary norms in the forest management is more suitable because there is space to strengthen forest management based on local wisdom, and to build synergies between the customary norms and government rules, so that conflicts can be minimized. Finally, it can be concluded that the lack of clarity on the situation of vulnerable property right potentially can damage common pool resources, and when the condition of society still have strong cultures, communal property solutions with co management model between communities and government still have advantages.
1 NURSIDAH. Pengembangan Institusi Untuk Membangun Kemandirian Dalam Pengelolaan DAS Terpadu (Studi Kasus Pada SWP DAS Arau Sumatera Barat). Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, OMO RUSDIANA dan YUZIRWAN RASYID.
Salah satu satuan wilayah pengelolaan (SWP) daerah aliran sungai (DAS) Prioritas di Sumatera Barat yang sangat strategis karena terletak di Kota Padang sebagai ibu kota propinsi adalah SWP DAS Arau. Selama tahun 1990-2009 telah terjadi pengurangan luas hutan sebesar 1.320 hektar pada SWP DAS Arau, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum dan peningkatan fluktuasi debit, yang mengindikasikan kinerja DAS buruk. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS belum terpadu, belum mandiri dan belum berkelanjutan, sehingga performa pengelolaan DAS masih belum baik.
Pengelolaan DAS melibatkan banyak pihak, sehingga permasalahannya seringkali sangat kompleks. Permasalahan krusial aspek fisik pada SWP DAS Arau adalah perubahan proses hidrologi karena perubahan tutupan lahan hutan pada kawasan lindung menjadi tutupan non hutan. Sementara itu, pemulihan kerusakan hutan dan lahan terkendala oleh terbatasnya dana untuk kegiatan konservasi dan RHL, sehingga pelaksanaan kegiatan belum sesuai dengan kebutuhan; sedangkan pada aspek kelembagaan terdapat masalah tumpang tindihnya lahan hutan ulayat dan hutan negara dan perbedaan aturan pengelolaan hutan antara masyarakat adat dan pemerintah, yang diyakini sebagai salah satu penyebab perambahan hutan di hulu DAS dan kemiskinan masyarakat sekitar kawasan hutan. Dengan demikian pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah model kelembagaan serta insentif seperti apa yang harus diterapkan sehingga dapat mewujudkan model pengelolaan DAS yang terpadu dan mandiri pada SWP DAS?” Pertanyaan ini akan dijawab dengan Analisis Pengembangan Institusi (Institution Analysis Development, IAD), yang dikembangkan oleh Ostrom (2008) melalui penelusuran faktor eksogen (kondisi fisik/material, atribut komunitas dan aturan main yang berlaku), yang mempengaruhi arena aksi (situasi aksi dan aktor) yang akhirnya akan menentukan performa pengelolaan SWP DAS Arau.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model institusi pengelolaan DAS pada SWP DAS Arau yang terpadu dan mandiri melalui pengembangan insentif dari dana PES dan Non PES untuk kegiatan konservasi dan RHL dengan mengidentifikasi faktor eksogen yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau, pada : (1) aspek fisik, penggunaan lahan dan neraca air; (2) aspek kelembagaan, atribut komunitas dan aturan formal/norma adat dalam pengelolaan hutan; dan (3) aspek ekonomi, potensi pengembangan insentif PES dan Non PES pada SWP DAS Arau.
2 masih positif, namun neraca air bulanan pada bulan-bulan tertentu menunjukkan neraca air negatif sehingga mengindikasikan telah terjadi krisis air yang berpotensi menimbulkan konflik antar pengguna air sehingga masalah krusial pengelolaan air pada SWP DAS Arau adalah distribusi air antar waktu (musim hujan dan musim kemarau) yang sangat fluktuatif.
Untuk mencapai kondisi tutupan lahan optimal yang akan memberikan kondisi hidrologi dan kinerja DAS baik harus dipertahankan tutupan lahan hutan sebesar 32.098 ha. Dengan kondisi tutupan lahan tahun 2009, maka harus dilakukan kegiatan RHL pada kawasan hutan Negara seluas 2.868 ha (876 ha pada HSAW dan 1.992 ha pada HL) dan pada kawasan lindung di luar hutan Negara seluas 1.226 ha dengan pola hutan rakyat agroforestry.
Hasil identifikasi aspek kelembagaan memperlihatkan penetapan kawasan
hutan secara “sepihak” oleh Pemerintah telah menyebabkan tumpang tindihnya
kawasan hutan ulayat dengan hutan Negara, berakibat: (1) tidak diakuinya status hutan ulayat di kawasan hutan yang dijadikan hutan negara; (2) berkurangnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan karena tertutupnya akses masyarakat dalam pengelolaan hutan di Nagari dan berimbas pada menurunnya kesejahteraan masyarakat; dan (3) lunturnya aksi kolektif dalam perlindungan hutan karena hilangnya kontrol masyarakat terhadap hutan ulayat di kawasan hutan, sehingga perambahan hutan maupun penebangan liar di luar kendali institusi Nagari (Kerapatan Adat Nagari), padahal hutan mempunyai arti penting bagi masyarakat Nagari, baik sebagai penopang keberlanjutan lingkungan, ekonomi, sosial (pengikat kekerabatan) dan budaya (pengikat generasi).
Hasil analisis terhadap model institusi pengelola hutan lestari, menunjukkan pengakuan dan penggabungan institusi lokal dalam perumusan kebijakan hutan sangat penting untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari pada SWP DAS karena institusi lokal mempunyai potensi aksi kolektif yang besar dan memenuhi karakteristik pengelolaan CPR lestari. Oleh karena itu solusi masalah non excludability dan hak kepemilikan (property right) adalah pengelolaan hutan bersama antara pemerintah dan masyarakat lokal (adat). Pengelolaan hutan berkelanjutan oleh institusi pengelola yang melibatkan aksi kolektif lokal yang berhasil, harus memiliki prinsip-prinsip : aturan main pengelolaan berlandaskan norma masyarakat setempat dan mengutamakan fungsi fisik, sosial dan ekonomi hutan bagi masyarakat sekitar; organisasi pengelola berkuasa memberikan penghargaan dan sanksi dan diakui serta dihormati masyarakat; pengaturan bersifat spesifik lokasi; aturan main dibuat secara partisipatif; ada insentif ekonomi bagi pemilik dan pengguna; ada instrument pengendali penggunaan berkelanjutan; resolusi konflik melalui perundingan untuk mencapai kesepakatan.
3 dan Koto Tangah, dengan rerata nilai WTA Rp 5.620.833,-./ha. Pengguna jasa terdiri dari rumah tangga hulu, pengelola daerah irigasi, PDAM Kota Padang, industri besar di sepanjang DAS, PT Semen Padang, PLTA Rasak Bungo dan PLTA Kuranji, Universitas Andalas atau Pengelola Pelabuhan Muaro Padang.
Nilai pemanfaatan air permukaan SWP DAS Arau bagian hulu mencapai Rp 116.933.531.752,-/tahun. Nilai jasa lingkungan hutan yang dapat diindikasikan dari nilai WTP pengguna air non komersil untuk konservasi dan RHL dan nilai pengadaan air baku untuk penggunaan komersil mencapai Rp 9.390.432,946.- per tahun dan Rp 18.886.363.143,-/tahun. Pengembangan pembayaran jasa lingkungan pada SWP DAS Arau dapat dijadikan sebagai instrumen finansial untuk pembiayaan konservasi dan RHL karena adanya kesediaan membayar pengguna jasa untuk konservasi dan RHL (WTP); sebagai instrument insentif untuk pengelolaan lahan lestari karena adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat dalam mengelola lahan; sebagai implementasi pembagian biaya (cost sharing)
hulu hilir dalam pengelolaan DAS. Adanya pembiayaan pengelolaan DAS dari pengguna jasa DAS yang berasal dari dalam DAS itu sendiri, diharapkan dapat mewujudkan kemandirian pengelolaan DAS. Sedangkan pada lahan milik dalam kawasan lindung, yang tidak diterapkan skema PES, diberikan insentif untuk konservasi dan RHL dari dana APBN, APBD atau sumber lainnya, berupa insentif langsung dan insentif tak langsung dalam bentuk insentif berbasis pemberdayaan masyarakat, sehingga pengelolaan DAS memberikan manfaat bagi masyarakat.
Untuk pengelolaan DAS terpadu, mandiri dan berkelanjutan pada SWP DAS maka model institusi pengelolaan hutan yang paling sesuai dikembangkan saat ini untuk : (a) solusi masalah tumpang tindih property right pada HL; (b) sebagai
ruang untuk pengakuan hak-hak masyarakat adat terhadap hutan ulayat; (c) sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan masyarakat sekitar hutan; dan (d) sebagai instrumen untuk mempertahankan kelestarian hutan adalah model
co-manajemen yang dinamakan Model Pengelolaan Hutan Nagari, yang dirancang dengan memodifikasi aturan formal model Hutan Desa berdasar Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008 dan meng-inkoorporasikannya dengan norma adat dalam pengelolaan hutan sehingga terdapat ruang untuk menguatkan pengelolaan hutan berbasiskan kearifan lokal dan dapat membangun sinergi antara sistem pengelolaan hutan berbasis norma adat dan pengelolaan hutan sesuai aturan Pemerintah sehingga konflik dapat diminimalkan. Bila kapasitas nagari telah membaik, Model pengelolaan hutan dapat bergeser menjadi Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Nagari murni.
Untuk implementasi PES dikembangkan lembaga pengelola PES yang bersifat sukarela dan independen berbentuk lembaga multistakeholders, dinamakan Lembaga Pengelolaan Jasa Alam SWP DAS Arau (Galasalam SWP DAS Arau), dipayungi Pemerintah dengan Perda dan kekuatan moral adat oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Implementasi kedua model pengelolaan tersebut akan mewujudkan model pengelolaan DAS terpadu dan mandiri, sehingga terwujud pengelolaan DAS berkelanjutan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
UNTUK MEMBANGUN KEMANDIRIAN DALAM
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU
(STUDI KASUS PADA SATUAN WILAYAH PENGELOLAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI ARAU SUMATERA BARAT)
NURSIDAH
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Didik Suhardjito, MSi Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Dodik Ridho.Nurrahmat, MSc F Trop Fakultas Kehutanan IPB
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Harry Santoso
iii
(Studi Kasus Pada Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Arau Sumatera Barat)
Nama : Nursidah
NIM : E 161080051
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS Ketua Anggota
Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid, MS Anggota Anggota
Diketahui,
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pengelolaan Hutan
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya maka penelitian dan penulisan disertasi dengan judul "Pengembangan Institusi untuk Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai Terpadu (Studi Kasus Pada Satuan Wilayah
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Arau Sumatera Barat)" ini dapat
diselesaikan. Penelitian ini dilatarbelakangi semakin meningkatnya kerusakan
Daerah Aliran Sungai (DAS). Sementara itu pelaksanaan kegiatan pemulihan
kerusakan DAS terkendala karena terbatasnya kapasitas pendanaan, aspek teknis
maupun kapasitas kelembagaan, sehingga pengelolaan DAS belum mendapat
dukungan dari semua pihak terkait, kemandirian dalam pengelolaan DAS belum
terbangun. Agar DAS tidak semakin rusak, maka perlu diciptakan model
pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Penelitian ini mencoba mengembangkan
model pengelolaan tersebut melalui pengembangan metodologi konsep aksi
kolektif dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama dan hak kepemilikan
dalam kerangka analisis pengembangan institusi sehingga hasilnya bisa
merekomendasikan model kelembagaan yang mendukung pengelolaan DAS
terpadu, mandiri dan berkelanjutan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA; Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho,
MS; Bapak Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc serta Bapak Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid,
MS, selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
arahan, berbagi ilmu dan pengalaman sehingga menambah wawasan dan
cakrawala kami dalam penyusunan Disertasi ini.
2. Ketua Departemen Manajemen Hutan Fahutan IPB Bapak Dr.Didik
Suhardjito, MSi dan Ketua Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan IPB Bapak Prof.
Dr. Ir. Haryadi Kartodihardjo, MS beserta staf atas dukungannya selama
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS dan Bapak Dr. Ir. Harry
Santoso selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.
5. Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementrian Kehutanan,
Kepala Pusdiklat Kehutanan dan Kepala Balai Pengelolaan DAS Agam
Kuantan, atas izin mengikuti pendidikan, bantuan biaya pendidikan dan
dukungannya selama penulis mengikuti pendidikan.
6. Staf Balai Pengelolaan DAS Agam Kuantan, Balai Konservasi Sumber Daya
Alam Sumatera Barat dan Dinas Pertanian Peternakan Kehutanan dan
Perkebunan Kota Padang yang telah membantu selama pengumpulan data.
7. Kepada suami, orang tua, kakak-kakak, adik-adik, dan anak-anak tercinta serta
seluruh keluarga, atas segala kesabaran, doa, pengertian, dorongan semangat
dan kasih sayangnya.
8. Teman-teman seperjuangan pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan IPB,
khususnya IPH 2008 dan 2009 serta semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu namanya.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan tersebut dan apa yang
penulis peroleh mendapat ridho dari Allah SWT dan karya ilmiah ini menjadi
ilmu yang baik dan bermanfaat bagi pengelolaan DAS yang berkelanjutan.
Bogor, Januari 2012
Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 10 Juli 1970 sebagai anak ke delapan dari pasangan H. Moeslim RMM (Alm) dan Hj. Anizar Ghafar (Alm). Setelah menamatkan pendidikan pada SMA Negeri 1 Padang tahun 1989, penulis melanjutkan pendidikan sarjana pada Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Studi Konservasi Sumberdaya Lahan Universitas Syiah Kuala dan memperoleh gelar Magister Pertanian (MP) pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2008, melalui beasiswa pendidikan pascasarjana dari Pusdiklat Kehutanan Kementerian Kehutanan.
Penulis bekerja sebagai PNS pada Kementerian Kehutanan di Jakarta sejak tahun 1994. Pada tahun 2002 hingga saat ini bertugas pada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Agam Kuantan Sumatera Barat di Padang.
Artikel berjudul Pengembangan Institusi untuk Membangun Aksi Kolektif Lokal dalam Pengelolaan Hutan (Studi Kasus pada Kawasan Lindung SWP DAS Arau Sumatera Barat) telah diterbitkan pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika (Departemen Manajemem Hutan IPB) Volume XVII tahun 2011; dan artikel yang berjudul Optimasi Penggunaan Lahan dan Kinerja DAS pada SWP DAS Arau Kota Padang, akan diterbitkan pada Jurnal Forum Pascasarjana IPB, Volume 35 Nomor 1, Januari 2012. Dua artikel lainnya sedang dalam penyuntingan naskah, yaitu berjudul : Pengembangan Imbal Jasa Lingkungan DAS untuk Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan DAS, akan diterbitkan pada Jurnal Bumi Lestari (Universitas Udayana) tahun 2012; dan Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Air pada SWP DAS Arau Sumatera Barat, akan diterbitkan pada Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam (Balitbang Hutan dan Konservasi Alam) tahun 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi ini.
