• Tidak ada hasil yang ditemukan

Natural infection of rabies virus on dogs: pathomorphological and immunohistochemical study

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Natural infection of rabies virus on dogs: pathomorphological and immunohistochemical study"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

IBENU RAHMADANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Infeksi Alami Virus Rabies pada Anjing : Studi Morfopatologi dan Imunohistokimia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

(3)

IBENU RAHMADANI Natural Infection of Rabies Virus on Dogs: Pathomorphological and Immunohistochemical Study. Under the supervision of EKOWATI HANDHARYANI and EVA HARLINA.

Rabies is a zoonotic disease that remains a big problem in public health sector in Indonesia. The pathomorphological and antigen distribution of street rabies virus infection of the dogs brain from endemic area in Indonesia need for further investigation. The aim of this study was to describe macroscopical, histopathological and antigen distribution of rabid dogs which is infected with rabies virus naturally. Fourteen brains of stray rabid dogs from Disease Investigation Centre Bukittinggi area were used as samples. Conformatory diagnosed based on direct fluorescence antibody technique test. Hyperemic meningeal blood vessels were consistently found in all samples, sometimes associated with multiple ptechie and cerebral edema. Histopathological changes showed mild non-suppuratif meningoencephalitis with perivascullar cuffing surrounded by lymphocyte cells, associated with gliosis. Negri bodies were found in neuron cytoplasms in all samples mainly localized in pyramidal cells of cornua ammons of hippocampus and cerebral cortex, while neuronal degeneration and necrosis were mild. Viral antigens localized in perikaryon extending along the dendrites and axon and mostly localized on pyramidal cells of hippocampus, talamus and frontal lobes of cerebral cortex. Rabies antigen were also detected in epithelial cells of mucogenic acini of mandibulary glands and mildly in granular of striated duct of luminal parotidal glands. This study suggested that frontal lobes of cerebral cortex and mandibulary glands could be used as samples for rabies test in laboratory besides hippocampus.

(4)

RINGKASAN

IBENU RAHMADANI. Infeksi Alami Virus Rabies pada Anjing: Studi Morfopatologi dan Imunohistokimia. Dibimbing oleh EKOWATI HANDHARYANI dan EVA HARLINA.

Rabies adalah salah satu penyakit zoonosis yang masih menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat di Indonesia dan di seluruh dunia. Diperkirakan 55.000 orang didunia setiap tahunnya meningggal akibat infeksi virus rabies, khususnya terjadi di negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Indonesia adalah daerah endemis rabies, hanya sembilan propinsi yang masih dinyatakan bebas. Anjing, kucing dan kera merupakan sumber penular utama virus rabies di Indonesia. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat untuk menurunkan angka kejadian rabies di Indonesia. Usaha yang dilakukan antara lain dengan vaksinasi, eliminasi anjing liar, depopulasi serta pengawasan lalu lintas hewan. Namun usaha tersebut belum mampu menurunkan angka kejadian rabies di Indonesia bahkan ada kecenderungan daerah yang sebelumnya bebas menjadi tertular rabies.

Diagnosa laboratorium yang tepat dan akurat merupakan salah satu komponen utama dalam usaha pengendalian penyakit rabies. Pengambilan sampel uji yang tepat menjadi kunci awal dalam diagnosa rabies di laboratorium. Hipokampus merupakan bagian dari otak yang direkomendasikan Office International des Epizooties untuk uji rabies. Karena ukurannya yang kecil serta letaknya yang jauh dari permukaan otak, mengakibatkan kesulitan dalam pengambilannya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perubahan patologi anatomi, histopatologi dan distribusi antigen virus rabies pada otak dan kelenjar ludah anjing yang terinfeksi virus rabies secara alami. Diharapkan dalam penelitian ini dapat memberikan informasi tentang lokasi pengambilan sampel yang lebih mudah agar dapat terhindar dari resiko terpapar virus rabies. Teknik pewarnaan jaringan dengan hematoksilin eosin telah dikenal dapat menjelaskan perubahan histopatologi, sedangkan teknik pewarnaan imunohistokimia dikenal dapat menjelaskan distribusi antigen.

Sebanyak empat belas kepala anjing yang telah didiagnosa positif terinfeksi virus rabies berdasarkan uji direct Fluorescence Antibody Technique digunakan sebagai sampel. Satu kepala anjing negatif virus rabies digunakan sebagai kontrol negatif. Perubahan patologi anatomi pada otak menunjukkan seluruh sampel (14/14) mengalami hiperemia, ptekia terjadi pada 6 sampel dan ekimosa pada 2 sampel, sedangkan pembengkakan hanya terjadi pada 2 sampel.

(5)

hipokampus kemudian talamus dan lobus frontalis korteks serebrum. Namun berdasarkan uji statistik tidak didapatkan perbedaan yang nyata jumlah antigen pada talamus dan lobus frontalis korteks serebrum. Diantara empat lobus serebrum, deposit antigen virus rabies terbanyak ditemukan pada lobus frontalis. Perubahan histopatologi pada kelenjar mandibula menunjukkan sialodenitis nonsupuratif dengan derajat sedang hingga berat dengan dominasi sel limfosit. Perubahan yang terjadi pada kelenjar parotid cenderung lebih ringan. Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam koleksi sampel dan antigen virus rabies terdeposit dalam jumlah yang cukup banyak, maka lobus frontalis kortek serebrum dan kelenjar mandibula dapat dijadikan sebagai alternatif lokasi pengambilan sampel untuk pengujian rabies di lapangan selain hipokampus.

Distribusi antigen pada jaringan menunjukkan variasi bentuk pada tiap-tiap bagian antara lain titik, granul serta massa tebal berwarna coklat. Pada talamus dan korteks serebrum antigen berbentuk titik, di hipokampus terdapat kecenderungan berbentuk bulatan atau granul, sedangkan pada kelenjar ludah berbentuk seperti massa yang tebal. Perbedaan bentuk antigen ini menunjukkan tahapan perkembangan, proses replikasi dan kepadatan protein virus. Selain itu diduga perbedaan bentuk antigen berhubungan dengan kandungan virus yang terdapat pada masing-masing bagian. Daerah dengan antigen berbentuk granul ataupun massa yang tebal memiliki jumlah virus yang lebih tinggi dibandingkan daerah dengan antigen yang hanya berbentuk titik (spot).

Pada penelitian ini anjing yang diduga terinfeksi rabies secara alami tidak dilakukan tindakan observasi terlebih dahulu, namun segera dilakukan eutanasi oleh pemilik atau petugas peternakan setempat. Gambaran distribusi antigen pada penelitian ini menunjukkan antigen tersebar pada berbagai bagian otak dan kelenjar ludah. Tindakan eutanasi HPR didaerah endemis dan epidemis rabies segera setelah terjadinya kasus gigitan tidak berpengaruh terhadap keberadaan antigen dalam jaringan saraf dan kelenjar ludah.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau salah seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

IBENU RAHMADANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Penelitian : Infeksi Alami Virus Rabies pada Anjing: Studi Morfopatologi dan Imunohistokimia

Nama : Ibenu Rahmadani

NRP : B 351090031

Mayor : Ilmu Biomedis Hewan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D. APVet Dr. drh.Eva Harlina, MSi. APVet

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Biomedis Hewan

drh. Agus Setiyono, MS. Ph.D. APVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia yang telah diberikan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 adalah Infeksi Alami Virus Rabies pada Anjing: Studi Morfopatologi dan Imunohistokimia.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D, APVet dan Ibu Dr. drh. Eva Harlina, MSi, APVet. yang telah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan saran serta bimbingan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak drh. Muhammad Syibli, APVet sebagai Kepala Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional II Bukittinggi 2007-2010 yang telah memberikan kesempatan berharga kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan program magister, serta Bapak drh. Azfirman Kepala BPPV Regional II Bukittinggi 2010-sekarang yang masih memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan pendidikan. Penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh staf BPPV Regional II Bukittinggi, dosen dan tenaga kependidikan Bagian Patologi FKH IPB, seluruh rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Pascasarjana Mayor Ilmu Biomedis Hewan dan Biologi Reproduksi 2009, serta seluruh keluarga Perwira 6. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak (Alm.), ibu, istri serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2012

(11)

Penulis dilahirkan di Surabaya pad tanggal 1 September 1977 dari ayah H. Mardjani (Alm.) dan Ibu Hj. Piatun SPd. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Surabaya dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga melalui jalur UMPTN. Lulus Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 2000 dan memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun 2001. Tahun 2009 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan program magister pada Mayor Ilmu Biomedis Hewan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa DIPA BPPV Regional II Bukittinggi Kementerian Pertanian RI.

Penulis bekerja sebagai staf Laboratorium Patologi pada BPPV Regional II Bukitinggi, Kementerian Pertanian RI sejak tahun 2003-sekarang.

(12)

DAFTAR ISI

Anatomi dan Histologi Organ Saraf ………... 12

(13)

Patologi anatomi…………..……… Histopatologi…...……....……… Distribusi Antigen Virus Rabies pada Jaringan..………...

KESIMPULAN DAN SARAN………

DAFTARPUSTAKA………...

21 23 28

35

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perubahan patologi anatomi pada hewan yang diduga terinfeksi

virus rabies ………. 22

2 Perubahan histopatologi pada masing-masing bagian otak……… 25 3 Distribusi antigen virus rabies pada masing-masing bagian otak

(16)

2

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi virus rabies……… 5

2 Tahapan replikasi virus rabies……… 10

3 Struktur anatomi serebrum………. 13

4 Struktur anatomi sistem limbus……….. 14

5 Struktur anatomi kelenjar ludah anjing……….. 16

6 Potongan bagian otak membujur……… 18

7 Patologi anatomi otak anjing yang diduga terinfeksi virus rabies………... 23

8 Perubahan histopatologi masing-masing bagian otak………… 26

9 Perubahan Histopatologi kelenjar ludah………. 27

10 Distribusi antigen pada hipokampus……….…….. 30

11 Distribusi antigen pada kelenjar ludah………...………. 31

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Skor distribusi antigen virus rabies pada masing-masing bagian

otak……… 43

(18)
(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rabies adalah salah satu penyakit zoonosis yang bersifat neurotropik dan neuroinvasif. Penyakit ini dapat mengakibatkan ensefalitis, paralisa dan kematian pada hewan dan manusia. Infeksi virus rabies pada kondisi alami hanya menimbulkan perubahan neuropatologi yang ringan tanpa didapatkan kematian sel saraf (McGavin & Zachary 2007). Diperkirakan 55.000 orang didunia setiap tahunnya meningggal akibat infeksi virus rabies, hal ini terjadi khususnya di negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Selatan (Knobel et al. 2005). Rabies disebabkan oleh virus dari famili Rhabdoviridae,genusLyssavirus, non segmented negative-strandedRNA dan beramplop (Hunt 2009).

Kejadian rabies di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Schoorl tahun 1884 pada kuda di Bekasi. Tahun 1889, Esser melaporkan kejadian pada kerbau sedangkan kasus pada anjing pertama kali ditemukan tahun 1890 oleh Penning. Kejadian pada manusia dilaporkan pertama kali oleh EV de Haan tahun 1894 (Dirjennak 1991). Hingga saat ini sudah 128 tahun penyakit rabies masih ditemukan di Indonesia. Diantara 33 propinsi di Indonesia hanya sembilan propinsi yang masih dinyatakan bebas yaitu DKI Jakarta, Jateng, Jatim, DIY, Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan Nusa Tengggara Barat (Soegiarto 2010).

Hampir semua mamalia dapat tertular virus rabies. Di Indonesia 95% kasus rabies ditularkan oleh anjing, 3,5% oleh kucing dan 1,5% oleh kera. Kurang dari satu persen rabies ditularkan oleh sapi, kambing, domba, musang dan babi tetapi hewan tersebut bukan merupakan sumber penular yang penting (Soegiarto 2010). Di luar negeri kelelawar,racoon,coyotte,skunk,serigala liar, dan beberapa jenis anjing hutan sebagai vektor utama (Iwasaki & Tobita 2002).

(20)

2

lain kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan vaksinasi secara rutin, lemahnya pengawasan lalu lintas hewan, serta kurangnya kemampuan teknis Petugas Peternakan atau Kesehatan Hewan di daerah dalam penentuan sampel yang tepat untuk pemeriksaan rabies.

Diagnosa laboratorium yang tepat dan akurat sangat diperlukan dalam rangka menunjang pengendalian rabies. Pengambilan sampel yang tepat sangat penting untuk menghasilkan diagnosa yang akurat. Hipokampus merupakan bagian dari otak yang direkomendasikan oleh OIE (Office International des Epizooties) sebagai sampel untuk pengujian rabies (OIE 2000). Karena ukurannya yang kecil serta terletak di bawah serebrum seringkali menyebabkan kesulitan bagi petugas dilapangan dalam pengambilan sampel. Oleh karena itu perlu dicari bagian lain dari sistem saraf pusat yang lebih mudah pengambilannya untuk menghindari resiko terpapar virus.

Teknik pewarnaan imunohistokimia telah digunakan untuk menjelaskan distribusi antigen virus rabies pada hewan dan manusia. Teknik ini mereaksikan jaringan yang terinfeksi virus rabies dengan antibodi spesifik yang ditandai dengan adanya perubahan warna (Sinchaisri et al. 1992). Teknik pewarnaan imunohistokimia untuk penyakit rabies merupakan uji yang cepat, aman dan sensitif (Jogaiet al. 2000).

Kerangka Pemikiran

(21)

dihadapi antara lain kurangnya kesadaran pemilik hewan untuk memvaksin hewannya dan sulitnya mengendalikan populasi HPR terutama anjing.

Peranan laboratorium dalam pengendalian penyakit rabies sangatlah penting. Diagnosa laboratorium yang cepat, tepat dan akurat sangat diperlukan jika terjadi kasus gigitan oleh HPR. Pada manusia atau hewan yang positif terinfeksi virus rabies harus secepatnya dilakukan vaksinasi sebelum gejala klinis muncul. Pengambilan sampel yang tepat merupakan langkah awal untuk mendapatkan hasil pengujian yang akurat. Hipokampus merupakan lokasi pengambilan sampel yang direkomendasikan oleh OIE untuk pengujian rabies. Karena ukuran yang kecil dan lokasi yang jauh dari permukaan otak seringkali menyebabkan kesulitan dan kesalahan dalam pengambilannya. Sehingga perlu dicari alternatif lokasi pengambilan sampel yang lebih mudah dalam pengambilannya namun tidak mengurangi keakuratan hasil pengujian.

Penjelasan tentang patomorfologi dan distribusi antigen virus rabies pada masing-masing bagian otak sangat diperlukan. Diharapkan dapat memberikan informasi lokasi pengambilan sampel yang tepat untuk pengujian penyakit rabies selain hipokampus. Teknik pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) digunakan untuk menjelaskan patomorfologi jaringan secara umum, sedangkan teknik pewarnaan imunohistokimia (IHK) dipergunakan untuk mendeteksi adanya antigen virus rabies pada jaringan. Dengan menggunakan teknik IHK dapat dijelaskan pola distribusi antigen virus rabies dalam jaringan tubuh hewan dan manusia, berdasarkan ikatan spesifik antara antigen dan antibodi yang ditandai dengan perubahan warna.

Tujuan Penelitian

(22)

4

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang lokasi pengambilan sampel yang tepat dan menghindari resiko terpapar virus dalam diagnosa penyakit rabies di lapangan.

Hipotesis

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Rabies Virus Rabies

Rabies termasuk dalam famili Rhabdoviridaedari genusLyssavirus. Virus ini berbentuk peluru dengan ukuran 180 x 75 nm (Gambar 1), mengandungsingle stranded ribonucleic acid (ss-RNA) (Rantam 2005). Nukleokapsid membungkus RNA spiral, pada bagian luar terdapat amplop yang mengandung spike (Fenneret al. 1993). Struktur protein virus rabies tersusun dari 5 komponen, yakni glikoprotein (G), nukleoprotein (N), RNA dependen polymerase (L), protein matrik (M), fosfoprotein (P). Protein L, N dan P terikat secara non-kovalen pada avirion RNA, menghasilkan kompleks ribonukleoprotein (RNP) yang berbentuk gulungan heliks dalam virion. Nukleokapsid dikelilingi amplop lipoprotein yang terdiri dari protein M dan pada permukaan virion terdapat protein G (Dietzschold et al. 2008).

(24)

6

Diantara kelima protein diatas, nukleoprotein (N) dan glikoprotein (G) memiliki arti yang penting. Nukleoprotein berperan langsung pada pengaturan transkripsi, replikasi, dan faktor penting bagi adaptasi inang sedangkan glikoprotein berperan penting dalam patogenitas, antigenitas dan menentukan kisaran inang (Kissi et al. 1995; Tuffereau et al. 1998; Sato et al. 2004). Kompleks ribonukleoprotein (RNP) adalah antigen yang penting dalam menginduksi CD4+ sel T yang berperan dalam pembentukan antibodi terhadap virus rabies (Dietzschold 1987).

Smith et al. (1992) mengelompokkan virus rabies di Indonesia satu grup dengan isolat Cina karena tingkat homologi sekuen nukleotida mencapai 95 %. Menurut Suwarno (2005) telah terjadi perubahan nukleotida pada fragmen gen-G virus rabies strain alam asal Sumatera (Bukittinggi) dengan strain alam asal Kalimantan. Perubahan nukleotida pada fragmen gen-N terjadi pada strain alam asal Nusa Tenggara Timur dengan strain alam yang berasal dari Sulawesi. Adaptasi terhadap lingkungan menyebabkan virus rabies mengalami perubahan sekuens nukleotida, dimana kondisi fisik suatu daerah geografik di Indonesia merupakan faktor pemicu terjadinya mutasi.

Genotipe Lyssavirus

Virus rabies yang berada di alam disebutstreet virussedangkan yang telah diadaptasikan di laboratorium dikenal denganfixed virus. Berdasarkan penyebaran inang alamiahnya, genus Lyssavirus dibedakan menjadi 7 genotipe/serotipe yakni Rabies (genotipe 1), Lagos Bat (genotipe 2), Mokola (genotipe 3), Duvenhage (genotipe 4), European Bat Lyssavirus type-1/EBL-1 (genotipe 5), European Bat Lyssavirus type-2/ dan EBL-2 (genotipe 6) danAustralian Bat Lyssavirus(ABL) (genotipe 7) (Tordoet al. 2006).

Penularan

(25)

yaitu ditemukan kasus positif rabies setelah transplantasi kornea, pankreas, hati, ginjal dan paru-paru dari manusia yang terinfeksi rabies Bronnet (2007). Virus rabies juga dapat ditularkan melalui aerosol seperti terjadi di laboratorium ataupun di gua kelelawar (Winkler 1967). Penularan rabies secara oral berhasil dibuktikan oleh Ramsden & Jahnston (1975) pada red fox dan skunk yang diberi makan mencit yang diinfeksi virus rabies strain alam dan Challenge Virus Standard (CVS). Di Massachusets, Amerika Serikat, tahun 1996 pernah dilaporkan kejadian sekelompok orang harus divaksin anti rabies karena meminum susu yang belum dipasteurisasi yang berasal dari sapi yang diduga rabies (CDC 1999).

Gejala Klinis

Gejala kinis pada hewan yang terinfeksi virus rabies secara alami sering tidak spesifik dan masing-masing spesies hampir mirip namun secara individu terdapat variasi (Murphy et al.2006). Sebagai pedoman hanya adanya perubahan tingkah laku. Hewan menunjukkan gejala klinis rabies diawali munculnya rasa takut, gelisah, tidak mau makan, muntah, demam ringan, dilatasi pupil, hipersensitif dan hipersalivasi. Beberapa kasus pada kucing tidak menyebabkan perubahan tingkah laku, gejala klinis diawali dengan ataksia, kelemahan kaki belakang dan diikuti dengan paralisa. Kuda yang terinfeksi sering menampakkan gejala kolik, sedangkan pada sapi, kuda dan anjing mengalami paralisa pada laring yang mengakibatkan perubahan nada suara. Penyakit rabies pada beberapa hewan dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas. Apabila gejala klinis telah muncul biasanya hewan jarang bertahan untuk hidup.

(26)

8

tempat ramai, demikian pula di Amerika Utara dan Selatan, kelelawar yang terbang kian kemari pada siang hari dicurigai menderita rabies. Bentuk diam pada rabies ditunjukkan dengan gejala hewan berada dalam keadaan sebagian atau sama sekali tidak sadar ditandai dengan paralisa yang progresif. Paralisa pada rahang bawah dan tenggorokan akan menyebabkan hewan mengalami kesulitan dalam menelan dan mengakibatkan hipersalivasi. Gejala klinis pada ruminansia biasanya hewan mengasingkan diri dari kelompoknya, terlihat depresi, mengantuk dan berhenti ruminasi. Gejala klinis pada bentuk tak tersifat hewan menunjukkan gatal dan sembelit.

Patologi Anatomi dan Histopatologi

Perubahan mikroskopis pada sistem saraf pusat hewan positif rabies adalah meningoensefalitis non supuratif ringan, perivascular cuffing yang didominasi sel limfosit, makrofag, dan sel plasma, mikrogliosis, degenerasi neuron, dan ganglioneuritis, dengan penekanan bahwa neuron yang terinfeksi sedikit menimbulkan perubahan morfologi. Badan inklusi intrasitoplasma yang disebut Negri Bodiespada sistem saraf pusat dan ganglion perifer merupakan ciri khas infeksi virus rabies meskipun tidak ditemukan pada semua kejadian (Carlton et al. 1995).

Negri body adalah badan sebesar 1-27 µ, yang awalnya merupakan agregasi dari untaian nukleokapsid. Kemudian berubah bentuk secara cepat membentuk matriks granular, berbentuk bundar, lonjong kadang berbentuk segitiga. Semakin lama seiring berjalannya penyakit semakin besar negri bodies. Negri bodies di jaringan otak banyak ditemukan pada hipokampus, sedangkan pada sapi banyak ditemukan di sel purkinje serebelum. Tiap neuron dan sel glia dalam susunan saraf pusat dapat mengandung negri bodies.

(27)

Patogenesis

Pengenalan tentang pola patogenesis penyakit rabies khususnya yang disebabkan oleh virus rabies strain alam (street rabies virus) menjadi sangat penting dalam mengetahui perubahan yang ditimbulkan pada jaringan. Pola dan taraf kerusakan jaringan dapat dikaitkan dengan manifestasi klinis sehingga berguna bagi penentuan diagnosa yang akurat, strategi pengendalian yang tepat, serta dasar untuk mengetahui mekanisme tanggap kebal inang dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyakit rabies (Murphy 1977). Selain peran langsung dari virus rabies pada host, cara penularan, jenis host serta letak geografik suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap kerentanan host, masa inkubasi, gejala klinis, lama penyakit dan ekskresi virus (Hamiret al. 1996).

Pada kejadian rabies di lapangan virus rabies masuk dalam tubuh melalui gigitan atau luka pada otot atau jaringan subkutan, kemudian terjadi replikasi pada serabut otot untuk menghasilkan virus dalam jumlah yang cukup sebelum menuju sistem saraf (Park et al. 2006). Virus menuju sistem saraf melalui ikatan dengan reseptor postsynaptic asethylcholine pada neuromuscular junction (Lentz et al. 1982). Apabila virus telah berada pada saraf tepi, virus dapat terbawa aliran aksoplasma secara retrograde atau melalui saraf sensorik atau motorik menuju korda spinalis atau ganglion akar dorsal (Kojima 2009), sebelum berakhir pada sistem saraf pusat. Glikoprotein berperan penting dalam distribusi virus rabies saat terjadi infeksi pada sistem saraf.

(28)

10

Replikasi Virus Rabies

Infeksi dimulai ketika tonjolan protein G berinteraksi dengan membran sel inang (Gambar2.). Protein G akan terikat pada reseptor nikotinik asetilkolin (nACH) sehingga virus mulai menyerang dan menginfeksi sel saraf. Absorbsi virus kedalam sel melalui pinositosis. Sekali didalam sel saraf, virus berkumpul dalam endosom dan dengan cepat akan menurunkan pH. Saat pH berubah konformasi protein G berubah dan menyebabkan membran viral berfusi dengan membran endosom serta dilepaskannya protein RN dalam sitoplasma, protein viral dan RNA masuk dalam sitoplasma. Protein-L akan mentranskripsi 5’ mRNA dari genom RNA menggunakan nukleotida bebas dari sitoplasma sel

inang. Monosistronik mRNA adalah ujung 3’ bertudung dan ujung 5’ mengalami

poliadenilasi yang akan ditranslasi menjadi lima macam protein viral yaitu protein N, P, M, G, L di dalam ribosom bebas.

Gambar 2 Tahapan replikasi virus rabies (Jackson & Wunner 2007).

(29)

adalah sintesis full-length copies (plus strand) genom virus. Polimerasi viral memasuki sisi tunggal ujung -3’ genom dan memulai mensistesisfull-length copy genom. Plus strand RNA bertindak sebagai template untuk sisntesis full-length negative strand genom. Semua komponen viral dikumpulkan dalam satu lokasi sitoplasma yang dapat terlihat dengan pewarnaan pada diagnostik sebagai Negri bodies. Selama proses perakitan komplekss N-P-L menyelimuti negative strand RNA menjadi protein RN dan protein M sebagai kapsul atau matriks yang mengelilingi protein RN. Kompleks protein RN-M bermigrasi ke dalam area plasma membran yang mengandung protein G dan protein M akan membelitnya. Kompleks protein RN-M kemudian mengikat protein G dan virion akan bertunas pada membran plasma. Virus kemudian menyebar dari sel ke sel dekatnya. Di dalam sel neuron virus menyebar dengan sangat cepat, partikel virus secara sederhana dipindahkan sepanjang akson sebelum proses pertunasan, hal ini merupakan alasan mengapa penyakit dapat menyebar dengan cepat dari saraf tepi menuju saraf pusat.

Diagnosis Laboratorium Rabies

(30)

12

Mouse Inoculation Test (MIT) adalah uji biologis pada mencit yang dilakukan jika uji dFAT dan Sellers hasilnya negatif, uji ini dilakukan dengan cara mensuspensikan otak hewan yang diduga rabies kedalam 10 % NaCl fisiologis kemudian disuntikkan pada 6 ekor mencit dengan dosis masing-masing 0,03 ml. Dilakukan observasi selama 3 minggu jika didapatkan mencit yang mati segera dilakukan uji dFAT untuk memastikan penyebab kematian mencit karena virus rabies (Koprowski 1996).

Beberapa teknik diagnosa uji yang lain telah dikenal meskipun tidak secara rutin digunakan, yakni imunohistokimia (direct dan indirect), histopatologi, kultur sel untuk isolasi virus, nucleic acid probes atau polymerase chain reaction (PCR) diikuti sekuensing DNA. Uji serologik untuk mendeteksi keberadaan antibodi dapat dilakukan dengan menggunakan virus neutralization test (VNT), indirect enzyme linked immunosorbent assay (i-ELISA), rapid fluorescence focus inhibition test (RFFIT),passive haemagglutination test(PHA) danfluorescence inhibition micro test(FIMT).

Anatomi dan Histologi Organ Sistem Saraf Pusat Serebrum

Serebrum merupakan bagian otak terbesar dan paling berkembang, yang meliputi 80% dari berat total. Serebrum merupakan sumber dari semua kegiatan dan gerakan sadar, walaupun ada juga beberapa gerakan refleks otak. Serebrum terbagi menjadi dua belahan yaitu hemisfer kiri dan kanan. Masing-masing serebrum hemisfer dapat dibedakan menjadi empat lobus yaitu lobus frontalis, lobus temporalis, lobus parietalis dan lobus oksipitalis. Serebrum manusia masing-masing lobus dipisahkan dengan sulkus, tetapi pada hewan lokasi lobus sesuai dengan pembagian letak tulang kranium. Pada permukaan serebrum ditandai dengan adanya penonjolan yang disebut sulkus dan lekukan yang disebut girus.

(31)

yang lebih tebal. Didalam substansia alba terdapat substansia grisea lain yaitu nukleus atau ganglion basalis. Substansia grisea terdiri dari neuron yang tersusun rapat dengan dendrit dan sel-sel glia, sedangkan jalinan serat-serat saraf bermielin (akson) akan membentuk substansia alba. Warna putih pada substansia alba disebabkan komposisi lemak dari mielin. Jalinan akson pada substansia alba akan menyalurkan sinyal dari satu bagian korteks serebrum ke bagian sistem saraf pusat yang lain, komunikasi semacam ini akan menyebabkan integrasi antar bagian korteks dan bagian saraf yang lain.

Gambar 3 Struktur anatomi serebrum (Akers & Denbow 2008).

(32)

14

Korteks serebrum berfungsi sebagai pengendali tingkah laku. Berdasarkan fungsinya bagian korteks serebrum dapat dibedakan menjadi tiga area yaitu (1) Area motorik, area ini merupakan bagian akhir sebelum sinyal dikirim ke otot somatik, bertanggung jawab dalam mengontrol fungsi motorik. Area ini pada mamalia terletak pada bagian rostral lobus frontalis dan memiliki sistem piramidal. (2) Area sensoris, terletak pada seluruh bagian korteks yang bertugas menerima informasi dari reseptor sensoris yang terletak pada kulit dan otot skeletal. (3) Area gabungan yang berfungsi mengintegrasikan sinyal motorik dan sensorik.

Sistem Limbus

Sistem limbus terdiri dari sekelompok bagian organ yang terletak pada bagian medial setiap hemisfer serebrum yang melingkari brainstem. Sistem limbus terdiri dari tiga struktur girus yaitu; girus cingulat, terletak pada bagian dorsal dari corpus collosum. Girus dentatus dan girus parahipokampus, terletak pada bagian posterior lobus limbus. Sistem ini meliputi antara lain korteks serebrum, nukleus basalis, talamus, hipotalamus dan hipokampus, amigdala (Akers & Denbow 2008).

Gambar 4 Anatomi sistem limbus (Sherwood 2001).

(33)

respon fisik yang nyata yang berkaitan dengan perasaan tersebut. Respon tersebut mencakup pola perilaku spesifik misalnya persiapan menyerang atau bertahan. Pemberian stimulasi pada sistem limbus di hewan coba yang secara normal jinak akan menyebabkan pemunculan perilaku yang aneh yaitu respon kemarahan dan kegusaran (Sherwood 2001).

Amigdala merupakan komponen utama pada sistem limbus yang mempengaruhi sifat emosi. Adanya kerusakan pada bagian amigdala yang menyebabkan munculnya perasaan takut terhadap sesuatu sehingga hewan terlihat jinak. Percobaan dengan menghilangkan bagian amigdala kucing, menyebabkan kucing tidak sadar adanya ancaman serangan dari sekelompok monyet (Akers & Denbow 2008).

Hipokampus

Hipokampus terbentuk karena korteks serebrum menggulung ke dalam ventrikel lateralis sepanjang girus hipokampus, girus tampak pada permukaan medial serebrum hemisfer, tetapi hipokampus sendiri tersembunyi di dalam ventrikel. Hipokampus berbentuk melengkung mengitari talamus dengan arah dorso-caudo-ventral. Hipokampus terdiri dari enam lapis yaitu: (1) Lapis ependim ventrikel, (2) Lapis endoventrikular alveus, mengandung akson berselubung myelin, (3) Stratum oriens dengan sedikit sel polimorf, (4) Lapis piramidal besar dan kecil dalam satu lapis, (5) Lapis lakunar, dan (6) Lapis molekular.

Talamus

(34)

16

asosiasi korteks penting untuk kemampuan mengarahkan perhatian pada rangsangan yang menarik (Sherwood 2001).

Kelenjar Saliva

Kelenjar saliva merupakan kelenjar pencernaan yang berhubungan dengan rongga mulut. Sekresi yang dihasilkan berbentuk mukus, serus atau campuran keduanya. Kelenjar utama pada kelenjar ludah terletak jauh dari rongga mulut sehingga memerlukan saluran (ductus) untuk menyalurkan hasil sekresinya. Kelenjar ludah parotid terletak dibawah telinga diantara otot maseter dan kulit yang menghasilkan serus. Kelenjar mandibularis (mandibula dan submaksilaris) terletak pada bagian kauda sudut rahang, yang merupakan kelenjar campura (mukus dan serus). Kelenjar sublingual terletak dibawah lidah dan menghasilkan sekresi dalam bentuk mukus (Akers & Denbow 2008).

(35)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Patologi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional II Bukitinggi dan Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini berupa lima belas kepala anjing berasal dari daerah endemis rabies yang merupakan wilayah kerja Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional II Bukittinggi. Empat belas sampel kepala anjing yang telah didiagnosa positif dan satu negatif terhadap virus rabies; berdasarkan uji direct Fluorescence Antibody Technique (dFAT) yang merupakan gold standarduntuk diagnosis rabies (OIE 2000).

Prosedur Penelitian Sampling

(36)

18

Gambar 6 Potongan bagian otak anjing secara transversal.

Pembuatan Preparat Histopatologi

Potongan jaringan diletakkan pada tissue cassette kemudian direndam dalam alkohol 70% selama satu malam. Selanjutnya dilakukan dehidrasi dengan mesin tissue processor menggunakan alkohol bertingkat (70%-absolut), terakhir direndam dalam parafin cair sebelum diblok dengan menggunakan parafin. Blok parafin dipotong setebal 4-5 µm, kemudiam ditempelkan pada slide preparat. Selanjutnya dideparafinisasi dengan larutan xylol I, II dan III masing-masing selama 3 menit, kemudian dilakukan rehidrasi dengan alkohol konsentrasi menurun mulai dari alkohol 95%, 80% dan 70% yang masing-masing selama 3 menit. Setelah itu dilakukan pencucian dengan distillated water selama 3-5 menit. Slide kemudian direndam dalam pewarna hematoksilin selama 2 menit kemudian dicuci dengan air mengalir lalu direndam dalam eosin selama 5 menit dan dicuci kembali dengan air mengalir. Selanjutnya slide dicelup masing-masing 10x dalam alcohol absolut bertingkat, kemudian dilap, lalu diberi perekat entellan dan ditutup menggunakan cover glass. Perubahan histopatologi diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran objektif 40x.

Imunohistokimia

(37)

polyvalent (universal) detection system RealTM EnvisionTM (K5007 DAKO®, Denmark). Potongan jaringan dalam parafin setebal 4-5 µ ditempelkan pada objek glass yang telah dilapisi dengan poly-L-lysine. Slide dideparafinisasi dalam xilol kemudian rehidrasi dalam alkohol bertingkat, dicuci dengan Phosphat Buffered Saline Tween 20 (PBST), blocking peroksidase endogenous menggunakan 3% H2O2 yang dilarutkan dalam metanol, untuk menghilangkan reaksi nonspesifik digunakannormal goat serum.

Adanya antigen virus rabies pada jaringan dideteksi dengan menggunakan rabbit anti-rabies virus P antibody (Yuji Sunden, Laboratory of Comparative Pathology, Graduate School of Veterinary Medicine, Hokkaido University, Jepang) (1 : 1000). Sebagai kontrol negatif digunakan jaringan otak anjing yang didiagnosa negatif virus rabies. Slide diwarnai dengan kromogen 3-3 diaminobenzidine (DAB), sebagai counterstaindigunakan Mayer Haematoxyillin untuk mendapatkan warna kebiruan pada jaringan. Kemudian slide ditutup dengan coverslide yang sebelumnya dilakukan mounting dengan entellan, lalu diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 20x.

Pengamatan Patologi Anatomi

Data patologi anatomi didapatkan setelah dilakukan nekropsi pada 14 kepala anjing yang diduga terinfeksi rabies secara alami, yaitu dengan membuka tulang kranium. Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada organ sistem saraf pusat, meliputi hiperemi, pembengkakan dan pendarahan.

Pengamatan Histopatologi

(38)

20

nekrosis neuron. Pengamatan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran obyektif 40x.

Pengamatan Imunohistokimia

Hasil pewarnaan imunohistokimia pada setiap bagian otak dan kelenjar saliva diamati dibawah mikroskop cahaya pada lima lapang pandang dengan pembesaran obyektif 20x. Reaksi positif ditemukan antigen virus rabies ditandai dengan bentukan berwarna kecoklatan dalam sel neuron. Distribusi antigen pada masing-masing lapang pandang dihitung kemudian dilakukan skoring menurut Sujaet al. (2009), dengan kriteria sebagai berikut:

0 = Tidak ditemukan antigen rabies pada neuron. 1 = Ditemukan antigen rabies pada 1-30% neuron. 2 = Ditemukan antigen rabies pada 30-60% neuron. 3 = Ditemukan antigen rabies pada 60-100% neuron.

Analisis Data

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seluruh anjing pada penelitian ini; yang diduga terinfeksi virus rabies setelah menggigit hewan atau manusia tidak dilakukan tindakan observasi terlebih dahulu. Seluruh anjing dengan sejarah menggigit hewan lain maupun manusia langsung di-eutanasioleh pemilik atau petugas peternakan setempat. Gejala klinis yang dapat dilaporkan yaitu anjing tiba-tiba menjadi agresif kemudian menggigit manusia ataupun hewan yang ada disekitarnya, tanpa ada provokasi terlebih dulu.

Patologi Anatomi

Pemeriksaan patologi anatomi dilakukan pada saat nekropsi, yaitu pada bagian permukaan otak setelah membuka tulang kranium. Empat belas sampel otak anjing positif rabies menunjukkan perubahan patologi anatomi yang bervariasi dengan derajat ringan. Hiperemi pembuluh darah meningen secara konsisten ditemukan pada semua sampel otak yang diperiksa (14/14). Perdarahan pada selaput meningen juga terlihat dengan variasi mulai ptekia (6/14) dan ekimosa (2/14) (Gambar 1). Pembengkakan sulkus dan girus serebrum ditemukan pada 2 dari 14 otak anjing yang diduga terinfeksi virus rabies. Data lengkap perubahan patologi anatomi disajikan pada Tabel 1.

Hiperemi ditemukan pada seluruh sampel yang diperiksa. Hal tersebut merupakan perubahan awal yang terjadi pada pembuluh darah sebagai respon akibat terjadinya reaksi radang. Hiperemi terjadi akibat dilatasi pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan aliran darah dalam kapiler. Dilatasi terjadi karena pelepasan zat vasoaktif yang dapat merangsang saraf vasodilator atau hambatan hantaran saraf vasokonstriktor (McGavin & Zachary 2007).

(40)

22

sebelum hewan mati. Anjing yang diduga terinfeksi virus rabies setelah terjadi kasus gigitan, segera dieutanasi tanpa dilakukan observasi terlebih dulu. Eutanasi dilakukan dengan cara memukul bagian kepala atau menjerat bagian leher. Tindakan ini mengakibatkan trauma pada tulang kranium dan rusaknya dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan secara spontan.

Keberadaan benda asing (kayu, pasir dan tanah) pada saluran pencernaan merupakan salah satu indikasi infeksi virus rabies pada anjing (Summers et al. 1995). Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan pengamatan pada organ pencernaan dikarenakan sampel yang diperoleh hanya berupa kepala anjing.

Tabel 1 Perubahan patologi anatomi pada otak anjing yang diduga terinfeksi virus rabies secara alami

(41)

Manusia ataupun hewan yang terinfeksi virus rabies secara alami tidak menunjukkan perubahan patologi anatomi pada sistem saraf pusat meskipun gejala saraf yang ditimbulkan terlihat jelas (Jackson & Rossiter 2007). Hal ini diduga virus bertahan pada organ non saraf atau penurunan respon kekebalanhost selama masa inkubasi (Iwasaki & Tobita 2002). Namun pada penelitian ini secara konsisten ditemukan hiperemi serta ptekia pembuluh darah meningen. Hal ini dapat dijadikan sebagai petunjuk awal adanya infeksi virus rabies, khususnya kejadian di daerah endemis.

Gambar 7 Perubahan patologi anatomi otak anjing yang diduga terinfeksi virus rabies secara alami. Hiperemia (panah hitam), ptekia (panah orange) perdarahan (panah biru), pembengkakan girus (bintang).

Histopatologi

Berdasarkan perubahan histopatologi dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin, seluruh hewan menunjukkan ensefalitis non-suppuratif ringan disertai perivascular cuffing (PVC) dengan dominasi sel limfosit pada bagian korteks serebrum. Sel-sel saraf terlihat mengalami degenerasi dan nekrosis meskipun jumlahnya sedikit. Korteks serebrum dan talamus merupakan bagian otak yang banyak mengalami degenerasi dan iskemia.

(42)

24

serta badan nisl tersebar. Gangguan saraf pada infeksi virus rabies lebih disebabkan karena disfungsi sel saraf daripada kematian sel saraf (Jackson 2002). Namun infeksi virus rabies yang telah dilemahkan dapat menginduksi reaksi inflamasi, degenerasi, apoptosis dan nekrosis sel saraf (Miyamoto 1968). Infeksi virus rabies strain patogen baik secara in vitro maupun in vivo dapat menyebabkan kerusakan pada prosesus neuron (akson dan dendrit) dengan cara merusak keutuhan sitoskeleton, sehingga mengakibatkan gangguan pada neurotransmisi (Li et al.2005).

Menurut Jackson dan Roositer (1997) disfungsi sel saraf pada infeksi virus rabies lebih disebabkan karena apoptosis. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya sel piramida hipokampus dan korteks neuron yang mengalami apoptosis pada tikus yang diinfeksi virus rabies strain CVS secara intraserebral berdasarkan uji TUNEL. Infeksi virus rabies strain alam (street rabies virus) pada hewan dan manusia, serta infeksi buatan intramuskular pada tikus menunjukkan sedikit neuron yang mengalami apoptosis meskipun antigen virus rabies tersebar pada seluruh area sistem saraf pusat. Virus rabies strain alam hanya menginduksi apoptosis pada sel radang dengan cara mempengaruhi pelepasan sitokin sitotoksik dan mencegah sel lisis (Iwasaki & Tobita 2002). Usaha mencegah terjadinya apoptosis pada sel saraf merupakan strategi virus rabies untuk tetap bertahan dan melanjutkan tahapan infeksi dalam tubuh host (Suja et al. 2011). Perubahan histopatologi pada masing-masing bagian otak disajikan pada Tabel 2.

(43)

lama seiring dengan perjalanan penyakit jumlahnegri body akan semakin banyak serta ukuran akan semakin bertambah besar (Sandyamaniet al. 1981).

Tabel 2 Perubahan histopatologi pada masing-masing bagian otak anjing yang terinfeksi virus rabies secara alami

Jaringan Negri Bodies PVC Degenerasi Nekrosis Gliosis Peradangan

Lobus Frontalis 10/14 7/14 6/14 5/14 7/14 8/14

Lobus Parietalis 5/14 7/14 3/14 3/14 8/14 8/14

Lobus Temporalis 5/14 2/14 2/14 1/14 3/14 5/14

Lobus Oksipitalis 2/14 1/14 0/14 0/14 2/14 2/14

Hipokampus 12/14 0/14 0/14 0/14 4/14 8/14

Talamus 3/14 8/14 4/14 4/14 7/14 10/14

Amigdala 2/14 0/14 0/14 0/14 2/14 1/14

* PVC = Perivascular cuffing, Gliosis = Proliferasi sel-sel glia,

x / x = Hewan yang mengalami perubahan histopatologi / total sampel.

(44)

26

Gambar 8 Perubahan histopatologi masing-masing bagian otak (Hematoksilin Eosin). (a) Korteks serebrum: perivascular cuffing (panah hitam), disertai infiltrasi sel mononuklear khususnya limfosit (panah orange) dan degenerasi sel saraf (panah biru); (b). Hipokampus; inklusion bodies intrasitoplasmik (negri bodies) pada sitoplasma sel piramida amons horn (panah); (c). Korteks serebrum; perivascular cuffing (panah orange) disertai proliferasi sel glia, neuronofagi (panah hitam), serta sel-sel saraf yang mengalami nekrosis (panah orange) (d); Selaput meningen; perivascular cuffing (panah hitam) ditandai dengan infiltrasi sel limfosit (panah orange (Bar = 50 µm).

(45)

al. 2010). Astrosit berfungsi menjaga struktur dan metabolisme sel saraf. Pada infeksi virus rabies strain CVS intramuskular terjadi proliferasi astrosit yang sejalan dengan nekrosis yang terjadi pada sel saraf medula spinalis (Kojimaet al. 2009).

Infeksi buatan intraserebral dengan virus yang sama menunjukkan bahwa proliferasi astrosit sejalan dengan terjadinya apoptosis pada sel saraf. Proliferasi sel glia akibat infeksi virus rabies strain CVS pada tikus berpengaruh penting pada patogenesa virus rabies secara eksperimental (Kojima et al. 2010). Proliferasi astrosit dan oligodendroglia tidak biasa terjadi pada infeksi virus rabies strain alam meskipun masa inkubasi penyakit berjalan lama. Ada dugaan bahwa astrosit bertindak hanya sebagaiantigen-presenting cells(APC) sehingga memicu reaksi mikroglia (Sujaet al. 2009).

Evaluasi histopatologi juga dilakukan pada kelenjar saliva dengan pewarnaan hematoksilin-eosin yaitu kelenjar parotid dan mandibula. Pengamatan histopatologi menunjukkan infiltrasi sel mononuklear terutama sel limfosit dengan derajat sedang hingga berat pada septa asini disertai nekrosis sel epitel asinus (Gambar 9a). Berbeda dengan kelenjar mandibula, pada kelenjar parotid hanya menunjukkan infiltrasi sel radang limfosit dengan derajat ringan serta tidak didapatkan adanya nekrosis sel (Gambar 9b).

(46)

28

Distribusi Antigen Virus Rabies pada Jaringan

Teknik pewarnaan imunohistokimia dikenal untuk mengidentifikasi antigen virus rabies pada sel saraf secara akurat (Damayanti 2009). Hasil evaluasi pada seluruh sampel otak ditemukan antigen virus rabies berbentuk titik maupun granula berwarna coklat. Antigen terdeposit pada sitoplasma sel saraf, akson maupun dendrit dengan jumlah dan pola penyebaran berbeda. Rata-rata skor antigen virus rabies terbanyak ditemukan di hipokampus, kemudian talamus dan lobus frontalis korteks serebrum. Namun tidak terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah antigen pada talamus jika dibandingkan dengan lobus frontalis korteks serebrum. Diantara empat lobus serebrum, deposit antigen virus rabies terbanyak ditemukan pada lobus frontalis, sedangkan pada lobus temporalis, parietalis dan oksipitalis juga ditemukan antigen namun dalam jumlah yang lebih sedikit, begitu juga pada bagian amígdala. Seluruh bagian talamus (anterior, ventrolateral, medial dan posterior) ditemukan antigen virus rabies dalam jumlah yang hampir sama, hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan Sujaet al.(2009) dan Jackson & Reimer (1989). Rata-rata distribusi antigen virus rabies secara lengkap disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata skor distribusi antigen pada masing-masing bagian otak

Bagian Otak Skor

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanyaperbedaan yang nyata, α = 0,05.

(47)

sel piramida, khususnya pada lapisan granular. Lapisan ini banyak ditemukan sel piramida dengan ukuran kecil, medium hingga besar. Hasil pengamatan lebih lanjut menunjukkan bahwa pada lapisan molekular jarang ditemukan antigen karena lapisan ini terdiri dari neuropil yang merupakan gabungan dari akson, dendrit, serabut sel glia dan cabang akhir serabut saraf aferen. Lobus frontalis serebrum bertanggung jawab terhadap fungsi motorik tubuh, dan tingkah laku sadar. Wilayah tersebut secara anatomi merupakan bagian terdepan dari serebrum. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang nyata skor distribusi antigen virus rabies pada lobus frontalis serebrum dan talamus. Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam koleksi sampel dan jumlah antigen virus yang cukup banyak, maka lobus frontalis korteks serebrum dapat dijadikan alternatif lokasi pengambilan sampel untuk pengujian rabies di lapangan selain hipokampus.

Granula antigen pada bagian hipokampus terbanyak ditemukan pada sitoplasma sel piramida hipokampus khususnya bagian CA1 (cornua ammons 1) dan CA3 (cornua ammons 3) sedangkan pada bagian girus dentatus jarang ditemukan. Menurut Park et al. (2006) infeksi buatan pada telapak kaki mencit menunjukkan bahwa antigen virus rabies pertama kali ditemukan pada hipokampus (CA3) pada hari ke 8 dan pada CA1 pada hari ke 10; sedangkan pada girus dentatus ditemukan dalam jumlah sedikit. Inokulasi intraserebral memberikan hasil bahwa antigen virus rabies terbanyak ditemukan pada CA3, yaitu 2 hari setelah infeksi. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa hipokampus relatif lebih lambat terinfeksi pada inokulasi perifer dibandingkan dengan inokulasi intraserebral. Sinchaisri et al. (1992) menyatakan, pada kejadian infeksi alami virus rabies dengan gejala klinis saraf yang jelas, sering mendapatkan hasil negatif dengan uji dFAT pada preparat sentuh hipokampus. Setelah dikonfirmasi dengan uji imunohistokimia, hanya ditemukan sedikit antigen pada hipokampus. Sebaliknya pada serebelum ditemukan antigen dalam jumlah banyak. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut sangat dianjurkan agar pengambilan sampel dilakukan lebih dari satu bagian otak untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.

(48)

30

hipokampus. Distribusi antigen pada anjing yang terinfeksi virus rabies secara alami di India menunjukkan tidak ada perbedaan jumlah antigen antara hipokampus dan amígdala (Sujaet al. 2009). Berbeda dengan hasil penelitian ini, bahwa antigen virus rabies lebih banyak ditemukan pada hipokampus dibandingkan amígdala. Hal ini dimungkinkan karena terdapat perbedaan asal virus rabies yang ada di Indonesia dan di India. Virus rabies di Indonesia satu grup dengan isolat yang berasal dari Cina dan Filipina, sedangkan isolat dari India satu grup dengan isolat Srilangka (Sugiyama 2007). Adaptasi virus terhadap kondisi lingkungan menyebabkan virus rabies yang berasal dari daerah geografik berbeda mempunyai patogenitas yang berbeda terhadap inangnya (Suwarno 2005).

Gambar 10 Distribusi antigen pada hipokampus (a). Antigen berbentuk granula dengan bagian tengah cenderung bening pada sitoplasma sel piramida ammons horn (panah hitam); (b). Antigen berbentuk titik pada sitoplasma sel saraf serta akson dan dendrit (panah).

Amigdala berfungsi mengontrol tingkah laku sadar dan nonsadar, emosi serta tingkah laku sosioseksual sedangkan hipokampus berfungsi sebagai pusat memori. Fungsi bagian ini saling berhubungan erat dengan korteks serebrum (Sherwood 2001). Adanya lesi pada hipokampus dan amigdala pada anjing yang terinfeksi virus rabies menyebabkan peningkatan agresifitas sehingga anjing tidak mengenali lagi tuannya. Akibatnya seringkali yang menjadi korban gigitan pertama adalah keluarga pemilik atau orang yang berada disekitar anjing penderita rabies.

(49)

penunjang sel saraf dan pembuluh darah. Sel ini berdiameter lebih kecil dari neuron, inti tidak mempunyai nukleolus. Jumlah sel glia lebih banyak daripada sel saraf, namun hanya menempati setengah bagian dari volume otak. Pada penelitian ini didapatkan mikroglia dan astrosit pada korteks serebrum positif antigen virus rabies. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Sujaet al. (2009) pada anjing yang terinfeksi virus rabies secara alami di India, astrosit dan oligodendroglia pada bagian medula juga mengandung antigen virus rabies. Hal ini menunjukkan bahwa virus rabies juga dapat menginfeksi sel-sel yang lain selain sel saraf.

Distribusi antigen pada kelenjar saliva menunjukkan, antigen virus rabies dalam bentuk massa yang tebal pada sel epitel asinus kelenjar mandibula (Gambar 11a), sedangkan pada kelenjar parotis antigen ditemukan pada lumen duktus striata dengan bentuk titik dan granula (Gambar 11b). Dierks et al. (1969) melakukan pemeriksaan fluorescence terhadap kelenjar saliva serigala yang diinfeksi virus rabies, menemukan masa antigen virus dalam jumlah besar pada bagian tengah asinus; sedangkan pada bagian granular dan duktus striata antigen rabies ditemukan di lumen. Hasil selanjutnya menjelaskan bahwa virion rabies pada kelenjar saliva berbentuk seragam dan tidak ditemukan reruntuhan sel. Diduga tingkat infektifitas virusnya lebih tinggi dibandingkan yang terdapat pada jaringan saraf. Virion kelenjar saliva berkembang secara khusus dari bagian apical membran plasma pada permukaan lumen sel mukus untuk kemudian dilepaskan dalam konsentrasi yang tinggi pada saliva (Murphyet al. 2006).

(50)

32

Antigen virus rabies pada infeksi alami dapat ditemukan di seluruh bagian saraf pusat dan kelenjar saliva dengan bentuk yang berbeda-beda. Antigen virus pada bagian korteks serebrum dan talamus ditemukan dalam bentuk titik (Gambar 12). Ada kecenderungan bahwa antigen virus pada hipokampus berbentuk bulatan atau granula (Gambar 10a), sedangkan di kelenjar saliva antigen berbentuk seperti massa yang tebal (Gambar 11).

Gambar 12 Distribusi antigen virus rabies pada talamus dan korteks serebrum (a). Talamus: antigen pada sitoplasma neuron (panah hitam), sel glia mengandung antigen (panah orange); (b). Talamus: antigen pada prosesus neuron (panah hitam); (c). Lobus parietalis korteks serebrum. antigen virus rabies intrasitoplasma (panah orange), antigen dalam sitoplasma dan prosesus neuron (panah hitam); (d). Lobus temporalis korteks serebrum: antigen dalam sitoplasma (panah orange), sel astrosit mengandung antigen virus rabies (panah putih).

(51)

dibanding antigen yang berbentuk granula. Sedangkan antigen yang berbentuk granula diduga kandungan virusnya lebih tinggi daripada bagian otak dengan antigen yang berbentuk titik (spot).

(52)
(53)

SIMPULAN DAN SARAN

1 Infeksi alami virus rabies pada anjing menimbulkan perubahan patologi anatomi pada otak berupa hiperemi, ptekia dan edema.

2 Berdasarkan evaluasi histopatologi, seluruh hewan menunjukkan meningoensefalitis non-supuratif ringan disertai perivascular cuffing dengan dominasi sel limfosit, sedangkan degenerasi dan nekrosis sel saraf ditemukan dalam jumlah sedikit.

3 Negry bodies terbanyak ditemukan pada sitoplasma sel piramida hipokampus dan lobus frontalis korteks serebrum.

4 Antigen terdistribusi pada seluruh area sistem saraf pusat; secara berurutan jumlah antigen virus terbanyak ditemukan pada hipokampus kemudian talamus dan lobus frontalis korteks serebrum.

(54)
(55)

DAFTAR PUSTAKA

Akers RM, Denbow DM. 2008. Anatomy & Physiology of Domestic Animals. Ames Iowa. Blackwell Publishing.

Atanasiu P, Tierkel ES. 1996. Rapid microscopic examination for negri bodies and preparation of spesiment for biological test. In : Laboratory Techniques in rabies. Geneva. Fourth Edition. hlm 55-56.

Bronnert J, Henry W, Veera T, Bonlert L, Hemachuda T. 2007. Organ transplantations and rabies transmission.J Travel Med14: 195–199. [CDC] Central Disease Control. 1999. Mass Treatment of Humans Who Drank

Unpasteurized Milk from Rabid Cow Massachusetts, 1996-1998. Washington DC. 48: 228-229

Charlton KM, Casey GA, Campbell JB. 1983. Experimental rabies in skunks: mechanisms of infection of the salivary glands.Can J Comp Med47: 363-369.

Carlton WW, McGavin MD. 1997. Special Veterinary Pathology. Second edition. Mosby. Missouri USA.

Damayanti R, Alfinus, Rahmadani I, Faizal. 2009. Deteksi antigen virus rabies pada jaringan otak dengan metode imunohistokimia. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor.

Dean DJ, Abelseth MK, Atanasiu P. 1996. The Fluorescence Antibody Test. In ; Laboratory Techniques in Rabies. Geneva. Fourth Edition. hlm 88-95. Dierks RE, Murphy FA, Harrison AK. 1969. Extraneural rabies virus infection

virus development in fox salivary gland.Am J Pathol54:251-273.

Dietszschold B et al. 1987. Induction of protective immunity against rabies by immunization with rabies virus ribonucleoprotein.Proc Natl Acad Sci 84: 9165-9169.

Dietszschold B, Jianwei L, Milosz F, Matthias S. 2008. Concepts in the pathogenesis rabies.Future Virol3: 481-490.

(56)

38

Fenner FJ et al. 1993. Rhabdoviridae in: Veterinary Virology. San Diego, California. Academic Press, Inc. hlm 523-544.

Hamir AN, Moser G, Rupprecht CE. 1996. Clinicopathologic variation in raccoons infected with different street rabies virus isolates. J Vet Diagn Invest 8:31-37.

Hicks DJ et al. 2009. Comparative pathological study of the murine brain after experimental infection with classical rabies virus and European bat lyssaviruses.J Comp Pathol140:113-126.

Hsu SM, Raine L, Fanger H. 1981. The use of avidin biotin peroxidase complex in immunoperoxidase techniques.Am J Clin Pathol75: 816-821.

Iwasaki Y, Tobita M. 2002. Pathology. In: Jackson AC and Wunner WH, Editor Rabies. First Edition. San Diego California. Academic Press.

Iwasaki Y, Sako, Tsunoda I, Ohara Y. 1993. Phenotypes of mononuclear cell infiltrates in human central nervous system. Acta Neuropathol 85: 653-657.

Jackson AC. 2002. Rabies Pathogenesis.J Neuro Virol8:267-269.

Jackson AC, Rossiter JP. 1997. Apoptosis play important role in experimental rabies virus infection.J Neuro Virol7: 5603-5607.

Jackson AC, Reimer DL. 1989. Pathogenesis of experimental rabies in mice: an immunohistochemical study.Acta Neuropathol. 78:159-165.

Jogai S, Radotra BD, Banerjee AK. 2000. Immunohistochemical study of human rabies.Neuropathology20:197-203 intracerebral inoculation of BALAB/c with rabies virus (CVS-11). J Vet Med Sci72: 1011–1016.

(57)

Koprowski H. 1996. The Mouse Inoculation Test in Rabies. In: Laboratory Techniques in Rabies. Geneva. Fourth Edition. hlm 80-87

Lents TL, Thomas GB, Abigail LS, Joan C, Gregory HN. 1982. Is acetylcholine receptors a rabies virus receptor.Science215: 182-184.

Li XQ, Sarmento L, Fu ZF. 2005. Degeneration on neuronal processes after infection with pathogenic, but not attenuated, rabies viruses. J Virol 15:10063-10068.

Miyamoto K, Matsumoto S. 1967. Comparative study between pathogenesis street of street and fixed rabies infection.J Exp Med125:447-456.

Murphy FA, Gibbs EPJ, Horzinek MC, Studdert MC. Veterinary Virology. Third Edition. San Diego: Academic Press.

Murphy FA. 1977. Rabies Pathogenesis.Arch Virol54: 279-297.

[OIE] Office International Des Epizooties. 2000. Manual Standards for Diagnostic Tests and Vaccines. Rabies. http://www.oie.int. (11 Agustus 2009).

Park CH et al. 2006. The histopathogenesis of paralytic rabies in six-week-old C57BL/6J mice following inoculation of the CVS-11 strain into the right triceps surae muscle.J Vet Med Sci68: 589–595.

Petrie A, Watson P. 2006. Statistic for Veterinary and Animal Science. Second Edition. Oxford. Blackwell Publishing.

Pulmanausahakul R, Li J, Schnell MJ, Dietzschold B. 2008. The glycoprotein and the matrix protein of rabies virus effect pathogenicity by regulating viral replication and facilitating cell-to-cell spread.J Virol5:2330-2338.

Ramsden RO, Johnston DH. 1975. Studies on the oral invectifity of rabies virus in carnivore.J Wildlife Dis 11: 318-324.

Rantam FA. 2005. Virologi. Cetakan pertama. Surabaya. Airlangga University Press.

Rositter JP, Jackson AC. 2007. Pathology. In: Jackson AC and WH Wunner, Editor Rabies. Second Edition. Oxford. Academic Pr.

(58)

40

Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Pendit BU, Penerjemah; Santoso BI, editor Jakarta. EGC. Terjemahan dari: Human Physiology: From Cells to Systems.

Sinchaisri TA, Nagata T, Yoshikawa Y, Kai C, Yamanouchi K. 1992. Imunohistochemical and histopathoogical study of experimental rabies infection in mice. J Vet Med Sci54: 409-416.

Smith JS, Orciari LA, Yager PA, Seidel HD, Warner CK. 1992. Epidemiologic and historical relationship among 87 rabies virus isolates as determined by limited sequens analysis.J Infect Dis166: 296-307.

Soegiarto. 2010. Epidemiology of Rabies in Indonesia. Di dalam : New strategies for the control and prevention of zoonotic diseases. Prosiding Seminar Internasional, Surabaya, 22-23 Juni Surabaya. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Sugiyama M, Ito N. 2007. Control of Rabies: Epidemiologi of Rabies in Asia and Development of New-Generation Vaccines of Rabies.Jcimid30: 273-286. Suja MS, Mahadevan A, Madhusudana SN, Shankar SK. 2011. Role of apoptosis rabies viral encephalitis: A comparative study in mice, canine and human brain with a review of literature.J Pathol Res Int1-13.

Suja MS, Mahadevan A, Madhusudana SN, Vijayasarathi SK, Shankar SK. 2009. Neuroanatomical mapping of rabies nucleocapsid viral antigen distribution and apoptosis in pathogenesis street dog rabies–an immunohistochemical study.Clin Neuropathol 28: 113-124.

Summers BA, Cummings JF, Lahunta A de. 1995. Veterinary Neuropathology. Mosby. Missouri. USA.

Suwarno. 2005. Karakterisasi molekuler protein serta gen penyandi nukleoprotein dan glikoprotein virus rabies dari beberapa daerah geografik di Indonesia (disertasi). Surabaya; Program Pascasarjana, Universitas Airlangga.

(59)

Tordo N, Bahloul C, Jacob Y, Jallet C, Perrin P, Badrane H. 2006. Rabies: Epidemiological tendencies and control tools. In: Epidemiology Proceedings of the OIE International Conference Rabies in Europe. Kiev Ukraine , 15-18 June 2005. Kiev. Pp 3-10.

Tufferau CJ, Benejean AM, Alfonso R, Flammand A, Fishman MC. 1998. Neuronal cell survace molecules mediate spesific binding to rabies virus glycoprotein expressed by recombinant baculovirus on the surfaces of lepidopteran cells.J Virol72: 1081-1085.

Winkler WG. 1968. Airborne rabies virus isolation. Bull Wildlife Diss Assoc. 4: 37-40.

(60)
(61)

Lampiran 1 Distribusi antigen virus rabies pada masing-masing bagian otak

No No.

Agenda Frontalis Parietalis Temporalis Oksipitalis Hipokampus Talamus Amigdala

1 31 1 1 1 1 2 2 1

2 32 0 0 0 0 1 1 0

3 39 2 1 1 1 3 3 1

4 40 1 1 1 1 2 1 1

5 84 2 1 1 2 3 2 1

6 86 3 2 1 1 3 2 1

7 122 2 1 1 1 3 2 1

8 89 2 2 2 2 3 2 2

9 214 2 2 2 2 3 2 2

10 50 1 1 1 1 2 1 1

11 71 1 2 2 2 3 2 1

12 150 2 2 1 1 2 2 0

13 198 2 1 1 1 3 2 1

14 199 1 1 1 1 2 2 1

(62)

44

Lampiran 2 Pewarnaan imunohistokimia rabies metode polymer labeling two- step method (Ramos-Vara & Miller 2006) yang dimodifikasi

1 Slide dideparafinisasi masing-masing selama 3 menit 2 Slide kemudian direndam dalam aquades.

3 Proses antigen retrieval dilakukan dengan memanaskan buffer sitrat pH 7,4 pada suhu 90-95°C selama 20 menit

Buffer sitrat = 0,525 gr asam sitrat dilarutkan dalam 500 ml aquades. 4 Slide diinkubasi dalam bufer sitrat pada suhu kamar selama 20 menit 5 Slide dipindahkan dalamhumidity chamber.

6 Slide dicuci dengan PBST 3x5 menit

7 Dilakukan blok peroksida endogenus dengan menggunakan 3% H2O2 dalam metanol selama 20 menit.

8 Slide dicuci dengan PBST 3x5 menit

9 Dilakukan blocking background menggunakan 0,1% skim milk dalam PBS selama 20 menit

10 Skim milk dibuang tanpa harus dicuci dengan PBST

11 Dilakukan blocking background sekali lagi menggunakan normal goat serum(Nichirei, Tokyo, Japan) selama 20 menit.

12 Normal goat serumdibuang tanpa harus dicuci dengan PBST.

13 Slide diinkubasi dengan antibodi primer rabbit anti rabies virus P (Dr. Yuji Sunden, Pathology Laboratory, Graduate School of Veterinary Medicine, Hokkaido University, Japan) pada suhu 4°C semalam. 14 Slide dicuci dengan PBST 3x5 menit.

15 Slide diinkubasi dengan antibodi sekunder dextran yang telah dilabel HRP (Dako REAL Envision K5007, Denmark) selama 30 menit. 16 Slide dicuci dengan PBST 3x5 menit.

17 Slide diinkubasi dengan DAB selam 3-5 menit. 18 Slide dicuci dengan aquades.

19 Slide masing-masing di counterstain dengan mayer hematoksilin 5x celupan kemudian dicuci dengan air mengalir

(63)

21 Slide dimounting dengan entellan. 22 Slide diutup dengan cover glass.

Gambar

Gambar 1 Morfologi virus rabies, G=Glikoprotein,N=Nukleoprotein, M=Matriksprotein, P = Phosphoprotein, L=RNA dependen polymerase (Wunner et al.1988).
Gambar 2 Tahapan replikasi virus rabies (Jackson & Wunner 2007).
Gambar 3 Struktur anatomi serebrum (Akers & Denbow 2008).
Gambar 4 Anatomi sistem limbus (Sherwood 2001).
+7

Referensi

Dokumen terkait

periode, maka seluruh famili produk tersebut diputuskan untuk diproduksi. Untuk itu terlebih dahulu dicari harga X i , yaitu berapa kali produk diproduksi dalam 1 horison

Turunan sulfonamid ini dapat dibuat secara sintetis di laboratorium dari senyawa bahan alam alkaloid papaverine dengan terlebih dahulu melakukan reaksi sulfonasi sehingga diperoleh

Upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi penjarahan yang terjadi pascabencana alam pada 27 September 2018 di Kota Palu dilakukan dalam dua bentuk sesuai UU

Biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk kegiatan promosi disebut biaya promosi (Philip Kotler, 2000). Sebelum perusahaan mengeluarkan biaya promosi, terlebih dahulu

BPBD Models and Strategies in Mitigating the Covid-19 Disaster in West Kalimantan Province Through the Decree of the Governor of West Kalimantan Number 444/Dinkes/2020 concerning the

Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pemberian pakan maggot yang dikombinasikan dengan bahan alami terhadap pertumbuhan dan rasio konversi pakan ikan nila

Berdasarkan hasil uji friedman terhadap skor kesukaan rasa serbuk perisa alami dari cangkang rajungan menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang nyata p-value>α ;α = 0.05 / notasi

Penentuan Validasi Sebelum cara tiga panjang gelombang 3λ diterapkan pada contoh, terlebih dahulu dilakukan validasi terhadap cara kolorimetrik tersebut dan dibandingkan dengan metode