• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Kerapatan Saluran Udara dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas Terhadap Kualitas Pembakaran Kompor Biobriket Limbah Sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Kerapatan Saluran Udara dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas Terhadap Kualitas Pembakaran Kompor Biobriket Limbah Sawit"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

UJI PENGARUH KERAPATAN SALURAN UDARA DAN KETINGGIAN MINYAK GORENG BEKAS TERHADAP KUALITAS PEMBAKARAN

KOMPOR BIOBRIKET LIMBAH SAWIT

SKRIPSI

ZULVI ARWAN FAKIH 080308056

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

(2)

UJI PENGARUH KERAPATAN SALURAN UDARA DAN KETINGGIAN MINYAK GORENG BEKAS TERHADAP KUALITAS PEMBAKARAN

KOMPOR BIOBRIKET LIMBAH SAWIT

SKRIPSI

OLEH :

ZULVI ARWAN FAKIH

080308056/KETEKNIKAN PERTANIAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

(Ir. Saipul Bahri Daulay, M.si) Ketua

(3)

ABSTRAK

ZULVI ARWAN FAKIH: Uji Kerapatan Saluran Udara dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas Terhadap Kualitas Pembakaran Kompor Biobriket Limbah Sawit, dibimbing oleh SAIPUL BAHRI DAULAY dan SUMONO.

Limbah padat pabrik kelapa sawit yang berasal dari sisa proses produksi CPO yang dialirkan ke kolam limbah (Cooling Pond I) yang sudah menjadi tanah biasanya dibuang sehingga dapat mencemari lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah kelapa sawit sebagai briket. Briket merupakan salah satu bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar minyak (BBM). Pengujian yang dilakukan adalah dengan rancangan acak lengkap faktorial 2 faktor yaitu kerapatan saluran udara (0,4 cm, 0,8 cm, dan 1,2 cm) dan ketinggian minyak goreng bekas (2 cm, 2,5 cm, dan 3 cm). Parameter yang diamati adalah lama pemanasan, volume minyak, dan kejelagaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan saluran udara memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap lama pemanasan, volume minyak dan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kejelagaan. Ketinggian minyak goreng bekas memberikan pengaruh yang nyata terhadap kejelagaan dan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap lama pemanasan dan volume minyak.

Kombinasi perlakuan yang terbaik dari hasil penelitian ini adalah perlakuan L1T2 (Kerapatan saluran udara 0,4 cm dan ketinggian minyak goreng bekas 2,5 cm) yang menghasilkan lama pemanasan 43,90 menit, dan kejelagaan 1,79 gr.

Kata kunci: Briket, Kerapatan Saluran Udara, Ketinggian Minyak Goreng Bekas, Limbah Padat Kelapa Sawit.

ABSTRACT

ZULVI ARWAN FAKIH: Effect of Density of Air Line and Height of Used Cooking Oil on Burning Quality of Oil Palm Soil Waste Biobriquettes, supervised by SAIPUL BAHRI DAULAY and SUMONO.

Palm oil mill solid waste resulting from CPO production process is channeled into pond waste (Cooling Pond I). It is usually thrown to the ground so that it can contaminate the environment. This study was aim to utilize the oil palm waste as briquettes. Briquettes is one of the alternative to replace oil. Research was done by completely randomized factorial design with 2 factors i.e : density of air line (0,4, 0,8, and 1,2 cm) and Height of used cooking oil (2, 2,5, and 3 cm). Parameters observed were heating time, oil volume, and sootness.

The results showed that the density of air line had a highly significant effect on the heating time, volume of oil and had no effect on the sootnes. Height of used cooking oil had a significant effect on sootness and had no effect on the heating time and volume of oil.

The best treatment combination was L1T2 (0,4 centimeters density of air line and 2,5 centimeters Height of used cooking oil) with equipment heatimg time of 43,90 minute and 1,79 gr sootness.

(4)

RIWAYAT HIDUP

Zulvi Arwan Fakih, dilahirkan di Kisaran pada tanggal 26 Mei 1990 dari Ayah M. Sofyan dan Ibu Munawarah. Penulis merupakan putra kedua dari tiga

bersaudara.

Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Kisaran dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sumatra Utara melalui jalur SNMPTN

(Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Penulis memilih Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian (IMATETA) Fakultas Pertanian USU.

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di Pabrik Kelapa

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Uji Pengaruh Kerapatan Saluran Udara Dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas Terhadap Kualitas Pembakaran Kompor Biobriket Limbah Sawit” yang merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian di Program Studi

Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada

Bapak Ir. Saipul Bahri Daulay, M.Si., selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, MS., selaku anggota komisi pembimbing.

Penulis menyadari di dalam pembuatan skripsi ini masih banyak terdapat

kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penulisan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Maret 2013

(6)

DAFTAR ISI

Tujuan Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA

Keunggulan Briket Bioarang ... 9

Kelemahan Briket Bioarang ... 10

Perekat ... 11

Kelapa Sawit ... 12

Limbah Pabrik Kelapa Sawit ... 14

Kompor ... 15

Kompor Briket Bioarang ... 16

Minyak goreng bekas ... 20

Jelaga ... 21

Lama Pemanasan ... 22

Volume Minyak ... 22

Proses Pengarangan ... 23

Proses pengeringan ... 24

Uji Nyala ... 24

Nilai Kalor ... 245

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

Bahan dan Alat Penelitian ... 26

Metode Penelitian ... 27

Model Rancangan Penelitian... 278

Pembuatan Alat ... 28

Pembuatan Bahan ... 29

Prosedur Penelitian ... 29

Parameter Yang Diamati ... 30

Analisa Data ... 301

HASIL DAN PEMBAHASAN Biobriket ... 32

Kompor Biobriket ... 32

Pengaruh Kerapatan Saluran Udara ... 33

(7)

Lama Pemanasan ... 35

Pengaruh Kerapatan Saluran Udara terhadap Lama Pemanasan ... 35

Pengaruh Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Lama Pemanasan ... 35

Pengaruh Interaksi Antara Kerapatan Saluran Udara Dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Lama Pemanasan ... 40

Volume Minyak ... 40

Pengaruh Kerapatan Saluran Udara terhadap Volume Minyak ... 40

Pengaruh Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Volume Minyak ... 41

Pengaruh Interaksi Antara Kerapatan Saluran Udara Dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Volume Minyak (ml) ... 42

Kejelagaan ... 42

Pengaruh Kerapatan Saluran Udara terhadap Kejelagaan ... 42

Pengaruh Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Kejelagaan ... 42

Pengaruh Interaksi Antara Kerapatan Saluran Udara Dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Kejelagaan ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 46

Saran... ... 47

(8)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Rendemen Limbah Padat ... 15 2. Beberapa Permasalahan Uji Nyala ... 24

3. Pengaruh kerapatan Saluran Udara terhadap parameter yang diamati ... 33 4. Pengaruh ketinggian minyak goreng bekas terhadap parameter yang diamati ... 34

5. Uji DMRT efek utama pengaruh interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap lama pemanasan ... 36

6. Uji DMRT efek utama pengaruh kerapatan saluran udara terhadap volume minyak ... 40

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Flowchart Penelitian ... 51

2. Data Pengamatan Lama Pemanasan ... 52

3. Data Analisis Sidik Ragam Lama Pemanasan ... 52

4. Data Pengamatan Volume Minyak ... 53

5. Data Analisis Sidik Ragam Volume Minyak ... 53

6. Data Pengamatan Kejelagaan ... 54

(10)

ABSTRAK

ZULVI ARWAN FAKIH: Uji Kerapatan Saluran Udara dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas Terhadap Kualitas Pembakaran Kompor Biobriket Limbah Sawit, dibimbing oleh SAIPUL BAHRI DAULAY dan SUMONO.

Limbah padat pabrik kelapa sawit yang berasal dari sisa proses produksi CPO yang dialirkan ke kolam limbah (Cooling Pond I) yang sudah menjadi tanah biasanya dibuang sehingga dapat mencemari lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah kelapa sawit sebagai briket. Briket merupakan salah satu bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar minyak (BBM). Pengujian yang dilakukan adalah dengan rancangan acak lengkap faktorial 2 faktor yaitu kerapatan saluran udara (0,4 cm, 0,8 cm, dan 1,2 cm) dan ketinggian minyak goreng bekas (2 cm, 2,5 cm, dan 3 cm). Parameter yang diamati adalah lama pemanasan, volume minyak, dan kejelagaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan saluran udara memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap lama pemanasan, volume minyak dan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kejelagaan. Ketinggian minyak goreng bekas memberikan pengaruh yang nyata terhadap kejelagaan dan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap lama pemanasan dan volume minyak.

Kombinasi perlakuan yang terbaik dari hasil penelitian ini adalah perlakuan L1T2 (Kerapatan saluran udara 0,4 cm dan ketinggian minyak goreng bekas 2,5 cm) yang menghasilkan lama pemanasan 43,90 menit, dan kejelagaan 1,79 gr.

Kata kunci: Briket, Kerapatan Saluran Udara, Ketinggian Minyak Goreng Bekas, Limbah Padat Kelapa Sawit.

ABSTRACT

ZULVI ARWAN FAKIH: Effect of Density of Air Line and Height of Used Cooking Oil on Burning Quality of Oil Palm Soil Waste Biobriquettes, supervised by SAIPUL BAHRI DAULAY and SUMONO.

Palm oil mill solid waste resulting from CPO production process is channeled into pond waste (Cooling Pond I). It is usually thrown to the ground so that it can contaminate the environment. This study was aim to utilize the oil palm waste as briquettes. Briquettes is one of the alternative to replace oil. Research was done by completely randomized factorial design with 2 factors i.e : density of air line (0,4, 0,8, and 1,2 cm) and Height of used cooking oil (2, 2,5, and 3 cm). Parameters observed were heating time, oil volume, and sootness.

The results showed that the density of air line had a highly significant effect on the heating time, volume of oil and had no effect on the sootnes. Height of used cooking oil had a significant effect on sootness and had no effect on the heating time and volume of oil.

The best treatment combination was L1T2 (0,4 centimeters density of air line and 2,5 centimeters Height of used cooking oil) with equipment heatimg time of 43,90 minute and 1,79 gr sootness.

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kehidupan manusia tidak terlepas dari kebutuhan energi dimana

pertambahan jumlah penduduk yang disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat berdampak pada makin meningkatnya kebutuhan energi terhadap

aktivitas industri dan sarana transportasi.

Krisis energi yang menimpa negara Indonesia ditandai dengan semakin langkanya BBM di tengah-tengah masyarakat serta harga BBM yang merangkak

naik disebabkan harga minyak dunia yang melonjak tinggi sekali. Rencana penghapusan subsidi BBM secara bertahap menyebabkan kenaikan harga

BBM.Kenaikan ini mempengaruhi daya beli masyarakat di golongan ekonomi lemah dan mengurangi kemampuan dari industri kecil yang menggunakan BBM.

Untuk mengantisipasi permasalahan energi tersebut maka perlu

dikembangkan suatu alternatif energi terbarukan, dimana energi terbarukan tersebut dapat berupa energi hijau yang berasal dari alam maupun turunan

biologisnya. Salah satu contoh limbah dari pabrik kelapa sawit. Proses pengolahan ini akan menghasilkan limbah padat, limbah cair, dan gas. Limbah cair yang dihasilkan sebanyak 600-700 kg POME (Palm Oil Mill Effluent). Limbah padat yang dihasilkan adalah serat dan cangkang sebanyak 190 kg dan 230 kg TKKS (Tandan Kosong Kelapa Sawit), segar (kadar air 65%) (Lacrosse, 2004).

(12)

kurang termanfaatkan. Limbah pertanian merupakan sumber energi alternatif yang

melimpah dengan kandungan energi yang relatif besar.

Menurut Loebis dan Tobing (1989), limbah cair PKS (Pabrik Kelapa

Sawit) berasal dari air kondesat rebusan (150-175 kg/ton TBS), air drab (lumpur) klarifikasi (350-450 kg/ton TBS), dan air hidroksiklon (100-150 kg/ton TBS). Limbah perkebunan tersebut dapat diolah menjadi suatu bahan bakar padat buatan

yang lebih luas penggunaannya sebagai bahan bakar alternatif yang disebut biobriket. Salah satu contonya adalah biobriket dari limbah kelapa sawit yang

berasal dari sisa proses produksi CPO (Crude Palm Oil) yang dialirkan ke kolam limbah kemudian menjadi bahan organik. Biobriket limbah kelapa sawit ini merupakan bahan bakar alternatif yang dapat menggantikan minyak. Sehingga

pemanfaatan limbah sawit dan minyak jelantah dapat dioptimalkan sebagai bahan bakar alternatif.

Pemanfaatan biobriket dapat dimaksimalkan dengan menggunakan kompor biobriket. Kompor biobriket secara garis besar terdiri dari tiga komponen utama, meliputi : ruang pembakaran, ruang bahan bakar, dan ruang pemasok

udara. Di pasaran sudah ada beberapa jenis kompor biobriket yang diproduksi, akan tetapi hanya berbahan bakar biobriket dari biomassa saja bukan perpaduan antara biobriket biomassa dengan minyak jelantah. Kompor biobriket yang

berbahan biomassa lebih cepat untuk padam dan menjadi abu sedangkan dengan perpaduan dengan minyak jelantah akan lebih lama dimana biobriket tersebut

(13)

Menurut Sigalingging dan Rohanah (2011), jarak lubang pada kompor

biobriket dirancang sedemikian rupa sehingga pada saat pembakaran oksigen yang dibutuhkan dalam proses pembakaran ini dapat mengalir melalui lubang

udara tersebut. Jarak antara lubang akan mempengaruhi jumlah Oksigen yang masuk dalam ruang pembakaran. Jumlah Oksigen sangat berpengaruh dalam reaksi pembakaran. Pembakaran sempurna bahan bakar terjadi hanya jika ada

pasokan oksigen yang cukup. Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia (2006) mengemukakan bahwa karbon terbakar yang membentuk CO2 akan

menghasilkan lebih banyak panas per satuan bahan bakar daripada bila menghasilkan CO atau asap.

Kebutuhan minyak dapat diperoleh dari lama masak yang dibutuhkan

untuk memasak air. Pengaruh jarak antar lubang dengan tinggi minyak terhadap volume minyak yang dibutuhkan dalam pemanasan air volume 1 liter dan 3 liter

sangat nyata perbedaannya dalam Sigalingging dan Rohanah (2011).

Pada saat terjadi pembakaran diruang pembakaran, kompor yang berbahan bakar biobriket dengan minyak jelantah akan menghasilkan asap dan api yang

dihasilkan berwarna merah. Hal ini disebabkan pembakaran yang tidak sempurna. Pembakaran yang sempurna akan terjadi jika cukup udara (O2) pada saat

pembakaran. Jumlah O2 tertentu diperlukan untuk pembakaran yang sempurna

dengan tambahan sejumlah udara (udara berlebih) diperlukan untuk menjamin pembakaran yang sempurna. Walau demikian, terlalu banyak udara berlebih akan

(14)

(dalam abu atau gas yang tidak sempurna), yang masih menghasilkan CO selain

Co2. Proses pembakaran padatan terdiri dari beberapa tahap seperti pemanasan,

pengeringan, devolatisasi dan pembakaran arang. Selama proses devolatisasi,

kandungan volatile akan keluar dalam bentuk gas seperti : CO, CO2,CH4, dan H.

Untuk mengatasi hal tersebut perlu diuji pengaruh kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap kualitas pembakaran kompor

biobriket limbah sawit agar diperoleh pembakaran yang sempurna.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap kualitas pembakaran kompor biobriket limbah sawit.

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan penulis untuk menyusun skripsi yang merupakan syarat

untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

2. Bagi mahasiswa, sebagai informasi pendukung untuk melakukan

penelitian lebih lanjut mengenai kompor biobriket dengan minyak goreng bekas yang lebih efektif dan efisien.

3. Bagi masyarakat, sebagai alat bantu dalam proses masak-memasak.

Hipotesis Penelitian

Adanya pengaruh kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Energi

Menurut Daryanto (2007) energi adalah sumber daya yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan termasuk bahan bakar, listrik, energi mekanik, dan panas. Sumber energi merupakan sebagian dari

sumber daya alam yang meliputi minyak dan gas bumi, batu bara, air, panas bumi, gambut, biomassa dan sebagainya, baik secara langsung atau tidak langsung dapat

dimanfaatkan sebagai energi (Daryanto, 2007).

Situasi energi di Indonesia tidak lepas dari situasi energi dunia. Konsumsi energi dunia yang makin meningkat membuka kesempatan bagi Indonesia untuk

mencari sumber energi alternatif untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Seperti diketahui Indonesia sangat berkepentingan untuk menggantikan sumber daya energi minyak dengan sumber daya energi lainnya karena minyak merupakan

sumber daya energi yang menghasilkan devisa selain gas alam. Oleh karena itu, sektor-sektor perekonomian yang memanfaatkan minyak sedapat mungkin

menggantikannya dengan sumber daya lain seperti gas alam, batubara, panas bumi, listrik tenaga air, dan biomassa yang tersedia dalam jumlah besar (Reksohadiprojo, 1988).

Bahan Bakar

Bahan bakar adalah istilah popular media untuk menyalakan api. Bahan

bakar dapat bersifat alami (ditemukan langsung dari alam), tetapi juga bersifat buatan (diolah dengan teknologi maju). Bahan bakar alami misalnya kayu bakar, batubara, dan minyak bumi. Bahan bakar buatan misalnya gas alam cair dan

(16)

langsung menghasilkan panas. Panas inilah yang sebenarnya dibutuhkan manusia

dari proses pembakaran, disamping cahaya akibat nyalanya (Ismun,1993).

Sepanjang sejarah, berbagai jenis bahan telah digunakan sebagai bahan

bakar (bergantung pada ketersediaannya di suatu wilayah tertentu). Berikut ini adalah beberapa jenis bahan bakar yang kita gunakan: batubara, minyak jelantah, gas alam, propane, etanol, methanol, biomassa (Walker, 2008).

Biomassa

Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses

fotosintesis baik berupa produk maupun buangan. Contoh biomassa antara lain adalah tanaman, pepohonan, rumput, limbah pertanian, limbah hutan, tinja, dan kotoran ternak. Selain digunakan untuk tujuan primer serat, bahan pangan, pakan

ternak, minyak nabati, bahan bangunan, dan sebagainya. Biomassa juga digunakan sebagai sumber energi (bahan bakar). Yang digunakan adalah bahan

bakar biomassa yang nilai ekonomisnya rendah atau merupakan limbah setelah diambil produk primernya (Pari dan Hartoyo, 1983).

Sedangkan menurut Silalahi (2000), biomassa adalah campuran material

organik yang kompleks, biasanya terdiri dari karbohidrat, lemak protein dan mineral lain yang jumlahnya sedikit seperti sodium, fosfor, kalsium, dan besi.

Komponen utama tanaman biomassa adalah karbohidrat (berat kering ±75%),

lignin (± 25%) dimana dalam beberapa tanaman komposisinya berbeda-beda.

Energi biomassa dapat menjadi sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil (minyak bumi) karena beberapa sifatnya yang menguntungkan yaitu,

(17)

juga dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan dan pertanian

(Widardo dan Suryanta, 1995).

Indonesia sebagai negara agraris mempunyai potensi biomassa yang relatif

besar yang berasal dari limbah pertanian, perkebunan, kehutanan, limbah ternak dan limbah kota (sampah). Energi biomassa ini dipakai baik sebagai pembangkit listirik, energi panas atau energi mekanik (penggerak). Dengan melihat potensi

besar ini, maka pemanfaatannya untuk energi akan memberi kontribusi yang cukup berarti dalam pemenuhan kebutuhan energi masyarakat. Pada kenyataannya

meskipun potensi energi biomassa relatif besar namun pemanfaatannya sampai saat ini belum optimal (Daryanto, 2007).

Bioarang

Bioarang merupakan arang (salah satu jenis bahan bakar) yang dibuat dari aneka macam bahan hayati atau biomassa, misalnya kayu, ranting, daun-daunan,

rumput, jerami, kertas maupun limbah pertanian lainnya yang dapat dikarbonisasi. Bioarang ini dapat digunakan melalui proses pengolahan salah satunya adalah menjadi briket bioarang (Archenita, dkk., 2011).

Sedang menurut Johannes (1991), bioarang adalah arang yang diproses dengan membakar biomassa kering tanpa udara (pirolisi). Energi biomassa yang diubah menjadi energi kimia inilah yang disebut dengan bioarang.

Briket

Briket adalah bahan bakar padat yang dapat digunakan sebagai bahan

(18)

dengan sedikit campuran perekat. Briket Batubara ini dibagi lagi menjadi dua

jenis, yaitu briket batubata terkarbonisasi (melalui proses pembakaran) dan briket tanpa karbonisasi (tanpa proses pembakaran). Briket Bio-batubara adalah briket

campuran antara batubara dan biomassa dengan sedikit perekat. Contoh briket bio-batubara ini adalah briket campuran cangkang sawit dan batubara. Biobriket adalah bahan bakar padat yang terbuat dari bahan baku biomassa dengan

campuran sedikit perekat. Komposisi masing-masing jenis perekat tersebut adalah: 80%-95% batubara dan 5%-20% perekat untuk briket batubara tanpa

karbonisasi, 80%-90% batubara dan 5%-15% perekat untuk briket batubara dengan karbonisasi, serta 50%-80% batubara dan 10%-40% biomassa dengan 5%-10% perekat untuk briket bio-batubara. Adonan 94% arang sekam dan 6% perekat

pati kanji pada pembuatan briket sekam dengan metode pengarangan menghasilkan briket arang sekam yang cukup kompak dengan daya bakar yang

baik (Sulistyanto, 2006).

Briket bioarang yang didefinisikan sebagai bahan bakar yang berwujud padat dan berasal dari sisa-sisa bahan organik yang telah mengalami proses

pemampatan dengan daya tekan tertentu. Briket bioarang dapat menggantikan penggunaan kayu bakar yang mulai meningkat konsumsinya. Selain itu harga

briket bioarang relatif murah dan terjangkau oleh masyarakat

(Hambali, dkk., 2007).

Pembuatan briket arang dari limbah dapat dilakukan dengan menambah

(19)

Hartoyo (1983) menyimpulkan bahwa briket arang yang dihasilkan setaraf dengan

arang buatan Inggris dan memenuhi persyaratan yang berlaku di Jepang karena menghasilkan kadar abu dan zat yang menguap rendah serta tinggi kadar karbon

terikat dan nilai kalor.

Menurut Schuchart, dkk (1996) pembuatan briket dengan penggunaan bahan perekat akan lebih baik hasilnya jika dibandingkan tanpa menggunakan

bahan perekat. Disamping meningkatkan nilai bakar dari bioarang, kekuatan briket arang dari tekanan luar juga lebih baik (tidak mudah pecah).

Sifat briket yang baik yakni tidak berasap dan tidak berbau pada saat pembakaran. Mempunyai kekuatan tertentu sehingga tidak mudah pecah waktu

diangkat dan dipindah-pindah, mempunyai suhu pembakaran tetap (± 350 )

dalam jangka waktu yang panjang (8-10 jam), setelah pembakaran masih

mempunyai kekuatan tertentu sehingga mudah untuk dikeluarkan dari tungku masak, gas hasil pembakaran tidak mengandung gas karbon monoksida yang tinggi (Sukandarrumidi, 1995).

Persyaratan arang briket yang baik adalah bersih, tidak berdebu, dan berbau, mempunyai kekerasan yang merata, kadar abu serendah mungkin, nilai

kalor setara dengan bahan bakar lain, menyala dengan baik dan memberikan panas secara merata serta harganya bersaing dengan bahan bakar lain (Said, 1996).

Keunggulan Briket Bioarang

Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan briket bioarang antara lain

(20)

perlu membeli karena berasal dari sampah, daun-daun kering, limbah pertanian.

Bahan baku untuk pembuatan arang umumnya telah tersedia disekitar kita. Briket bioarang dalam penggunaannya menggunakan tungku yang relatif kecil

dibandingkan dengan tungku yang lainnya (Andry, 2000).

Kelemahan Briket Bioarang

Sumber bahan baku yang melimpah di Indonesia menjadikannya sebagai

sumber daya energi yang paling menjanjikan. Namun selain sumber daya yang melimpah dan keamanan yang lebih terjamin, biomassa juga memiliki celah-celah

keterbatasan yang perlu dipertimbangkan sebelum benar-benar menjadikannya sebagai primadona energi alternatif di Indonesia.

Salah satu keterbatasan dari biomassa adalah ketersediaannya

(availabilty). Meskipun secara agregat, biomassa memiliki jumlah yang melimpah, namun pada kenyatannya sumber daya tersebut tersebar jauh di

beberapa lokasi dalam kuantitas yang lebih kecil. Selain itu, biomassa memiliki karakter musiman yang berarti tidak selalu tersedia sepanjang waktu. Biomassa juga memiliki konten energi yang relatif jauh lebih kecil dibandingkan para

(21)

Perekat

Perekat adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan untuk mengikat dua benda melalui ikatan permukaan. Beberapa istilah lain dari perekat

yang memiliki kekhususan meliputi glue, mucilage, paste, dan cement.

- Glue merupakan perekat yang terbuat dari protein hewani, seperti kulit, kuku, urat, otot, dan tulang yang secara luas digunakan dalam industri

pengerjaan kayu.

- Mucilage adalah perekat yang dipersiapkan dari getah dan air dan diperuntukkan terutama untuk perekat kertas.

- Paste merupakan perekat pati (starch) yang dibuat melalui pemanasan campuran pati dan air dan dipertahankan berbentuk pasta.

- Cement adalah istilah yang digunakan untuk perekat yang bahan dasarnya karet dan mengeras melalui pelepasan pelarut (Ruhendi, dkk., 2007).

Berdasarkan sumber dan komposisi kimianya, perekat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:

1. Perekat yang berasal dari tumbuhan seperti kanji.

2. Perekat yang berasal dari hewan seperti perekat kasein.

3. Perekat sintetik yaitu perekat yang dibuat dari bahan sintetis contohnya urea formaldehid (Hartomo, 1992).

Salah satu persyaratan yang perlu diperhatikan dalam memilih extender perekat adalah bahan harus memiliki daya rekat yang kuat. Bahan yang memiliki

daya rekat yang cukup biasanya yang mengandung protein dan pati khususnya

(22)

Kanji adalah perekat tapioka yang dibuat dari tepung tapioka dicampur air

dalam jumlah tidak melebihi 70% dari berat serbuk arang dan kemudian dipanaskan sampai berbentuk jeli. Pencampuran kanji dengan serbuk arang

diupayakan dengan merata. Dengan cara manual pencampuran dilakukan dengan meremas-remas menggunakan tangan, secara maksimal dilakukan oleh alat mixer (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 1994).

Kelapa Sawit

Klasifikasi botani kelapa sawit adalah sebagai berikut:

Divisi : Tracheophyta Subdivision : Pteropsida Kelas : Angiospermae

Subkelas : Monocotiledonae Ordo : Cocoidae

Familia : Palmae Genus : Elaies

Spesies : Elaies guinensis Varietas : Dura, Psifera, Tenera

Buah kelapa sawit secara umum terbagi dalam 3 bagian yaitu: a. Kulit buah

Merupakan bagian terluar buah kelapa sawit. Bagian ini berfungsi sebagai pelindung mesokarp.

b. Daging buah (Mesokarp)

(23)

c. Tempurung atau cangkang (Endocarp)

Tempurung merupakan bagian buah kelapa sawit yang berfungsi melindungi inti.

d. Inti buah kelapa sawit (Endosperm)

Kernel merupakan bagian terpenting kedua setelah mesokarp dapri inti inilah akan dihasilkan PKO.

(Mustafa, 2004)

Kelapa sawit merupakan tanaman tropis penghasil minyak nabati yang

hingga saat ini diakui paling produktif dan ekonomis dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Jika dibandingkan dengan kelapa (nyiur), bahwa suatu kebun kelapa sawit yang keadaannya kurang baik sekalipun masih

memberikan hasil minyak yang lebih tinggi daripada kebun kelapa yang terpelihara baik (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003).

Buah kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak. Minyak yang berasal dari daging buah (mesokarp) berwarna merah.Jenis minyak ini dikenal sebagai minyak kelapa sawit kasar atau crude palm oil (CPO). Sedangkan minyak yang kedua berasal dari inti kelapa sawit, tidak berwarna, dikenal sebagai minyak inti kelapa sawit atau palm kernel oil (PKO). Minyak yang kedua ini komposisi kimia dan warnanya hampir sama dengan minyak kelapa nyiur. Di samping minyak,

buah kelapa sawit juga menghasilkan bahan padatan berupa sabut, cangkang (tempurung), dan tandan buah kosong kelapa sawit. Bahan padatan ini

(24)

Limbah Pabrik Kelapa Sawit

Perkembangan areal perkebunan kelapa sawit yang diikuti dengan pembangunan pabrik yang cukup pesat akan mempengaruhi lingkungan sekitar

terutama lingkungan badan penerima limbah. Untuk mengurangi dampak negatif pabrik pengolah kelapa sawit yang mengacu pada undang-undang No. 4 tahun 1982 dan peraturan pemerintah, maka pengendalian limbah pabrik kelapa sawit

harus dilakukan dengan baik. Pengendalian limbah pabrik kelapa sawit dapat dilakukan dengan cara pemanfaatan, pengurangan volume limbah dan

pengawasan mutu limbah (Naibaho, 1996).

Industri pengelolaan buah kelapa sawit menjadi minyak sawit atau CPO (Crude Palm Oil) dan inti sawit juga akan menghasilkan limbah yang terdiri dari limbah padat, limbah cair, dan gas. Limbah cair dan padat PKS merupakan bahan organik yang mengandung hara yang diperlukan oleh tanaman, oleh karena itu

aplikasi limbah padat dan cair tersebut merupakan usaha daur ulang sebagian hara (nutrient recycling) yang terikut melalui panen Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit, sehingga akan mengurangi biaya pemupukan yang tergolong sangat tinggi

untuk budidaya tanaman Kelapa Sawit (Nainggolan dan Susilawati, 2011).

Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) adalah salah satu limbah yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah besar dan

(25)

kompos, bahan pengisi kertas atau pulp, bahan partikel arang briket, polipot, dan

lain-lain (Nainggolan dan susilawati, 2011).

Limbah padat yang dihasilkan oleh pabrik pengolah kelapa sawit ialah

tandan kosong, serat, dan tempurung.

Tabel 1. Rendemen Limbah Padat

Jenis Persentase terhadap TBS Hasil proses

Basah Kering

Kompor adalah alat masak yang menghasilkan panas tinggi. Biasanya

kompor ditemukan di dapur dan bahan bakarnya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu cair, padat, dan gas. Pada dasarnya jenis kompor yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah kompor minyak tanah dan kompor gas.

Meskipun demikian, masih ada jenis lain yang juga bisa dijadikan sebagai alat memasak. Apalagi, kondisi saat ini di mana harga bahan bakar untuk kompor

minyak dan gas semakin mahal maka mulai perlu diperhatikan kembali berbagai

jenis kompor dengan alternatif bahan bakar tanpa minyak dan gas (Kuncoro dan Damanik, 2005).

Berdasarkan bahan bakarnya, kompor dapat dibagi menjadi beberapa jenis sebagai berikut :

1. Kompor minyak tanah

(26)

warung/rumah makan.Seperti namanya, kompor ini berbahan bakar minyak

tanah. Namun demikian, kelemahan kompor minyak tanah bila pembakaran kurang sempurna maka api berubah menjadi kuning/merah sehingga

menimbulkan jelaga. 2. Kompor gas

Kompor ini berbahan bakar yang biasa digunakan di rumah tangga ataupun

warung, yaitu jenis LPG.Keunggulan kompor ini adalah emisi yang dikeluarkan relatif lebih sedikit dan tidak cenderung menyebabkan wadah

masak menjadi hitam atau tidak merusak panci. Selain itu, memasak dengan menggunakan kompor gas lebih cepat dibandingkan memasak dengan menggunakan kompor minyak tanah. Kompor ini memiliki kelemahan, yaitu

harga kompornya cukup mahal dan bahan bakarnya pun mahal. 3. Kompor listrik

Prinsip kerja kompor ini adalah mengubah energi listrik menjadi energi panas. Umumnya kompor ini cukup mahal.

4. Kompor biogas

5. Tungku kayu bakar dan arang 6. Tungku serbuk gergaji

7. Kompor briket(Eriko, 2008).

Kompor Briket Bioarang

Kompor briket adalah alat masak yang menggunakan bahan bakar dari

(27)

penampilan, daya tahan kompor, maupun mobilitas (mudah dipindahkan atau

tidak). Beberapa bahan dasar yang digunakan untuk membuat kompor batubara : 1. Logam

2. Bata atau semen 3. Keramik

4. Gerabah

Pada dasarnya, tahapan membuat kompor briket batubara tidak jauh berbeda

dengan membuat kompor biasa yang berbahan minyak tanah

(Kuncoro dan Damanik, 2005).

Perancangan kompor biobriket dilakukan sedemikian rupa dengan membagi menjadi beberapa bagian yaitu ruang penampung bahan bakar (minyak

jelantah dan biobriket), saringan udara dan kaki penyangga. Kerangka dan saringan udara dibuat secara terpisah antara bagian yang satu dengan yang lainnya

sehingga dapat dibongkar pasang. Kompor biobriket memiliki tinggi 20 cm, lebar 18 cm, dan diameter 15 cm. Ruang pembakaran merupakan tempat menampung minyak jelantah dan biobriket (Sigalingging dan Rohanah, 2011).

Pembakaran merupakan oksidasi cepat bahan bakar disertai dengan produksi panas, atau panas dan cahaya. Pembakaran sempurna bahan bakar terjadi hanya jika ada pasokan oksigen yang cukup. Oksigen (O2) merupakan salah satu

elemen bumi paling umum yang jumlahnya mencapai 20,9 % dari udara. Bahan bakar padat atau cair harus diubah ke bentuk gas sebelum dibakar. Biasanya

(28)

elemen lainnya. Nitrogen dianggap sebagai pengencer yang menurunkan suhu

yang harus ada untuk mencapai oksigen yang dibutuhkan untuk pembakaran. Nitrogen mengurangi efisiensi pembakaran dengan cara menyerap panas dari

pembakaran bahan bakar dan mengencerkan gas buang. Nitrogen juga mengurangi transfer panas pada permukaan alat penukar panas, juga meningkatkan volum hasil samping pembakaran, yang juga harus dialirkan

melalui alat penukar panas sampai ke cerobong. Nitrogen ini juga dapat bergabung dengan oksigen (terutama pada suhu nyala yang tinggi) untuk

menghasilkan oksida nitrogen (NOx), yang merupakan pencemar beracun. Karbon, hidrogen dan sulfur dalam bahan bakar bercampur dengan oksigen di udara membentuk karbon dioksida, uap air dan sulfur dioksida, melepaskan panas

masing-masing 8.084 kkal, 28.922 kkal dan 2.224 kkal. Pada kondisi tertentu, karbon juga dapat bergabung dengan oksigen membentuk karbon monoksida,

dengan melepaskan sejumlah kecil panas (2.430 kkal/kg karbon). Karbon terbakar yang membentuk CO2 akan menghasilkan lebih banyak panas per satuan bahan

bakar daripada bila menghasilkan CO atau asap. Setiap kilogram CO yang

terbentuk berarti kehilangan panas 5654 kKal (8084 – 2430).

Reaksi kimia pada proses pebakaran adalah sebagai berikut :

C + O2 CO2 + 8.024 kkal/kg

2 C + O2 2 CO + 2.430 kkal/kg Karbon

2 H2 + O2 2 H2O + 28.922 kkal/kg Hidrogen

S + O2 SO2 + 2.224 kkal/kg Sulfur

(Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia, 2006).

Tujuan dari pembakaran yang baik adalah melepaskan seluruh panas yang terdapat dalam bahan bakar. Hal ini dilakukan dengan pengontrolan “tiga T”

(29)

1. Temperature/Suhu yang cukup tinggi untuk menyalakan dan menjaga penyalaan bahan bakar.

2. Turbulence/Turbulensi atau pencampuran oksigen dan bahan bakar yang baik

3. Time/Waktu yang cukup untuk pembakaran yang sempurna.

Gambar 1. Pembakaran yang sempurna, yang baik dan tidak sempurna (Biro Efisiensi Energi, 2004)

Jumlah O2 tertentu diperlukan untuk pembakaran yang sempurna dengan tambahan sejumlah udara (udara berlebih) diperlukan untuk menjamin pembakaran yang sempurna. Walau demikian, terlalu banyak udara berlebih akan

mengakibatkan kehilangan panas dan efisiensi. Tidak seluruh bahan bakar diubah menjadi panas dan diserap oleh peralatan pembangkit. Sehingga tantangan utama

dalam efisiensi pembakaran adalah mengarah ke karbon yang tidak terbakar (dalam abu atau gas yang tidak terbakar sempurna), yang masih menghasilkan CO selain CO2.

Menurut Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia (2006), karbon terbakar yang membentuk CO2akan menghasilkan lebih banyak panas per satuan

(30)

Minyak goreng bekas

Minyak jelantah adalah suatu jenis minyak yang diperoleh dari sisa hasil penggorengan berbagai macam kebutuhan (konsumsi) rumah tangga, jenis minyak

ini dapat dijumpai dimana saja, seperti di restoran-restoran, pabrik-pabrik pengolahan konsumsi rumah tangga, warung makan, penjual gorengan dipinggir jalan sampai hampir di setiap kehidupan rumah tangga. Atau dengan pengertian

lain minyak jelantah (waste cooking oil) merupakan limbah dan bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang

bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan. Jadi jelas bahwa pemakaian minyak jelantah yang berkelanjutan dapat merusak kesehatan manusia, menimbulkan penyakit kanker, dan akibat selanjutnya dapat mengurangi

kecerdasan generasi berikutnya. Untuk itu perlu penanganan yang tepat agar limbah minyak jelantah ini dapat bermanfaat dan tidak menimbulkan kerugian

dari aspek kesehatan manusia dan lingkungan (Mukhibin, 2010).

Penggunaan jelantah sebagai bahan bakar berdampak positif, karena jika dibuang minyak jelantah bisa mencemari lingkungan dan jika dipakai berulang 3

hingga 4 kali akan memicu penyakit kanker. Kandungan asam lemak bebas/jenuh (ALB) yang sangat tinggi pada minyak jelantah juga bisa menyebabkan kolesterol, hipertensi, kanker, dan penyumbatan peredaran darah bagi

penggunanya. Jenis formulasi yang terkandung dalam minyak jelantah itu tidak larut dalam air dan dapat mencemari lingkungan bila dibuang ke dalam air dan

(31)

menurunkan 100% emisi gas buangan Sulfur dan CO2 serta CO sampai dengan

50% (Antarnews, 2011).

Biobriket dimasukkan dalam ruang pembakaran yang telah diisi dengan

minyak jelantah sehingga biobriket terendam ke dalam minyak jelantah tersebut.Tinggi minyak diatur sedemikian sesuai dengan tinggi minyak yang diinginkan, tinggi minyak diukur dari dasar ruang pembakaran. Hal ini

menunjukkan berapa bagian biobriket yang terendam yang disebut sebagai tinggi minyak (1 cm; 1.5 cm; 2 cm). Jarak antar lubang dengan tinggi minyak jelantah

sangat berpengaruh dalam reaksi pembakaran (Sigalingging dan Rohanah, 2011).

Jelaga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jelaga adalah butiran

halus berwarna hitam yang terjadi akibat asap lampu atau obor, jelaga sering juga disebut dengan istilah sulang. Penyebab timbulnya jelaga biasanya karena pembakaran yang tidak sempurna atau terlalu banyak asap yang berwarna kehitaman, sehingga menyebabkan pembakaran menjadi berjelaga.

Briket dengan kualitas yang baik diantaranya memiliki tekstur yang halus,

tidak mudah pecah, keras, aman bagi manusia dan lingkungan dan juga memiliki sifat-sifat penyalaan yang baik, diantaranya adalah: mudah menyala, waktu nyala cukup lama, tidak menimbulkan jelaga, asap sedikit cepat hilang dan nilai kalor

yang cukup tinggi. Lama tidaknya menyala akan mempengaruhi kualitas dan efisiensi pembakaran, semakin lama menyala dengan nyala api konstan akan

(32)

Lama Pemanasan

Perlu diadakan uji nyala guna mengetahui apakah superkarbon yang dibuat dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Parameter yang diamati mencakup lama

penyalaan dan daya tahan bara hingga menjadi abu. Hasil pengujian menunjukkan bahwa sebuah superkarbon seberat 200 gr sanggup mendidihkan air sebanyak 2 liter dalam waktu 45 menit (Kurniawan dan Marsono, 2008).

Menurut Jamilatun (2011) waktu pendidihan air yang paling mudah adalah dengan bahan bakar briket batubara dengan waktu 5 menit. Karena bahannya

cukup kering, maka mudah terbakar dengan api yang besar, sehingga mudah mendidih. Tapi kalau dilihat waktunya hampir sama semua briket untuk memanaskan air 1 liter membutuhkan waktu yang hampir sama pada kisaran 5-7

menit, dengan suhu maksimal 100 . Dilihat dari lama tidaknya untuk

memanaskan air relatif tidak dipengaruhi oleh jenis briketnya, panas yang

dihasilkan dari pembakaran briket masih cukup banyak yang hilang ke lingkungan.

Volume Minyak

Kebutuhan minyak dapat diperoleh dari lama masak yang dibutuhkan untuk memasak air.Pengaruh jarak antar lubang dengan tinggi minyak terhadap

volume minyak yang dibutuhkan dalam pemanasan air volume 1 liter dan 3 liter sangat nyata perbedaannya dalam Sigalingging dan Rohanah (2011).

Viskositas adalah ukuran yang menyatakan kekentalan suatu cairan atau

fluida. Kekentalan merupakan sifat cairan yang berhubungan erat dengan hambatan untuk mengalir cepat seperti air, alkohol, dan bensin mempunyai

(33)

castor dan madu mempunyai viskositas besar. Jadi viskositas tidak lain

menentukan kecepatan mengalirnya suatu cairan (Sutiah, dkk., 2010). Proses Pengarangan

Karbonisasi adalah proses mengubah bahan baku asal menjadi karbon berwarna hitam melalui pembakaran dalam ruang tertutup dengan udara yang terbatas atau seminimal mungkin. Proses karbonisasi biasanya dilakukan dengan

memasukkan bahan organik kedalam lubang atau ruangan yang dindingnya tertutup, seperti di dalam tanah atau tangki yang terbuat dari plat baja. Setelah

dimasukkan, bahan disulut api hingga terbakar. Nyala api tersebut dikontrol, tujuan pengendalian tersebut agar bahan yang dibakar tidak menjadi abu tetapi menjadi arang yang masih terdapat energi di dalamnya sehingga dapat

dimanfaatkan sebagai bahan bakar (Kurniawan dan Marsono, 2008).

Pada proses pengarangan (pirolisa) adalah penguraian bioamassa (lysis) menjadi panas (pyro) pada suhu lebih dari 150 0C. Pada proses pirolisa terdapat beberapa tingkatan proses yaitu pirolisa primer dan pirolisa sekunder. Pirolisa primer adalah pirolisa yang terjadi pada bahan baku (umpan), sedangkan pirolisa

sekunder adalah pirolisa yang terjadi atas partikel dan gas/uap hasil pirolisa primer (Abdullah, dkk., 1991).

Selama proses pengarangan dengan alur konveksi pirolisa perlu

diperhatikan asap yang ditimbulkan selama proses tersebut : 1. Jika asap tebal dan putih, berarti bahan sedang mengering

(34)

3. Jika asap makin menipis dan berwarna biru berarti pengarangan hampir selesai

kemudian drum dibalik dan proses pembakaran selesai. (Hartoyo dan Roliandi, 1978).

Proses pengeringan

Pengeringan adalah pemindahan air keluar dari bahan sesuai dengan yang diinginkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan antara lain

adalah luas bahan yang dikeringkan, suhu ruang pengeringan, kecepatan aliran udara, dan tekanan udara dalam ruang pengering (Supriyono, 2003).

Kadar air briket sangat mempengaruhi nilai kalor atau nilai panas yang dihasilkan. Tingginya kadar air briket akan menyebabkan penurunan nilai kalor. Hal ini disebabkan karena panas yang tersimpan dalam briket terlebih dahulu

digunakan untuk mengeluarkan air yang ada sebelum kemudian menghasilkan

panas yang dapat dipergunakan sebagai panas pembakaran

(Hendra dan Darmawan, 2000).

Uji Nyala

Uji nyala pelu dilaksanakan guna mengetahui apakah superkarbon yang

dibuat dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Parameter yang di amati mencakup lama penyalaan.

Tabel 2. Beberapa Permasalahan Uji Nyala

Permasalahan Faktor penyebab Cara mengatasi Nyala api sebentar Bahan penyala minim Tambahkan bahan penyala Bara sebentar Pengempaan minim Tambahkan pengempaan Superkarbon sulit

menyala

Briket kurang kering

benar Pengeringan maksimal

(35)

Nyala api sesungguhnya adalah gas hasil reaksi dengan panas dan cahaya

yang ditimbulkannya. Warna dari nyala api ditentukan oleh bahan-bahan yang bereaksi (terbakar). Warna yang dihasilkan oleh gas hidrokarbon, yang bereaksi

sempurna dengan udara (oksigen) adalah biru terang. Nyala api akan lebih mudah terlihat ketika karbon dan padatan lainnya atau liquid produk antara dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna naik dan berpijar akibat temperatur dengan

warna merah, jingga, kuning, atau putih, tergantung dari temperaturnya (Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta, 2012).

Nilai Kalor

Menurut Koesoemadinata (1980), nilai kalor bahan bakar adalah jumlah panas yang dihasilakan atau ditimbulkan oleh suatu gram bahan bakar

terseburdengan meningkatnya temperature 1 gr air dari 3,5 ºC - 4,5 ºC, dengan satuan kalori. Dengan kata lain nilai kalor adalah besarnya panas yang diperoleh

(36)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Keteknikan Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Februari 2013.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biobriket yang diambil dari PTPN IV Pabatu yang berasal dari kolam fat-fit yang sudah menjadi tanah, tepung kanji, minyak goreng bekas, dan air.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompor biobriket

untuk memasak air dengan menggunakan bahan bakar biobriket dan minyak goreng bekas, gunting plat digunakan untuk menggunting plat alumunium yang akan dipakai, bor digunakan untuk melubangi saringan udara bagian dalam dan

bagian luar, tang digunakan untuk melipat bagian-bagian tepi plat yang tajam, palu digunakan untuk meluruskan bagian-bagian plat yang permukaannya tidak rata, jangka sorong digunakan untuk mengukur tinggi ruang pembakaran dan

mengukur diameter dalam serta diameter luar pada lubang saringan udara bagian dalam dan luar, mistar digunakan untuk mengukur panjang plat yang dibutuhkan

pada kompor, termometer digunakan untuk mengukur temperatur air, gelas ukur digunakan untuk mengukur volume air dan minyak, stopwatch digunakan untuk menentukan waktu proses pembakaran, kalkulator untuk perhitungan dalam

(37)

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian faktorial dengan model rancangan acak lengkap (RAL). Faktorial yang digunakan terdiri dari dua faktor sebagai berikut :

Faktor I : kerapatan saluran udara diberi simbol L, terdiri dari 3 taraf yaitu: L1 = 0,4 cm

L2 = 0,8 cm

L3 = 1,2 cm

Faktor II : ketinggian minyak diberi simbol T, terdiri dari 3 taraf yaitu:

T1 = 2 cm

T2 = 2,5 cm

T3 = 3 cm

Penelitian ini menggunakan 3 ulangan, hal ini dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

9 (n – 1) ≥ 15

9n ≥ 24

n ≥ 2,67

n ≈ 3 kali ulangan

Kombinasi perlakuan antara kerapatan saluran udara (L) dengan

ketinggian minyak(T) adalah 9 prelakuan yaitu :

L1T1 L2T1 L3T1

L1T2 L2T2 L3T2

(38)

Model Rancangan Penelitian

Model rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) Faktorial dengan model sebagai berikut:

Yijk = µ + αi + βj + (αβ) ij +

Dimana :

Yijk = Nilai pengamatan lama pemanasan, volume minyak, dan kejelagaan

dari faktor L (kerapatan saluran udara) pada taraf ke-i dan faktor T (ketinggian minyak) pada taraf ke-j dalam ulangan ke-k

µ = Nilai tengah umum

αi = Efek faktor L (kerapatan saluran udara) pada taraf ke-i

βj = Efek faktor T (ketinggian minyak) pada taraf ke-j

(αβ) ij = Efek interaksi dari faktor L (kerapatan saluran udara)pada taraf

ke-i dan faktor T (ketinggian minyak) pada taraf ke-j

= Efek galat dari faktor L (kerapatan saluran udara) pada taraf ke-i

dan faktor T (ketinggian minyak) pada taraf ke-j pada ulangan ke-k (Bangun, 2001)

Pembuatan Alat

Adapun langkah pembuatan kompor biobriket limbah sawit adalah : 1. Dirancang bentuk kompor biobriket kemudian digambar.

2. Dipilih bahan yang akan digunakan untuk membuat kompor biobriket Dilakukan pengukuran terhadap bahan-bahan yang akan digunakan sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan.

ijk

(39)

3. Dipotong bahan sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan.

4. Dilakukan pemasangan atau perangkaian bahan-bahan sesuai dengan bentuk yang telah dirancang.

Pembuatan Bahan

Adapun langkah pembuatan bahan adalah : 1. Dipersiapkan limbah kelapa sawit

2. Dilarutkan perekat dalam air dengan perbandingan 1 : 4 lalu dipanaskan hingga jadi perekat.

3. Dilakukan pencampuran adonan perekat kanji dengan hasil ayakan bahan

hingga lengket dan merata ke seluruh bahan untuk setiap perlakuan.

4. Dilakukan pencetakan bahan dengan alat pencetak yang terbuat dari besi

dengan diameter 3 cm dan tinggi 4 cm kemudian dilakukan penekanan ke cetakan sehingga hasilnya padat dan kuat.

5. Dikeringkan briket dengan oven pada suhu 105° C selama 24 jam.

Prosedur Penelitian

1. Dipersiapkan Kompor biobriket dengan briket limbah kelapa sawit dan

minyak goreng bekas.

2. Dipersiapkan plat alumunium sebagai saluran udara pada kompor biobriket.

3. Didesain plat alumunium sebagai saluran udara dengan jarak lubang saluran udara 0,4 cm, 0,8 cm, dan 1,2 cm.

4. Dilakukan pengujian besar dan lama nyala api terhadap parameter yang

(40)

5. Dilakukan pemanasan 3 Liter air sesuai perlakuan dengan ketinggian

minyak goreng bekas 2 cm, 2,5 cm, dan 3 cm untuk masing-masing kerapatan saluran udara.

6. Dilakukan pengujian parameter.

7. Diulang perlakuan ini sebanyak 3 kali.

Parameter Yang Diamati 1. Lama pemanasan

Lama pemanasan dapat dilakukan dengan cara menghitung waktu yang dibutuhkan dalam pemanasan air volume 3 liter sampai mendidih dengan

menggunakan stopwatch.

2. Volume bahan bakar (minyak goreng bekas) (ml)

Menentukan jumlah bahan bakar (minyak goreng bekas) yang terpakai dengan alat ukur volume yaitu gelas ukur.

3. Kejelagaan hasil pembakaran (gr)

Banyaknya jelaga yang dihasilkan akan mempengaruhi kualitas dalam pembakaran.

Kejelagaan diukur dengan menggunakan timbangan dengan langkah pengujian:

- Diambil jelaga dari panci pemanas air dengan menggunakan kuas

(41)

Analisis Data

Analisis data yang dilakukan menggunakan Analisis Sidik Ragam sebagai berikut :

SK Db JK KT Fhitung F0,05 F0,01

Perlakuan Tc - 1 JKP JKP/(Tc-1) KTP/KTG

L t - 1 JKL JKL/(t-1) KTL/KTG

T t - 1 JKT JKT/(t-1) KTT/KTG

L x T (L-1)(T-1) JKLT JKLT/(t-1) KTLT/KTG

Galat Tc (n-1) JK Total - JKP JKG/Tc(n-1)

Total Tcn – 1 JK Total

Dimana:

SK = Sidik Keragaman db = Derajat Bebas JK = Jumlah Kuadrat KT = Kuadrat Tengah

Tc = Jumlah treatment/ perlakuan n = Replikasi/ ulangan

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Biobriket

Biobriket yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari bahan limbah

kelapa sawit yang berasal dari Cooling Fond I yang sudah menjadi tanah. Bahan Cooling Fond I berasal dari kolam fat fit yang berupa sludge. Limbah yang sudah menjadi tanah ini biasanya dibuang. Hal ini dapat mencemari lingkungan karena kandungan minyak yang ada pada tanah tersebut.

Limbah ini ternyata dapat dimanfaatkan sebagai biobriket dengan proses

penyaringan, pencampuran dengan bahan perekat (tepung kanji), pencetakan, dan pengeringan. Dimensi dari biobriket adalah tinggi 4 cm dan diameter 3 cm.

Kompor Biobriket

Perancangan kompor biobriket dilakukan sedemikian rupa dengan membagi menjadi beberapa bagian yaitu ruang penampung bahan bakar (minyak

goreng bekas dan biobriket), saringan udara dan kaki penyangga (Lampiran).Kerangka dan saringan udara dibuat secara terpisah antara bagian yang satu dengan yang lainnya sehingga dapat dibongkar-pasang.

Kompor biobriket memiliki tinggi 20 cm, lebar 18 cm, dan diameter 15 cm. Ruang pembakaran merupakan tempat menampung minyak goreng bekas dan

biobriket. Biobriket dimasukkan dalam ruang pembakaran yang telah diisi dengan minyak goreng bekas sehingga biobriket terendam ke dalam minyak goreng bekas tersebut. Pada penelitian ini tinggi minyak goreng bekas diatur sedemikian

(43)

ruang pembakaran. Hal ini menunjukkan berapa bagian biobriket yang terendam

yang disebut sebagai tinggi minyak (2 cm; 2,5 cm; 3 cm).

Jarak lubang dirancang sedemikian rupa sehingga pada saat pembakaran oksigen yang dibutuhkan dalam proses pembakaran ini dapat mengalir melalui

lubang udara tersebut. Jarak antara lubang akan mempengaruhi jumlah Oksigen yang masuk dalam ruang pembakaran. Jumlah Oksigen sangat berpengaruh dalam

reaksi pembakaran. Pembakaran sempurna bahan bakar terjadi hanya jika ada pasokan oksigen yang cukup.Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia (2006) mengemukakan bahwa karbon terbakar yang membentuk CO2 akan

menghasilkan lebih banyak panas per satuan bahan bakar daripada bila menghasilkan CO atau asap.

Pengaruh Kerapatan Saluran Udara

Dari hasil penelitian yang dilakukan secara umum diperoleh bahwa kerapatan saluran udara pada kompor biobriket limbah kelapa sawit berpengaruh

terhadap lama pemanasan (menit), volume minyak (ml), dan kejelagaan (gr).Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh kerapatan Saluran Udara terhadap parameter yang diamati

Kerapatan Saluran

Tabel 3 menunjukkan bahwa kerapatan saluran udara memberikan pengaruh terhadap parameter yang diamati. Lama pemanasan tertinggi terdapat

(44)

terendah terdapat pada perlakuan L1(kerapatan saluran udara 0,4 cm) yaitu 48,95

menit. Volume minyak tertinggi terdapat pada perlakuan L1 (kerapatan saluran udara 0,4 cm) yaitu sebesar 104,44 ml, terendah terdapat pada perlakuan L2 (kerapatan saluran udara 0,4 cm) yaitu sebesar 88,89 ml. Kejelagaan tertinggi

terdapat pada perlakuan L1 (kerapatan saluran udara 0,4 cm) yaitu sebesar 1,57 gr, terendah terdapat pada perlakuan L3 (kerapatan saluran udara 1,2 cm) yaitu

sebesar 1,50 gr.

Pengaruh Ketinggian Minyak Goreng Bekas

Dari hasil penelitian yang dilakukan secara umum diperoleh bahwa ketinggian minyak goring bekaspada kompor biobriket limbah kelapa sawit

berpengaruh terhadap lama pemanasan (menit), volume minyak (ml), dan kejelagaan (gr). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh ketinggian minyak goreng bekas terhadap parameter yang diamati

Tabel 4 menunjukkan bahwa ketinggian minyak goreng bekas memberikan pengaruh terhadap paramaneter yang diamati.Lama pemanasan

tertinggi terdapat pada perlakuan T1 (ketinggian minyak goreng bekas 2 cm) yaitu sebesar 59,48 menit, terendah terdapat pada perlakuan T1 (ketinggian minyak

(45)

sebesar 92,22 ml. Kejelagaan tertinggi terdapat pada perlakuan T3 (ketinggian

minyak goreng bekas 3 cm) yaitu sebesar 1,67 gr, terendah terdapat pada perlakuan T1 (ketinggian minyak goreng bekas 2 cm) yaitu sebesar 1,4 gr.

Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari setiap perlakuan yang

diberikan terhadap parameter yang diamati dapat dilihat pada daftar analisa sidik ragam dari masing-masing parameter, yang selanjutnya diuji dengan uji least significant range (LSR).

Lama Pemanasan (menit)

Pengaruh kerapatan saluran udara terhadap Lama Pemanasan

Dari daftar sidik ragam pada Lampiran 3 dapat diketahui bahwa pengaruh kerapatan saluran udara memberikan pengaruh sangat nyata terhadap lama

pemanasan.

Pengaruh Ketinggian minyak goreng bekas terhadap lama pemanasan

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa

interaksi perlakuan ketinggian minyak goreng bekas memberi pengaruh beda tidak nyata terhadap lama pemanasan.

Pengaruh Interaksi antara Kerapatan Saluran Udara dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Lama Pemanasan (menit)

Daftar analisis sidik ragam lama pemanasan menunjukan bahwa interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas memberikan

pengaruh berbeda nyata terhadap lama pemanasan yang dihasilkan.

(46)

minyak goreng bekas terhadap lama pemanasan untuk tiap-tiap taraf perlakuan

dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5. Uji DMRT efek utama pengaruh interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap lama pemanasan (menit)

Jarak DMRT

Perlakuan Rataan

Notasi

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Tabel 5 menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas memberi pengaruh yang

berbeda nyata terhadap lama pemanasan yang dihasilkan. Lama pemanasan tertinggi terdapat pada perlakuan L3T1 yaitu sebesar 75,99 menit dan terendah

pada perlakuan L1T2 yaitu 43,90 menit.

Hubungan interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap lama pemanasan yang dihasilkan dapat dilihat pada grafik

(47)

Gambar 2. Hubungan interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap lama pemanasan yang dihasilkan.

Gambar 2 menunjukkan bahwa kerapatan saluran udara 0,4 cm, 0,8 cm, dan 1,2 cm dan ketinggian minyak goreng bekas 2 cm, 2,5 cm, dan 3 cm pada

kompor biobriket memberikan pengaruh terhadap lama pemanasan. Pada tabel 5 dijelaskan bahwa perpaduan antara kerapatan saluran udara dan ketinggian

minyak goreng bekas pada kompor biobriket menghasilkan lama pemanasan yang berbeda untuk setiap perlakuannya. Perlakuan L1T2 (L1=0,4 cm, T2= 2,5 cm) menghasilkan lama pemanasan terendah yang berarti menghasilkan lama

pemanasan tercepat (terbaik). Sedangkan perlakuan L3T1 (L3=1,2 cm, T1= 2 cm) menghasilkan lama pemanasan tertinggi. Hal ini menjelaskan bahwa semakin

kecil kerapatan saluran udara dan semakin besar ketinggian minyak goreng bekas maka lama pemanasan yang dihasilkan akan semakin rendah.

Besar atau kecilnya jarak kerapatan saluran udara akan mempengaruhi

pasokan O2 yang masuk kedalam ruang pembakaran pada kompor biobriket limbah sawit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sigalingging dan Rohanah (2011)

(48)

mengemukakan bahwa Biobriket dimasukkan dalam ruang pembakaran yang telah

diisi dengan minyak jelantah sehingga biobriket terendam ke dalam minyak jelantah tersebut. Tinggi minyak diatur sedemikian sesuai dengan tinggi minyak yang diinginkan, tinggi minyak diukur dari dasar ruang pembakaran. Jarak antar

lubang dengan tinggi minyak jelantah sangat berpengaruh dalam reaksi pembakaran. Besar atau kecilnya ketinggian minyak goreng bekas akan

mempengaruhi besar atau keclnya api yang dihasilkan.

Besar atau kecilnya ketinggian minyak goreng bekas akan mempengaruhi kuantitas dari minyak goreng bekas yang tertampung dalam wadah pada ruang

pembakaran. Semakin besar ketinggian minyak goreng bekas maka akan semakin besar pula kuantitas dari minyak goreng tersebut. Dengan demikian nilai kalor

yang dihasilkan dalam proses pembakaran akan lebih besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Koesoemadinata (1980) mengemukakan bahwa nilai kalor bahan bakar adalah jumlah panas yang dihasilkan atau ditimbulkan oleh suatu gram

bahan bakar terseburdengan meningkatnya temperature 1 gr air dari 3,5°C - 4,5°C, dengan satuan kalori. Dengan kata lain nilai kalor adalah besarnya panas yang

diperoleh dari pembakaran suatu jumlah tertentu bahan bakar. Semakin tinggi berat jenis bahan bakar, maka semakin tinggi nilai kalor yang diperolehnya.

Dari data pengamatan yang telah dilakukan, lama pemanasan terendah

(terbaik) masing-masing diperoleh dari perlakuan L1 (0,4 cm) dan ketinggigan minyak goreng bekas T3 (3 cm). Akan tetapi setelah dilakukan kombinansi perlakuan antara jarak kerapatan saluran udara (L) dan ketinggian minyak goreng

(49)

perlakuan L1T2 (L1 = 0,4 cm, T2 = 2,5 cm). Hal ini kemungkinan terjadi

dikarenakan pada kombinasi perlakuan L1T3 mengalami udara yang berlebih pada ruang pembakaran sehingga akan mengakibatkan kehilangan panas dan efisiensi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Biro Efisiensi Energi (2004) bahwa

Jumlah O2 tertentu diperlukan untuk pembakaran yang sempurna dengan tambahan sejumlah udara (udara berlebih) diperlukan untuk menjamin

pembakaran yang sempurna. Walau demikian, terlalu banyak udara berlebih akan mengakibatkan kehilangan panas dan efisiensi. Tidak seluruh bahan bakar diubah menjadi panas dan diserap oleh peralatan pembangkit. Sehingga tantangan utama

dalam efisiensi pembakaran adalah mengarah ke karbon yang tidak terbakar (dalam abu atau gas yang tidak terbakar sempurna), yang masih menghasilkan CO

selain CO2

Salah satu kelemahan penyalaan api juga dijumpai pada kompor biobriket yaitu menghasilkan asap yang masih mengganggu dalam proses pembakaran. Ini

disebabkan oleh sirkulasi udara dalam kompor yang kurang memadai dan penyebaran api yang lambat. Jarak antar lubang pada saringan udara akan

mempengaruhi jumlah oksigen yang masuk dalam ruang pembakaran. Jumlah oksigen sangat berpengaruh dalam reaksi pembakaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia (2006)

mengemukakan bahwa karbon terbakar yang membentuk CO2 akan menghasilkan

(50)

Volume Minyak (ml)

Pengaruh Kerapatan Saluran Udara terhadap Volume Minyak (ml)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa

perlakuan kerapatan saluran udara memberi pengaruh nyata terhadap volume minyak yang dibutuhkan dalam pemanasan air volume 3 liter yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan duncan multiple range test (DMRT) menunjukkan bahwa pengaruh kerapatan saluran udara terhadap volume minyak untuk tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Uji DMRT efek utama pengaruh kerapatan saluran udara terhadap volume minyak (ml).

Jarak DMRT

Perlakuan Rataan

Notasi

P 0,05 0,01 0,05 0,01

- - - L2 85,56 a A

2 10,6080 14,5369 L3 91,11 a A

3 11,1438 15,2513 L1 104,44 ab AB

Keterangan: Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%.

(51)

Gambar 3. Hubungan kerapatan saluran udara terhadap volume minyak (ml)

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa kerapatan saluran udara memberikan pengaruh terhadap volume minyak yang dibutuhkan dalam proses

pembakaran. Semakin kecil kerapatan saluran udara maka konsumsi minyak yang dibutuhkan akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena volume minyak yang dibutuhkan dalam proses pembakaran pada kompor biobriket dipengaruhi oleh

lamanya proses pembakaran pada kompor biobriket itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sigalingging dan Rohanah (2011) yang mengemukakan bahwa

Kebutuhan minyak dapat diperoleh dari lama masak yang dibutuhkan untuk memasak air. Pengaruh jarak antar lubang dengan tinggi minyak terhadap volume minyak yang dibutuhkan dalam pemanasan air volume 1 liter dan 3 liter sangat

nyata perbedaannya.

Pengaruh Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Volume Minyak (ml) Dari daftar sidik ragam pada Lampiran 5 dapat diketahui bahwa perlakuan ketinggian minyak goreng bekas memberikan pengaruh tidak nyata terhadap

(52)

volume minyak yang dibutuhkan dalam pemanasan air volume 3 liter yang

dihasilkan.

Pengaruh Interaksi antara Kerapatan Saluran Udara dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Volume Minyak (ml)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan kerapatan saluran udara dan ketinggan minyak goreng bekas memberi pengaruh beda tidak nyata terhadap volume minyak.

Kejelagaan (gr)

Pengaruh Kerapatan Saluran Udara terhadap Kejelagaan (gr)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan kerapatan saluran udara memberi pengaruh beda tidak nyata terhadap kejelagaan yang dihasilkan.

Pengaruh Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Kejelagaan (gr)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa

perlakuan ketinggian minyak goreng bekas memberi pengaruh nyata terhadap kejelagaan.

Pengaruh Interaksi antara Kerapatan Saluran Udara dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Kejelagaan (gr)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas

memberi pengaruh nyata terhadap kejelagaan yang dihasilkan.

(53)

minyak goreng bekas terhadap kejelagaan untuk tiap-tiap taraf perlakuan dapat

dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 7. Uji DMRT efek utama pengaruh interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap kejelagaan (gr)

Jarak DMRT

Perlakuan Rataan

Notasi

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Tabel 7 menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas memberi pengaruh yang

berbeda nyata terhadap kejelagaan yang dihasilkan. Kejelagaan terendah terdapat pada perlakuan L1T3 yaitu sebesar 1,15 gr dan tertinggi pada perlakuan L1T1

yaitu sebesar 1,79 gr.

Hubungan interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap kejelagaan yang dihasilkan dapat dilihat pada grafik di

(54)

Gambar 4. Hubungan interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadapkejelagaan yang dihasilkan.

Gambar 4 menunjukkan bahwa kerapatan saluran udara 0,4 cm, 0,8 cm, dan 1,2 cm pada kompor biobriket dan ketinggian minyak goreng bekas 2 cm, 2,5 cm,

dan 3 cm memberikan pengaruh terhadap kejelagaan yang dihasilkan. Pada tabel 7 dijelaskan bahwa perpaduan antara kerapatan saluran udara dan ketinggian

minyak goreng bekas pada kompor biobriket menghasilkan kejelagaan yang berbeda untuk setiap perlakuannya. Perlakuan L1T1 (L1=0,4 cm, T1= 2 cm) menghasilkan kejelagaan terendah. Sedangkan perlakuan L1T3 (L1=0,4 cm, T3=

3 cm) menghasilkan kejelagaan tertinggi. Hal ini dikarenakan proses pembakaran yang terjadi belum sempurna. Pembakaran yang belum sempurna akan

menghasilkan jelaga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia (2006) yang menyatakan bahwa karbon terbakar yang membentuk CO2 akan menghasilkan lebih banyak panas per satuan bahan bakar

daripada bila menghasilkan CO atau asap.

(55)

Jelaga yang dihasilkan dapat timbul karena nyala api yang tidak konstan.

Lama tidaknya menyala briket akan mempengaruhi kualitas dan efisiensi pembakaran dengan melakukan pemberian tinggi minyak yang konstan Hal ini sesuai dengan pernyataan Jamilatun (2011) yang menyatakan bahwa semakin

lama menyala dengan nyala api konstan akan semakin baik.

Warna nyala api yang dihasilkan warna merah, hal ini disebabkan karena

pembakaran tidak sempurna. Nyala api sesungguhnya adalah gas hasil reaksi dengan panas dan cahaya yang ditimbulkannya. Warna nyala api yang bereaksi sempurna adalah biru terang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dinas Pemadam

Kebakaran DKI Jakarta (2008) yang menyatakan bahwa warna nyala api ditentukan oleh bahan-bahan yang bereaksi (terbakar). Warna yang dihasilkan

(56)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian pengaruh uji kerapatan saluran udara dan ketinggian

minyak goreng bekas pada kompor biobriket terhadap parameter yang diamati memberikan kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaruh kerapatan saluran udara memberikan pengaruh nyata terhadap

lama pemanasan dan volume minyak, dan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kejelagaan.

2. Pengaruh ketinggian minyak goreng bekas memberikan pengaruh nyata terhadap kejelagaan dan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap lama pemanasan dan volume minyak.

3. Pengaruh interaksi kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas memberikan pengaruh nyata terhadap lama pemanasan dan

kejelagaan dan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap volume minyak.

4. Nilai lama pemanasan, volume minyak, dan kejelagaan dalam penelitian

ini yaitu 57,54 menit, 93,70 ml, dan 1,55 gr

5. Untuk mendapatkan lama pemanasan terbaik pada kompor biobriket

(57)

6. Dari hasil penelitian masih terdapat asap dan menyebabkan jelaga, dan

warna api yang merah, hal ini disebabkan oleh sirkulasi udara pada kompor biobriket kurang memadai atau briketnya kurang kering.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada jarak antar lubang dan tinggi minyak dalam variable yang berbeda dari penelitian sehingga kejelagaan

tidak ada.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada jarak antar lubang dan tinggi minyak dengan menggunakan volume air yang lebih besar.

Gambar

Tabel 1. Rendemen Limbah Padat
Gambar 1. Pembakaran yang sempurna, yang baik dan tidak sempurna
Tabel 2. Beberapa Permasalahan Uji Nyala
Tabel 3. Pengaruh kerapatan Saluran Udara terhadap parameter yang diamati
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa interakasi perlakuan kehalusan bahan dan konsentrasi perekat memberi pengaruh beda tidak nyata

Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan kehalusan bahan dan konsentrasi perekat memberi pengaruh beda tidak nyata (P>0,05) terhadap

Data yang diperoleh diuji statistika dengan uji sidik ragam ANOVA, uji ini digunakan untuk mengetahui apakah dengan penggunaan pengualangan pemakaian minyak sawit

Sedangkan jika dilakukan perbandingan berdasarkan parameter densitas, viskositas, dan angka asam antara minyak goreng sawit bekas dengan biodiesel hasil

Pelaksanaan program pengabdian ini bertujuan untuk membantu meningkatkan nilai ekonomis limbah minyak goreng bekas dengan menciptakan wirausaha baru (home

Penelitian tentang perbandingan kualitas biodiesel jelantah minyak goreng bekas menggunakan katalis KOH dengan NaOH ini akan dialokasikan pada kegaiatan pembelajaran di sekolah