i
Halaman
DAFTAR TABEL... iii
DAFTAR GAMBAR... vi
DAFTAR LAMPIRAN... vii
PENDAHULUAN... 1
Latar Belakang... 1
Perumusan Masalah... 2
Kerangka Pemikiran... 5
Tujuan Penelitian... 10
Manfaat Penelitian... 11
Novelty... 11
TINJAUAN PUSTAKA... 13
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)... 13
Penggunaan Lahan dan Peran Vegetasi dalam DAS…………...… 19
Neraca Air DAS... 21
Konsep Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan DAS………... 24
Konsep Insentif Ekonomi dalam Pengelolaan DAS... 26
Konsep Pembayaran Java Lingkungan………... 31
Perkembangan Pembayaran Jasa Lingkungan DAS di Indonesia, Hasil Penelitian dan Contoh-contoh Penerapan PES……….. 37 Konsep Kelembagaan Dalam PES dan Pengelolaan DAS/Hutan 43 Institusi Pengelolaan Sumberdaya Milik Bersama yang Lestari.… 54 METODOLOGI ……….……….. 59
Tempat dan Waktu Penelitian ..……….. 59
Pengumpulan Data ……… 59
Metode Penelitian……….. 61
GAMBARAN UMUM SWPAS ARAU…... 75
Kondisi Biofisik SWP DAS Arau…... 75
ii Neraca Air SWP DAS Arau……
Penggunaan Lahan pada SWP DAS Arau... 104
IDENTIFIKASI ARENA AKSI, ATRIBUT KOMUNITAS DAN RULES IN USE UNTUK PENGEMBANGAN INSTITUSI... 125
Aturan Formal Versus Aturan Adat Dalam Pengelolaan Hutan…. 187 Revitalisasi Norma-norma Adat dalam Pengelolaan Hutan…….. 217
PENGEMBANGAN INSENTIF UNTUK KONSERVASI DAN RHL DARI DANA PES PADA SWP DAS ARAU………. 225 MODEL PENGELOLAAN DAS TERPADU DAN MANDIRI PADA SWP DAS ARAU………. 309 Eksternalitas, Hak Kepemilikan (Property Right) dan Pengelolaan Sumberdaya Milik Bersama (Common Pool Resources... 310 Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan SWP DAS Arau 320 Pengembangan Institusi Untuk Implementasi PES... 339
iii
Halaman
1 Karakteristik yang dapat meningkatkan atau menghambat
kemungkinan bekerjanya insentif...
30
2 Prinsip desain pada kelembagaan CPR yang lestari……..…… 56
3 Pengaturan ulang prinsip desain Ostrom untuk CPR kehutanan………... 57 4 Variabel/pola, pengumpulan data dan sumber data…...……… 60
5 Standar kebutuhan air untuk rumah tangga…... 64
6 Besarnya kebutuhan air untuk sarana perkotaan…………...…. 65
7 Standar kebutuhan air pertanian……... 65
8 Standar kebutuhan air industri…... 66
9 Wilayah administrasi dan luas wilayah SWP DAS Arau... 75
10 Pembagian kelerengan pada SWP DAS Arau…... 78
11 Data iklim pada SWP DAS Arau…... 78
12 Jenis tanah pada SWP DAS Arau…... 79
13 Data kependudukan pada SWP DAS Arau... 81
14 Mata pencaharian penduduk pada SWP DAS Arau………….. 81
15 Sarana perekonomian pada SWP DAS Arau………... 82
16 Prasarana jalan pada SWP DAS Arau……... 82
17 Rerata curah hujan bulanan pada SWP DAS Arau………….... 83
18 Ketersediaan air pada SWP DAS Arau berdasarkan
penghitungan debit rata-rata dan debit andalan……….
86
19 Ketersediaan air tahun 1990 – 2009 dan ketersediaan air bulanan pada SWP DAS Arau………..……….
88
20 Penghitungan kebutuhan air rumah tangga SWP DAS Arau… 89
21 Perkiraan kebutuhan air perkotaan Kota Padang dan SWP
DAS Arau Tahun 2009, 2018 dan 2028...
91
22 Perkiraan kebutuhan air pertanian Kota Padang dan
SWP DAS Arau Tahun 2009, 2018 dan 2028…………...
iv
24 Kebutuhan air SWP DAS Arau dan Kota Padang………. 98
25 Keseimbangan air SWP DAS Arau dan Kota Padang……….. 99
26 Neraca air bulanan SWP DAS Arau berdasarkan
penghitungan debit andalan………….………..…...
99
27 Penggunaan lahan Kota Padang tahun 2009…………... 104
28 Pembagian fungsi kawasan pada SWP DAS Arau……… 106
29 Tutupan lahan pada SWP DAS Arau tahun 2009……….. 106
30 Tutupan lahan SWP DAS Arau tahun 1990, 2000 dan 2009…. 108
31 Perubahan tutupan lahan kawasan hutan SWP DAS Arau…… 111 32 Debit maksimum, debit minimum, debit rerata dan debit
andalan SWP DAS Arau Tahun 1990 –2009....………
113
33 Nilai fluktuasi debit (KRS) SWP DAS Arau periode
1990-2009………..
116
34 Hasil proyeksi perubahan tutupan lahan terhadap nilai KRS… 120
35 Kebutuhan biaya konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau... 124
36 Lokasi untuk kajian aspek kelembagaan………... 126
37 Pemenuhan prinsip desain pada kedua model pengelolaan
hutan………...
211
38 Perbandingan modifikasi prinsip desain Ostrom oleh
Gautam-Shivakoti dan prinsip pengelolaan CPR berdasar norma adat
pada lokasi kajian………...
215
39 Nama sungai, luas DTA dan debit pada DAS Batang Arau….. 229
40 Nama sungai, luas DTA dan debit pada DAS Batang Kuranji.. 233
41 Nama sungai, luas DTA dan debit DAS Batang Air Dingin... 237
42 Hasil identifikasi karakter jasa lingkungan SWP DAS Arau.... 241
43 Sebaran pekerjaan responden SWP DAS Arau bagian hulu….. 248 44 Sebaran pemilikan lahan responden SWP DAS Arau hulu…... 249 45 Sebaran luas lahan responden yang digunakan untuk kegiatan
kehutanan pada SWP DAS Arau hulu………...
250
46 Sebaran pola usaha tani responden pada SWP DAS Arau hulu 251
v
49 Hasil identifikasi potensi penyedia jasling SWP DAS Arau…. 254
50 Penghitungan penggunaan air rumah tangga responden pada
daerah hulu SWP DAS Arau. ………...
256
51 Kebutuhan air irigasi pada SWP DAS Arau…………..……… 257
52 Instalasi pengolahan air PDAM dari sumber air permukaan.… 258
53 Proyeksi kebutuhan air bersih Kota Padang Tahun 2009–2028 259
54 Industri di sepanjang DAS pada SWP DAS Arau tahun 2009.. 261
55 Hasil identifikasi pengguna jasa lingkungan pada setiap DAS 271
56 Nilai ekonomi air untuk rumah tangga hulu SWP DAS Arau... 272
57 Nilai WTP untuk kegiatan konservasi dan RHL pengguna air
rumah tangga hulu pada SWP DAS Arau………..………
274
58 Nilai ekonomi pemanfaatan air untuk sawah SWP DAS Arau. 277
59 Nilai WTP untuk kegiatan konservasi dan RHL pengguna air
Petani irigasi pada SWP DAS Arau………...…………
278
60 Kategori, jumlah dan pemakaian air pelanggan serta nilai
penjualan PDAM Kota Padang Tahun 2009..………....
281
61 Nilai air PDAM dengan pendekatan biaya pengadaan air……. 283
62 Nilai ekonomi air untuk penggunaan PLTA Batu Busuk dan
Rasak Bungo pada SWP DAS Arau………..…...
285
63 Nilai ekonomi air untuk penggunaan komersil pada hulu SWP
DAS Arau……….…...
286
64 Nilai ekonomi total air permukaan pada hulu SWP DAS Arau 286
65 Karakteristik yang dapat meningkatkan atau menghambat
kemungkinan bekerjanya insentif untuk kegiatan konservasi
dan RHL pada SWP DAS Arau……….
307
66 Evolusi property right kawasan hutan pada SWP DAS Arau... 314
67 Alternatif solusi masalah property right pada hutan lindung
SWP DAS Arau……….
316
vi
Halaman
1 Kerangka pemikiran analisis pengembangan institusi untuk
membangun kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu…...
8
2 Penurunan data debit berdasarkan data hujan SWP DAS Arau.. 63
3 Diagram alir penelitian pengembangan institusi untuk membangun kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu…... 74 4 Peta wilayah penelitian SWP DAS Arau Sumatera Barat……... 76
5 Sebaran ketersediaan air berdasar DAS pada SWP DAS Arau.. 87
6 Sebaran kebutuhan air pada SWP DAS Arau berdasarkan sektor dan DAS………... 97 7 Kecenderungan peningkatan debit maksimum SWP DAS Arau 114 8 Arena aksi kehutanan pada SWP DAS Arau……….. 126
9 Wilayah inti Minangkabau dan wilayah pengembangannya…... 149
10 Bagan susunan masyarakat adat Minangkabau………... 154
11 Pembagian wilayah sebuah Koto……… 156
12 Tahapan pengembangan skema PES (modifikasi CIFOR 2007) 226 13 Peta kkema aliran pada DAS Batang Arau... 230
14 Skema aliran DAS Batang Arau…………... 231
15 Peta skema aliran pada DAS Batang Kuranji…………... 234
16 Skema aliran DAS Batang Kuranji…………... 235
17 Peta skema aliran pada DAS Batang Air Dingin…………... 237
18 Skema aliran DAS Batang Air Dingin…………... 238
19 Alternatif pemilihan insentif berdasarkan kondisi pendapatan masyarakat dan control pemerintah pada SWP DAS Arau….… 306 20 Diagram alir pengusulan hak pengelolaan hutan nagari………. 338
21 Proses kelembagaan ideal dalam PES pada SWP DAS Arau
(modifisikasi dari Nugroho 2010)………...
356
22 Model pengelolaan DAS terpadu dan mandiri SWP DAS Arau. 365
23 Model pengembangan institusi untuk membangun kemandirian
dalam pengelolaan DAS Terpadu dan berkelanjutan………...
vii
Halaman
1 Peta daerah pengaruh hujan dengan metode Poligon Thiessen
pada SWP DAS Arau………...……...
384
2 Hasil penghitungan (a) luas sebaran pengaruh wilayah setiap
stasiun pengukur hujan dan curah hujan rata-rata tahun
1990-2009 pada DAS Batang Arau (b), pada DAS Batang Kuranji
(c), dan pada DAS Batang Air Dingin (d)…………..…...
385
3 Hubungan debit (Q) dan hujan (p) pada setiap DAS (a), (e), (i);
perbandingan hidrograf debit hasil pengukuran dan debit hasil
perhitungan pada setiap DAS (b), (f) (j); hasil penghitungan
debit dengan model regressi linear sederhana (c) (g) (k) ; dan
hidrograf debit hasil perhitungan selama 20 tahun pada setiap
DAS (d) (h) (l).……….…………..
387
4 Perhitungan kebutuhan air pada SWP DAS Arau untuk ke
empat sektor………...……….
396
5 Hasil analisis regressi linear antara debit maksimum (Qmaks)
dan debit minimum (Qmin) terhadap perubahan tutupan lahan
pada SWP DAS Arau……..………
401
6 Hasil analisis proyeksi model hubungan antara nilai kofisien
regim sungai (KRS) terhadap perubahan tutupan lahan pada
SWP DAS Arau menggunakan program Stella 9.0.2…..………
402
7 Tabulasi data responden pemilik lahan kawasan lindung di luar
kawasan hutan pada hulu SWP DAS Arau…...………..
413
8 Tabulasi data responden pengguna air rumah tangga pada hulu
SWP DAS Arau………..………...…..
416
9 Tabulasi data responden pengguna air petani irigasi pada SWP
DAS Arau………..……..
419
10 Peta – peta tematik yang digunakan dalam Penelitian….……... 421
Latar Belakang
Meningkatnya kebutuhan dan intervensi manusia dalam pemanfaatan
sumber daya dalam daerah aliran sungai (DAS)1 membuat makin banyak DAS
yang rusak. Meskipun kegiatan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan DAS
telah dilakukan sejak tahun 1970-an, namun kerusakan DAS tetap meningkat.
Tahun 1984 jumlah DAS yang rusak tercatat 22 DAS, pada tahun 1992 meningkat
menjadi 39 DAS, tahun 1998 menjadi 59 DAS, dan tahun 2006 sekitar 458 DAS
perlu direhabilitasi (Fulazzaky et al. 2009). Pada tahun 2009, Menteri Kehutanan menetapkan 108 satuan wilayah pengelolaan (SWP) DAS2 sebagai DAS Prioritas
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014.
Indikator kritisnya suatu DAS antara lain ditunjukkan oleh penurunan
tutupan vegetasi permanen, terutama hutan dan meningkatnya lahan kritis,
sehingga menurunkan kemampuan DAS menyimpan air, mengganggu siklus
hidrologinya, berdampak pada peningkatan frekuensi banjir, erosi dan tanah
longsor pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau (Brooks et al. 1989). Tingkat kekritisan DAS juga berkaitan dengan kondisi ekonomi, sosial
budaya masyarakat setempat. Kemampuan ekonomi yang marjinal, kesadaran
berkonservasi yang rendah, dan kondisi institusi pengelola yang lemah dan tidak
adanya kepastian hak sering memicu terjadinya perambahan hutan di hulu DAS.
Perubahan penggunaan lahan di kawasan hulu maupun eksploitasi hutan yang
tidak mempertimbangkan lingkungan dapat merusak seluruh ekosistem DAS.
Misalnya hasil air sebagai jasa lingkungan DAS, yang merupakan jasa hutan
akan berkurang pasokannya (Basri 1999; Nursidah 2002; Husnan 2010), padahal
1
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU Nomor 7 Tahun 2004).
2
konsumsi air terus meningkat. Akibatnya air menjadi terbatas dan diperebutkan,
berpotensi menimbulkan konflik ekonomi dan sosial karena benturan kepentingan
antar pengguna air (Ramdan 2006).
Sementara itu pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pemulihan kerusakan
hutan yang berfungsi sebagai perlindungan tata air DAS secara keseluruhan, baik
pada kawasan hutan konservasi (HK), hutan lindung (HL) dan hutan rakyat (HR)
belum memadai karena terbatasnya kapasitas pendanaan, sumberdaya manusia,
teknis, dan kapasitas kelembagaan, sehingga kerusakan hutan terus meningkat.
Ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS belum mendapat dukungan semua
pihak terkait, belum terpadu dan belum berkelanjutan. Kemandirian pengelolaan
DAS belum terbangun sehingga performa pengelolaan DAS masih belum baik.
Perumusan Masalah
Salah satu SWP DAS Prioritas di Sumatera Barat yang sangat strategis
karena terletak di Kota Padang sebagai ibu kota propinsi adalah SWP DAS Arau,
yang terdiri atas DAS Batang Arau, DAS Batang Kuranji dan DAS Batang Air
Dingin (BPDAS 2009). Sepanjang tahun 2008 sampai dengan 2009, tiga DAS
tersebut menunjukkan nilai koefisien limpasan dan koefisien regim sungai (KRS)
tergolong tinggi, yang menunjukkan kondisi yang buruk, sehingga ke tiga DAS
tersebut termasuk DAS Super Prioritas (DPSDA 2010). Hal ini menunjukkan
bahwa kinerja pengelolaan SWP DAS Arau masih buruk.
Pengelolaan DAS melibatkan banyak pihak, sehingga permasalahannya
seringkali sangat kompleks. Permasalahan krusial aspek fisik pada SWP DAS
Arau adalah perubahan proses hidrologi karena perubahan penggunaan lahan
kawasan lindung (KL) menjadi perladangan, kebun, budidaya pertanian, areal
pertambangan dan pemukiman. Sejak tahun 2004 muncul kekhawatiran
masyarakat akan terjadinya bencana tsunami di Kota Padang, yang menyebabkan
munculnya kecenderungan pembangunan pindah ke daerah yang lebih tinggi,
yaitu wilayah tengah hingga hulu SWP DAS Arau. Akibatnya wilayah tersebut
mendapat tekanan yang semakin besar. Dampak degradasi hutan dan
meningkatnya lahan kritis terlihat jelas ketika terjadi hujan di atas normal pada
sedimen, yang kemudian diendapkan di muara sungai. Selain itu, setiap tahun
banjir melanda Kota Padang, dengan wilayah rawan banjir seluas 3.500 ha dan
50% berada pada kawasan pemukiman (Bapedalda 2009).
Agar kinerja SWP DAS Arau bisa membaik, maka pada lahan kritis dan
terdegradasi pada kawasan resapan air DAS hulu harus direhabilitasi, sedangkan
yang masih baik tutupan vegetasi permanennya harus dilindungi dan dikonservasi.
Namun pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) pada SWP
DAS Arau terkendala oleh terbatasnya dana untuk kegiatan konservasi dan RHL,
sehingga pelaksanaan kegiatan di lapangan belum sesuai dengan kebutuhan,
kare-na kebutuhan dakare-na untuk konserevasi dan RHL lebih besar dari dakare-na yang
terse-dia. Berdasarkan data Dinas Pertanian Peternakan Kehutanan dan Perkebunan
(Distannakhutbun) Kota Padang dalam kawasan hutan terdapat lahan kritis seluas
4.000 hektar, namun kemampuan untuk melakukan reboisasi sejak tahun 2000
sampai dengan tahun 2009 hanya sekitar 500 hektar (sekitar 12,5%), yang
ber-sumber dari dana Pemerintah Pusat (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Dana Alokasi Khusus-Dana Reboisasi (DAK-DR)). Selama ini,
pendanaan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau sebagian besar bersumber
atau tergantung dari Pemerintah Pusat. Oleh karena itu jaminan keberlanjutan
konservasi dan RHL sangat tergantung pada dana dari luar SWP DAS Arau,
se-hingga belum tercipta kemandirian pengelolaan. Kegiatan konservasi dan RHL
memerlukan dana yang besar dan berkelanjutan, sedangkan dana pemerintah
sa-ngat terbatas, sehingga keberlanjutan pendanaan konservasi dan RHL sesuai
kebu-tuhan belum terjamin. Oleh karena itu, perlu digali pendanaan konservasi dan
RHL dari berbagai pihak dalam DAS itu sendiri (internal balance budget). Salah satunya melalui dana pengguna jasa lingkungan DAS, dalam disertasi ini, dibatasi
pada pengguna jasa lingkungan air, yang merupakan jasa hidrologis hutan.
Selama ini, ekosistem DAS sebagai penyedia jasa lingkungan, khususnya
pelayanan hutan sebagai pengatur tata air belum dihargai sebagaimana mestinya,
bahkan oleh para pengguna air komersil (seperti perusahaan air minum,
pem-bangkit listrik tenaga air (PLTA), industri, pertanian). Air dinilai sangat rendah
karena dianggap sebagai barang publik dengan akses terbuka dan sifat
diperhitungkan sebagai bagian biaya produksi pada usaha komersial yang
menggunakan air dalam proses produksinya (Ramdan 2006). Padahal Pasal 80
UU Nomor 7 Tahun 2004, menyatakan bahwa pengguna sumberdaya air selain
untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat harus
menanggung biaya jasa pengelolaan sumberdaya air, yang didasarkan pada
perhitungan ekonomi rasional yang dapat dipertanggung-jawabkan (KLH 2007).
Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala biaya konservasi dan RHL, prinsip “pengguna membayar penyedia” perlu diterapkan dalam pembiayaan pengelolaan DAS. Dengan demikian pembiayaan konservasi dan RHL, tidak perlu menunggu “uluran tangan” dari luar DAS, sehingga dapat tercipta kemandirian dalam pem-biayaan pengelolaan DAS. Kemandirian pempem-biayaan pengelolaan DAS
merupa-kan prasyarat untuk mewujudmerupa-kan pengelolaan DAS yang berkelanjutan.
Pem-biayaan pengelolaan DAS yang bergantung pada dana dari luar sistem DAS akan
cenderung : (a) Tidak menjamin keberlanjutan program-program yang dibutuhkan
dalam pengelolaan DAS; dan (b) Terikat kepentingan donor, yang mungkin tidak
sesuai atau bahkan bertentangan dengan kepentingan para pihak dalam DAS.
Dengan makin seringnya terjadi banjir, longsor, erosi, sedimentasi dan
makin langkanya sumberdaya air pada saat kemarau, semestinya makin
menyadarkan para pengguna air tentang pentingnya kelestarian hutan sebagai
dae-rah tangkapan air (DTA). Oleh karena itu, sudah selayaknya para pengguna air
ikut berkontribusi dalam konservasi dan RHL di hulu DAS sebagai implementasi
pembagian pendanaan (cost sharing) hulu hilir atau dari penyedia kepada penggu-na jasa dalam pengelolaan DAS terpadu dan mandiri. Untuk merealisasikan imbal
jasa lingkungan (Payment for Environmental Service, PES) tersebut perlu digali potensi pengembangan PES pada SWP DAS Arau, sebagai salah satu bentuk
in-sentif untuk mendorong kegiatan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau.
Permasalahan kelembagaan difokuskan pada masalah kelembagaan
penge-lolaan hutan yang belum efisien dan efektif karena adanya masalah hak
kepemi-likan (property right), sistem nilai dan aturan main yang digunakan dalam pengelolaan hutan di hulu DAS. Bagian hulu SWP DAS Arau, secara hukum
hutan ulayat nagari (de facto). Hal ini memicu timbulnya konflik, dan berdampak langsung kepada eksistensi pengelolaan hutan. Menurut Distannakhutbun Kota
Padang (2010), luas kerusakan hutan Kota Padang selama tahun 2009 adalah 514
hektar yang disebabkan oleh kebakaran hutan 12 hektar, perladangan berpindah
122 hektar, penebangan liar 30 hektar dan perambahan hutan 350 hektar. Tidak
adanya pengakuan Pemerintah terhadap hutan ulayat yang berada dalam kawasan
hutan negara diyakini sebagai salah satu penyebab perambahan hutan di hulu
SWP DAS Arau dan kemiskinan masyarakat sekitar kawasan hutan.
Dengan berbagai potensi dan permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan “Bagaimanakah model pengelolaan DAS pada SWP DAS Arau sehingga dapat dibangun kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu?”. Karena permasalahan pengelolaan DAS yang kompleks, maka seringkali pendekatan pemecahan
masalah secara sektoral tidak cukup, bahkan sering mengalami kegagalan,
sehingga diperlukan pendekatan multi dimensi secara terintegrasi, yang
memperhatikan berbagai aspek penting yang terkait dengan pengelolaan DAS
yang berkelanjutan, sehingga pada akhirnya bisa diwujudkan pengelolaan DAS
yang terpadu dan mandiri. Untuk membangun model pengelolaan DAS terpadu
dan mandiri dalam penelitian ini digunakan pendekatan fisik, ekonomi dan
ke-lembagaan yang dirangkum dalam kerangka utama pengembangan keke-lembagaan.
Kerangka Pemikiran
Pengelolaan DAS merupakan upaya mengendalikan hubungan timbal balik
antara sumber daya alam (SDA) dalam suatu DAS dengan manusia beserta segala
bentuk aktifitasnya, untuk membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatkan manfaat SDA (Asdak 1995). Menjaga kelestarian SDA dalam
suatu DAS berarti juga menjaga kesinambungan aliran sungai pada suatu DAS
dari hulu sampai hilir dalam kuantitas dan kualitas optimal sepanjang tahun, serta
keberadaan hutan di daerah hulu DAS yang menjadi DTA suatu DAS.
Agar pengelolaan DAS berdaya guna dan berhasil guna, dalam arti kata,
DAS tetap lestari dan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat, maka
diperlukan suatu model pengelolaan DAS yang memperhatikan berbagai aspek
yang selama ini hanya dipandang sebagai aspek pendukung dan sering diabaikan,
namun kemudian disadari sebagai hal yang menentukan keberhasilan pengelolaan
suatu kegiatan, termasuk dalam pengelolaan DAS adalah aspek kelembagaan.
Dari sisi kajian kelembagaan, suatu kebijakan berupa ketentuan dan
prosedur dalam pengelolaan SDA secara ideal harus beranjak dan dibangun dari
situasi dan hubungan keterkaitan yang sudah ada dan berkembang di masyarakat,
karena hubungan keterkaitan (interdependencies) antara masyarakat dengan SDA yang dikelolanya, akan menentukan performa (performance) pengelolaan SDA tersebut (Ostrom 2008). Dalam perspektif inilah bentuk dan peranan
kelembagaan diperlukan, sehingga pendekatan kelembagaan menjadi begitu
penting dalam kerangka mendukung suatu alternatif pemecahan berbagai
permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga kinerja dan keberhasilan suatu
ke-giatan dapat diperkirakan (North 1990; Kasper dan Streit 1998).
Ostrom (2008) menyatakan performa pengelolaan SDA milik bersama
(common pool resources, CPR) tidak hanya ditentukan oleh tersedianya kebijakan yang mengatur bagaimana SDA tersebut harus dikelola dan prosedur administrasi
yang harus dilalui (rules in use), tetapi juga ditentukan oleh kondisi fisik material dan atribut komunitas yang dikelompokkan sebagai faktor eksogen, yang
mem-pengaruhi arena aksi (situasi aksi dan aktor) dalam pengelolaan SDA tersebut.
Berangkat dari pemikiran di atas maka dapat ditarik hipotesa bahwa
kesiapan regulasi atau prosedur teknis dalam pengelolaan DAS tidak dapat
menjamin kinerja yang baik, jika kelembagaan yang diterapkan tidak sesuai
dengan situasi yang ada (command and control approach). Atau performa penge-lolaan DAS (sebagai CPR) yang baik tidak dapat diwujudkan hanya oleh karena
tersedianya kebijakan yang mengatur bagaimana DAS harus dikelola dan
prosedur administrasi yang harus dilalui (rules in use), tapi juga dipengaruhi oleh faktor eksogen lainnya, yaitu faktor fisik/material dan atribut komunitas (termasuk
ilmu (science), teknologi, pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience) dan pemahaman pengguna SDA dalam DAS tersebut), yang akan menentukan
perila-ku para pengguna SDA dalam DAS tersebut untuk bersikap, yang diwujudkan
da-lam bentuk tindakan pengelolaan oleh pengguna SDA dada-lam DAS terhadap SDA,
Oleh karena itu untuk mewujudkan performa pengelolaan DAS yang baik,
harus dikembangkan kelembagaan yang tepat, melalui pengelolaan faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku (yang diwujudkan dalam bentuk tindakan) para
ak-tor dalam pengelolaan DAS sehingga fakak-tor-fakak-tor yang mempengaruhi perilaku
aktor dalam pengelolaan DAS memenuhi kriteria pengelolaan DAS yang
berke-lanjutan. Menurut Guy Peters (2000) tindakan manusia ditentukan oleh motif
ra-sional (ekonomi) dan normatif (non ekonomi). Penganut paham rara-sional
(empi-ris) menyatakan perubahan (pengembangan) kelembagaan atau institusi dapat
di-lakukan dengan mengubah insentif, dan perilaku individu akan segera berubah.
Jika individu dapat diharapkan merespon insentif dan kendala dalam cara yang
dapat diprediksi maka desainnya jadi lebih sederhana.
Kegiatan pengelolaan DAS pada SWP DAS Arau tentunya tidak terlepas
dari fenomena di atas. Penerapan kelembagaan dan insentif yang tepat dalam
pengelolaan SWP DAS Arau akan menentukan performa pengelolaan SWP DAS
Arau. Oleh karena itu, pengembangan institusi dalam penelitian ini dilakukan
dengan pendekatan pengelolaan berbasis insentif untuk mempengaruhi perilaku
para aktor, dengan mengembangkan insentif, khususnya insentif untuk konservasi
dan RHL. Kelembagaan dan insentif seperti apa yang harus diterapkan dalam
pengelolaan SWP DAS Arau sehingga dapat mewujudkan model pengelolaan
SWP DAS Arau yang terpadu dan mandiri ? Pertanyaan ini akan dijawab dengan
Analisis Pengembangan Institusi (Institution Analysis Development, IAD), yang dikembangkan oleh Ostrom (2008) melalui penelusuran faktor eksogen (kondisi
fisik/material, atribut komunitas dan aturan main yang berlaku (rules in use)), yang mempengaruhi situasi aksi dan aktor pada SWP DAS Arau, seperti disajikan
pada Gambar 1. Karena kompleksnya permasalahan dalam suatu DAS, maka
da-lam penelitian ini, analisis pengembangan institusi akan difokuskan pada masalah
faktor eksogen yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan SWP
DAS Arau, khususnya dalam kawasan lindung di daerah hulu DAS terhadap
kon-disi hidrologis DAS, pengembangan insentif untuk konservasi dan RHL dan
pe-ningkatan pendapatan masyarakat dari pembayaran jasa lingkungan DAS dan
lembaga pengelolanya, agar menghasilkan performa pengelolaan DAS yang baik
Identifikasi faktor eksogen, pada aspek fisik, difokuskan pada penggunaan
lahan dan neraca air serta insentif untuk melaksanakan konservasi dan RHL.
Keberadaan hutan di hulu DAS adalah bagian terpenting karena mempunyai
fungsi perlindungan tata air terhadap keseluruhan ekosistem DAS (Asdak 1995).
Agar kinerja DAS dalam mengatur ketersediaan air baik, maka perlu diatur
kebe-radaan hutan yang menjadi DTA nya. Untuk itu dilakukan analisis penggunaan
lahan dan neraca air optimal sehingga dapat diketahui berapa tutupan lahan
hutan yang harus dipertahankan dan distribusinya pada SWP DAS Arau.
Informasi ini akan dipakai sebagai acuan tindakan pengelolaan SWP DAS Arau,
Darusman dan Widada (2004) menyebutkan bahwa terdapat lima prinsip
yang menegaskan sinergisitas antara kegiatan konservasi dengan pembangunan
ekonomi, diantaranya prinsip kedua menyatakan, ekonomi merupakan landasan
pembangunan konservasi yang berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi
masyarakat secara berkelanjutan, dapat dipastikan program konservasi akan
terhenti karena masyarakat tidak peduli. Oleh karena itu untuk mendorong
ma-syarakat melakukan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau maka harus ada
insentif ekonomi bagi masyarakat. Untuk itu dilakukan analisis pengembangan
potensi PES, khususnya potensi jasa lingkungan air pada SWP DAS Arau, sebagai
salah satu insentif untuk mendorong kegiatan konservasi dan RHL. Selama ini,
air dianggap sebagai barang publik, penggunaannya tidak bisa dikecualikan dan
tanpa persaingan untuk mendapatkannya, dinilai sangat rendah sehingga
menimbulkan ekternalitas. Menurut Hartwick dan Olliver (1998), eksternalitas
publik terjadi manakala barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat.
Untuk menekan eksternalitas tersebut perlu valuasi nilai air dan hutan sebagai
DTA nya. Penentuan harga yang “tepat” akan memberikan sinyal kepada pengguna air mengenai nilai air dan hutan, serta dapat menjadi alternatif untuk
pemanfaatan air dan lahan yang lebih bijaksana. Penggalian potensi berbagai
sumber dana melalui imbal jasa lingkungan dilakukan melalui identifikasi
keter-sediaan jasa, penyedia jasa, pengguna jasa dan menghitung nilai jasa tersebut.
Pada lokasi yang tidak memungkinkan dilakukan skema PES, digali potensi
pengembangan instrumen insentif non PES untuk mengarahkan pengguna lahan
melakukan konservasi dan RHL. Hasil analisis potensi PES akan digunakan
sebagai acuan untuk alokasi dan distribusi biaya dan manfaat sehingga imbalan
(reward) yang diterima para pihak sesuai dengan korbanan masing-masing. Untuk mengembangkan institusi pengelolaan DAS yang efisien dalam arti
tercapai biaya transaksi yang minimal, maka dilakukan analisis terhadap atribut
komunitas, norma-norma adat dalam pengelolaan hutan dan lahan serta aturan
pengelolaan DAS yang diterapkan (rules in use), sehingga dapat dikembangkan intitusi pengelolaan DAS yang partisipatif, berbasis masyarakat dan nilai-nilai
Dari hasil identifikasi dan analisis variabel-variabel eksogen yang
mempe-ngaruhi perilaku aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau, dan dengan mengacu
pada kriteria institusi pengelolaan DAS yang efisien, maka dibangun model
pe-ngelolaan SWP DAS Arau yang terpadu, mandiri dan berkelanjutan.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan model institusi
penge-lolaan SWP DAS Arau yang terpadu dan mandiri melalui pengembangan insentif
dari dana PES dan Non PES untuk kegiatan konservasi dan RHL dengan
mengidentifikasi faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi perilaku para aktor
dalam pengelolaan SWP DAS Arau. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
dijabarkan dalam tujuan-tujuan khusus, yaitu :
1. Mengidentifikasi aspek fisik (penggunaan lahan dan neraca air) pada faktor
eksternal yang mempengaruhi perilaku aktor dalam pengelolaan SWP DAS
Arau. Informasi ini akan dijadikan acuan untuk menyusun model pengelolaan
DAS dalam pelaksanaan kegiatan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau.
2. Mengidentifikasi aspek kelembagaan atribut komunitas dan aturan / kebijakan
/ norma adat (rules in use) dalam pengelolaan hutan yang mempengaruhi peri-laku aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau. Informasi ini akan digunakan
untuk menyusun model kelembagaan pengelolaan hutan dan pengembangan
insentif untuk konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau
3. Mengidentifikasi aspek material/ekonomi (potensi pengembangan insentif
PES dan Non PES pada SWP DAS Arau) yang mempengaruhi perilaku aktor
dalam pengelolaan SWP DAS Arau. Informasi ini akan digunakan untuk
me-nyusun model insentif dalam mendorong perilaku aktor untuk melaksanakan
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Pada aspek ilmu pengetahuan, akan berkontribusi pada pengayaan dan
pengembangan metodologi untuk menyusun model pengelolaan DAS terpadu
dan mandiri dengan pendekatan pengelolaan berbasis insentif melalui analisis
pengembangan institusi dalam pengelolaan DAS dan pengkayaan konsep hak
kepemilikan (property right) dan aksi kolektif dalam pengelolaan sumberdaya alam milik bersama (common pool resources).
2. Pada aspek praktis pengelolaan hutan dan DAS, akan berguna untuk :
(a) mendapatkan pola penggunaan lahan optimal sebagai acuan kegiatan
konservasi/RHL dan implementasi PES SWP DAS Arau; (b) mendapatkan
nilai jasa hidrologis hutan agar dapat dijadikan pertimbangan dalam kebijakan
pengelolaan hutan secara lebih lestari serta dapat menyadarkan masyarakat
(para pengguna air) akan pentingnya hutan, sehingga perusakan hutan dapat
dihindarkan; (c) mendapatkan model pengelolaan hutan berbasis masyarakat
lokal dan restrukturisasi kearifan lokal dalam pengelolaan hutan;
(d) mendapatkan bentuk insentif konservasi dan RHL; (e) mendapatkan
model implementasi cost sharing hulu hilir atau dari penyedia dan pengguna jasa untuk mendukung pengelolaan DAS terpadu, mandiri dan berkelanjutan.
Novelty
Pengelolaan DAS sering mengalami kegagalan karena program-program
pengelolaan yang dilakukan seringkali hanya bertumpu pada aspek teknis semata
dengan regulasi dan prosedur administrasinya (command and control approach), sehingga penelitian ini mencoba melakukan pendekatan berbasis insentif ekonomi
(economic incentive approach) dan memadukannya dengan pendekatan normatif melalui penggalian nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan SDA. Penelitian
ini mencoba menyusun model pengelolaan DAS yang terpadu dan mandiri
meng-gunakan analisis pengembangan institusi dalam pengelolaan DAS, dengan
mema-dukan variabel fisik (lingkungan), ekonomi dan kelembagaan (yang difokuskan
ngan aksi kolektif) melalui penggalian faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi
perilaku para aktor dalam suatu situasi aksi, dalam konteks ini adalah pengelolaan
DAS untuk menghasilkan performa pengelolaan DAS yang baik. Dengan
demi-kian akan didapatkan model pengelolaan DAS yang komprehensif dan
terintegra-si, tidak hanya mempertimbangkan aspek teknis semata, namun juga
mempertim-bangkan aspek ekonomi dan kelembagaan yang sesuai dengan situasi dan kondisi
DAS yang bersangkutan, sehingga diharapkan model yang dibangun dapat
meme-cahkan permasalahan yang ada (pragmatis) dan dapat diimplementasikan dalam
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Konsep Pengelolaan DAS
Pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat ditelaah dari dua aspek, yaitu
dari aspek fisik dan kelembagaan. Secara fisik, DAS didefinisikan sebagai suatu
hamparan wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya, yang dibatasi oleh pemisah alam (punggung gunung atau
bukit), yang menerima dan mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara
serta mengalirkannya melalui sungai-sungai kecil menuju sungai utama dan
keluar pada satu titik outlet, dan mengalirkannya hingga ke laut atau ke danau
(Asdak 1995; Kartodihardjo et al. 2004; UU Nomor 7/2004; Dephut 2009). Secara kelembagaan (institusi), DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya
alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property), dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan/atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta
menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan/atau kelompok
masyarakat (Kartodihardjo et al. 2004).
DAS merupakan suatu megasistem kompleks yang dibangun atas sistem
fisik, sistem biologis dan sistem manusia. Setiap sistem dan sub-sub sistem di
dalamnya saling berinteraksi (Davenport 2002). Dalam proses ini peranan
tiap-tiap komponen dan hubungan antar komponen sangat menentukan kualitas
ekosistem DAS, yang bisa dilihat dari kualitas outputnya. Secara fisik, kualitas
output DAS terlihat dari besar erosi, aliran permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit dan produktifitas lahan. Tiap-tiap komponen memiliki sifat yang khas dan
tidak berdiri sendiri, tapi berhubungan dengan komponen lainnya membentuk
kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Gangguan terhadap salah satu komponen
ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang
berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan
timbal balik antar komponen berjalan baik dan optimal. Manusia memegang
Pengelolaan DAS adalah pengelolaan SDA dan sumberdaya buatan yang
ada di dalam DAS secara rasional dengan tujuan mencapai keuntungan
maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dengan risiko kerusakan lingkungan
seminimal mungkin. Pengelolaan DAS dijalankan berdasarkan prinsip kelestarian
sumberdaya yang menyiratkan keterpaduan antara prinsip produktifitas dan
konservasi SDA dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS, yaitu: (a) terjaminnya
penggunaan SDA yang lestari, seperti hutan, hidupan liar dan lahan pertanian;
(b) tercapainya keseimbangan ekologis lingkungan sebagai sistem penyangga
kehidupan; (c) terjaminnya jumlah dan kualitas air yang baik sepanjang tahun;
(d) mengendalikan aliran permukaan dan banjir; serta (e) mengendalikan erosi
tanah dan proses degradasi lahan lainnya. Prinsip keberlanjutan menjadi acuan
dalam mengelola DAS, dimana fungsi ekologis, ekonomi dan sosial-budaya dari
sumberdaya dalam DAS dapat terjamin secara berimbang (Asdak 1995; Kartodihardjo et al. 2004). Atau terjadi proses hidrologis yang ideal pada DAS dalam konteks produksi air yang berasal dari kawasan yang dikelola, masih
bera-da bera-dalam batas-batas kuantitas, kualitas bera-dan waktu/lamanya aliran berlangsung
(Hadisuparto 1998). Kondisi ini dapat dicapai antara lain apabila perangkat
kebijakan yang akan diterapkan dalam pengelolaan DAS dan konservasi tanah dan air di daerah hulu merupakan “alat” mencapai pembangunan sumberdaya air dan tanah yang berkelanjutan, sehingga keterpaduan pengelolaan DAS dari hulu ke
hilir merupakan suatu keharusan (Asdak 1995).
Untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelanjutan pada SWP DAS
Arau, yang tercermin pada performa pengelolaan DAS yang baik, yaitu
pengelo-laan DAS yang memberikan keseimbangan lingkungan fisik, ekonomi dan
kelem-bagaan, maka sasaran pengelolaan DAS yang ingin dicapai adalah : (1)
Tercip-tanya kondisi hidrologis DAS yang optimal yang memberikan kinerja DAS baik;
(2) Meningkatnya produktivitas lahan melalui konservasi dan RHL yang diikuti
oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat; (3) Tersedianya pendanaan pengelolaan
DAS secara berkelanjutan yang berasal dari DAS tersebut; (4) Tertata dan
ber-kembangnya kelembagaan formal dan informal masyarakat dalam
penyelengga-raan pengelolaan DAS; dan (5) Meningkatnya kesadaran dan partisipasi
Berdasarkan kerangka pemikiran seperti yang telah diuraikan pada bagian
Pendahuluan (Gambar 1), dalam penelitian ini, performa pengelolaan SWP DAS
Arau yang baik ditunjukkan oleh dampak (outcome) berupa : (1) terwujudnya ke-giatan konservasi dan RHL memadai yang memberikan kinerja DAS yang baik
serta keseimbangan lingkungan; (2) meningkatnya kesejahteraan masyarakat,
khususnya masyarakat sekitar hutan pada kawasan lindung di hulu DAS; dan
(3) adanya kelembagaan pengelolaan DAS yang baik dan bertahan lama.
Perfor-ma pengelolaan SWP DAS Arau tersebut diukur melalui kriteria dan indikator
pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Kriteria merupakan ukuran yang menjadi
dasar penilaian tingkat keberhasilan dalam pengelolaan dan optimalisasi
peman-faatan SDA dalam DAS yang berkelanjutan. Indikator adalah alat pemantau yang
dapat memberikan petunjuk untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan
pengelolaannya. Kriteria dan indikator harus bersifat sederhana dan praktis untuk
dilaksanakan, terukur, dan mudah difahami terutama oleh para pengelola DAS
dan pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap program pengelolaan DAS
Pada penelitian ini, untuk mewujudkan performa pengelolaan DAS
berke-lanjutan, yaitu pengelolaan DAS yang memberikan keseimbangan lingkungan,
ekonomi dan kelembagaan, digunakan kriteria : (1) pada aspek fisik, kinerja DAS
diukur dengan model (teknologi) penggunaan lahan yang memberikan kondisi
hidrologis optimal melalui penelusuran debit aliran dan penggunaan lahan dengan
indikator nilai fluktuasi debit atau koefisien regim sungai (KRS) ; (2) pada aspek
ekonomi, pendanaan konservasi dan RHL serta peningkatan kesejahteraan
masya-rakat, diukur dari adanya pendanaan konservasi dan RHL melalui internalisasi
eksternalitas dengan pembiayaan pengelolaan DAS bersama antara penyedia dan
pengguna jasa DAS (cost sharing) melalui pengembangan insentif ekonomi dari dana PES agar terwujud kemandirian pengelolaan DAS, dengan indikator imbalan
(reward) masing-masing pihak setara dengan korbanan (tercermin dari kesediaan menerima kompensasi (willingness to accept, WTA) dan kesediaan membayar (willingness to pay, WTP)); dan (3) aspek kelembagaan, adanya kelembagaan pengelolaan DAS yang efektif dan efisien, dengan indikator adanya biaya
Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan DAS Terpadu
Dari berbagai konsep dan uraian diatas maka pengelolaan DAS dapat
dipandang sebagai satuan pengaturan tata ruang wilayah, suatu sistem
sumberdaya, satuan pengembangan ekonomi dan sosial/kelembagaan dalam
mencapai tujuan pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Dengan demikian
diperlukan kerangka konsep pengelolaan DAS terpadu baik secara fisik, ekonomi,
sosial dan kelembagaan karena pengelolaan DAS terpadu menjadi kata kunci
pengelolaan DAS yang mandiri dan berkelanjutan. Keberlanjutan pembangunan
satu DAS tidak dapat lagi dilepaskan dari aktivitas pembangunan di wilayah lain
dari DAS yang sama. Keberlanjutan pemanfaatan SDA di daerah tengah dan hilir
suatu DAS tidak bisa lepas dari pengelolaan lingkungan atau SDA di daerah hulu.
Fungsi DAS sebagai pengatur tata air, akan dapat berjalan dengan baik apabila
wilayah hulu, yang umumnya didominasi hutan, mampu menyerap air hujan dan
mengalirkannya di musim kemarau, sehingga dapat mengendalikan fluktuasi debit
air sungai
Pengelolaan DAS terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan,
sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber daya
DAS lintas para pemangku kepentingan secara partisipatif berdasarkan kajian
kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan
tujuan Pengelolaan DAS (Dephut 2009). Pengelolaan DAS terpadu akan
melibatkan banyak lembaga. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga cenderung bersifat
sektoral, sehingga seringkali terjadi tabrakan kepentingan antar lembaga yang
terlibat dalam pengelolaan DAS. Pengaturan kelembagaan dan regulasi yang
akan mengatur mekanisme kerja antar lembaga harus disiapkan dengan matang
sehingga dapat menghasilkan kerjasama dan koordinasi yang optimal. Pengaturan
ini penting untuk memastikan bahwa pengelolaan DAS dapat diterima oleh
berbagai pihak terkait dengan tujuan dan kepentingannya masing-masing. Ada
tiga faktor yang dapat diidentifikasi dari pengaturan institusi ini, yaitu :
(a) koherensi kepentingan dan aktivitas antar para pihak (stakeholders); (b) kekuatan institusi lokal; dan (c) manfaat untuk masyarakat lokal di dalam
kepentingan di antara para pihak dan adanya kejelasan identitas serta ukuran
se-tiap kelompok para pihak terkait.
Pengelolaan ekosistem DAS yang elegan adalah pengelolaan yang
menempatkan masyarakat sebagai aktor utama, pengelolaan yang menganut
prinsip keadilan dan kelestarian, serta menguntungkan secara ekonomis. Peranan
pemerintah diharapkan masih relatif besar. Namun institusi lokal perlu diberikan
peranan penting dalam pengelolaan DAS, terutama yang menyangkut berbagai hal
yang menjadi kepentingan penduduk lokal. Pengelolaan DAS akan lebih efisien
dan berkelanjutan apabila dapat memanfaatkan bakat dan keterampilan
masyarakat lokal. Institusi lokal membantu berfungsinya pengelolaan DAS
melalui perlindungan terhadap hak, penguatan norma-norma yang berlaku,
mengatasi konflik dan distribusi manfaat. Pengaruh institusi sangat tergantung
pada kekuatan yang dimilikinya atas berbagai aktor yang terlibat dalam
pengelolaan DAS. Dalam aspek ekonomi dan politik sering komunitas di dalam
DAS merupakan kesatuan yang lemah. Pengaruh institusi lokal ini sering sulit menjangkau kawasan „di luar‟ lokal. Oleh sebab itu, perlu penguatan oleh institusi eksternal yang memiliki kekuatan pengaruh yang memadai, seperti lembaga
swa-daya masyarakat (LSM), perguruan tinggi (PT), media massa, instansi
pemerintah, sangsi, aturan, atau berbagai kebijakan yang ada. Institusi dan aktor
eksternal DAS dapat saja melakukan intervensi terhadap pengelolaan DAS dalam
bentuk penguatan institusi DAS yang ada atau melalui perubahan konteks
ekonomi dan politik dalam pengambilan keputusan pengelolaan DAS.
Kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu adalah pengelolaan DAS
yang berhasil mencapai tujuan pengelolaan yang ditetapkan, yaitu terciptanya
keseimbangan dalam konservasi lingkungan (ekologi), pengurangan kemiskinan
(ekonomi) dan menguatnya kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan DAS, yang
dilakukan oleh para pihak dalam DAS tersebut secara partisipatif dengan
memanfaatkan segenap potensi yang ada dalam DAS tersebut serta pembiayaan
yang berasal dari dalam DAS tersebut. Kemandirian pembiayaan pengelolaan
DAS merupakan prasyarat untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang
berkelan-jutan. Pembiayaan pengelolaan DAS yang bergantung pada dana dari luar sistem