• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biobriket

Biobriket yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari bahan limbah kelapa sawit yang berasal dari Cooling Fond I yang sudah menjadi tanah. Bahan Cooling Fond I berasal dari kolam fat fit yang berupa sludge. Limbah yang sudah menjadi tanah ini biasanya dibuang. Hal ini dapat mencemari lingkungan karena kandungan minyak yang ada pada tanah tersebut.

Limbah ini ternyata dapat dimanfaatkan sebagai biobriket dengan proses penyaringan, pencampuran dengan bahan perekat (tepung kanji), pencetakan, dan pengeringan. Dimensi dari biobriket adalah tinggi 4 cm dan diameter 3 cm.

Kompor Biobriket

Perancangan kompor biobriket dilakukan sedemikian rupa dengan membagi menjadi beberapa bagian yaitu ruang penampung bahan bakar (minyak goreng bekas dan biobriket), saringan udara dan kaki penyangga (Lampiran).Kerangka dan saringan udara dibuat secara terpisah antara bagian yang satu dengan yang lainnya sehingga dapat dibongkar-pasang.

Kompor biobriket memiliki tinggi 20 cm, lebar 18 cm, dan diameter 15 cm. Ruang pembakaran merupakan tempat menampung minyak goreng bekas dan biobriket. Biobriket dimasukkan dalam ruang pembakaran yang telah diisi dengan minyak goreng bekas sehingga biobriket terendam ke dalam minyak goreng bekas tersebut. Pada penelitian ini tinggi minyak goreng bekas diatur sedemikian sesuai dengan tinggi minyak yang diinginkan. Tinggi minyak diukur dari dasar

ruang pembakaran. Hal ini menunjukkan berapa bagian biobriket yang terendam yang disebut sebagai tinggi minyak (2 cm; 2,5 cm; 3 cm).

Jarak lubang dirancang sedemikian rupa sehingga pada saat pembakaran oksigen yang dibutuhkan dalam proses pembakaran ini dapat mengalir melalui lubang udara tersebut. Jarak antara lubang akan mempengaruhi jumlah Oksigen yang masuk dalam ruang pembakaran. Jumlah Oksigen sangat berpengaruh dalam reaksi pembakaran. Pembakaran sempurna bahan bakar terjadi hanya jika ada pasokan oksigen yang cukup.Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia (2006) mengemukakan bahwa karbon terbakar yang membentuk CO2 akan menghasilkan lebih banyak panas per satuan bahan bakar daripada bila menghasilkan CO atau asap.

Pengaruh Kerapatan Saluran Udara

Dari hasil penelitian yang dilakukan secara umum diperoleh bahwa kerapatan saluran udara pada kompor biobriket limbah kelapa sawit berpengaruh terhadap lama pemanasan (menit), volume minyak (ml), dan kejelagaan (gr).Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh kerapatan Saluran Udara terhadap parameter yang diamati

Kerapatan Saluran Udara (cm) Lama Pemanasan (menit) Volume Minyak (ml) Kejelagaan (gr) L1 (0,4 cm) 48,95 104,44 1,57 L2 (0,8 cm) 50,09 88,89 1,56 L3 (1,2 cm) 73,58 91,11 1,50

Tabel 3 menunjukkan bahwa kerapatan saluran udara memberikan pengaruh terhadap parameter yang diamati. Lama pemanasan tertinggi terdapat pada perlakuan L3 (kerapatan saluran udara 1,2 cm) yaitu sebesar 73,58 menit,

terendah terdapat pada perlakuan L1(kerapatan saluran udara 0,4 cm) yaitu 48,95 menit. Volume minyak tertinggi terdapat pada perlakuan L1 (kerapatan saluran udara 0,4 cm) yaitu sebesar 104,44 ml, terendah terdapat pada perlakuan L2 (kerapatan saluran udara 0,4 cm) yaitu sebesar 88,89 ml. Kejelagaan tertinggi terdapat pada perlakuan L1 (kerapatan saluran udara 0,4 cm) yaitu sebesar 1,57 gr, terendah terdapat pada perlakuan L3 (kerapatan saluran udara 1,2 cm) yaitu sebesar 1,50 gr.

Pengaruh Ketinggian Minyak Goreng Bekas

Dari hasil penelitian yang dilakukan secara umum diperoleh bahwa ketinggian minyak goring bekaspada kompor biobriket limbah kelapa sawit berpengaruh terhadap lama pemanasan (menit), volume minyak (ml), dan kejelagaan (gr). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh ketinggian minyak goreng bekas terhadap parameter yang diamati Ketinggian Minyak Goreng Bekas (cm) Lama Pemanasan (menit) Volume Minyak (ml) Kejelagaan (gr) T1 (2 cm) 59,48 96,67 1,40 T2 (2,5 cm) 57,17 95,56 1,57 T3 (3 cm) 55,98 92,22 1,67

Tabel 4 menunjukkan bahwa ketinggian minyak goreng bekas memberikan pengaruh terhadap paramaneter yang diamati.Lama pemanasan tertinggi terdapat pada perlakuan T1 (ketinggian minyak goreng bekas 2 cm) yaitu sebesar 59,48 menit, terendah terdapat pada perlakuan T1 (ketinggian minyak goreng bekas 3 cm) yaitu 55,98 menit. Volume minyak tertinggi terdapat pada perlakuan T1 (ketinggian minyak goreng bekas 2 cm) yaitu sebesar 96,67 ml, terendah terdapat pada perlakuan T3 (ketinggian minyak goreng bekas 3 cm) yaitu

sebesar 92,22 ml. Kejelagaan tertinggi terdapat pada perlakuan T3 (ketinggian minyak goreng bekas 3 cm) yaitu sebesar 1,67 gr, terendah terdapat pada perlakuan T1 (ketinggian minyak goreng bekas 2 cm) yaitu sebesar 1,4 gr.

Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari setiap perlakuan yang diberikan terhadap parameter yang diamati dapat dilihat pada daftar analisa sidik ragam dari masing-masing parameter, yang selanjutnya diuji dengan uji least significant range (LSR).

Lama Pemanasan (menit)

Pengaruh kerapatan saluran udara terhadap Lama Pemanasan

Dari daftar sidik ragam pada Lampiran 3 dapat diketahui bahwa pengaruh kerapatan saluran udara memberikan pengaruh sangat nyata terhadap lama pemanasan.

Pengaruh Ketinggian minyak goreng bekas terhadap lama pemanasan

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan ketinggian minyak goreng bekas memberi pengaruh beda tidak nyata terhadap lama pemanasan.

Pengaruh Interaksi antara Kerapatan Saluran Udara dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Lama Pemanasan (menit)

Daftar analisis sidik ragam lama pemanasan menunjukan bahwa interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap lama pemanasan yang dihasilkan.

Hasil pengujian dengan duncan multiple range test (DMRT) yang menunjukkan pengaruh interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian

minyak goreng bekas terhadap lama pemanasan untuk tiap-tiap taraf perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5. Uji DMRT efek utama pengaruh interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap lama pemanasan (menit)

Jarak DMRT Perlakuan Rataan Notasi P 0,05 0,01 0,05 0,01 - - - L1T2 43.90 a A 2 8.546 13.548 L2T3 44.82 a A 3 8.966 12.213 L2T1 48.65 a A 4 9.233 12.544 L1T3 49.14 a A 5 9.417 12.786 L1T1 53.87 a A 6 9.550 12.970 L2T2 56.80 a A 7 9.653 13.114 L3T2 70.81 b B 8 9.731 13.234 L3T3 73.98 b B 9 9.791 13.332 L3T1 75.99 b B

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Tabel 5 menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap lama pemanasan yang dihasilkan. Lama pemanasan tertinggi terdapat pada perlakuan L3T1 yaitu sebesar 75,99 menit dan terendah pada perlakuan L1T2 yaitu 43,90 menit.

Hubungan interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap lama pemanasan yang dihasilkan dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Gambar 2. Hubungan interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap lama pemanasan yang dihasilkan.

Gambar 2 menunjukkan bahwa kerapatan saluran udara 0,4 cm, 0,8 cm, dan 1,2 cm dan ketinggian minyak goreng bekas 2 cm, 2,5 cm, dan 3 cm pada kompor biobriket memberikan pengaruh terhadap lama pemanasan. Pada tabel 5 dijelaskan bahwa perpaduan antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas pada kompor biobriket menghasilkan lama pemanasan yang berbeda untuk setiap perlakuannya. Perlakuan L1T2 (L1=0,4 cm, T2= 2,5 cm) menghasilkan lama pemanasan terendah yang berarti menghasilkan lama pemanasan tercepat (terbaik). Sedangkan perlakuan L3T1 (L3=1,2 cm, T1= 2 cm) menghasilkan lama pemanasan tertinggi. Hal ini menjelaskan bahwa semakin kecil kerapatan saluran udara dan semakin besar ketinggian minyak goreng bekas maka lama pemanasan yang dihasilkan akan semakin rendah.

Besar atau kecilnya jarak kerapatan saluran udara akan mempengaruhi pasokan O2 yang masuk kedalam ruang pembakaran pada kompor biobriket limbah sawit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sigalingging dan Rohanah (2011)

ŷ1 = -4.723x + 60.77 r = 0,47 ŷ2= -3.83x + 59.66 r = 0.311 ŷ3= -2.01x + 78.61 r = 0.3487 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 L a ma P ema n a sa n ( men it ) Ketinggian Minyak (cm) y1 y2 y3

mengemukakan bahwa Biobriket dimasukkan dalam ruang pembakaran yang telah diisi dengan minyak jelantah sehingga biobriket terendam ke dalam minyak jelantah tersebut. Tinggi minyak diatur sedemikian sesuai dengan tinggi minyak yang diinginkan, tinggi minyak diukur dari dasar ruang pembakaran. Jarak antar lubang dengan tinggi minyak jelantah sangat berpengaruh dalam reaksi pembakaran. Besar atau kecilnya ketinggian minyak goreng bekas akan mempengaruhi besar atau keclnya api yang dihasilkan.

Besar atau kecilnya ketinggian minyak goreng bekas akan mempengaruhi kuantitas dari minyak goreng bekas yang tertampung dalam wadah pada ruang pembakaran. Semakin besar ketinggian minyak goreng bekas maka akan semakin besar pula kuantitas dari minyak goreng tersebut. Dengan demikian nilai kalor yang dihasilkan dalam proses pembakaran akan lebih besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Koesoemadinata (1980) mengemukakan bahwa nilai kalor bahan bakar adalah jumlah panas yang dihasilkan atau ditimbulkan oleh suatu gram bahan bakar terseburdengan meningkatnya temperature 1 gr air dari 3,5°C - 4,5°C, dengan satuan kalori. Dengan kata lain nilai kalor adalah besarnya panas yang diperoleh dari pembakaran suatu jumlah tertentu bahan bakar. Semakin tinggi berat jenis bahan bakar, maka semakin tinggi nilai kalor yang diperolehnya.

Dari data pengamatan yang telah dilakukan, lama pemanasan terendah (terbaik) masing-masing diperoleh dari perlakuan L1 (0,4 cm) dan ketinggigan minyak goreng bekas T3 (3 cm). Akan tetapi setelah dilakukan kombinansi perlakuan antara jarak kerapatan saluran udara (L) dan ketinggian minyak goreng bekas (T) lama pemanasan terendah (terbaik) tidak diperoleh dari kombinasi perlakuan L1T3 (L1 = 0,4 cm, T3 = 3 cm) melainkan diperoleh dari kombinasi

perlakuan L1T2 (L1 = 0,4 cm, T2 = 2,5 cm). Hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan pada kombinasi perlakuan L1T3 mengalami udara yang berlebih pada ruang pembakaran sehingga akan mengakibatkan kehilangan panas dan efisiensi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Biro Efisiensi Energi (2004) bahwa Jumlah O2 tertentu diperlukan untuk pembakaran yang sempurna dengan tambahan sejumlah udara (udara berlebih) diperlukan untuk menjamin pembakaran yang sempurna. Walau demikian, terlalu banyak udara berlebih akan mengakibatkan kehilangan panas dan efisiensi. Tidak seluruh bahan bakar diubah menjadi panas dan diserap oleh peralatan pembangkit. Sehingga tantangan utama dalam efisiensi pembakaran adalah mengarah ke karbon yang tidak terbakar (dalam abu atau gas yang tidak terbakar sempurna), yang masih menghasilkan CO selain CO2

Salah satu kelemahan penyalaan api juga dijumpai pada kompor biobriket yaitu menghasilkan asap yang masih mengganggu dalam proses pembakaran. Ini disebabkan oleh sirkulasi udara dalam kompor yang kurang memadai dan penyebaran api yang lambat. Jarak antar lubang pada saringan udara akan mempengaruhi jumlah oksigen yang masuk dalam ruang pembakaran. Jumlah oksigen sangat berpengaruh dalam reaksi pembakaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia (2006) mengemukakan bahwa karbon terbakar yang membentuk CO2 akan menghasilkan lebih banyak panas per satuan bahan bakar.

Volume Minyak (ml)

Pengaruh Kerapatan Saluran Udara terhadap Volume Minyak (ml)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa perlakuan kerapatan saluran udara memberi pengaruh nyata terhadap volume minyak yang dibutuhkan dalam pemanasan air volume 3 liter yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan duncan multiple range test (DMRT) menunjukkan bahwa pengaruh kerapatan saluran udara terhadap volume minyak untuk tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Uji DMRT efek utama pengaruh kerapatan saluran udara terhadap volume minyak (ml). Jarak DMRT Perlakuan Rataan Notasi P 0,05 0,01 0,05 0,01 - - - L2 85,56 a A 2 10,6080 14,5369 L3 91,11 a A 3 11,1438 15,2513 L1 104,44 ab AB

Keterangan: Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%.

Tabel 6 menunjukkan bahwa perlakuan L1 berbeda nyata dengan L2 dan L3, sedangkan L2 berbeda tidak nyata terhadap L3.

Gambar 3. Hubungan kerapatan saluran udara terhadap volume minyak (ml)

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa kerapatan saluran udara memberikan pengaruh terhadap volume minyak yang dibutuhkan dalam proses pembakaran. Semakin kecil kerapatan saluran udara maka konsumsi minyak yang dibutuhkan akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena volume minyak yang dibutuhkan dalam proses pembakaran pada kompor biobriket dipengaruhi oleh lamanya proses pembakaran pada kompor biobriket itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sigalingging dan Rohanah (2011) yang mengemukakan bahwa Kebutuhan minyak dapat diperoleh dari lama masak yang dibutuhkan untuk memasak air. Pengaruh jarak antar lubang dengan tinggi minyak terhadap volume minyak yang dibutuhkan dalam pemanasan air volume 1 liter dan 3 liter sangat nyata perbedaannya.

Pengaruh Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Volume Minyak (ml) Dari daftar sidik ragam pada Lampiran 5 dapat diketahui bahwa perlakuan ketinggian minyak goreng bekas memberikan pengaruh tidak nyata terhadap

ŷ = 76.38x2- 138.8x + 147.7 r = 1 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 V o lu m e M in y a k ( m l)

volume minyak yang dibutuhkan dalam pemanasan air volume 3 liter yang dihasilkan.

Pengaruh Interaksi antara Kerapatan Saluran Udara dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Volume Minyak (ml)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan kerapatan saluran udara dan ketinggan minyak goreng bekas memberi pengaruh beda tidak nyata terhadap volume minyak.

Kejelagaan (gr)

Pengaruh Kerapatan Saluran Udara terhadap Kejelagaan (gr)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan kerapatan saluran udara memberi pengaruh beda tidak nyata terhadap kejelagaan yang dihasilkan.

Pengaruh Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Kejelagaan (gr)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa perlakuan ketinggian minyak goreng bekas memberi pengaruh nyata terhadap kejelagaan.

Pengaruh Interaksi antara Kerapatan Saluran Udara dan Ketinggian Minyak Goreng Bekas terhadap Kejelagaan (gr)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas memberi pengaruh nyata terhadap kejelagaan yang dihasilkan.

Hasil pengujian dengan duncan multiple range test (DMRT) yang menunjukkan pengaruh interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian

minyak goreng bekas terhadap kejelagaan untuk tiap-tiap taraf perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 7. Uji DMRT efek utama pengaruh interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap kejelagaan (gr)

Jarak DMRT Perlakuan Rataan Notasi P 0,05 0,01 0,05 0,01 - - - L1T1 1.15 a A 2 0.390 0.619 L3T2 1.45 a A 3 0.410 0.558 L2T1 1.46 a A 4 0.422 0.573 L2T2 1.48 a A 5 0.430 0.584 L3T3 1.48 a A 6 0.436 0.593 L3T1 1.59 a A 7 0.441 0.599 L2T3 1.74 a A 8 0.445 0.605 L1T2 1.79 a A 9 0.447 0.609 L1T3 1.79 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Tabel 7 menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap kejelagaan yang dihasilkan. Kejelagaan terendah terdapat pada perlakuan L1T3 yaitu sebesar 1,15 gr dan tertinggi pada perlakuan L1T1 yaitu sebesar 1,79 gr.

Hubungan interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadap kejelagaan yang dihasilkan dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Gambar 4. Hubungan interaksi antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas terhadapkejelagaan yang dihasilkan.

Gambar 4 menunjukkan bahwa kerapatan saluran udara 0,4 cm, 0,8 cm, dan 1,2 cm pada kompor biobriket dan ketinggian minyak goreng bekas 2 cm, 2,5 cm, dan 3 cm memberikan pengaruh terhadap kejelagaan yang dihasilkan. Pada tabel 7 dijelaskan bahwa perpaduan antara kerapatan saluran udara dan ketinggian minyak goreng bekas pada kompor biobriket menghasilkan kejelagaan yang berbeda untuk setiap perlakuannya. Perlakuan L1T1 (L1=0,4 cm, T1= 2 cm) menghasilkan kejelagaan terendah. Sedangkan perlakuan L1T3 (L1=0,4 cm, T3= 3 cm) menghasilkan kejelagaan tertinggi. Hal ini dikarenakan proses pembakaran yang terjadi belum sempurna. Pembakaran yang belum sempurna akan menghasilkan jelaga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia (2006) yang menyatakan bahwa karbon terbakar yang membentuk CO2 akan menghasilkan lebih banyak panas per satuan bahan bakar daripada bila menghasilkan CO atau asap.

ŷ1 = -1.68x2+ 8.84x - 9.81 r = 1 ŷ2= -0.01x + 1.488 r = 0.32 ŷ3 = -0.11x + 1.781 r = 0.745 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80 2,00 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 L a ma P ema n a sa n ( men it ) Ketinggian minyak (cm) y1 y2 y3

Jelaga yang dihasilkan dapat timbul karena nyala api yang tidak konstan. Lama tidaknya menyala briket akan mempengaruhi kualitas dan efisiensi pembakaran dengan melakukan pemberian tinggi minyak yang konstan Hal ini sesuai dengan pernyataan Jamilatun (2011) yang menyatakan bahwa semakin lama menyala dengan nyala api konstan akan semakin baik.

Warna nyala api yang dihasilkan warna merah, hal ini disebabkan karena pembakaran tidak sempurna. Nyala api sesungguhnya adalah gas hasil reaksi dengan panas dan cahaya yang ditimbulkannya. Warna nyala api yang bereaksi sempurna adalah biru terang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta (2008) yang menyatakan bahwa warna nyala api ditentukan oleh bahan-bahan yang bereaksi (terbakar). Warna yang dihasilkan oleh gas hidrokarbon, yang bereaksi sempurna dengan udara (oksigen) adalah biru terang.

Dokumen terkait