• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian lintas seksional terhadap penyakit TB pada sapi perah di wilayah Bogor dilaksanakan di lokasi sentra peternakan sapi perah di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor (06° 34′, 06° 37′, 06° 38′ LS, dan 106° 38′, 106° 39′, 106° 47′ BT). Sentra peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor terletak di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), sedangkan di Kota Bogor berupa peternakan rakyat yang terkonsentrasi di Kebon Pedes. Kedua lokasi ini (KUNAK dan Kebon Pedes) memiliki karakteristik wilayah yang cukup berbeda, sehingga akan memperkaya pendalaman faktor-faktor yang berasosiasi terhadap kejadian TB pada sapi perah.

Lokasi KUNAK meliputi Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang dan Desa Pasarean, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Daerah KUNAK terdiri atas KUNAK I dan KUNAK II. Daerah KUNAK memiliki curah hujan sebesar 2000 mm/tahun. Total luas wilayah pengembangan KUNAK adalah 140 hektar yang terdiri atas 80 hektar di Desa Situ Udik dan 60 hektar berada di Desa Pasarean. Sebesar 90% peternak di KUNAK berasal dari luar daerah Cibungbulang dan Pamijahan, yaitu dari Cisarua, Megamendung, Caringin, Cijeruk, Ciomas, Sukaraja, Bojong Gede, Beji, Sawangan, Cibinong, Ciawi Hilir, dan Tanah Sareal. Daerah KUNAK memiliki topografi wilayah yang bergelombang sampai dengan berbukit. Sebagian besar lahannya (45 hektar) mempunyai kemiringan 15-25%, 25 hektar dengan kemiringan 8-15%, 20 hektar dengan kemiringan 15-25%, dan 5 hektar memiliki kemiringan >40%. Sumber air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh kegiatan adalah sumber air dari Sungai Cigamea. Terdapat dua mata air di daerah puncak bukit yang dapat dijadikan sumber air bersih untuk seluruh peternak yang ada di KUNAK.

Sentra peternakan sapi perah di Kota Bogor terkonsentrasi di Kebon Pedes, dan umumnya telah berlokasi di Kebon Pedes selama bertahun-tahun. Dengan perkembangan perkotaan, dan semakin padatnya penduduk di sekitar Kebon Pedes, maka peternakan sapi perah yang berlokasi di Kebon Pedes telah diusahakan untuk dipindahkan ke lokasi yang lebih memadai untuk kawasan peternakan sapi perah, seperti KUNAK. Namun demikian, hal ini sulit untuk dilakukan, karena faktor sejarah dan faktor lokasi yang relatif dekat dengan tempat tinggal konsumen.

Kajian lintas seksional ini dilaksanakan dengan pengambilan sampel ternak di KUNAK (Kabupaten Bogor) dan Kebon Pedes (Kota Bogor). Jumlah sampel ternak di KUNAK dan Kebon Pedes dihitung berdasarkan pertimbangan proporsionalitas populasi ternak. Jumlah ternak yang diambil sebagai sampel di tiap peternakan diperhitungkan secara proporsional berdasarkan jumlah ternak dalam peternakan tersebut.

Seluruh ternak sampel diuji dengan uji tuberkulin. Uji tuberkulin dipakai sebagai penentuan adanya TB dalam kajian ini dengan pertimbangan bahwa uji ini ditetapkan oleh World Organization for Animal Health (OIE) sebagai metode uji

standar untuk deteksi BTB dalam perdagangan internasional (OIE 2009).

Kajian lintas seksional kejadian penyakit TB pada sapi perah di wilayah Bogor menggunakan uji tuberkulin memberikan hasil prevalensi TB pada sapi perah sebesar 21.78% (SK 95% 16.09-27.47%). Terdapat 44 ekor sapi yang

45 positif tuberkulin dari 202 ternak sampel. Hasil ini lebih tinggi daripada prevalensi yang diperoleh dari studi yang dilakukan di India oleh Thakur et al.

(2010). Studi tersebut mengungkapkan bahwa prevalensi TB pada tingkat sapi perah keseluruhan adalah 14.31%, sedangkan prevalensi TB pada tingkat peternakan sapi perah adalah 16.67%. Kajian lintas seksional BTB lainnya, yang dilakukan oleh Omer et al. (2001) pada sapi perah di Asmara, Eritrea, Afrika,

memberikan hasil prevalensi tuberkulin positif yang tidak jauh berbeda dari hasil studi di India, yaitu sebesar 14.5%.

Data diambil menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada peternak. Kuesioner berisi pertanyaan-pertanyaan untuk mengidentifikasi faktor risiko kejadian penyakit TB pada sapi perah. Beberapa peubah yang diteliti untuk mengidentifikasi faktor risiko kejadian penyakit TB pada sapi perah dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu faktor individu ternak serta faktor lingkungan dan manajemen peternakan. Faktor individu ternak meliputi umur ternak, penilaian konformasi tubuh ternak (body condition scoring/BCS),

asal ternak, ternak sedang menunjukkan gejala TB atau tidak, riwayat kesehatan ternak terkait gejala TB. Faktor lingkungan dan manajemen peternakan meliputi ketinggian tempat, lokasi, suhu tempat, kelembaban kandang, intensitas cahaya di kandang, umur peternak, pendidikan peternak, pengalaman beternak peternak, status responden di peternakan, riwayat kesehatan peternak terkait TB, pengetahuan peternak mengenai TB, jumlah ternak dalam satu kawanan, jarak kandang dari rumah peternak, konstruksi kandang, kebersihan kandang, frekuensi membersihkan kandang, ukuran kandang untuk tiap ekor ternak, pemisahan kandang pedet, sumber air yang digunakan di kandang, jumlah petugas kandang, riwayat keberadaan ternak yang bergejala TB di peternakan, perlakuan terhadap ternak yang sakit, perlakuan terhadap hewan baru, lalu lintas orang ke kandang, lalu lintas hewan lain ke kandang, manajemen pemerahan, sanitasi petugas kandang, asal pakan hijauan, pemberian suplemen pakan, manajemen penyimpanan pakan, kondisi penyimpanan pakan, frekuensi membersihkan tempat penyimpanan pakan, manajemen limbah cair, perlakuan terhadap kotoran ternak.

Ternak yang diteliti dalam penelitian ini sebagian besar (89.6%) berumur di bawah atau sama dengan 6 tahun. Menurut Humblet et al. (2009), umur

merupakan faktor risiko utama yang diidentifikasi dalam berbagai studi di negara maju maupun negara berkembang. Hewan yang lebih tua tampaknya lebih terpapar TB dibandingkan dengan hewan muda. Hewan tampaknya dapat terinfeksi sejak usia muda, tetapi menunjukkan gejala klinis setelah dewasa. Mikobakteri memiliki kemampuan berada dalam stadium laten untuk waktu yang lama.

Pada penilaian BCS ternak dalam penelitian ini, 57.43% (116/202) tergolong BCS 3, 4 dan 5. Menurut Cook et al. (1996), BCS yang rendah

meningkatkan risiko tuberkulin positif di Zambia. Studi kasus-kontrol di Irlandia yang dilakukan oleh Griffin et al. (1996) menunjukkan bahwa kekurangan dan

ketidakseimbangan pakan menurunkan kekebalan ternak terhadap TB. Namun demikian, BCS yang rendah kemungkinan merupakan hasil proses patologis BTB yang berlangsung lama.

Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah. Tingkat stres sapi perah dapat dipengaruhi oleh hubungan antara besaran suhu dan kelembaban udara yang biasa disebut

46

Temperature Humidity Index (THI). Umumnya, suhu udara suatu lokasi

berbanding terbalik dengan kelembabannya. Semakin rendah suhu di suatu tempat, maka kelembabannya semakin meningkat. Sapi Fries Holland (FH)

menunjukkan penampilan produksi terbaik apabila ditempatkan pada suhu lingkungan 18.3 °C dengan kelembaban 55% (Yani dan Purwanto 2006). Suhu dan kelembaban lokasi dalam penelitian ini diukur dengan termometer dan higrometer digital. Intensitas cahaya di kandang dalam penelitian ini diukur dengan pyranometer. Sebagian besar peternakan yang berlokasi di Kebon Pedes

memiliki intensitas cahaya <15 W m-2.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB pada ternak adalah ketinggian tempat, suhu tempat, dan intensitas cahaya di kandang. Persamaan regresi model terbaik yang terdiri atas tiga peubah ini memiliki daerah di bawah kurva ROC yang cukup baik, yaitu 75.1%.

Untuk ketinggian tempat dalam penelitian ini, nilai >340 mdpl ditetapkan sebagai pembanding/referensi. Hasil analisis menunjukkan bahwa odds ternak

untuk mengalami TB pada peternakan yang memiliki ketinggian <340 mdpl adalah 3.721 kali (SK 95% 1.642-8.433) dibandingkan dengan peternakan yang memiliki ketinggian >340 mdpl. Pollock dan Neill (2002) menyebutkan bahwa ternak sapi dapat terinfeksi M. bovis dipengaruhi oleh lingkungan dan iklim. Sapi Fries Holland (FH) menunjukkan penampilan produksi terbaik apabila

ditempatkan pada dataran tinggi. Ketinggian <340 mdpl dapat dikategorikan sebagai dataran rendah, dan hal ini akan menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak.

Pada penelitian ini, suhu <28 °C ditetapkan sebagai referensi. Hasil analisis menunjukkan bahwa odds ternak untuk mengalami TB pada peternakan yang

memiliki suhu >28 °C adalah 2.573 (1.077-6.145) dibandingkan dengan peternakan yang memiliki suhu <28 °C. Suhu merupakan faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan keseimbangan tingkah laku ternak. Tingkat stres sapi perah dapat dipengaruhi oleh hubungan antara besaran suhu dan kelembaban udara yang biasa disebut

Temperature Humidity Index (THI). Sapi FH menunjukkan penampilan produksi

terbaik apabila ditempatkan pada suhu lingkungan 18.3 °C (Yani dan Purwanto 2006).

Untuk intensitas cahaya di kandang dalam penelitian ini, nilai >15 W m-2 ditetapkan sebagai referensi. Hasil analisis menunjukkan bahwa odds ternak untuk

mengalami TB pada peternakan yang memiliki intensitas cahaya di kandang <15 W m-2 adalah 2.749 kali (SK 95% 1.204-6.275) dibandingkan dengan peternakan yang memiliki intensitas cahaya di kandang >15 W m-2. Intensitas cahaya di kandang merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB karena bakteri MTBC mampu bertahan lebih lama dalam kondisi yang kurang mendapat paparan sinar matahari. Biberstein dan Hirsh (1999) mengemukakan bahwa tuberkel basili mampu bertahan untuk waktu yang lama dalam tanah, tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari dan iradiasi ultraviolet.

Metode pengujian multiplex PCR dipilih untuk mengidentifikasi M. bovis

dan M. tuberculosis dalam waktu bersamaan. Pita DNA M. bovis akan terbaca

pada 161 pb, sedangkan M. tuberculosis terbaca pada 261 pb (Bakshi et al. 2005).

47 sangat rendah jika dibandingkan dengan M. tuberculosis, tetapi dampak

potensialnya tidak boleh diabaikan (Michel et al. 2010).

Sampel yang diuji adalah sampel feses, swab hidung, dan susu dari ternak

yang positif terhadap uji tuberkulin pada pelaksanaan kajian lintas seksional untuk mengetahui kejadian TB pada sapi perah, juga sampel dahak peternak dalam peternakan yang ternaknya positif terhadap uji tuberkulin. Jenis sampel feses,

swab hidung, dan susu dipilih berdasarkan pernyataan Ayele et al. (2004) bahwa

hewan infeksius dapat mengeluarkan M. bovis melalui feses, susu, lesi bernanah,

saliva, dan urin. Dari 202 ternak yang diuji dengan uji tuberkulin, 44 ekor ternak memberikan hasil yang positif. Dari 44 ternak yang positif terhadap uji tuberkulin, diambil 44 sampel feses dan swab hidung. Untuk sampel susu, hanya diperoleh 43

sampel, karena seekor sapi yang positif terhadap uji tuberkulin adalah sapi dara, sehingga belum memasuki periode laktasi. Peternak yang diambil dahaknya sebagai sampel berjumlah 24 sampel, berasal dari peternakan yang ternaknya positif terhadap uji tuberkulin. Jumlah peternakan yang memiliki ternak yang positif terhadap tuberkulinasi adalah 26 peternakan, tetapi dahak peternak yang diambil hanya 24 karena ada peternak/pekerja peternakan yang bekerja untuk dua peternakan.

Analisis PCR menggunakan primer CSB1, CSB2, CSB3 dilakukan langsung pada seluruh sampel feses, swab hidung, dan susu ternak, serta dahak peternak.

Hasil PCR terhadap 44 sampel feses ternak menunjukkan 8 sampel memperlihatkan adanya pita DNA target. Pita DNA 161 pb terlihat pada ternak dengan nomor urut sampel 10 (nomor identitas ternak 16.1), nomor urut sampel 11 (16.2), nomor urut sampel 12 (21.1), dan nomor urut sampel 23 (46.1), nomor urut sampel 35 (56.3), nomor urut sampel 36 (57.2), nomor urut sampel 38 (57.7), dan nomor urut sampel 43 (59.3).

Hasil PCR terhadap 44 sampel swab hidung ternak menunjukkan 4 sampel

memperlihatkan adanya pita DNA target. Pita DNA 161 pb terlihat pada ternak dengan nomor urut sampel 3 (nomor identitas ternak 7.8), nomor urut sampel 4 (9.1), nomor urut sampel 8 (14.1), dan nomor urut sampel 9 (15.2).

Hasil PCR terhadap 43 sampel susu ternak menunjukkan 9 sampel memperlihatkan adanya pita DNA target. Ternak nomor urut 8 (nomor identitas ternak 14.1) tidak diambil susunya sebagai sampel karena merupakan sapi dara, belum memasuki periode laktasi. Pita DNA 161 pb terlihat pada ternak dengan nomor urut sampel 7 (nomor identitas ternak 13.2), nomor urut sampel 10 (16.1), nomor urut sampel 12 (21.1), nomor urut sampel 20 (38.1) dan nomor urut sampel 21 (39.5), nomor urut sampel 32 (55.2), nomor urut sampel 33 (55.3), nomor urut sampel 37 (57.4), dan nomor urut sampel 38 (57.7).

Hasil PCR terhadap 24 sampel dahak peternak menunjukkan satu sampel memperlihatkan adanya pita DNA target. Pita DNA 261 pb terlihat pada peternak dengan nomor urut sampel 24 (peternak ke-24).

Secara keseluruhan, pengujian laboratorik pada penelitian ini hanya memberikan gambaran pita DNA target yang samar terhadap pita DNA M. bovis

(161 pb) dan M. tuberculosis (261 pb). Cukup berbeda jika dibandingkan dengan

ambaran pita DNA kontrol positif M. bovis dan M. tuberculosis yang tampak

jelas di setiap amplifikasi. Samarnya gambaran pita DNA target pada sampel lapang kemungkinan diakibatkan oleh proses ekstraksi sampel yang tidak terlaksana dengan sempurna; jumlah sel bakteri yang terdapat pada sampel lapang

48

sangat sedikit; saat pengambilan sampel, bakteri tidak sedang shedding; atau

kejadian TB pada ternak berlangsung di waktu yang lampau.

Dengan merangkum seluruh sampel yang memberikan hasil positif terhadap uji PCR, maka ada beberapa sampel yang hanya positif pada satu jenis sampel, ada yang positif pada beberapa jenis sampel, tetapi tidak ada yang positif terhadap seluruh jenis sampel. Hanya ada dua sampel dengan nomor identitas ternak 16.1 dan 21.1 yang memberikan hasil positif terhadap uji PCR terhadap dua jenis sampel, yaitu sampel feses dan susu. Sampel dengan nomor identitas ternak 59.3 dan peternak ke-24 memberikan hasil positif terhadap uji PCR untuk sampel feses dan dahak peternak, tetapi sampel feses menunjukkan pita DNA M. bovis

sedangkan sampel dahak peternak menunjukkan pita DNA M. tuberculosis.

Kajian ini mengungkap keberadaan TB pada ternak di Indonesia. Dengan adanya hasil positif M. bovis pada sampel ternak dan hasil positif M. tuberculosis

pada sampel peternak, perlu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian TB pada ternak dan manusia. TB zoonotik harus diwaspadai sebagai ancaman potensial bagi kesehatan masyarakat. TB zoonotik dapat menjadi ancaman utama bagi kesehatan masyarakat karena kontak langsung antara hewan dan pemiliknya (misalnya karena kandang ternak sangat dekat dengan rumah). Kondisi tersebut sangat umum terjadi di Indonesia. Selain itu, tindakan pengendalian tidak diterapkan secara konsisten, dan pasteurisasi susu masih belum dilaksanakan dengan sempurna. Ancaman TB zoonotik ini dapat juga disebabkan oleh tidak dilakukannya lagi uji tuberkulin sebagai upaya eradikasi TB zoonotik pada ternak di Indonesia. Kondisi BTB pada ternak menjadi lebih kompleks dengan memungkinkannya transmisi M. bovis dari manusia kembali ke

ternak (Cosivi et al. 1998).

Michel et al. (2010) menyebutkan bahwa populasi paling rentan terhadap

infeksi M. bovis dari hewan adalah peternak, petugas pelayanan kesehatan hewan,

dan pekerja di rumah potong hewan. Faktor sosio-ekonomi meningkatkan risiko infeksi M. bovis pada manusia.

Pada kajian ini, terdapat dua lokasi sentra peternakan sapi perah yang kondisinya sangat berbeda, yaitu KUNAK dan Kebon Pedes. Lahan peternakan di KUNAK cukup luas, sehingga kandang ternak umumnya tidak berdekatan dengan pemukiman. Dengan kondisi demikian, maka yang paling berisiko terhadap TB zoonotik dari KUNAK adalah peternak, dan masyarakat yang mengkonsumsi susu dari sapi yang terinfeksi TB tanpa pasteurisasi susu yang optimal. Untuk kondisi di Kebon Pedes, kandang ternak berada di tengah pemukiman penduduk yang cukup padat. Hal ini akan mengakibatkan M. bovis dari ternak berpotensi

menginfeksi masyarakat sekitar, peternak, dan juga masyarakat yang mengkonsumsi susu tanpa pasteurisasi susu yang optimal.

Untuk mengendalikan penyakit TB, perlu dilakukan program pencegahan dan pengendalian, seperti tuberkulinasi pada sapi perah, pasteurisasi susu secara optimal, dan sosialisasi mengenai pentingnya bahaya zoonotik penyakit TB. Tindakan pengawasan terhadap importasi ternak dari negara-negara berstatus endemis TB ternak perlu diperketat. Untuk lokasi yang memiliki risiko lebih tinggi terhadap BTB, perlu dilakukan upaya perbaikan manajemen peternakan dan modifikasi lingkungan.

49 Pengembangan Media Padat untuk Kultivasi Mycobacterium bovis

Dalam OIE (2009) diuraikan bahwa isolasi primer M. bovis menggunakan

media padat berbasis telur, seperti Löwenstein Jensen, berbasis Coletsos atau Stonebrink. Media ini harus mengandung piruvat, atau piruvat dan gliserol. Media

berbasis agar seperti Middlebrook 7H10 atau 7H11 atau media agar berbasis darah

juga dapat digunakan. Menurut Stager et al. (1991) dan Cruciani et al. (2004),

penggunaan media LJ yang dikombinasikan dengan media cair akan meningkatkan kemampuan media untuk mendiagnosa infeksi mikobakteri.Weyer

et al. (1998b) menyatakan bahwa terdapat media yang lebih murah daripada

media LJ, yaitu media Ogawa atau modifikasi Ogawa, karena tidak menggunakan asparagin.

Media MOA merupakan media baru, hasil modifikasi terhadap media modifikasi Ogawa, dengan mengganti emulsi whole egg dengan kuning telur dan

agar. Media LJ maupun MO dalam penelitian ini pada dasarnya adalah media hasil modifikasi juga, karena media aslinya menggunakan gliserol, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan M. tuberculosis.

Pemilihan penggantian emulsi whole egg dengan kuning telur dan agar

dimaksudkan dengan pertimbangan bahwa media berbasis emulsi whole egg

sifatnya tidak keras, sehingga agak sulit untuk memanen koloni mikobakteri hasil kultivasi. Kuning telur yang dipasangkan dengan agar dipilih dengan tujuan memberikan tekstur media yang lebih keras, sehingga panen koloni mikobakteri dapat dilakukan dengan lebih mudah, tetapi tidak menghilangkan unsur kuning telur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan M. bovis.

Pemilihan M. phlei sebagai representasi dari M. bovis dalam menilai

kemampuan media untuk menumbuhkan M. bovis berdasarkan sudut pandang

Pratt (1952), bahwa kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan bakteri tahan asam patogenik yang optimal memiliki banyak kesamaan dengan bakteri tahan asam non patogenik. Bakteri M. phlei tumbuh dengan cepat jika dibandingkan dengan M. bovis, dan lebih aman untuk digunakan karena sifatnya yang non patogenik.

Menurut Biberstein dan Hirsh (1999), berdasarkan perbedaan waktu perkembangbiakannya, mikobakteri dapat dibagi menjadi tumbuh lambat (membutuhkan waktu lebih dari 7 hari untuk membentuk koloni yang dapat dilihat pada medium padat) dan tumbuh cepat (membentuk koloni dalam waktu 7 hari). Bakteri M. bovis tergolong dalam mikobakteri tumbuh lambat, sedangkan M. phlei tergolong tumbuh cepat.

Mycobacterium phlei tumbuh pada semua media mulai hari ke-4.

Berdasarkan analisis statistik menggunakan sidik ragam, dilanjutkan dengan uji DMRT, perbandingan jumlah koloni M. phlei yang tumbuh pada media LJ dan

MOA berbeda nyata secara statistik. Kemampuan media MOA untuk menumbuhkan M. phlei berbeda jika dibandingkan dengan media LJ. Koloni M. phlei pada media MOA lebih mudah dipanen, pembuatannya lebih sederhana dan

lebih ekonomis dibandingkan dengan media LJ. Koloni M. phlei pada media

MOA lebih mudah dipanen karena media MOA yang berbasis agar memiliki konsistensi lebih keras dibandingkan dengan media LJ yang berbasis telur. Pembuatan media MOA lebih sederhana dan lebih ekonomis dibandingkan dengan media LJ, karena tanpa asparagin.

50

Mycobacterium bovis tumbuh pada media LJ dan MO mulai hari ke-17, dan

tidak berhasil tumbuh pada media MOA. Media MOA gagal menumbuhkan M. bovis, sehingga kemampuan media LJ dan MO dalam menumbuhkan M. bovis

dianalisis dengan t-Test. Hasil analisis t-Test menunjukkan bahwa kemampuan

media LJ dan MO dalam menumbuhkan M. bovis pada hari ke-17, 21, 25, 27, 29,

32 dan 36 tidak berbeda nyata (p>0.05). Kemampuan media LJ dan MO dalam menumbuhkan M. bovis tidak ada perbedaan, tetapi media MO lebih sederhana

dan lebih ekonomis dibandingkan dengan media LJ, karena tanpa asparagin.

Mycobacterium bovis tidak tumbuh pada media MOA kemungkinan karena

kualitas media MOA untuk kultivasi M. bovis ini tidak sebaik yang digunakan

untuk kultivasi M. phlei. Media untuk kultivasi M. phlei dan M. bovis dibuat

dalam satu pembuatan yang sama, pada waktu yang sama. Akan tetapi, kualitasnya dapat berbeda, kemungkinan akibat perbedaan waktu pembagian larutan ke dalam tabung-tabung. Selain itu, perlu ditinjau kembali waktu yang dibutuhkan untuk inokulasi suspensi bakteri M. bovis pada MOA, yaitu peletakan

tabung dalam posisi miring setelah diberi suspensi bakteri. Perlakuan untuk MOA berbeda dari media berbasis emulsi whole egg karena konsistensi media berbasis

agar lebih keras, sehingga perlu dipastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk suspensi bakteri M. bovis mampu melekat pada permukaan media MOA.

Menurut Dean et al. (2005), 1 koloni M. bovis cukup untuk menimbulkan

TB pada ternak. Patologi yang ditimbulkan sebanding dengan yang dihasilkan oleh dosis mikobakteri yang lebih tinggi yang diinfeksikan ke ternak. Ternak yang diinfeksi dengan 1 cfu/ml memberikan respon positif yang kuat terhadap uji tuberkulin (1 cfu/ml M. bovis tercatat mengandung 6-10 sel basilus). Jumlah

minimum 1 cfu/ml M. bovis merupakan dosis infeksi yang cukup untuk

menimbulkan TB, tetapi jumlah inokulan bakteri yang ditumbuhkan pada media dalam penelitian ini adalah 105 cfu/ml, untuk memastikan pertumbuhannya.

Media baru berbasis agar dalam penelitian ini, yaitu MOA, memiliki kelebihan dibandingkan dengan media berbasis telur lainnya (LJ dan MO), yaitu konsistensinya lebih keras, sehingga koloni bakteri lebih mudah dipanen. Namun demikian, MOA memiliki kelemahan, yaitu tidak mengandung komponen albumin. Menurut Ratledge (2007), albumin mengandung transferin dan ovoferin (atau ovotransferin), yaitu molekul pengikat besi. Struktur ini biasanya juga mengandung residu asam hidroksi benzoat atau dihidroksi benzoat. Residu ini meliputi mikobaktin dan karboksimikobaktin, yang ditemukan pada mikobakteri patogen, seperti M. tuberculosis, M. avium, atau M. bovis. Kompleks siderofora-

besi memasuki amplop, masuk ke dalam membran sel bakteri, tempat Fe(III) biasanya tereduksi menjadi Fe(II). Besi yang diperoleh bakteri patogen digunakan untuk berbagai aktivitas biokimiawi. Namun demikian, ketiadaan albumin tidak otomatis mengakibatkan bakteri patogen tidak dapat tumbuh pada MOA, karena kuning telur juga mengandung komponen yang mampu mengikat besi.

6

SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait