• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Prevalensi Dan Faktor Risiko Penyakit Tuberkulosis Pada Sapi Perah Di Wilayah Bogor Serta Pengembangan Media Kultur Mycobacterium Bovis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Prevalensi Dan Faktor Risiko Penyakit Tuberkulosis Pada Sapi Perah Di Wilayah Bogor Serta Pengembangan Media Kultur Mycobacterium Bovis"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT

TUBERKULOSIS PADA SAPI PERAH DI WILAYAH BOGOR

SERTA PENGEMBANGAN MEDIA KULTUR

MYCOBACTERIUM BOVIS

MAZDANI ULFAH DAULAY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Tuberkulosis pada Sapi Perah di Wilayah Bogor serta Pengembangan Media Kultur Mycobacterium bovis adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Mazdani Ulfah Daulay

(4)
(5)

RINGKASAN

MAZDANI ULFAH DAULAY. Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Tuberkulosis pada Sapi Perah di Wilayah Bogor serta Pengembangan Media Kultur Mycobacterium bovis. Dibimbing oleh MIRNAWATI B.

SUDARWANTO, WIDAGDO SRI NUGROHO dan ETIH SUDARNIKA.

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksius yang tersebar luas di seluruh dunia yang disebabkan oleh infeksi organisme yang merupakan anggota

Mycobacterium tuberculosis complex (MTBC). Bakteri MTBC adalah kelompok

patogen yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada manusia, serta mengakibatkan kerugian ekonomi pada pertanian di dunia. Tuberkulosis zoonotik dapat menjadi ancaman utama bagi kesehatan masyarakat, tetapi belum ada informasi mengenai kejadian penyakit TB zoonotik dan faktor risikonya pada hewan di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan mengukur prevalensi kejadian penyakit TB pada sapi perah (bovine tuberculosis/BTB), mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang

mempengaruhi kejadian penyakit TB pada sapi perah, mengukur asosiasi kejadian penyakit TB pada sapi perah dengan faktor-faktor risiko yang mempengaruhinya, mendeteksi Mycobacterium bovis sebagai penyebab kejadian penyakit TB pada

sapi perah dengan metode multiplex polymerase chain reaction (PCR), serta

mengembangkan dan menilai kemampuan media modifikasi Ogawa agar (MOA) untuk menumbuhkan M. bovis, dibandingkan dengan media yang digunakan saat

ini, yaitu Löwenstein Jensen (LJ) dan modifikasi Ogawa (MO).

Penelitian ini merupakan kajian lintas seksional, dilaksanakan di lokasi sentra peternakan sapi perah di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor. Seluruh ternak sampel dituberkulinasi dengan Bovituber®PPD. Faktor risiko kejadian penyakit TB pada sapi perah diidentifikasi menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada peternak. Dengan menggunakan pertimbangan proporsionalitas populasi ternak, maka jumlah ternak yang dijadikan sampel di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), Kabupaten Bogor, adalah 166 ekor (50 peternakan),dan di Kebon Pedes, Kota Bogor, 36 ekor (10 peternakan).

Prevalensi TB kajian lintas seksional kejadian penyakit TB pada sapi perah di wilayah Bogor adalah 21.78% (SK 95% 16.09-27.47%). Faktor risiko yang signifikan dalam penelitian ini adalah ketinggian tempat <340 mdpl (OR 3.721, SK 95% 1.642-8.433), suhu tempat >28 °C (OR 2.573, SK 95% 1.077-6.145), dan intensitas cahaya di kandang <15 W m-2 (OR 2.749, SK 95% 1.204-6.275).

Metode multiplex PCR dapat menjadi alternatif terbaik untuk membedakan M. bovis dan M. tuberculosis. Dari 202 ternak yang telah diuji dengan uji

tuberkulin, 44 ekor ternak memberikan hasil yang positif. Dari 44 ternak yang positif terhadap uji tuberkulin, diambil 44 sampel feses dan swab hidung, 43

sampel susu. Peternak yang diambil dahaknya sebagai sampel berjumlah 24 sampel, berasal dari peternakan yang ternaknya positif terhadap uji tuberkulin. Ditemukan M. bovis pada 8 sampel feses ternak, 4 sampel swab hidung ternak, 9

sampel susu ternak. Ditemukan M. tuberculosis pada satu sampel dahak peternak.

Tiga ekor sapi memberikan hasil positif M. bovis pada dua jenis sampel, yaitu

(6)

peternakan yang ternaknya memberikan hasil positif M. bovis pada sampel

fesesnya.

Pemeriksaan kultur mikobakteri merupakan diagnosis definitif terhadap TB, tetapi media kultur komersial untuk Mycobacterium bovis masih jarang tersedia.

Suspensi bakteri M. bovis dan M. phlei dalam phosphate buffer saline (PBS)

dengan konsentrasi 105 cfu/ml masing-masing diinokulasikan 0.1 ml pada media LJ, MO dan MOA, masing-masing lima tabung untuk tiap media. Bakteri M. phlei

tumbuh pada semua media mulai hari ke-4. Bakteri M. bovis tumbuh pada media

LJ dan MO mulai hari ke-17, tetapi tidak berhasil tumbuh pada media MOA. Perbandingan jumlah koloni M. phlei yang tumbuh pada media LJ dan MOA

berbeda nyata secara statistik. Kemampuan media MOA untuk menumbuhkan M. phlei berbeda jika dibandingkan dengan media LJ. Koloni M. phlei pada media

MOA lebih mudah dipanen, dan pembuatannya lebih sederhana dibandingkan dengan media LJ. Kemampuan media LJ dan MO dalam menumbuhkan M. bovis

tidak ada perbedaan, tetapi media MO lebih sederhana dibandingkan dengan media LJ. Media MOA mampu menumbuhkan M. phlei, tetapi dalam penelitian

ini belum terbukti mampu menumbuhkan M. bovis.

Penyakit TB pada sapi ada di Indonesia, dan TB zoonotik harus diwaspadai sebagai ancaman potensial bagi kesehatan masyarakat. TB zoonotik dapat menjadi ancaman utama bagi kesehatan masyarakat karena kontak langsung antara hewan dan pemiliknya, serta pasteurisasi susu masih belum dilaksanakan dengan optimal.

Kata kunci: Mycobacterium bovis, prevalensi, bovine tuberculosis, faktor risiko,

(7)

SUMMARY

MAZDANI ULFAH DAULAY. Prevalence and Risk Factors of Tuberculosis in Dairy Cattle in Bogor, West Java, Indonesia, and Development of Culture Medium for Mycobacterium bovis. Supervised by MIRNAWATI B.

SUDARWANTO, WIDAGDO SRI NUGROHO and ETIH SUDARNIKA.

Tuberculosis (TB) is one of the most wide-spread infectious disease all over the world, commonly caused by infection of organism which is a member of

Mycobacterium tuberculosis complex (MTBC). MTBC is a group of pathogens

that exacts devastating tolls on human morbidity and mortality, and inflicts damaging economic losses on world agriculture. Zoonotic tuberculosis could be a major threat for public health, but there is no prior information of zoonotic TB incidence in cattle and the risk factors in cattle in Indonesia.

The aims of this study were to determine the prevalence of bovine tuberculosis (BTB); to identify factors associated with BTB infection; to measure the strength of association between the risk factors and BTB infection; to detect

Mycobacterium bovis as a causal of TB in dairy cattle by multiplex polymerase

chain reaction (PCR) method; to develop and evaluate the ability of culture media modified Ogawa agar (MOA) for M. bovis cultivation, in comparison with

available culture media, i.e. Löwenstein Jensen (LJ) and modified Ogawa (MO). This research was a cross-sectional study, conducted by sampling the cattle in Kawasan Usaha Peternakan/KUNAK (dairy farm region center), in Bogor District, and in Kebon Pedes (Bogor City). The single intradermal tuberculin test was conducted in all sampling cattle using Bovituber®PPD. The risk factors associated with BTB infection were identified by using a questionnaire through interview with the cattle owners/farmers. Considering proportion of cattle population, the number of sampling cattle in KUNAK was 166 cattle (50 farms) and 36 cattle (10 farms) in Kebon Pedes.

The overall cattle prevalence of BTB was 21.78% (CI 95% 16.09-27.47%). Risk factors statistically significant in this study were altitude <340 m above sea level/masl (OR 3.721, CI 95% 1.642-8.433), air temperature >28 °C (OR 2.573, CI 95% 1.077-6.145), and light intensity <15 W m-2 (OR 2.749, CI 95% 1.204-6.275).

Current method, such as multiplex PCR, could be the best alternative strategy to differentiate M. bovis from M. tuberculosis. From 202 dairy cattle

tested with single intradermal tuberculin test, 44 dairy cattle were positive. From 44 dairy cattle which were positive against tuberculin test, 44 faeces samples, 44 nasal swab samples, 43 milk samples were obtained. Sputum samples of 24 farmers were also obtained, from farms where the tuberculin test was positive in dairy cattle. Mycobacterium bovis were found in 8 faeces samples, 4 nasal swab

samples, 9 milk samples. Mycobacterium tuberculosis was found in one farmer’s

sputum sample. Three dairy cattle were positive of M. bovis in two kind of

samples, i.e. faeces and milk samples. The farmer who was positive of M. tuberculosis, came from farm where the cattle was found positive of M. bovis in

faeces sample.

(8)

rarely available. Suspension of 105 cfu/ml M. bovis and M. phlei in phosphate

buffer saline (PBS) was inoculated to media LJ, MO and MOA, 0.1 ml each. Five tubes each media. Mycobacterium phlei grew in every medium since day 4. Mycobacterium bovis grew in media LJ and MO since day 17, but failed to grow

in medium MOA. The recovery rate of M. phlei in LJ and MOA were

significantly different. The ability of MOA to cultivate M. phlei was different

from LJ. Colonies of M. phlei in MOA were easier to be harvested, much simpler

to prepare and more feasible than medium LJ. The recovery rate of M. bovis in

media LJ and MO were not significantly different, but medium MO were much simpler to prepare and more feasible than medium LJ. Medium MOA were able to cultivate M. phlei, but proven unable to cultivate M. bovis in this research.

TB in cattle was found in Indonesia, and zoonotic TB should be alerted as a potential threat to public health. Zoonotic TB could be a major threat for public health due to direct contact between cattle and the owner or farmer, and pasteurization in milk is still not well implemented.

Keywords: Mycobacterium bovis, prevalence, bovine tuberculosis, risk factors,

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

KAJIAN PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT

TUBERKULOSIS PADA SAPI PERAH DI WILAYAH BOGOR

SERTA PENGEMBANGAN MEDIA KULTUR

MYCOBACTERIUM BOVIS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr med vet Drh I Wayan T. Wibawan, MS Dr med vet Drh Denny W. Lukman, MSi

(13)

Judul Disertasi : Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Tuberkulosis pada Sapi Perah di Wilayah Bogor serta Pengembangan Media Kultur

Mycobacterium bovis

Nama : Mazdani Ulfah Daulay

NIM : B261100041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr med vet drh Mirnawati B. Sudarwanto Ketua

Dr drh Widagdo Sri Nugroho, MP Anggota

Dr Ir Etih Sudarnika, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Tuberkulosis pada Sapi Perah di Wilayah Bogor serta Pengembangan Media Kultur

Mycobacterium bovis.

Penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Prof Dr med vet drh. Mirnawati B. Sudarwanto selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr drh Widagdo Sri Nugroho, MP dan Dr Ir Etih Sudarnika, MSi sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan, saran dan masukan mulai dari perencanaan hingga selesainya penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Prof Dr med vet drh I Wayan T. Wibawan, MS dan Dr med vet drh Denny W. Lukman, MSi sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup, serta Prof Dr drh Bambang Sumiarto, SU, MSc dan Prof Dr med vet drh I Wayan T. Wibawan, MS sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka Ujian Doktor Sekolah Pascasarjana atas saran, masukan, kritik, serta koreksinya dalam menyempurnakan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Drh Agus Setiyono, MSc, PhD, APVet, selaku Pimpinan Sidang pada Sidang Tertutup, dan Prof drh Srihadi Agungpriyono, PhD, APVet, selaku Pimpinan Sidang pada Sidang Terbuka Ujian Doktor Sekolah Pascasarjana.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Dekan Pascasarjana, serta Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pertanian, melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian, yang telah memberikan beasiswa untuk studi penulis. Terimakasih penulis ucapkan pula kepada Kepala Badan Karantina Pertanian, Sekretaris Badan Karantina Pertanian, Kepala Pusat Karantina Hewan, Kepala Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian beserta seluruh staf yang telah membantu dan mendukung studi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada drh. Darwela Nuraisyah, dari Pfizer/Zoetis, atas bantuannya untuk memperoleh Bovituber®PPD. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor serta Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota Bogor, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Kabupaten dan Kota Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada Bapak Asep (paramedis di KUNAK), Olavio, SKH, Bapak Henry (paramedis di Kebon Pedes), Hilya dan Putri, yang telah sangat membantu pelaksanaan pengambilan sampel di lapangan.

(16)

Bapak Agus Haryanto, staf administrasi Departemen IPHK, FKH IPB, yang telah banyak membantu selama penelitian.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Rahmat Setya Adji, Heri Yulianto, Annytha Ina Rohi Detha, Rismayani Saridewi dan Ferry D. Maitindom atas kebersamaan dan kekompakan dalam studi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sarib Murtado (Alm.), Ibu Ninut dan Bapak Mardikanto, serta teman-teman di Cempaka 13 atas kebersamaannya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu drh. Tahyanti, atas bantuannya selama ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian dan teman-teman di Badan Karantina Pertanian, yang selama ini selalu memberi dukungan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orangtua penulis, ayahanda H. B. Daulay (Alm.) dan ibunda Hj. Latifah Hanum Hasibuan, juga kepada kakak H. Raja Ali Sabri Daulay, SE (Alm.), Annim Hasibuan, Rahman Daulay, Rasyid Daulay, adik drh. Rosmalina Sari Dewi Daulay dan drh. Kusumo Mektanto, serta H. Mohammad Ali Karim Daulay, SE dan Fitri Agung Wijayati, SE, atas doa, kasih sayang dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi.

Dalam penulisan disertasi ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan disertasi ini. Harapan penulis semoga tulisan ini bermanfaat untuk meningkatkan ilmu pengetahuan kita.

Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT berkenan melimpahkan rahmat dan ridho-Nya kepada kita semua.

Bogor, Juni 2015

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

2 KAJIAN PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT

TUBERKULOSIS PADA SAPI PERAH DI WILAYAH BOGOR 5

Abstract 5

Abstrak 5

Pendahuluan 6

Metode 6

Hasil dan Pembahasan 8

Simpulan dan Saran 20

3 DETEKSI MYCOBACTERIUM BOVIS DENGAN METODE MULTIPLEX

POLYMERASE CHAIN REACTION 21

Abstract 21

Abstrak 21

Pendahuluan 21

Metode 23

Hasil dan Pembahasan 27

Prosedur Analisis Data 28

Simpulan dan Saran 33

4 PENGEMBANGAN MEDIA PADAT UNTUK KULTIVASI

MYCOBACTERIUM BOVIS 34

Abstract 34

Abstrak 34

Pendahuluan 35

Metode Penelitian 36

Hasil dan Pembahasan 38

Simpulan 43

5 PEMBAHASAN UMUM 44

Pengembangan Media Padat untuk Kultivasi Mycobacterium bovis 49

6 SIMPULAN DAN SARAN 51

Simpulan 51

Saran 51

(18)

LAMPIRAN 55

(19)

DAFTAR TABEL

1 Peubah-peubah faktor lingkungan dan manajemen peternakan yang diduga memiliki asosiasi terhadap kejadian TB dan menjadi kandidat

peubah pada model regresi logistik 12

2 Peubah yang terpilih dalam persamaan regresi model terbaik kejadian

TB pada ternak 18

3 Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian TB pada ternak 18 4 Rangkuman Hasil PCR untuk seluruh jenis sampel 33 5 Perbandingan komposisi media Löwenstein Jensen (LJ), modifikasi

Ogawa (MO), dan modifikasi Ogawa agar (MOA) 38

6 Pertumbuhan M. phlei pada media Löwenstein Jensen (LJ), modifikasi

Ogawa (MO), dan modifikasi Ogawa agar (MOA) 40

7 Pertumbuhan M. bovis pada media Löwenstein Jensen (LJ), dan

modifikasi Ogawa (MO) 41

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka konsep penelitian 7

2 Hasil PCR terhadap sampel feses ternak yang positif tuberkulinasi (F1-F24). M = marker, TB = kontrol positif M. tuberculosis, B = kontrol

positif M. bovis. Ada pita DNA 161 pb pada ternak 16.1 (kolom 10),

ternak 16.2 (kolom 11), ternak 21.1 (kolom 12), dan ternak 46.1 (kolom

23) 28

3 Hasil PCR terhadap sampel feses ternak yang positif tuberkulinasi (F25-F44). M = marker, TB = kontrol positif M. tuberculosis, B =

kontrol positif M. bovis. Ada pita DNA 161 pb pada ternak 56.3 (kolom

35), ternak 57.2 (kolom 36), ternak 57.7 (kolom 38), dan ternak 59.3

(kolom 43) 29

4 Hasil PCR terhadap sampel swab hidung ternak yang positif

tuberkulinasi (H1-H19). M = marker, TB = kontrol positif M. tuberculosis, B = kontrol positif M. bovis. Ada pita DNA 161 pb pada

ternak 7.8 (kolom 3), ternak 9.1 (kolom 4), ternak 14.1 (kolom 8), dan

ternak 15.2 (kolom 9) 29

5 Hasil PCR terhadap sampel swab hidung ternak yang positif

tuberkulinasi (H20-H44). M = marker, TB = kontrol positif M. tuberculosis, B = kontrol positif M. bovis. Tidak ada pita DNA pada

H20-H44 30

6 Hasil PCR terhadap sampel susu ternak yang positif tuberkulinasi (S1-S24, tanpa S8 karena ternak nomor urut 8 adalah sapi dara). M = marker, TB = kontrol positif M. tuberculosis, B = kontrol positif M. bovis. Ada pita DNA 161 pb pada ternak 13.2 (kolom 7), ternak 16.1

(kolom 10), ternak 21.1 (kolom 12), ternak 38.1 (kolom 20), dan ternak

39.5 (kolom 21) 31

7 Hasil PCR terhadap sampel susu ternak yang positif tuberkulinasi (S25-S44). M = marker, TB = kontrol positif M. tuberculosis, B = kontrol

(20)

ternak 55.3 (kolom 33), ternak 57.4 (kolom 37), dan ternak 57.7 (kolom

38) 31

8 Hasil PCR terhadap dahak peternak yang positif tuberkulinasi (D1-D24). M = marker, TB = kontrol positif M. tuberculosis, B = kontrol

positif M. bovis. Ada pita DNA 261 pb pada peternak ke-24 (kolom 24) 32

9 Media Löwenstein Jensen/LJ (A), modifikasi Ogawa/MO (B), dan

modifikasi Ogawa agar/MOA (C) 39

10 Pertumbuhan M. phlei pada media Löwenstein Jensen/LJ (A),

modifikasi Ogawa/MO (B), dan modifikasi Ogawa agar/MOA (C) 40 11 Pertumbuhan M. bovis pada media Löwenstein Jensen/LJ (A),

modifikasi Ogawa/MO (B), dan modifikasi Ogawa agar/MOA (C) 41 12 Lipatan kulit diukur dengan jangka sorong sebelum tuberkulinasi 78 13 Ketebalan lipatan kulit diukur 72 jam setelah tuberkulinasi (>4 mm) 78

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner identifikasi faktor risiko penyakit tuberkulosis pada sapi

perah di wilayah Bogor 55

2 Surat keterangan satu artikel diterima dalam jurnal ilmiah nasional

terakreditasi (Jurnal Veteriner) 66

3 Satu artikel sedang dalam proses review jurnal ilmiah internasional

terakreditasi (Pakistan Veterinary Journal) 67

(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksius yang tersebar luas di seluruh dunia yang disebabkan oleh infeksi organisme yang merupakan anggota

Mycobacterium tuberculosis complex (MTBC). Bakteri MTBC adalah kelompok

patogen yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada manusia, serta mengakibatkan kerugian ekonomi pada pertanian di dunia (Keating et al.

2005). Bakteri MTBC terdiri atas kelompok mikobakteri yang sangat erat hubungannya, meliputi beberapa spesies, yaitu M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. canetti, M. pinnipedii, M. caprae, M. microti (Olsen et al. 2010).

Bakteri MTBC juga terdiri atas beberapa varian yang status taksonominya masih menjadi subjek perdebatan (Lake et al. 2009). Bakteri MTBC meliputi semua

mikobakteri yang menginduksi TB pada mamalia (de la Rua-Domenech 2006). Karakteristik MTBC yang membedakannya dari mikobakterilainnya adalah pertumbuhannya yang lambat. Organisme ini terinaktivasi oleh suhu pasteurisasi normal (Lake et al. 2009). Tuberkel basili berbentuk batang, berukuran 0.6-1.0 x

1.0-10 µm, non motil, tidak membentuk spora, flagella, maupun kapsula. Tuberkel basili bersifat aerob obligat. Ciri pewarnaan yang paling diperhatikan adalah tahan asam: jika diwarnai akan tahan terhadap diskolorisasi dengan 3% HCl dalam etanol. Kandungan lipid yang tinggi pada dinding selnya mencegah warna anilin standar, sehingga saat diwarnai dengan prosedur pewarnaan khusus, mikobakteri tahan terhadap dekolorisasi. Mikobakteri tidak mudah diwarnai dengan metode Gram meskipun bakteri ini bersifat gram positif secara sitokimiawi, sehingga bakteri ini dipertimbangkan sebagai bakteri gram positif lemah. Mikobakteri dapat diwarnai dengan warna fluoresen (auroamine-rhodamine) (Biberstein dan Hirsh

1999; Olsen et al. 2010).

Sel mikobakteri mengandung banyak lipid, khususnya dalam dindingnya. Lipid diperhitungkan untuk sifat tahan asam dan sifat patogenik serta imunologiknya. Mikosida permukaan (kebanyakan glikolipid dan peptidoglikolipid) menentukan karakteristik koloni, spesifisitas serologis, dan kerentanan terhadap bakteriofag. Hal-hal tersebut menentukan kemampuan bertahan bakteri dalam makrofag. Lapisan di bawah permukaan asam mikolik rantai panjang bercabang dan ikatan esternya menciptakan lipid dinding sel dalam jumlah besar. Sifat tahan asamnya bergantung pula pada unsur dinding sel ini. Asam mikolik terhubung dengan lapisan peptidoglikan terdalam oleh alur arabinogalaktan. “Lapisan lilin D”, otolisat M. tuberculosis, mengandung unsur

semua bagian dinding sel, memiliki aktivitas adjuvan, mengaktifkan makrofag, khususnya menstimulasi respon imun yang dimediasi sel termasuk hipersensitivitas tipe lambat, dan menginduksi pembentukan granuloma. Satu macam unsurnya, yaitu faktor cord (dimycolyl trehalose), mampu menghentikan

neutrofil, berperan sebagai adjuvan, menimbulkan respon granulomatosa, dan

menyebabkan gangguan pada mitokondria, yang berakibat pada gangguan respirasi sel (Biberstein dan Hirsh 1999).

(22)

2

respiratorik dan fusi fagolisosom, dan dapat mengganggu fungsi oksigen reaktif intermediet setelah tuberkel basili ditelan oleh makrofag. Komponen lipid berdampak pada patogenesis. Mikosida, fosfolipid dan sulfolipid melindungi tuberkel basili dari serangan fagosit. Lipid lain dapat menghasilkan granuloma, dan bersama dengan protein-tuberkulo menstimulasi respon yang dimediasi sel, sifat pokok TB. Infeksi dimulai dengan deposisi tuberkel basili dalam paru-paru atau pada membrana mukosa faringeal atau intestinal. Pada hewan yang sebelumnya tidak terpapar, perbanyakan lokal akan muncul jika makrofag menelan bakteri. Daya tahan terhadap serangan fagosit (lebih cenderung karena sifat kimiawi dinding sel dan penghindaran terhadap ruang endosomal) mengakibatkan kelanjutan multiplikasi di dalam dan di luar sel. Respon radang melibatkan histiosit dan monosit yang berkembang di sekitar pusat proliferasi organisme. Sel inang yang terinfeksi bersama bakteri mencapai nodus limfe yang mengering, tempat respon proliferasi dan keradangan berlanjut (Biberstein dan Hirsh 1999).

Mycobacterium bovis merupakan agen penyebab mayoritas kasus TB pada

ternak (bovine tuberculosis/BTB), baik spesies hewan domestik maupun mamalia

liar. Bakteri ini menyebabkan penyakit saluran pernapasan yang kronis dan progresif. Infeksi dapat disebarkan melalui susu atau daging yang terkontaminasi, atau secara langsung melalui inhalasi/aerosol dari hewan atau karkas terinfeksi. Dalam dua dekade terakhir, infeksi pada manusia akibat bakteri ini terhitung kecil proporsinya (0.5-7.2%) pada negara-negara industri. Sebaliknya, di negara-negara berkembang infeksi M. bovis merupakan ancaman utama bagi kesehatan

masyarakat (Grange dan Yates 1994; Cosivi et al. 1998; Ayele et al. 2004; Lake et al. 2009). Akibat kurangnya kemampuan laboratorium dalam mengisolasi dan

mendeferensiasi organisme ini dari bakteri MTBC lainnya, kasus-kasus TB yang disebabkan oleh M. bovis pada kebanyakan negara berkembang tidak diketahui,

meskipun tampaknya lebih tinggi dibandingkan dengan di negara-negara industri (Cosivi et al. 1998).

Di negara-negara maju, program pengendalian dan eliminasi TB pada hewan, secara bersamaan dengan pasteurisasi susu, telah menurunkan insidensi penyakit yang disebabkan oleh M. bovis secara drastis pada ternak maupun

manusia. Sebaliknya, proporsi kasus yang disebabkan oleh M. bovis signifikan di

negara-negara berkembang, karena TB pada hewan terdistribusi secara luas, terjadi kontak langsung antara hewan dan pemiliknya, tindakan pengendalian tidak diterapkan secara konsisten, serta pasteurisasi susu masih belum dilaksanakan secara optimal. Korelasi langsung antara infeksi M. bovis pada

ternak dan penyakit pada populasi manusia telah terdokumentasi dengan baik di negara maju. Sementara hanya sedikit informasi yang tersedia dari negara-negara berkembang (Cosivi et al. 1998).

Di negara-negara berkembang, selain kondisi yang dibutuhkan oleh M. bovis untuk dapat ditransmisikan ke manusia selalu tersedia, populasi manusia

semakin rentan pula terhadap penularannya akibat kemiskinan, HIV dan berkurangnya akses ke pelayanan kesehatan. Persentase M. bovis yang sebenarnya

pada kasus-kasus TB pada manusia seringkali sulit untuk ditetapkan, karena umumnya diagnosis TB dibuat hanya berdasarkan preparat ulas dahak (Thoen et al. 2006). WHO melaporkan pada tahun 1998 bahwa 3.1% kasus TB pada

(23)

3 dahak dari pasien di negara-negara Afrika kemungkinan adalah M. bovis. Hal ini

dapat terjadi meskipun faktanya M. bovis lebih sering berasosiasi dengan penyakit

ekstrapulmoner pada manusia (Cosivi et al. 1998).

Pada beberapa studi, dari seluruh strain MTBC yang diisolasi dari pasien manusia yang berlokasi di pedesaan adalah M. bovis, sementara angka prevalensi

infeksi M. bovis di perkotaan cenderung rendah. Namun demikian, hanya terdapat

sangat sedikit studi yang menginvestigasi prevalensi TB zoonotik pada komunitas pedesaan di negara-negara berkembang (Michel et al. 2010).

Secara keseluruhan proporsi M. bovis yang menyebabkan TB pada manusia

sangat rendah jika dibandingkan dengan M. tuberculosis, namun dampak

potensialnya pada kelompok populasi dengan risiko tertinggi tidak boleh diabaikan. Paparan terhadap infeksi M. bovis melalui aerosol dari ternak tetap

tertinggi pada peternak, petugas pelayanan kesehatan hewan yang menangani kesehatan ternak, serta pekerja pedesaan dan rumah potong hewan. Di negara-negara berkembang, etnis, ritual budaya dan keagamaan, sebagaimana faktor-faktor sosio-ekonomi telah diidentifikasi sebagai kontributor tambahan terhadap peningkatan kemunculan infeksi M. bovis pada manusia. Diferensial diagnosis

harus menjadi prioritas dalam rencana pengendalian untuk mengoptimalkan keterlibatan petugas pelayanan kesehatan hewan yang dimaksudkan untuk menurunkan penyakit pada manusia yang bersumber dari hewan. Namun demikian, metode yang tepat untuk diferensial diagnosis di negara-negara berkembang tidak tersedia (Michel et al. 2010).

Diagnosis TB dan monitoring kemajuan pengendaliannya sangat bergantung pada pemeriksaan bakteriologis terhadap spesimen klinis (Weyer et al. 1998a).

Beberapa metode diagnosis TB pada ternak yang ada saat ini antara lain: preparat ulas dahak menggunakan pewarnaan asam, tuberkulin, uji gamma interferon, uji proliferasi limfosit, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan polymerase chain reaction (PCR). Akan tetapi, diagnosis definitif terhadap TB hanya dapat

dilakukan dengan pemeriksaan kultur mikobakteri (OIE 2009).

Media yang dapat menumbuhkan M. tuberculosis adalah media Löwenstein Jensen (LJ) yang mengandung telur dan diperkaya dengan gliserol dan asparagin,

serta media agar/cair yang diberi serum atau albumin sapi. Metode kultur meningkatkan jumlah kasus TB yang dapat ditemukan, dan mendeteksi kasus lebih dini, sebelum menjadi infeksius. Tuberkel basili mudah terhambat pertumbuhannya oleh kontaminan yang mampu tumbuh dengan cepat, misalnya bakteri lain dan jamur (Weyer et al. 1998a).

Media LJ maupun Ogawa dapat diperoleh dalam bentuk siap pakai, dengan harga yang cukup mahal. Media komersial yang umum tersedia adalah media untuk menumbuhkan M. tuberculosis. Media komersial untuk menumbuhkan M. bovis masih jarang tersedia, bahkan pengembangan media kultivasi M. bovis pun

jarang dilakukan. Media untuk menumbuhkan M. bovis dapat dibuat sendiri untuk

menghemat biaya, akan tetapi pembuatannya tidak sederhana.

(24)

4

dibutuhkan media alternatif yang mampu menumbuhkan M. bovis dengan cara

pembuatan yang lebih sederhana, dengan biaya yang lebih murah, dan menghasilkan pertumbuhan M. bovis yang lebih baik. Media alternatif ini dibuat

dengan memodifikasi media yang sudah ada saat ini.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan (1) mengukur prevalensi kejadian penyakit TB pada sapi perah, (2) mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kejadian penyakit TB pada sapi perah, (3) mengukur asosiasi kejadian penyakit TB pada sapi perah dengan faktor-faktor risiko yang mempengaruhinya, (4) mendeteksi

Mycobacterium bovis sebagai penyebab kejadian penyakit TB pada sapi perah

dengan metode multiplex polymerase chain reaction (PCR), serta (5)

mengembangkan dan menilai kemampuan media modifikasi Ogawa agar (MOA) untuk menumbuhkan Mycobacterium bovis, dibandingkan dengan media yang

digunakan saat ini, yaitu Löwenstein Jensen (LJ) dan modifikasi Ogawa (MO).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pengambil kebijakan bidang kesehatan hewan agar dapat diambil langkah yang tepat untuk pencegahan dan pengendalian kasus TB pada ternak, dan menyediakan media alternatif yang mampu menumbuhkan M. bovis dengan lebih murah, lebih

(25)

2

KAJIAN PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT

TUBERKULOSIS PADA SAPI PERAH DI WILAYAH

BOGOR

Abstract

Zoonotic tuberculosis (TB) could be a major threat for public health, but there is no prior information of zoonotic TB incidence in cattle and the risk factors in cattle in Indonesia. The aims of this study were to determine the prevalence of bovine tuberculosis (BTB) and to identify risk factors associated with BTB infection. This research was a cross-sectional study, conducted by sampling the cattle in Kawasan Usaha Peternakan/KUNAK (dairy farm region center), in Bogor District and Kebon Pedes (Bogor City). The single intradermal tuberculin test was conducted in all sampling cattle using Bovituber®PPD. The risk factors associated with BTB infection were identified by using a questionnaire through interview with the cattle owners/farmers. Considering proportion of cattle population, the number of sampling cattle in KUNAK was 166 cattle (50 farms) and 36 cattle (10 farms) in Kebon Pedes. The overall cattle prevalence of BTB was 21.78% (CI 95% 16.09-27.47%). Risk factors statistically significant in this study involved altitude <340 m above sea level/masl (OR 3.721, CI 95% 1.642-8.433), air temperature >28 °C (OR 2.573, CI 95% 1.077-6.145), and light intensity <15 W m-2 (OR 2.749, CI 95% 1.204-6.275). TB in cattle was found in Indonesia, and zoonotic TB should be alerted as a potential threat to public health.

Keywords: cross-sectional study, prevalence, bovine tuberculosis, risk factors

Abstrak

Tuberkulosis (TB) zoonotik dapat menjadi ancaman utama bagi kesehatan masyarakat, tetapi belum ada informasi mengenai kejadian penyakit TB zoonotik dan faktor risikonya pada hewan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan mengukur prevalensi kejadian penyakit TB pada sapi perah (Bovine Tuberculosis/BTB), dan

(26)

6

pada ternak ada di Indonesia, dan TB zoonotik harus diwaspadai sebagai ancaman potensial bagi kesehatan masyarakat.

Kata kunci: kajian lintas seksional, prevalensi, bovine tuberculosis, faktor risiko

Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh infeksi organisme yang merupakan anggota Mycobacterium tuberculosis complex

(MTBC). Bakteri MTBC merupakan kelompok patogen yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada manusia, serta mengakibatkan kerugian ekonomi pada pertanian di dunia (Keating et al. 2005). Bakteri MTBC

meliputi semua mikobakteri yang menginduksi TB pada mamalia (de la Rua-Domenech 2006). Bakteri MTBC terdiri atas kelompok mikobakteri yang sangat erat hubungannya, meliputi beberapa spesies, yaitu M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. canetti, M. pinnipedii, M. caprae, M. microti (Olsen et al. 2010).

Mycobacterium bovis merupakan agen penyebab mayoritas kasus TB pada

ternak (bovine tuberculosis/BTB), baik spesies hewan domestik maupun mamalia

liar. Bakteri ini menyebabkan penyakit saluran pernapasan yang kronis dan progresif. Infeksi dapat disebarkan melalui susu atau daging yang terkontaminasi, atau secara langsung melalui inhalasi/aerosol dari hewan atau karkas terinfeksi. Dalam dua dekade terakhir, infeksi pada manusia akibat bakteri ini terhitung kecil proporsinya (0.5-7.2%) pada negara-negara industri (Grange dan Yates 1994; Cosivi et al. 1998; Lake et al. 2009). Sebaliknya, di negara-negara berkembang

infeksi M. bovis merupakan ancaman utama bagi kesehatan masyarakat (Ayele et al. 2004).

Saat ini belum ada informasi mengenai kejadian penyakit TB zoonotik dan faktor risikonya pada hewan di Indonesia. Hal ini terjadi karena tidak adanya laporan ledakan penyakit TB pada ternak hingga saat ini. TB zoonotik dapat menjadi ancaman utama bagi kesehatan masyarakat karena kontak langsung antara hewan dan pemiliknya, pasteurisasi susu masih belum dilaksanakan dengan optimal, dan tidak dilakukannya lagi uji tuberkulin pada ternak di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan (1) mengukur prevalensi kejadian penyakit TB pada sapi perah, (2) mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kejadian penyakit TB pada sapi perah, dan (3) mengukur asosiasi kejadian penyakit TB pada sapi perah dengan faktor-faktor risiko yang mempengaruhinya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pengambil kebijakan bidang kesehatan hewan agar dapat diambil langkah yang tepat untuk pencegahan dan pengendalian kasus TB pada ternak.

Metode Kerangka Konsep Penelitian

(27)

7 pertanyaan-pertanyaan untuk mengidentifikasi faktor risiko kejadian penyakit TB pada sapi perah. Kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka konsep penelitian Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan Februari 2015 di lokasi sentra peternakan sapi perah di wilayah Bogor, yaitu Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), Kabupaten Bogor, dan Kebon Pedes, Kota Bogor. Penentuan Ukuran Sampel dan Teknik Penarikan Sampel

Studi ini merupakan kajian lintas seksional. Ukuran sampel dihitung menurut rumus yang digunakan untuk studi lintas seksional (Dohoo et al. 2003).

Diasumsikan tingkat kepercayaan sebesar 95%, prevalensi penyakit TB (p) adalah 14.31%, didasarkan pada hasil studi TB pada sapi perah yang dilakukan di India oleh Thakur et al. (2010), dan galat maksimum yang diharapkan (L) adalah 5%,

diperoleh ukuran sampel sebesar 196.

Lokasi peternakan sapi perah yang menjadi target sampel adalah sentra peternakan sapi perah di wilayah Bogor, yaitu Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) yang tergabung dalam Koperasi Peternak Sapi Perah (KPS) Bogor (Kabupaten Bogor), para peternak di KPS Giri Tani (Kab. Bogor), dan peternakan rakyat di Kebon Pedes (Kota Bogor). Peternak yang tergabung dalam KPS Giri Tani dikeluarkan dari target, karena menolak untuk dijadikan sampel. Jumlah populasi sapi perah di KUNAK 2 699 ekor, dan di Kebon Pedes 400 ekor. Peternakan dipilih secara acak, kemudian sapi di tiap peternakan dipilih secara

TB - Riwayat kesehatan peternak terkait TB - Pengetahuan peternak mengenai TB - Jumlah ternak dalam satu kawanan - Jarak kandang dari rumah peternak - Konstruksi kandang

- Kebersihan kandang

- Frekuensi membersihkan kandang - Ukuran kandang untuk tiap ekor ternak - Pemisahan kandang pedet

- Sumber air yang digunakan di kandang - Jumlah petugas kandang

- Riwayat keberadaan ternak dengan gejala TB di peternakan

- Perlakuan terhadap ternak yang sakit - Perlakuan terhadap hewan baru - Manajemen pemerahan - Sanitasi petugas kandang - Lalu lintas orang ke kandang - Lalu lintas hewan lain ke kandang - Riwayat kesehatan peternak terkait TB -Manajemen pembuangan limbah jamban

peternak Faktor individu ternak

- Umur ternak

- Penilaian konformasi tubuh ternak (body condition scoring/BCS)

-Asal ternak

-Ternak sedang menunjukkan gejala TB atau tidak

(28)

8

acak. Berdasarkan pertimbangan proporsionalitas populasi ternak, maka sampel ternak di KUNAK sejumlah 166 ekor (50 peternakan), sedangkan di Kebon Pedes sejumlah 36 ekor (10 peternakan).

Prosedur Uji Tuberkulin

Prosedur uji tuberkulin diuraikan secara lengkap dalam World Organization for Animal Health (OIE) Terrestrial Manual (OIE 2009). Sebelum injeksi, rambut

di daerah lokasi injeksi (sepertiga leher bagian atas) digunting/dibersihkan. Lipatan kulit diukur dengan jangka sorong sebelum tuberkulinasi. Tuberkulin yang digunakan adalah Bovituber®PPD, yaitu purified protein derivate of bovine tuberculin. Ketebalan lipatan kulit diukur kembali 72 jam setelah injeksi.

Tuberkulinasi memberikan hasil positif jika terjadi peningkatan ketebalan lipatan kulit 4 mm atau lebih.

Analisis Data

Hasil positif atau negatif tuberkulinasi pada ternak dianggap sebagai variabel dependen (Y), sedangkan variabel independennya adalah faktor risiko yang tergabung dalam faktor individu ternak serta faktor lingkungan dan manajemen peternakan. Data kuesioner serta hasil tuberkulinasi disimpan dalam data dasar komputer, diberi kode untuk memudahkan analisis. Prevalensi kejadian TB pada sapi perah dengan tingkat kepercayaan 95% diduga dengan rumus sebagai berikut:

̂ ± . ̂(1 − ̂)n

̂ : prevalensi dugaan (x/n) x : jumlah ternak positif TB n : ukuran sampel

. : 1.96

Asosiasi antara faktor risiko dan kejadian penyakit TB pada sapi perah diukur menggunakan analisis regresi logistik (Kleinbaum dan Klein 2010). Kualitas persamaan regresi dapat dinilai dengan kalibrasi, yaitu dengan Hosmer-Lemeshow goodness of fit test, dan juga berdasarkan kurva receiver operating characteristic (ROC).

Hasil dan Pembahasan Karakteristik Lokasi Penelitian

(29)

9 Lokasi KUNAK meliputi Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang dan Desa Pasarean, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Daerah KUNAK terdiri atas KUNAK I dan KUNAK II. Daerah KUNAK memiliki curah hujan sebesar 2000 mm/tahun. Total luas wilayah pengembangan KUNAK adalah 140 hektar yang terdiri atas 80 hektar di Desa Situ Udik dan 60 hektar berada di Desa Pasarean. Sebesar 90% peternak di KUNAK berasal dari luar daerah Cibungbulang dan Pamijahan, yaitu dari Cisarua, Megamendung, Caringin, Cijeruk, Ciomas, Sukaraja, Bojong Gede, Beji, Sawangan, Cibinong, Ciawi Hilir, dan Tanah Sareal. Daerah KUNAK memiliki topografi wilayah yang bergelombang sampai dengan berbukit. Sebagian besar lahannya (45 hektar) mempunyai kemiringan 15-25%, 25 hektar dengan kemiringan 8-15%, 20 hektar dengan kemiringan 15-25%, dan 5 hektar memiliki kemiringan >40%. Sumber air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh kegiatan adalah sumber air dari Sungai Cigamea. Terdapat dua mata air di daerah puncak bukit yang dapat dijadikan sumber air bersih untuk seluruh peternak yang ada di KUNAK.

Sentra peternakan sapi perah di Kota Bogor terkonsentrasi di Kebon Pedes, dan umumnya telah berlokasi di Kebon Pedes selama bertahun-tahun. Adanya perkembangan perkotaan, dan semakin padatnya penduduk di sekitar Kebon Pedes, maka peternakan sapi perah yang berlokasi di Kebon Pedes telah diusahakan untuk dipindahkan ke lokasi yang lebih memadai untuk kawasan peternakan sapi perah, seperti KUNAK. Namun demikian, hal ini sulit untuk dilakukan, karena faktor sejarah dan faktor lokasi yang relatif dekat dengan tempat tinggal konsumen.

Prevalensi TB

Kajian lintas seksional kejadian penyakit TB pada sapi perah dilaksanakan dengan pengambilan sampel ternak di KUNAK (Kabupaten Bogor) dan Kebon Pedes (Kota Bogor). Seluruh ternak sampel diuji dengan uji tuberkulin. Uji tuberkulin dipakai sebagai penentuan adanya TB dalam kajian ini dengan pertimbangan bahwa uji ini ditetapkan oleh World Organization for Animal Health (OIE) sebagai metode uji standar untuk deteksi BTB dalam perdagangan

internasional (OIE 2009).

Kajian lintas seksional kejadian penyakit TB pada sapi perah di wilayah Bogor menggunakan uji tuberkulin memberikan hasil prevalensi TB pada sapi perah sebesar 21.78% (Selang Kepercayaan/SK 95% 16.09-27.47%). Terdapat 44 ekor sapi yang positif tuberkulin dari 202 ternak sampel. Hasil ini lebih tinggi daripada prevalensi yang diperoleh dari studi yang dilakukan di India oleh Thakur

et al. (2010). Studi tersebut mengungkapkan bahwa prevalensi TB pada tingkat

sapi perah keseluruhan adalah 14.31%, sedangkan prevalensi TB pada tingkat peternakan sapi perah adalah 16.67%. Kajian lintas seksional BTB lainnya, yang dilakukan oleh Omer et al. (2001) pada sapi perah di Asmara, Eritrea, Afrika,

memberikan hasil prevalensi tuberkulin positif yang tidak jauh berbeda dari hasil studi di India, yaitu sebesar 14.5%.

Faktor Individu Ternak

Humblet et al. (2009) mengulas beberapa faktor risiko kejadian TB pada

(30)

10

dan pseudo-vertikal, dan kontaminasi ulang pada hewan yang telah terinfeksi. Pollock dan Neill (2002) menyebutkan bahwa ternak sapi dapat terinfeksi M. bovis dipengaruhi oleh umur dan perilaku hewan. Beberapa faktor risiko tersebut

dapat diterapkan dalam kajian TB pada sapi perah di wilayah Bogor.

Ternak yang diteliti dalam penelitian ini sebagian besar (89.6%) berumur di bawah atau sama dengan 6 tahun. Menurut Humblet et al. (2009), umur

merupakan faktor risiko utama yang diidentifikasi dalam berbagai studi di negara maju maupun negara berkembang. Ternak yang diteliti dalam penelitian ini sebagian besar (89.6%) berumur di bawah atau sama dengan 6 tahun. Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi dengan umur >6 tahun (28.57%) lebih besar jika dibandingkan dengan umur <6 tahun (20.99%). Hasil ini sejalan dengan pernyataan Humblet et al. (2009) bahwa hewan yang lebih tua tampaknya lebih

terpapar TB dibandingkan dengan hewan muda. Hewan yang lebih tua tampaknya lebih beresiko terpapar TB dibandingkan dengan hewan muda. Hewan tampaknya dapat terinfeksi sejak usia muda, tetapi menunjukkan gejala klinis setelah dewasa. Mikobakteri memiliki kemampuan berada dalam stadium laten untuk waktu yang lama.

Pada penilaian BCS ternak dalam penelitian ini, 57.43% (116/202) tergolong BCS 3, 4 dan 5. Menurut Cook et al. (1996), BCS yang rendah

meningkatkan risiko tuberkulin positif di Zambia. Studi kasus-kontrol di Irlandia yang dilakukan oleh Griffin et al. (1996) menunjukkan bahwa kekurangan dan

ketidakseimbangan pakan menurunkan kekebalan ternak terhadap TB. Namun demikian, BCS yang rendah kemungkinan merupakan hasil proses patologis BTB yang berlangsung lama. Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada BCS 3, 4 dan 5 (26.72%) lebih besar jika dibandingkan dengan BCS 1 dan 2 (15.12%). Hasil ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Cook et al. (1996)

maupun Griffin et al. (1996) yang menyatakan bahwa BCS yang rendah

meningkatkan risiko tuberkulin positif. Hal ini kemungkinan akibat perbandingan jumlah ternak sampel yang memiliki BCS rendah dan jumlah ternak sampel yang memiliki BCS tinggi (57.43%) dalam penelitian ini tidak merata.

Wawancara terhadap responden memberikan hasil bahwa 59.41% ternak yang diteliti berasal dari kecamatan setempat. Sejumlah 4.95% berasal dari luar kecamatan tetapi masih dalam kabupaten yang sama, 9.41% berasal dari luar kabupaten, 17.33% berasal dari luar provinsi, dan 8.91% responden tidak mengetahui asal ternak. Persentase tertinggi ternak yang positif terhadap tuberkulinasi terdapat pada ternak yang tidak diketahui asalnya (27.78%).

(31)

11 Tuberkulosis ternak merupakan penyakit yang progresif, tetapi tidak berlaku di semua inang. Beberapa hewan yang terinfeksi dapat mengalami infeksi yang tidak tampak selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup, tetapi penyakit ini dapat pula mengakibatkan kematian pada beberapa inang. Ternak yang terinfeksi

M. bovis dapat mengalami demam ringan, batuk kering intermiten kronis dan

berasosiasi dengan pneumonia, kesulitan bernapas, lemah dan kehilangan nafsu makan, emasiasi, dan pembengkakan pada nodus limfe permukaan (Biberstein dan Hirsh 1999; McGeary 2008). Ternak yang positif TB umumnya memiliki lesi yang minimal. Ternak yang demikian dapat mengeluarkan mikobakteri dalam sekresi saluran pernapasan. Ternak yang rentan akan segera terinfeksi jika dikandangkan bersama hewan penderita TB (Liebana et al. 2008).

Menggunakan uji χ2, diperoleh hasil bahwa BCS memiliki asosiasi terhadap kejadian TB (p<0.25) dan dipertimbangkan sebagai kandidat peubah yang dianalisis lebih lanjut.

Faktor Lingkungan dan Manajemen Peternakan

Humblet et al. (2009) mengulas beberapa faktor risiko kejadian TB pada

tingkat kawanan ternak, yaitu sejarah wabah BTB dalam kawanan dan kejadian TB di lingkungan rumah tangga manusia, ukuran kawanan ternak, jenis industri atau bisnis ternak, manajemen, intensitas sistem peternakan dan perkandangan, manajemen kotoran ternak, manajemen pemberian pakan, suplemen pakan dan penyimpanan pakan, serta transmisi dari ternak ke ternak melalui rute faeco-oral.

Pollock dan Neill (2002) menyebutkan bahwa ternak sapi dapat terinfeksi M. bovis dengan dipengaruhi oleh lingkungan dan iklim, serta praktik peternakan

yang digunakan. Tschopp et al. (2009) menyatakan bahwa pembelian ternak dan

keberadaan ternak lain dalam kawanan secara statistik mempengaruhi kejadian BTB. Pembelian ternak yang berasosiasi dengan positif BTB menunjukkan bahwa penyakit ini tampaknya menyebar bersama lalu lintas hewan. Berdasarkan ulasan tersebut, dan sesuai kondisi di lapangan, terpilih faktor-faktor risiko yang tergabung dalam faktor lingkungan dan manajemen peternakan yang diteliti dalam kajian ini. Peubah-peubah faktor lingkungan dan manajemen peternakan yang dianggap signifikan (p<0.25) dan dipertimbangkan sebagai kandidat peubah yang dianalisis lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 1. Beberapa peubah dianggap signifikan (p<0.05) berdasarkan uji χ2.

Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah KUNAK (Kabupaten Bogor) dan Kebon Pedes (Kota Bogor). KUNAK terbagi lagi menjadi KUNAK I dan KUNAK II. Untuk ketinggian tempat, seluruh peternakan yang berlokasi di Kebon Pedes masuk dalam kelompok <340 m diatas permukaan laut (mdpl).

Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah. Tingkat stres sapi perah dapat dipengaruhi oleh hubungan antara besaran suhu dan kelembaban udara yang biasa disebut

Temperature Humidity Index (THI). Umumnya, suhu udara suatu lokasi

berbanding terbalik dengan kelembabannya. Semakin rendah suhu di suatu tempat, maka kelembabannya semakin meningkat. Sapi Fries Holland (FH)

(32)

12

dengan pyranometer. Sebagian besar peternakan yang berlokasi di Kebon Pedes

memiliki intensitas cahaya <15 W m-2.

Tabel 1 Peubah-peubah faktor lingkungan dan manajemen peternakan yang diduga memiliki asosiasi terhadap kejadian TB dan menjadi kandidat peubah pada model regresi logistik

No. Peubah Hasil positif (% positif) Hasil negatif (% negatif) χ² p

SMP, SMA, perguruan tinggi 27 (29.67%) 64 (70,33%) Tidak sekolah, tidak lulus SD, SD 17 (15.32%) 94 (84.68%)

8 Pengalaman beternak 2.670 0.153

> 10 tahun 38 (24.36%) 118 (75.64%)

< 10 tahun 6 (13.04%) 40 (86.96%)

9 Status responden di peternakan 2.575 0.115 Pemilik saja, atau pekerja saja 36 (20.11%) 143 (79.89%)

(33)

13

Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan dengan ketinggian tempat <340 mdpl (50%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan dengan ketinggian tempat >340 mdpl (14.81%). Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan di Kebon Pedes (55.6%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan di KUNAK (14.5%).

Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan dengan suhu >28 °C (27.69%) lebih besar jika dibandingkan dengan suhu <28 °C (11.11%). Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan dengan kelembaban <88% (27.84%) lebih besar jika dibandingkan dengan kelembaban >88% (16.19%). Hal ini sesuai dengan teori bahwa suhu udara suatu lokasi berbanding terbalik dengan kelembabannya. Kelembaban yang tinggi dapat mempengaruhi kejadian TB pada ternak sesuai dengan pernyataan McGeary (2008) bahwa mikobakteri dapat hidup di luar inang hingga beberapa minggu, jika tidak terpapar kondisi lingkungan yang panas, kering maupun di bawah terik Lanjutan Tabel 1

No. Peubah Hasil Positif (% Positif) Hasil Negatif (% Negatif) χ² P

14 Pembuangan limbah ternak cair 30.795 0.000* Langsung ke lingkungan, tanpa bak

pengolahan, > 10 m dari kandang 21 (55.26%) 17 (44.74%)

Langsung ke lingkungan, tanpa bak pengolahan, > 1-10 m dari kandang 23 (14.02%) 141 (85.98%)

15 Perlakuan terhadap kotoran ternak 3.081 0.079 Dikumpulkan dekat kandang/rumah 8 (36.36%) 14 (63.64%)

Dibuang ke sekitar 36 (20%) 144 (80%)

16 Asal pakan hijauan 16.434 0.000*

Luar desa 29 (36.25%) 51 (63.75%)

Desa setempat 5 (14.71%) 29 (85.29%)

Pekarangan, dekat pembuangan limbah ternak 10 (11.36%) 78 (88.64%)

17 Suplemen pakan 2.609 0.176

Ada 42 (23.46%) 137 (76.54%)

Tidak ada 2 (8.7%) 21 (91.3%)

18 Penyimpanan pakan 3.192 0.105

Ada tempat khusus 20 (28.99%) 49 (71.01%)

Tidak ada tempat khusus 24 (18.05%) 109 (81.95%)

19 Frekuensi membersihkan tempat penyimpanan pakan 1.779 0.224 Tiap hari; atau beberapa kali seminggu 14 (18.9%) 43 (58.1%)

Seminggu sekali; > seminggu sekali; atau tidak pernah dibersihkan 7 (9.5%) 10 (13.5%)

20 Pernah ada ternak dengan gejala TB 6.434 0.016*

Tidak 27 (30%) 63 (70%)

Ya 17 (15.18%) 95 (84.82%)

21 Saat ini ada hewan baru 3.729 0.065

Tidak 41 (24.26%) 128 (75.74%)

Ya 3 (9.09%) 30 (90.91%)

(34)

14

matahari. Mikobakteri dapat hidup lebih lama dalam lingkungan yang dingin, gelap dan lembab. Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan dengan intensitas cahaya di kandang <15 W m-2 (31.19%) lebih besar jika dibandingkan dengan intensitas cahaya di kandang >15 W m-2 (10.75%).

Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa sebagian besar peternak berada dalam kelompok umur <47 tahun (89.11%). Pendidikan peternak terbagi dalam dua kelompok, yaitu lulusan SMP hingga perguruan tinggi (45.05%) dan kelompok tidak pernah bersekolah hingga lulus SD (54.95%).

Sebagian besar peternak dalam penelitian ini (77.23%) menyatakan memiliki pengalaman beternak >10 tahun. Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan dengan peternak yang berpengalaman beternak >10 tahun (24.36%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternak yang berpengalaman beternak <10 tahun (13.04%).

Status responden dalam penelitian ini sebagian besar (88.61%) tergolong dalam kelompok pemilik peternakan saja atau pekerja peternakan saja. Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan dengan status responden adalah pemilik sekaligus pekerja (34.78%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan yang status respondennya adalah pemilik saja atau pekerja peternakan saja (20.11%).

Untuk riwayat kesehatan peternak terkait TB, 97.03% responden menyatakan tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita TB. Sebanyak 96.04% responden menyatakan tidak ada anggota keluarga yang pernah menunjukkan gejala TB (batuk kronis). Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan dengan peternak yang memiliki anggota keluarga yang pernah menderita TB (33.33%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan yang peternaknya memiliki anggota keluarga belum pernah menderita TB (21.43%). Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan dengan peternak yang memiliki anggota keluarga yang pernah menunjukkan gejala TB (25%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan yang peternaknya memiliki anggota keluarga belum pernah menunjukkan gejala TB (21.65%).

Hampir semua pertanyaan mengenai pengetahuan peternak tentang TB dijawab tidak tahu oleh semua responden. Hanya satu pertanyaan, yaitu apakah TB adalah penyakit menular yang dapat ditularkan pada manusia dan ternak, dijawab benar oleh sebagian responden (30.2%). Sisanya, 69.8% responden menjawab tidak tahu.

(35)

15 TB pada awal tanda-tanda penyakit adalah sangat penting untuk menekan kejadian TB.

Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan dengan peternak berada dalam kelompok umur >47 tahun (40.91%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternak yang berada dalam kelompok umur <47 tahun (19.44%). Hal ini kemungkinan karena hanya sedikit responden yang berada dalam kelompok umur >47 tahun, yaitu 10.89%, sehingga hasil analisisnya menjadi kurang proporsional. Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan dengan peternak berpendidikan lulusan SMP hingga perguruan tinggi (29.67%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternak yang tidak pernah bersekolah hingga lulus SD (15.32%). Hal ini kemungkinan karena tidak banyak responden yang berpendidikan lulusan SMP hingga perguruan tinggi, yaitu 45.05%, sehingga hasil analisisnya menjadi kurang proporsional.

Jumlah ternak dalam satu kawanan pada penelitian ini dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu <35 ekor (73.67%), 36-70 ekor (13.37%), dan >71 ekor (12.87%). Persentase tertinggi ternak yang positif terhadap tuberkulinasi terdapat pada ternak yang jumlah ternaknya dalam satu kawanan >71 ekor (26.92%). Hal ini tidak sejalan dengan ulasan Humblet et al. (2009), bahwa

semakin banyak ternak yang berada dalam satu peternakan, maka semakin besar kemungkinannya untuk terinfeksi BTB. Sebaliknya, penelitian Tschopp et al.

(2009) menunjukkan bahwa jumlah ternak dalam kawanan tidak berperan sebagai faktor risiko BTB. Hal ini disertai penjelasan bahwa sebagian besar peternakan yang diambil sebagai sampel dalam penelitiannya adalah peternakan kecil. Penjelasan ini pula yang dapat digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian ini. Dalam penelitian ini, hanya sedikit peternakan besar yang diambil sebagai sampel, yaitu 12.87% peternakan dengan jumlah ternak dalam satu kawanan >71 ekor, sehingga tidak dapat memberikan hasil yang proporsional.

Dalam penelitian ini, sebagian besar rumah peternak atau rumah terdekat berjarak <10 m dari kandang (89.6%), dan seluruh peternakan yang berlokasi di Kebon Pedes masuk dalam kelompok ini. Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan yang berjarak >10 m dari rumah peternak/rumah terdekat (66.67%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan yang berjarak <10 m dari rumah peternak/rumah terdekat (16.57%). Untuk konstruksi kandang, seluruh peternakan dalam penelitian ini memiliki lantai dan dinding kandang yang terbuat dari semen.

(36)

16

dinyatakan oleh McGeary (2008) bahwa mikobakteri dapat hidup lebih lama dalam lingkungan yang dingin, gelap dan lembab.

Frekuensi membersihkan kandang di peternakan dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu >2 kali sehari (20.79%), dua kali sehari (78.22%), dan sekali sehari (0.99%). Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan yang kandangnya dibersihkan dua kali sehari atau kurang (22.5%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan yang kandangnya dibersihkan >2 kali sehari (19.04%).

Kandang ternak dalam penelitian ini dikelompokkan dalam ukuran >1.8 m x 2 m/ekor (2.48%) dan <1.8 m x 2 m/ekor (97.52%). Seluruh peternakan yang berlokasi di Kebon Pedes masuk dalam kelompok <1.8 m x 2 m/ekor. Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan yang kandangnya berukuran <1.8 m x 2 m/ekor (21.83%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan yang kandangnya berukuran >1.8 m x 2 m/ekor (2%).

Kandang pedet dalam penelitian ini umumnya ditempatkan terpisah dari kandang sapi dewasa (88.12%). Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan yang kandang pedetnya terpisah dari kandang sapi dewasa (22.47%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan yang kandang pedetnya bercampur dengan kandang sapi dewasa (16.67%).

Sumber air yang digunakan untuk keperluan kandang dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu PAM, mata air atau air sumur (33.66%), dan kelompok bersumber sungai atau tadah hujan (66.34%). Sebagian besar peternakan dalam penelitian ini memiliki petugas kandang lebih dari satu orang (68.32%), dan sisanya, 31.68% peternakan hanya memiliki seorang petugas kandang. Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan yang memiliki petugas kandang lebih dari satu orang (23.91%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan yang hanya memiliki seorang petugas kandang (17.19%). Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan yang menggunakan sumber air PAM, mata air atau air sumur (41.18%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan yang menggunakan sumber air sungai atau tadah hujan (11.94%). Hasil ini menunjukkan bahwa peternakan yang menggunakan sumber air PAM, mata air atau air sumur lebih meningkatkan risiko terjadinya TB. Hal ini kemungkinan karena hanya sedikit peternakan yang menggunakan sumber air PAM, mata air atau air sumur, yaitu 33.66%, sehingga hasil analisisnya menjadi kurang proporsional.

(37)

17 Mengenai keberadaan hewan baru di peternakan, 83.66% responden menyatakan tidak ada hewan baru pada saat wawancara. Sebagian besar responden (92.57%) menyatakan bahwa hewan baru tidak dipisahkan dari hewan lain. Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan yang memperlakukan hewan baru tidak dipisahkan dari hewan lain (22.46%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan yang memperlakukan hewan baru dipisahkan dari hewan lain (13.33%).

Mengenai lalu lintas orang ke kandang, sebanyak 91.09% responden menyatakan keluarga peternak bebas masuk ke kandang. Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan yang membiarkan keluarga peternak bebas masuk ke kandang (22.28%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan yang melarang siapa pun selain petugas kandang/peternak memasuki kandang (16.67%). Untuk lalu lintas hewan lain ke kandang, seluruh responden menyatakan hewan selain ternak bebas keluar-masuk kandang.

Sebagian besar peternakan dalam penelitian ini (65.84%) tidak menyediakan tempat khusus untuk penyimpanan pakan. Sisanya, 34.16% peternakan menyediakan tempat khusus untuk penyimpanan pakan. Dari peternakan yang memiliki tempat khusus untuk penyimpanan pakan, maka 58.11% (43/74) memiliki penyimpanan pakan yang bersih tetapi lembab, kurang bersih dan lembab, atau kotor dan lembab.

Untuk pertanyaan mengenai perlakuan terhadap ternak yang sakit, seluruh responden menjawab sapi yang sakit diobati oleh mantri hewan. Sebanyak 98.02% responden menyatakan bahwa sapi yang sakit diobati tetapi tidak dipisah dari sapi yang sehat. Sebagian besar responden (92.57%) menyatakan bahwa hewan baru tidak dipisahkan dari hewan lain.

Pakan hijauan yang digunakan oleh peternakan dalam penelitian ini 39.6% berasal dari luar desa. Sisanya, 60.4% tergolong dalam kelompok dengan pakan hijauan berasal dari desa setempat, berasal dari pekarangan yang jauh dari pembuangan limbah ternak, atau berasal dari pekarangan yang berada di dekat pembuangan limbah ternak. Sebagian besar responden (88.61%) menyatakan bahwa peternakan menyediakan suplemen pakan untuk ternak.

Untuk pertanyaan mengenai manajemen pemerahan, seluruh responden menyatakan bahwa sapi selalu dimandikan sebelum diperah. Mengenai sanitasi petugas kandang, 99.5% petugas kandang/peternak selalu mencuci tangan sebelum memerah. Sebanyak 98.02% petugas kandang/peternak menyatakan selalu mencuci tangan setelah membersihkan kandang. Ketersediaan sabun cuci di kandang di peternakan dalam penelitian ini selalu tersedia (52.97%). Seluruh petugas kandang dalam penelitian menggunakan sepatu kandang khusus untuk di kandang jika sedang bekerja di kandang.

(38)

18

Ketersediaan sabun cuci di kandang di peternakan dalam penelitian ini selalu tersedia (52.97%). Persentase ternak yang positif terhadap tuberkulinasi pada peternakan yang selalu menyediakan sabun cuci di kandang (23.36%) lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan yang petugas kandang/peternaknya hanya kadang-kadang menyediakan sabun cuci di kandang (20%). Seluruh petugas kandang dalam penelitian menggunakan sepatu kandang khusus untuk di kandang jika sedang bekerja di kandang.

Manajemen limbah ternak cair yang diterapkan oleh peternakan dalam penelitian ini dibuang langsung ke lingkungan, tanpa bak pengolahan, dengan jarak >10 m dari kandang (18.81%), dan kelompok dengan jarak >1-10 m dari kandang (81.19%). Perlakuan terhadap kotoran ternak dalam penelitian ini terbagi dua macam cara, yaitu dikumpulkan dekat kandang/rumah (10.89%) atau dibuang ke lingkungan sekitar (89.11%).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis pada Ternak Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB pada ternak adalah ketinggian tempat, suhu tempat, dan intensitas cahaya di kandang. Persamaan regresi model terbaik yang terdiri atas tiga peubah ini memiliki daerah di bawah kurva ROC yang cukup baik, yaitu 75.1%. Sensitivitas model sebesar 38.6%, sedangkan spesifisitasnya 92.4%. Hasil analisis regresi logistik yang menunjukkan tiga peubah yang terpilih dalam persamaan regresi model terbaik disajikan pada Tabel 2. Nilai odds ratio (OR) faktor-faktor risiko yang

mempengaruhi kejadian TB pada ternak disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian TB pada ternak No Variabel Jumlah Positif Tuberkulosis Negatif OR (SK 95%) P (*) menunjukkan terdapat asosiasi yang signifikan pada p<0.05

OR = odds ratio, SK = selang kepercayaan

Gambar

Gambar 1  Kerangka konsep penelitian
Tabel 1  Peubah-peubah faktor lingkungan dan manajemen peternakan yang diduga memiliki asosiasi terhadap kejadian TB dan menjadi kandidat peubah pada model regresi logistik
Gambar 4 Hasil PCR terhadap sampel swab hidung ternak yang positif tuberkulinasi (H1-H19)
Gambar 5 Hasil PCR terhadap sampel swab hidung ternak yang positif
+7

Referensi

Dokumen terkait