• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional development to build a self sustenance in integrated watershed management (the case of arau watershed unit management area, West Sumatera)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional development to build a self sustenance in integrated watershed management (the case of arau watershed unit management area, West Sumatera)"

Copied!
890
0
0

Teks penuh

(1)

UNTUK MEMBANGUN KEMANDIRIAN DALAM

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU

(STUDI KASUS PADA SATUAN WILAYAH PENGELOLAAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI ARAU SUMATERA BARAT)

NURSIDAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Institusi untuk Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu

(Studi Kasus pada Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Arau

Sumatera Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(3)

NURSIDAH. Institutional Development to Build a Self Sustenance in Integrated Watershed Management (The Case of Arau Watershed Unit Management Area, West Sumatera). Under direction of DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, OMO RUSDIANA, and YUZIRWAN RASYID.

Arau Watershed Unit Management Area that is located in Padang City, its condition continued to degrade due to deforestation in the upstream watershed, impact on water crisis, so that the watershed performance is still bad. Meanwhile, reforestation and conservation is constrained by limited funds, ineffective and inefficient forest governance institution and the lack of incentives for forest sustainable management. The study was aimed to build a self sustenance and integrated watershed management through the development of incentives for reforestation and conservation from payment for environmental services (PES) and non PES funds by indentifying exogenous factors that influence action arena in watershed management using Ostrom framework of institutional development analysis. The results show that to achieve good watershed performance, 32,092 ha of forest land must be maintained. The identification of action arena shows that forest degradation occurs due to uncertainty property rights, so forest property right become ill-defined property rights, since the dominant role of the government. More over, this condition has destructed collective action and illegal forest extraction is still continuing and forest degradation become widely spread then forest is considered as open acces property. The obscurity of forest property rights must be solved to find a solution. While customary rules of society that is still good to implement, so property right conflict resolution can be driven to a common property, because of the followings: the common property are not sold susceptible so that land integrity can be maintained; ecxludable so that disruption to the resource can be known early; awakening of collective action in forest management; members of the group can utilize forest resources so that can improve social welfare, and the excesses of open access resources can be avoided. To overcome the limited financing forest conservation and reforestation as well as to increase forest communities income, it can be implemented payments for environmental services in utilization of surface water at 27,657 ha forest area. The presence of funding from the watershed itself, is expected can realize the self sustenance of watershed management. For the realization of sustainable forest management and the integrated and self-sustenance watershed management, co-management model called Nagari Forest Management Model, by means of incorporate formal rules and customary norms in the forest management is more suitable because there is space to strengthen forest management based on local wisdom, and to build synergies between the customary norms and government rules, so that conflicts can be minimized. Finally, it can be concluded that the lack of clarity on the situation of vulnerable property right potentially can damage common pool resources, and when the condition of society still have strong cultures, communal property solutions with co management model between communities and government still have advantages.

(4)

1 NURSIDAH. Pengembangan Institusi Untuk Membangun Kemandirian Dalam Pengelolaan DAS Terpadu (Studi Kasus Pada SWP DAS Arau Sumatera Barat). Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, OMO RUSDIANA dan YUZIRWAN RASYID.

Salah satu satuan wilayah pengelolaan (SWP) daerah aliran sungai (DAS) Prioritas di Sumatera Barat yang sangat strategis karena terletak di Kota Padang sebagai ibu kota propinsi adalah SWP DAS Arau. Selama tahun 1990-2009 telah terjadi pengurangan luas hutan sebesar 1.320 hektar pada SWP DAS Arau, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum dan peningkatan fluktuasi debit, yang mengindikasikan kinerja DAS buruk. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS belum terpadu, belum mandiri dan belum berkelanjutan, sehingga performa pengelolaan DAS masih belum baik.

Pengelolaan DAS melibatkan banyak pihak, sehingga permasalahannya seringkali sangat kompleks. Permasalahan krusial aspek fisik pada SWP DAS Arau adalah perubahan proses hidrologi karena perubahan tutupan lahan hutan pada kawasan lindung menjadi tutupan non hutan. Sementara itu, pemulihan kerusakan hutan dan lahan terkendala oleh terbatasnya dana untuk kegiatan konservasi dan RHL, sehingga pelaksanaan kegiatan belum sesuai dengan kebutuhan; sedangkan pada aspek kelembagaan terdapat masalah tumpang tindihnya lahan hutan ulayat dan hutan negara dan perbedaan aturan pengelolaan hutan antara masyarakat adat dan pemerintah, yang diyakini sebagai salah satu penyebab perambahan hutan di hulu DAS dan kemiskinan masyarakat sekitar kawasan hutan. Dengan demikian pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah model kelembagaan serta insentif seperti apa yang harus diterapkan sehingga dapat mewujudkan model pengelolaan DAS yang terpadu dan mandiri pada SWP DAS?” Pertanyaan ini akan dijawab dengan Analisis Pengembangan Institusi (Institution Analysis Development, IAD), yang dikembangkan oleh Ostrom (2008) melalui penelusuran faktor eksogen (kondisi fisik/material, atribut komunitas dan aturan main yang berlaku), yang mempengaruhi arena aksi (situasi aksi dan aktor) yang akhirnya akan menentukan performa pengelolaan SWP DAS Arau.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model institusi pengelolaan DAS pada SWP DAS Arau yang terpadu dan mandiri melalui pengembangan insentif dari dana PES dan Non PES untuk kegiatan konservasi dan RHL dengan mengidentifikasi faktor eksogen yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau, pada : (1) aspek fisik, penggunaan lahan dan neraca air; (2) aspek kelembagaan, atribut komunitas dan aturan formal/norma adat dalam pengelolaan hutan; dan (3) aspek ekonomi, potensi pengembangan insentif PES dan Non PES pada SWP DAS Arau.

(5)

2 masih positif, namun neraca air bulanan pada bulan-bulan tertentu menunjukkan neraca air negatif sehingga mengindikasikan telah terjadi krisis air yang berpotensi menimbulkan konflik antar pengguna air sehingga masalah krusial pengelolaan air pada SWP DAS Arau adalah distribusi air antar waktu (musim hujan dan musim kemarau) yang sangat fluktuatif.

Untuk mencapai kondisi tutupan lahan optimal yang akan memberikan kondisi hidrologi dan kinerja DAS baik harus dipertahankan tutupan lahan hutan sebesar 32.098 ha. Dengan kondisi tutupan lahan tahun 2009, maka harus dilakukan kegiatan RHL pada kawasan hutan Negara seluas 2.868 ha (876 ha pada HSAW dan 1.992 ha pada HL) dan pada kawasan lindung di luar hutan Negara seluas 1.226 ha dengan pola hutan rakyat agroforestry.

Hasil identifikasi aspek kelembagaan memperlihatkan penetapan kawasan

hutan secara “sepihak” oleh Pemerintah telah menyebabkan tumpang tindihnya

kawasan hutan ulayat dengan hutan Negara, berakibat: (1) tidak diakuinya status hutan ulayat di kawasan hutan yang dijadikan hutan negara; (2) berkurangnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan karena tertutupnya akses masyarakat dalam pengelolaan hutan di Nagari dan berimbas pada menurunnya kesejahteraan masyarakat; dan (3) lunturnya aksi kolektif dalam perlindungan hutan karena hilangnya kontrol masyarakat terhadap hutan ulayat di kawasan hutan, sehingga perambahan hutan maupun penebangan liar di luar kendali institusi Nagari (Kerapatan Adat Nagari), padahal hutan mempunyai arti penting bagi masyarakat Nagari, baik sebagai penopang keberlanjutan lingkungan, ekonomi, sosial (pengikat kekerabatan) dan budaya (pengikat generasi).

Hasil analisis terhadap model institusi pengelola hutan lestari, menunjukkan pengakuan dan penggabungan institusi lokal dalam perumusan kebijakan hutan sangat penting untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari pada SWP DAS karena institusi lokal mempunyai potensi aksi kolektif yang besar dan memenuhi karakteristik pengelolaan CPR lestari. Oleh karena itu solusi masalah non excludability dan hak kepemilikan (property right) adalah pengelolaan hutan bersama antara pemerintah dan masyarakat lokal (adat). Pengelolaan hutan berkelanjutan oleh institusi pengelola yang melibatkan aksi kolektif lokal yang berhasil, harus memiliki prinsip-prinsip : aturan main pengelolaan berlandaskan norma masyarakat setempat dan mengutamakan fungsi fisik, sosial dan ekonomi hutan bagi masyarakat sekitar; organisasi pengelola berkuasa memberikan penghargaan dan sanksi dan diakui serta dihormati masyarakat; pengaturan bersifat spesifik lokasi; aturan main dibuat secara partisipatif; ada insentif ekonomi bagi pemilik dan pengguna; ada instrument pengendali penggunaan berkelanjutan; resolusi konflik melalui perundingan untuk mencapai kesepakatan.

(6)

3 dan Koto Tangah, dengan rerata nilai WTA Rp 5.620.833,-./ha. Pengguna jasa terdiri dari rumah tangga hulu, pengelola daerah irigasi, PDAM Kota Padang, industri besar di sepanjang DAS, PT Semen Padang, PLTA Rasak Bungo dan PLTA Kuranji, Universitas Andalas atau Pengelola Pelabuhan Muaro Padang.

Nilai pemanfaatan air permukaan SWP DAS Arau bagian hulu mencapai Rp 116.933.531.752,-/tahun. Nilai jasa lingkungan hutan yang dapat diindikasikan dari nilai WTP pengguna air non komersil untuk konservasi dan RHL dan nilai pengadaan air baku untuk penggunaan komersil mencapai Rp 9.390.432,946.- per tahun dan Rp 18.886.363.143,-/tahun. Pengembangan pembayaran jasa lingkungan pada SWP DAS Arau dapat dijadikan sebagai instrumen finansial untuk pembiayaan konservasi dan RHL karena adanya kesediaan membayar pengguna jasa untuk konservasi dan RHL (WTP); sebagai instrument insentif untuk pengelolaan lahan lestari karena adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat dalam mengelola lahan; sebagai implementasi pembagian biaya (cost sharing)

hulu hilir dalam pengelolaan DAS. Adanya pembiayaan pengelolaan DAS dari pengguna jasa DAS yang berasal dari dalam DAS itu sendiri, diharapkan dapat mewujudkan kemandirian pengelolaan DAS. Sedangkan pada lahan milik dalam kawasan lindung, yang tidak diterapkan skema PES, diberikan insentif untuk konservasi dan RHL dari dana APBN, APBD atau sumber lainnya, berupa insentif langsung dan insentif tak langsung dalam bentuk insentif berbasis pemberdayaan masyarakat, sehingga pengelolaan DAS memberikan manfaat bagi masyarakat.

Untuk pengelolaan DAS terpadu, mandiri dan berkelanjutan pada SWP DAS maka model institusi pengelolaan hutan yang paling sesuai dikembangkan saat ini untuk : (a) solusi masalah tumpang tindih property right pada HL; (b) sebagai

ruang untuk pengakuan hak-hak masyarakat adat terhadap hutan ulayat; (c) sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan masyarakat sekitar hutan; dan (d) sebagai instrumen untuk mempertahankan kelestarian hutan adalah model

co-manajemen yang dinamakan Model Pengelolaan Hutan Nagari, yang dirancang dengan memodifikasi aturan formal model Hutan Desa berdasar Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008 dan meng-inkoorporasikannya dengan norma adat dalam pengelolaan hutan sehingga terdapat ruang untuk menguatkan pengelolaan hutan berbasiskan kearifan lokal dan dapat membangun sinergi antara sistem pengelolaan hutan berbasis norma adat dan pengelolaan hutan sesuai aturan Pemerintah sehingga konflik dapat diminimalkan. Bila kapasitas nagari telah membaik, Model pengelolaan hutan dapat bergeser menjadi Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Nagari murni.

Untuk implementasi PES dikembangkan lembaga pengelola PES yang bersifat sukarela dan independen berbentuk lembaga multistakeholders, dinamakan Lembaga Pengelolaan Jasa Alam SWP DAS Arau (Galasalam SWP DAS Arau), dipayungi Pemerintah dengan Perda dan kekuatan moral adat oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Implementasi kedua model pengelolaan tersebut akan mewujudkan model pengelolaan DAS terpadu dan mandiri, sehingga terwujud pengelolaan DAS berkelanjutan.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

UNTUK MEMBANGUN KEMANDIRIAN DALAM

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU

(STUDI KASUS PADA SATUAN WILAYAH PENGELOLAAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI ARAU SUMATERA BARAT)

NURSIDAH

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Didik Suhardjito, MSi Fakultas Kehutanan IPB

Dr. Ir. Dodik Ridho.Nurrahmat, MSc F Trop Fakultas Kehutanan IPB

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Fakultas Kehutanan IPB

Dr. Ir. Harry Santoso

(10)

iii

(Studi Kasus Pada Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Arau Sumatera Barat)

Nama : Nursidah

NIM : E 161080051

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS Ketua Anggota

Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid, MS Anggota Anggota

Diketahui,

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc

(11)

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan

hidayah-Nya maka penelitian dan penulisan disertasi dengan judul "Pengembangan Institusi untuk Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai Terpadu (Studi Kasus Pada Satuan Wilayah

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Arau Sumatera Barat)" ini dapat

diselesaikan. Penelitian ini dilatarbelakangi semakin meningkatnya kerusakan

Daerah Aliran Sungai (DAS). Sementara itu pelaksanaan kegiatan pemulihan

kerusakan DAS terkendala karena terbatasnya kapasitas pendanaan, aspek teknis

maupun kapasitas kelembagaan, sehingga pengelolaan DAS belum mendapat

dukungan dari semua pihak terkait, kemandirian dalam pengelolaan DAS belum

terbangun. Agar DAS tidak semakin rusak, maka perlu diciptakan model

pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Penelitian ini mencoba mengembangkan

model pengelolaan tersebut melalui pengembangan metodologi konsep aksi

kolektif dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama dan hak kepemilikan

dalam kerangka analisis pengembangan institusi sehingga hasilnya bisa

merekomendasikan model kelembagaan yang mendukung pengelolaan DAS

terpadu, mandiri dan berkelanjutan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA; Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho,

MS; Bapak Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc serta Bapak Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid,

MS, selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan

arahan, berbagi ilmu dan pengalaman sehingga menambah wawasan dan

cakrawala kami dalam penyusunan Disertasi ini.

2. Ketua Departemen Manajemen Hutan Fahutan IPB Bapak Dr.Didik

Suhardjito, MSi dan Ketua Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan IPB Bapak Prof.

Dr. Ir. Haryadi Kartodihardjo, MS beserta staf atas dukungannya selama

(12)

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS dan Bapak Dr. Ir. Harry

Santoso selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.

5. Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementrian Kehutanan,

Kepala Pusdiklat Kehutanan dan Kepala Balai Pengelolaan DAS Agam

Kuantan, atas izin mengikuti pendidikan, bantuan biaya pendidikan dan

dukungannya selama penulis mengikuti pendidikan.

6. Staf Balai Pengelolaan DAS Agam Kuantan, Balai Konservasi Sumber Daya

Alam Sumatera Barat dan Dinas Pertanian Peternakan Kehutanan dan

Perkebunan Kota Padang yang telah membantu selama pengumpulan data.

7. Kepada suami, orang tua, kakak-kakak, adik-adik, dan anak-anak tercinta serta

seluruh keluarga, atas segala kesabaran, doa, pengertian, dorongan semangat

dan kasih sayangnya.

8. Teman-teman seperjuangan pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan IPB,

khususnya IPH 2008 dan 2009 serta semua pihak yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu namanya.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan tersebut dan apa yang

penulis peroleh mendapat ridho dari Allah SWT dan karya ilmiah ini menjadi

ilmu yang baik dan bermanfaat bagi pengelolaan DAS yang berkelanjutan.

Bogor, Januari 2012

(13)

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 10 Juli 1970 sebagai anak ke delapan dari pasangan H. Moeslim RMM (Alm) dan Hj. Anizar Ghafar (Alm). Setelah menamatkan pendidikan pada SMA Negeri 1 Padang tahun 1989, penulis melanjutkan pendidikan sarjana pada Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Studi Konservasi Sumberdaya Lahan Universitas Syiah Kuala dan memperoleh gelar Magister Pertanian (MP) pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2008, melalui beasiswa pendidikan pascasarjana dari Pusdiklat Kehutanan Kementerian Kehutanan.

Penulis bekerja sebagai PNS pada Kementerian Kehutanan di Jakarta sejak tahun 1994. Pada tahun 2002 hingga saat ini bertugas pada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Agam Kuantan Sumatera Barat di Padang.

Artikel berjudul Pengembangan Institusi untuk Membangun Aksi Kolektif Lokal dalam Pengelolaan Hutan (Studi Kasus pada Kawasan Lindung SWP DAS Arau Sumatera Barat) telah diterbitkan pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika (Departemen Manajemem Hutan IPB) Volume XVII tahun 2011; dan artikel yang berjudul Optimasi Penggunaan Lahan dan Kinerja DAS pada SWP DAS Arau Kota Padang, akan diterbitkan pada Jurnal Forum Pascasarjana IPB, Volume 35 Nomor 1, Januari 2012. Dua artikel lainnya sedang dalam penyuntingan naskah, yaitu berjudul : Pengembangan Imbal Jasa Lingkungan DAS untuk Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan DAS, akan diterbitkan pada Jurnal Bumi Lestari (Universitas Udayana) tahun 2012; dan Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Air pada SWP DAS Arau Sumatera Barat, akan diterbitkan pada Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam (Balitbang Hutan dan Konservasi Alam) tahun 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi ini.

(14)

i

Halaman

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah... 2

Kerangka Pemikiran... 5

Tujuan Penelitian... 10

Manfaat Penelitian... 11

Novelty... 11

TINJAUAN PUSTAKA... 13

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)... 13

Penggunaan Lahan dan Peran Vegetasi dalam DAS…………...… 19

Neraca Air DAS... 21

Konsep Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan DAS………... 24

Konsep Insentif Ekonomi dalam Pengelolaan DAS... 26

Konsep Pembayaran Java Lingkungan………... 31

Perkembangan Pembayaran Jasa Lingkungan DAS di Indonesia, Hasil Penelitian dan Contoh-contoh Penerapan PES……….. 37 Konsep Kelembagaan Dalam PES dan Pengelolaan DAS/Hutan 43 Institusi Pengelolaan Sumberdaya Milik Bersama yang Lestari.… 54 METODOLOGI ……….……….. 59

Tempat dan Waktu Penelitian ..……….. 59

Pengumpulan Data ……… 59

Metode Penelitian……….. 61

GAMBARAN UMUM SWPAS ARAU…... 75

Kondisi Biofisik SWP DAS Arau…... 75

(15)

ii Neraca Air SWP DAS Arau……

Penggunaan Lahan pada SWP DAS Arau... 104

IDENTIFIKASI ARENA AKSI, ATRIBUT KOMUNITAS DAN RULES IN USE UNTUK PENGEMBANGAN INSTITUSI... 125

Aturan Formal Versus Aturan Adat Dalam Pengelolaan Hutan…. 187 Revitalisasi Norma-norma Adat dalam Pengelolaan Hutan…….. 217

PENGEMBANGAN INSENTIF UNTUK KONSERVASI DAN RHL DARI DANA PES PADA SWP DAS ARAU………. 225 MODEL PENGELOLAAN DAS TERPADU DAN MANDIRI PADA SWP DAS ARAU………. 309 Eksternalitas, Hak Kepemilikan (Property Right) dan Pengelolaan Sumberdaya Milik Bersama (Common Pool Resources... 310 Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan SWP DAS Arau 320 Pengembangan Institusi Untuk Implementasi PES... 339

(16)
(17)

iii

Halaman

1 Karakteristik yang dapat meningkatkan atau menghambat

kemungkinan bekerjanya insentif...

30

2 Prinsip desain pada kelembagaan CPR yang lestari……..…… 56

3 Pengaturan ulang prinsip desain Ostrom untuk CPR kehutanan………... 57 4 Variabel/pola, pengumpulan data dan sumber data…...……… 60

5 Standar kebutuhan air untuk rumah tangga…... 64

6 Besarnya kebutuhan air untuk sarana perkotaan…………...…. 65

7 Standar kebutuhan air pertanian……... 65

8 Standar kebutuhan air industri…... 66

9 Wilayah administrasi dan luas wilayah SWP DAS Arau... 75

10 Pembagian kelerengan pada SWP DAS Arau…... 78

11 Data iklim pada SWP DAS Arau…... 78

12 Jenis tanah pada SWP DAS Arau…... 79

13 Data kependudukan pada SWP DAS Arau... 81

14 Mata pencaharian penduduk pada SWP DAS Arau………….. 81

15 Sarana perekonomian pada SWP DAS Arau………... 82

16 Prasarana jalan pada SWP DAS Arau……... 82

17 Rerata curah hujan bulanan pada SWP DAS Arau………….... 83

18 Ketersediaan air pada SWP DAS Arau berdasarkan

penghitungan debit rata-rata dan debit andalan……….

86

19 Ketersediaan air tahun 1990 – 2009 dan ketersediaan air bulanan pada SWP DAS Arau………..……….

88

20 Penghitungan kebutuhan air rumah tangga SWP DAS Arau… 89

21 Perkiraan kebutuhan air perkotaan Kota Padang dan SWP

DAS Arau Tahun 2009, 2018 dan 2028...

91

22 Perkiraan kebutuhan air pertanian Kota Padang dan

SWP DAS Arau Tahun 2009, 2018 dan 2028…………...

(18)

iv

24 Kebutuhan air SWP DAS Arau dan Kota Padang………. 98

25 Keseimbangan air SWP DAS Arau dan Kota Padang……….. 99

26 Neraca air bulanan SWP DAS Arau berdasarkan

penghitungan debit andalan………….………..…...

99

27 Penggunaan lahan Kota Padang tahun 2009…………... 104

28 Pembagian fungsi kawasan pada SWP DAS Arau……… 106

29 Tutupan lahan pada SWP DAS Arau tahun 2009……….. 106

30 Tutupan lahan SWP DAS Arau tahun 1990, 2000 dan 2009…. 108

31 Perubahan tutupan lahan kawasan hutan SWP DAS Arau…… 111 32 Debit maksimum, debit minimum, debit rerata dan debit

andalan SWP DAS Arau Tahun 1990 –2009....………

113

33 Nilai fluktuasi debit (KRS) SWP DAS Arau periode

1990-2009………..

116

34 Hasil proyeksi perubahan tutupan lahan terhadap nilai KRS… 120

35 Kebutuhan biaya konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau... 124

36 Lokasi untuk kajian aspek kelembagaan………... 126

37 Pemenuhan prinsip desain pada kedua model pengelolaan

hutan………...

211

38 Perbandingan modifikasi prinsip desain Ostrom oleh

Gautam-Shivakoti dan prinsip pengelolaan CPR berdasar norma adat

pada lokasi kajian………...

215

39 Nama sungai, luas DTA dan debit pada DAS Batang Arau….. 229

40 Nama sungai, luas DTA dan debit pada DAS Batang Kuranji.. 233

41 Nama sungai, luas DTA dan debit DAS Batang Air Dingin... 237

42 Hasil identifikasi karakter jasa lingkungan SWP DAS Arau.... 241

43 Sebaran pekerjaan responden SWP DAS Arau bagian hulu….. 248 44 Sebaran pemilikan lahan responden SWP DAS Arau hulu…... 249 45 Sebaran luas lahan responden yang digunakan untuk kegiatan

kehutanan pada SWP DAS Arau hulu………...

250

46 Sebaran pola usaha tani responden pada SWP DAS Arau hulu 251

(19)

v

49 Hasil identifikasi potensi penyedia jasling SWP DAS Arau…. 254

50 Penghitungan penggunaan air rumah tangga responden pada

daerah hulu SWP DAS Arau. ………...

256

51 Kebutuhan air irigasi pada SWP DAS Arau…………..……… 257

52 Instalasi pengolahan air PDAM dari sumber air permukaan.… 258

53 Proyeksi kebutuhan air bersih Kota Padang Tahun 2009–2028 259

54 Industri di sepanjang DAS pada SWP DAS Arau tahun 2009.. 261

55 Hasil identifikasi pengguna jasa lingkungan pada setiap DAS 271

56 Nilai ekonomi air untuk rumah tangga hulu SWP DAS Arau... 272

57 Nilai WTP untuk kegiatan konservasi dan RHL pengguna air

rumah tangga hulu pada SWP DAS Arau………..………

274

58 Nilai ekonomi pemanfaatan air untuk sawah SWP DAS Arau. 277

59 Nilai WTP untuk kegiatan konservasi dan RHL pengguna air

Petani irigasi pada SWP DAS Arau………...…………

278

60 Kategori, jumlah dan pemakaian air pelanggan serta nilai

penjualan PDAM Kota Padang Tahun 2009..………....

281

61 Nilai air PDAM dengan pendekatan biaya pengadaan air……. 283

62 Nilai ekonomi air untuk penggunaan PLTA Batu Busuk dan

Rasak Bungo pada SWP DAS Arau………..…...

285

63 Nilai ekonomi air untuk penggunaan komersil pada hulu SWP

DAS Arau……….…...

286

64 Nilai ekonomi total air permukaan pada hulu SWP DAS Arau 286

65 Karakteristik yang dapat meningkatkan atau menghambat

kemungkinan bekerjanya insentif untuk kegiatan konservasi

dan RHL pada SWP DAS Arau……….

307

66 Evolusi property right kawasan hutan pada SWP DAS Arau... 314

67 Alternatif solusi masalah property right pada hutan lindung

SWP DAS Arau……….

316

(20)

vi

Halaman

1 Kerangka pemikiran analisis pengembangan institusi untuk

membangun kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu…...

8

2 Penurunan data debit berdasarkan data hujan SWP DAS Arau.. 63

3 Diagram alir penelitian pengembangan institusi untuk membangun kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu…... 74 4 Peta wilayah penelitian SWP DAS Arau Sumatera Barat……... 76

5 Sebaran ketersediaan air berdasar DAS pada SWP DAS Arau.. 87

6 Sebaran kebutuhan air pada SWP DAS Arau berdasarkan sektor dan DAS………... 97 7 Kecenderungan peningkatan debit maksimum SWP DAS Arau 114 8 Arena aksi kehutanan pada SWP DAS Arau……….. 126

9 Wilayah inti Minangkabau dan wilayah pengembangannya…... 149

10 Bagan susunan masyarakat adat Minangkabau………... 154

11 Pembagian wilayah sebuah Koto……… 156

12 Tahapan pengembangan skema PES (modifikasi CIFOR 2007) 226 13 Peta kkema aliran pada DAS Batang Arau... 230

14 Skema aliran DAS Batang Arau…………... 231

15 Peta skema aliran pada DAS Batang Kuranji…………... 234

16 Skema aliran DAS Batang Kuranji…………... 235

17 Peta skema aliran pada DAS Batang Air Dingin…………... 237

18 Skema aliran DAS Batang Air Dingin…………... 238

19 Alternatif pemilihan insentif berdasarkan kondisi pendapatan masyarakat dan control pemerintah pada SWP DAS Arau….… 306 20 Diagram alir pengusulan hak pengelolaan hutan nagari………. 338

21 Proses kelembagaan ideal dalam PES pada SWP DAS Arau

(modifisikasi dari Nugroho 2010)………...

356

22 Model pengelolaan DAS terpadu dan mandiri SWP DAS Arau. 365

23 Model pengembangan institusi untuk membangun kemandirian

dalam pengelolaan DAS Terpadu dan berkelanjutan………...

(21)
(22)

vii

Halaman

1 Peta daerah pengaruh hujan dengan metode Poligon Thiessen

pada SWP DAS Arau………...……...

384

2 Hasil penghitungan (a) luas sebaran pengaruh wilayah setiap

stasiun pengukur hujan dan curah hujan rata-rata tahun

1990-2009 pada DAS Batang Arau (b), pada DAS Batang Kuranji

(c), dan pada DAS Batang Air Dingin (d)…………..…...

385

3 Hubungan debit (Q) dan hujan (p) pada setiap DAS (a), (e), (i);

perbandingan hidrograf debit hasil pengukuran dan debit hasil

perhitungan pada setiap DAS (b), (f) (j); hasil penghitungan

debit dengan model regressi linear sederhana (c) (g) (k) ; dan

hidrograf debit hasil perhitungan selama 20 tahun pada setiap

DAS (d) (h) (l).……….…………..

387

4 Perhitungan kebutuhan air pada SWP DAS Arau untuk ke

empat sektor………...……….

396

5 Hasil analisis regressi linear antara debit maksimum (Qmaks)

dan debit minimum (Qmin) terhadap perubahan tutupan lahan

pada SWP DAS Arau……..………

401

6 Hasil analisis proyeksi model hubungan antara nilai kofisien

regim sungai (KRS) terhadap perubahan tutupan lahan pada

SWP DAS Arau menggunakan program Stella 9.0.2…..………

402

7 Tabulasi data responden pemilik lahan kawasan lindung di luar

kawasan hutan pada hulu SWP DAS Arau…...………..

413

8 Tabulasi data responden pengguna air rumah tangga pada hulu

SWP DAS Arau………..………...…..

416

9 Tabulasi data responden pengguna air petani irigasi pada SWP

DAS Arau………..……..

419

10 Peta – peta tematik yang digunakan dalam Penelitian….……... 421

(23)

Latar Belakang

Meningkatnya kebutuhan dan intervensi manusia dalam pemanfaatan

sumber daya dalam daerah aliran sungai (DAS)1 membuat makin banyak DAS

yang rusak. Meskipun kegiatan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan DAS

telah dilakukan sejak tahun 1970-an, namun kerusakan DAS tetap meningkat.

Tahun 1984 jumlah DAS yang rusak tercatat 22 DAS, pada tahun 1992 meningkat

menjadi 39 DAS, tahun 1998 menjadi 59 DAS, dan tahun 2006 sekitar 458 DAS

perlu direhabilitasi (Fulazzaky et al. 2009). Pada tahun 2009, Menteri Kehutanan menetapkan 108 satuan wilayah pengelolaan (SWP) DAS2 sebagai DAS Prioritas

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014.

Indikator kritisnya suatu DAS antara lain ditunjukkan oleh penurunan

tutupan vegetasi permanen, terutama hutan dan meningkatnya lahan kritis,

sehingga menurunkan kemampuan DAS menyimpan air, mengganggu siklus

hidrologinya, berdampak pada peningkatan frekuensi banjir, erosi dan tanah

longsor pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau (Brooks et al. 1989). Tingkat kekritisan DAS juga berkaitan dengan kondisi ekonomi, sosial

budaya masyarakat setempat. Kemampuan ekonomi yang marjinal, kesadaran

berkonservasi yang rendah, dan kondisi institusi pengelola yang lemah dan tidak

adanya kepastian hak sering memicu terjadinya perambahan hutan di hulu DAS.

Perubahan penggunaan lahan di kawasan hulu maupun eksploitasi hutan yang

tidak mempertimbangkan lingkungan dapat merusak seluruh ekosistem DAS.

Misalnya hasil air sebagai jasa lingkungan DAS, yang merupakan jasa hutan

akan berkurang pasokannya (Basri 1999; Nursidah 2002; Husnan 2010), padahal

1

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU Nomor 7 Tahun 2004).

2

(24)

konsumsi air terus meningkat. Akibatnya air menjadi terbatas dan diperebutkan,

berpotensi menimbulkan konflik ekonomi dan sosial karena benturan kepentingan

antar pengguna air (Ramdan 2006).

Sementara itu pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pemulihan kerusakan

hutan yang berfungsi sebagai perlindungan tata air DAS secara keseluruhan, baik

pada kawasan hutan konservasi (HK), hutan lindung (HL) dan hutan rakyat (HR)

belum memadai karena terbatasnya kapasitas pendanaan, sumberdaya manusia,

teknis, dan kapasitas kelembagaan, sehingga kerusakan hutan terus meningkat.

Ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS belum mendapat dukungan semua

pihak terkait, belum terpadu dan belum berkelanjutan. Kemandirian pengelolaan

DAS belum terbangun sehingga performa pengelolaan DAS masih belum baik.

Perumusan Masalah

Salah satu SWP DAS Prioritas di Sumatera Barat yang sangat strategis

karena terletak di Kota Padang sebagai ibu kota propinsi adalah SWP DAS Arau,

yang terdiri atas DAS Batang Arau, DAS Batang Kuranji dan DAS Batang Air

Dingin (BPDAS 2009). Sepanjang tahun 2008 sampai dengan 2009, tiga DAS

tersebut menunjukkan nilai koefisien limpasan dan koefisien regim sungai (KRS)

tergolong tinggi, yang menunjukkan kondisi yang buruk, sehingga ke tiga DAS

tersebut termasuk DAS Super Prioritas (DPSDA 2010). Hal ini menunjukkan

bahwa kinerja pengelolaan SWP DAS Arau masih buruk.

Pengelolaan DAS melibatkan banyak pihak, sehingga permasalahannya

seringkali sangat kompleks. Permasalahan krusial aspek fisik pada SWP DAS

Arau adalah perubahan proses hidrologi karena perubahan penggunaan lahan

kawasan lindung (KL) menjadi perladangan, kebun, budidaya pertanian, areal

pertambangan dan pemukiman. Sejak tahun 2004 muncul kekhawatiran

masyarakat akan terjadinya bencana tsunami di Kota Padang, yang menyebabkan

munculnya kecenderungan pembangunan pindah ke daerah yang lebih tinggi,

yaitu wilayah tengah hingga hulu SWP DAS Arau. Akibatnya wilayah tersebut

mendapat tekanan yang semakin besar. Dampak degradasi hutan dan

meningkatnya lahan kritis terlihat jelas ketika terjadi hujan di atas normal pada

(25)

sedimen, yang kemudian diendapkan di muara sungai. Selain itu, setiap tahun

banjir melanda Kota Padang, dengan wilayah rawan banjir seluas 3.500 ha dan

50% berada pada kawasan pemukiman (Bapedalda 2009).

Agar kinerja SWP DAS Arau bisa membaik, maka pada lahan kritis dan

terdegradasi pada kawasan resapan air DAS hulu harus direhabilitasi, sedangkan

yang masih baik tutupan vegetasi permanennya harus dilindungi dan dikonservasi.

Namun pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) pada SWP

DAS Arau terkendala oleh terbatasnya dana untuk kegiatan konservasi dan RHL,

sehingga pelaksanaan kegiatan di lapangan belum sesuai dengan kebutuhan,

kare-na kebutuhan dakare-na untuk konserevasi dan RHL lebih besar dari dakare-na yang

terse-dia. Berdasarkan data Dinas Pertanian Peternakan Kehutanan dan Perkebunan

(Distannakhutbun) Kota Padang dalam kawasan hutan terdapat lahan kritis seluas

4.000 hektar, namun kemampuan untuk melakukan reboisasi sejak tahun 2000

sampai dengan tahun 2009 hanya sekitar 500 hektar (sekitar 12,5%), yang

ber-sumber dari dana Pemerintah Pusat (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) dan Dana Alokasi Khusus-Dana Reboisasi (DAK-DR)). Selama ini,

pendanaan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau sebagian besar bersumber

atau tergantung dari Pemerintah Pusat. Oleh karena itu jaminan keberlanjutan

konservasi dan RHL sangat tergantung pada dana dari luar SWP DAS Arau,

se-hingga belum tercipta kemandirian pengelolaan. Kegiatan konservasi dan RHL

memerlukan dana yang besar dan berkelanjutan, sedangkan dana pemerintah

sa-ngat terbatas, sehingga keberlanjutan pendanaan konservasi dan RHL sesuai

kebu-tuhan belum terjamin. Oleh karena itu, perlu digali pendanaan konservasi dan

RHL dari berbagai pihak dalam DAS itu sendiri (internal balance budget). Salah satunya melalui dana pengguna jasa lingkungan DAS, dalam disertasi ini, dibatasi

pada pengguna jasa lingkungan air, yang merupakan jasa hidrologis hutan.

Selama ini, ekosistem DAS sebagai penyedia jasa lingkungan, khususnya

pelayanan hutan sebagai pengatur tata air belum dihargai sebagaimana mestinya,

bahkan oleh para pengguna air komersil (seperti perusahaan air minum,

pem-bangkit listrik tenaga air (PLTA), industri, pertanian). Air dinilai sangat rendah

karena dianggap sebagai barang publik dengan akses terbuka dan sifat

(26)

diperhitungkan sebagai bagian biaya produksi pada usaha komersial yang

menggunakan air dalam proses produksinya (Ramdan 2006). Padahal Pasal 80

UU Nomor 7 Tahun 2004, menyatakan bahwa pengguna sumberdaya air selain

untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat harus

menanggung biaya jasa pengelolaan sumberdaya air, yang didasarkan pada

perhitungan ekonomi rasional yang dapat dipertanggung-jawabkan (KLH 2007).

Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala biaya konservasi dan RHL, prinsip “pengguna membayar penyedia” perlu diterapkan dalam pembiayaan pengelolaan DAS. Dengan demikian pembiayaan konservasi dan RHL, tidak perlu menunggu “uluran tangan” dari luar DAS, sehingga dapat tercipta kemandirian dalam pem-biayaan pengelolaan DAS. Kemandirian pempem-biayaan pengelolaan DAS

merupa-kan prasyarat untuk mewujudmerupa-kan pengelolaan DAS yang berkelanjutan.

Pem-biayaan pengelolaan DAS yang bergantung pada dana dari luar sistem DAS akan

cenderung : (a) Tidak menjamin keberlanjutan program-program yang dibutuhkan

dalam pengelolaan DAS; dan (b) Terikat kepentingan donor, yang mungkin tidak

sesuai atau bahkan bertentangan dengan kepentingan para pihak dalam DAS.

Dengan makin seringnya terjadi banjir, longsor, erosi, sedimentasi dan

makin langkanya sumberdaya air pada saat kemarau, semestinya makin

menyadarkan para pengguna air tentang pentingnya kelestarian hutan sebagai

dae-rah tangkapan air (DTA). Oleh karena itu, sudah selayaknya para pengguna air

ikut berkontribusi dalam konservasi dan RHL di hulu DAS sebagai implementasi

pembagian pendanaan (cost sharing) hulu hilir atau dari penyedia kepada penggu-na jasa dalam pengelolaan DAS terpadu dan mandiri. Untuk merealisasikan imbal

jasa lingkungan (Payment for Environmental Service, PES) tersebut perlu digali potensi pengembangan PES pada SWP DAS Arau, sebagai salah satu bentuk

in-sentif untuk mendorong kegiatan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau.

Permasalahan kelembagaan difokuskan pada masalah kelembagaan

penge-lolaan hutan yang belum efisien dan efektif karena adanya masalah hak

kepemi-likan (property right), sistem nilai dan aturan main yang digunakan dalam pengelolaan hutan di hulu DAS. Bagian hulu SWP DAS Arau, secara hukum

(27)

hutan ulayat nagari (de facto). Hal ini memicu timbulnya konflik, dan berdampak langsung kepada eksistensi pengelolaan hutan. Menurut Distannakhutbun Kota

Padang (2010), luas kerusakan hutan Kota Padang selama tahun 2009 adalah 514

hektar yang disebabkan oleh kebakaran hutan 12 hektar, perladangan berpindah

122 hektar, penebangan liar 30 hektar dan perambahan hutan 350 hektar. Tidak

adanya pengakuan Pemerintah terhadap hutan ulayat yang berada dalam kawasan

hutan negara diyakini sebagai salah satu penyebab perambahan hutan di hulu

SWP DAS Arau dan kemiskinan masyarakat sekitar kawasan hutan.

Dengan berbagai potensi dan permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan “Bagaimanakah model pengelolaan DAS pada SWP DAS Arau sehingga dapat dibangun kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu?”. Karena permasalahan pengelolaan DAS yang kompleks, maka seringkali pendekatan pemecahan

masalah secara sektoral tidak cukup, bahkan sering mengalami kegagalan,

sehingga diperlukan pendekatan multi dimensi secara terintegrasi, yang

memperhatikan berbagai aspek penting yang terkait dengan pengelolaan DAS

yang berkelanjutan, sehingga pada akhirnya bisa diwujudkan pengelolaan DAS

yang terpadu dan mandiri. Untuk membangun model pengelolaan DAS terpadu

dan mandiri dalam penelitian ini digunakan pendekatan fisik, ekonomi dan

ke-lembagaan yang dirangkum dalam kerangka utama pengembangan keke-lembagaan.

Kerangka Pemikiran

Pengelolaan DAS merupakan upaya mengendalikan hubungan timbal balik

antara sumber daya alam (SDA) dalam suatu DAS dengan manusia beserta segala

bentuk aktifitasnya, untuk membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta

meningkatkan manfaat SDA (Asdak 1995). Menjaga kelestarian SDA dalam

suatu DAS berarti juga menjaga kesinambungan aliran sungai pada suatu DAS

dari hulu sampai hilir dalam kuantitas dan kualitas optimal sepanjang tahun, serta

keberadaan hutan di daerah hulu DAS yang menjadi DTA suatu DAS.

Agar pengelolaan DAS berdaya guna dan berhasil guna, dalam arti kata,

DAS tetap lestari dan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat, maka

diperlukan suatu model pengelolaan DAS yang memperhatikan berbagai aspek

(28)

yang selama ini hanya dipandang sebagai aspek pendukung dan sering diabaikan,

namun kemudian disadari sebagai hal yang menentukan keberhasilan pengelolaan

suatu kegiatan, termasuk dalam pengelolaan DAS adalah aspek kelembagaan.

Dari sisi kajian kelembagaan, suatu kebijakan berupa ketentuan dan

prosedur dalam pengelolaan SDA secara ideal harus beranjak dan dibangun dari

situasi dan hubungan keterkaitan yang sudah ada dan berkembang di masyarakat,

karena hubungan keterkaitan (interdependencies) antara masyarakat dengan SDA yang dikelolanya, akan menentukan performa (performance) pengelolaan SDA tersebut (Ostrom 2008). Dalam perspektif inilah bentuk dan peranan

kelembagaan diperlukan, sehingga pendekatan kelembagaan menjadi begitu

penting dalam kerangka mendukung suatu alternatif pemecahan berbagai

permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga kinerja dan keberhasilan suatu

ke-giatan dapat diperkirakan (North 1990; Kasper dan Streit 1998).

Ostrom (2008) menyatakan performa pengelolaan SDA milik bersama

(common pool resources, CPR) tidak hanya ditentukan oleh tersedianya kebijakan yang mengatur bagaimana SDA tersebut harus dikelola dan prosedur administrasi

yang harus dilalui (rules in use), tetapi juga ditentukan oleh kondisi fisik material dan atribut komunitas yang dikelompokkan sebagai faktor eksogen, yang

mem-pengaruhi arena aksi (situasi aksi dan aktor) dalam pengelolaan SDA tersebut.

Berangkat dari pemikiran di atas maka dapat ditarik hipotesa bahwa

kesiapan regulasi atau prosedur teknis dalam pengelolaan DAS tidak dapat

menjamin kinerja yang baik, jika kelembagaan yang diterapkan tidak sesuai

dengan situasi yang ada (command and control approach). Atau performa penge-lolaan DAS (sebagai CPR) yang baik tidak dapat diwujudkan hanya oleh karena

tersedianya kebijakan yang mengatur bagaimana DAS harus dikelola dan

prosedur administrasi yang harus dilalui (rules in use), tapi juga dipengaruhi oleh faktor eksogen lainnya, yaitu faktor fisik/material dan atribut komunitas (termasuk

ilmu (science), teknologi, pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience) dan pemahaman pengguna SDA dalam DAS tersebut), yang akan menentukan

perila-ku para pengguna SDA dalam DAS tersebut untuk bersikap, yang diwujudkan

da-lam bentuk tindakan pengelolaan oleh pengguna SDA dada-lam DAS terhadap SDA,

(29)

Oleh karena itu untuk mewujudkan performa pengelolaan DAS yang baik,

harus dikembangkan kelembagaan yang tepat, melalui pengelolaan faktor-faktor

yang mempengaruhi perilaku (yang diwujudkan dalam bentuk tindakan) para

ak-tor dalam pengelolaan DAS sehingga fakak-tor-fakak-tor yang mempengaruhi perilaku

aktor dalam pengelolaan DAS memenuhi kriteria pengelolaan DAS yang

berke-lanjutan. Menurut Guy Peters (2000) tindakan manusia ditentukan oleh motif

ra-sional (ekonomi) dan normatif (non ekonomi). Penganut paham rara-sional

(empi-ris) menyatakan perubahan (pengembangan) kelembagaan atau institusi dapat

di-lakukan dengan mengubah insentif, dan perilaku individu akan segera berubah.

Jika individu dapat diharapkan merespon insentif dan kendala dalam cara yang

dapat diprediksi maka desainnya jadi lebih sederhana.

Kegiatan pengelolaan DAS pada SWP DAS Arau tentunya tidak terlepas

dari fenomena di atas. Penerapan kelembagaan dan insentif yang tepat dalam

pengelolaan SWP DAS Arau akan menentukan performa pengelolaan SWP DAS

Arau. Oleh karena itu, pengembangan institusi dalam penelitian ini dilakukan

dengan pendekatan pengelolaan berbasis insentif untuk mempengaruhi perilaku

para aktor, dengan mengembangkan insentif, khususnya insentif untuk konservasi

dan RHL. Kelembagaan dan insentif seperti apa yang harus diterapkan dalam

pengelolaan SWP DAS Arau sehingga dapat mewujudkan model pengelolaan

SWP DAS Arau yang terpadu dan mandiri ? Pertanyaan ini akan dijawab dengan

Analisis Pengembangan Institusi (Institution Analysis Development, IAD), yang dikembangkan oleh Ostrom (2008) melalui penelusuran faktor eksogen (kondisi

fisik/material, atribut komunitas dan aturan main yang berlaku (rules in use)), yang mempengaruhi situasi aksi dan aktor pada SWP DAS Arau, seperti disajikan

pada Gambar 1. Karena kompleksnya permasalahan dalam suatu DAS, maka

da-lam penelitian ini, analisis pengembangan institusi akan difokuskan pada masalah

faktor eksogen yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan SWP

DAS Arau, khususnya dalam kawasan lindung di daerah hulu DAS terhadap

kon-disi hidrologis DAS, pengembangan insentif untuk konservasi dan RHL dan

pe-ningkatan pendapatan masyarakat dari pembayaran jasa lingkungan DAS dan

lembaga pengelolanya, agar menghasilkan performa pengelolaan DAS yang baik

(30)

Identifikasi faktor eksogen, pada aspek fisik, difokuskan pada penggunaan

lahan dan neraca air serta insentif untuk melaksanakan konservasi dan RHL.

Keberadaan hutan di hulu DAS adalah bagian terpenting karena mempunyai

fungsi perlindungan tata air terhadap keseluruhan ekosistem DAS (Asdak 1995).

Agar kinerja DAS dalam mengatur ketersediaan air baik, maka perlu diatur

kebe-radaan hutan yang menjadi DTA nya. Untuk itu dilakukan analisis penggunaan

lahan dan neraca air optimal sehingga dapat diketahui berapa tutupan lahan

hutan yang harus dipertahankan dan distribusinya pada SWP DAS Arau.

Informasi ini akan dipakai sebagai acuan tindakan pengelolaan SWP DAS Arau,

(31)

Darusman dan Widada (2004) menyebutkan bahwa terdapat lima prinsip

yang menegaskan sinergisitas antara kegiatan konservasi dengan pembangunan

ekonomi, diantaranya prinsip kedua menyatakan, ekonomi merupakan landasan

pembangunan konservasi yang berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi

masyarakat secara berkelanjutan, dapat dipastikan program konservasi akan

terhenti karena masyarakat tidak peduli. Oleh karena itu untuk mendorong

ma-syarakat melakukan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau maka harus ada

insentif ekonomi bagi masyarakat. Untuk itu dilakukan analisis pengembangan

potensi PES, khususnya potensi jasa lingkungan air pada SWP DAS Arau, sebagai

salah satu insentif untuk mendorong kegiatan konservasi dan RHL. Selama ini,

air dianggap sebagai barang publik, penggunaannya tidak bisa dikecualikan dan

tanpa persaingan untuk mendapatkannya, dinilai sangat rendah sehingga

menimbulkan ekternalitas. Menurut Hartwick dan Olliver (1998), eksternalitas

publik terjadi manakala barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat.

Untuk menekan eksternalitas tersebut perlu valuasi nilai air dan hutan sebagai

DTA nya. Penentuan harga yang “tepat” akan memberikan sinyal kepada pengguna air mengenai nilai air dan hutan, serta dapat menjadi alternatif untuk

pemanfaatan air dan lahan yang lebih bijaksana. Penggalian potensi berbagai

sumber dana melalui imbal jasa lingkungan dilakukan melalui identifikasi

keter-sediaan jasa, penyedia jasa, pengguna jasa dan menghitung nilai jasa tersebut.

Pada lokasi yang tidak memungkinkan dilakukan skema PES, digali potensi

pengembangan instrumen insentif non PES untuk mengarahkan pengguna lahan

melakukan konservasi dan RHL. Hasil analisis potensi PES akan digunakan

sebagai acuan untuk alokasi dan distribusi biaya dan manfaat sehingga imbalan

(reward) yang diterima para pihak sesuai dengan korbanan masing-masing. Untuk mengembangkan institusi pengelolaan DAS yang efisien dalam arti

tercapai biaya transaksi yang minimal, maka dilakukan analisis terhadap atribut

komunitas, norma-norma adat dalam pengelolaan hutan dan lahan serta aturan

pengelolaan DAS yang diterapkan (rules in use), sehingga dapat dikembangkan intitusi pengelolaan DAS yang partisipatif, berbasis masyarakat dan nilai-nilai

(32)

Dari hasil identifikasi dan analisis variabel-variabel eksogen yang

mempe-ngaruhi perilaku aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau, dan dengan mengacu

pada kriteria institusi pengelolaan DAS yang efisien, maka dibangun model

pe-ngelolaan SWP DAS Arau yang terpadu, mandiri dan berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan model institusi

penge-lolaan SWP DAS Arau yang terpadu dan mandiri melalui pengembangan insentif

dari dana PES dan Non PES untuk kegiatan konservasi dan RHL dengan

mengidentifikasi faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi perilaku para aktor

dalam pengelolaan SWP DAS Arau. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka

dijabarkan dalam tujuan-tujuan khusus, yaitu :

1. Mengidentifikasi aspek fisik (penggunaan lahan dan neraca air) pada faktor

eksternal yang mempengaruhi perilaku aktor dalam pengelolaan SWP DAS

Arau. Informasi ini akan dijadikan acuan untuk menyusun model pengelolaan

DAS dalam pelaksanaan kegiatan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau.

2. Mengidentifikasi aspek kelembagaan atribut komunitas dan aturan / kebijakan

/ norma adat (rules in use) dalam pengelolaan hutan yang mempengaruhi peri-laku aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau. Informasi ini akan digunakan

untuk menyusun model kelembagaan pengelolaan hutan dan pengembangan

insentif untuk konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau

3. Mengidentifikasi aspek material/ekonomi (potensi pengembangan insentif

PES dan Non PES pada SWP DAS Arau) yang mempengaruhi perilaku aktor

dalam pengelolaan SWP DAS Arau. Informasi ini akan digunakan untuk

me-nyusun model insentif dalam mendorong perilaku aktor untuk melaksanakan

(33)

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Pada aspek ilmu pengetahuan, akan berkontribusi pada pengayaan dan

pengembangan metodologi untuk menyusun model pengelolaan DAS terpadu

dan mandiri dengan pendekatan pengelolaan berbasis insentif melalui analisis

pengembangan institusi dalam pengelolaan DAS dan pengkayaan konsep hak

kepemilikan (property right) dan aksi kolektif dalam pengelolaan sumberdaya alam milik bersama (common pool resources).

2. Pada aspek praktis pengelolaan hutan dan DAS, akan berguna untuk :

(a) mendapatkan pola penggunaan lahan optimal sebagai acuan kegiatan

konservasi/RHL dan implementasi PES SWP DAS Arau; (b) mendapatkan

nilai jasa hidrologis hutan agar dapat dijadikan pertimbangan dalam kebijakan

pengelolaan hutan secara lebih lestari serta dapat menyadarkan masyarakat

(para pengguna air) akan pentingnya hutan, sehingga perusakan hutan dapat

dihindarkan; (c) mendapatkan model pengelolaan hutan berbasis masyarakat

lokal dan restrukturisasi kearifan lokal dalam pengelolaan hutan;

(d) mendapatkan bentuk insentif konservasi dan RHL; (e) mendapatkan

model implementasi cost sharing hulu hilir atau dari penyedia dan pengguna jasa untuk mendukung pengelolaan DAS terpadu, mandiri dan berkelanjutan.

Novelty

Pengelolaan DAS sering mengalami kegagalan karena program-program

pengelolaan yang dilakukan seringkali hanya bertumpu pada aspek teknis semata

dengan regulasi dan prosedur administrasinya (command and control approach), sehingga penelitian ini mencoba melakukan pendekatan berbasis insentif ekonomi

(economic incentive approach) dan memadukannya dengan pendekatan normatif melalui penggalian nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan SDA. Penelitian

ini mencoba menyusun model pengelolaan DAS yang terpadu dan mandiri

meng-gunakan analisis pengembangan institusi dalam pengelolaan DAS, dengan

mema-dukan variabel fisik (lingkungan), ekonomi dan kelembagaan (yang difokuskan

(34)

ngan aksi kolektif) melalui penggalian faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi

perilaku para aktor dalam suatu situasi aksi, dalam konteks ini adalah pengelolaan

DAS untuk menghasilkan performa pengelolaan DAS yang baik. Dengan

demi-kian akan didapatkan model pengelolaan DAS yang komprehensif dan

terintegra-si, tidak hanya mempertimbangkan aspek teknis semata, namun juga

mempertim-bangkan aspek ekonomi dan kelembagaan yang sesuai dengan situasi dan kondisi

DAS yang bersangkutan, sehingga diharapkan model yang dibangun dapat

meme-cahkan permasalahan yang ada (pragmatis) dan dapat diimplementasikan dalam

(35)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Konsep Pengelolaan DAS

Pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat ditelaah dari dua aspek, yaitu

dari aspek fisik dan kelembagaan. Secara fisik, DAS didefinisikan sebagai suatu

hamparan wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan

anak-anak sungainya, yang dibatasi oleh pemisah alam (punggung gunung atau

bukit), yang menerima dan mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara

serta mengalirkannya melalui sungai-sungai kecil menuju sungai utama dan

keluar pada satu titik outlet, dan mengalirkannya hingga ke laut atau ke danau

(Asdak 1995; Kartodihardjo et al. 2004; UU Nomor 7/2004; Dephut 2009). Secara kelembagaan (institusi), DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya

alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property), dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan/atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta

menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan/atau kelompok

masyarakat (Kartodihardjo et al. 2004).

DAS merupakan suatu megasistem kompleks yang dibangun atas sistem

fisik, sistem biologis dan sistem manusia. Setiap sistem dan sub-sub sistem di

dalamnya saling berinteraksi (Davenport 2002). Dalam proses ini peranan

tiap-tiap komponen dan hubungan antar komponen sangat menentukan kualitas

ekosistem DAS, yang bisa dilihat dari kualitas outputnya. Secara fisik, kualitas

output DAS terlihat dari besar erosi, aliran permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit dan produktifitas lahan. Tiap-tiap komponen memiliki sifat yang khas dan

tidak berdiri sendiri, tapi berhubungan dengan komponen lainnya membentuk

kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Gangguan terhadap salah satu komponen

ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang

berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan

timbal balik antar komponen berjalan baik dan optimal. Manusia memegang

(36)

Pengelolaan DAS adalah pengelolaan SDA dan sumberdaya buatan yang

ada di dalam DAS secara rasional dengan tujuan mencapai keuntungan

maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dengan risiko kerusakan lingkungan

seminimal mungkin. Pengelolaan DAS dijalankan berdasarkan prinsip kelestarian

sumberdaya yang menyiratkan keterpaduan antara prinsip produktifitas dan

konservasi SDA dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS, yaitu: (a) terjaminnya

penggunaan SDA yang lestari, seperti hutan, hidupan liar dan lahan pertanian;

(b) tercapainya keseimbangan ekologis lingkungan sebagai sistem penyangga

kehidupan; (c) terjaminnya jumlah dan kualitas air yang baik sepanjang tahun;

(d) mengendalikan aliran permukaan dan banjir; serta (e) mengendalikan erosi

tanah dan proses degradasi lahan lainnya. Prinsip keberlanjutan menjadi acuan

dalam mengelola DAS, dimana fungsi ekologis, ekonomi dan sosial-budaya dari

sumberdaya dalam DAS dapat terjamin secara berimbang (Asdak 1995; Kartodihardjo et al. 2004). Atau terjadi proses hidrologis yang ideal pada DAS dalam konteks produksi air yang berasal dari kawasan yang dikelola, masih

bera-da bera-dalam batas-batas kuantitas, kualitas bera-dan waktu/lamanya aliran berlangsung

(Hadisuparto 1998). Kondisi ini dapat dicapai antara lain apabila perangkat

kebijakan yang akan diterapkan dalam pengelolaan DAS dan konservasi tanah dan air di daerah hulu merupakan “alat” mencapai pembangunan sumberdaya air dan tanah yang berkelanjutan, sehingga keterpaduan pengelolaan DAS dari hulu ke

hilir merupakan suatu keharusan (Asdak 1995).

Untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelanjutan pada SWP DAS

Arau, yang tercermin pada performa pengelolaan DAS yang baik, yaitu

pengelo-laan DAS yang memberikan keseimbangan lingkungan fisik, ekonomi dan

kelem-bagaan, maka sasaran pengelolaan DAS yang ingin dicapai adalah : (1)

Tercip-tanya kondisi hidrologis DAS yang optimal yang memberikan kinerja DAS baik;

(2) Meningkatnya produktivitas lahan melalui konservasi dan RHL yang diikuti

oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat; (3) Tersedianya pendanaan pengelolaan

DAS secara berkelanjutan yang berasal dari DAS tersebut; (4) Tertata dan

ber-kembangnya kelembagaan formal dan informal masyarakat dalam

penyelengga-raan pengelolaan DAS; dan (5) Meningkatnya kesadaran dan partisipasi

(37)

Berdasarkan kerangka pemikiran seperti yang telah diuraikan pada bagian

Pendahuluan (Gambar 1), dalam penelitian ini, performa pengelolaan SWP DAS

Arau yang baik ditunjukkan oleh dampak (outcome) berupa : (1) terwujudnya ke-giatan konservasi dan RHL memadai yang memberikan kinerja DAS yang baik

serta keseimbangan lingkungan; (2) meningkatnya kesejahteraan masyarakat,

khususnya masyarakat sekitar hutan pada kawasan lindung di hulu DAS; dan

(3) adanya kelembagaan pengelolaan DAS yang baik dan bertahan lama.

Perfor-ma pengelolaan SWP DAS Arau tersebut diukur melalui kriteria dan indikator

pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Kriteria merupakan ukuran yang menjadi

dasar penilaian tingkat keberhasilan dalam pengelolaan dan optimalisasi

peman-faatan SDA dalam DAS yang berkelanjutan. Indikator adalah alat pemantau yang

dapat memberikan petunjuk untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan

pengelolaannya. Kriteria dan indikator harus bersifat sederhana dan praktis untuk

dilaksanakan, terukur, dan mudah difahami terutama oleh para pengelola DAS

dan pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap program pengelolaan DAS

Pada penelitian ini, untuk mewujudkan performa pengelolaan DAS

berke-lanjutan, yaitu pengelolaan DAS yang memberikan keseimbangan lingkungan,

ekonomi dan kelembagaan, digunakan kriteria : (1) pada aspek fisik, kinerja DAS

diukur dengan model (teknologi) penggunaan lahan yang memberikan kondisi

hidrologis optimal melalui penelusuran debit aliran dan penggunaan lahan dengan

indikator nilai fluktuasi debit atau koefisien regim sungai (KRS) ; (2) pada aspek

ekonomi, pendanaan konservasi dan RHL serta peningkatan kesejahteraan

masya-rakat, diukur dari adanya pendanaan konservasi dan RHL melalui internalisasi

eksternalitas dengan pembiayaan pengelolaan DAS bersama antara penyedia dan

pengguna jasa DAS (cost sharing) melalui pengembangan insentif ekonomi dari dana PES agar terwujud kemandirian pengelolaan DAS, dengan indikator imbalan

(reward) masing-masing pihak setara dengan korbanan (tercermin dari kesediaan menerima kompensasi (willingness to accept, WTA) dan kesediaan membayar (willingness to pay, WTP)); dan (3) aspek kelembagaan, adanya kelembagaan pengelolaan DAS yang efektif dan efisien, dengan indikator adanya biaya

(38)

Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan DAS Terpadu

Dari berbagai konsep dan uraian diatas maka pengelolaan DAS dapat

dipandang sebagai satuan pengaturan tata ruang wilayah, suatu sistem

sumberdaya, satuan pengembangan ekonomi dan sosial/kelembagaan dalam

mencapai tujuan pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Dengan demikian

diperlukan kerangka konsep pengelolaan DAS terpadu baik secara fisik, ekonomi,

sosial dan kelembagaan karena pengelolaan DAS terpadu menjadi kata kunci

pengelolaan DAS yang mandiri dan berkelanjutan. Keberlanjutan pembangunan

satu DAS tidak dapat lagi dilepaskan dari aktivitas pembangunan di wilayah lain

dari DAS yang sama. Keberlanjutan pemanfaatan SDA di daerah tengah dan hilir

suatu DAS tidak bisa lepas dari pengelolaan lingkungan atau SDA di daerah hulu.

Fungsi DAS sebagai pengatur tata air, akan dapat berjalan dengan baik apabila

wilayah hulu, yang umumnya didominasi hutan, mampu menyerap air hujan dan

mengalirkannya di musim kemarau, sehingga dapat mengendalikan fluktuasi debit

air sungai

Pengelolaan DAS terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan,

sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber daya

DAS lintas para pemangku kepentingan secara partisipatif berdasarkan kajian

kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan

tujuan Pengelolaan DAS (Dephut 2009). Pengelolaan DAS terpadu akan

melibatkan banyak lembaga. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam

menjalankan tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga cenderung bersifat

sektoral, sehingga seringkali terjadi tabrakan kepentingan antar lembaga yang

terlibat dalam pengelolaan DAS. Pengaturan kelembagaan dan regulasi yang

akan mengatur mekanisme kerja antar lembaga harus disiapkan dengan matang

sehingga dapat menghasilkan kerjasama dan koordinasi yang optimal. Pengaturan

ini penting untuk memastikan bahwa pengelolaan DAS dapat diterima oleh

berbagai pihak terkait dengan tujuan dan kepentingannya masing-masing. Ada

tiga faktor yang dapat diidentifikasi dari pengaturan institusi ini, yaitu :

(a) koherensi kepentingan dan aktivitas antar para pihak (stakeholders); (b) kekuatan institusi lokal; dan (c) manfaat untuk masyarakat lokal di dalam

(39)

kepentingan di antara para pihak dan adanya kejelasan identitas serta ukuran

se-tiap kelompok para pihak terkait.

Pengelolaan ekosistem DAS yang elegan adalah pengelolaan yang

menempatkan masyarakat sebagai aktor utama, pengelolaan yang menganut

prinsip keadilan dan kelestarian, serta menguntungkan secara ekonomis. Peranan

pemerintah diharapkan masih relatif besar. Namun institusi lokal perlu diberikan

peranan penting dalam pengelolaan DAS, terutama yang menyangkut berbagai hal

yang menjadi kepentingan penduduk lokal. Pengelolaan DAS akan lebih efisien

dan berkelanjutan apabila dapat memanfaatkan bakat dan keterampilan

masyarakat lokal. Institusi lokal membantu berfungsinya pengelolaan DAS

melalui perlindungan terhadap hak, penguatan norma-norma yang berlaku,

mengatasi konflik dan distribusi manfaat. Pengaruh institusi sangat tergantung

pada kekuatan yang dimilikinya atas berbagai aktor yang terlibat dalam

pengelolaan DAS. Dalam aspek ekonomi dan politik sering komunitas di dalam

DAS merupakan kesatuan yang lemah. Pengaruh institusi lokal ini sering sulit menjangkau kawasan „di luar‟ lokal. Oleh sebab itu, perlu penguatan oleh institusi eksternal yang memiliki kekuatan pengaruh yang memadai, seperti lembaga

swa-daya masyarakat (LSM), perguruan tinggi (PT), media massa, instansi

pemerintah, sangsi, aturan, atau berbagai kebijakan yang ada. Institusi dan aktor

eksternal DAS dapat saja melakukan intervensi terhadap pengelolaan DAS dalam

bentuk penguatan institusi DAS yang ada atau melalui perubahan konteks

ekonomi dan politik dalam pengambilan keputusan pengelolaan DAS.

Kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu adalah pengelolaan DAS

yang berhasil mencapai tujuan pengelolaan yang ditetapkan, yaitu terciptanya

keseimbangan dalam konservasi lingkungan (ekologi), pengurangan kemiskinan

(ekonomi) dan menguatnya kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan DAS, yang

dilakukan oleh para pihak dalam DAS tersebut secara partisipatif dengan

memanfaatkan segenap potensi yang ada dalam DAS tersebut serta pembiayaan

yang berasal dari dalam DAS tersebut. Kemandirian pembiayaan pengelolaan

DAS merupakan prasyarat untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang

berkelan-jutan. Pembiayaan pengelolaan DAS yang bergantung pada dana dari luar sistem

Gambar

Tabel 1 Karakteristik yang dapat meningkatkan atau menghambat
Tabel 2  Prinsip desain pada kelembagaan CPR yang lestari
Tabel 4  Variabel/pola, pengumpulan data dan sumber data
Tabel 6  Besarnya kebutuhan air untuk sarana perkotaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari penggunaan teknik dry-bonding, water wet- bonding dan ethanol wet-bonding pada restorasi Klas II resin komposit Nanohybrid

Tiga puluh dua tahun (32) tahun kemudian, pada tanggal 30 Juni 2012, di Salatiga, kami lulusan Program Pendidikan Kompetensi Dasar Konselor Pastoral yang merupakan rintisan

Dari analisis X terhadap Y1 juga dapat diketahui besarnya pengaruh pendidikan kewirausahaan terhadap motivasi berwirausaha dengan melihat R2 sebesar 0,053, yang

Skripsi yang berjudul :Pengembangan E-Modul Matematika Berbasis Model Pembelajaran Jucama pada Materi Aritmatika Sosial Kelas VII SMP Islam Sabilal

Pada bagian ini, investor dapat menilai dampak dari keputusan pendanaan suatu perusahaan, seperti berapa jumlah yang dipinjam, berapa jumlah yang telah dilunasi, berapa besar

[r]

Tujuan dari penelitian ini adalah: (i) untuk menerapkan fraktal tekstur Fourier gambar pisang irisan dalam rangka untuk menggambarkan pencoklatan enzimatis (disebut di sini ''

Perusahaan dengan laba yang rendah tidak akan dapat memperoleh. pinjaman yang tinggi dari