• Tidak ada hasil yang ditemukan

Larvicidal Activity of Bintaro (Cerbera manghas) Extract Against Larvae Aedes aegypti (Diptera: Culicidae).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Larvicidal Activity of Bintaro (Cerbera manghas) Extract Against Larvae Aedes aegypti (Diptera: Culicidae)."

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK BINTARO

(Cerbera manghas) TERHADAP LARVA NYAMUK

Aedes aegypti

(DIPTERA: CULICIDAE)

DIDI TARMADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

AKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK BINTARO

(Cerbera manghas) TERHADAP LARVA NYAMUK

Aedes aegypti

(DIPTERA: CULICIDAE)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

ABSTRACT

DIDI TARMADI. Larvicidal Activity of Bintaro (Cerbera manghas) Extract Against Larvae Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). Under direction of DWI JAYANTI GUNANDINI and SULAEMAN YUSUF.

Dengue is a very dangerous disease and contagious because it causes deadth at short time on the patient. This desease was caused by dengue virus which was infected by Aedes aegypti. Plants have potency to develop as larvacide because itself containts chemical compound which have bioactive. Bintaro (Cerbera manghas) have been known as poisonous tree. The aim of this research is to know the activity of bintaro extract to larvae Ae. aegypti. First, we extracted a leaf, steam bark, kernel and rind of bintaro. Then the best extract was fracinated, after that it was done chromatography colom step. Futhermore, we did bioassay to larvae Ae. aegypti for every step. The result showed that kernel of bintaro have highest activity to mortality of larvae Ae. aegypti than steam bark, rind, and leaf; with LC50 517,3 ppm dan LC90 964,8 ppm. Ethyl acetate fraction have great

activity to mortality of Ae. aegypti than n-hexane dan nonsoluble fraction with LC50 34,6 ppm dan LC90 95,1 ppm. We had 10 sub fractions in this research and

the sub fraction 1, 7 and 10 had most toxic compound to Ae. aegypti than the others. The kernel extract contains saponim, alkaloid, flavonoid, triterfenoid glikosida and steroid.

(4)

RINGKASAN

DIDI TARMADI. Aktivitas Larvasida Ekstrak Bintaro (Cerbera manghas) Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). Dibimbing oleh

DWI JAYANTI GUNANDINI dan SULAEMAN YUSUF.

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang sangat berbahaya dan termasuk kategori penyakit sangat menular serta dapat menyebabkan kematian pada penderita dalam waktu yang sangat pendek. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Indonesia merupakan salah satu negara dimana kasus DBD sangat tinggi. Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD dititik beratkan pada pemutusan siklus penularan yaitu dengan cara pengendalian vektor.

Pengendalian menggunakan insektisida konvensional telah menimbulkan masalah yaitu pengaruh terhadap lingkungan dan resistensi sehingga perlu dicari alternatif bahan yang lebih ramah lingkungan. Salah satu alternatif pengendalian yaitu menggunakan ekstrak dari tanaman obat tertentu. Tanaman memiliki potensi sebagai bahan alternatif pengendalian serangga karena didalamnya terkandung senyawa kimia yang bersifat bioaktif.

Bintaro (Cerbera manghas) merupakan pohon beracun yang menyebabkan kasus keracunan di Kerala India. C. manghas memiliki khasiat sebagai anti kanker, dapat menghambat perkembangan serangga hama Eurema spp, efektif terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi, bersifat racun terhadap serangga hama gudang Sitophilus oryzae.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas ekstrak bintaro terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengendalian Serangga Hama dan Biodegradasi UPT. Balai Litbang Biomaterial LIPI dan Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB dari bulan Januari-Agustus 2012. Bahan ekstrak yang digunakan yaitu daun, kulit batang, kulit buah dan daging buah bintaro yang diperoleh dari sekitar Bogor. Serangga uji yaitu larva instar III-IV nyamuk Ae. aegypti hasil rearing insektarium Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB.

Ekstraksi menggunakan metode maserasi. Daun, kulit batang, kulit buah dan daging buah bintaro terlebih dahulu dikeringkan dan dihaluskan menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh kemudian diekstrak dengan pelarut metanol. Ekstraksi dilakukan sampai berwarna bening. Ekstrak metanol diperoleh dengan menyaring residu dengan ekstraknya menggunakan kertas saring Whatman. Larutan ekstrak kemudian dievaporasi menggunakan rotavapor pada suhu 40 o

Pada penelitian menggunakan konsentrasi 0, 50 ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm, 1000 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm, 4000 ppm, 5000 ppm dengan

(5)

menggunakan 5 ulangan. Tiap konsentrasi ekstrak yang diuji dimasukkan dalam gelas plastik dengan ditambahkan tween 0,5 ml sebagai surfaktan untuk mengurangi tegangan permukaan, sehingga ekstrak dapat larut dalam air. 25 ekor larva instar III-IV kemudian dimasukan ke dalam gelas plastik yang berisi 100 ml larutan ekstrak. Pengamatan dilakukan dengan variasi waktu 6 jam, 12 jam, 24 jam dan 48.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daging buah memiliki aktivitas paling tinggi terhadap mortalitas larva Ae. aegypti dibandingkan dengan kulit batang, kulit buah dan daun dengan nilai LC50 517,3 ppm dan LC90 964,8 ppm.

Fraksi etil asetat memiliki aktivitas paling tinggi terhadap mortalitas larva Ae. aegypti dibandingkan dengan fraksi n-heksan dan fraksi tidak terlarut dengan nilai LC50 34,6 ppm dan LC90 95,1 ppm. Sub fraksi 1, 7 dan 10 memiliki aktivitas

paling tinggi terhadap mortalitas larva Ae. aegypti. Hasil analisis fitokimia diketahui bahwa daging buah mengandung saponim, alkaloid, flavonoid, triterfenoid glikosida dan steroid. Fraksi n-heksan mengandung saponim, alkaloid, flavonoid, triterfenoid dan glikosida. Fraksi etil asetat mengandung alkaloid, flavonoid, triterfenoid, steroid dan glikosida.

(6)

SUMMARY

DIDI TARMADI. Larvicidal Activity of Bintaro (Cerbera manghas) Extract Against Larvae Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). Under direction of DWI JAYANTI GUNANDINI

Dengue is known as a contagious and calamitous seasonal disease in Indonesia since its infection likely to trigger the large scale of sufferer mortality. Dengue is caused by dengue virus carried by vector namely mosquitos belong to genus Aedes. The occurrence of dengue in Indonesia remains strike high numbers of cases. An effort to tackle this disease is underscored on the breaking of vector life cycle.

and SULAEMAN YUSUF.

Methods to control dengue vector by using inorganic pesticides have been leading to negative effects on ecosystem for instance the increase of dengue vectors resistance. One eco-friendlier method has been ongoing to be used to combat dengue vector by which employing extractives from whole or part of plants. Particular of plants has toxic substances that can be extracted and bio-assayed towards dengue vector in order to consider it as an accountable of alternative bio-pesticide.

Bintaro (Cerbera manghas) is a well-known poisonous tree that its toxicity caused many Indians in Kerala got poisoned. C. manghas has anticancer substances, suppressed the infestation of Eurema spp, effective to subterranean termites (Coptotermes gestroi), and showed toxic effect on stored pest control (Sitophilus oryzae)

The aim of this research is to know the activity of bintaro extract to larvae Ae. aegypti. This research was carried out in the Laboratory of Pest Control and Biodegradation, R&D Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences as well as in Laboratory of Parasitology and Entomology, Veterinary Faculty of Bogor Agricultural Institute started from January to August 2012. The part body of bintaro plants of which used in this research for instance leaves, bark, rind and kernel were gathered from Bogor region and its suburb. The 3rd and 4th

The maceration method initiated the extraction process in this study. Leaves, bark, rind and kernel of the bintaro were desiccated and ground in to particles with 40 mesh in size. Subsequently, those part plants’ particle was extracted with methanol as the solvent, the extraction process was continuously undertaken upon the mixture turned out to be transparent. The extract particles were isolated by separating its residue with Whatman filtration paper. The extract solution then was drained by using water-bath to obtain dried extract. Fractionation stage was merely carried out if the extractives showed high effectiveness against A. aegypti larvae. Thin layer chromatography was conducted to determine the best eluent by which has capability to separate the essential substances from its heterogeneous extract. The determination of best eluent was conducted by applying gradient system on the combination of several solvents. The best eluent was going to be employed on column chromatography and bio-assay test was carried out according to WHO protocol (2005).

(7)

The serial concentrations of the bintaro extract of which used in this research are 0, 50, 100, 250, 500, 1000, 2000, 3000, 4000 and 5000 ppm with 5 times replication. Each of those concentrations was applied in to plastic glasses in which Tween was added as a surfactant agent so that the extracts could blend properly in water. Twenty five 3rd and 4th

The result showed that kernel of bintaro have highest activity to mortality of larvae Ae. aegypti than steam bark, rind, and leaf with LC

instar larvae of Ae. aegypti were placed in to a plastic glass containing 100 ml of extract solution. Observation and mortality data record were undertaken in 6, 12, 24 and 48 hours upon the extract treatments.

50 517,3 ppm dan

LC90 964,8 ppm. Ethyl acetate fraction have great activity to mortality of Ae.

aegypti than n-hexane dan nonsoluble fraction with LC50 34,6 ppm dan LC90

95,1 ppm. We had 10 sub fractions in this research and the sub fraction 1, 7 and 10 had most toxic compound to Ae. aegypti than the others. An analysis of phyto-chemistry confirmed that the bintaro kernel containing saponin, alkaloid, flavonoid, glysoside, triterfenoid, and steroid. While n-hexane fraction containing saponin, alkaloid, flavonoid, glycoside and atriterfenoid. Ethyl acetate fraction containing alkaloid, flavonoid, triterfenoid, steroid and glycoside.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Larvasida Ekstrak Bintaro (Cerbera manghas) Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 ialah pemanfaatan ekstrak bahan alam sebagai larvasida, dengan judul Aktivitas Larvasida Ekstrak Bintaro (Cerbera manghas) Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si dan Bapak Prof. (R). Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr selaku pembimbing, serta kepada Ibu Dr.drh. Min Rahminiwati, MSi selaku penguji luar komisi. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Bapak Prof. Dr. drh. Singgih H. Sigit, M.Sc, Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.Si, Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si, Bapak Dr. drh. M. Amin, M.Sc yang selama ini telah memberikan ilmunya, juga kepada para staf di Jurusan Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) Ibu Juju, Pak Heri, Alm. Pak Yunus, Pak Priyono, Bu Een dan Mas Budi Santoso yang selama ini telah membantu penulis menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kementrian Riset dan Teknologi yang telah membiayai kuliah serta rekan-rekan kerja di Laboratorium Pengendalian Serangga Hama dan Biodegradasi UPT Balai Litbang Biomaterial LIPI yang telah banyak membantu selama penelitian ini. Seluruh keluarga tercinta yang selalu memberikan dorongan moril maupun materiil sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian ini.

Tesis ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lebak, 12 Januari 1980, dari ayah Jamsari dan Ibu Hj. Sonah. Merupakan anak ke empat dari tiga bersaudara. Penulis menikah dengan Lala Lusiana dan dikarunia dua orang anak bernama Keisya Adzkia Salsabila dan Aditya Adzka Abimanyu.

Penulis Tamat Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Malingping tahun 1999 dan lulus Sarjana Kehutanan dari Departemen Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB tahun 2004. Kemudian melanjutkan studi ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan tahun 2010.

(12)
(13)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si

Anggota

Prof. (R). Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : 26 November 2012 Tanggal Lulus : Nama : Didi Tarmadi

(14)

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 2

Hipotesa ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Penyakit Demam Berdarah Dengue ... 5

Biologi Nyamuk Aedes aegypti ... 7

Proses Ekstraksi ... 10

Larvasida dari Bahan Alam ... 12

Pohon Bintaro (Cerbera manghas) ... `13

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 15

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

Bahan Penelitian ... 15

Serangga Uji ... 16

Metode Penelitian ... 16

Prosedur Ekstraksi ... 16

Prosedur Fraksinasi ... 17

Penapisan Fitokimia ... 19

Kromatografi Lapis Tipis ... 20

Kromatografi Kolom ... 21

(15)

Uji Bioassay ... 23

Analisis Data ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

Hasil Uji Larvasida Kulit Batang, Daging Buah, Kulit Buah dan Daun Bintaro ... 25

Nilai Lethal Concentration (LC) Ekstrak Kasar Bintaro ... 28

Aktivitas Larvasida Fraksi n-Heksan, Etil asetat dan Fraksi Tidak Terlarut 29 Analisis Fitokimia ... 32

Aktivitas Larvasida Hasil Kromatografi Kolom ... 33

SIMPULAN DAN SARAN ... 37

Simpulan ... 37

Saran …... . 37

DAFTAR PUSTAKA ... 39

DAFTAR LAMPIRAN ... 43

(16)

Halaman

1 Kandungan ekstraktif dari bagian pohon bintaro... ……... 25

2 Nilai LC50 (ppm) dan LC90

24 dan 48 jam…... 29 (ppm) dari ekstrak bintaro pengamatan

3 Kandungan ekstraktif pada fraksi n-heksan, etil asetat dan fraksi

tidak terlarut……….…. 30

4 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap fraksi n-heksan,

etil asetat dan fraksi tidak ……….………..………… 31

5 Nilai LC50 (ppm) dan LC90

bintaro………. 31 (ppm) hasil fraksinasi daging buah

6 Kandungan senyawa hasil analisis fitokimia pada ekstrak daging buah

bintaro………. 32

7 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap sub fraksi

hasil kromatografi kolom ………..………... 34

(17)

Halaman

1 Negara dengan resiko penularan dengue tahun 2008 ... 5

2 Telur Ae. aegypti ... 7

3 Larva nyamuk Ae. aegypti ………..…………..………... 8

4 Pupa nyamuk Ae. aegypti ... 9

5 Nyamuk dewasa Ae. aegypti ... 10

6 Pohon bintaro ... 14

7 Bahan ekstrak dari tanaman bintaro ... 15

8 Diagram alir proses ekstraksi dan pengujian bioassay ... 16

9 Proses ekstraksi ... 17

10 Diagram alir tahapan fraksinasi dan uji bioassay... 18

11 Pengocokan larutan ekstrak dan proses pemisahan larutan ... 19

12 Penetesan ekstrak pada plat silica dan chamber KLT ... 21

13 Diagram alir proses kromatografi kolom dan uji larvasida... 21

14 Proses pemisahan dengan kromatografi kolom dan proses pengeringan eluen ... 22

15 Penetesan telur nyamuk Ae. aegypt... …… 23

16 Pelarutan ekstrak menggunakan stirrer dan inkubasi ... 24

17 Perbedaan warna dari bahan ekstrak yang diuji pada konsentrasi 1000 ppm ... 26

18 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap ekstrak kulit batang ... 26

19 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap ekstrak daging buah ... 27

20 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap ekstrak kulit buah ……. 27

(18)

Halaman

1 Hasil uji ekstrak metanol kulit batang bintaro terhadap mortalitas larva

Ae. aegypti ... 43

2 Hasil uji ekstrak metanol daging buah bintaro terhadap mortalitas larva Ae. aegypti... 45

3 Hasil uji ekstrak metanol kulit buah bintaro terhadap mortalitas larva Ae. aegypti……… 47

4 Hasil uji ekstrak metanol daun bintaro terhadap mortalitas larva Ae. aegypti ... 49

5 Hasil uji fraksi n-heksan terhadap mortalitas larva Ae. aegypti ... 51

6 Hasil uji fraksi etil asetat terhadap mortalitas larva Ae. aegypti ... 52

7 Hasil uji fraksi tidak terlarut terhadap mortalitas larva Ae. aegypti ... 53

8 Hasil uji sub fraksi hasil kromatografi kolom terhadap mortalitas larva Ae. aegypti ... 55

(ppm) dari ekstrak kulit batang pada 11 Nilai LC50 (ppm) dan LC90

(ppm) dari ekstrak kulit buah pada 14 Nilai LC50 (ppm) dan LC90 pengamatan 48 jam ... 62

(ppm) dari ekstrak kulit buah pada 15 Nilai LC50 (ppm) dan LC90 pengamatan 24 jam ... 63

(19)

16 Nilai LC50 (ppm) dan LC90

17 Nilai LC

(ppm) dari ekstrak daun pada pengamatan

48 jam ... 64

50 (ppm) dan LC90

18 Nilai LC

(ppm) dari fraksi n-heksan pada

pengamatan 24 jam ... 65

50 (ppm) dan LC90

19 Nilai LC

(ppm) dari fraksi n-heksan pada

pengamatan 48 jam ... 66

50 (ppm) dan LC90

20 Nilai LC

(ppm) dari fraksi etil asetat pada

pengamatan 24 jam ... 67

50 (ppm) dan LC90 (ppm) dari fraksi n-heksan pada

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang sangat berbahaya dan termasuk kategori penyakit sangat menular serta dapat

menyebabkan kematian pada penderita dalam waktu yang sangat pendek (WHO

2003). Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk

Aedes aegypti. Penyakit DBD merupakan endemik terutama di wilayah Asia

Tenggara dan Pasifik Barat. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus

DBD yang sangat tinggi. Bahkan tahun 2007 Indonesia merupakan negara yang

melaporkan jumlah kasus dan kematian akibat DBD terbanyak di dunia (WHO

2009). Pada tahun 2010 Indonesia menduduki urutan tertinggi kasus demam

berdarah dengue di ASEAN dengan jumlah kematian sekitar 1.317 (Kompas 2011).

Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD dititik beratkan

pada pemutusan siklus penularan yaitu dengan cara pengendalian vektor (WHO

2004). Pengendalian menggunakan insektisida konvensional menimbulkan

masalah yaitu pengaruh terhadap lingkungan dan resistensi sehingga perlu dicari

alternatif bahan yang lebih ramah lingkungan. Salah satu alternatif pengendalian

yaitu menggunakan ekstrak herbal dari tanaman obat tertentu (Promsiri et al. 2008). Tanaman memiliki potensi sebagai bahan alternatif pengendalian serangga

karena didalamnya terkandung senyawa kimia yang bersifat bioaktif. Produk dari

alam ini efektif, ramah lingkungan, mudah diurai oleh mikroorganisme, murah,

tersedia di berbagai tempat di dunia, dan bersifat selektif (Su dan Mulla 1999).

Beberapa jenis ekstrak tanaman telah diteliti aktivitasnya terhadap larva nyamuk

Ae. aegypti seperti Anacardium occidentale (Promsiri et al. 2006), Melia azedarach L (Coria et al. 2008), Ocimum canum (Kamaraj et al. 2008),

Azadirachta indica (Atawodi 2009), Sapindus emarginatus (Koodalingan et al. 2009), Carica papaya ( Ahmad et al. 2011), dan lidah buaya (Subramaniam et al. 2012).

Bintaro merupakan pohon beracun dari famili Apocynaceae. Buahnya

(21)

Pohon ini termasuk ke dalam 50% pohon beracun yang menyebabkan 10% kasus

keracunan di Kerala India (Gaillard et al. 2004). C. manghas memiliki khasiat sebagai anti kanker (Chang et al. 2000, Wang et al. 2010, Zhao et al. 2011). Ekstrak biji bintaro dapat menghambat perkembangan serangga hama Eurema spp (Utami 2010). Tarmadi et al. (2010) melaporkan bahwa ekstrak buah bintaro sangat efektif terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai insektisida alami. Disamping itu, ekstrak biji

bintaro bersifat toksik terhadap serangga hama gudang Sitophilus oryzae (Tarmadi

et al. 2012).

Walaupun telah diketahui bahwa bintaro sebagai pohon beracun dan

memiliki aktivitas insektisida tetapi belum ada penelitian mengenai aktivitasnya

sebagai larvasida.

Perumusan Masalah

Penggunaan larvasida konvensional dapat mencemari lingkungan dan

menimbulkan sifat resistensi terhadap larva sehingga perlu dicari alternatif

larvasida yang lebih ramah lingkungan. Kajian mengenai ekstrak bahan alam

sebagai larvasida telah banyak dilakukan tetapi aktivitasnya masih rendah

sehingga perlu kajian ekstrak tanaman lainnya yang memiliki daya bunuh yang

tinggi terhadap larva. Bintaro telah diteliti memiliki daya bunuh yang tinggi

terhadap serangga dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai insektisida

nabati.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas ekstrak bintaro

terhadap larva nyamuk Ae. aegypti.

Hipotesa

1. Terdapat peningkatan mortalitas larva nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar ekstrak kulit batang, daging buah, kulit buah dan daun bintaro.

2. Diperoleh satu bagian ekstrak dari bintaro yang paling toksik terhadap

larva Ae. aegypti.

3. Diperoleh konsentrasi yang rendah tetapi sangat toksik terhadap larva

(22)

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya:

1. Memberikan informasi ilmiah mengenai aktivitas pohon bintaro terhadap

larva nyamuk Ae. aegypti

2. Memberikan informasi ilmiah mengenai bagian pohon bintaro yang memiliki

aktivitas tinggi terhadap larva nyamuk Ae. aegypti.

3. Hasil penelitian dapat dikembangkan sebagai alternatif penanggulangan larva

(23)
(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Demam Berdarah Dengue

Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk dengan penyebaran paling cepat di dunia. Pada 50 tahun

terakhir, kejadian telah meningkat 30 kali lipat seiring dengan adanya perluasan

distribusi geografis negara-negara baru dan mobilitas yang sangat tinggi antara

desa dan kota (WHO 2009). Sejak tahun 1980, penyakit DBD menyebar luas di

berbagai wilayah tropis dan sub tropis meliputi benua Amerika, Afrika, Asia dan

Pasifik Barat. WHO memperkirakan telah terjadi 50 - 100 juta kasus DBD

pertahunnya di dunia, dengan 25.000 kasus kematian (Gubler 1997).

Gambar 1. Negara dengan resiko penularan dengue tahun 2008 (Sumber: WHO 2009)

Di Indonesia, penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan.

Penyakit ini telah menyebabkan kekhawatiran masyarakat karena perjalanan

penyakitnya yang cepat dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat

(DEPKES 2005). Kasus DBD di Indonesia, pertama kali dijumpai di Jakarta dan

Surabaya pada tahun 1968. Berdasarkan laporan World Health Organization

(25)

tahun 1998, tercatat 72.133 kasus DBD dengan jumlah kematian 1.414 orang

(Case Fatality Rate (CFR) 2,0%). Dari tahun ke tahun, area sebaran maupun jumlah kasus DBD cenderung meningkat. Berdasarkan data Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, kejadian DBD lima tahun terakhir semakin

memprihatinkan. Pada tahun 2004 terjadi 79.462 kasus dengan jumlah kematian

957 orang. Tahun 2005, kasus DBD di 32 provinsi mencapai 91.089 kasus,

sebanyak 1.214 orang meninggal dunia (CFR 1,3%). Tahun 2006 korban demam

berdarah mencapai angka yang sangat menakutkan yaitu 114.656 kasus. Laporan

Departemen Kesehatan menyebutkan penyakit demam berdarah sudah menjadi

masalah yang endemik di 33 provinsi dan di 330 kotamadya/kabupaten. Pada

2007, jumlah kasus DBD melonjak menjadi 158.115 kasus dengan 1.599 korban

meningggal dunia, atau tertinggi dalam 10 tahun terakhir, yang menjadikan

Indonesia negara dengan kasus dan kematian akibat DBD terbesar di dunia. DKI

Jakarta tercatat sebagai daerah endemik DBD terbesar yaitu terdapat 31.836 kasus,

sementara tingkat kematian tertinggi yaitu di Jawa Timur sebanyak 372 orang.

Kasus DBD 2001-2007 jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan dekade

1990-an. Sampai medio Juli 2008, kasus DBD di Indonesia sudah mencapai 73.488

kasus dengan kematian 542 jiwa (CFR 0,74%) (DEPKES 2008).

Penyakit DBD tergolong penyakit yang sangat berbahaya dan termasuk

kategori penyakit sangat menular (WHO 2003). Penyakit ini disebabkan oleh

virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti (WHO 2009). Virus dengue tergolong genus Flavivirus, famili Flaviridae yang terdiri dari empat

serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 (Seema dan Jain 2005).

Selama masa inkubasi di tubuh manusia (intrinsik) yaitu sekitar 3-14 hari

maka akan timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai dengan

demam, pusing, myalgia dan berbagai tanda non spesifik lainnya. Nyamuk Ae.

aegypti lebih aktif mencari mangsanya di siang hari di banding nyamuk lain yang cenderung menyerang manusia pada malam hari. Setelah menggigit tubuh

manusia, perut nyamuk akan terpenuhi darah kira-kira dua hingga empat miligram

(26)

Biologi Nyamuk Aedes aegypti

Siklus hidup. Di dalam siklus hidupnya, nyamuk mengalami

metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu telur, larva, pupa dan dewasa (Hadi

dan Koesharto 2006). Larva dan pupa memerlukan air untuk kehidupannya,

sedangkan telur tahan hidup dalam waktu lama tanpa air, meskipun harus tetap

dalam lingkungan yang lembab (Christoper 1960).

Telur. Telur Ae. aegypti berwarna hitam, oval dan diletakkan di dinding wadah air, biasanya di bagian atas permukaan air. Apabila wadah air itu

mengering, telur bisa tahan (dorman) selama beberapa minggu atau bahkan bulan

dan ketika wadah tersebut berisi air lagi dan menutupi seluruh bagian telur, maka

ia akan menetas menjadi jentik (Hadi dan Koesharto 2006). Menurut Becker et al

(2003), telur Ae. aegypti menyukai air yang jernih atau air dengan kandungan bahan organik yang sedang. Telur nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang hingga dewasa pada air dengan medium campuran kotoran ayam, kaporit dan air

sabun (Hadi dan Koesharto 2006). Menurut penelitian Mohammed dan Cadee

(2011), telur menetas hanya memerlukan waktu dua hari (48 jam) dengan tingkat

fertilitas mencapai 98% pada suhu 24-250C, 57% pada suhu 26-270C, 20% pada

suhu 29-300C, 3.7% pada suhu 32-330C dan 1.6% pada suhu 34-350C.

