• Tidak ada hasil yang ditemukan

Quantitative Analysis of Bird Communities on Peleng Island with a Focus Banggai crow (Corvus unicolor).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Quantitative Analysis of Bird Communities on Peleng Island with a Focus Banggai crow (Corvus unicolor)."

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

GAGAK BANGGAI (

Corvus unicolor

)

MOHAMMAD IHSAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kuantitatif Komunitas Burung di Pulau Peleng dengan Fokus Burung Gagak Banggai (Corvus unicolor) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

(3)

MOHAMMAD IHSAN. Quantitative Analysis of Bird Communities on Peleng Island with a Focus Banggai crow (Corvus unicolor). Under direction of ANI MARDIASTUTI and AGUS PRIYONO KARTONO.

Peleng island is one of the area in Sulawesi that has large number of variety of bird species. In Peleng Island there is banggai crow that as an endemic bird of Sulawesi. Nowdays, the data about the bird is only a few. This research aimed to identify the bird community, to measure the similarity of the community, the spreading structure of the bird, the ecological aspect and also the spreading pattern of the banggai crow. The data of the bird species was gathered by using IPA count method toward the type of the season and tropical forest habitat type, concentration count method toward marsh area habitat type and line transeck method was used toward mangrove and rain forest habitat type for gathering the data of the banggai crow. Through the research result, it has been found 77 species of birds that classified into 36 families. The largest number of the member was the Columbidae (10 species). The highest index of the variety (H 3,42) was the mangrove habitat type. The analysis t test of the species variety index showed that all habitat types did not have any differences. The habitat type of the season and tropical forest had species similarity index rate 37%. The habitat type of the mangrove forest was the one with the highest species evenness (0,93). Commonly, the pattern of the spreading bird species was in group. Through the Morisita index analysis result, it was found that banggai crow spread in group (Ip>0). Banggai crow only found in the tropical forest type.

(4)

dengan Fokus Burung Gagak Banggai (Corvus unicolor). Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Pulau Peleng merupakan salah satu daerah di Sulawesi yang mempunyai jumlah jenis burung yang tinggi, terutama jenis burung endemik. Jenis-jenis burung tersebut terdapat di berbagai komunitas yang ada di Pulau Peleng. Selain itu, di Pulau Peleng juga terdapat burung gagak banggai yang merupakan jenis burung endemik di Kepulauan Banggai. Sejak dahulu pulau ini telah didatangi oleh para peneliti dan pengamat burung, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun demikian, hingga saat ini hasil penelitian terhadap jenis-jenis burung yang ada di Pulau Peleng masih sangat kurang. Atas dasar tersebut, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengidentifikasi struktur komunitas burung, mengukur kesamaan jenis dan pola penyebaran burung, serta mengidentifikasi aspek ekologi dan pola sebaran spasial gagak banggai.

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Waktu pelaksanaan bulan Maret 2010 sampai dengan bulan Mei 2010. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data burung pada tipe habitat hutan musim dan hutan tropis adalah metode IPA (Indices Ponctuel d’Abondance) dengan radius 100 m pada masing-masing tipe habitat. Pada tipe habitat daerah rawa digunakan metode Concentration counts. Metode ini efektif digunakan untuk mengetahui populasi satwa liar yang mempunyai pola hidup berkelompok. Pada tipe habitat hutan mangrove dan untuk pengumpulan data gagak banggai digunakan metode transek jalur. Transek jalur merupakan metode pengamatan populasi satwaliar melalui pengambilan contoh dengan bentuk unit contoh berupa jalur pengamatan. Pengumpulan data tumbuhan dilakukan pada tiap titik pengamatan burung pada setiap komunitas burung yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan dengan menempatkan petak pengamatan berukuran 10 x 20 m pada setiap tipe habitat.

(5)

Pulau Peleng dikelompokkan menjadi 13 kategori, yaitu: Fly Catching Insectivore: pemakan serangga sambil melayang, Omnivore: pemakan hewan dan tumbuhan, Carnivore Insectivore: pemakan invertebrata dan vertebrata, Insectivore Nectarivore: pemakan serangga dan nektar, Insectivore Frugivore: pemakan serangga dan buah-buahan, Arboreal Frugivore: pemakan buah di bagian tajuk, Carnivore Insectivore: pemakan vertebrata lain dan serangga, Tree Foliage Gleaning Insectivore: pemakan serangga di atas tajuk, Terestrial Frugivore: pemakan buah kecil di lantai hutan, Seed Eater: pemakan biji rumput, Shrub Foliage Gleaning Insectivore: pemakan serangga di daerah semak, Litter Gleaning Insectivore: pemakan serangga di serasah/lantai hutan dan Bark Gleaning Insectivore) pemakan serangga di bagian dahan dan ranting pohon. Berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan di Pulau Peleng, kategori pemakan invertebrata dan vertebrata mempunyai jumlah jenis yang lebih banyak dibandingkan kategori guild lainnya (14 jenis), dominasi berikutnya ditunjukkan oleh pemakan serangga sambil melayang (12 jenis), sedangkan kategori pemakan serangga di serasah dan pemakan buah kecil di lantai hutan, merupakan kategori yang mempunyai jumlah jenis paling sedikit, hanya ditemukan satu jenis. Berdasarkan jumlah individu, kategori pemakan serangga dan buah-buahan memiliki rata-rata jumlah individu terbanyak (231 individu), diikuti pemakan serangga sambil terbang (227 individu). Rata-rata jumlah individu paling sedikit ditemukan pada kategori pemakan buah kecil di lantai hutan (5 individu). Berdasarkan jumlah jenis, pemakan invertebrata dan vertebrata yang mempunyai jumlah jenis (18,18%), sementara jumlah individunya hanya mencapai (3,62%). Pemakan serangga dan buah-buahan, walau hanya mempunyai jumlah jenis sebesar (14,29%) tetapi mempunyai jumlah individu sebesar (23,91%). Sedangkan kategori pemakan buah kecil di lantai hutan merupakan kategori yang mempunyai jumlah terkecil baik dari segi jumlah jenis (1,30%) maupun jumlah individu (0,52%).

Tipe habitat hutan tropis merupakan tipe habitat yang mempunyai indeks keanekaragaman tertinggi (3,41) dibandingkan dengan tipe habitat hutan musim dengan jumlah jenis burung sebanyak 39 jenis. Tipe habitat hutan musim mempunyai indeks keanekaragaman yang lebih rendah (2,87) dan mempunyai jumlah jenis yang rendah (30 jenis). Walaupun indeks keanekaragaman jenis menunjukkan terdapat perbedaan, namun dari hasil uji statistik diketahui perbedaan tersebut tidak berbeda secara signifikan (P>0,005).

Analisis data menunjukan tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis, memiliki kesamaan jenis sebesar 37%. Dari 52 jenis yang terdapat di kedua tipe habitat tersebut, sebanyak 11 jenis (21%) hanya terdapat di tipe habitat hutan musim dan sebanyak 22 jenis (42%) hanya terdapat di tipe habitat hutan tropis, sedangkan sisanya sebanyak 19 jenis (37%) terdapat di dua tipe habitat tersebut. Hasil tersebut, menunjukkan bahwa jenis-jenis burung pada tipe habitat hutan musim dan hutan tropis mempunyai perbedaan jenis yang cukup besar.

(6)

Secara keseluruhan pola sebaran jenis burung yang ditemukan di lokasi penelitian umumnya mengelompok (Ip>0). Pada tipe habitat hutan musim, seluruh jenis burung yang ditemukan mempunyai pola penyebaran mengelompok. Pada tipe habitat hutan mangrove, dari 33 jenis burung yang ditemukan, sebanyak 31 jenis (94%) menyebar secara berkelompok dan dua jenis (6%) menyebar secara acak. Pada tipe habitat hutan tropis dari 34 jenis yang dianalisis, 32 jenis (94%) mempunyai pola penyebaran berkelompok, sedangkan dua jenis lainnya mempunyai pola penyebaran acak (6%). Pola sebaran yang bersifat mengelompok ini ditandai dengan jumlah individu jenis–jenis burung yang tinggi di beberapa tempat, sedangkan di tempat lainnya sedikit atau tidak ada sama sekali. Pola sebaran ini paling sering ditemukan di alam. Hal ini menunjukkan sebagian besar jenis burung yang ditemukan merupakan jenis burung yang hidupnya suka mengelompok.

Hasil analisis data diketahui gagak banggai menyebar secara berkelompok di Pulau Peleng. Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, diketahui burung gagak banggai hanya ditemukan pada tipe habitat hutan tropis. Sedangkan pada tipe habitat lainnya, gagak banggai tidak dijumpai. Sehingga dapat dipastikan bahwa pada penelitian ini gagak banggai hanya memilih habitat hutan tropis sebagai habitatnya. Hasil analisis data menunjukkan tidak terdapat asosiasi antara gagak banggai dan gagak hutan. Gagak banggai yang mempunyai daya adaptasi yang rendah, cenderung mempertahankan hutan yang masih lebat dan gagak hutan yang mempunyai daya adaptasi yang tinggi cenderung beradaptasi dengan lingkungan yang terbuka dan terganggu.

(7)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

GAGAK BANGGAI (

Corvus unicolor

)

MOHAMMAD IHSAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

NIM : E351080041

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(11)

Kupersembahkan karya ini kepada:

(12)

Segala puja dan puji hanya bagi Allah SWT Yang Maha Terpuji, yang telah memberikan nikmat Iman dan Islam serta ilmu pengetahuan kepada kita. Shalawat dan Salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, segenap keluarga, para sahabat serta kita sebagai generasi penerusnya hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul “Analisis Kuantitatif Komunitas Burung di Pulau Peleng dengan Fokus Burung Gagak Banggai (Corvus unicolor)”.

Penelitian dan penyusunan tesis ini dapat diselesaikan karena peran dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. sebagai Anggota Komisi Pembimbing; atas kesediaan membimbing, arahan, bimbingan, motivasi, dan nasihat kepada penulis.

2. Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc. sebagai Dosen Penguji Luar Komisi Pembimbing; atas arahan dan kesediaannya untuk menguji.

3. Ketua Program Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika: Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA beserta jajarannya; atas dorongan untuk cepat menyelesaikan studi dan pelayanannya.

4. Ibu Sustri Ramli S.Hut, M.Sc., Ibu Sitti Ramlah S.Hut. M.Sc., dan Ibu Maf’ullah S.Pd. atas bantuan selama penulis menempuh studi.

7. Hayati Tiah (Forester 99) beserta keluarga yang banyak memberikan bantuan penulis selama di Salakan.

8. Bapak Ferdy Salamat yang telah memberikan bantuan yang memperlancar kegiatan penelitian di lapangan.

9. Kepala Desa Luksagu, Kepala Desa Ambelang, dan Kepala Desa Leme-leme Darat beserta keluarga yang bersedia menerima, memberikan kemudahan dan bantuan kepada penulis selama di lapangan.

10. Keluarga besar mahasiswa S2 Konservasi Biodiversitas Tropika 2008: Bapak Maman Surahman, Ibu Julianti Siregar, Bapak Ahmad Faisal Siregar, Ibu Supriatin, Bapak Toto Supartono dan Bapak Insan Kurnia; atas motivasi, kekeluargaan dan inspirasinya.

11. Teman-teman mahasiswa S2 Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan dan kakak-kakak senior S3 Konservasi Biodiversitas Tropika 2008 (Pak Mamat, Pak Muin, Pak Ifan, dan Pak Mukti); atas saran, masukan dan motivasinya. 12. Pak Sofwan, Mbak Irma (alm.), Mbak Mela dan Mas Indra; atas bantuan dan

pelayanan administrasinya.

13. Moh. Arif Labanu S.Hut., Sukifli Balongka S.Hut., Yuliati Lampaliu S.Hut. dan Cipto Arifianto S.Hut yang telah menemani penulis selama di lapangan, serta Mohammad Fikri S.Hut, dan rekan-rekan Klub Pengamat Burung (KPB). YRBL atas bantuan dan dukungan selama penelitian.

(13)

penulis untuk melanjutkan studi di IPB, ternyata (selalu) ada hikmahnya. 17. Kepada seluruh teman-teman PTD (Pondok Tana Doang): Atho, Sabhan, Pak

Asri, Teja, Mappe, Pak Banda, Pak Heru, Pak Asir, Pak Alfa, Pak Saka, Kak Dody, Pak Mul, Jaya, Pak Cupi, Pak Abe, Pak Jaya, Pido, Alim, Ibu Mutmainah dan Bunda, serta semua teman-teman PTD blok belakang, atas kebersamaan, motivasi dan diskusi.

Kepada Istri Djunita Lintar S.Hut., ananda Muhammad Umar Ali Rizq Nur Mallo (Ijiq) dan Sitti Shaffiyah Nur Mallo (Sofia) tercinta dan tersayang atas kesabaran, motivasi, inspirasi dan dukungan kepada “Abi” untuk segera menyelasaikan studi secepatnya.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Muhammad Nur Mallo (alm.) dan Ibu Musdahlia atas doa, kasih sayang dan teladannya serta kepada kakak Muhammad Fahri Nur Mallo SH., Fajriah Nur Mallo SH., Rahmania Nur Mallo, adik Rahmi Nur Mallo dan Muhammad Ta’at Nur Mallo SP. yang senantiasa membantu dan memotivasi penulis.

Akhir kata, kepada ALLAH SWT penulis memohon semoga Dia menjadikan Tesis ini bermanfaat bagi pembacanya, orang banyak, terutama bagi penulis, dan semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi upaya konservasi burung khususnya konservasi burung di Sulawesi Tengah.

Bogor, Mei 2011

(14)

Penulis dilahirkan di Palu Sulawesi Tengah pada tanggal 27 juli 1979 dari ayah bernama Muhammad Nur Mallo (Alm). dan ibu bernama Musdahlia. Penulis merupakan putra keempat dari enam bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 5 Palu dan pada tahun 1999 lulus masuk Universitas Tadulako. Penulis memilih Program studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2005.

Tahun 2008 penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana IPB pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, dengan sponsor dari Bantuan Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti).

(15)
(16)

(ii)

1 Asosiasi jenis... 22 2 Komposisi jenis burung di Pulau Peleng... 32 3 Persentase jenis dan jumlah individu per famili... 34 4 Status keterancaman, perdagangan dan perlindungan jenis

burung yang ditemukan di Pulau Peleng... 36 5 Indeks keanekaragaman (H’) jenis burung pada empat tipe habitat

di Pulau Peleng ... 39 6 Matriks indeks kesamaan jenis (%) antara tipe habitat hutan

musim dan tipe habitat hutan tropis... 39 7 Indeks kemerataan jenis burung di Pulau Peleng ... . 40 8 Jumlah individu gagak banggai pada empat tipe habitat di Pulau Peleng.. 41 9 Keberadaan jenis gagak banggai dan gagak hutan di empat tipe

(17)

(iii)

1 Kerangka pemikiran penelitian... 4

2 Individu gagak banggai di Pulau Peleng... 8

3 Bentuk unit contoh untuk inventarisasi burung dengan metode IPA... 16

4 Bentuk transek jalur pengamatan satwaliar dengan metode transek jalur ... 17

5 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan musim... 25

6 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat daerah rawa ... 27

7 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan mangrove... 29

8 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan tropis... 31

9 Kategori guild berdasarkan jumlah jenis burung yang ditemukan... 37

(18)

(iv)

1 Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis burung pada masing-

masing tipe habitat... 67 2 Komposisi guild pada empat tipe habitat di Pulau Peleng... 72 3 Perbandingan komposisi jenis burung tahun 2006 dan 2010 di

Pulau Peleng ... 75 4 Pola penyebaran burung di Pulau Peleng... 79 5 Data biofisik pada empat tipe habitat di Pulau Peleng... 82 6 Hasil analisis asosiasi interspesifik gagak banggai dan gagak hutan

(19)

1.1 Latar Belakang

Pulau Peleng bersama Pulau Banggai, Pulau Labobo, Pulau Bangkurung, Pulau Bowokan dan Kepulauan Sula (terdiri atas Pulau Taliabu, Pulau Mangole dan Pulau Sanana) merupakan daerah penghubung dua kawasan sebaran satwa penting, yakni Kawasan Sulawesi dan Maluku. Oleh karena terletak berbatasan dengan Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku, sehingga di Pulau Peleng dapat dijumpai jenis burung asli Sulawesi serta jenis-jenis burung asli Kepulauan Maluku. Jenis-jenis burung asli Sulawesi yang dapat dijumpai antara lain elang sulawesi (Spizaetus lanceolatus), elang alap kepala kelabu (Accipiter griseiceps), pergam putih (Ducula luctuosa), walik raja (Ptilinopus superbus) dan merpati hitam sulawesi (Turacoena manadensis). Jenis-jenis burung asli Kepulauan Maluku yang dijumpai di Pulau Peleng antara lain serindit maluku (Loriculus amabilis), nuri raja ambon (Alisterus amboinensis), celepuk maluku (Otus magicus) dan perling maluku (Aplonis mysolensis) (Mallo et al. 2006).

(20)

endemik Sulawesi. Jenis burung ini sebarannya terbatas pada daerah Kepulauan Banggai. Burung ini telah dikenal sejak abad 18 (1884-1885) yang lalu dari dua spesimennya yang dikoleksi oleh Rothschild dan Hartert (Coates et al. 2000). Pada tahun 2007 informasi mengenai keberadaan gagak banggai di habitat alaminya diketahui dengan ditemukannya burung ini oleh Mallo dan Putra (Mallo & Putra 2007). Sejak dikenal hingga tahun 2007 informasi keberadaannya di alam belum dapat diketahui sehingga penelitian terhadap burung gagak banggai juga belum pernah dilakukan. Akibatnya data dan informasi tentang aspek ekologi dan populasi burung ini belum banyak diketahui. Selain itu diduga burung ini mengalami tekanan di habitatnya karena degradasi habitat sehingga dikhawatirkan akan terancam kelestariannya.

1.2 Perumusan Masalah

Pulau Peleng merupakan salah satu daerah di Sulawesi yang mempunyai jumlah jenis burung yang tinggi, terutama jenis burung endemik. Jenis-jenis burung tersebut terdapat di berbagai ekosistem yang ada di Pulau Peleng. Selain itu di Pulau Peleng juga terdapat burung gagak banggai yang merupakan jenis burung yang endemik di Kepulauan Banggai. Sejak dahulu pulau ini telah didatangi oleh para peneliti dan pengamat burung. Namun demikian, hingga saat ini hasil penelitian terhadap jenis-jenis burung yang ada di Pulau Peleng masih sangat kurang. Informasi dari data penelitian tersebut sangat dibutuhkan mengingat, kelestarian jenis-jenis burung yang ada di pulau tersebut, terutama burung gagak banggai telah terancam oleh berbagai faktor. Data-data tersebut diharapkan dapat menunjang upaya pelestarian jenis-jenis burung secara umum dan burung gagak banggai secara khusus. Sehingga perlu dilakukan analisis kuantitatif terhadap komunitas burung di Pulau Peleng dengan fokus utama terhadap burung gagak banggai.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi struktur komunitas burung.

2. Mengukur kesamaan komunitas dan pola penyebaran burung.

(21)

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah data mengenai komunitas burung dan burung gagak banggai di Pulau Peleng dan sebagai bahan pertimbangan untuk upaya pelestarian burung, khususnya burung gagak banggai di Pulau Peleng.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Mengingat banyaknya dan luasnya berbagai aspek dari komunitas burung secara umum dan khususnya burung gagak banggai, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada keanekaragaman jenis burung, kemerataan jenis burung, kesamaan jenis burung dan pola penyebaran burung pada tipe habitat yang diteliti, serta preferensi habitat dan pola sebaran dari burung gagak banggai.

1.6 Kerangka Pemikiran

Pulau Peleng merupakan habitat bagi jenis-jenis burung dan gagak banggai. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, mengakibatkan terjadinya degradasi habitat, yang menyebabkan jenis-jenis burung yang ada di Pulau Peleng terganggu, sehingga perlu dilakukan usaha pelestarian. Untuk upaya pelestarian tersebut, dibutuhkan penelitian yang menyeluruh terkait komunitas burung dan aspek ekologi gagak banggai. Data dan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut dapat dijadikan dasar untuk menganalisis atau membuat kebijakan terkait komunitas burung secara umum dan burung gagak banggai secara khusus.

Komunitas burung dibentuk oleh berbagai faktor, seperti jenis penyusun komunitas, faktor vegetasi, perubahan musiman, waktu dan faktor lainnya. Perbedaan struktur dan komposisi jenis penyusun suatu komunitas akan berbeda antara tipe vegetasi yang ada. Perubahan musim dan perubahan vegetasi sejalan dengan waktu juga akan mempengaruhi komunitas burung. Komunitas burung bisa diamati dengan menggunakan parameter suatu komunitas seperti kekayaan, keanekaragaman, kelimpahan relatif dan komposisi jenis.

(22)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Faktor Interspesies: - Keanekaragaman - Kemerataan - Kelimpahan - Komposisi jenis

Preferensi habitat dan pola penyebaran gagak banggai Komponen Fisik Habitat: - Kelerengan lahan - Ketinggian tempat - Suhu udara

- Jarak terhadap kebun terdekat

- Jarak terhadap tempat aktivitas manusia

Dasar untuk menganalisis atau pembuatan kebijakan terkait komunitas burung secara umum dan burung gagak banggai Struktur komunitas

Burung Faktor Musim

Faktor Lainnya: - Ketersediaan pakan Faktor Waktu

Faktor Intraspesies - Perkembang biakan - Guild

(23)

2.1 Habitat

Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar (Alikodra 1990).

Menurut Odum (1993) habitat terdiri atas komponen abiotik dan biotik yang bersama-sama menyusun kumpulan sumberdaya yang secara langsung maupun secara tidak langsung mendukung kehidupan organisme untuk hidup di tempat tersebut. Tumbuhan merupakan bagian habitat yang berfungsi sebagai penyedia berbagai macam makanan, tempat sarang serta tempat berlindung bagi satwa liar. Tumbuhan yang terdapat di habitat tersebut merupakan faktor penting dalam kehidupan burung karena beberapa bagian dari tumbuhan yaitu bagian generatif dan bagian vegetatif menjadi sumber makanan (Fleming 1992).

Komposisi komunitas burung dapat dipengaruhi oleh perubahan komposisi jenis tumbuhan dalam suatu habitat. Perubahan suatu habitat mengakibatkan beberapa jenis burung mengubah perilaku makannya dan memperluas daerah jelajahnya (Lambert 1992). Penggunaaan habitat oleh burung berubah-ubah tergantung ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan dan adanya seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat sesuai dengan kebutuhannya (Wiens 1992). Selain itu, kehadiran jenis burung pada suatu komunitas dipengaruhi oleh fragmentasi habitat dan ketersediaan sumberdaya di habitat seperti makanan (Hobson & Bayne 2000; Haslem & Bennett 2008; Fleming 1992).

2.2 Komunitas Burung

(24)

tempat mencari pakan untuk kelangsungan hidupnya (Connel et al. 2000). Pengelompokan burung dalam kategori guild dilakukan berdasarkan pola mencari pakan, kebiasaan makan, tempat mencari pakan atau pemilihan tempat mencari pakan pada tingkatan vegetasi (Rakotomanana 1998; Aleixo 1999).

Menurut Karr (1971) komposisi jenis dalam komunitas dapat dilihat dari komposisi atau kategori pakan dan cara makan dari jenis-jenis burung yang ada. Pada suatu habitat yang kaya dengan serangga akan memiliki jumlah burung insektivora yang melimpah atau jika suatu habitat cukup beragam sumber pakannya tetapi produktivitas masing-masing sumberdaya tidak melimpah, maka sebagian besar jenis pembentuk komunitas adalah jenis burung-burung omnivora. Demikian pula apabila produksi biji dan buah melimpah, maka pembentuk komunitasnya adalah jenis burung frugivora dan jenis burung graminivora.

2.3 Keanekaragaman Jenis Burung

Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya dan dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan jenis yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas disusun oleh sangat sedikit dan hanya sedikit dari jenis itu yang dominan, maka keanekaragaman jenisnya rendah. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi yang tinggi pula (Soegianto 1994; Krebs 1989; Wiens 1992).

(25)

habitat lainnya, hal ini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya (Alikodra 1990). Keanekaragaman jenis di suatu habitat ditentukan oleh faktor seperti struktur vegetasi, komposisi jenis tumbuhan, sejarah habitat, tingkat gangguan dari predator dan manusia (Welty & Baptista 1988), serta ukuran luas habitat (Wiens 1992). Oleh karena itu, kondisi suksesi vegetasi berkaitan erat dengan perubahan komposisi jenis yang menempatinya (Alikodra 1990). Keanekaragaman jenis cenderung lebih rendah di ekosistem yang homogen dan lebih tinggi di ekosistem yang alami dan kompleks. Peningkatan jumlah jenis burung juga berkaitan dengan pertambahan luas habitat (Wiens 1992).

2.4 Bio-ekologi Gagak Banggai

2.4.1 Klasifikasi dan Morfologi

Secara umum gagak banggai diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, phylum Chordata, class Aves, ordo Passeriformes, familia Corvidae, genus Corvus dan jenis Corvus unicolor (Gambar 2).

(26)

Gambar 2 Individu gagak banggai di Pulau Peleng a) dan d) tampak depan, b) tampak samping, c) tampak belakang.

2.5.2 Perkembangbiakan

Gagak banggai diperkirakan bertelur, mengeram hingga membesarkan anaknya dalam sarang pada bulan Juni hingga awal September, masa bercumbu dan membuat sarang diperkirakan sebelum bulan Juni hingga akhir bulan Juni. Masa anak meninggalkan sarang diperkirakan pada awal bulan September sampai Oktober.

Pada masa berkembangbiak gagak banggai membuat sarang yang berukuran 40 cm, berbentuk terbuka yang kurang rapi dari ranting-ranting kayu yang kuat, bahan sarang yang ditemukan ukurannya bervariasi, dari sebesar lidi aren (Arenga pinnata) hingga sebesar jari kelingking orang dewasa. Sarang diletakkan pada pohon toan (Pometia sp.), pada dahan tertinggi, dekat puncak kanopi yang tingginya 19 m dari permukaan tanah (Mallo & Putra 2007).

2.5.3 Makanan

(27)

Menurut Mallo dan Putra (2007), gagak banggai sering dijumpai di tepi hutan yang masih banyak terdapat pohon yang berukuran besar dan tinggi yang berbatasan dengan ladang. Gagak banggai juga sering terlihat bertengger pada pohon monas dan malisa atau marisa (Podocarpus sp.) dan pohon uling (Koordersiodendron pinnatum) dengan ketinggian tenggeran sekitar 20- 40 m dari permukaan tanah.

2.5.5 Perilaku

Gagak banggai sering berkelahi dengan gagak hutan (Corvus enca) dan dalam perkelahian tersebut gagak hutan selalu kalah dan menghindari gagak banggai. Gagak banggai selalu menghindari kontak dengan manusia dan selalu menghindari daerah terbuka yang sering dikunjungi manusia atau daerah terdapat aktivitas manusia (Mallo & Putra 2007).

2.5.6 Penyebaran dan Populasi

Penyebaran secara global burung gagak banggai terbatas (endemik) pada Kepulauan Banggai subkawasan Sulawesi. Secara lokal gagak banggai hanya dijumpai di Pulau Peleng. Gagak banggai dapat dijumpai pada beberapa tempat di ketinggian antara 700 sampai 800 mdpl. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Mallo dan Putra (2008a), penyebaran gagak banggai hanya dijumpai pada bagian Barat dan Tengah Pulau Peleng dan gagak banggai tidak ditemukan pada bagian Timur Pulau Peleng dan pulau Banggai. Gagak banggai menyebar bukan berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut, karena gagak banggai juga dijumpai pada ketinggian 200 mdpl. Jumlah populasi gagak banggai di Pulau Peleng diperkirakan sekitar 150 sampai 200 ekor.

2.6 Pola Sebaran Spasial

(28)

dari persaingan makanan diantara individu sebagaimana dapat diamati pada hewan yang merumput; sedangkan pola sebaran mengelompok dapat disebabkan oleh sifat jenis yang bergerombol (gregorius) atau adanya keragaman (heterogenity) habitat sehingga terjadi pengelompokan di tempat terdapat makanan dan lainnya.

Menurut Ludwig dan Reynolds, (1988) faktor yang menyebabkan adanya perbedaan pola sebaran spasial diantaranya adalah:

1. Faktor vektorial yang timbul dari adanya gaya-gaya eksternal seperti arah angin, arah aliran air dan intensitas cahaya;

2. Faktor reproduksi yaitu yang berkaitan dengan cara berkembang biak; 3. Faktor sosial sebagai akibat sifat yang dimiliki tertentu misalnya perilaku

teriotorial;

4. Faktor yang timbul sebagai akibat adanya persaingan intraspesifik.

(29)

3.1 Status, Luas dan Letak

Pulau Peleng merupakan pulau yang terletak di ujung semenanjung timur Pulau Sulawesi, yang jaraknya dekat perbatasan antara Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Jarak pulau ini cukup dekat dengan Kota Luwuk. Pulau Peleng secara administrasi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tengah. Wilayah Pulau Peleng terbagi dalam enam kecamatan, yaitu Kecamatan Tinangkung, Kecamatan Bulagi, Kecamatan Bulagi Selatan, Kecamatan Totikum, Kecamatan Liang dan Kecamatan Buko. Daratan Pulau Peleng memiliki luas 3.214,46 km² (BPS 2004).

3.2 Penduduk

Jumlah penduduk Pulau Peleng tahun 2004 adalah 153.827 jiwa. Suku dominan di pulau ini adalah Suku Salakan, dan sebagian kecil suku pendatang dari luar Pulau Peleng, seperti Bugis, Jawa, Luwuk, Gorontalo dan Kendari (BPS 2004).

3.3 I k l i m

Pulau Peleng mengalami dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan di Pulau Peleng jatuh pada bulan Maret-Juli dengan curah hujan 66 s/d 235 mm, sementara musim kemarau jatuh pada bulan September- Nopember dengan curah hujan 14 s/d 23 mm (BPS 2004).

3.4 F l o r a

(30)

tempat di pulau ini terbentuk vegetasi yang mencirikan hutan musim. Tumbuhan yang dominan yang ditemukan pada vegetasi ini adalah jembirit (Tabernaemontana sp.) dan lontar (Borassus sp.). Pada beberapa tempat di Pulau Peleng terbentuk rawa dan rawa yang telah diolah menjadi sawah, tumbuhan yang umum ditemukan pada rawa dan sawah selain padi (Oryza sativa) yang ditanam penduduk, adalah kangkung air (Ipomea aquatica), teki (Cyperus sp.) dan sagu (Metroxylon sagu).

Pantai Pulau Peleng terdiri dari pantai bertebing karang kapur, pantai berpasir dan hutan mangrove. Pada pantai bertebing kapur yang kemiringannya relatif agak landai terbentuk vegetasi hutan tropis dataran rendah bercampur jenis tumbuhan pantai pada formasi Barringtonia, seperti beringin (Ficus sp.), kenari (Canarium sp.), pandan laut (Pandanus tectorius), butun (Barringtonia asiatica), ketapang (Terminalia cattapa) dan bintangor (Calophyllum sp.). Pada pantai berpasir didominasi jenis tumbuhan dari Formasi Pes-Caprae; terdiri dari tapak kuda (Ipomea pes-caprae), rumput angin (Spinifex littoreus), seruni laut (Wedelia biflora) dan kacang laut (Vigna marina). Jenis tumbuhan yang umum terlihat pada hutan mangrove adalah dari marga bakau (Rhizophora sp.) dan di belakang tumbuhan bakau (Rhizophora sp.) pada tempat berawa ditemukan nipah (Nypa fruticans). Selain terbentuk vegetasi alami di Pulau Peleng berupa hutan tropis dataran rendah, rawa dan sawah, berbagai vegetasi pantai, juga terdapat ladang-ladang penduduk yang telah membentuk vegetasinya sendiri, jenis tanaman yang umum ditanam penduduk pada ladang adalah jambu monyet (Anacardium oceidentale), durian (Durio sp.), cacao atau coklat (Theobroma cacao), kelapa (Cocos nucifera), pisang (Musa sp.), keladi (Alocasia sp.) dan ubi banggai (Discorea sp.).

3.5 F a u n a

(31)

Kawasan Oriental dan Kawasan Australo-Papuan, sehingga jenis hewan yang ada di kawasan ini merupakan percampuran antara jenis hewan Kawasan Oriental dan Kawasan Australo-Papuan. Selain itu, karena terletak pada berbatasan antara Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku, di Pulau Peleng dijumpai jenis hewan asli Sulawesi yang bercampur dengan jenis hewan asli Kepulauan Maluku. Jenis-jenis hewan asli Sulawesi yang dijumpai seperti tarsius peleng (Tarsius pelengensis), elang sulawesi (Spizaetus lanceolatus), elang alap kepala kelabu (Accipiter griseiceps), pergam putih (Ducula luctuosa), walik raja (Ptilinopus superbus), dan merpati hitam sulawesi (Turacoena manadensis). Jenis-jenis hewan asli Kepulauan Maluku yang dijumpai di Pulau Peleng seperti serindit maluku (Loriculus amabilis), nuri raja ambon (Alisterus amboinensis) dan perling maluku (Aplonis mysolensis).

(32)

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat alami, yaitu pada tipe habitat hutan musim, tipe habitat daerah rawa, tipe habitat hutan mangrove dan tipe habitat hutan tropis. Sedangkan dua tipe habitat lainnya yaitu daerah kebun dan sawah tidak dilakukan pengambilan data, karena merupakan tipe habitat buatan manusia. Waktu pelaksanaan mulai bulan Maret 2010 sampai dengan bulan Mei 2010.

4.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: peta Pulau Peleng skala 1: 300.000, kompas Brunton, binokuler Pentax ukuran 8x45, buku panduan burung di Kawasan Wallacea (Coates et al 2000), pita meter, altimeter, tambang plastik, alkohol 70%, kamera digital, kertas koran, gunting, label gantung, tally sheet, GPS Garmin 12 dan komputer.

4.3 Jenis Data

A. Komunitas Burung

Data burung yang dikumpulkan berupa data jenis burung dan jumlah individu burung yang teramati setiap pertemuan.

B. Gagak Banggai

Data yang dikumpulkan berupa data jenis burung jumlah individu gagak banggai beserta jenis burung yang merupakan predator dan non predator gagak banggai.

C. Tumbuhan

(33)

4.4.1 Komunitas Burung

4.4.1.1 Metode Kelimpahan Titik (IPA)

Metode IPA (Indices Ponctuel d’Abondance) merupakan metode pengamatan burung dengan mengambil sampel dari komunitas burung dalam waktu dan lokasi tertentu. Pengamatan dilakukan dengan menempatkan diri pada titik yang telah dipilih secara sistematik dan telah ditentukan sebelumnya, dengan mencatat dan mengidentifikasi jenis dan jumlah individu setiap jenis yang dijumpai baik secara langsung (visual) maupun secara tidak langsung (suara) (Helvoort 1981).

Pengamatan dilakukan pada periode pagi pukul 05.30 WITA dan berakhir pukul 09.00 WITA. Pengamatan periode sore hari dilakukan mulai pukul 15.30 WITA sampai pukul 18.00 WITA. Lokasi pengamatan burung dengan menggunakan metode ini adalah pada tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis. Pada masing-masing tipe habitat, dibuat enam titik pengamatan dengan pengulangan sebanyak empat kali pada masing-masing tipe habitat, dengan waktu pengamatan untuk setiap titik yaitu selama 10 menit.

Bentuk unit contoh dalam pengamatan burung dengan menggunakan metode IPA ialah dengan lingkaran yang diameternya atau radius lingkaran 50 m, dengan jarak antara titik tengah 100 m (Gambar 3).

Gambar 3. Bentuk unit contoh untuk inventarisasi satwa liar burung dengan metode IPA : P = Titik pengamatan, r = Radius lingkaran yang ditentukan berdasarkan kemampuan jarak pandang rata-rata (50 m).

P1 P2 P3

Arah Lintasan

100m

500-1000m

(34)

Metode ini digunakan pada tipe habitat daerah rawa. Metode ini digunakan karena arealnya terbuka dan tidak terlalu luas serta penyebaran burung terkonsentrasi di daerah tersebut. Menurut Alikodra (1990) bahwa metode Concentration counts efektif digunakan untuk mengetahui populasi satwaliar yang mempunyai pola hidup berkelompok. Pada metode ini, pengamat menempatkan diri pada suatu tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Penentuan titik pengamatan berdasarkan konsentrasi burung yang akan diamati. Untuk pengumpulan data, pada tipe habitat ini digunakan satu titik pengamatan dengan empat kali pengulangan.

4.4.1.3 Metode Transek Jalur (Strip Transect)

Metode transek jalur (strip transect) digunakan pada tipe habitat hutan mangrove. Transek jalur adalah suatu metode pengamatan populasi satwaliar melalui pengambilan contoh dengan bentuk unit contoh berupa jalur pengamatan (Sutherland 2006). Metode ini dilakukan dengan membuat jalur sejajar satu sama lain dengan panjang jalur masing-masing 1 km dan lebar jalur 50 m (25 m ke kanan dan 25 m ke kiri) dengan asumsi kemampuan mata memandang sejauh 25 m. Pada tipe habitat ini ditempatkan dua jalur pengamatan dengan pengulangan empat kali setiap jalurnya. Jarak antar jalur yaitu 200 m (Gambar 4).

Gambar 4. Bentuk unit contoh untuk inventarisasi satwa liar burung dengan metode transek jalur: D= jarak antara pengamat dengan satwa, Xi= posisi satwa, Pi= titik pengamatan, 25 m= jarak pandang pengamat.

Xi Xi

25 m D D

Arah Lintasan Pengamat

Pi

25 m D D

(35)

Data burung gagak banggai dikumpulkan dengan menggunakan metode transek jalur (Gambar 4). Penempatan jalur diletakkan pada habitat yang dijumpai burung gagak banggai. Untuk pengumpulan data gagak banggai digunakan delapan jalur dengan pengulangan sebanyak empat kali.

4.4.3 Data Tumbuhan

Pengumpulan data tumbuhan dilakukan pada tiap titik pengamatan burung pada setiap komunitas burung yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan dengan menempatkan petak pengamatan berukuran 10 x 20 m pada setiap tipe habitat.

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

4.5.1 Komunitas Burung

Keanekaragaman Jenis Burung

A. Indeks Keanekaragaman Jenis

Untuk menentukan kekayaan jenis burung digunakan indeks

keanekaragaman Shannon (H’) (Ludwig & Reynolds 1988) dengan rumus:

H’ = -

Nilai pi diperoleh dengan menggunakan rumus:

spesies

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon S = Jumlah Jenis

pi = Proporsi jumlah individu ke-i (n/N) Ln = Log natural

(36)

N

Kaidah pengambilan keputusan dari hipotesis di atas adalah sebagai berikut: - Jika t hitung t tabel, maka terima Ho

- Jika t hitung > t tabel, maka tolak Ho

B. Indeks Kemerataan Jenis

Untuk menentukan proporsi kelimpahan jenis burung yang ada di masing-masing komunitas digunakan indeks kemerataan (Index of Equitabillity or Evennes) yaitu jumlah individu dari suatu jenis atau kelimpahan masing-masing jenis dalam suatu komunitas dengan rumus: E = H’/ln S

Keterangan :

E = Indeks kemerataan

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon

(37)

Indeks kesamaan jenis digunakan untuk membandingkan kesamaan jenis burung pada berbagai komunitas, yang dapat dihitung dengan menggunakan

indeks Jaccard, dengan rumus : (Sj) =

c b a

a

Keterangan :

a = Jumlah jenis yang umum di komunitas A dan B

b = Jumlah jenis yang ada di komunitas A tetapi tidak di komunitas B c = Jumlah jenis yang ada di komunitas B tetapi tidak di komunitas A

D. Pengelompokan Berdasarkan Kategori Guild

Komunitas burung yang ditemukan dikelompokan berdasarkan pola pemanfaatan sumberdaya yang sama (guild). Pengelompokan jenis-jenis burung tersebut mengacu pada Mac Kinnon (1991), Novarino (2008) dan Rahayuningsih (2009), yaitu:

1. FCI (Fly Catching Insectivore) pemakan serangga sambil melayang 2. OM (Omnivore) pemakan hewan dan tumbuhan

3. CAIN (Carnivore Insectivore) pemakan invertebrata dan vertebrata 4. IN (Insectivore Nectarivore) pemakan serangga dan nektar

5. IF (Insectivore Frugivore) pemakan serangga dan buah-buahan 6. AF (Arboreal Frugivore) pemakan buah di bagian tajuk

7. CI (Carnivore Insectivore) pemakan vertebrata lain dan serangga

8. TFGI (Tree Foliage Gleaning Insectivore) pemakan serangga di atas tajuk 9. TF (Terestrial Frugivore) pemakan buah kecil di lantai hutan

10.SE (Seed Eater) pemakan biji rumput

11.SFGI (Shrub Foliage Gleaning Insectivore) pemakan serangga di daerah semak

12.LGI (Litter Gleaning Insectivore) pemakan serangga di serasah/lantai hutan

(38)

Metode yang digunakan untuk mengetahui pola sebaran jenis-jenis burung adalah metode Indeks Sebaran Morisita. Menurut Krebs (1989), tahapan penghitungan dengan menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:

Langkah 1. Menghitung Indeks Morisita (Id)

Langkah 2. Menghitung Indeks Morisita yang distandarisasi

Indeks Keseragaman

Kaidah pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut: - Jika Ip = 0, maka pola penyebarannya adalah acak (random) - Jika Ip > 0, maka penyebarannya adalah mengelompok (clumped) - Jika Ip < 0, maka penyebarannya seragam (reguler).

4.5.3 Tumbuhan

(39)

cm.

4.5.4 Analisis Data Burung Gagak Banggai

4.5.4.1 Pola Sebaran Spasial

Metode yang digunakan untuk mengetahui pola penyebaran spasial gagak banggai adalah metode Indeks Sebaran Morisita (Krebs 1989).

4.5.4.2 Uji Asosiasi Dua Jenis

Prosedur untuk mempelajari asosiasi interspesifik didasarkan atas ada atau tidak adanya suatu jenis di dalam unit contoh yang diamati. Pengujian asosiasi dua jenis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

f(A) =

Keterangan: f(A) = frekuensi harapan keberadaan jenis A di dalam unit contoh. f(B) = frekuensi harapan keberadaan jenis B di dalam unit contoh.

Perjumpaan dua jenis dapat disajikan dalam bentuk tabel kontingensi asosiasi jenis (Tabel 1).

Tabel 1 Tabel asosiasi jenis

Keberadaan Jenis Jenis B Jumlah

Ada Tidak Ada

Jenis A Ada a b m = a + b

Tidak Ada c d n = c + d

Jumlah r = a + c s = b + d N = a+b+c+d

Statistik uji chi-square dapat digunakan untuk menguji hipotesis nol yang menyatakan bahwa keberadaan jenis A dan jenis B adalah independen (saling bebas). Persamaan uji tersebut adalah:

(40)

dan Ei adalah frekuensi harapan. Nilai harapan untuk setiap sel pada Tabel 1, yakni nilai harapan a [E(a)], E(b), E(c) dan E(d) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi harapan setiap sel tabel kontingensi 2 x 2, maka dapat dihitung statistik uji Chi-square sebagai berikut:

2

Signifikansi statistik uji Chi-square ditentukan dengan cara membandingkannya dengan sebaran Chi-square teoritis (Chi-square tabel) pada derajat bebas v = (r–1)(c–1). Secara teoritis, nilai Chi-square pada derajat bebas 1 dan taraf signifikansi 5% adalah 3.841. Hipotesis yang dibangun:

Ho : keberadaan jenis A dan B adalah saling bebas atau independen H1 : terdapat asosiasi antara jenis A dengan jenis B

(41)

5.1.1 Habitat

A Tipe habitat hutan musim

Tipe habitat hutan musim terletak pada ketinggian 79 mdpl. Rata-rata suhu harian di tipe habitat ini berkisar 25,8 °C (Lampiran 5). Profil tumbuhan pada tipe habitat hutan musim dibentuk oleh tujuh jenis pohon yang termasuk dalam enam famili (Gambar 5).

Keterangan:

A. Unidentified E. Cordia suaviolens

B. Melanolepis multiglandulosa F. Albizia lebbeck

C. Canthium monstrosum G. Saurauia sp. D. Garuga floribunda

Gambar 5 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan musim

(42)

cabang paling tinggi. Secara umum tipe habitat hutan musim mengalami gangguan dan telah terfragmentasi. Kondisi vegetasi pada tipe habitat ini lebih terbuka dan pada bagian lantai hutan hanya ditumbuhi oleh semak-semak yang penutupannya agak jarang. Sebagian besar jenis pohon yang ada terkonsentrasi pada satu tempat dengan jarak antar jenis pohon agak rapat, sedangkan tempat lainnya lebih terbuka dan hanya ditempati satu jenis pohon. Tipe habitat ini lebih terbuka akibat pengambilan kayu dari jenis-jenis pohon yang ada, sehingga sebagian besar areal tipe hutan musim tidak utuh dan mengalami kerusakan serta banyak terdapat jalan setapak yang merupakan akses masyarakat menuju ladang yang terdapat pada bagian tengah tipe habitat ini.

Pada tipe habitat ini dijumpai sebanyak 30 jenis burung yang tergolong dalam 21 famili. Brinji emas (Ixos affinis) merupakan jenis burung yang paling sering dijumpai yaitu sebanyak 69 individu. Pada tipe habitat ini, terdapat sepuluh kelompok guild dengan kategori guild pemakan serangga dan nektar merupakan guild yang paling banyak dijumpai dari segi jumlah jenis. Berdasarkan jumlah jenis, didominasi oleh kategori guild pemakan serangga sambil terbang dengan jumlah jenis sebanyak enam jenis (Lampiran 2).

B Tipe habitat daerah rawa

Tipe habitat daerah rawa terletak pada ketinggian 2 mdpl. Rata-rata suhu harian berkisar pada 29 °C (Lampiran 5). Profil tumbuhan pada tipe habitat daerah rawa disusun oleh tujuh individu pohon yang berasal dari enam jenis pohon yang termasuk dalam empat famili (Gambar 6).

(43)

Famili Palmae merupakan famili yang mempunyai jumlah individu yang lebih dari satu individu. Diameter rata-rata pohon pada tipe habitat ini sebesar 22,89 cm. Sedangkan tinggi bebas cabang rata-rata sebesar 3,57 cm. Metroxylon sagu merupakan jenis pohon yang mempunyai diamater dan bebas cabang yang paling besar dan tinggi dibanding dengan enam jenis pohon lainnya. Kondisi vegetasi pada tipe habitat ini lebih terbuka.

Pada tipe habitat daerah rawa dijumpai jenis burung sebanyak 32 jenis yang termasuk dalam 23 famili. Jenis burung yang paling banyak dijumpai yaitu burung tepekong jambul (Hemiprocne longipenis), sedangkan pada tipe habitat ini terdapat sembilan kategori guild. Dengan kelompok guild yang dominan yaitu pemakan serangga sambil terbang baik dari segi jumlah jenis maupun dari segi jumlah individu (Lampiran 2).

Keterangan

A. Metroxylon sagu E. Anthocephalus chinensis

B. Eurya sp. F. Lasianthus sp. C. Metroxylon sagu G. Ficus sp. 1 D. Morinda citrifolia

(44)

C Tipe habitat hutan mangrove

Tipe habitat ini terletak pada daerah muara sungai. Sebagian besar arealnya selalu terendam air, kecuali areal yang berbatasan dengan laut. Pada bagian yang berbatasan laut, ketika laut mengalami pasang, seluruh arealnya akan terendam air demikian pula sebaliknya areal akan kering ketika air laut surut, sehingga hanya menyisakan areal yang berlumpur. Areal yang berlumpur merupakan salah satu sumber makanan bagi jenis-jenis burung air penetap maupun migran. Suhu rata-rata pada tipe habitat ini berkisar 27 °C (Lampiran 5).

(45)

Keterangan

A. Bruguiera gymnorhiza F. Bruguiera gymnorhiza

B. Rhizophora apiculata G. Bruguiera gymnorhiza

C. Bruguiera gymnorhiza H. Rhizophora apiculata

D. Rhizophora apiculata I. Rhizophora apiculata

E. Bruguiera gymnorhiza

Gambar 7 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan mangrove

(46)

D Tipe habitat hutan tropis

Tipe habitat ini berada pada ketinggian 901 mdpl dengan suhu harian rata-rata berkisar 21 °C. Diameter rata-rata pohon pada tipe habitat ini sebesar 22,05 cm (Lampiran 5). Buchanania arborescens merupakan jenis pohon yang mempunyai diameter yang lebih besar dibanding dengan jenis pohon lainnya. Sedangkan tinggi bebas cabang rata-rata sebesar 9,75 cm. Ardisia sp. merupakan jenis pohon yang mempunyai tinggi bebas cabang yang lebih tinggi (Lampiran 5).

Pada tipe habitat ini, jarak antar pohon lebih rapat dengan tajuk yang lebat dan berlapis-lapis. Pada bagian lantai hutan banyak terdapat anakan dari jenis-jenis pohon yang ada dengan kondisi tanah yang lembab. Profil tumbuhan pada tipe habitat ini, disusun oleh 15 individu pohon dari enam jenis yang berasal dari lima famili. Famili Myrsinaceae merupakan famili yang mempunyai jumlah individu yang paling banyak, yaitu sebanyak lima individu (Gambar 8). Pada tipe habitat ini dijumpai 42 jenis burung yang termasuk dalam 23 famili. Jenis burung yang paling sering dijumpai yaitu burung kacamata dahi hitam (Zosterops atrifrons). Pada tipe habitat ini dijumpai sebanyak sembilan kategori guild. Berdasarkan jumlah individu, kategori guild pemakan serangga dan buah-buahan merupakan kategori yang paling banyak, sedangkan berdasarkan jumlah jenisnya, didominasi oleh kategori guild pemakan serangga sambil terbang (Lampiran 2).

(47)

Keterangan

A. Ardisia sp. F. Buchanania arborescens K. Ardisia sp. B. Lithocarpus celebicus G. Acalypa caturus L. Acalypa caturus

C. Prunus sp. H. Buchanania arborescens M. Buchanania arborescens

D. Acalypa caturus I. Ardisia sp. N. Ardisia elliptica

E. Ardisia sp. J. Buchanania arborescens O. Acalypa caturus

Gambar 8 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan tropis

5.1.2 Komunitas Burung

5.1.2.1 Keanekaragaman Jenis

A Komposisi jenis

(48)

Alcedinidae (4 jenis; 5%), Anatidae dan Campephagidae (3 jenis; 4%). Sebanyak delapan famili hanya terdiri dari dua jenis (3%) dan 20 famili hanya terdiri dari satu jenis (1%) (Tabel 3).

Tabel 2 Komposisi jenis burung di Pulau Peleng

No Famili Jenis Tipe habitat Status

A* B*** C** D*

1 Phalacrocoracidae Phalacrocorax sulcirostris √ P

2 Ardeidae Ardea sumatrana √ P

11 Haliaeetus leucogaster √ P

12 Spizaetus lanceolatus √ E

18 Rallidae Amaurornis phoenicurus √ P

19 Gallirallus torquatus √ P

20 Scolopacidae Numenius madagascariensis √ M,VU

21 Actitis hypoleucos √ M

27 Macropygia amboinensis √ P

28 Ducula forsteni √ E

29 Treron griseicauda √ P

30 Ptilinopus superbus √ P

31 Ptilinopus subgularis √ E

(49)

Tabel 2 Lanjutan

40 Phaenicophaeus calyorhynchus √ E

41 Cacomantis sepulcralis √ P

42 Caprimulgidae Eurostopodus macrotis √ √ √ E 43 Apodidae Collocalia vanikorensis √ √ √ P 52 Campephagidae Lalage leucopygialis √ E

53 Coracina tenuirostris √ P

60 Turdidae Heinrichia calligyna √ E

61 Acanthizidae Gerygone sulphurea √ √ √ P

62 Sylvidae Acrocephalus orientalis √ M

63 Muscicapidae Muscicapa griseisticta √ M

64 Culicicapa helianthea √ P

65 Monarchidae Hypothymis azurea √ √ √ √ P

66 Rhipidura teysmanni √ E

(50)

Tabel 2 Lanjutan

Keterangan: A=tipe habitat hutan musim; B=tipe habitat daerah rawa; C=tipe habitat hutan mangrove; D=tipe habitat hutan tropis. *= metode IPA count; **=metode concentration counts; ***=metode transek jalur. E=endemik Sulawesi; P=penetap; M=migran. CR=Critically Endangered; NT=Near Threatened; Vu =Vulnerable.

Berdasarkan jumlah individu perfamili, jenis-jenis burung di Pulau peleng didominasi oleh famili Pycnonotidae (10%), Zosteropidae (8,7%), Columbidae (8,3%), Nectariniidae (7,8%) dan Hemiprocnidae (7,5%), sedangkan famili lainnya mempunyai persentase kurang dari 7,5%. Famili Timalidae merupakan famili yang persentasenya terkecil dari famili yang ada yaitu sebesar (0,2%) (Tabel 3).

Tabel 3 Persentase jenis dan jumlah individu perfamili

(51)

Tabel 3 Lanjutan

(52)

indus, Haliaeetus leucogaster, Spizaetus lanceolatus, Spilornis rufipectus, Prioniturus platurus, Alisterus amboinensis, Trichoglossus ornatus, Loriculus amabilis, Loriculus exilis dan Falco moluccensis (Tabel 4).

Tabel 4 Status keterancaman, perdagangan dan perlindungan jenis burung yang ditemukan di Pulau Peleng

No Famili Nama ilmiah PP No 7 CITES IUCN

1 Accipitridae Avizeda jerdoni D II

2 Haliastur indus D II

3 Haliaeetus leucogaster D II

4 Spizaetus lanceolatus D II

5 Spilornis rufipectus D II

6 Psittacidae Prioniturus platurus II

7 Alisterus amboinensis II

8 Trichoglossus ornatus D II

9 Loriculus amabilis II

10 Loriculus exilis D II NT

11 Alcedinidae Halcyon sancta D

12 Halcyon chloris D

13 Nectariniidae Nectarinia aspasia D

14 Nectarinia jugularis D

15 Corvidae Corvus unicolor CR

16 Ardeidae Bubulcus ibis D

17 Falconidae Falco moluccensis D II

18 Pittidae Pitta erythrogaster D

19 Scolopacidae Numenius madagascariensis D VU

20 Sturnidae Basilornis galeatus NT

Keterangan: PP no 7: PP No.7 tahun 1999 (D : Dilindungi) ; CITES 2006 (II: APPENDIX II) ; IUCN 2009 ( NT : Near threatened, VU: Vulnerable, CR: Critically Endangered)

B Komposisi guild

(53)

buah kecil di lantai hutan, merupakan kategori yang mempunyai jumlah jenis paling sedikit, hanya ditemukan satu jenis (Gambar 9).

Keterangan: FCI: Fly Catching Insectivore, OM: Omnivore, CAIN: Carnivore Insectivore, IN:

Insectivore Nectarivore, IF: Insectivore Frugivore, AF: Arboreal Frugivore, CI:

Carnivore Insectivore, TFGI: Tree Foliage Gleaning Insectivore, TF: Terestrial Frugivore, SE: Seed Eater, SFGI: Shrub Foliage Gleaning Insectivore, LGI: Litter Gleaning Insectivore, BGI: Bark Gleaning Insectivore.

Gambar 9 Kategori guild berdasarkan jumlah jenis burung yang ditemukan

Berdasarkan jumlah individu, didominasi kategori pemakan serangga dan buah-buahan dengan jumlah individu sebanyak 231 individu dan pemakan serangga sambil terbang (227 individu). Rata-rata jumlah individu paling sedikit ditemukan pada kategori pemakan buah kecil di lantai hutan (5 individu) (Gambar 10). Dari hasil tersebut komposisi dominasi berdasarkan rata-rata jumlah individu berbeda dengan dominasi berdasarkan jumlah jenis. Berdasarkan jumlah jenis, pemakan invertebrata dan vertebrata yang mempunyai jumlah jenis sebanyak 14 (18,18%), sementara jumlah individunya hanya mencapai 35 (3,62%). Pemakan serangga dan buah-buahan, walau hanya mempunyai jumlah jenis sebanyak 11 (14,29%) tetapi mempunyai persentase jumlah individu sebesar 231 (23,91%). Sedangkan kategori

(54)

pemakan buah kecil di lantai hutan merupakan kategori yang mempunyai jumlah terkecil baik dari segi jumlah jenis 1 (1,30%) maupun jumlah individu 5 (0,52%).

Keterangan: FCI: Fly Catching Insectivore, OM: Omnivore, CAIN: Carnivore Insectivore, IN:

Insectivore Nectarivore, IF: Insectivore Frugivore, AF: Arboreal Frugivore, CI:

Carnivore Insectivore, TFGI: Tree Foliage Gleaning Insectivore, TF: Terestrial Frugivore, SE: Seed Eater, SFGI: Shrub Foliage Gleaning Insectivore, LGI: Litter Gleaning Insectivore, BGI: Bark Gleaning Insectivore.

Gambar 10 Kategori guild berdasarkan jumlah individu burung yang ditemukan

C Indeks keanekaragaman jenis

Hasil analisis data (Tabel 5) menunjukkan adanya perbedaan nilai indeks keanekaragaman pada semua tipe habitat di lokasi penelitian. Tipe habitat yang mempunyai jumlah jenis yang tinggi cenderung mempunyai nilai keanekaragaman yang tinggi. Namun dari hasil analisis ini, hanya dua tipe habitat yang dapat dibandingkan, yaitu tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis, sedangkan dua tipe habitat lainnya tidak dapat dibandingkan karena metode pengambilan datanya berbeda.

(55)

mempunyai indeks keanekaragaman yang lebih rendah (2,87) dan mempunyai jumlah jenis yang rendah (30 jenis). Namun dari hasil uji t diketahui perbedaan tersebut tidak berbeda secara nyata (P>0,005).

Tabel 5 Indeks keanekaragaman (H’) jenis burung pada empat tipe habitat di Pulau Peleng

Tipe habitat Jumlah jenis H'

Hutan musim 30 2,87

Daerah rawa 32 3,08

Hutan mangrove 39 3,42

Hutan tropis 42 3,41

D Indeks kesamaan jenis

Indeks kesamaan jenis menunjukkan tingkat kemiripan jenis penyusun suatu komunitas dengan komunitas lainnya (Tabel 6). Hasil analisis menunjukkan jenis-jenis burung antara tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis mempunyai nilai indeks kesamaan jenis sebesar 37%. Dari empat tipe habitat yang diteliti, tipe habitat daerah rawa dan hutan mangrove tidak dimasukkan dalam analisis ini, karena metode pengambilan datanya berbeda. Hasil tersebut menunjukkan bahwa jenis-jenis burung pada tipe habitat hutan musim dan hutan tropis mempunyai perbedaan jenis yang cukup besar.

Tabel 6 Matriks indeks kesamaan jenis (%) antara tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis

Tipe Habitat Hutan musim Hutan tropis

Hutan musim - 37

Hutan tropis - -

E Indeks kemerataan

(56)

Tabel 7 Indeks kemerataan jenis (E) burung di Pulau Peleng

Tipe habitat Jumlah jenis Kelimpahan relatif E

Hutan musim 30 361 0,84

Daerah rawa 32 107 0,89

Hutan mangrove 39 187 0,93

Hutan tropis 42 311 0,91

Dari Tabel 7 terlihat bahwa tipe habitat hutan musim mempunyai kelimpahan relatif yang lebih banyak dibandingkan dengan tipe habitat hutan tropis, namun memiliki nilai indeks kemerataan lebih rendah dibandingkan dengan tipe habitat hutan tropis. Sedangkan pada tipe habitat hutan tropis yang mempunyai nilai kemerataan yang tinggi, namun kelimpahan relatif pada tipe habitat tersebut termasuk cukup rendah. Hal tersebut, diakibatkan oleh terdapat beberapa jenis yang sangat dominan pada tipe habitat yang mempunyai indeks kemerataan yang rendah. Demikian pula sebaliknya pada tipe habitat yang mempunyai kemerataan yang tinggi, tidak mempunyai jenis burung yang dominan. Beberapa jenis burung yang mempunyai kelimpahan relatif yang sangat besar dibandingkan populasi jenis burung lainnya pada tipe habitat hutan musim, yaitu burung brinji emas (Ixos affinis), kacamata dahi hitam (Zosterops atrifrons) dan tepekong jambul (Hemiprocne longipenis).

5.1.2.2 Pola penyebaran jenis burung

(57)

Pola sebaran yang bersifat mengelompok ini ditandai dengan jumlah individu jenis–jenis burung yang tinggi dibeberapa tempat, sedangkan ditempat lainnya sedikit atau tidak ada sama sekali. Hal ini menunjukkan sebagian besar jenis burung yang didapatkan merupakan jenis burung yang hidupnya suka mengelompok.

5.1.3 Gagak Banggai

A Pola penyebaran spasial dan preferensi habitat

Hasil analisis data dengan menggunakan indeks Morisita, diketahui gagak banggai menyebar secara berkelompok (Ip>0) di Pulau Peleng. Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, diketahui gagak banggai hanya ditemukan pada tipe habitat hutan tropis (Tabel 8). Pada tipe habitat lainnya gagak banggai tidak dijumpai, sehingga dapat dipastikan bahwa pada penelitian ini gagak banggai hanya memilih tipe habitat hutan tropis sebagai habitatnya.

Tabel 8 Jumlah individu gagak banggai pada empat tipe habitat di Pulau Peleng

No Tipe Habitat Jumlah

1 Hutan Musim 0

2 Daerah Rawa 0

3 Hutan Mangrove 0

4 Hutan Tropis 15

Jumlah 15

B Asosiasi interspesifik gagak banggai dengan gagak hutan

(58)

Tabel 9 Keberadaan jenis gagak banggai dan gagak hutan di empat tipe habitat di Pulau Peleng

No Tipe Habitat Jenis burung Asosiasi

Gagak banggai Gagak hutan

1 Hutan Musim 0 13 Negatif

2 Daerah rawa 0 2 Negatif

3 Hutan mangrove 0 13 Negatif

4 Hutan tropis 15 0 Negatif

Total 15 28

5.2 Pembahasan

5.2.1 Komunitas Burung

5.2.1.1 Komposisi jenis

Sebanyak 77 jenis burung ditemukan di Pulau Peleng. Jumlah jenis burung ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Mallo et al. (2006) yang menemukan sebanyak 109 jenis burung. Terdapat 52 jenis burung yang tidak ditemukan kembali pada penelitian ini, namun terdapat pula 20 jenis burung yang belum pernah tercatat pada penelitian sebelumnya (Lampiran 3). Dengan hasil penelitian ini, daftar jenis-jenis burung di Pulau Peleng bertambah menjadi 129 jenis.

Perbedaan tersebut disebabkan oleh banyaknya tipe habitat yang diamati. Pada penelitian ini dilakukan pada empat tipe habitat, sedangkan survei sebelumnya di lakukan pada lima tipe habitat dengan memasukkan areal persawahan sebagai objek pengamatan. Pada penelitian ini tipe habitat sawah tidak dimasukkan sebagai objek penelitian, karena tidak termasuk kategori tipe habitat alami. Menurut Welty (1988) keanekaragaman habitat akan berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung. Karena habitat beragam akan menyediakan sumberdaya yang cukup, baik sebagai tempat untuk mencari makan, berlindung dan berkembang biak. Selain dari faktor perbedaan jumlah tipe habitat yang diamati, juga diduga disebabkan oleh faktor perbedaan waktu penelitian maupun perbedaan kondisi lingkungannya.

(59)

berdasarkan kriteria IUCN (International Union for Conservation of Nature), dua jenis masuk kategori VU (Vulnerable) dan satu jenis masuk dalam kategori CR (Critically Endangered). Dan sebanyak 11 jenis tercatat dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Semua jenis yang tercatat dalam CITES masuk dalam kategori Appendix II. Apendix II merupakan kategori jenis yang statusnya belum terancam punah, tetapi apabila dieksploitasi berlebihan akan terancam punah.

Dari seluruh jenis yang masuk dalam kategori Redlist IUCN, terdapat dua jenis yang masuk kategori Critically Endangered (satu jenis) dan Near Threatened (satu jenis) yang belum dilindungi oleh pemerintah. Kedua jenis tersebut merupakan jenis burung endemik Kepulauan Banggai, yang juga burung penetap di Pulau Peleng. Tidak dimasukkannya kedua jenis tersebut dalam CITES, mengakibatkan perdagangan kedua jenis burung tersebut belum diatur, sehingga dapat diperjualbelikan secara bebas. Hal tersebut dapat mengakibatkan kepunahan kedua jenis burung tersebut. Saat ini kedua jenis burung tersebut berada dalam tekanan akibat dari pembukaan lahan di Pulau Peleng.

Burung raja perling sula yang pada survei sebelumnya (Mallo et al. 2006), masih dapat dijumpai pada areal dekat dengan permukiman, namun pada penelitian ini sangat sulit ditemukan kembali, kecuali pada hutan musim yang agak jauh dari permukiman dengan jumlah populasi yang kecil. Sedangkan burung gagak banggai yang penyebarannya hanya terbatas pada bagian barat Pulau Peleng, juga semakin terdesak keberadaannya akibat pembukaan lahan untuk permukiman maupun perkebunan.

(60)

1. Luas tipe habitat. Jumlah jenis burung serta keanekaragamannya akan semakin meningkat sesuai dengan luas habitat (Wiens 1992; Galli et al. 1976). Di lokasi penelitian, tipe habitat hutan tropis merupakan tipe habitat yang relatif lebih luas dengan kualitas yang masih baik, kualitas habitat tersebut dapat dilihat pada tingkat gangguan manusia yang relatif masih kecil pada tipe habitat ini.

2. Struktur dan keanekaragaman jenis vegetasi. Dilihat dari profil tumbuhannya, semua jenis pohon yang ada pada tipe habitat hutan tropis memiliki jenis pohon yang tinggi, tajuk-tajuk yang tinggi dan penutupan tajuk yang berlapis-lapis. Menurut Hernowo dan Prasetyo (1989) komposisi dan struktur vegetasi mempengaruhi jenis dan jumlah burung yang terdapat pada suatu habitat. Hal ini disebabkan karena komposisi jenis vegetasi yang beragam cenderung mempunyai kemampuan untuk menarik lebih banyak burung. Selain itu, makin kompleks dan beragam serta penutupan tajuk pohon yang rapat pada suatu tipe habitat dapat menyebabkan meningkatnya jenis dan populasi burung (Tomoff 1974).

Faktor yang mempengaruhi rendahnya jumlah jenis burung yang dijumpai pada tipe habitat hutan musim, diakibatkan oleh kondisi habitat yang lebih dekat dengan permukiman, maupun dekat dengan tempat aktivitas manusia yang cukup intensif dalam mengolah lahan maupun mengambil kayu bakar, sehingga menyebabkan habitat burung semakin berkurang dan terfragmentasi. Hal tersebut dapat dilihat dari komposisi jenis burung pada tipe habitat hutan musim, yang didominasi oleh jenis-jenis burung yang sangat adaptif terhadap kehadiran manusia yaitu brinji emas, kacamata dahi hitam, burung madu sriganti dan burung madu hitam. Menurut Prawiradilaga (1990), penurunan keanekaragaman burung berkaitan erat dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam, terutama sumber daya lahan dan sumber daya hayati. Perubahan dalam suatu landskap sebagai akibat pengaruh manajemen manusia selalu mempunyai konsekuensi terhadap komposisi dan kelimpahan jenis-jenis burung.

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2   Individu gagak banggai di Pulau Peleng a) dan d) tampak depan, b)
Gambar 5  Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan musim
Gambar 6  Diagram profil dan tampak atas tipe habitat daerah rawa
+7

Referensi

Dokumen terkait