• Tidak ada hasil yang ditemukan

Realitas Sosial Sirang So Sirang (Pisah Tidak Pisah)(Studi Kasus Pada Suami Dan Istri Di Etnis Batak Toba Kristen Yang Mengalami Sirang So Sirang Di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Realitas Sosial Sirang So Sirang (Pisah Tidak Pisah)(Studi Kasus Pada Suami Dan Istri Di Etnis Batak Toba Kristen Yang Mengalami Sirang So Sirang Di Kota Medan)"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

REALITAS SOSIAL SIRANG SO SIRANG (PISAH TIDAK PISAH) (Studi Kasus Pada Suami dan Istri di Etnis Batak Toba Kristen Yang

Mengalami Sirang So Sirang Di Kota Medan)

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

SKRIPSI Diajukan Oleh: DELPA E PASARIBU

060901026

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

NAMA : DELPA E PASARIBU

NIM : 060901026

DEPARTEMEN : SOSIOLOGI

JUDUL : REALITAS SOSIAL SIRANG SO

SIRANG (PISAH TIDAK PISAH)

(Studi Kasus Pada Suami dan Istri di Etnis Batak Toba Kristen yang Mengalami Sitang So Sirang Di Kota Medan)

DOSEN PEMBIMBING KETUA DEPARTEMEN

Dra.H.MARHAENI MUNTHE,M.Si Dra. LINA SUDARWATI,M.Si NIP.196305261990032001 NIP. 19660318989032001

DEKAN

(3)

ABSTRAKSI

Perkawinan yang ideal menjadi harapan setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan tidak selamanya seperti yang diharapkan. Kegagalan da;am perkawinan akibat konflik rumah tangga sering diakhiri dengan perceraian. Tetapi kegagalan dalam rumah tangga tidak semua keluarga mengakhirinya dengan perceraian, tetapi keluarga tersebut mengambil keputusan sirang so sirang. Yang dimana keluarga tersebut tidak ada perkataan cerai, atau tidak ada keputusan dari kedua belah pihak yang mengatakan cerai. Tetapi sirang so sirang itu seperti pisah ranjang atau pisah dari keluarga tersebut dengan tidak berfungsinya layaknya sebuah keluarga seperti suami harus melindungi istrinya dan istri harus melayani suaminya. Dalam sirang so sirang ini fungsi keluarga itu tidak berfungsi atau tidak terjadi lagi.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil beberapa informan yaitu 2 orang laki-laki dan 6 orang perempuan yang sekarang ini telah mengalami sirang so sirang dalam keluarganya yang berada di wilayah kota Medan. Dan 6 informan biasa yang terdiri dari penatua gereja, tokoh adat dan masyarakat biasa. Penelitian ini dilakukan hanya kepada suku Batak Toba dan beragama Kristen. Alasan menggunakan penelitian dengan metode kualitatif ini untuk memberikan keleluasaan dan kesempatan bagi peneliti untuk bisa menggali informasi secara lebih mendalam, karena kasus yang diangkat cukup sensitif.

Hasil dalam penelitian ini adalah bahwa terjadinya sirang so sirang yang terjadi dikalangan Batak Toba Kristen itu adalah merupakan pilihan rasional yang dianggap merupakan solusi yang tepat dalam mengakhiri setiap permasalahan yang terus menerus yang tidak mempunyai harapan lagi untuk bisa dipertahankan. Berbagai faktor yang membuat sebuah keluarga Batak Toba Kristen memutuskan sirang so sirang dalam keluarganya diantaranya : adanya pihak ketiga dalam sebuah keluarga, adanya tindakan kekerasan yang dialami seorang istri, tidak memiliki keturunan anak (anak laki-laki), faktor ekonomi, konflik atau pertengkaran yang terus menerus.

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut hukum, baik agama, negara maupun adat dengan sederetan hak dan kewajiban untuk dijalankan oleh keduanya, sehingga pria itu bertindak sebagai suami sedangakan wanita bertindak sebagai istri. Perkawinan adalah gabungan antara dua manusia yang awalnya mungkin mempunyai tujuan dan mimpi yang sama, atau yang merasa dapat menjalankan walau dengan perbedaan yang ada dan pemahaman yang tidak sama dan untuk keberhasilan perkawinan itu diperlukan keinginan, tekat dan usaha dari keduanya. Bukanlah suatu aib jika keutuhan itu memang tidak dapat lagi dipertahanka 2010, pkl.10.00).

(5)

perkawinan adalah salah satu cara untuk mengumumkan status baru tersebut. Adanya perkawinan tersebut maka bukan hanya suami istri saja yang terlibat dalam perkawinan tetapi melibatkan hubungan antara keluarga istri dan keluarga suami serta orang lain yang ikut melibatkan diri didalamnya. Perkawinan itu tidak hanya semata - mata menjadi urusan kedua mempelai saja, akan tetapi perkawinan merupakan sesuatu yang diberkati Tuhan sebagai suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita.

(6)

menerima bantuan dari kerabat. Konsekuensi logisnya adalah kontrol sosial dari anggota kerabat luas menjadi berkurang dan tidak efekrif lagi, sehingga beban emosional dan finansial keluarga conjugal menjadi lebih berat. Tipe keluarga seperti ini lah yang sekarang dilaksanakan oleh banyak masyarakat di perkotaan. Sehingga hal tersebut yang dapat memicu terjadinya Sirang so Sirang khususnya bagi masyarakat Batak Toba yang tinggal di Kota. Keputusan Sirang so Sirang tersebut akibat dari tipe keluarga konjugal yang menghilangkan atau mengabaikan beberapa fungsi dari kerabat luas atau pihak para tetua dalam keluarga besar, seperti yang ada dalam sistem kekerabatan Batak Toba. Keluarga ideal tidak terlepas dari sejauh mana ia mampu menjalankan fungsi keluarga dengan baik di dalam keluarga, karena fungsi keluarga tidak dapat dipisahkan dari keluarga ideal. Adapun fungsi keluarga itu adalah fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan dan fungsi ekonomi.

(7)

perkawinan itu sendiri. Tujuan perkawinan pada masyarakat Batak Toba adalah tanggung jawab terhadap naluri biologis dalam melanjutkan garis keturunan.

(8)

sangat mendukung untuk menolak terjadinya perceraian. Ajaran agama Kristen yang dianut masyarakat Batak Toba tidak mengijinkan adanya poligami dan perkawinan diyakini sebagai suatu peristiwa yang sakral. Hanya nilai budaya yang diwarisi masyarakat Batak yang dapat menggambarkan apa yang mengikat perkawinan itu sehingga perkawinan itu begitu teguh. Pahit getirnya perkawinan harus dihadapi dengan kerelaan bersama suami isteri, dengan adanya prinsip tersebut maka kesempatan masyarakat juga akan semakin sempit dalam melakukan perceraian. Hal tersebut yang menjadi penyebab masyarakat lebih memilih tindakan Sirang so Sirang dari pada melakukan perceraian.

Agama menyucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas keinginan individu, dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Agama juga menangani keterasingan dan kesalahan individu yang menyimpang. Agama juga melakukan fungsi yang bisa bertentangan dengan fungsi sebelumnya. Agama dapat pula memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang telah terlembaga dapat dikaji kembali secara kritis dan kebetulan masyarakat memang sedang membutuhkannya. Hal ini memang benar, khususnya dalam hubungannya dengan agama yang menitikberatkan transendesi Tuhan, dan konsekuensi superioritasnya dan kemerdekaan masyarkat yang mapan. (Bagong Suyanto, 2004)

(9)

realitas sosial yang terjadi sekarang ini dalam masyarakat Batak Toba yaitu adanya keluarga yang mengalami Sirang so Sirang. Dimana Sirang so Sirang itu adalah status yang dianggap kurang jelas hubungannya. Keluarga tersebut belum resmi cerai dan juga tidak ada hubungan yang baik layaknya sebuah keluarga yang harus menjalankan fungsi masing-masing anggota keluarga. Sebuah keluarga pasti menginginkan keluarga tersebut keluarga yang ideal dan keluarga yang kekal. Terciptanya sebuah keluarga yang kekal tidak terlepas dari norma-norma, nilai adat dan agama yang selalu mengarahkan keluarga tersebut ke keluarga yang kekal.

(10)

nilai dan stereotip jender yang berlaku terbentuk sebagai hasil tarik-menarik dari kekuatan sosial budaya pada masyarakat Batak Toba.

Salah satu ajaran agama Kristen dalam Efesus 5:22 terhadap keluarga dikatakan “Dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus., Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuhmu”

Istri tunduk kepada suaminya karena dia kepala yang menyerahkan hidupnya bagi sang istri. Suami harus tunduk kepada istrinya dengan mengasihinya seperti Kristus mengasihi Jemaat - dengan menyerahkan hidupnya bagi sang istri. Anak-anak tunduk kepada orang-tuanya dengan mentaatinya. Para ayah tunduk kepada anak-anak dengan membesarkan mereka untuk mengenal Tuhan. Sama dengan hamba-hamba dan tuan-tuan.

Dengan adanya nilai-nilai, norma dan agama dalam sebuah keluarga akan mempersempit terjadinya pemutusan hubungan perkawinan dengan perceraian. Adanya norma dan agama yang mengikat keluarga agar keluarga tersebut berjalan sesuai dengan harapan. Banyaknya sekarang ini keluarga yang mengalami Sirang so Sirang membuat peneliti tertarik untuk meneliti “ Realitas Sirang So Sirang di kalangan masyarakat Suku Batak Toba di kota Medan”, adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan agama yang selalu dipegang teguh oleh masyarakat tetapi sudah banyak keluarga yang bukan lagi menjadi keluarga yang diharapkan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan adat tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

(11)

1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya Sirang So Sirang dalam hubungan perkawinan dalam Batak Toba Kristen selain nilai adat dan agama?

2. Bagaimana interaksi atau hubungan suami atau isteri dan keluarga yang mengalami Sirang so Sirang tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor apa yang melatarbelakangi terjadinya Sirang so Sirang dalam perkawinan suku Batak Toba Kristen selain nilai adat dan agama. 2. Untuk mengetahui bagaimana interaksi atau hubungan antara suami atau isteri dan keluarga yang mengalami Sirang so Sirang.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan khususnya yang berkaitan dengan perpisahan (Sirang so Sirang) yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba Kristen.

1.4.2. Manfaat Praktis

(12)

1.5 Definisi Konsep

Konsep adalah suatu istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau yang menyatakan suatu ide gagasan untuk memperjelas suatu keadaan suatu penelitian (Iqbal Hasan 2002;17). Untuk menjelaskan maksud dan pengertian konsep-konsep yang terdapat dalam penelitian ini, maka dibuat batasan-batasan konsep yang dipakai sebagai berikut : a. Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri perlu saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembanggkan kepribadiannya mencapai kesatuan sejati dalam perkawinan.

b. Perkawinan Pada Masyarakat Batak

Perkawinan pada masyarakat Batak adalah penerimaan status baru dengan sederetan hak dan kewajiban baru serta pengakuan status baru oleh orang lain dan bukan hanya melibatkan pasangan suami istri saja tetapi juga keluarga dari kedua belah pihak dengan awal acara pemberkatan pernikahan di gereja oleh pendeta lalu dilanjutkan oleh acara adat.

c. Keluarga

(13)

d. Batak Toba

Batak Toba adalah salah satu suku yang terdapat di Sumatera Utara berasal dari Sumatera Utara.

e. Adat Batak

Adat batak adalah persatupaduan kerohanian dan kemasyarakatan yang meliputi kehidupan, keagamaan, hukum, kemasyarakatan ataupun kekerabatan dan sebagainya.

f. Masyarakat

Masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama dalam waktu yang cukup lama sehingga suatu kesatuan social dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas (Soekanto : 1982)

g. Sirang So Sirang

Sirang so Sirang adalah status sebuah keluarga yang tidak jelas hubungannya. Dimana keluarga tersebut dikatakan cerai kenyataannya tidak dikatakan masih ada hubungan juga tidak karena keluarga tersebut tidak menjalankan fungsi keluarga itu sebagaimana seharusnya sebagai keluarga.

h. Realitas Sosial

terduga oleh sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif.

i. Masalah Sosial

(14)
(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam Koenjaraningrat (2002) bahwa perkawinan merupakan suatu saat yang terpenting pada daur hidup dari semua manusia diseluruh dunia, karena merupakan saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Perkawinan adalah penerimaan status baru dengan sederatan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan status baru oleh orang lain. Perkawinan membentuk satu tali hubungan sosial yang baru dan juga jumlah anggota keluarga bertambah. Masuknya keluarga suami/isteri menimbulkan banyak sekali peran kewajiban baru dan juga penyesuaian dan ketegangan-ketegangan baru. Oleh karena itu suatu perkawinan menimbulkan berbagai macam akibat, yang juga melibatkan banyak sanak keluarga termasuk suami itu sendiri. Menurut H.R.Otje Salman Soemadingrat (2002;173) perkawinan adalah implementasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan kekeluargaan.

(16)

keadaan sosio-psikologis yaitu perubahan fungsi ayah dari strukstur patriakhat kepada nuclear family, pandangan tentang perceraian cenderung permisif, pandangan dan praktek seks sebagai konsumsi, komersialisasi seks (BKKBN,2004). Clayton mengatakan bahwa keluarga merupakan suatu sistem sosial yang didalamnya memiliki unsur-unsur sanksi, kekuasaan, fasilitas, kedudukan dan peran serta tujuan bersama keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang secara otomatis memiliki peran dan fungsinya masing-masing, yang pada akhirnya membangun perilaku pada pola interaksi didalam suatu keluarga nantinya juga akan menentukan dan ikut mempengaruhi keharmonisan dan ketidakharmonisan dalam keluarga ( Kamanto Sunarto, 2000).

(17)

kosanguinal menekankan pada pentingnya ikatan darah. Misalnya hubungan seseorang dengan orangtuanya.Keluarga yang bersistem Konjugal menekankan pada pentingnya hubungan perkawinan (antara suami istri) yang cenderung dianggap lebih penting daripada ikatan dengan orang tua. Lembaga keluarga memegang peranan penting dalam setiap masyarakat. Lembaga ini memegang fungsi sebagai pengaturan seksual, penerus keturunan, sosialisasi, kasih sayang, penentuan status sosial seseorang, perlindungan dan ekonomi. Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi; dan juga merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan social bagi suami isteri, ayah, ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemeliharaan kebudayaaan bersama. Sumber kebahagiaan manusia umumnya berasal dari hubungan sosial. Baik itu merupakan hubungan cinta atau kekuasaan, hubungan itu mendatangkan kepuasan yang timbul dari perilaku orang lain, demikian halnya terhadap kepuasan-kepuasan yang tidak mementingkan diri sendiri. Pekerjaan yang dilakukan seorang diri pun menimbulkan kebahagiaan. Penderitaan dan kebahagiaan manusia itu ditentukan oleh perilaku orang lain. Sama halnya pada tindakan manusia yang mendatangkan kesenangan di satu pihak, menimbulkan ketidaksenangan pada pihak lain.

(18)

setiap anak laki-laki dan perempuan yang sudah beranjak dewasa sudah saatnya memikirkan jodoh/berumahtangga).

2.1. Teori Pertukaran Sosial

(19)

Blaw juga mengatakan “kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya pada pihak lain, walaupun terdapat penolakan melalui perlawanan, baik dalam bentuk pengurangan pemberian ganjaran secara teratur maupun dalam bentuk penghukuman, sejauh kedua hal itu ada dan memperlakukan sangsi negatif”. Norma dan Nilai. Menurut Blaw, mekanisme yang menengahi antara struktur sosial yang kompleks itu adalah norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Ada mekanisme lain yang menengahi antara struktur sosial, tetapi Blaw memusatkan perhatian pada konsensus nilai. Menurutnya konsensus nilai mengganti pertukaran tak langsung dengan pertukaran langsung. Seorang anggota menyesuaikan diri itu dan mendapat persetujuan implisit karena kenyataan bahwa penyesuaian diri memberikan kontribusi atas pemeliharaan dan stabilitas kelompok. Dengan kata lain, kelompok atau kolektivitas terlibat dalam suatu hubungan pertukaran dengan individu.

(20)

laki-laki (keturunan sebagai penerus marga). Keadaan tersebut dapat mengakibatkan perpecahan antara pasangan suami dan istri karena si istri tidak mau diduakan dan akhirnya memilih untuk berpisah saja, tetapi karena adanya efek atau akibat dari perpisahan tersebut banyak di alami oleh pihak si istri sebagai contohnya saja dalam perkumpulan marga suaminya, si istri tidak lagi termasuk perkumpulan itu, maka pilihan yang tepat atau baik dirasakan si istri adalah pisah ranjang (Sirang so Sirang). Adanya pengaruh dari luar (dari keluarga kedua belah pihak) dapat membawa perubahan pada keluarga itu sendiri. Perubahan ini mengakibatkan penilaian kembali dari moral dan nilai masyarakat yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada di masyarakat.

(21)

2.2. Teori Pilihan Rasional

Teori pilihan rasional umumnya berada dipinggiran aliran utama sosiologi tahun 1989 dengan tokoh yang cukup berpengaruh adalah Coleman, ia mendirikan jurnal Rationality and Society yang bertujuan menyebarkan pemikiran yang berasal dari perspektif pilihan rasional. Tori pilihan rasional (Coleman menyebutkan ”Paradikma tindakan rasional”) adalah satu-satu yang menghasilkan integrasi berbagai paradikma sosiologi. Coleman dengan yakin menyebutkan bahwa pendekatannya beroperasi dari dasar metodelogi individualisme dan dengan menggunakan teori pilihan rasional sebagai landasan tingkat mikro untuk menjelaskan fenomena tingkat makro. Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai menusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan.

(22)

yakni aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Coleman mengakui bahwa dalam kehidupan nyata orang tak selalu berprilaku rasioanl, namun ia merasa bahwa hal ini hampir tak berpengaruh terhadap teorinya. Pemusatan perhatian pada tindakan rasional individu dilanjutkannya dengan memusatkan perhatian pada masalah hubungan mikro-makro atau bagaimana cara gabungan tindakan individu menimbulkan prilaku sistem sosial. Meski seimbang, namun setidaknya ada tiga kelemahan pendekatan Coleman. Pertama ia memberikan prioritas perhatian yang berlebihan terhadap masalah hubungan mikro dan makro dan dengan demikian memberikan sedikit perhatian terhadap hubungan lain. Kedua ia mengabaikan masalah hubungan makro-makro. Ketiga hubungan sebab akibatnya hanya menunjuk pada satu arah, dengan kata lain ia mengabaikan hubungan dealiktika dikalangan dan di antara fenomena mikro dan makro. (Ritzer 2004:394-395).

Masyarakat Batak Toba memandang perkawinan sebagai suatu hal yang sakral dan suci, yaitu perpaduan hakekat kehidupan antara laki-laki dengan perempuan menjadi satu bukan sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga. Perkawinan itu sangat penting bagi masyarakat Batak sehingga ada istilah balga anak pasohotan, magodang boru pamulion asa marhasohotan yang artinya adalah

(23)

Ajaran agama Kristen yang dianut masyarakat Batak tidak mengijinkan adanya poligami dan perkawinan diyakini sebagai suatu peristiwa yang sakral. Hanya Batak itu sendiri yang dapat merasakan bagaimana hikmat dan teguhnya perkawinan masyarakat Batak. Hanya nilai budaya yang diwarisi masyarakat Batak yang dapat menggambarkan apa yang mengikat perkawinan itu sehingga perkawinan itu dapat teguh. Pahit getirnya perkawinan harus dihadapi dengan kerelaan bersama antara suami dan istri.

Terjadinya masalah-masalah yang ada dalam sebuah keluarga, tidak selamanya dapat diselesaikan dengan baik. Dan sebagian masalah tersebut terselesaikan berujung pada perceraian, dan sebagian masalah itu juga dipertahankan hanya mempertimbangkan hal-hal lain yang dianggap nantinya bisa diperbaiki. Tetapi, dalam sebagian keluarga tidak berani untuk mengambil keputusan untuk bercerai tetapi mencoba untuk lepas dari keluarga itu tanpa adanya keputusan yang jelas. Seperti halnya seorang istri yang memilih jauh dari keluarganya atau tidak lagi satu atap dengan suaminya. Itu dikarenakan dia tidak mendapatkan status bercerai, disatu sisi si istri masih menyandang status sebagai istri, di sisi lain dia tidak menjalankan fungsinya sebagai istri lagi.

(24)

seorang anak sangat diharapkan, apalagi anak laki-laki yang merupakan penerus garis keturunan. Seorang istri harus mampu memberikan seorang anak dalam sebuah keluarga, dan apabila tidak mampu memberikan anak tersebut, maka istri tersebut harus menerima dia di madu atau di ceraikan ataupun hal lainnya dari pihak keluarga suami.

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualiatatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring data /informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Alasannya adalah karena penelitian kualitatif dapat memberikan keleluasaan dan kesempatan peneliti untuk bisa menggali informasi secara lebih mendalam terutama permasalahan yang akan diangkat tergolong hal yang sensistif.

3.2 .Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Medan. Lokasi penelitian ini diambil karea penduduk Kota Medan sangat kompleks baik dari segi budaya maupun ekonomi sehingga orang Batak yang tinggal di Medan dapat mewakili orang Batak dalam menjawab masalah Sirang so Sirang dalam perkawinan masyarakat Batak.

3.3. Unit Analisis dan Informan.

(26)

unit analisis ini akan diambil informan yang dianggap dapat menjawab permasalahan penelitian ini. Agar sesuai dengan tujuan penelitian maka perlu ditetapkan kriteria-kriteria informan kunci sebagai berikut.

- Suami atau istri yang berpisah tetapi status dari keluarga tersebut tidak jelas bercerai atau masih ada hubungan.

- Berasal dari suku Batak Toba Kristen.

Sedangkan yang menjadi informan biasa adalah penatua adat (raja adat), tokoh marga yang tahu tentang adat batak toba dan masyarakat biasa suku Batak Toba .

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk dapat mengumpulkan data-data yang diperlukan sebagai sumber data guna menunjang penelitian ini maka peneliti akan mengumpulkan data melalui :

1. Data Primer

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data primer yang dilakukan dengan :

- Observasi

(27)

- Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam yaitu untuk mendapatkan data secara lengkap sebagaimana yang dinginkan, dibantu oleh instrumen penelitian. Wawancara mendalam yang dilakukan peneliti dalam hal ini karena permasalahannya yang sangat sensitive.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen majalah, jurnal, internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5 Teknik Analisa Data

Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema. (Maleong,1993:103).

(28)

3.6. Jadwal kegiatan

3.7. Keterbatasan Penelitian

Selama dalam penelitian penulis mempunyai banyak kendala dan keterbatasan penulis dalam mendapatkan data yaitu:

1. Peneliti mengalami kesulitan dalam mencari data perkawinan yang mengalami Sirang so Sirang, karena tidak ada data tertulis dari pengadilan seperti data perceraian.

2. Dalam pencarian alamat informan peneliti sangat kewalahan, karena peneliti merupakan penduduk pendatang di kota Medan jadi pencarian alamat tersebut menjadi sedikit sulit dirasakan oleh peneliti.

NO Kegiatan Bulan

8 9 10 11 12 1 2 3 4

1 Pra Observasi √

2 ACC Judul √

3 Penyusunan Proposal √ √

4 Seminar proposal √

5 Revisi Proposal √ √

6 Penyerahan Hasil Seminar √

7 Operasional Penelitian √ √

8 Bimbingan √ √

9 Penulisan Laporan Akhir √ √

(29)

3. Dalam wawancara informan sebagian kurang terbuka, peneliti berusaha agar informan mau bersikap terbuka dalam memberikan informasi mengenai keluarganya.

(30)

BAB IV

INTEPRETASI DATA

4.1 Setting Lokasi

4.1.1 Sejarah Kota Medan

(31)

Kampung Medan juga sering dikenal sebagai Medan-Deli. Lokasi asli Kampung Medan adalah sebuah tempat dimana Sungai Deli bertemu dengan Sungai Babura. Terdapat berbagai kerancuan dari berbagai sumber literatur mengenai asal-usul kata “Medan” itu sendiri. Dari catatan penulis-penulis portugis yang berasal dari awal abad ke-16 disebutkan bahwa Kota Medan berasal dari nama “Medina”, sedangkan dari sumber lainnya menyatakan bahwa Medan berasal dari bahasa India”Meiden”, yang lebih kacau lagi bahwa ada sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa disebutkannya kata”Medan” karena kota ini merupakan tempat atau area bertemunya berbagai suku sehingga disebut sebagai Medan pertemuan. Bila kita menilik dari sumber-sumber sejarah bahwa kota Medan pertama sekali didiami oleh suku Karo, tentunya kata Medan itu haruslah berasal dari bahasa Karo. Dalam salah satu kamus Karo-Indonesia yang ditulis oleh Darwira Prinst, 2002: kata Medan berarti ‘menjadi sehat” ataupun “lebih baik”. Hal ini memang berdasarkan pada kenyataan bahwa Guru Patimpus benar adanya adalah “orang pintar” yang dalam hal ini memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional karo pada masa tersebut.

(32)

merupakan contoh perkembangan kota yang pesat. Medan semula hanya bernama Kampung Medan, terletak di pertemuan sungai Deli dan sungan Babura. Guru Patimpus, seorang Karo mulai merintis pemukiman Medan pada tahun 1590. Tembakau kemudian mengubah kampong Medan menjadi pusat perdagangan sejak 1642. John Anderson, seorang pegawai kerajaan Inggris dari Penang, dalam kunjungannya ke Medan pada tahun 1823 menemukan bahwa Medan saat itu masih merupakan sebuah kampong kecil berpenduduk sekitar 200 orang. Belanda menguasai Tanah Deli sejak tahun 1858 , setelah Sultan Ismail, penguasa Kerajaan Siak Sri Indrapura, memberikan beberapa bekas tanah kekuasaannnya, Deli, Langkat dan Serdang. ( Karakteristik Penduduk Kota Medan Propinsi Sumatera Utara, BPS Kota Medan)

(33)

Perjanjian tembakau ditandangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Selang dua tahun, Niunhuys bersama Jannsen, P.W.Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan De Deli Maatschappij yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari labuhan ke kampung Medan. ( Karakteristik Penduduk Kota Medan Propinsi Sumatera Utara, BPS Kota Medan)

Kantor baru itu dibangun di penggir sunga Deli, tepatnya di kantor PTPN II(eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktifitas pemerintahan Propinsi Sumatera Timur dan Kerajaan Deli serta pusat perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru

(34)

-Kecamatan Medan Timur -Kecamatan Medan Barat

-Kecamatan Medan Baru dengan keseluruhan 59 kepenghuluan.

Melalui UU Darurat No.7 dan 8 tahun 1056 dibentuk propinsi Sumatera Utara Daerah Tingkat II antara lain, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan khususnya memerlukan perluasan daerah untuk mampu menampung laju perkembangan penduduk. Oleh karena itu, dikeluarkan Perintah No.22 tahun 1973, dengan masuknya beberapa Kabupaten Deli Sedang kedalam kota Medan, sehingga belakangan ini wilayah kota Medan menjadi 116 kelurahan. Kemudian dengan surat persetujuan Mendagri No.140/22/1/PVOP tanggal 30 Mei 1986, jumlah kelurahan di Kota Medan menjadi 144 kelurahan yang kemudian pada tahun 1997 menjadi 151 kelurahan. Kemudian melalui Peraturan Pemerintah RI No.35 tahun 1992 tentang pembentukan beberapa kecamatan termasuk kecamatan di Sumatera Utara termasuk dua kecamatan pemekaran di Kota Daerah Tingkat II Medan, sehingga sebelumnya terdiri dari 19 kecamatan di mekarkan menjadi 21 kecamatan. (Kota Medan Dalam Angka 2009,BPS kota Medan,hal 26). Kota Medan merupakan salah satu dari 17 daerah tingkat II di daerah Sumatera Utara, yang terletak di bagian timur Propinsi Sumatera Utara dan berada di antara 3° 30'-98°-3° 43' LU dan 98° 35'-98° 44'BT. Permukaan tanahnya cendrung miring ke Utara dan berada pada ketinggian 2,5-37,5 m diatas permukaan laut. Luas Kota Medan saat ini adalah 265.10 km². Sebelumnya hingga 1972 Medan hanya mempunyai luas sebesar 52 32 km², namun kemudian

(35)

Kota Medan merupakan pusat pemerintahan tingkat I propinsi Sumatera Utara dengan jumlah penduduk sekitar 2.083.156 jiwa. Secara geografis Kota Medan berbatasan dengan :

-Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

-Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

-Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deliserdang -Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang (....Karakteristik Penduduk Kota Medan Propinsi Sumatera Utara, bps Kota Medan , hal 11)

(36)

4.1.2. Gambaran Masyarakat Kota Medan

Penduduk asli Sumatera Utara adalah suku bangsa Melayu yang berdiam di Pesisir Timur Sunatera Utara. Penduduk pada daerah ini sebagian besar hidup dari mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Penduduk lainnya yang berada didaerah pedalaman sumatera utara , seperti suku bangsa batak umumnya adalah bermata pencaharian sebagai petani dan mengusahakan hasil hutan, sedangkan pola mata pencaharian suku lainnya yang merupakan pendatang berkembang sesuai dengan perkembangan perkebunan-perkebunan yang dibuka pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Untuk menopang perkembangan perkebunan pada masa dibuka oleh pemerintah Belanda , mereka menjalankan politik “pintu Terbuka” bagi pendatang atau perantau dari berbagai daerah didalam negeri maupun dari luar negeri. Kebijakan ini merangsang berbagai suku bangsa yang ada disekitar Sumatera Timur seperti Aceh, Batak dan Minangkabau untuk dating merantau ke Sumatera Utara dan kota yang menjadi sarana utama dari perantau itu adalah Kota Medan.

(37)
(38)

periode yang sama, meningkat rata-rata di atas 7,77 persen

Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia yang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dalam perkembangannya kota Medan tidak lepas dari peran suku bangsa pendatang misalnya etnis Cina, Batak, Jawa, Minang yang membaur dengan suku asli yaitu suku melayu. Kota Medan merupakan salah satu daerah yang sering dijadikan tempat dimana masyarakat lain datang untuk memulai hidup barunya untuk bekerja. Kondisi sosial ekonomi masyarakat kota Medan dapat digolongkan ekonomi yang memiliki perkembangan yang yang sangat maju, karena di daerah kota Medan merupakan daerah yang sangat strategis dan sangat banyak usaha-usaha yang ada. Sehingga di Medan sangat banyak lowongan kerja yang mampu menampung pekerja-pekerja, baik itu yang telah tamat dari perguruan tinggi yang ada di Kota Medan maupun yang berasal dari luar datang ke Medan hanya untuk mencari kerja. Ini menggambarkan bahwa kota Medan itu memiliki potensi ekonomi yang tinggi, yang tidak kalah dari daerah-daerah lain yang juga memiliki sosial ekonomi yang tinggi 2010).

(39)

atau masyarakat masih mampu mengendalikan atau meredam konflik tersebut, sehingga kota Medan yang dikenal dengan kota yang masyarakatnya majemuk dikatakan sebagai salah satu kota yang paling aman dan rukun. Dengan keadaan tersebut kota Medan sering dijadikan salah satu wilayah tujuan urbanisasi dari berbagai wilayah di Indonesia. Ini dilihat dari permukiman yang ada di kota Medan yang saling berdekatan dan mempunyai tingkat solidaritas yang cukup baik. Dilihat juga dari berbagai suku / etnis dan agama yang saling berdekatan dan dapat menjalin hubungan dengan baik. Masyarakat setempat membentuk kelompok-kelompok seperti STM (serikat tolong-menolong) baik sesama etnis dan lain etnis, kumpulan marga dan sebagainya

(40)

dari berbagai suku. Interaksi yang terjadi dengan masyarakat pribumi Sumatera Utara sangat terjalin dengan baik, ini terlihat dari konflik-konflik yang terjadi dapat di kendalikan agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan dan juga budaya kerjasama yang ada di Kota Medan yang dapat digolongkan dengan baik. Dalam bidang politik juga bahwa masyarakat tidak terlalu memandang SARA( Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) terbukti dengan suku yang dapat digolongkan Minoritas dikota Medan dapat memimpin sebuah provinsi, itu merupakan wujud nyata yang dapat dilihat bahwa masyarakat tidak mempersoalkan yang namanya SARA.

Persentase jumlah penduduk agama Islam di kota Medan sebanyak 67,83%, persentase agama katolik sebanyak 2,89%, Agama Kristen Protestan sebanyak 18,13%, Agama Budha sebanyak 10,4% dan agama Hindu sebanyak 0,68% dan lainnya sekitar 0,07 %. Dari data tersebut bahwa yang persentase jumlah penduduk yang tertinggi di Kota Medan adalah Agama Islam, sedangkan untuk Agama Kristen hanya 18,13%. Dan yang menjadi sasaran dari penelitian adalah agama Kristen Protest

4.1.3. Gambaran Etnis Batak Toba Di Kota Medan

(41)
(42)

dari luar kota datang. Tidak kalah juga dengan para bapak-bapak tukang becak, sebagian bapak-bapak ini hampir 24 jam stanby menunggu sewa. Mereka siap sedia mengantarkan sewa kapan dan kemanapun.

Berbeda dengan mayarakat yang bekerja di kantor, baik PNS, pegawai swasta, dan pekerja-pekerja di supermarket atau Mall/plaza. Mereka yang bekerja di sektorr ini sangat berbeda dengan pekerjaan yang dilakukan oleh inang-inang parengge-rengge dan bapak-bapak tukang becak dan super angkut tersebut. Mereka mulai bekerja jam 8 pagi dan kalau mereka bekerja di PNS atau pegawai swasta mereka hanya bekerja sampai jam 4 atau 5 sore. Berbeda juga dengan swalayan atau Mall yang mulai jam 8 sampai jam 10 malam buka. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat kota Medan juga dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang tinggal di pinggiran rel atau di kolong jembatan atau juga di pinggiran-pinggiran sungai. Banyak juga yang mengais rejeki dengan mecari barang-barang bekas, dalam mencari barang-barang bekas mereka tidak memandang umur, baik itu anak, ibu, bapak mereka bersama-sama mencari barang-barang bekas. Mereka sudah mulai mencari sejak subuh ke tempat sampah, dan pada siang hari sebagian dari mereka mengamen persimpangan lampu merah. Dari hasi pengamatan penulis, di kota Medan sangat banyak orang yang mengamen. Mereka terdiri dari ayah, ibu atau anak-anak mereka.

(43)

Tiga Tungku Sejarangan. Di dalam sistem sosial tersebut terdapat tiga kelompok kekerabatan yang menjadi unit-unit fungsionalnya. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk.

Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal artinya Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.

Ompunta naparjolo martungkot salagunde. Adat napinungka ni naparjolo

sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat identik dengan falsafah dalihan

natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak. Apakah yang disebut dengan Dalihan Na Tolu Paopat Sihal-Sihal itu. Dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai berikut : Somba Marhula-Hula, Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru. “Angka na so somba marhula-hula

siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna,

jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna”.

Somba marhula-hula. Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga

(44)

sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat. Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya. Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula. Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo). Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isisnya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.

(45)

menderita itu ada sikap-sikap yang tidak menghormati hula-hula, sehingga pernyataan siraraon do gadongna dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk menghilangkan bala itu, diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk memohon ampun apabila ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu kepada pihak hula-hula. Upacara mamboan sipanganon disampaikan kepada keturunan pihak hula-hula setaraf generasi terdahulu atau tingkat yang dianggap pernah terjadi kesalahan itu.

Dalam berbagai agama, ibu sangat diagungkan. Bahkan ada ungkapan sorga ada ditelapak kaki ibu. Dalam agama Kristen, hukum Taurat ke V menyebutkan, hormatilah ibu-bapamu agar lanjut usiamu. Tidaklah bertentangan bila falsafah dalihan na tolu somba marhula-hula diterapkan. Karena kita menghormati keluarga ibu yang kita cintai itu. Dalam agama Kristen disebutkan, kalau menghormati orang tua, akan mendapat berkat dan lanjut usia. Manat Mardongan Tubu. Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat

(46)

Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna. Ungkapan itu

mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik .

(47)

Dalam kasus lain, manat mardongan tubu sangat perlu diingat dalam masalah harta warisan atau masalah kepemilikan. Karena dalam kenyataannya, masalah warisanlah penyebab terbesar pertikaian di kalangan namardongan tubu. Hal itu terbukti pula dalam persidangan-persidangan pengadilan negeri di Bona Pasogit yang bertikai akibat harta warisan (terutama tanah) sering membawa korban jiwa. Pertikaian akibat harta warisan antara boru ke hula-hula sangat jarang sekali. Dalam ungkapan (umpasa) batak ada istilah jolo diseat hata asa di seat raut. Artinya, sebaiknya segala sesuatu itu dimusyawarahkan dulu sebaik-baiknya, barulah dilaksanakan. Umumnya umpasa itu disampaikan dalam rangka pembagian jambar, yang diatur oleh pihak-pihak namardongan tubu. Itulah sebabnya ada ungkapan marpanungkun (konsultasi). Patutak Pande Bosi, soban bulu panggorgorina. Marpukpak angka na marhahamaranggi (na mardongan

tubu) angka boru ma pangolanina. Pandai Besi (pande bosi) biasanya dalam

(48)

4.2 Profil Informan

4.2.1 Informan Kunci (Suami atau Istri Yang Sirang So Sirang) 1. N.M (Perempuan, 45 Tahun)

N M adalah perempuan yang sekarang berusia 45 tahun. Ibu dari 1 orang anak perempuan ini lahir di Muara tanggal 12 Oktober 1966. N M adalah seorang Ibu rumah tangga yang sekarang bertempat tinggal di Jl. Sakura Helvetia, Medan. N M menikah pada tahun 1989 saat umur 23 tahun. Awalnya N M memulai hidup di Medan ini dikarenakan kemauan suaminya dengan alasan sulit mendapatkan pekerjaan di kampung mereka karena pada saat itu N M dan suaminya hanya menjalankan usaha keluarga mereka dengan menggarap lahan milik orang tua suami Ibu N M. Awalnya mereka merantau ke Medan, N M dan suaminya bekerja sebagai buruh-buruh pabrik.

(49)

2. L T (Perempuan, 51 Tahun)

L T adalah seorang guru di salah satu Sekolah Dasar di kota Medan. Beliau lahir tgl 11 Maret tahun 1960 dan sekarang berusia 51 tahun. L T bertempat tinggal di Jl. Mandala ,Medan. Ibu ini sengaja membeli rumah di daerah tersebut agar dekat dengan tempatnya mengajar. Ibu L T menikah tahun 1983 dan dikaruniai 2 orang anak, yaitu anak laki-laki dan perempuan. Setelah 2 tahun pernikahan bahkan semenjak tahun pertama pernikahan sudah terjadi pertengkaran-pertengkaran yang tidak dapat dihindari. Banyak sekali pemicu nya, salah satunya karena pada saat itu suami Ibu L T belum juga mendapatkan pekerjaan untuk dapat menghidupi keluarganya. Dikatakan Ibu L T selama pernikahan mereka, Ibu L T merasa tidak sejahtera dan tidak bahagia, hal tersebut juga yang menjadi pemicu pertengkaran setiap saat di rumah. Selain penyebab diatas, awal penyebab hubungan Ibu L T dan suaminya tidak harmonis adalah karena Ibu L T selalu membahas atau menyinggung-nyinggung tentang hal perjodohan mereka dulu yang terlalu dipaksakan oleh orang tua mereka masing-masing.

(50)

3. E S (Perempuan, 24 Tahun)

E S adalah seorang perempuan yang baru berusia 24 tahun dan masih tergolong sangat muda saat memutuskan untuk menikah. E S lahir di Pekanbaru, Riau. Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA, E S memilih untuk merantau ke Medan dan bekerja di kota tersebut. Setelah 2 tahun bekerja, E S bertemu dengan T S dan mereka langsung menikah setahun kemudian tahun 2009. Tidak lama setelah mereka menikah, mereka langsung dikaruniai anak. Saat bulan ke 5 mereka menikah, mulai terjadi pertengkaran dan perdebatan. Dan hal tersebut terjadi setiap hari. Ditambah juga karena mereka tinggal di rumah orangtua suami E S, maka mereka juga ikut campur dalam segala masalah rumahtangga E S dan suaminya. Saat itu E S dan suaminya sama sekali tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan, seluruh kebutuhan keluarganya E S dan suaminya di biayai oleh orangtua suami E S. Disamping karena mereka baru saja menikah, alasan yang membuat mereka harus tinggal di rumah orangtua suami ES adalah karena suami E S adalah anak satu-satunya. Semenjak mereka sudah memberitahukan niat mereka untuk menikah, orangtua suami E S sudah mengatakan mereka harus tinggal di rumah orangtua suaminya.

(51)

mulai tidak nyaman tinggal bersama mertuanya. Selain itu juga hal yang paling membuat ES yakin untuk berpisah saat itu adalah karena pihak mertua ES menuduh bahwa anak yang dikandung ES bukanlah cucu mereka, karena jarak dari pernikahan mereka dan saat ES diketahui sedang mengandung sangat dekat sekali. Saat itu suami ES juga tidak berusaha membela atau mencoba untuk menyelesaikan masalahnya dan menjelaskan apa yang terjadi pada keluarganya. Maka saat ES mengandung 5 bulan, pihak mertua ES sudah berusaha mengusir ES dari rumah dan suami ES juga jadi jarang pulang kerumah.

Penyebab ES mengambil keputusan untuk berpisah saat itu adalah karena ikut campur pihak mertuanya dan perlakuan mereka terhadap ES yang sudah melampaui kesabaran ES. Setelah berpisah, ES kembali tinggal di rumah orangtuanya sampai dia melahirkan anaknya. Dan setelah beberapa bulan kemudian, ES kembali tinggal dan bekerja di Medan.

4. S S (Perempuan, 34 Tahun)

(52)

saja masih ditolong oleh mertua SS. Semenjak itu SS selalu mendesak suaminya untuk segera bekerja supaya mereka bisa membiayai kebutuhan anak mereka dan anak mereka bisa tetap tinggal dan dirawat bersama mereka. Tapi tetap saja suaminya SS bersikeras untuk tidak bekerja dengan alasan gaji di Medan sedikit. Dan suaminya menyuruh anak mereka dirawat di rumah mertua SS, tetapi karena SS bersikeras juga supaya anaknya tinggal tetap bersama mereka, maka setiap hari semakin besar saja masalah dan pertengkaran mereka. SS mengatakan dia malu terus-menerus masih mengharapkan biaya dari mertuanya sedangkan mereka sudah memiliki keluarga sendiri dan juga anak. Tetapi hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi keputusan suaminya, maka SS pun memutuskan untuk berpisah. Semenjak berpisah SS menitipkan anaknya di rumah orang tuanya dan SS kembali tinggal dan bekerja di Medan seorang diri.

5. NM (Perempuan, 49 Tahun)

(53)

selalu mengatakan supaya suaminya NM menikah lagi dan mencari perempuan lain agar suaminya NM bisa memiliki keturunan laki-laki. Karena selalu di goncang dan di pengaruhi oleh orangtuanya, maka suami NM pun menuruti kemauan orangtuanya. Karena NM bersikeras tidak mau dimadu, maka suaminya setiap hari bertingkah dan melakukan hal-hal yang tidak baik, seperti berjudi, mabuk-mabukan berhutang dimana-mana dan juga main perempuan. Hasilnya, NM memilih untuk berpisah saja karena tidak bisa lagi sabar dengan kelakuan suaminya tersebut yang setiap hari semakin menjadi.

6. S T (Perempuan,40 Tahun)

(54)

teman-teman suaminya sementara ST yang sendiri banting tulang mencari nafkah untuk seluruh anggota keluarga.

“Yah, apalah kerjaku ini dek, Cuma babu orang nya aku ini. Berapalah sanggup uang ku dapat dari seorang babu atau pembantu. Apalagi pendidikanku hanya sampai SMP aja. Itu pun mau dibagi lagi sama hura-huranya suami ku!” kata Ibu ST.

7. P.N (Lk,39 Tahun)

P.N bekerja sebagai pegawai di salah satu perusahaan di Kota Medan. Tempat tinggap PN saat ini beralamat di Jl. Pendidikan, Medan Perjuangan, PN berusia 39 Tahun. PN lahir di Medan dan seluruh keluarganya juga bertrempat tinggal di Medan. PN menikah dengan FH yang bekerja sebagai pedagang disalah satu pasar tradisional. Selama perkawinan mereka tidak dikaruniai anak.

(55)

8. S.M (Lk, 42 Tahun)

SM berusia 42 Tahun dan bekerja sebagai karyawan disebuah perusahaan swasta di Kota Medan. SM menikah pada usia 30 Tahun dengan istrinya IS yang berusia 27 tahun. Mereka dikaruniai 2 orang anak. Pada awal pernikahan, keluarga ini termasuk keluarga yang tergolonmg kurang mampu dalam hal ekonomi, namun dengan kerja keras dan kemauan SM dan IS yang ingin maju, maka kemampuan ekonomi keluarga ini semakin bagus dan membaik. Menurut keterangan SM selama kurun waktu 5 tahun berjalan keluarga ini masih menikmati kehidupan ekonomi yang lumayan bagus. Namun pada tahun keenam, mulai sering terjadi konflik. Terjadinya konflik dalam rumahtangga ini berawal dari masalah kecil dimana istrinya sering pulang malam dan terkadang tidak memperhatikan keperluan atau kepentingan kedua anak mereka. Seolah-olah anak- anak mereka tidak mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya yang sibuk bekerja masing-masing diluar rumah. Karena istrinya yang telat pulang,SM mulai curiga hingga perna memerikasa keberadaan istrinya, ternyata selidik demi selidik maka IS ketahuan selingkuh dengan laki-laki teman sekerjanya.

(56)

mempertimbangkannya, namun untuk bercerai tidak sanggup. Oleh karena itu SM sepakat dengan IS untuk pisah ranjang ( Sirang So Sirang).

4.2.2. Profil Informan Penatua Gereja, Adat dan Masyarakat 1. NM. S (Laki-laki)

Bapak NM.S ini adalah seorang pendeta yang melayani di salah satu Gereja suku. Beliau lahir di Sidikalang, Sumatera Utara. Lahir pada tanggal 1 Mei 1972 dan sekarang beliau berumur 39 Tahun. Bapak NM. S ini sudah menikah dengan Ibu HS dan sekarang sudah dikaruniai 3 orang anak, 2 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki. Selain aktif sebagai pelayan Tuhan sehari-harinya Bapak NM.S ini juga sangat memperhatikan masalah adat dan selalu aktif dalam acara-acara adat. Dilihat dari sikap siap dan mau melayani, Bapak ini mencerminkan sosok seorang Bapak yang bertanggungjawab dan Pelayan Tuhan yang sesuai dengan profesinya.

(57)

cerai menurut adat dilakukan sangat beresiko karena berhadapan pihak dalihan natolu untuk memisahkan mereka, dari segi adat batak ada semacam ini sangat mahal baik karena apihak parboru harus mengembalikan boli (segi material) dan baik dari segi moral dan psikis (rasa malu)”. Lalu saya melanjutkan pertanyaan saya mengenai Apa ada tindakan para tokoh Gereja kepada orang yang mengalami sirang so sirang sebagai solusi agar tidak terjadi Sirang so Sirang, Bapak NM.S menjawab: “Tokoh agama seharusnya menjadi mediator dalam merekonsiliasikan keduanya, karena itu adalah tugas dan tanggungjawab tokoh agama karena di gereja mereka dipersatukan. Biasanya hal seperti itu dilakukan konseling untuk memediasi mereka. Dan satu-satunya solusi yg ditawarkan gereja adalah memperdamaikannya karena ajaran gereja yg menekankan naso jadi sirang ia so ninirang ni hamatean.”

(58)

memilih untuk Sirang So Sirang saja, Pak NM.S menjawab: “Pendapat saya pribadi, orang Kristen Batak Toba memilih sirang so sirang lebih banyak didasari rasa malu, rasa malu ini sangat kental karena konsekwensi adat (khususnya pemahaman pernikahan) dan pandangan kekristenan. Pandangan kedua, pilihan sirang so sirang dipilih ketimbang perceraian oleh lembaga peradilan, tentu ada harapan akan ada jalan keluar terhadap yg mereka hadapi.”

Kemudian pada saat saya menanyakan mengenai apa makna keluarga dalam Batak Toba, Pak NM.S menjawab dengan sangat bersemangat “Wah ini sangat penting, bagi orang Batak berkeluarga adalah bagian dari pada kesempurnaan hidup, 'hagabeon', sanjungan hagabeon ini sangat memukul perasaan terhadap yg tidak punya anak.” Begitu katanya.

2. TM (Laki-laki)

TM adalah seorang pelayan Tuhan atau Pendeta yang melayani di salah satu Gereja HKBP di Kota Medan. TM lahir pada tanggal 1 Januari 1960 dan sekarang beliau sudah berusia 51 Tahun. Bapak ini menikah dengan Ibu EP dan sekarang memiliki 4 orang anak, yaitu 3 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan. Beliau sangat dianggap menjadi panutan yang dapat diikuti atau dicontoh dalam segala sikap dan perilaku nya di hadapan Jemaat-jemaatnya di tempat Bapak ini melayani. Sehingga hal tersebutlah yang membuat saya tertarik untuk menjadikan Bapak ini sebagai salah satu informan saya.

(59)

mengapa hal itu terjadi. Diantarnya masalah ekonomi. Dengan demikian jika "Sirang so Sirang" terjadi, itu merupakan suatu jalan untuk meredam masalah yang akan terjadi. Atau dengan kata lain, untuk menghindari masalah dalam RT semakin besar.” Setelah itu saya bertanya lagi mengenai apa memang betul sekarang sudah diperbolehkan adanya perpisahan di Etnis Batak Toba Kristen, lalu begini pendapat Bapak TM: “ Dalam KeKristenan memang tidak diperbolehkan untuk melakukan perpisahan (perceraian), Hal itu jelas dalam Alkitab dan Agenda HKBP. Seandainya pun terjadi pemisahan, itu hanya sementara dengan tujuan untuk memperbaiki hubungan dan mengingat kembali makna pernikahan (perkawinan) Kristen seturut dengan perjanjian yang mereka terima pada saat pemberkatan pernikahan melalui konseling. Setelah itu saya kembali bertanya mengenai Apa ada tindakan para tokoh Gereja kepada orang yang mengalami sirang so sirang sebagai solusi agar tidak terjadi Sirang so Sirang, jawab Bapak TM adalah: “Ada. Contoh solusinya seperti yang diatas, yaitu pemisahan dengan tujuan untuk memperbaiki hubungan.”

(60)

(Dalihan Natolu) menjadi suatu alasan sehingga tidak melakukan "perceraian", dengan demikian muncullah istilah untuk memperhalus keadaan yaitu "sirang so sirang", tanpa melihat/memperhatikan janji pernikahan dan pemberkatan yang telah diterima dalam gereja.”

Dalam Alkitab tertulis: "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Mat. 19:6). Dalam Agenda tertulis: Yang dipersatukan oleh Allah, tidak boleh dipisahkan oleh manusia. Dalam I Kor. 7:5, dikatakan: "Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak". Dari hal di atas, secara kristen tidak diperbolehkan bercerai. Jika ditemukan keluarga yang hendak bercerai, maka mereka akan dilakukan konseling dengan tujuan untuk memperbaiki hubungan. Pemisahan untuk sementara waktu, itu hanya istilah untuk menghindari sesuatu hal. Karena masalah dalam sebuah keluargakan ada tingkatannya. Misalkan, jika dalam keluarga tersebut terjadi pemukulan. Tentu langkah yang dilakukan adalah dipisahkan dulu atau salah seorang dipindah rumahkan kerumah keluarganya. Baru dilakukan suatu tindakan dengan tujuan untuk memperbaiki hubungan yang sudah retak dalam Rumah Tangga.

3. JM.S (Laki-laki)

(61)

pribadi yang sangat ramah dan rohani dalam kehidupan sehari-harinya. Bapak JM.S ini dari dulu memang bercita-cita sebagai seorang Pendeta dan Pengkhotbah Injil sejak muda. Menurut JM.S menjadi Pelayan Tuhan itu sangat menyenangkan dan memberikan pengalaman yang sangat luar biasa dalam segala sukacita. Ketika saya bertanya tenntang keluarga yang Sirang so Sirang, pendapat Bapak JM.S adalah Sirang so Sirang artinya adalah cerai gantung atau istilah trendnya pisah ranjang. ini adalah fenomena degradasi pada kesakralan pernikahan khususnya pernikahan kristen yang memang sudah dituliskan di dalam Alkitab.

Hari-hari diakhir zaman orang akan menjadi tidak peduli pada agama: 2 Timotius 3:1-5.

1. 3:1 Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar.

2. 3:2 Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama,

3. 3:3 tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik,

4. 3:4 suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah.

(62)

mengabaikan ajaran agama. mereka mengabaikan ajaran Kristus dan memilih mengikuti arus dunia yang seringkali mengalir ke arah yang salah.

Lalu saya melanjutkan mengenai apa ada tindakan para tokoh Gereja kepada orang yang mengalami sirang so sirang sebagai solusi agar tidak terjadi Sirang so Sirang, pendapat Bapak JM.S adalah bila ada pasangan yang mengalami S3 (istilah Bapak JM.S untuk sirang so sirang), tentu gereja hanya bisa bertindak sebatas wewenangnya yaitu menegur dan menasehati. di gereja kami ada namanya departemen Bimbingan dan Konseling. Salah satu tugasnya adalah membimbing dan mengkonseling pasangan yang mengalami S3 dengan tujuan agar mereka kembali menjadi keluarga yang menemukan hakekat yang sebanarnya dari pernikahan yaitu persekutuan yang intim. Kemudian saya melanjutkan mengenai apa memang betul sekarang sudah diperbolehkan adanya Perpisahan di Etnis Batak Toba Kristen. Pendapat JM.S adalah perpisahan untuk sementara agar dapat mengkoreksi dan introspeksi agar nanti kembali bersatu memang dijinkan. istilahnya adalah mediasi. Namun perceraian tidak akan pernah direstui oleh gereja, karena hanya maut yang dapat memisahkan sepasang suami istri. sampai untuk selamanya, perceraian tidak akan pernah diakui dan diijinkan oleh gereja Kristen. kalau toh ada etnis batak yang bercerai, itu bukan dalam lingkup gereja. itu murni adalah urusan yang bercerai dengan hukum.

4. JS (Laki-laki)

(63)

orang anak, 2 Perempuan dan 1 orang anak laki-laki. Sebagai pelayan di Gereja Bapak ini juga sangat peduli dengan adat Batak. Pendapat Bapak JS mengenai Sirang so Sirang adalah Sirang so sirang, inilah menggambarkan bahwa komunikasi dan kasih dikeluarga itu sudah hilang. Jika ada keluarga seperti ini sudah pasti sangat perlu pendampingan agar bisa pulih kembali. Karena jika dibiarkan pasti akan cerai. Pendapat Bapak JS mengenai tindakan para tokoh Gereja kepada orang yang mengalami sirang so sirang sebagai solusi agar tidak terjadi Sirang so Sirang adalah tindakan Gereja adalah mendampingi melalui pastoral. Lalu pendapat Bapak JS mengenai apakah memang betul sekarang sudah diperbolehkan adanya perpisahan di Etnis Batak Toba Kristen adalah sampai sekarang blom bisa di setujui perceraian di keluarga orang-orang Batak apalagi keluarga Kristen.

Kalau perpisahan bisa makanya ada pepatah orang batak :

“Napuran tanotano rangging mansirangoman badanta padaodao alai tondita marsigomgoman.” Kata Bapak JS.

5. AS (Laki-laki)

(64)

menjalankan ajaran agamnaya, AS juga termasuk laki-laki yang sangat menjunjung tinggi nilai adat Batak Toba.

Pandangan AS terhadap orang Batak Toba Kristen yang melakukan Sirang so sirang adalah orang yang melakukan Sirang so Sirang itu dikarenakan kurangnya pengetahuan atau pemahamannya tentang adat dan nilai agama yang sudah jelas-jelas ada dalam Batak Toba dan agama Kristen. Namun masyarakat kita yang tidak tahu atau kurang memahami semua itu tidak dapat kita salahkan sepenuhnya, karena dari awal dapat kita lihat bahwa memang adat yang terdapat pada Batak Toba sifatnya sangat mengikat dan rumit. Dengan kata lain susah dimengerti oleh sebagian besar masyarakat kita. “Jangankan masyarakat yang bukan Batak Toba Kristen, masyarakat Batak Toba Kristen itu sendiripun kurang paham” kata AS.

Lalu mengenai mengapa Sirang so Sirang pada Batak Toba Kristen sampai ada, menurut pandangan AS hal tersebut disebabkan oleh karena Sirang so Sirang adalah pilihan terakhir yang paling masuk akal untuk solusi masalah keluarganya yang mengalami masalah. Perpisahan adalah jalan yang tebaik menurut mereka tanpa adanya Perceraian.

6. RS (Perempuan)

(65)

dikaruniai 3 orang anak dan hidup mereka terasa lengkap dengan keluarga yang sehat dan kebutuhan ekonomi keluarga dapat terpenuhi.

Pandangan RS terhadap keluarga yang melakukan Sirang so Sirang adalah keluarga yang mengambil keputusan untuk Sirang so Sirang itu karena sebenarnya mereka sudah paham akan segala aturan yang mengikat dalam setiap adat Batak Toba. Justru karena mereka sudah mengerti konsekuensi adat yang sebenarnya tentang perceraian, maka mereka memilih untuk melakukan Sirang so Sirang. Sirang so Sirang dianggap menjadi solusi dalam masalah keluarganya dan sekaligus melepaskan diri dari sanksi-sanksi adat jika mereka memutuskan melakukan perceraian. Pandangan lain RS mengenai mengapa Sirang so Sirang pada Batak Toba Kristen sampai ada, menurutnya ya seperti yang dikatakan RS diatas tadi. Bahwa Sirang so Sirang ada itu dibuat oleh orang Batak Toba Kristen yang pada awalnya memang sudah tahu persis bagaimana konsekuensi akan Perceraian dalam adat. Oleh sebab itu maka ide atau istilah lain yang lebih halus atau lebih tidak akan merugikan orang yang ingin berpisah dalam status perkawinannya.

4.3. Hasil Interpretasi Data

4.3.1. Makna Perkawinan Pada Masyarakat Batak Toba

(66)
(67)

maskawin, hingga perceraian. Hukum adat warisan, hukum adat pemilikan tanah, hukum adat utang-piutang, hukum adat pelanggaran dan hukum dalam menyelesaikan perselisihan di masyarakat.

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi anatar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Pernikahan juga suatu hal yang sakral dan penting dalam kehidupan dua insan yang bertukar ikrar, termasuk keluarga mereka yang akan menyatu melalui kedua mempelai. Saat memutuskan untuk mengarungi kehidupan pernikahan, umumnya, kedua orangtua mempelai akan menyematkan harap untuk kedua mempelai. Setiap suku memiliki adat dan kebiasaan masing-masing. Tak terkecuali dalam adat Batak. Dalam pernikahan adat Batak, ada banyak tata aturan dan simbol. Dalam simbol-simbol tersebut, tersemat harap dan doa dari keluarga, kerabat, dan handai taulan.

Berikut ini pernyataan informan mengenai pandangan masyarakat tentang perkawinan sebagaimana dikemukakan oleh :

Informan L.T (Pr, 51 Tahun)

“Perkawinan dapat menyatukan laki-laki dan perempuan dalam ikatan resmi sebagai suami dan istri, perkawinan juga dapat meneruskan keturunan, serta juga dapat memberikan status sosial dalam masyarakat.” Menurut Informan S.S (Pr, 34 Tahun)

(68)

Perkawinan juga sebagai penerus keturunan, selain itu juga sebagai tanda bahwa kita sudah bias mempertanggungjawabkan sendiri didepan masyarakat secara sosial.”

Menurut Informan E.S (Pr, 24 Tahun)

“Perkawinan itu cara kita mengikat hubungan yang resmi sebagai suami istri. Perkawinan juga untuk meneruskan garis keturunan kita.”

Perkawinan adalah masalah yang pokok dalam kehidupan manusia , karena dengan perbuatan itu mempunyai pengaruh yang besar terhadap roda penghidupannya. Demikian juga halnya pada masyarakat Batak Toba, masalah perkawinan adalah masalah yang berpengaruh besar didalam hidupnya dan malah kadang-kadang merupakan fase yang menentukan didalam perjalanan hidup seseorang. Perkawinan atau pernikahan didefinisikan sebagai kegiatan seksual antara dua orang yang mendapat pengakuan dan persetujuan masyarakat (Giddens, ibid., dan Persell, 1987: 296) melalui lembaga resmi pernikahan, semacam Kantor Urusan Agama untuk Indonesia. Melalui pernikahan, suami istri akan membentuk sanak keluarga (kinship) yang lebih luas. Dengan pernikahan, terbentuklah institusi keluarga yang memiliki sejarah panjang mengenai fungsi tradisional yang ia jalankan. Dalam suku Batak Toba yang menganut sistem patrilinial yang lebih mengutamakan kedudukan anak laki-laki , apabila seorang

isteri telah melahirkan anak laki-laki maka posisinya sudah kuat didalam keluarga, akan tetapi jika hanya ada anak perempuan maka keluarga itu dianggap punah karena tidak ada anak laki-laki yang meneruskan marga ayahnya.

(69)

“Kata orang batak, menikah itu harus.. supaya ada keturunan yang melanjutkan di masa depan.”

Informan yang lainnya yaitu S.T (Pr,40 Tahun) mengatakan “Supaya ada status di masyarakat yang sah menjadi suami istri, supaya ada keturunan atau anak.”

Masyarakat Batak Toba memiliki sistem sosial budaya yang khas dan hanya terdapat dimasyarakat Batak saja yaitu yang disebut dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu meupakan ikatan kekerabatan adat istiadat pada suku Batak . Dalihan Na

Tolu disebut juga Tungku Nan Tiga yang artinya adalah merupakan ungkapan

yang menyatatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak. Dalihan Na Tolu terdiri dari :

1. Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati

posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).

2. Dongan Tubu/Kahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

(70)
(71)

diberikan oleh pihak Hula-hula kepada Boru nya. Orang Batak Toba menyakini bahwa Hula-hula itu merupakan “pipa”/sarana penyalur berkat dan bahkan disebut sebagai “Tuhan yang kelihatan”. Dari dan melalui mereka (Hula-hula), berkat akan mengalir atau tersalurkan. Akan tetapi, sekalipun mereka (Hula-hula) dikatakan sebagai yang memiliki posisi dan fungsi yang paling tinggi dalam sistem kekerabatan budaya orang Batak Toba, bukan berarti bahwa orang lain itu lebih rendah dalam arti harkat dan martabatnya. Sebab pada saat yang sama, orang lain itu juga memiliki dan mengemban posisi sebagai Hula-hula dalam lingkup keluarganya dengan orang lain. Sehingga, setiap orang itu adalah hula-hula di dalam konteks dan lingkup keluarganya masing-masing.

(72)

lebih rendah. Yang membedakannya adalah apakah dia sebagai kakak atau adik berdasarkan urutan keturunan dari leluhur (marga pertama).

(73)

adalah loyal dan berbelas kasih. Mereka itu harus disayang dan diperhatikan. Sikap ini termuat dalam ungkapan Elek Marboru. Elek Marboru artinya memiliki sikap lemah lembut, penuh kasih dan perhatian terhadap keluarga dari anak perempuan atau saudari perempuan kita (Boru). Elek marboru juga diartikan sebagai sikap penuh kasih sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi (vested interest) dan pamrih.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual. Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

4.3.2 Makna Perkawinan Pada Agama Kristen

(74)

bukan hanya di kehendaki mempelai dan keluarganya saja akan tetapi juga masyarakat (Djaren saragih, 1980; masyarakat dan hukum adat Batak Toba).

Sekedar memilih pasangan yang tepat tidaklah cukup untuk memiliki kehidupan perkawinan yang bahagia, lebih dari itu pasangan perlu memohon rahmat persatuan dari Tuhan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk memohon rahmat ini. Pertama, mereka harus membangun hubungan mereka dalam suatu cara yang layak untuk menerima rahmat Allah, dan bukannya mendatangkan kemalangan bagi diri mereka sendiri, sehingga perkawinan, sumber kebahagiaan yang murni, tidak menjadi sumber bagi sejumlah masalah yang dibuat oleh pasangan itu sendiri. Perkawinan dapat menjadi sebuah pengungsian, tetapi itu juga dapat menjadi kapal karam, bukan karena kodratnya, tetapi karena tangan-tangan yang menyalah gunakannya. Orang yang mematuhi peraturan dalam perkawinan akan menemukan dalam rumah dan isterinya, ketenangan dan penghiburan dari semua masalah yang ditemuinya di tempat lain. Sebaliknya mereka yang menikah secara sembarangan dan ceroboh, bahkan jika dia berhasil dalam urusan-urusan duniawinya, akan menemukan kekesalan dan tekanan di dalam rumahnya sendiri

Berikut adalah tanggapan atau pendapat Pdt. NM.S (Lk,39 Tahun) mengenai perkawinan.

(75)

dengan perantaraan pendeta, oleh sebab itu dalam kristen tidak ada kata cerai kecuali pasangannya meninggal, kalaupun ada orang kristen yang cerai saat istrinya masih hidup, gereja mengetahui status orang tersebut tidak akan memberkati pernikahan yang keduanya dengan demikian maka orang tersebut akan hidup dalam perzinahan dengan istri keduanya.”

Lalu menurut informan yang berikutnya yaitu Bapak Pdt. T.M mengatakan “Dalam Alkitab tertulis: "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Matius 19:6). Sehingga perkawinan dalam agama Kristen adalah sangat sakral dan merupakan tanggung jawab yang harus benar-benar dilaksanakan oleh kedua belah pihak.”

Kemudian Bapak Pdt. P.S juga mengutarakan hal yang sama mengenai perkawinan, yaitu

“Suatu hubungan 3 arah, yaitu Tuhan, suami dan istri. Suami dan istri yang menikah telah berjanji dihadapan Tuhan, oleh karena itu Tuhan juga dilibatkan. Mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Bersatu dalam suatu ikatan yang suci, Penyatuan dua pribadi dan Penyatuan 2 keluarga”

(76)

4.3.3. Makna Keluarga Dalam Masyarakat Batak Toba Kristen

(77)

ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat. 33 Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.

(78)

• Saling tunduk, yaitu saling berlaku dengan cara menerima

pertanggung-jawaban penuh atas peran mereka yang berbeda. • Saling membangun dalam iman Kristus

• Mengajar anak-anak mereka dan orang lain yang tinggal di rumah

agar mereka dapat mengenal Kristus.

• Memelihara kelakuan di rumah tangga yang sesuai dengan kesalehan

dan ukuran yang diterima pada umumnya.

Berikut adalah ungkapan bapak NM.S (Lk, 39 Tahun) mengemukakan keluarga dalam masyarakat Batak Toba Kristen itu adalah

“Keluarga sangat penting, bagi orang Batak berkeluarga adalah bagian dari pada kesempurnaan hidup, 'hagabeon', sanjungan hagabeon ini sangat memukul perasaan terhadap yg tidak punya anak.” Begitu katanya.

Bagi Informan LT (51 Tahun), Keluarga adalah

“Keluarga itu terdiri dari orang tua dan anak-anaknya.

Gambar

Tabel 4.1

Referensi

Dokumen terkait