(27)

Larva. Jentik nyamuk tidak berlengan, dadanya lebih besar dari kepalanya.

Kepalanya berkembang baik dengan sepasang antena dan mata majemuk, serta

sikat mulut yang menonjol. Perutnya terdiri atas 9 ruas yang jelas, dan ruas

terakhir dilengkapi dengan tabung udara (sifon) yang bentuknya silinder (Hadi

dan Koesharto 2006). Stadium larva mengalami empat fase larva yaitu instar I, II,

III dan instar IV. Perubahan fase instar ditandai dengan proses pergantian kulit

(Bates 1970). Antena larva Ae. aegypti kira-kira setengah kepala dan tanpa spikula. Pada sternit abdomen VIII terdapat sisir (comb) berjumlah 6-12 dan bentuknya seperti trisula. Siphon berpigmen sedang dengan siphonal index sekitar 1.8-2.5 dan acus tidak berkembang. Pecten memiliki 8-22 gigi (Becker at al. 2003). Waktu stadium larva berkisar 4-8 hari, persentase larva menjadi pupa mencapai

87.7% pada suhu 24-250C, 98.5% pada suhu 26-270C, 97.2% pada suhu 29-300C,

87.6% pada suhu 32-330C dan 74.2% pada suhu 34-350 (Mohammed dan Cadee

2011).

Gambar 3. Larva nyamuk Ae. aegypti (Sumber: www.darnis.inbio.ac.cr)

Pupa. Mendekati ekdisi akhir atau pupa larva menjadi gemuk. Larva

cenderung berhenti makan dan tetap saat istirahat di permukaan. Ketika pertama

kali muncul, pupa berwarna putih, tetapi dalam waktu singkat menunjukkan

perubahan pigmen (Christoper 1960). Pupa nyamuk bergerak aktif seperti

kebanyakan pupa serangga lainnya (Bates 1970). Pupa nyamuk berbentuk seperti

koma, kepala dan dadanya bersatu dilengkapi dengan sepasang trompet

(28)

naik turun di dalam wadah air. Dalam kurun waktu lebih dari dua hari dari pupa

akan munculah nyamuk dewasa (Hadi dan Koesharto 2006).

Gambar 4. Pupa nyamuk Ae. aegypti (Sumber:

Dewasa. Nyamuk betina berukuran sedang dengan ornamen di kepala,

skutum, tungkai dan abdomen. Ae. aegypti mudah dikenali dan dibedakan dari anggota sub-genus lainnya denggan corak putih pada dorsal dada (punggung)

dengan pola seperti siku yang berhadapan. Probosis gelap, sedangkan palpi 1/5

panjang probosis dengan corak putih pada ujungnya, clypeus bercorak putih lateral, dan pedicel dengan bercak putih di bagian samping. Vertex memiliki garis medium putih dari interocular sampai ke belakang occiput, dan corak putih juga di samping, dipisahkan oleh tambalan bercorak gelap. Skutelum secara dominan

ditutupi dengan sisik gelap. Skutelum memiliki sisik putih yang luas pada semua

lobus dan sisik gelap dipertengahan puncak lobus. Tibia seluruhnya gelap. Bagian

depan dan tengah tarsi memiliki pita dasar putih pada tarsomer I dan II, tarsus

belakang memiliki pita dasar putih yang lebar pada tarsomer I sampai IV dan

pada tarsomer V semuanya putih. Pada nyamuk jantan palpi sama panjang dengan

probosis dengan pita dasar putih pada palpomere II-IV. Dua segmen terakhir ramping dengan seta yang pendek. (Becker et al. 2003). Nyamuk Aedes memiliki ujung abdomen yang runcing, mempunyai cerci yang menonjol, dibagian lateral

dada terdapat rambut post-spiracular dan tidak memiliki rambut spiracular (Hadi

(29)

Gambar 5. Nyamuk dewasa Ae. aegypti (Sumber: www. aedes.caltech.edu)

Proses Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat

menjadi komponen-komponen terpisah. Ragam ekstraksi yang tepat tergantung

pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis

senyawa yang diisolasi. Bila mengisolasi senyawa dari jaringan hijau,

keberhasilan ekstraksi dengan alkohol berkaitan langsung dengan seberapa jauh

klorofil tertarik oleh pelarut tersebut. Bila ampas jaringan pada ekstraksi ulang

sama sekali tak berwarna hijau kembali, dapat dianggap semua senyawa berbobot

molekul rendah telah terekstraksi (Harborne 1987). Isolasi ekstraktif dapat

dilakukan dengan ekstraksi menggunakan campuran pelarut netral dan atau

dengan pelarut tunggal secara berurutan (Fengel dan Wegener 1995). Kelarutan

zat di dalam pelarut-pelarut itu tergantung dari ikatannya, apakah polar, semi

polar atau non polar. Pelarut polar misalnya: air, alkohol dan metanol, sedangkan

yang non polar misalnya heksan dan karbon tetra klorida. Zat-zat yang polar

hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat-zat non polar hanya larut dalam

pelarut non polar (Yuliani dan Rusli 2003). Pemilihan pelarut yang akan

digunakan juga harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Beberapa syarat

pelarut yang ideal yaitu harus dapat melarutkan semua zat dengan cepat dan

sempurna, harus mempunyai titik didih yang cukup rendah agar pelarut mudah

(30)

harus bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen bahan, pelarut harus mempunyai titik didih yang seragam, harga pelarut harus serendah mungkin

dan tidak mudah terbakar (Guenther 1988)

Menurut Kristanti et al. (2006) berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, dapat dibedakan dua macam ekstraksi yaitu:

1. Ekstraksi padat-cair jika substansi yang diekstraksi terdapat didalam

campuran yang berbentuk padat. Proses ini paling banyak ditemukan dalam

usaha mengisolasi suatu substansi yang terkandung di dalam suatu bahan

alam.

2. Ekstraksi cair-cair jika substansi yang diekstraksi terdapat didalam

campuran yang berbentuk cair.

Berdasarkan proses pelaksanaannya, ekstraksi dapat dibedakan sebagai

berikut:

1. Ekstraksi yang berkesinambungan (continous extraction)

Dalam ekstraksi ini pelarut yang sama dipakai berulang-ulang sampai

proses ekstraksi selesai

2. Ekstraksi bertahap (bath extraction)

Dalam ekstraksi ini setiap tahap ekstraksi selalu dipakai pelarut yang baru

sampai proses ekstraksi selesai

Ekstraksi dapat dikerjakan dengan pelarut organik seperti eter, aseton,

benzena, etanol, diklorometana atau campuran larutan tersebut (Achmadi 1990).

Menurut Kristanti et al. (2006) maserasi adalah suatu contoh metode ekstraksi padat-cair bertahap yang dilakukan dengan jalan membiarkan padatan terendam

dalam suatu pelarut. Proses perendaman dalam usaha mengekstraksi suatu

substansi dari bahan alam ini bisa dilakukan tanpa pemanasan (suhu kamar),

dengan pemanasan atau bahkan pada titik didih. Sesudah disaring, tidak terlarut

dapat diekstraksi kembali menggunakan pelarut yang baru. Pelarut yang baru

dalam hal ini tidak berarti harus berbeda zat dengan pelarut yang terdahulu, tetapi

bisa berasal dari pelarut yang sama. Proses ini bisa diulang beberapa kali sesuai

kebutuhan.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses ekstraksi menurut Yuliani

(31)

metode ekstraksi, proses penyaringan, dan proses pemekatan. Bahan yang akan

diekstraksi sebelumnya dikeringkan terlebih dahulu, pengeringan tanaman yang

digunakan untuk pestisida nabati sebaiknya sampai kadar air mencapai 10 %

dengan suhu kurang dari 50 ºC agar bahan aktif yang terkandung tidak rusak.

Sebelum ekstraksi bahan perlu dikeringkan agar tidak terlalu banyak terjadi

perubahan kimia dan suhu rendah bertujuan agar komponen tertentu yang

diinginkan tidak rusak selama ekstraksi.

Larvasida dari Bahan Alam

Beberapa tanaman memiliki efektivitas terhadap larva nyamuk Ae. aegypti

seperti minyak buah Kamandarah (Croton tiglium) dan jarak pagar (Jutropha curcas) (Astuti 2008). Ekstrak metanol kulit Cinnamomum cassia, buah Illicium verum, buah Piper nigrum, buah Zanthoxylum piperitumdan Kaempferia galanga

memiliki potensi sebagai larvasida (Yang et al. 2004). Tanaman Anacardium occidentale, Mammea siamensis, Phyllanthus pulcher, Anethum graveolens,

Kaempferia galanga, Cinnamomum porrectum, Costus speciosus, dan Acorus

calamus pada konsentrasi 100 µg/mL menyebabkan kematian larva 100 % selama

48 jam pengamatan sedangkan tanaman Strychnos nuxvomica, Knema globularia,

Stemona tuberosa, Samaneasaman, Annona muricata, Abutilon indicum pada konsentrasi 100 µg/mL memberikan persentase kematian larva sebesar 93%, 88%,

80%, 78%, 69% dan 57% (Promsiri et al. 2006).

Hasil penelitian Rahuman et al.(2009)menunjukkan bahwa ekstrak aseton, kloroform, air panas, metanol, petroleum ether (60–80°C) dari daun Calotropis

procera, Canna indica, Hibiscus rosa-sinensis, Ipomoea carnea, Sarcostemma

brevistigma memiliki potensi sebagai larvasida. Ekstrak etanol daun dan buah

Melia azedarach menyebabkan kematian yang tinggi terhadap larva nyamuk Ae.

aegypti (Coria et al. 2008). Ekstrak aseton, kloroform, etil asetat, n-heksan dan metanol dari daun Ocimum canum, Ocimum sanctum dan R. nasutus memberikan

persentase kematian moderat pada larva nyamuk Ae. aegypti dan Culex

quinquefasciatus Say (Kamaraj et al. 2008). Ekstrak air buah Sapindus

emarginatus menyebabkan kematian 100% pada larva nyamuk Ae. aegypti

(32)

indica (Atawodi 2009), Carica papaya (Ahmad et al. 2011), dan lidah buaya (Subramaniam et al. 2012) memiliki aktivitas yang tinggi terhadap larva nyamuk

Ae. aegypti. Komponen flavonoid Poncirus trifoliate juga memiliki pengaruh terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti (Rajkumar dan Jebanesan 2008).

Ekstrak benzen fraksi daun Citrullus vulgaris Schrad lebih efektif terhadap larva

nyamuk A.stephensi daripada A. aegypti (Mulaii et al. 2008).

Pohon Bintaro (Cerbera manghas)

Pohon bintaro banyak digunakan sebagai penghijauan dan juga sebagai

penghias taman kota. Pohon bintaro juga disebut Pong-pong tree atau Indian suicide tree, mempunyai nama latin Cerbera manghas, termasuk tumbuhan non pangan atau tidak untuk dimakan. Pohon bintaro sering disebut juga sebagai

mangga laut, buta badak, babuto, dan kayu gurita. Dalam bahasa Inggris tanaman

ini dikenal sebagai Sea Mango. Bintaro termasuk tumbuhan mangrove yang berasal dari daerah tropis di Asia, Australia, Madagaskar, dan kepulauan sebelah

barat samudera pasifik (Gaillard at al. 2004). Bintaro merupakan pohon beracun dari famili Apocynacea. Buahnya sangat beracun, mengandung cerberin sebagai

komponen aktif utama cardenolide. Pohon ini termasuk ke dalam 50% pohon

beracun yang menyebabkan 10% kasus keracunan di Kerala India (Gaillard et al. 2004). Disamping Cerberin terdapat dua cardenolide yang diidentifikasi dari akar

Cerbera manghas sebagai agent antiproliferatif dan antiestrogenik ketika

dievaluasi terhadap sel kanker usus besar manusia (Chang et al. 2000). Dalam buah juga terkandung tanghinigenin dan Neriifolin masuk dalam kelas steroid

sebagai cardiac glycoside yang bersifat antikanker (Wang et al. 2010; Zhao et al. 2011). Ekstrak Cerbera manghas memiliki aktivitas analgesic, antikonvulsan, cardiotonik dan hypotensif (Hien et al. 1991 dalam Zhao et al. 2011). Tarmadi et al (2010) melaporkan bahwa ekstrak buah Bintaro (Cerbera manghas) sangat efektif terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai insektisida alami. Disamping itu, buah bintaro

mengandung alkaloid, saponim, tanin, triterpenoid dan steroid. Dimana komponen

kimia tersebut bersifat toksik terhadap serangga. Ekstrak bintaro dapat

(33)

Tarmadi et al. (2010) menunjukkan ekstrak buah bintaro sangat efektif terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai insektisida alami. Disamping itu, ekstrak buah bintaro bersifat racun

terhadap serangga hama gudang Sitophilus oryzae (Tarmadi et al. 2012).

Klasifikasi tanaman bintaro (Gaillard at al. 2004) :

Kingdom : Plantae – Plants

Subkingdom : Tracheobionta - Vascular plants

Superdivision : Spermatophyta - Seed plants

Division : Magnoliophyta - Flowering plants

Class : Magnoliopsida – Dicotyledons

Subclass : Asteridae

Order : Gentianales

Family : Apocynaceae - Dogbane family

Genus : Cerbera L.

Species : Cerbera manghas L.

(34)

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengendalian Serangga Hama dan

Biodegradasi UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI dan

Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB dari bulan

Januari-Agustus 2012.

Bahan Penelitian

Bahan ekstrak yang digunakan yaitu daun, kulit batang, kulit buah dan

daging buah bintaro yang diperoleh dari sekitar Bogor. Daun yang digunakan

yaitu daun yang sudah tua. Kulit batang diambil dari bagian batang bebas cabang

dari pohon bintaro yang sudah masak tebang dengan diameter 20 – 30 cm. Kulit

buah diambil dari buah yang sudah tua (berwarna ungu kemerahan dan hijau tua).

Daging buah yang digunakan berasal dari buah yang sudah tua. Bagian daging

buah diambil dengan cara membelah buah menggunakan gergaji mesin.

A B

C D

(35)

Serangga Uji

Uji bioassay menggunakan larva instar III-IV nyamuk Ae. aegypti yang merupakan hasil rearing insektarium Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB.

Metode penelitian

Prosedur Ekstraksi

Daun, kulit batang, kulit buah dan daging buah bintaro terlebih dahulu

dikeringkan dan dihaluskan menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh.

Masing-masing serbuk diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode maserasi.

Ekstraksi dilakukan sampai berwarna bening. Ekstrak metanol diperoleh dengan

menyaring residu dengan ekstraknya menggunakan kertas saring Whatman.

Larutan ekstrak dievaporasi menggunakan rotavapor pada suhu 40 oC kemudian

dikeringkan di atas waterbath untuk mendapatkan ekstrak kering.

Gambar 8. Diagram alir proses ekstraksi dan pengujian bioassay Serbuk daun, kulit batang,

kulit buah, daging buah

Ekstrak kering

Metanol

Uji larvasida

Evaporasi

Ekstrak terbaik Larutan ekstrak

(36)

A B

C D

Gambar 9. Proses ekstraksi: ekstraksi menggunakan metode maserasi (A), penyaringan larutan ekstrak (B), larutan ekstrak hasil penyaringan (C), evaporasi (D).

Prosedur Fraksinasi

Tahap fraksinasi dilakukan hanya pada bagian ekstrak bintaro yang paling

tinggi aktivitasnya terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. Sebanyak 175 gram ekstrak kering hasil ekstraksi kemudian ditambahkan aquades sampai diperoleh

300 ml ekstrak. Ekstrak kemudian dimasukkan dalam corong pisah 1000 ml dan

diekstraksi dengan pelarut berikutnya yaitu n-heksana sebanyak 300 ml (1:1).

Ekstrak dalam corong pisah dikocok agar aquades dan n-heksana berinterksi lalu

diamkan beberapa saat sampai ada pemisahan yang jelas antara kedua pelarut.

Pada tahap ini diperoleh fraksi terlarut n-heksana dan tidak terlarutnya. Fraksi

(37)

Tahap ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh ekstrak n-heksana dan etil

asetat yang jernih. Larutan ekstrak hasil fraksinasi kemudian dievaporasi

menggunakan rotavapor pada suhu 40 o

Rendemen (%) = x 100 %

C kemudian dikeringkan di atas waterbath

untuk mendapatkan ekstrak kering. Rendemen tiap ekstrak dihitung dengan

rumus:

dimana:

BKA = Berat kering ekstrak padat yang diperoleh (gram)

BKS = Berat kering serbuk yang diekstraksi (gram)

Gambar 10. Diagram alir tahapan fraksinasi dan uji bioassay Fraksi tidak terlarut

Fraksi terlarut n-heksan

Uji larvasida Fraksi terlarut etil asetat

n-heksan

Etil asetat

Fraksi tidak terlarut

Fraksi aktif

(38)

A B

Gambar 11. Pengocokan larutan ekstrak dalam corong pisah (A), proses pemisahan larutan (B)

Penapisan Fitokimia

Ekstrak padat yang diperoleh kemudian diuji fitokimia sesuai dengan

metode Harborne (1987), kelompok senyawa yang diamati antara lain alkaloid,

saponin, triterpenoid, steroid, phenol, dan flavonoid . Menurut Kristanti (2006)

fitokimia merupakan langkah awal untuk mengetahui gambaran tentang golongan

senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti, dimana metode

yang digunakan sebagian besar merupakan reaksi pengujian warna dengan suatu

pereaksi warna.

a. Identifikasi golongan alkaloid

Ekstrak sebanyak 10mg dilembabkan dengan amonia 30%, digerus dalam

mortir, ditambahkan 20 ml kloroform dan digerus kuat. Campuran disaring

dengan kertas saring, filtrat berupa larutan organik diambil (sebagai

larutan A), sebagian dari larutan A (5 ml) diekstraksi dengan 5 ml larutan

HCL 1:10 dengan pengocokan tabung reaksi, diperoleh larutan bagian atas

(larutan B). Larutan A diteteskan pada kertas saring dan disemprot atau

ditetesi dengan pereaksi Dragendorff dan Mayer, terbentuk endapan merah

bata dengan pereaksi Dragendorff dan endapan putih dengan pereaksi

(39)

b. Identifikasi golongan steroid dan triterpenoid

Ekstrak sebanyak 10 mg simplisia dimaserasi dengan 100 ml eter selama 2

jam dalam wadah dengan penutup wadah rapat, disaring dan diambil

filtratnya, 5 ml dari filtrat tersebut diuapkan dalam cawan penguap hingga

diperoleh residu, ke dalam residu ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat

dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Liebernman-Buchard),

terbentuknya warna hijau atau merah menunjukkan adanya senyawa

golongan steroid dan triterpenoid.

c. Identifikasi golongan flavonoid

Ekstrak sebanyak 20 mg simplisia ditambahkan 10 ml air panas, didihkan

selama 10 menit, saring dengan kertas saring, diperoleh filtrat yang akan

digunakan sebagai larutan percobaan. 5 ml larutan percobaan ditambahkan

serbuk atau lempeng magnesium secukupnya dan ditambah 1 ml asam

klorida pekat dan 5 ml amil alkohol, dikocok kuat dan dibiarkan memisah,

terbentuk warna merah pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya

senyawa flavonoid.

d. Identifikasi golongan saponin

Sebanyak 10 ml larutan percobaan yang diperoleh dari percobaan C,

dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dikocok selama 10 detik secara

vertikal, kemudian dibiarkan 10 menit, terbentuk busa yang stabil dalam

tabung reaksi menunjukkan adanya senyawa golongan saponin, bila

ditambahkan 1 tetes asam klorida 1 % (encer) busa tetap stabil.

Kromatografi Lapis Tipis

Tahap ini dilakukan untuk menentukan eluen terbaik yang bisa

memisahkan senyawa dalam ekstrak. Penentuan eluen terbaik menggunakan

kombinasi beberapa pelarut dengan sistem gradien. Eluen disiapkan dengan

mencampur sistem eluen yang diinginkan dalam bejana kromatografi. Bejana

dijenuhkan dengan eluen beberapa saat (+ 15 menit). Plat KLT yang digunakan

adalah silika gel G 60 F254. Larutan ekstrak dari hasil fraksinasi yang memiliki

(40)

diperoleh spot yang pekat. Plat KLT dimasukkan dalam bejana kromatografi.

Setelah pelarut mencapai batas atas KLT (0.5 cm dari tepi atas) lalu pelat KLT

diangkat. Spot yang terbentuk diamati dengan sinar UV 254 nm dan serium sulfat.

Selanjutnya Eluen terbaik akan digunakan pada kromatografi kolom.

A B

Gambar 12. Penetesan ekstrak pada plat silica (A), chamber KLT (B)

Kromatografi Kolom

Kolom dipasang pada statif secara tegak lurus. Bagian dasar kolom

dimasukkan glass wol secukupnya dan diatas glass wol dimasukkan Sea sand

sebagai penahan glass wol. Eluen dimasukkan dalam kolom sebanyak 1/3 bagian kolom. Silika dilarutkan dalam eluen hingga menjadi bubur silika. Bubur silika

dimasukkan dalam kolom sedikit demi sedikit. Cerat kolom dibuka dan dialirkan

eluen sampai diperoleh silika yang homogen di dalam kolom. Ekstrak

dihomogenkan dengan cellite dan dimasukkan dalam kolom. Ekstrak yang keluar

dari kolom ditampung tiap 20 ml dalam botol. Senyawa dalam tiap botol dilihat

spotnya dengan KLT, Senyawa yang memiliki nilai Rf yang sama disatukan

menjadi satu fraksi.

Gambar 13. Diagram alir proses kromatografi kolom dan uji larvasida

Uji Larvasida Kromatografi

(41)

A B

Gambar 14. Proses pemisahan dengan kromatografi kolom (A) dan proses pengeringan eluen (B)

Penetasan Telur dan Pemeliharaan Larva Nyamuk Ae. aegypti

Telur Ae. aegypti yang diperoleh dari Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB ditetaskan di dalam wadah berupa nampan

berdiameter ± 10 cm yang telah diisi air sumur. Setelah telur menetas menjadi

larva diberi makan berupa pellet ikan Setelah mencapai instar ke-3, larva dipindahkan ke dalam wadah yang lebih besar berupa mangkuk agar

pertumbuhan larva maksimal. Makanan ditambahkan secukupnya pada pagi dan

sore, sedangkan air diganti setiap dua hari. Pemberian pakan harus secara berkala

untuk menjaga kestabilan pertumbuhan larva dan untuk mencegah terjadinya

kelaparan larva.

(42)

Uji Bioassay

Untuk mendapatkan konsentrasi yang optimal terlebih dahulu dilakukan

uji pendahuluan dengan cara menguji ekstrak pada konsentrasi tertinggi kemudian

diturunkan sampai mendapatkan persentase mortalitas larva 100%. Pada

penelitian menggunakan konsentrasi 0, 50 ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm,

1000 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm, 4000 ppm, 5000 ppm dengan menggunakan 5

ulangan. Uji bioassay mengacu kepada protokol WHO (2005). Tiap konsentrasi

ekstrak yang diuji dimasukkan dalam gelas dengan ditambahkan Tween 0,5 ml

sebagai surfaktan untuk mengurangi tegangan permukaan, sehingga ekstrak dapat

larut dalam air. Volume ekstrak dalam gelas yang akan diujikan adalah 100 ml.

Ekstrak dimasukkan dalam wadah gelas 200 ml bersama dengan 25 ekor larva

instar III-IV kemudian bagian atas gelas plastik ditutupi dengan kain kasa.

Pengamatan dilakukan dengan variasi waktu 6 jam, 12 jam, 24 jam dan 48.

Mortalitas (%) = x 100%

dimana A = jumlah larva yang dimasukkan dalam gelas uji

B = jumlah larva yang hidup pada gelas uji.

(43)

A B

Gambar 16. Pelarutan ekstrak menggunakan stirrer (A), inkubasi (B)

Analisis Data

Uji statistik menggunakan SPSS 10.0 dan minitab 14. Analisis data

menggunakan uji ANOVA. Uji lanjut menggunakan uji Least Significant

Difference (LSD) untuk mengetahui kelompok perlakuan yang paling berbeda.

Penentuan konsentrasi efektif LC50, LC90 menggunakan EPA Probit Analysis

(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan ekstrak terbanyak pada pohon bintaro diperoleh dari kulit buah

yaitu sebesar 12,98 % sedangkan kandungan terendah diperoleh dari ekstrak daun

yaitu sebesar 8,46 % (Tabel 1). Banyaknya kandungan ekstrak dalam suatu

bagian pohon tidak berbanding lurus dengan tingkat aktivitasnya, tetapi tingkat

aktivitas lebih ditentukan oleh senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak

tersebut.

Tabel 1. Kandungan ekstraktif dari bagian pohon bintaro

Jenis bahan ekstrak

Kandungan zat ekstraktif Berat (g) Rendemen (%) Kulit batang 26,54 10,62 Daging buah 25,27 10,11 Kulit buah 32,45 12,98 Daun 21,15 8,46

Hasil Uji Larvasida Ekstrak Kulit Batang, Daging Buah, Kulit Buah,

dan Daun Bintaro

Ekstrak tanaman memiliki potensi sebagai produk untuk pengendalian

nyamuk dan memiliki kelebihan yaitu selektif, lebih mudah diurai menjadi produk

non toksik dan dapat diaplikasikan pada tempat perindukan nyamuk seperti

insektisida komersil (Sukumar et al. 1991). Aktivitas ekstrak terhadap larva

Ae .agypti ditentukan oleh tingkat mortalitas larva setelah terpapar ekstrak yang diuji pada rentang waktu tertentu. Pada Gambar 17 terlihat perbedaan warna dari

masing-masing bahan ekstrak yang diuji. Warna yang paling pekat terdapat pada

larutan ekstrak daun yaitu berwarna hijau. Larutan ekstrak dari kulit batang

berwarna cokelat dan lebih pekat dari larutan ekstrak kulit buah dan daging buah.

Larutan ekstrak paling bening terdapat pada daging buah. Dari hasil pengamatan

diketahui bahwa kepekatan dan warna larutan tidak mempengaruhi tingkat

mortalitas larva Ae. aegypti. Tingkat mortalitas lebih disebabkan oleh kandungan bahan aktif yang bersifat toksik dalam larutan ekstrak yang diuji. Dari hasil uji

larvasida diketahui bahwa bahan ekstrak yang diuji memiliki aktivitas yang

(45)

Gambar 17. Perbedaan warna dari bahan ekstrak yang diuji pada kosentrasi 1000 ppm: kulit batang (A), daun (B), daging buah (C), kulit buah (D)

Gambar 18. Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap esktrak kulit batang

Dari Gambar diatas terlihat bahwa ekstrak metanol kulit batang bintaro

hampir tidak memiliki aktivitas terhadap mortalitas larva Ae. aegypti pada konsentrasi 1000 ppm ke bawah. Aktivitas larvasida baru terlihat pada konsentrasi

2000 ppm ke atas. Aktivitas tertinggi terjadi pada konsentrasi 5000 ppm dengan

tingkat mortalitas larva sebesar 96,8% pada pengamatan ke-48 jam. Hal ini

mengindikasikan bahwa senyawa yang bersifat toksik terhadap larva hanya sedikit

(46)

larva membutuhkan konsentrasi yang besar. Hal yang sangat berbeda terlihat pada

uji bioassay dari ekstrak daging buah (Gambar 19).

Gambar 19. Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap esktrak daging buah

Ekstrak metanol daging buah bintaro memberikan tingkat mortalitas cukup

tinggi terhadap larva Ae. aegypti. Pada konsentrasi 1000 ppm mampu menyebabkan mortalitas sebesar 87,2 %. Mortalitas 100 % dicapai pada

konsentrasi 3000 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat senyawa aktif yang

bersifat toksik terhadap larva nyamuk Ae. aegypti banyak terkandung dalam buah bintaro.

(47)

Aktivitas larvasida ekstrak metanol kulit buah (Gambar 20) dan daun

(Gambar 21) hampir sama dengan ekstrak metanol kulit batang yaitu

menunjukkan aktivitas yang rendah. Pada ekstrak metanol kulit buah konsentrasi

1000 ppm hanya memberikan rata-rata persentase mortalitas larva sebesar 21,6%

dan pada ekstrak metanol daun bintaro sebesar 13,6 %. Walaupun demikian,

hampir pada semua bahan ekstrak yang diuji memiliki pola yang seragam.

Semakin tinggi konsentrasi maka rata-rata persentase mortalitas larva juga

meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa mortalitas yang lebih tinggi bisa dicapai

oleh ekstrak metanol kulit batang, kulit buah dan daun bintaro dengan konsentrasi

yang tinggi. Menurut Yang et al. (2004) ekstrak Cinnamomum cassia, buah

Illicium verum, buah Zanthoxylum piperitum, dan rimpang Kaempferia pada konsentrasi 100 ppm menyebabkan mortalitas larva Ae. aegypti > 90%, sedangkan buah Piper nigrum menyebabkan mortalitas larva Ae. aegypti 100% pada konsentrasi 5 ppm.

Nilai Lethal Concentration (LC) Ekstrak Kasar Bintaro

Tabel 2 menunjukkan nilai LC50 dan LC90 dari kulit batang, daging buah,

kulit buah dan daun bintaro. Nilai LC berkorelasi dengan aktivitas larvasida.

Semakin rendah nilai LC maka semakin tinggi aktivitasnya terhadap mortalitas

larva Ae. aegypti. Dari Tabel 2 terlihat bahwa ekstrak daging buah bintaro

(48)

memiliki nilai LC50 dan LC90 paling rendah dibandingankan dengan ektrak

lainnya. Nilai LC50 dan LC90 paling tinggi terdapat pada ekstrak daun. Hal ini

mengindikasikan bahwa ekstrak daging buah bintaro memiliki aktivitas paling

tinggi terhadap mortalitas larva Ae. aegypti sedangkan ekstrak daun memiliki aktivitas paling rendah.

Tabel 2. Nilai LC50 (ppm) dan LC90

Jenis ekstrak

(ppm) dari ekstrak bintaro pengamatan 24 dan 48 jam

sebesar 760,6 ppm dan 2364,1 sedangkan pada pengamatan 48 jam sebesar 517,3

ppm dan 964,8 ppm. Ekstrak metanol O. canum, dan ekstrak asetonmemiliki nilai

LC50 sebesar 99.42 ppm, 94.43 ppm dan 81.56 ppm (Kamaraj et al. 2008). Nilai

LC50 ekstrak metanol M. charantia, T. anguina, Luffa acutangula, Benincasa

cerifera dan Citrullus vulgaris sebesar 465.85 ppm, 567.81 ppm, 839.81 ppm,

1.189,30 ppm dan 1.636,04 ppm (Prabakar dan Jebanesan 2004). Ekstrak metanol

daun Vitex negundo, Vitex trifolia, Vitex peduncularis dan Vitex altissima

memiliki nilai LC50 sebesar 212.57 ppm, 41.41 ppm, 76.28 ppm dan 128.04 ppm

(Kannathasan et al. 2007 dalam Kamaraj et al. 2008). Ekstrak kasar dengan pelarut benzene memiliki LC50 42.76 ppm (Mullai et al. 2008).

Aktivitas Larvasida Fraksi n-Heksan, Etil asetat dan Fraksi Tidak Terlarut

Tahapan fraksinasi dilakukan hanya pada ekstrak yang memiliki aktivitas

(49)

dengan ekstrak kulit batang, kulit buah dan daun. Oleh karena itu tahapan

fraksinasi dilakukan dari ekstrak daging buah. Agar didapatkan rendemen yang

cukup banyak maka kembali dilakukan ekstraksi dengan menggunakan metode

maserasi. 2000 mg serbuk kering daging buah bintaro kemudian diekstraksi dan

dihasilan 210,97 gram ekstrak kering. Kemudian sebanyak 175 gram ekstrak

metanol daging buah dipartisi dengan menggunakan dua pelarut dengan tingkat

kepolaran yang berbeda yaitu pelarut n-heksan (pelarut non polar) dan etil asetat

(semi polar). Hal ini dilakukan untuk memisahkan senyawa yang bersifat non

polar dan semi polar. Dari hasil fraksinasi didapatkan tiga fraksi yaitu fraksi

n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi tidak terlarut. Kandungan zat ekstraktif hasil

partisi disajikan pada Tabel 3. Hasil ekstrak yang diperoleh dipengaruhi oleh sifat

– sifat bahan alam dan bahan yang diekstraksi. Metode ekstraksi padat-cair

menghasilkan ekstraksi yang lebih sempurna (Kristanti et al. 2006). Dari hasil tahapan fraksinasi diketahui bahwa zat ekstraktif dari daging buah bintaro lebih

banyak terlarut pada pelarut polar.

Tabel 3. Kandungan ekstraktif pada fraksi n-heksan, etil asetat dan fraksi tidak terlarut

Kandungan zat ekstraktif Jenis Fraksi Berat(g) Rendemen (%)

Fraksi terlarut n-heksana

Fraksi terlarut etil asetat

Fraksi tidak terlarut

45,48 25.99

13,05 7.46

116,47 66.55

Ekstrak metanol 175

Aktivitas larvasida dari ketiga fraksi yaitu fraksi n-heksan, fraksi etil asetat

dan fraksi tidak terlarut memiliki nilai yang berbeda. Fraksi n-heksan

menyebabkan mortalitas larva 100% pada konsentrasi 1000 ppm sampai dengan

48 jam pengamatan (Tabel 4). Aktivitas tersebut kemudian menurun pada

konsentrasi 500 ppm yaitu sebesar 81,6%. Sedangkan pada konsentrasi 100 ppm

(50)

Tabel 4. Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap fraksi n-heksan, etil asetat dan fraksi tidak terlarut terhadap mortalitas larva Ae. agypti

Fraksi Konsentrasi

Fraksi etil asetat memiliki aktivitas yang sangat tinggi terhadap larva Ae. aegypti. Pada konsentrasi 1000 ppm menyebabkan tingkat mortalitas larva 100 % dalam waktu 1 jam. Pada konsentrasi 500 ppm menyebabkan mortalitas 100 %

selama 6 jam. Pada konsentrasi 250 ppm, mortalitas larva 100% mampu dicapai

sampai dengan 24 jam pengamatan. Aktivitas tersebut kemudian menurun pada

konsentrasi 100 ppm dan 50 ppm yang mencapai 88,8 % dan 69,6%.

Tabel 5.Nilai LC50 (ppm) dan LC90 (ppm) hasil fraksinasi daging buah bintaro

Fraksi Pengamatan

(51)

Nilai LC50 dan LC90 fraksi etil asetat paling rendah dibandingkan dengan

fraksi n-heksan dan fraksi tidak terlarut (Tabel 5). Hal ini mengindikasikan bahwa

senyawa yang bersifat toksik terhadap larva Ae. aegypti lebih banyak terkandung dalam fraksi etil asetat. Fraksi terlarut n-heksan, butanol dan air dari ampas

mimba memiliki efektivitas yang lebih rendah terhadap larva Ae. aegypti

dibanding fraksi terlarut etil asetat (Nicoletti et al. 2010).

Analisis Fitokimia

Analisis fitokimia dilakukan hanya pada daging buah dan hasil

fraksinasinya untuk mengetahui kelompok senyawa yang terkandung dalam

daging buah. Dari hasil analisis fitokimia diketahui bahwa daging buah

mengandung saponin, alkaloid, flavonoid, triterfenoid glikosida dan steroid.

Fraksi n-heksan mengandung saponin, alkaloid, flavonoid, triterfenoid dan

glikosida. Fraksi etil asetat mengandung alkaloid, flavonoid, triterfenoid, steroid

dan glikosida. Hasil penapisan fitokimia secara lengakap disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan senyawa hasil analisis fitokimia pada ekstrak daging buah bintaro

Jenis ekstrak Kelompok senyawa

Ekstrak metanol Saponin, alkaloid, flavonoid, triterfenoid glikosida, steroid

Fraksi n-hexan Saponin, alkaloid, flavonoid, triterfenoid glikosida

Fraksi etil asetat Alkaloid, flavonoid, triterfenoid, steroid, glikosida

Penelitian terhadap aktivitas biologi menunjukkan bahwa aktivitas ekstrak

buah terhadap serangga banyak dipengaruhi oleh kandungan alkaloid didalamnya,

seperti halnya Madhuca latifolia dan Calophyllum inophyllum yang memiliki alkaloid yang bersifat racun (Katade et al. 2006). Triterpenoid yang diperoleh dari ekstrak metanol daun mimba memiliki aktifitas larvisida seperti halnya senyawa

aktif lain dalam tanaman mimba (Siddiqui et al. 2002). Triterpen dari Junellia aspera (Gillies ex Hook) (Verbenaceae) yaitu maslinic acid, daucosterol, and 3b-hydroxy-12abromine-( 28-13)-oxide-oleanane memiliki pengaruh yang tinggi

(52)

memiliki pengaruh yang rendah (Pungitorea et al. 2005). Flavonoid merupakan pelindung dari serangan penyakit dan insektisida yang kuat (Harborne 1987).

Flavonoid merupakan salah satu jenis golongan fenol yang banyak ditemukan

dalam tumbuh – tumbuhan. Flavonoid dapat menimbulkan kelayuan pada saraf

dan kerusakan pada spirakel yang dapat mengakibatkan serangga mati. Saponim

dari ekstrak etil asetat daun A. aspera memiliki aktivitas terhadap larva Ae. aegypti and Culex quinquefasciatus (Bagavan et al. 2008). Flavonoid pada

Poncirus trifoliate memiliki pengaruh terhadap mortalitas larva Ae. aegypti

(Rajkumar dan Jebanesan 2008).

Aktivitas Larvasida Hasil Kromatografi Kolom

Tahapan kromatografi kolom dilakukan pada fraksi etil asetat karena

fraksi ini memiliki aktivitas larvasida jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan

hasil bioassay fraksi n-heksan dan fraksi tidak terlarut. Pelarut terbaik yang

digunakan pada tahapan kromatografi kolom yaitu kombinasi antara pelarut

n-heksan dan kloroform. Kombinasi kedua pelarut ini menghasilkan pemisahan

senyawa yang paling baik dari fraksi etil asetat. Semua fraksi yang dihasilkan dari

kolom kromatografi diujikan pada konsentrasi yang sama yaitu 1000 ppm. Hasil

uji bioassay dari sub fraksi disajikan pada Tabel 7. Fraksi 1 dan 7 menyebabkan

mortalitas 100% pada pengamatan jam keenam. Fraksi 10 menyebabkan

mortalitas 100% pada pengamatan jam ke-24. Fraksi 6, 7, 8 dan 9 menyebabkan

mortalitas 100% pada pengamatan jam ke-48. Sedangkan fraksi lainnya tidak

menyebabkan mortalitas 100% sampai dengan akhir pengamatan. Hal ini

mengindikasikan bahwa senyawa yang bersifat toksik terhadap larva Ae. aegypti

(53)

Tabel 7. Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap sub fraksi hasil

Tabel 8 menyajikan data rendeman dari masing-masing sub fraksi hasil

kromatografi kolom. Rendemen terbesar dihasilkan pada sub fraksi 3 yaitu

sebesar 0,95 %. Walaupun demikian, aktivitas bioassay dari sub fraksi 3 hanya

menyebabkan mortalitas 84% sampai dengan akhir pengamatan. Hal ini

menunjukkan bahwa kandungan senyawa aktif dalam sub fraksi 3 memiliki

aktivitas yang rendah terhadap mortalitas larva Ae. aegypti.

Tabel 8. Rendemen sub fraksi

Dari hasil KLT diketahui bahwa sub fraksi 1, 7 dan 10 masih memiliki 3

(54)

bahwa di dalam fraksi tersebut masih terkandung beberapa senyawa. Prediksi

(55)
(56)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Daging buah memiliki daya bunuh paling tinggi terhadap larva Ae. aegypti

dibandingkan dengan kulit batang, kulit buah dan daun.

2. Fraksi etil asetat memiliki daya bunuh paling tinggi terhadap larva Ae. aegypti dibandingkan dengan fraksi n-heksan dan fraksi tidak terlarut dengan nilai LC50 34,6 ppm dan LC90

3. Dari 10 sub fraksi yang dihasilkan dari fraksi etil asetat ekstrak daging

buah diperoleh 3 sub fraksi yang memiliki potensi untuk dikembangkan

yaitu sub fraksi 1, 7 dan 10.

95,1 ppm.

Saran

Perlu penelitian lanjutan untuk mengetahui kandungan senyawa yang

(57)

Gambar

Gambar 6. Pohon bintaro (Sumber: www.litbang.deptan.go.id)
Gambar 7. Bahan ekstrak dari tanaman bintaro: daun (A), kulit batang (B),
Gambar 9. Proses ekstraksi: ekstraksi menggunakan metode maserasi (A),
Gambar 10. Diagram alir tahapan fraksinasi dan uji bioassay
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Viiex irifolia Linn.) TERHADAP PERKEMBANGAN PRADEWASA NYAMUK Aedes albopictus.

Hipotesis pada penelitian ini adalah ekstrak etanol akar Kecombrang (Etlingera elatior) efektif sebagai larvasida terhadap larva instar III nyamuk Aedes

Nilai LT 50 dari ekstrak daun Lidah buaya (Aloe vera) sebagai larvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti instar III adalah 730,421 menit pada konsentrasi 0,75%; 178,647 menit

Analisis Tingkat Keanekaragaman Genetik Nyamuk Aedes aegypti dari Kodya Bandung dengan Menggunakan Metode

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa aktivitas larvasida yang terbuat dari ekstrak daun kelor dapat membunuh larva Aedes aegypti

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek larvasida kombinasi ekstrak lidah buaya (Aloe vera) dan lidah mertua (Sansevieria trifasciata) terhadap mortalitas larva

Fraksi etil asetat dari ekstrak etanol daun sembukan (Paederia foetida L.) terbukti mempunyai aktivitas larvasida yang paling tinggi terhadap larva nyamuk..

Untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun salam (Syzygium polyanthum) sebagai larvasida nyamuk Aedes aegypti, telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui