PENGARUH LAMA KERJA DAN POLA ASUH PENENUN ULOS TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI KECAMATAN LAGUBOTI
KABUPATEN TOBA SAMOSIR
TESIS
Oleh
MINAR LENNY SITUMORANG 107032091/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
THE INFLUENCE OF WORK HOUR’S AND NURSING PATTERN OF ULOS WEAVER ON THE NUTRITIONAL STATUS OF CHILDREN
UNDER FIVE YEARS OLD IN LAGUBOTI SUBDISTRICT, TOBA SAMOSIR DISTRICT
THESIS
By
MINAR LENNY SITUMORANG 107032091/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH LAMA KERJA DAN POLA ASUH PENENUN ULOS TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI KECAMATAN LAGUBOTI
KABUPATEN TOBA SAMOSIR
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
MINAR LENNY SITUMORANG 107032091/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH LAMA KERJA DAN POLA ASUH PENENUN ULOS TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI KECAMATAN LAGUBOTI KABUPATEN TOBA SAMOSIR
Nama Mahasiswa : Minar Lenny Situmorang Nomor Induk Mahasiswa : 107032091
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si) (Dra. Jumirah, Apt, M.Kes Ketua Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 04 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si Anggota : 1. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes
PERNYATAAN
PENGARUH LAMA KERJA DAN POLA ASUH PENENUN ULOS TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI KECAMATAN LAGUBOTI
KABUPATEN TOBA SAMOSIR
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2012
ABSTRAK
Di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir pada tahun 2011 terdapat balita yang mengalami status gizi kurang sebesar 11,4%. Sebagian besar (10,4%) ibu rumah tangga bekerja sebagai penenun ulos dalam kesehariannya. Hal ini kemungkinan berpengaruh terhadap pola pengasuhan balita mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh lama kerja dan pola asuh penenun ulos terhadap status gizi balita. Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang bekerja sebagai penenun ulos yang memiliki balita umur 9-59 bulan di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa yang berjumlah 35 orang (total sampling). Data pola asuh diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, status gizi balita diukur secara antropometri, dianalisis dengan regresi logistik ganda pada α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan pada keluarga penenun ulos di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa ditemukan anak balita tergolong berat badan kategori kurang 20,0%, tinggi badan kategori pendek 40,0% dan status gizi kategori kurus 11,4%, terdapat pengaruh pola asuh (praktek pemberian makan) terhadap status gizi balita, sedangkan faktor lama kerja ibu dan pola asuh (perawatan dasar dan praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan) tidak berpengaruh terhadap status gizi balita.
Disarankan kepada tenaga kesehatan melaksanakan penyuluhan gizi pada ibu yang bekerja sebagai penenun ulos untuk meningkatkan status gizi balita dan diharapkan kepada penenun ulos lebih memperhatikan pola asuh dalam hal praktek pemberian makan untuk meningkatkan status gizi balita.
ABSTRACT
In 2011, there were 5.5% of the children under five years old in Laguboti Subdistrict, Toba Samosir District suffering from less nutritional status. Most of their mothers (10,4%) are housewives who work as ulos weavers every day. This condition may have influenced the pattern of nursing their children under five years old.
The purpose of this analytical survey study with cross-sectional design was to analyze the influence of length of service and nursing pattern of ulos weavers on the nutritional status of children under five years old. The population of this study was all of the 35 mothers working as ulos weavers with children of 9-59 mounths old in Laguboti Subdistrict, Toba Samosir District and all of the mothers were selected to be the samples for this study through total sampling technique. The data of nursing pattern for this study were obtained through questionnaire-based interviews, the nutritional status of the children under five years old was measured through anthropometry, and then the data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests at α = 5%.
The result of this study showed that in the families of ulos weavers in Laguboti Subdistrict, Toba Samosir District it was found out that the children under five years old who have under five under weight 20 %, 40 % classified stuntingt and 11 ,4 %, classified as wasted. The factors of mothers’ work hour’s and nursing pattern (feeding practices) had influence on the nutritional status of the children under five years old, while the nursing pattern alone (basic nursing and environmental hygiene and sanitation) did not have any influence on the nutritional status of the children under five years old.
The health workers are suggested to implement extension on nutrition for the mothers working as ulos weaver to improve the nutritional status of the children under five years old. The ulos weavers are expected to pay more attention to the nursing pattern especially in feeding practices to improve the nutritional status of the children under five years old.
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji dan syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Pengaruh Lama Kerja dan Pola Asuh Penenun Ulos Terhadap Status Gizi Balita di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ”.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat
dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan moral maupun material dari banyak pihak.
Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk
membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
5. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes selaku anggota komisi pembimbing yang dengan
penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan
waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis
selesai.
6. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes dan Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes sebagai
komisi penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan
masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
7. Camat Laguboti Kabupaten Tobasa dan jajarannya yang telah berkenan
memberikan kesempatan kepada penulis untuk memberikan izin sampai selesai
penelitian ini.
8. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Gizi Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
9. Teman-teman mahasiswa Angkatan 2010 Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Gizi Masyarakat, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang
semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Agustus 2012 Penulis
Minar Lenny Situmorang 107032091/IKM
Minar Lenny Situmorang, lahir pada tanggal 23 Maret 1969 di Padang
Sidempuan, anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan ayahanda M.A.
Situmorang dan ibunda N. Br. Gultom.
Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di sekolah Dasar
Negeri, selesai Tahun 1981, Sekolah Menengah Pertama, selesai tahun 1983, Sekolah
Menengah Atas, selesai Tahun 1987, Akademi Keperawatan Depkes RI, selesai
Tahun 1991, D.IV Keperawatan USU Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, selesai Tahun 2003.
Penulis mulai bekerja sebagai guru SPK di SPK Arjuna Laguboti tahun 1991,
dosen di Akademi Perawatan Arjuna mulai tahun 2003, Direktris Akademi Perawat
Arjuna Laguboti tahun 2009 sampai sekarang.
Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat studi Gizi Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 10
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Hipotesis ... 10
1.5. Manfaat Penelitian ... 11
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1. Status Gizi ... 12
2.1.1. Penilaian Status Gizi ... 13
2.2. Pola Asuh ... 16
2.2.1. Praktek Pemberian Makan ... 20
2.2.2. Pengasuhan Perawatan Dasar Anak ... 23
2.2.3. Praktek Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan ... 25
2.2.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pola Asuh ... 26
2.2.5. Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak ... 28
2.3. Lama Kerja ... 30
2.3.1. Lama Kerja Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 33
2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Lama Kerja ... 33
2.3.3. Kapasitas Kerja ... 34
2.3.4. Analisis Lama Kerja ... 34
2.4. Faktor yang Memengaruhi Status Gizi ... 35
2.5. Landasan Teori ... 36
2.6. Kerangka Konsep ... 38
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 39
3.1. Jenis Penelitian ... 39
3.2.1. Lokasi Penelitian ... 39
3.2.2. Waktu Penelitian ... 39
3.3. Populasi dan Sampel ... 40
3.3.1. Populasi ... 40
3.3.2. Sampel ... 40
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 40
3.4.1. Jenis Data ... 40
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 41
3.5.1. Variabel Bebas ... 41
3.5.2. Variabel Terikat ... 42
3.6. Metode Pengukuran ... 42
3.7. Metode Analisis Data ... 43
3.7.1. Analisis Univariat ... 43
3.7.2. Analisis Bivariat ... 43
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 45
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 45
4.1.1. Distribusi Penduduk di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa ... 45
4.1.2. Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Kesehatan Kecamatan Labuboti Kabupaten Tobasa ... 45
4.1.3. Gambaran Usaha Ulos ... 46
4.2. Karakteristik Ibu Balita ... 47
4.3. Karakteristik Balita ... 47
4.3.1. Distribusi Balita Berdasarkan Umur dengan Status Gizi (Indeks BB/U) ... 48
4.3.2. Distribusi Balita Berdasarkan Umur dengan Status Gizi (Indeks TB/U) ... 49
4.3.3. Distribusi Balita Berdasarkan Umur dengan Status Gizi (Indeks BB/TB) ... 50
4.4. Lama Kerja ... 50
4.5. Pola Asuh ... 51
4.5.1. Praktek Pemberian Makan ... 51
4.5.2. Praktek Perawatan Dasar Anak ... 52
4.5.3. Praktek Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan ... 52
4.6. Hubungan Lama Kerja Ibu Penenun Ulos dengan Status Gizi Balita ... 53
4.7. Hubungan Pola Asuh Ibu Penenun Ulos dengan Status Gizi Balita ... 53
BAB 5. PEMBAHASAN ... 58
5.1. Gambaran Status Gizi Balita Keluarga Penenun Ulos di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa ... 58
5.2. Pengaruh Faktor Lama Kerja terhadap Status Gizi di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa ... 59
5.3. Pengaruh Faktor Pola Asuh terhadap Status Gizi di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa ... 61
5.3.1. Pengaruh Praktek Pemberian Makan terhadap Status Gizi di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa ... 61
5.3.2. Pengaruh Praktek Perawatan Dasar Anak terhadap Status Gizi di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa ... 65
5.3.3. Pengaruh Praktek Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan terhadap Status Gizi di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa ... 67
5.4. Pengaruh Lama Kerja dan Pola Asuh terhadap Status Gizi di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa ... 69
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
6.1. Kesimpulan ... 70
6.2. Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 72
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1 Variabel, Cara, ALat, Skala dan Hasil Ukur ………. 42
4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Balita di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ………..
47
4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Balita di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ………...
48
4.3 Distribusi Frekuensi Balita Umur dengan Status Gizi (Indeks BB/U) di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir …....
48
4.4 Distribusi Frekuensi Balita Umur dengan Status Gizi (Indeks TB/U) di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ……
49
4.5 Distribusi Frekuensi Balita Umur dengan Status Gizi (Indeks BB/TB) di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ….
50
4.6 Distribusi Frekuensi Lama Kerja Penenun Ulos di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ………..
51
4.7 Distribusi Frekuensi Umur Balita dengan Praktek Pemberian Makan di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir …...
51
4.8 Distribusi Frekuensi Praktek Perawatan Dasar Balita di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ………...
52
4.9 Distribusi Frekuensi Praktek Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir
52
4.10 Hubungan Lama Kerja Ibu Penenun Ulos dengan Status Gizi di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir …………...
4.11 Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ………..
54
4.12 Pengaruh Faktor Praktek Pemberian Makan dan Praktek Perawatan Dasar terhadap Status Gizi Balita di Kecamatan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Kerangka Teori Faktor Masalah Gizi Menurut UNICEF 1998 ……….
37
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ………...………. 77
2. Master Data Penelitian ……….………. 81
ABSTRAK
Di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir pada tahun 2011 terdapat balita yang mengalami status gizi kurang sebesar 11,4%. Sebagian besar (10,4%) ibu rumah tangga bekerja sebagai penenun ulos dalam kesehariannya. Hal ini kemungkinan berpengaruh terhadap pola pengasuhan balita mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh lama kerja dan pola asuh penenun ulos terhadap status gizi balita. Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang bekerja sebagai penenun ulos yang memiliki balita umur 9-59 bulan di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa yang berjumlah 35 orang (total sampling). Data pola asuh diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, status gizi balita diukur secara antropometri, dianalisis dengan regresi logistik ganda pada α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan pada keluarga penenun ulos di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa ditemukan anak balita tergolong berat badan kategori kurang 20,0%, tinggi badan kategori pendek 40,0% dan status gizi kategori kurus 11,4%, terdapat pengaruh pola asuh (praktek pemberian makan) terhadap status gizi balita, sedangkan faktor lama kerja ibu dan pola asuh (perawatan dasar dan praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan) tidak berpengaruh terhadap status gizi balita.
Disarankan kepada tenaga kesehatan melaksanakan penyuluhan gizi pada ibu yang bekerja sebagai penenun ulos untuk meningkatkan status gizi balita dan diharapkan kepada penenun ulos lebih memperhatikan pola asuh dalam hal praktek pemberian makan untuk meningkatkan status gizi balita.
ABSTRACT
In 2011, there were 5.5% of the children under five years old in Laguboti Subdistrict, Toba Samosir District suffering from less nutritional status. Most of their mothers (10,4%) are housewives who work as ulos weavers every day. This condition may have influenced the pattern of nursing their children under five years old.
The purpose of this analytical survey study with cross-sectional design was to analyze the influence of length of service and nursing pattern of ulos weavers on the nutritional status of children under five years old. The population of this study was all of the 35 mothers working as ulos weavers with children of 9-59 mounths old in Laguboti Subdistrict, Toba Samosir District and all of the mothers were selected to be the samples for this study through total sampling technique. The data of nursing pattern for this study were obtained through questionnaire-based interviews, the nutritional status of the children under five years old was measured through anthropometry, and then the data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests at α = 5%.
The result of this study showed that in the families of ulos weavers in Laguboti Subdistrict, Toba Samosir District it was found out that the children under five years old who have under five under weight 20 %, 40 % classified stuntingt and 11 ,4 %, classified as wasted. The factors of mothers’ work hour’s and nursing pattern (feeding practices) had influence on the nutritional status of the children under five years old, while the nursing pattern alone (basic nursing and environmental hygiene and sanitation) did not have any influence on the nutritional status of the children under five years old.
The health workers are suggested to implement extension on nutrition for the mothers working as ulos weaver to improve the nutritional status of the children under five years old. The ulos weavers are expected to pay more attention to the nursing pattern especially in feeding practices to improve the nutritional status of the children under five years old.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan
sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang
tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris
menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan status
gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi.
Menurut Soekirman (2000) masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi
langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Disamping itu secara
tidak langsung dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, faktor sosial-ekonomi, budaya,
politik dan pola asuh balita yang kurang memadai.
Menurut Krisnatuti (2007) pada umumnya, balita yang tidak memperoleh
makanan bergizi dalam jumlah yang memadai sangat rentan terhadap penyakit,
terutama diare. Partisipasi ataupun peranan seorang ibu sangat dibutuhkan dalam
pemberian masukan gizi pada anaknya, selain itu kemiskinan merupakan masalah
dalam penyediaan makanan yang dibutuhkan.
Masalah kurang gizi pada balita bila tidak ditangani secara serius akan
mengalami masalah gizi buruk. Waktu balita masih kekurangan gizi, sebaiknya
segera diatasi dengan memberikan asupan gizi yang cukup. Tetapi kalau sudah gizi
buruk harus ditangani secara medis. Keterlibatan keluarga selama 24 jam
balita yang tepat (praktek pemberian makanan, praktek perawatan dasar anak, praktek
hygiene dan sanitasi) akan memberi pengaruh yang besar dalam memperbaiki status
gizinya, karena masa balita usia 1-5 tahun (balita) adalah masa dimana balita
sangat membutuhkan makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup dan
memadai. Kekurangan gizi pada masa ini dapat menimbulkan gangguan tumbuh
kembang. Pada masa ini juga, balita masih benar-benar tergantung pada perawatan
dan pengasuhan oleh ibunya.
Pengasuhan berasal dari kata asuh (to rear) yang mempunyai makna menjaga,
merawat dan mendidik balita yang masih kecil. Menurut Wagnel dan Funk dalam
Sunarti (2009) menyebutkan bahwa mengasuh itu meliputi menjaga, memerhatikan
serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan. Kurangnya
perhatian pada proses tumbuh kembang usia balita akan menyebabkan status gizi
balita menjadi kurang baik.
Menurut Bahar (2002) pengasuhan balita meliputi aktivitas perawatan terkait
gizi/penyiapan makanan dan menyusui, pencegahan dan pengobatan penyakit,
memandikan anak, membersihkan pakaian balita dan membersihkan rumah.
Pola asuh ibu (praktek pemberian makanan, praktek perawatan dasar anak,
praktek hygiene dan sanitasi) terhadap bayi sangat penting artinya bagi tumbuh
kembang bayi. Selain pola asuh tak kalah pentingnya yang memengaruhi status gizi
balita adalah lama kerja ibu. Lama kerja merupakan sekumpulan atau sejumlah
kegiatan yang harus diselesaikan oleh tenaga kerja dalam jangka waktu tertentu. Hal
lagi pekerjaan tambahan yang seharusnya ibu mengasuh anak, tetapi dengan adanya
pekerjaan tambahan yang harus diselesaikan membuat ibu kurang memiliki waktu
untuk mengasuh anak.
Pola asuh (praktek pemberian makanan, praktek perawatan dasar anak,
praktek hygiene dan sanitasi) sebenarnya tidak dipengaruhi ibu bekerja atau tidak
bekerja, hal ini lebih ditentukan oleh kualitas pengasuhan dari ibu. Banyak ibu
bekerja yang merasa dilema karena tidak bisa menyeimbangkan antara kehidupan
keluarga dan pekerjaan. Ada yang akhirnya memilih untuk berhenti bekerja dan
menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya untuk mengurangi tekanan dan stres.
Faktanya, menurut penelitian terbaru, ibu yang bekerja tidak menurunkan
kualitasnya sebagai orangtua dan tidak juga menambah tingkat stres. Seperti dilansir
dari Daily Mail
Berdasarkan hasil penelitian Harsiki (2002) bahwa pola pengasuhan balita
balita pada keluarga miskin pedesaan dan perkotaan di propinsi Sumatera Barat
adalah 57,1% pada kategori kurang. Pola asuh balita yang kurang akan mempunyai , penelitian ini dilakukan oleh The National Bureau of Economic
Research (NBER), yang mengumpulkan informasi dari berbagai keluarga di Amerika
Serikat untuk menilai kualitas kehidupan keluarga. Para peneliti menganalisis di
antara ibu rumah tangga dan ibu yang bekerja setelah melahirkan, ibu yang bekerja
setelah cuti melahirkan tingkat stres dan depresinya lebih tinggi dibandingkan ibu
yang tidak bekerja, tetapi levelnya akan menurun seiring dengan kesibukan
pekerjaan. Ibu yang bekerja penuh waktu, juga tidak menurunkan kualitasnya sebagai
resiko balita batita KEP 1,5 kali dibandingkan dengan balita dengan pola asuh cukup.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh adalah pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, umur dan tingkat pengetahuan ibu.
Balita yang mendapatkan kualitas pengasuhan yang lebih baik, besar
kemungkinan akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang relatif
lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan faktor penting dalam
status gizi dan kesehatan balita. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan Karyadi (1985) bahwa situasi pemberian makan berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan balita. Selanjutnya menurut Widayani (2001), ada
hubungan yang sangat kuat antara pola asuh dengan status gizi batita.
Menurut Satoto dalam Harsiki (2002), faktor yang cukup dominan yang
menyebabkan meluasnya keadaan gizi kurang ialah perilaku yang kurang benar
dikalangan masyarakat dalam memilih dan memberikan makanan kepada anggota
keluarganya, terutama pada anak-anak. Memberikan makanan dan perawatan balita
yang benar mencapai status gizi yang baik melalui pola asuh yang dilakukan ibu
kepada anaknya akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Selanjutnya Engle (1997) mengatakan bahwa praktek pengasuhan ditingkat
rumah tangga adalah memberikan perawatan kepada balita dengan pemberian
makanan dan kesehatan melalui sumber-sumber yang ada untuk kelangsungan hidup
anak, pertumbuhan dan perkembangan. Perawatan balita sampai tiga tahun
merupakan periode yang paling penting bagi anak-anak. Seorang balita perlu
karena masa tersebut merupakan masa yang kritis bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Untuk mencapai tingkat perkembangan otak yang maksimal
maka dibutuhan berbagai macam nutrisi sejak bayi tersebut dalam kandungan dan
harus berlanjut minimal sampai berusia 3 tahun.
Selain pola asuh (praktek pemberian makanan, praktek perawatan dasar anak,
praktek hygiene dan sanitasi), tidak kalah pentingnya lama kerja dari ibu juga
memengaruhi status gizi balita. Menurut Haryanto (2004), lama kerja merupakan
jumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh seseorang ataupun sekelompok orang
selama periode waktu tertentu dalam keadaan normal
Menurut Anoraga (2005), wanita sebagai pekerja mempunyai potensi dan hal
ini sudah dibuktikan dalam dunia kerja yang tidak kalah dengan pria. Sebagai
pekerja, masalah yang dihadapi wanita lebih berat dibandingkan pria. Karena dalam
diri wanita lebih dahulu harus mengatasi urusan keluarga, suami, balita dan hal-hal
lain yang menyangkut keperluan rumah tangganya. Pada kenyataannya cukup banyak
wanita yang tidak mampu mengatasi masalah itu, sekalipun mempunyai kemampuan
teknis cukup tinggi. Kalau wanita tidak pandai menyeimbangkan peran ganda
tersebut akhirnya balita akan terlantar.
. Lama kerja yang dialami
seorang ibu akan berhubungan dengan pola asuh pada anak. Dengan lama kerja ibu
yang berlebih akan mengalami waktu sedikit untuk mengasuh anaknya.
Menurut Moehji (1995), ibu yang sudah mempunyai pekerjaan penuh tidak
lagi dapat memberikan perhatian penuh terhadap balita, apalagi untuk mengurusnya.
dan lama kerja yang ditanggungnya dapat menyebabkan kurangnya perhatian ibu
dalam menyiapkan hidangan yang sesuai untuk balitanya. Karena itu didalam sebuah
penelitian menunjukkan bahwa seringkali terjadi ketidaksesuaian antara konsumsi zat
gizi terutama energi dan protein dengan kebutuhan gizi pada kelompok balita yang
berusia diatas 1 tahun.
Menurut Pudjiadi (2003), salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya KEP adalah para ibu yang menerima pekerjaan tetap sehingga harus
meninggalkan balitanya dari pagi sampai sore, anak-balita terpaksa ditinggalkan
dirumah sehingga jatuh sakit dan tidak mendapatkan perhatian, dan pemberian
makanan tidak dilakukan dengan semestinya. Alangkah baiknya bila badan yang
bergerak dibidang sosial menampung bayi dan anak-balita kecil yang ditinggal
bekerja seharian penuh di balai desa, gereja, atau tempat lain untuk dirawat dan diberi
makanan yang cukup baik.
Secara kultural di Indonesia ibu memegang peranan dalam mengatur tata
laksana rumah tangga sehari-hari termasuk hal pengaturan makanan keluarga. Ibu
menjadi aktor penting menghidupi anak-anaknya. Sehingga dapat dilihat balita yang
dibesarkan dengan pola pengasuhan yang tidak baik ditambah lagi dengan lingkungan
yang kurang baik pula maka status gizinya akan lebih buruk dibandingkan dengan
balita dengan pola asuh yang baik. Untuk mengetahui bagaimana pola asuh balita dan
kaitannya dengan keadaan gizi balita maka peneliti merasa perlu melakukan
Menurut Popkin dalam Harsiki, T (2002) ibu rumah tangga adalah penentu
utama dalam pengembangan sumber daya manusia dalam keluarga dan
pengembangan diri balita sebelum memasuki usia sekolah. Namun berdasarkan
pengatamatan dilapangan ibu rumah tangga yang bekerja sebangai penenun ulos,
kurang memperhatikan pola asuh pada anaknya, karena lama kerja sebagai penenun
ulos yang membutuhkan waktu yang banyak untuk menyelesaikan pekerjaan.
Penelitian Sanjaja (2001) meneliti faktor yang berperan dalam status balita
adalah faktor ibu yaitu lama kerja yang dialami ibu dan pola asuh anak. Ibu yang
bekerja akan berefek pada pola asuh anaknya (praktek pemberian makanan, praktek
perawatan dasar anak, praktek hygiene dan sanitasi), pekerjaan dapat menyebabkan
perubahan dalam memberikan asupan makanan. Ibu yang bekerja sebenarnya akan
meningkatkan pendapatan keluarga, namun akan menurunkan pola asuh karena
kekurangan waktu yang selalu sibuk dengan pekerjaannya.
Pada masa sekarang banyak ibu rumah tangga yang bekerja, para ibu tersebut
mempunyai tanggung jawab yang lebih besar yaitu sebagai ibu rumah tangga
termasuk kesempatan untuk mengasuh balitanya menjadi berkurang. Berdasarkan
penelitian Monk (1996), bertambahnya lama kerja ibu menyebabkan alokasi waktu
ibu untuk kegiatan pengasuhan balita dan menyiapkan makanan bagi balitanya
berkurang dan akhirnya balita ada yang diasuh oleh anggota keluarga yang lain dan
ada yang dibiarkan.
Di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir terdapat sejumlah industri
kerja khususnya wanita yaitu menenun benang menjadi ulos yang akan dipasarkan.
Di kecamatan ini terdapat 35 ibu rumah tangga atau ibu-ibu yang bekerja menenun
ulos sebagai pekerjaan utamanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga,
waktu/jam bekerja ibu bervariasi, namun secara umum rata-rata mereka mulai bekerja
jam 07.00 wib sampai jam 18.00 wib dan dilanjutkan lagi pada malam hari. Pekerjaan
menenun ulos ini menyita waktu ibu untuk menyelesaikan pekerjaannya, sehingga
ibu-ibu yang memiliki balita akan memiliki waktu yang kurang untuk mengasuh
balita mereka akibat lama kerja yang dimiliki sehingga akan memengaruhi pola asuh
pada balita (praktek pemberian makanan, praktek perawatan dasar anak, praktek
hygiene dan sanitasi). Pekerjaan suami para penenun ulos ada yang bekerja sebagai
petani, wiraswasta, PNS dan banyak juga yang bekerja sebagai penenun ulos.
Keadaan sosial ekonomi keluarga rata-rata menengah ke bawah sehingga keluarga
terutama ibu lebih fokus ke pekerjaan untuk menenun ulos sebagai sumber ekonomi
utama dari keluarga.
Hasil wawancara dari 10 orang ibu yang bekerja sebagai penenun ulos bahwa
pekerjaan sebagai penenun ulos membutuhkan waktu yang sangat banyak dengan
rata-rata 10-12 jam/hari, sehingga membuat ibu kurang waktu untuk mengasuh
anaknya. Ibu bekerja di rumah masing-masing, karena tempat bekerja sebagai
penenun ulos berada di rumah, namun ibu lebih banyak menuangkan waktu terhadap
tenunan dan balita mereka rata-rata diasuh oleh anggota keluarga yang berada di
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti di Kecamatan
Laguboti Kabupaten Toba Samosir dengan menggunakan data dari Dinas Kesehatan
diperoleh bahwa pada tahun 2009 persentase balita dengan gizi kurang sebanyak 5%,
pada tahun 2010 dilaporkan sebesar 4,3% balita dengan gizi kurang dan pada tahun
2011 dilaporkan sebesar 5,5% balita dengan gizi kurang (Dinkes Tobasa, 2011).
Melihat data tersebut bahwa balita di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba
Samosir mengalami penurunan status gizi dari tahun ke tahun. Hal ini kemungkinan
dipengaruhi oleh pola asuh balita yang kurang baik yang diperoleh balita (praktek
pemberian makanan, praktek perawatan dasar anak, praktek hygiene dan sanitasi)
dan lama kerja ibu sebagai penenun ulos yang membutuhkan waktu bekerja yang
cukup banyak sehingga kurang dalam pengasuhan anak.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh lama kerja
dan pola asuh (praktek pemberian makanan, praktek perawatan dasar anak, praktek
hygiene dan sanitasi) penenun ulos terhadap status gizi balita di Kecamatan Laguboti
Kabupaten Toba Samosir.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah apakah ada pengaruh lama kerja dan pola asuh penenun ulos (praktek pemberian
makanan, praktek perawatan dasar anak, praktek hygiene dan sanitasi) terhadap status
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh lama kerja dan pola
asuh penenun ulos (praktek pemberian makanan, asuhan perawatan dasar anak,
asuhan hygiene dan sanitasi) terhadap status gizi balita di Kecamatan Laguboti
Kabupaten Toba Samosir.
1.4. Hipotesis
Lama kerja dan pola asuh penenun ulos (praktek pemberian makanan, asuhan
perawatan dasar anak, asuhan hygiene dan sanitasi) memengaruhi status gizi balita di
Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir khususnya Puskesmas di
Kecataman Laguboti sebagai informasi untuk meningkatkan status gizi balita
guna mewujudkan sember daya manusia yang sehat.
2. Bagi masyarakat khususnya ibu penenun ulos yang mempunyai balita suatu
informasi mengenai pola asuh yang meliputi asuhan pemberian makan, asuhan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Status Gizi Balita
Status gizi bisa diartikan suatu keadaan tubuh manusia akibat dari konsumsi
suatu makanan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan tersebut yang dibedakan
antara status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik dan gizi lebih (Almatsier, 2002).
Kehandalan balita dari dimensi pertumbuhan dapat ditunjukkan diantaranya
adalah status gizi dan kesehatannya. Status gizi merupakan tanda-tanda atau
penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat
gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004).
Menurut penelitian Hafrida (2004), terdapat kecendrungan pola asuh dengan
status gizi. Semakin baik pola asuh balita maka proporsi gizi baik pada balita juga
akan semakin besar. Dengan kata lain, jika pola asuh balita di dalam keluarga
semakin baik tentunya tingkat konsumsi pangan balita juga akan semakin baik dan
akhirnya akan mempengaruhi keadaan gizi anak. Dari hasil penelitiannya dapat
diketahui bahwa 40 responden terdapat 30 orang (75%) dengan pola asuh baik
mempunyai status gizi yang baik pula. Dan 10 orang (25%) dengan pola asuh buruk
mempunyai status gizi yang kurang.
2.1.1. Penilaian Status Gizi
Untuk mengetahui status gizi balita dapat dilakukan dengan penilaian status
langsung adalah dengan pemeriksaan secara antropometri, biokimia, klinis dan
biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung adalah dengan pemeriksaan
survey makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Waryana, 2010).
Pemeriksaan antropometri dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan,
berat badan, lingkar lengan atas, tebal lemak tubuh. Pengukuran antropometri
bertujuan mengetahui status gizi berdasarkan satu ukuran menurut ukuran lainnya,
misalnya berat badan dan tinggi badan menurut umur (BB dan TB/U) berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB), Lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U), lingkar
lengan atas menurut tinggi badan (LLA/TB) (Sibagariang, 2010).
Dari beberapa cara pengukuran status gizi, pengukuran antropometri
merupakan cara yang paling sering digunakan karena memiliki beberapa kelebihan
yaitu alat mudah diperoleh, pengukuran mudah dilakukan, biaya murah, hasil
pengukuran mudah disimpulkan, dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
dapat mendeteksi riwayat gizi masa lalu. Penilaian berdasarkan pengukuran indeks
massa tubuh (IMT) adalah untuk mengetahui status gizi orang dewasa berusia 18
tahun atau lebih yaitu dengan pengukuran berat dan tinggi badan (Arisman, 2007).
Penilaian status gizi menurut WHO (2005) adalah :
1. Antropometri
a. BB/U (Berat Badan menurut Umur)
Indeks antropometri dengan BB/U mempunyai kelebihan diantaranya lebih
mudah dan lebih cepat dimengerti masyarakat umum, baik untuk mengukur
terhadap perubahan kecil dan dapat mendeteksi kegemukan. Untuk
pengkategorian status gizi berdasarkan BB/U dapat dilihat di bawah ini.
1. Gizi Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z < +1
2. Gizi Kurang : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0
3. Gizi Sangat Kurang : jika nilai Z-Skor < -3,0
b. TB/U (Tinggi Badan menurut Umur)
Tinggi badan merupakan antropometri yang mengambarkan keadaan
pertumbuhan skletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Keuntungan indeks TB/U diantaranya adalah baik
untuk menilai status gizi masa lampau, pengukur panjang badan dapat dibuat
sendiri, murah dan mudah dibawa. Untuk pengkategorian status gizi
berdasarkan TB/U dapat dilihat di bawah ini.
1. Tinggi : jika skor simpangan baku > 3,0 SD
2. Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z ≤ 3,0
3. Pendek : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0
4. Sangat pendek : jika nilai Z-Skor < -3,0 SD
c. Tinggi BB/TB (Berat Badan menurut Tinggi Badan)
Dalam keadaan normal berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi
badan dengan kecepatan tertentu, keuntungan dari indeks BB/TB adalah tidak
memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk,
normal dan kurus). Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan BB/TB
1. Sangat Gemuk : jika skor simpangan baku > 3,0 SD
2. Gemuk : jika skor simpangan baku 2,0 < Z ≤ 3,0
3. Risiko Gemuk : jika skor simpangan baku 1,0 ≤ Z < 2,0
4. Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z < 1,0
5. Kurus : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0
6. Sangat Kurus : jika nilai Z-Skor < -3,0 SD
2. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang didasarkan atas perubahan yang terjadi
yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi dapat dilihat pada jaringan
epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral
atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid
(Depkes RI, 2005)
3. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji
secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.
Jaringan tubuh yang digunakan anatara lain: darah, urin, tinja, dan juga beberapa
jaringan tubuh seperti hati dan otot. Digunakan untuk suatu peringatan bahwa
kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi (Depkes RI,
4. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur
dari jaringan (Depkes RI, 2005).
2.2. Pola Asuh
Orang tua mempunyai peran dan fungsi yang bermacam-macam, salah
satunya adalah mendidik anak. Menurut (Edwards, 2006), menyatakan bahwa “Pola
asuh merupakan interaksi balita dan orang tua mendidik, membimbing, dan
mendisplinkan serta melindungi balita untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan
norma-norma yang ada dalam masyarakat”. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan
seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak.
Banyak ahli mengatakan pengasuhan balita adalah bagian penting dan
mendasar, menyiapkan balita untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa
pengasuhan balita menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan
terhadap balita berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi
tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong
keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku
umum yang diterima oleh masyarakat.
Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua
dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik balita nya disebut sebagai pola
cara-cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anak. Disinilah letaknya terjadi beberapa
perbedaan dalam pola asuh.
Peranan pengasuhan ini pertama kali diindentifikasi dalam Joint Nutrition
Support Program in Iringa, Tanzania dan kemudian digunakan pada berbagai studi
positive deviance di berbagai negara. Peranan determinan pola asuhan terhadap
pertumbuhan bayi cukup besar, dimana pola asuhan yang baik dapat meningkatkan
tingkat kecukupan gizi dan kesehatan bayi. Determinan pola asuhan dan kesehatan
langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi (Engel, 1992).
Pola pengasuhan balita adalah pengasuhan balita dalam pra dan pasca
kelahiran, pemberian ASI, pemberian makanan, dan pengasuhan bermain (Hamzat A,
2000).
Menurut Jus’at (2000) pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk
menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap balita agar dapat tumbuh dan
berkembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pola pengasuhan
balita berupa sikap dan praktik pengasuhan ibu lainnya dalam kedekatannya dengan
anak, merawat, cara memberi makan serta kasih sayang. Berdasarkan pengertian
tersebut “pengasuhan” pada dasarnya adalah suatu praktek yang dijalankan oleh
orang lebih dewasa terhadap balita yang dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan
pangan/gizi, perawatan dasar (termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit), rumah atau
tempat yang layak, hygiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran
Disatu sisi orang tua harus bisa menentukan pola asuh yang tepat dalam
mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak, disisi lain sebagai orang tua juga
mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk balita menjadi seseorang yang
dicita-citakan yang tentunya lebih baik dari orang tuanya (Rachmadiana, 2004).
Menurut penelitian Belly (2008), bahwa faktor-faktor penyebab gizi buruk
dan gizi kurang bermacam-macam, diantaranya : 1) Kurang mendapat asupan gizi
yang seimbang dalam waktu yang cukup lama, 2) Menderita penyakit infeksi
sehingga asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan tubuh secara optimal karena
adanya gangguan penyerapan, 3) Tidak cukupnya persediaan pangan di rumah
tangga, 4) Pola asuh yang kurang memadai, 5) Akses pelayanan kesehatan terbatas, 6)
Minimnya pengetahuan ibu tentang gizi keluarga, 7) Sanitasi/kesehatan lingkungan
yang kurang baik.
Menurut Penelitian Pribawaningsih (2008), bahwa pola pengasuhan
mempunyai kontribusi sebesar 30% terhadap penentuan status gizi balita, Adanya
pengaruh ini bisa terjadi karena pola perilaku yang cenderung diikuti para anggota
masyarakat dan berbagai kepercayaan, nilai dan aturan yang diciptakan lingkungan
tersebut.
Menurut penelitian Nugroho (2010), bahwa pola asuh dan perilaku pengasuh
berhubungan dengan status gizi balita. Balita dengan pola asuh nuclear family
memiliki resiko mengalami gizi kurang atau buruk 3 kali lebih besar daripada
extended family (OR = 3,0, p = 0,042) dan terdapat hubungan yang signifikan antara
berperilaku buruk memiliki resiko mengalami gizi kurang atau buruk 19 kali lebih
besar daripada pengasuh berperilaku baik (OR = 19,3, p = <0,001).
Penelitian yang dilakukan oleh Hafrida (2004) di Kelurahan Belawan Bahari
Kecamatan Medan Belawan, menunjukkan bahwa ada kecenderungan dengan
semakin baiknya pola asuh anak, maka proporsi gizi baik pada balita semakin besar.
Setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh
tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh balita meliputi :
a. Perilaku yang patut dicontoh
Artinya setiap perilaku tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik, tetapi harus
didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniru dan
identifikasi bagi anak-anaknya.
b. Kesadaran diri
Ini juga harus ditularkan pada anak-balita dengan mendorong mereka agar
perilaku kesehariannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu orang tua
senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui
komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku.
c. Komunikasi
Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama
yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan
2.2.1. Praktek Pemberian Makan
Untuk kebutuhan pangan/gizi, ibu menyiapkan diri sejak prenatal dalam
mengatur dietnya selama kehamilan, masa neo-natal berupa pemberian ASI,
menyiapkan makanan tambahan berupa makanan padat yang lebih bervariasi
bahannya atau makanan yang diperkaya, dan dukungan emosional untuk anak. Status
sakit, pola aktivitas, asupan gizi rendah, frekuensi konsepsi terkait pertumbuhan
balita melalui status gizi ibu (Pengasuhan makanan balita terdiri atas hal yang
berhubungan dengan menyusui, dan pemberian makanan selain ASI buat anak).
Ada 2 tujuan pengaturan makanan untuk bayi dan balita balita :
1. Memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup, yaitu untuk pemeliharaan
dan atau pemulihan serta peningkatan kesehatan, pertumbuhan, perkembangan
fisik dan psikomotor, serta melakukan aktivitas fisik.
2. Untuk mendidik kebiasaan makan yang baik.
Makanan untuk bayi dan balita yang baik harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi yang sesuai dengan umur.
2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan yang
tersedia setempat, kebiasaan makanan, dan selera terhadap makan.
3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan
keadaan faal bayi/anak.
Pertumbuhan balita usia 1-3 tahun sangat rentan terhadap penyakit gizi dan
penyakit infeksi. Syarat makanan yang harus diberikan adalah makanan yang mudah
dicerna dan tidak merangsang (tidak pedas) dengan jadwal pemberian makan yang
sama yaitu 3 kali makanan utama (pagi, siang, malam) dan 2 kali makanan selingan
(diantaranya 2 kali makanan utama). Pola hidangan yang dianjurkan adalah makanan
seimbang yang terdiri atas sumber zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur.
Bedasarkan hasil penelitian Sarasani (2005) menyatakan bahwa balita yang
mempunyai praktek pemberian makan yang baik lebih banyak ditemukan balita
dengan status gizi baik.
Berdasarkan penelitian Perangin-angin (2006), bahwa terdapat hubungan
antara praktek pemberian makan dengan status gizi anak. Dimana dari 36 orang yang
mempunyai status gizi baik terdapat 26 orang (83,87%) dengan praktek pemberian
makan yang baik dan 10 orang (58,82%) dengan praktek pemberian makan yang
tidak baik. Sedangkan dari 8 orang responden yang mempunyai status gizi kurang
terdapat 2 orang (6,45%) dengan praktek pemberian makan yang baik dan 6 orang
(35,29%) dengan praktek pemberian makan yang tidak baik.
Pada balita usia 1-3 tahun balita bersifat konsumen pasif. Makanannya
tergantung pada apa yang disediakan ibu. Gigi geligi susu telah tumbuh, tetapi belum
dapat digunakan untuk mengunyah makanan yang terlalu keras. Namun balita
hendaknya sudah diarahkan untuk mengikuti pola makanan orang dewasa (As’ad,
Pada saat mempersiapkan makanan, kebersihan makanan perlu mendapat
perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat
menyebabkan diare atau cacingan pada anak. Begitu juga dengan si pembuat
makanan dan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan
sebagainya sangat menetukan bersih tidaknya makanan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
a. Simpan makanan dalam keadaan bersih, hindari pencemaran dari debu dan
binatang.
b. Alat makan dan memasak harus bersih.
c. Ibu atau anggota keluarga yang memberikan makanan harus mencuci tangan
dengan sabun sebelum memberikan makan.
d. Makanan selingan sebaiknya dibuat sendiri
2.2.2. Pengasuhan Perawatan Dasar Anak
Pengasuhan perawatan dasar balita adalah pemenuhan kebutuhan bayi yang
dilakukan ibu untuk mengatasi kejadian diare, ISPA, dan memberi imunisasi pada
balita yang dinyatakan cukup bila ibu mampu memberikan minum air banyak pada
kasus diare, membuat oralit dan meminumkannya (sekurang-kurangnya kombinasi 2
dari 3) serta mampu memberi pelega tenggorokan dan mengatasi demam pada balita
yang menderita ISPA juga memberi imunisasi pada balita (Bahar, 2002).
Pengasuhan perawatan dasar balita meliputi perawatan terhadap balita sakit
dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga balita tidak sampai terkena
memperhatikan keadaaan gizi anak, kelengkapan imunisasinya, kebersihan diri balita
dan lingkungan dimana balita berada, serta upaya ibu dalam hal mencarikan
pengobatan terhadap balita apabila balita sakit (Bahar, 2002).
Penanggulangan diare yang dapat dilakukan oleh ibu adalah dengan tetap
memberi ASI pada balita sakit, dan memberi balita larutan garam gula atau oralit.
Untuk bayi usia 4-6 bulan atau lebih dapat diberi makan sedikit-sedikit tapi sering.
Makanan yang diberikan adalah makanan yang tidak merangsang dan yang disukai
anak. Pada balita yang menderita diare, balita tidak dipuasakan (Bahar, 2002).
Praktek cuci tangan tiap melakukan pekerjaan terkait makanan atau menyusui,
minum air yang telah dimasak, memanasi makanan sebelum diberikan pada anak,
dapat mencegah diare, termasuk usaha mencegah makanan dari gangguan lalat dan
kontaminasi lain, serta penggunaan jamban keluarga.
Perawatan ISPA ringan dapat dilakukan dengan kompres, obat demam,
balsam/inhaler pelega tenggorokan atau inhalasi uap. Balita dibersihkan dengan
memakai kain atau tisu yang dibentuk jadi batangan, diulirkan ke lobang hidung.
Balita diberi minuman dan makanan yang cukup. Pencegahan ISPA dapat dilakukan
dengan menempatkan balita dalam ruang yang sirkulasi udara dan pencahayaan baik,
dan balita dilindungi dari kondisi ekstrim. Penyakit ini menyebar dengan droplet,
sedapat mungkin hindarkan balita sehat dari penderita ISPA. Perawatan dasar balita
juga terkait aktivitas mencegah balita jangan sakit. Pencegahan dimaksudkan
memberi balita imunisasi. Untuk itu dibutuhkan kemauan dan kemampuan ibu
bulan atau lebih tetapi kurang dari 14 bulan dan belum imunisasi, dapat diberi
imunisasi dengan urutan dan interval pemberian serupa dengan balita yang diberi
imunisasi dengan jadwal tepat (Bahar, 2002).
Sulistijani (2001) mengatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan
dan dibiasakan, tetapi tidak dilakukan sekaligus, harus perlahan-lahan dan terus
menerus. Lingkungan yang sehat terkait dengan keadaan bersih, rapi dan teratur. Oleh
karena itu, balita perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut :
1. Mandi 2 kali sehari
2. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan
3. Makan teratur, 3 kali sehari
4. Menyikat gigi sebelum tidur
5. Membuang sampah pada tempatnya
6. Buang air kecil pada tempatnya
2.2.3. Praktek Kebersihan/Hygiene dan Sanitasi Lingkungan
Pengasuhan balita dari aspek higine perorangan, kesehatan lingkungan dan
keamanan balita berkenaan dengan kemampuan ibu menjaga balita agar tetap segar
dan bersih, balita mendapat lingkungan yang sehat, serta terhindar dari cedera atau
kecelakaan. Untuk itu dibutuhkan kemampuan orangtua untuk memandikan anak.
Menjaga kebersihan pakaian bayi dan membersihkan bagian tubuh anak, ganti popok
ketika akan tidur malam hari. Dibutuhkan pula kemampuan ibu untuk menjaga
kebersihan pada tempat tidur anak, kamar balita dan lingkungan tempat balita diasuh.
Praktek pengasuhan hygiene perorangan balita terkait perhatian khusus pada
kebersihan daerah lipatan kulit, daerah anogenital (terutama tiap selesai berkemih
atau BAB), kebersihan kuku dan gigi (bagi balita yang telah tumbuh gigi). Perhatian
juga ditujukan pada kebersihan tali pusat, apakah sudah bersih atau malah infeksi.
Hygiene perorangan balita juga meliputi perawatan terhadap rambut dan kulit kepala
anak. Penjagaan kebersihan mulut balita termasuk perhatian terhadap adanya
Moniliasis dalam mulut ditandaibercak putih pada mukosa mulut dan atau lidah.
Lingkungan terdekat yang harus sehat bagi balita adalah tempat tidur balita
dan tempat bermain anak. Pada tempat tidur, ada bantal dan kasur serta sarung bantal
yang perlu dibersihkan secara rutin. Gunakan kelambu bagi bayi siang maupun
malam bila balita tidur, untuk mencegah balita digigit nyamuk (Bahar, 2002).
Kondisi lingkungan balita harus benar-benar diperhatikan agar tidak merusak
kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan
adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang (bermain anak), pergantian udara, sinar
matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampah/air kotor (limbah), kamar
mandi dan kakus (jamban/WC) dan halaman rumah. Kebersihan, baik kebersihan
perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh
kembang anak. Keadaan perumahan yang layak dengan konstruksi bangunan yang
tidak membahayakan penghuninya akan menjamin keselamatan dan kesehatan
penghuninya, yaitu ventilasi dan pencahayaan yang cukup, tidak penuh sesak, cukup
2.2.4. Faktor- faktor yang Memengaruhi Pola Asuh
Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh balita adalah: (Edwards, 2006)
adalah :
a. Pendidikan orang tua
Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan balita akan
mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran
pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati
segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya
menyediakan waktu untuk anak-balita dan menilai perkembangan fungsi keluarga
dan kepercayaan anak.
Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson menunjukkan bahwa pendidikan
diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan
perubahan-perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku,
pikiran dan sikap. Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya
dalam mengasuh balita akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orang
tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan
yang normal (Supartini, 2004).
b. Lingkungan
Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika
lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang
c. Budaya
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam
mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh
anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik balita kearah
kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima di
masyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat
dalam mengasuh balita juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan
pola asuh terhadap anaknya (Anwar, 2000).
2.2.5. Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak
Perawatan atau pola pengasuhan ibu terhadap balita yang baik merupakan hal
yang sangat penting, karena akan mempengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola
pengasuhan ibu terhadap anaknya berkaitan erat dengan keadaan ibu terutama
kesehatan, pendidikan, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan balita
(WHO Suharsi, 2001).
Menurut Rahayu (2001) balita yang diasuh dengan baik oleh ibunya akan
lebih berinteraksi secara positif dibandingkan bila diasuh oleh selain ibunya.
Pengasuhan balita oleh ibunya sendiri akan terjadi hubungan balita merasa aman,
balita akan memperoleh pasangan dalam berkomunikasi dan ibu sebagai peran model
bagi balita yang berkaitan dengan keterampilan verbal secara langsung.
Pola pengasuhan balita akan berkaitan dengan keadaan gizi balita dan usaha
ibu merangsang balita untuk makan turut menentukan volume makan pada balita
Hasil penelitian Khomsan, dkk (1999) menunjukkan bahwa ibu memegang
peranan utama dalam pengasuhan anak. Penyuluhan stimulasi psikososial kepada ibu
dengan menggunakan paket “Ibu maju Balita Bermutu” berdampak meningkatkan
stimulasi psikososial balita dalam keluarga. Artinya, ibu menjadi lebih proaktif di
dalam mengasuh balita dengan memberikan stimulasi psikososial. Dalam jangka
panjang hal ini akan berdampak positif bagi tumbuh kembang anak.
Studi Suharsi (2001) di Kabupaten Demak menyimpulkan bahwa tidak ada
hubungan secara statistik pola asuh ibu dengan balita balita kurang energi dan
protein, namun pola asuh ibu yang tidak baik terhadap balita balita mempunyai risiko
lebih besar terhadap kejadian kurang energi protein dibandingkan pola asuh yang
baik.
Studi penyimpangan positif (positive deviance) masalah KEP di Jakarta Utara
dan Bogor oleh Jus’at, dkk (2000) menyimpulkan bahwa pengasuhan balita berkaitan
dengan keadaan gizi anak. Pemberian Kolostrum pada bayi di hari-hari pertama
kehidupannya berdampak positif pada keadaan gizi balita diumur-umur selanjutnya
terutama di Bogor. Interaksi ibu dengan balita yang diamati mendalam, melalui
participant obversation, berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak-balita
yang selalu diupayakan untuk mengkonsumsi makanan, mendapat respon ketika
berceloteh, dan selalu mendapat senyuman dari ibu, keadaan gizinya lebih baik
dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang memperoleh perhatian orang
Bahar (2002) dalam penelitian tentang pengaruh pola pengasuhan terhadap
pertumbuhan balita di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa
kualitas pengasuhan makanan balita yang dimiliki ibu, berpengaruh terhadap
pertumbuhan anak. Kualitas pengasuhan perawatan dasar balita yang dimiliki ibu,
berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Kualitas pengasuhan hygiene perorangan
balita kesehatan lingkungan dan keamanan anak, berpengaruh terhadap pertumbuhan
anak.
2.3. Lama Kerja
Lama kerja merupakan beban aktivitas fisik, mental, sosial yang diterima oleh
seseorang yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu, sesuai dengan kemampuan
fisik, maupun keterbatasan pekerja yang menerima beban tersebut. Herrianto (2010)
menyatakan bahwa lama kerja adalah sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh
seseorang ataupun sekelompok orang, selama periode waktu tertentu dalam keadaan
normal. Menurut Nurmianto (2003) lama kerja adalah sekumpulan atau sejumlah
kegiatan yang harus diselesaikan oleh tenaga kerja dalam jangka waktu tertentu.
Semua pekerjaan harus selalu diusahakan dengan sikap kerja yang ergonomis. Lama
kerja dapat dibedakan atas lama kerja berlebih dan lama kerja terlalu sedikit atau
kurang (Munandar, 2008).
Lama kerja berlebih, timbul sebagai akibat dari kegiatan yang terlalu banyak
diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu. Munandar
melakukan terlalu banyak kegiatan baik fisik maupun mental, dan ini dapat
merupakan sumber stres pekerjaan.
Lama kerja berlebih, akan membutuhkan waktu untuk bekerja dengan jumlah
jam yang sangat banyak untuk menyelesaikan semua tugas yang telah ditetapkan, dan
ini yang merupakan sumber tambahan lama kerja. Setiap pekerjaan diharapkan dapat
diselesaikan secara cepat, dalam waktu sesingkat mungkin. Waktu merupakan salah
satu ukuran, namun bila desakan waktu dapat menyebabkan timbulnya banyak
kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan pekerja menurun, maka itulah yang
merupakan cerminan adanya lama kerja berlebih.
Lama kerja yang berlebihan mempunyai pengaruh yang tidak baik pada
kesehatan pekerja. Menurut Munandar (2008) yang mengutip pendapat Friedmen dan
Rosenman (1974) menunjukkan bahwa desakan waktu tampaknya memberikan
pengaruh tidak baik, pada sistem cardiovascular.
Lama kerja terlalu sedikit atau kurang, merupakan sebagai akibat dari terlalu
sedikit pekerjaan yang akan diselesaikan, dibandingkan waktu yang tersedia menurut
standar waktu kerja, dan ini juga akan menjadi pembangkit stress. Pekerjaan yang
terlalu sedikit dibebankan setiap hari, dapat mempengaruhi beban mental atau
psikologis dari tenaga kerja. Berdasarkan pendapat Munandar (2008) dapat
disimpulkan bahwa lama kerja terlalu sedikit, karena tenaga kerja tidak diberi
peluang untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya atau untuk
mengembangkan kecakapan potensinya secara penuh. Keadaan ini menimbulkan
ketidakpuasan bekerja, kecenderungan meninggalkan pekerjaan, depresi, peningkatan
kecemasan, mudah tersinggung dan keluhan psikosomatik.
Waktu kerja merupakan waktu yang ditetapkan untuk melaksanakan
pekerjaan, yang dapat dilakukan pada siang, sore dan malam hari. Waktu kerja adalah
penggunaan tenaga dan penggunaan organ tubuh secara terorganisasi dalam waktu
tertentu. Semakin lama waktu kerja yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja maka
akan menambah berat lama kerja yang diterimanya dan sebaliknya jika waktu yang
digunakan oleh tenaga kerja itu dibawah waktu kerja sebenarnya maka akan
mengurangi lama kerja. Suma’mur (2009) menyatakan bahwa aspek terpenting dalam
hal waktu kerja meliputi, lamanya seseorang mampu bekerja dengan baik, hubungan
antara waktu kerja dan istirahat, dan waktu bekerja menurut periode waktu (pagi,
sore, dan malam hari)
Lamanya seseorang bekerja secara normal dalam sehari pada umumnya 8 jam,
sisanya 16 jam lagi dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga dan masyarakat,
istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan,
biasanya tidak disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal,
bahkan biasanya terlihat penurunan kualitas. Bekerja dalam waktu yang
berkepanjangan, timbul kecenderungan terjadi kelelahan, gangguan kesehatan,
penyakit dan kecelakaan kerja serta ketidakpuasan. Dalam seminggu, seseorang
umumnya dapat bekerja dengan baik selama 40 jam.
Menurut UU No 13 Tahun 2003 pasal 77 ayat 1, setiap pengusaha wajib
seminggu untuk 6 hari kerja, atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari
kerja. Ketentuan ini tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja tersebut, wajib
membayar upah kerja lembur. Selanjutnya pasal 79 ayat 1, pengusaha wajib memberi
waktu istirahat dan cuti kepada pekerja. Waktu istirahat dan cuti meliputi, istirahat
antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam, setelah bekerja selama 4 (empat)
jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja, istirahat
mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu, dan cuti tahunan
sekurang-kurangnya 12 hari kerja, setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama
12 bulan secara terus menerus.
2.3.1. Lama Kerja Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Berdasarkan jenis pekerjaan, lama kerja dapat dibedakan atas lama kerja
ringan, sedang dan berat. Menurut WHO dalam Santoso (2004) penggolongan
pekerjaan/lama kerja meliputi kerja ringan yaitu jenis pekerjaan di kantor, dokter,
perawat, guru dan pekerjaan rumah tangga (dengan menggunakan mesin). Kerja
sedang adalah jenis pekerjaan pada industri ringan, mahasiswa, buruh bangunan,
petani, kerja di toko dan pekerjaan rumah tangga (tanpa menggunakan mesin). Kerja
berat adalah jenis pekerjaan petani tanpa mesin, kuli angkat dan angkut, pekerja
tambang, tukang kayu tanpa mesin, tukang besi, penari dan atlit.
2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Lama kerja
Menurut Tarwaka (2004) secara umum lama kerja dipengaruhi oleh berbagai
external adalah faktor yang mempengaruhi lama kerja yang berasal dari luar tubuh
pekerja antara lain tugas-tugas yang dilakukan bersifat fisik seperti tempat kerja,
sarana kerja dan sikap kerja. Selain itu organisasi kerja juga dapat memengaruhi lama
kerja seperti, lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam dan
sistem pengupahan. Lingkungan kerja dapat memberikan beban tambahan pada
pekerja seperti suhu udara, intensitas penerangan, kebisingan, pencemaran udara,
bakteri, virus, parasit, jamur dan serangga.
2.3.3. Kapasitas Kerja
Kapasitas Kerja merupakan berat ringannya lama kerja yang dapat diterima
oleh tenaga kerja, dan dapat digunakan untuk menentukan berapa lama seseorang
tenaga kerja dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya. Semakin berat
lama kerja, akan semakin pendek waktu kerja seseorang untuk bekerja tanpa
kelelahan dan gangguan fisiologis yang berarti atau sebaliknya.
Herrianto (2010) menyatakan bahwa untuk pekerjaan manual di sektor
industri yang menggunakan waktu selama 8 jam per hari, seseorang dapat bekerja
paling banyak 33 %, dari kapasitas maksimal tanpa merasa kelelahan. Sedangkan
untuk pekerjaan manual selama 10 jam per hari, seseorang dapat bekerja hanya 28 %,
dari kapasitas maksimal tanpa merasa kelelahan. Kapasitas kerja individu tergantung
pada derajat kebugaran tubuh, kapasitas kerja otot dan kapasitas kerja jantung.
2.3.4. Analisis Lama kerja
Analisis lama kerja adalah proses untuk menetapkan jumlah jam kerja yang
tertentu, atau dengan kata lain analisis lama kerja bertujuan untuk menentukan berapa
jumlah personalia dan berapa jumlah tanggung jawab atau lama kerja yang tepat
dilimpahkan kepada seorang pekerja. Menurut Suyudi (2004), analisa lama kerja
adalah upaya menghitung lama kerja pada satuan kerja dengan cara menjumlah
semua lama kerja dan selanjutnya membagi dengan kapasitas kerja perorangan
persatuan kerja.
2.4. Faktor yang Memengaruhi Status Gizi
Pada saat ini masalah gizi utama di Indonesia masih adalah kurang Energi
Protein (KEP), Anemia Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) dan
Kurang Vitamin A (KVA) dan juga Gizi Lebih. Analisis masalah gizi kurang yang
dilakukan oleh Atmarita dan Falah (2004) pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang
pada balita sebesar 37,5 % menurun menjadi 27,5 % pada tahun 2003, ini berarti
terjadi penurunan gizi kurang sebesar 10 %. Sementara itu terjadi penurunan gizi
buruk sampai tahun 2003 yaitu 8,3 %. Pada tahun 2005 ini dilaporkan terjadi
peningkatan kasus gizi buruk atau yang lebih dikenal dengan b