• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Bidan KIA/KB dalam Pelaksanaan Program Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) di Rumah Sakit Haji Kota Medan Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perilaku Bidan KIA/KB dalam Pelaksanaan Program Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) di Rumah Sakit Haji Kota Medan Tahun 2013"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PERILAKU BIDAN KIA/KB DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PREVENTION OF MOTHER TO CHILD (PMTCT)

DI RUMAH SAKIT HAJI KOTA MEDAN TAHUN 2013

Oleh:

VONNY SYARAH 091000103

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERILAKU BIDAN KIA/KB DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PREVENTION OF MOTHER TO CHILD (PMTCT)

DI RUMAH SAKIT HAJI KOTA MEDAN TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

VONNY SYARAH 091000103

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

Penyebaran HIV-AIDS di Indonesia sangat cepat. Saat ini tidak ada provinsi di Indonesia yang bebas HIV. Program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) adalah salah satu upaya penanggulangan masalah HIV-AIDS terutama pada ibu ke bayinya dan merupakan strategi yang efektif dengan mencakup spektrum yang luas, tidak hanya kepada ibu rumah tangga, namun juga kepada perempuan pekerja seks, perempuan pengguna narkoba suntik, buruh migran dan lain sebagainya.  Di kota medan sudah ada dua rumah sakit pemerintah yang melayani program PMTCT. Pada hasil observasi ditemukan hanya 1 orang bidan yang mendapatkan pelatihan tentang program PMTCT. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku bidan dalam pelaksanaan program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam untuk mengetahui perilaku bidan KIA/KB dalam pelaksanaan program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013.Hasil penelitian menunjukkan pengetahuanbidanKIA/KB masih rendah tentang PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission). Sikap bidan berpandangan positif terhadap pasien, dimana mereka tidak dibeda-bedakan. Tindakan bidan KIA/KB dalam menghadapi pasien PMTCT kurang sesuai dengan pedoman PMTCT yang ada.Untuk itu diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk mengadakan evaluasi, pelatihan serta sosialisasi mengenai program PMTCT yaitu tatalaksana klinis infeksi HIV, terapi Antiretroviral pada anak dan orang dewasa, pendampingan pasien PMTCT dan cara pemberian dukungan kepada pasien PMTCT. Selain itu bidan diharapkan lebih banyak lagi membaca buku atau mencari informasi terbaru tentang PMTCT.

(5)

ABSTRACT

The spread of HIV/AIDS in Indonesia is very fast . Currently there is no province in Indonesia that is free of HIV. PMTCT is an effort to prevent HIV transmission from mother to baby and an effective strategy to cover a broad

spectrum, not only the housewives, but also to prostitute, female using injecting drug, migrant workers and others. In Medan there are two hospitals that serve governments PMTCT program. On observations found only 1 midwife who trained in PMTCT programs . The purpose of this study is to describe the behavior of midwives in the implementation of the PMTCT program (Prevention of Mother to Child

Transmission) at Haji Hospital in Medan at 2013 .

This is a descriptive study with a qualitative approach using in-depth interviews to determine the behavior of midwives in the implementation of PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) at Haji Hospital in Medan at 2013. Results showed midwives knowledge are still low about PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission) program. Midwives attitude positive outlook where midwives do not discriminate patients. Action of midwives in the face of patients didn’t match with the guidebook of PMTCT program. For that is expected to the hospital to evaluatiate, train, and sosialize the PMTCT program, which is

management of HIV infection and antiretroviral therapy for children, adolescent and adults, to asiisting patient of PMTCT, and support to patient of PMTCT. Midwives is also espected to read and seek for more information about PMTCT.

(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Vonny Syarah

Tempat/Tanggal Lahir : Sawahlunto/ 20 February 1991

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Anak ke : 2 (Dua)

Nama Orang Tua : Syahrial (ayah)

Susan Helly, S.Pd (Ibu)

Alamat Rumah : Komp. Perumahan Continental Waringin PT. Bukit Asam, Lubang Panjang, Sawahlunto Riwayat Pendidikan

Tahun 1997 – 2003 : SD Negeri 10 Tanah Lapang Sawahlunto Tahun 2003 – 2006 : SMP Negeri 1 Sawahlunto

Tahun 2006 – 2009 : SMA Negeri 1 Sawahlunto Tahun 2009 – 2013 : FKM USU Medan

Riwayat Organisasi

1. OSIS SMA N 1 Sawahlunto

2. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Komisariat FKM USU 3. KOHATI HMI FKM USU

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Perilaku Bidan KIA/KB dalam Pelaksanaan Program Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) di Rumah Sakit Haji Kota Medan Tahun 2013”. Skripsi ini adalah salah satu syarat yang ditetapkan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada ibu Dra. Syarifah, MS selaku dosen pembimbing I dan bapak Drs. Tukiman, MKM selaku selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Tukiman, MKM selaku ketua Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku Dosen Penguji I yang telah

memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini

4. Bapak Drs. Eddy Syahrial, MS selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini

(8)

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai departemen PKIP, ibu dr. Linda T. Maas, M.PH, bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM, ibu Lita Sri Andayani, M.Kes, Ibu Namora Lumongga Lubis, MSc.Ph.D dan bapak Warsito yang telah banyak membantu penulis dalam proses pembuatan skripsi.

7. Seluruh dosen dan staff serta seluruh civitas akademika FKM USU yang telah membimbing dan membantu selama perkuliahan.

8. Ayahanda Syahrial dan Ibunda Susan Helly S.pd yang telah banyak berkorban materi dan moril serta membesarkan dan mendidik penulis.

9. Kakak dan adik tersayang Sheliona Pratiwi, Amd Kep , Mhd. Hasyim Buchari dan Mhd. Hakim Arifqi serta seluruh keluarga yang telah banyak memberikan movitasi dan doa kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan.

10.Sahabat terbaik dan seperjuangan “Pesonk” : Nurmaines Adhyka, SKM , Rifandi Raflis, Fakhrurrozi Arfad, SKM , Faisal Hutama Putera, SKM , Winda Zulfi dan Widia Ilanda yang selalu membantu, menemani dan memberi semangat kepada penulis hingga menyelesaikan study di Fakultas Kesehatan Masyarakat.

11.Sahabat-sahabat ku veni, dina, putri, krisna, puput, intan, atina yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan serta kritikan yang menambah semangat penulis dan teman-teman yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terima kasih.

(9)

13.Kakanda-kakanda serta adik-adik HMI FKM USU, kak Bidah, kak Hilma, abang Budi, abang Putra, abang hengki, siti, eci, magda dan lainnya yang selama ini membantu dan memberi semangat kepada penulis selama penyelesaian skripsi. 14.Uda-uda, uni-uni, teman-teman dan adiak-adiak di IMIB USU yang telah

memberikan semangat kepada penulis, hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2013

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... .... ii

ABSTRCT ... .... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR MATRIKS ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 14

1.3. Tujuan Penelitian ... 14

1.3.1. Tujuan Umum ... 14

1.3.2. Tujuan Khusus ... 14

1.4. Manfaat Penelitian ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku ... 16

2.1.1. Definisi Perilaku ... 16

2.1.2. Teori Mengenai Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku ... 23

2.1.2.1. Teori Lawrence Green ... 23

2.1.2.2. Teori Snehandu B. Kar ... 24

2.1.2.3. Teori WHO ... 24

2.2. HIV-AIDS ... 26

2.3. Upaya Penanggulangan HIV-AIDS ... 28

2.4. PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) ... 29

2.4.1. Penularan HIV dari Ibu ke Anak ... 30

2.4.2. Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak ... 34

2.4.3. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak ... 35

2.4.3.1.Prong 1: Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi ... 36

2.4.3.2.Prong 2: Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan dengan HIV ... 40

2.4.3.3.Prong 3: Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil dengan HIV ke Bayi yang di Kandungnya ... 42

2.4.3.4. Prong 4: Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial dan Perawa- tan kepada Ibu HIV Positif beserta Anak dan Keluarganya ... 43

2.5. Pengertian dan Peran bidan ... 45

2.6. Kerangka Pikir ... 46

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 47

(11)

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 47

3.2.2. Waktu Penelitian ... 47

3.3. Pemilihan Informan ... 47

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 49

3.5. Definisi Istilah ... 49

3.6. Metode Pengolahan dan Analisa Data ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran umum Lokasi Penelitian ... 51

4.1.1. Sejarah Lokasi Penelitian ... 51

4.1.2. Visi dan Misi ... 52

4.1.2.1. Visi rumah Sakit Haji Medan ... 52

4.1.2.2. Misi Rumah Sakit Haji Medan ... 53

4.1.3. Fasilitas Ruangan ... 53

4.2. Gambaran Informan ... 55

4.2.1. Karakteristik Informan ... 55

4.2.2. Sumber Informasi ... 56

4.3. Pengetahuan ... 57

4.3.1. Pengertian Mengenai PMTCT ... 57

4.3.2. Program-Program dalam PMTCT ... 59

4.3.3. Alur ProgramPMTCT ... 60

4.3.4. Keberhasilan Program PMTCT ... 63

4.4. Sikap ... 64

4.4.1. Tanggapan Informan terhadap Pasien ... 64

4.4.2. Tanggapan Informan terhadap Program-Program PMTCT ... 65

4.4.3. Tanggapan Informan tentang Peranan Bidan KIA/KB ... 66

4.4.4. Tanggapan Informan terhadap Pasien yang Telah Terinfeksi HIV-AIDS ... 68

4.5. Tindakan ... 69

4.5.1. Lama Melayani Pasien ... 69

4.5.2. Interaksi Saat Pelaksanaan Program ... 70

4.5.3. Cara Informan Menghadapi Pasien ... 72

4.5.4. Cara Informan Memberi Dukungan Psikologis dan Sosial kepada Pasien Program PMTCT ... 74

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Informan ... 76

5.2. Pengetahuan ... 79

5.3. Sikap ... 86

5.4. Tindakan ... 91

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 96

6.2. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Diagram Bar Jumlah Kasus HIV-AIDS Menurut

Tahun di Indonesia, 2005 - September 2012 ………...4 Gambar 1.2. Diagram Bar Persentase Kumulatif Kasus AIDS

Menurut Kelompok Umur di Indonesia Tahun

(13)

DAFTAR MATRIKS

Matriks 4.1. Karakteristik Informan

Matriks 4.2. Sumber Informasi Informan tentang Program PMTCT Mariks 4.3. Pengertian PMTCT

Matriks 4.4. Program- Program dalam PMTCT

Matriks 4.5. Alur Program PMTCT yang Diketahui Informan

Matriks 4.6. Sejauh Mana Keberhasilan Program PMTCT terhadap Kejadian HIV-AIDS di Rumah Sakit Haji hingga Tahun 2013

Matriks 4.7. Tanggapan Informan terhadap Pasien

Matriks 4.8 Tanggapan Informan terhadap Program PMTCT

Matriks 4.9. Tanggapan Informan tentang Peranan Bidan KIA/KB dalam Pelaksanaan Program PMTCT

Matriks 4.10. Tanggapan Informan terhadap Pasien yang telah Terinfeksi HIV-AIDS Matriks 4.11. Lama Informan Melayani Pasien Program PMTCT

Matrik 4.12. Interaksi Bidan dengan Pasien dalam Pelaksanaan Program PMTCT Matriks 4.13. Interaksi Bidan dengan Sesama Pelaksana Program PMTCT

Matriks 4.14. Cara Informan Menghadapi Pasien Program PMTCT

(14)

ABSTRAK

Penyebaran HIV-AIDS di Indonesia sangat cepat. Saat ini tidak ada provinsi di Indonesia yang bebas HIV. Program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) adalah salah satu upaya penanggulangan masalah HIV-AIDS terutama pada ibu ke bayinya dan merupakan strategi yang efektif dengan mencakup spektrum yang luas, tidak hanya kepada ibu rumah tangga, namun juga kepada perempuan pekerja seks, perempuan pengguna narkoba suntik, buruh migran dan lain sebagainya.  Di kota medan sudah ada dua rumah sakit pemerintah yang melayani program PMTCT. Pada hasil observasi ditemukan hanya 1 orang bidan yang mendapatkan pelatihan tentang program PMTCT. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku bidan dalam pelaksanaan program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam untuk mengetahui perilaku bidan KIA/KB dalam pelaksanaan program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013.Hasil penelitian menunjukkan pengetahuanbidanKIA/KB masih rendah tentang PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission). Sikap bidan berpandangan positif terhadap pasien, dimana mereka tidak dibeda-bedakan. Tindakan bidan KIA/KB dalam menghadapi pasien PMTCT kurang sesuai dengan pedoman PMTCT yang ada.Untuk itu diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk mengadakan evaluasi, pelatihan serta sosialisasi mengenai program PMTCT yaitu tatalaksana klinis infeksi HIV, terapi Antiretroviral pada anak dan orang dewasa, pendampingan pasien PMTCT dan cara pemberian dukungan kepada pasien PMTCT. Selain itu bidan diharapkan lebih banyak lagi membaca buku atau mencari informasi terbaru tentang PMTCT.

(15)

ABSTRACT

The spread of HIV/AIDS in Indonesia is very fast . Currently there is no province in Indonesia that is free of HIV. PMTCT is an effort to prevent HIV transmission from mother to baby and an effective strategy to cover a broad

spectrum, not only the housewives, but also to prostitute, female using injecting drug, migrant workers and others. In Medan there are two hospitals that serve governments PMTCT program. On observations found only 1 midwife who trained in PMTCT programs . The purpose of this study is to describe the behavior of midwives in the implementation of the PMTCT program (Prevention of Mother to Child

Transmission) at Haji Hospital in Medan at 2013 .

This is a descriptive study with a qualitative approach using in-depth interviews to determine the behavior of midwives in the implementation of PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) at Haji Hospital in Medan at 2013. Results showed midwives knowledge are still low about PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission) program. Midwives attitude positive outlook where midwives do not discriminate patients. Action of midwives in the face of patients didn’t match with the guidebook of PMTCT program. For that is expected to the hospital to evaluatiate, train, and sosialize the PMTCT program, which is

management of HIV infection and antiretroviral therapy for children, adolescent and adults, to asiisting patient of PMTCT, and support to patient of PMTCT. Midwives is also espected to read and seek for more information about PMTCT.

(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Salah satu penyakit menular seksual AIDS masih menjadi perbincangan utama dalam permasalahan global. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat

menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi

diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh, sehingga akhirnya tubuh mudah terserang berbagai jenis penyakit (IKAPI, 2010).

HIV-AIDS merupakan masalah kesehatan yang sangat erat kaitannya dengan berbagai isu sosial-budaya. Epidemi HIV dapat menimbulkan kematian disegala usia di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sejak tahun 1994, penyakit AIDS diterima sebagai persoalan multi sektor, bukan semata masalah kesehatan. Berbagai sektor perlu dilibatkan terkait intervensi pendidikan, psikososial, dan ekonomi karena tingkat kematian yang tinggi, pembiayaan pengobatan serta stigma yang melekat pada mereka yang tertular HIV. Oleh karena itu semua kelompok, baik pengidap penyakit, masyarakat yang peduli kesehatan, pemerintah serta organisasi sosial peduli AIDS harus menyadari pentingnya usaha terpadu untuk melakukan tindakan promosi dan prevensi terhadap penyebaran HIV-AIDS (DepKes RI, 2010).

(17)

Berdasarkan case report United Nations Programme on HIV-AIDS (UNAIDS) tahun 2011 jumlah orang yang terjangkit HIV didunia sampai akhir tahun 2010 terdapat 34 juta orang. Dua pertiga dari jumlah tersebut berada di Afrika kawasan Selatan Sahara dimana ditemukan kasus infeksi baru mencapai 70 %. Di Afrika Selatan mencapai 5,6 juta orang yang terinfeksi HIV, di Eropa Tengah dan Barat jumlah kasus infeksi baru HIV-AIDS sekitar 840.000, di Jerman secara kumulasi terdapat 73.000 orang dengan HIV-AIDS dan 5 juta penderita HIV-AIDS ada di kawasan Asia Pasifik yang merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah Afrika Selatan (UNAIDS, case report 2011).

World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2011

terdapat 3,5 juta orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV-AIDS. Beberapa Negara seperti Myanmar, Nepal dan Thailand menunjukkan tren penurunan untuk infeksi baru HIV. Trend kematian yang disebabkan oleh AIDS antara tahun 2001 sampai 2010 berbeda disetiap bagian Negara. Di Eropa Timur dan Asia Tengah sejumlah orang meninggal karena AIDS meningkat dari 7.800 menjadi 90.000, di Timur Tengah dan Afrika Utara meningkat dari 22.000 menjadi 35.000, di Asia Timur juga meningkat dari 24.000 menjadi 56.000. Secara global, infeksi HIV baru mengalami penurunan sebesar 24% antara 2001 dan 2011 (WHO, Progress Report 2011).

(18)

1990. Antara tahun 1990 dan 2011, kematian balita menurun sebesar 41 %, dari tingkat estimasi 87 kematian per 1000 kelahiran hidup menjadi 51. Tingkat penurunan global juga telah dipercepat dalam beberapa tahun terakhir dari 1,8 % per tahun selama periode 1990-2000 menjadi 3,2 % selama 2000-2011 (WHO, 2012).

Meskipun penurunan yang signifikan dalam jumlah kematian ibu dari estimasi 543.000 di tahun 1990 dan 287.000 tahun 2010, tingkat penurunan hanya lebih dari setengah yang dibutuhkan untuk mencapai target MDG pengurangan tiga perempat rasio kematian di antara 1990 dan 2015. Untuk mengurangi jumlah kematian ibu, perempuan membutuhkan akses ke baik kualitas kesehatan reproduksi dan intervensi yang efektif. Pada tahun 2008, 63 % wanita usia 15-49 tahun yang menikah atau dalam serikat konsensual menggunakan beberapa bentuk kontrasepsi, sementara 11 % menginginkan untuk menghentikan atau menunda melahirkan tetapi tidak menggunakan kontrasepsi (WHO, 2012).

Proporsi wanita yang menerima perawatan antenatal setidaknya sekali selama kehamilan adalah sekitar 81 % untuk periode 2005-2011, tetapi untuk minimum yang disarankan dari empat kunjungan atau lebih angka yang sesuai turun menjadi sekitar 55 %. Proporsi kelahiran yang dibantu oleh tenaga terampil penting untuk mengurangi perinatal, kematian maternal dan neonatal di atas 90 % dalam tiga dari enam wilayah WHO. Namun, cakupan peningkatan dibutuhkan di daerah tertentu, seperti wilayah Afrika WHO dimana angka tersebut masih kurang dari 50 % (WHO, 2012).

(19)

bebas HIV. Bahkan selama lima tahun terakhir ini, laju epidemi HIV di Indonesia tercepat di lingkungan ASEAN, hal ini diungkapkan UNAIDS dalam laporannya HIV in the ASIA and the Pacific “Getting to Zero”, pada tahun 2011 (UNAIDS, 2011).

Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan september 2012, kasus HIV-AIDS tersebar di 341 (71%) dari 497 kabupaten/kota diseluruh (33) provinsi di Indonesia. Provinsi yang pertama kali melaporkan kasus HIV-AIDS adalah provinsi Bali (1987) dan provinsi Sulawesi Barat yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV pada tahun 2011 (Kemenkes, 2012).

[image:19.595.112.519.438.654.2]

Menurut laporan perkembangan HIV-AIDS Kementrian Kesehatan Indonesia hingga September 2012 tercatat 92.251 kasus HIV dan 39.434 kasus AIDS. Dimana angka tertinggi yaitu di tahun 2010 dengan jumlah sebanyak 21.591 kasus HIV dan 6.474 kasus AIDS.

(20)
[image:20.595.111.518.303.547.2]

Berdasarkan informasi Kementrian Kesehatan hingga September 2012, persentase kumulatif kasus AIDS menurut kelompok umur paling tinggi adalah kelompok umur 30-39 tahun yang juga merupakan kelompok umur reproduktif yaitu mencapai 37.1 %. Angka yang cukup besar ini otomatis akan memperbesar kemungkinan terjadinya penularan HIV-AIDS dari ibu hamil kepada bayi yang dikandung. Data diatas menguatkan fakta bahwa HIV-AIDS memang menunjukkan trend yang semakin meningkat.

Gambar 1.2. Diagram Bar Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut Kelompok Umur di Indonesia Tahun 1987- September 2012

(21)

dan waria serta kelompok lelaki seks dengan lelaki (LSL). Namun demikian jika tidak dilakukan intervensi yang intensif, bukan tidak mungkin modus penularan lain akan terus meningkat, seperti penularan prenatal (KPA, 2011).

Masalah tidak terdeteksinya PMS dan HIV di kalangan wanita hamil berlipat ganda besarnya di Indonesia, mengingat masih banyak wanita yang tidak pernah memeriksakan kehamilannya ke tenaga medis. Bahkan bagi wanita hamil yang terkena HIV perlu mendapatkan pelayanan khusus. Wanita hamil yang terinfeksi HIV beresiko lebih besar mengalami komplikasi kehamilan seperti keguguran, demam, infeksi, persalinan prematur, bayi lahir berat rendah dan infeksi saat persalinan yang tidak sembuh dengan pemberian antibiotik (Pusat Penelitian Universitas Indonesia, 1996).

(22)

tidak ada. Namun untuk ibu yang mengidap HIV, sebenarnya yang terbaik adalah memberikan konseling yang benar agar ibu tersebut dapat memutuskan sendiri apakah akan menyusui bayinya atau tidak (Pedoman Nasional PMTCT, 2011).

Saat ini provinsi Sumatera Utara menduduki peringkat ke tiga untuk jumlah kasus HIV tertinggi yaitu 5.935 kasus (Laporan Kementrian Kesehatan, 2012). Kota Medan sendiri dilaporkan sebagai daerah paling banyak terdapat kasus HIV-AIDS yaitu 3.410 kasus. Walaupun faktor resiko terbesar dari Heteroseksual sebanyak 2.198 kasus, IDU (narkoba suntik) 958 kasus dan homoseksual 118 kasus, namun ibu rumah tangga juga sudah banyak yang terinfeksi sebanyak 452 orang sejak tahun 2006 sampai 2012. Selain itu kasus dari faktor resiko tranfusi darah juga ada 31 kasus dan yang tidak diketahui 49 kasus serta faktor resiko prenatal (dari ibu ke anak) sudah mencapai 56 kasus (Mardohar KPA, 2012).

Berdasarkan data diatas baik pemerintah maupun masyarakat harus bersama-sama memerangi penyebaran HIV-AIDS khususnya kota Medan. Penularan HIV dari ibu ke bayinya dapat terjadi melalui proses kehamilan, kelahiran dan menyusui (KEMENEGPP, 2008).

(23)

untuk kelompok usia reproduktif tinggi hingga pemberian dukungan psikologis serta sosial pada ibu dan bayi pengidap HIV-AIDS (KPA, 2010 ).

PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) secara langsung mempengaruhi pencapaian MDGs 2015 goals 4,5, dan 6 yaitu: mengurangi dua per tiga angka kematian anak balita, mengurangi sampai tiga perempat rasio kematian ibu serta menghentikan penyebaran HIV-AIDS (Pedoman Nasional PMTCT, 2011).

Pada tahun 2005, wakil-wakil dari pemerintah, lembaga multilateral, mitra pembangunan, lembaga penelitian, masyarakat sipil, dan orang yang hidup dengan HIV berkumpul di PMTCT Level Global Partners Forum Tinggi di Abuja, Nigeria yang menghasilkan 'Call to Action' untuk menghilangkan infeksi HIV-AIDS pada bayi dan anak-anak serta generasi yang bebas HIV-AIDS (WHO, Breafing Note 2007).

Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi mempunyai dua tujuan yaitu: (1) untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi, karena 90% penularan infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu dan hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses transfusi, (2) mengurangi dampak epidemik HIV terhadap ibu dan bayi. Dampak akhir dari epidemik HIV berupa berkurangnya kemampuan produksi serta peningkatan beban biaya hidup yang yang harus ditanggung karena morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi (Modul pelatihan PMTCT, 2008)

(24)

masih rendah, yakni baru mencakup 28.314 ibu hamil yang dilakukan konseling dan tes HIV dimana 812 diantaranya positif, sementara ibu hamil yang mendapatkan ARV berjumlah 685 orang dan jumlah bayi yang mendapatkan ARV profilaksis sebanyak 752 orang (data Ditjen P2PL, Januari-September 2012). Berkaitan dengan permasalahan diatas, maka program PPIA merupakan hal yang tidak bisa ditunda lagi kalau kita tidak ingin kehilangan generasi karena terinfeksi HIV (Pedoman Nasional PPIA, 2012).

Di kota Medan sudah ada 2 layanan PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) yaitu di Rumah Sakit Haji dan Rumah Sakit Adam Malik. Hal ini

tentunya menunjukkan bahwa program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) sudah mulai terlaksana. Walaupun cakupan layanan tersebut masih

tergolong sedikit, setidaknya para bidan di Puskesmas maupun Rumah Sakit mengetahui dan paham tentang program PMTCT sehingga bisa memberikan informasi tentang program tersebut kepada masyarakat (Jamalludin, 2013).

Pemanfaatan Bidan khususnya bagian pelayanan KIA/KB sangat diperlukan dalam hal penanggulangan HIV-AIDS di khususkan untuk program Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) atau penularan dari ibu ke bayi. Para bidan

diharapkan cermat melakukan anamnese para ibu hamil (bumil) tentang ada tidaknya faktor risiko terinfeksi HIV (Arifah, 2010).

Peran bidan dalam sosialisasi tes HIV-AIDS dan VCT (Voluntary Counseling and Testing) bagi ibu hamil yang mempunyai faktor resiko tersebut sangat penting

(25)

merupakan ujung tombak dalam pelayanan ANC khususnya pada ibu hamil yang mempunyai faktor resiko tertular HIV-AIDS, maka sosialisasi dan pelaksanaan PMTCT harus tetap dilaksanakan (Siti Shofia’h, 2009).

Bidan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan ibu hamil, kelahiran dan pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, memiliki peran cukup strategis dalam upaya menekan laju pertumbuhan penyakit HIV-AIDS di antara kelompok masyarakat pengunjung Puskesmas dan Rumah Sakit terutama pada pelayanan KIA/KB. Para bidan di latih agar memiliki pengetahuan tentang pencegahan transmisi HIV-AIDS dari ibu ke bayi. Proses penularan HIV AIDS dapat berlangsung melalui proses kehamilan persalinan, maupun proses pemberian air susu ibu pada bayi. Kondisi beresiko ini menuntut komitmen lintas kelembagaan, pemerintah maupun swasta untuk menciptakan berbagai program dan aktifitas, secara optimal untuk mencegah penularan HIV-AIDS dari ibu ke anak (Jamaludin, 2013).

Perilaku bidan dalam pelaksanaan PMTCT harus benar-benar diperhatikan. Selain harus memiliki keterampilan khusus dalam mempromosikan program, bidan juga harus mengetahui seluk beluk pemahaman tentang HIV-AIDS. Bidan diharapkan bisa memahami kondisi yang ada pada klien sehingga klien merasa nyaman dan mau melakukan langkah-langkah dari program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission). Para bidan diharapkan cermat melakukan anamnese para ibu hamil

(bumil) tentang ada tidaknya faktor risiko terinfeksi HIV. Selain itu ibu hamil diharapkan secara suka rela memeriksakan diri ke klinik VCT (Voluntary Counceling and Testing). Tujuan kegiatan VCT adalah untuk mendeteksi apakah seseorang (ibu

(26)

20 persen ibu hamil yang diperiksa di Puskesmas / RS, dirujuk ke klinik VCT. Bila di VCT ditemukan ibu hamil, dan wanita usia produktif positif HIV dirujuk ke program PMTCT. Secara khusus, program PMTCT memiliki 4 sasaran yakni: (1) mencegah agar para wanita usia reproduktif tinggi tidak terinfeksi HIV. (2) Kalau ada pasien dengan HIV positif, diharapkan pasien tidak hamil. (3) Jika terlanjur ibu dengan HIV terlanjur hamil, maka ada program PMTCT untuk menangani (4) secara khusus, supaya anak yang di lahirkan tidak terinfeksi HIV. Caranya pelaksanaan secara umum mulai dari (1) pemberian profilaksis kepada ibu hamil, (2) proses melahirkan melalui operasi caesar, (3) pemberian ASI eksklusif tiga bulan atau diberikan pengganti ASI. Kalau tidak ada tindakan intervensi, maka 15-30 persen bayi akan terinfeksi (Pedoman Nasional Pencegahan HIV/AIDS 2007).

(27)

(39,4%). Hal ini menunjukkan bahwa bidan kurang komunikasi dengan pasien dan jarang menggunakan media dalam penyampaian pesan. (Arifah, 2010).

Berdasarkan suvei pendahuluan yang telah dilakukan, Rumah Sakit Haji merupakan tempat percontohan untuk layanan PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) pertama kali tahun 2005. Hal ini tentu saja menjadi kebanggaan

sekaligus tantangan bagi Rumah Sakit tersebut karena sebagai contoh mereka harus memberikan yang terbaik dalam memberi pelayanan kepada masyarakat. Bapak Jamalludin selaku pemegang program konseling di Rumah Sakit tersebut mengatakan bahwa sudah banyak pasien yang datang dengan HIV (+). Jumlah kasus HIV-AIDS yang sudah ditangani Rumah Sakit Haji hingga tahun 2013 mencapai 369 kasus dan ada 33 orang yang sudah meninggal. Dari 369 kasus HIV-AIDS 90 diantaranya telah mengikuti program PMTCT. Namun ada 4 kasus pasien yang gagal di follow up. Hal ini dikarenakan kurangnya kepatuhan dari pasien itu sendiri. Selain itu lokasi pelayanan yang jauh dari tempat tinggal pasien serta ketidakpahaman pasien akan program PMTCT menyebabkan mereka mengurungkan niat untuk melanjutkan program PMTCT.

(28)

Berdasarkan paparan diatas dapat dilihat bahwa program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) yang selama ini diharapkan menjadi program

andalan dalam penanggulangan masalah HIV/AIDS di kota Medan, mempunyai masalah yang cukup kompleks dalam pelaksanaannya. Meskipun layanan PMTCT memiliki 4 tiang strategi, namun di Indonesia hanya berfokus pada dua tiang strategi saja yakni tiang ketiga mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya dan tiang keempat, memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarga. Beberapa isu merebak terkait akses dan layanan PMTCT oleh perempuan yang terinfeksi HIV yang tersedia di Indonesia. Rumah Sakit yang merupakan rujukan layanan PMTCT belum semua melakukan penatalaksanaan medis dan manajemen yang baik kepada perempuan terinfeksi HIV meski Rumah Sakit berkewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit. Beberapa ketidaksesuaian layanan dan pelanggaran HAM disinyalir terjadi meski tidak dilaporkan kepada lembaga hukum secara formal. Kasus-kasus tindakan medis yang tidak mengacu pada pedoman, akses yang relatif sulit dan mahal, praktek sterilisasi yang seolah dipaksakan, serta diskriminasi oleh tenaga medis menjadi tantangan dalam akses dan mutu layanan PMTCT (IPPI, 2012).

(29)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang diteliti adalah “ Bagaimana Perilaku Bidan KIA/KB dalam Pelaksanaan Program Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013 ” .

1.3 Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku bidan KIA/KB dalam pelaksanaan program Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengetahuan bidan tentang program PMTCT di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013

2. Untuk mengetahui sikap bidan terhadap program PMTCT di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013

3. Untuk mengetahui tindakan bidan dalam proses pelaksanaan program PMTCT di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

(30)

2. Sebagai kontribusi terhadap Tim penanggulangan AIDS kota Medan dalam pengembangan PMTCT untuk HIV-AIDS.

3. Memberikan masukan kepada pihak Dinas Kesehatan kota Medan dalam rangka pengembangan pelayanan PMTCT bagi masyarakat kota Medan. 4. Untuk pengembangan konsep-konsep tentang program HIV-AIDS.

(31)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Salah satu penyakit menular seksual AIDS masih menjadi perbincangan utama dalam permasalahan global. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat

menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi

diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh, sehingga akhirnya tubuh mudah terserang berbagai jenis penyakit (IKAPI, 2010).

HIV-AIDS merupakan masalah kesehatan yang sangat erat kaitannya dengan berbagai isu sosial-budaya. Epidemi HIV dapat menimbulkan kematian disegala usia di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sejak tahun 1994, penyakit AIDS diterima sebagai persoalan multi sektor, bukan semata masalah kesehatan. Berbagai sektor perlu dilibatkan terkait intervensi pendidikan, psikososial, dan ekonomi karena tingkat kematian yang tinggi, pembiayaan pengobatan serta stigma yang melekat pada mereka yang tertular HIV. Oleh karena itu semua kelompok, baik pengidap penyakit, masyarakat yang peduli kesehatan, pemerintah serta organisasi sosial peduli AIDS harus menyadari pentingnya usaha terpadu untuk melakukan tindakan promosi dan prevensi terhadap penyebaran HIV-AIDS (DepKes RI, 2010).

(32)

Berdasarkan case report United Nations Programme on HIV-AIDS (UNAIDS) tahun 2011 jumlah orang yang terjangkit HIV didunia sampai akhir tahun 2010 terdapat 34 juta orang. Dua pertiga dari jumlah tersebut berada di Afrika kawasan Selatan Sahara dimana ditemukan kasus infeksi baru mencapai 70 %. Di Afrika Selatan mencapai 5,6 juta orang yang terinfeksi HIV, di Eropa Tengah dan Barat jumlah kasus infeksi baru HIV-AIDS sekitar 840.000, di Jerman secara kumulasi terdapat 73.000 orang dengan HIV-AIDS dan 5 juta penderita HIV-AIDS ada di kawasan Asia Pasifik yang merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah Afrika Selatan (UNAIDS, case report 2011).

World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2011

terdapat 3,5 juta orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV-AIDS. Beberapa Negara seperti Myanmar, Nepal dan Thailand menunjukkan tren penurunan untuk infeksi baru HIV. Trend kematian yang disebabkan oleh AIDS antara tahun 2001 sampai 2010 berbeda disetiap bagian Negara. Di Eropa Timur dan Asia Tengah sejumlah orang meninggal karena AIDS meningkat dari 7.800 menjadi 90.000, di Timur Tengah dan Afrika Utara meningkat dari 22.000 menjadi 35.000, di Asia Timur juga meningkat dari 24.000 menjadi 56.000. Secara global, infeksi HIV baru mengalami penurunan sebesar 24% antara 2001 dan 2011 (WHO, Progress Report 2011).

(33)

1990. Antara tahun 1990 dan 2011, kematian balita menurun sebesar 41 %, dari tingkat estimasi 87 kematian per 1000 kelahiran hidup menjadi 51. Tingkat penurunan global juga telah dipercepat dalam beberapa tahun terakhir dari 1,8 % per tahun selama periode 1990-2000 menjadi 3,2 % selama 2000-2011 (WHO, 2012).

Meskipun penurunan yang signifikan dalam jumlah kematian ibu dari estimasi 543.000 di tahun 1990 dan 287.000 tahun 2010, tingkat penurunan hanya lebih dari setengah yang dibutuhkan untuk mencapai target MDG pengurangan tiga perempat rasio kematian di antara 1990 dan 2015. Untuk mengurangi jumlah kematian ibu, perempuan membutuhkan akses ke baik kualitas kesehatan reproduksi dan intervensi yang efektif. Pada tahun 2008, 63 % wanita usia 15-49 tahun yang menikah atau dalam serikat konsensual menggunakan beberapa bentuk kontrasepsi, sementara 11 % menginginkan untuk menghentikan atau menunda melahirkan tetapi tidak menggunakan kontrasepsi (WHO, 2012).

Proporsi wanita yang menerima perawatan antenatal setidaknya sekali selama kehamilan adalah sekitar 81 % untuk periode 2005-2011, tetapi untuk minimum yang disarankan dari empat kunjungan atau lebih angka yang sesuai turun menjadi sekitar 55 %. Proporsi kelahiran yang dibantu oleh tenaga terampil penting untuk mengurangi perinatal, kematian maternal dan neonatal di atas 90 % dalam tiga dari enam wilayah WHO. Namun, cakupan peningkatan dibutuhkan di daerah tertentu, seperti wilayah Afrika WHO dimana angka tersebut masih kurang dari 50 % (WHO, 2012).

(34)

bebas HIV. Bahkan selama lima tahun terakhir ini, laju epidemi HIV di Indonesia tercepat di lingkungan ASEAN, hal ini diungkapkan UNAIDS dalam laporannya HIV in the ASIA and the Pacific “Getting to Zero”, pada tahun 2011 (UNAIDS, 2011).

Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan september 2012, kasus HIV-AIDS tersebar di 341 (71%) dari 497 kabupaten/kota diseluruh (33) provinsi di Indonesia. Provinsi yang pertama kali melaporkan kasus HIV-AIDS adalah provinsi Bali (1987) dan provinsi Sulawesi Barat yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV pada tahun 2011 (Kemenkes, 2012).

[image:34.595.112.519.438.654.2]

Menurut laporan perkembangan HIV-AIDS Kementrian Kesehatan Indonesia hingga September 2012 tercatat 92.251 kasus HIV dan 39.434 kasus AIDS. Dimana angka tertinggi yaitu di tahun 2010 dengan jumlah sebanyak 21.591 kasus HIV dan 6.474 kasus AIDS.

(35)
[image:35.595.111.518.303.547.2]

Berdasarkan informasi Kementrian Kesehatan hingga September 2012, persentase kumulatif kasus AIDS menurut kelompok umur paling tinggi adalah kelompok umur 30-39 tahun yang juga merupakan kelompok umur reproduktif yaitu mencapai 37.1 %. Angka yang cukup besar ini otomatis akan memperbesar kemungkinan terjadinya penularan HIV-AIDS dari ibu hamil kepada bayi yang dikandung. Data diatas menguatkan fakta bahwa HIV-AIDS memang menunjukkan trend yang semakin meningkat.

Gambar 1.2. Diagram Bar Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut Kelompok Umur di Indonesia Tahun 1987- September 2012

(36)

dan waria serta kelompok lelaki seks dengan lelaki (LSL). Namun demikian jika tidak dilakukan intervensi yang intensif, bukan tidak mungkin modus penularan lain akan terus meningkat, seperti penularan prenatal (KPA, 2011).

Masalah tidak terdeteksinya PMS dan HIV di kalangan wanita hamil berlipat ganda besarnya di Indonesia, mengingat masih banyak wanita yang tidak pernah memeriksakan kehamilannya ke tenaga medis. Bahkan bagi wanita hamil yang terkena HIV perlu mendapatkan pelayanan khusus. Wanita hamil yang terinfeksi HIV beresiko lebih besar mengalami komplikasi kehamilan seperti keguguran, demam, infeksi, persalinan prematur, bayi lahir berat rendah dan infeksi saat persalinan yang tidak sembuh dengan pemberian antibiotik (Pusat Penelitian Universitas Indonesia, 1996).

(37)

tidak ada. Namun untuk ibu yang mengidap HIV, sebenarnya yang terbaik adalah memberikan konseling yang benar agar ibu tersebut dapat memutuskan sendiri apakah akan menyusui bayinya atau tidak (Pedoman Nasional PMTCT, 2011).

Saat ini provinsi Sumatera Utara menduduki peringkat ke tiga untuk jumlah kasus HIV tertinggi yaitu 5.935 kasus (Laporan Kementrian Kesehatan, 2012). Kota Medan sendiri dilaporkan sebagai daerah paling banyak terdapat kasus HIV-AIDS yaitu 3.410 kasus. Walaupun faktor resiko terbesar dari Heteroseksual sebanyak 2.198 kasus, IDU (narkoba suntik) 958 kasus dan homoseksual 118 kasus, namun ibu rumah tangga juga sudah banyak yang terinfeksi sebanyak 452 orang sejak tahun 2006 sampai 2012. Selain itu kasus dari faktor resiko tranfusi darah juga ada 31 kasus dan yang tidak diketahui 49 kasus serta faktor resiko prenatal (dari ibu ke anak) sudah mencapai 56 kasus (Mardohar KPA, 2012).

Berdasarkan data diatas baik pemerintah maupun masyarakat harus bersama-sama memerangi penyebaran HIV-AIDS khususnya kota Medan. Penularan HIV dari ibu ke bayinya dapat terjadi melalui proses kehamilan, kelahiran dan menyusui (KEMENEGPP, 2008).

(38)

untuk kelompok usia reproduktif tinggi hingga pemberian dukungan psikologis serta sosial pada ibu dan bayi pengidap HIV-AIDS (KPA, 2010 ).

PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) secara langsung mempengaruhi pencapaian MDGs 2015 goals 4,5, dan 6 yaitu: mengurangi dua per tiga angka kematian anak balita, mengurangi sampai tiga perempat rasio kematian ibu serta menghentikan penyebaran HIV-AIDS (Pedoman Nasional PMTCT, 2011).

Pada tahun 2005, wakil-wakil dari pemerintah, lembaga multilateral, mitra pembangunan, lembaga penelitian, masyarakat sipil, dan orang yang hidup dengan HIV berkumpul di PMTCT Level Global Partners Forum Tinggi di Abuja, Nigeria yang menghasilkan 'Call to Action' untuk menghilangkan infeksi HIV-AIDS pada bayi dan anak-anak serta generasi yang bebas HIV-AIDS (WHO, Breafing Note 2007).

Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi mempunyai dua tujuan yaitu: (1) untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi, karena 90% penularan infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu dan hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses transfusi, (2) mengurangi dampak epidemik HIV terhadap ibu dan bayi. Dampak akhir dari epidemik HIV berupa berkurangnya kemampuan produksi serta peningkatan beban biaya hidup yang yang harus ditanggung karena morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi (Modul pelatihan PMTCT, 2008)

(39)

masih rendah, yakni baru mencakup 28.314 ibu hamil yang dilakukan konseling dan tes HIV dimana 812 diantaranya positif, sementara ibu hamil yang mendapatkan ARV berjumlah 685 orang dan jumlah bayi yang mendapatkan ARV profilaksis sebanyak 752 orang (data Ditjen P2PL, Januari-September 2012). Berkaitan dengan permasalahan diatas, maka program PPIA merupakan hal yang tidak bisa ditunda lagi kalau kita tidak ingin kehilangan generasi karena terinfeksi HIV (Pedoman Nasional PPIA, 2012).

Di kota Medan sudah ada 2 layanan PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) yaitu di Rumah Sakit Haji dan Rumah Sakit Adam Malik. Hal ini

tentunya menunjukkan bahwa program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) sudah mulai terlaksana. Walaupun cakupan layanan tersebut masih

tergolong sedikit, setidaknya para bidan di Puskesmas maupun Rumah Sakit mengetahui dan paham tentang program PMTCT sehingga bisa memberikan informasi tentang program tersebut kepada masyarakat (Jamalludin, 2013).

Pemanfaatan Bidan khususnya bagian pelayanan KIA/KB sangat diperlukan dalam hal penanggulangan HIV-AIDS di khususkan untuk program Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) atau penularan dari ibu ke bayi. Para bidan

diharapkan cermat melakukan anamnese para ibu hamil (bumil) tentang ada tidaknya faktor risiko terinfeksi HIV (Arifah, 2010).

Peran bidan dalam sosialisasi tes HIV-AIDS dan VCT (Voluntary Counseling and Testing) bagi ibu hamil yang mempunyai faktor resiko tersebut sangat penting

(40)

merupakan ujung tombak dalam pelayanan ANC khususnya pada ibu hamil yang mempunyai faktor resiko tertular HIV-AIDS, maka sosialisasi dan pelaksanaan PMTCT harus tetap dilaksanakan (Siti Shofia’h, 2009).

Bidan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan ibu hamil, kelahiran dan pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, memiliki peran cukup strategis dalam upaya menekan laju pertumbuhan penyakit HIV-AIDS di antara kelompok masyarakat pengunjung Puskesmas dan Rumah Sakit terutama pada pelayanan KIA/KB. Para bidan di latih agar memiliki pengetahuan tentang pencegahan transmisi HIV-AIDS dari ibu ke bayi. Proses penularan HIV AIDS dapat berlangsung melalui proses kehamilan persalinan, maupun proses pemberian air susu ibu pada bayi. Kondisi beresiko ini menuntut komitmen lintas kelembagaan, pemerintah maupun swasta untuk menciptakan berbagai program dan aktifitas, secara optimal untuk mencegah penularan HIV-AIDS dari ibu ke anak (Jamaludin, 2013).

Perilaku bidan dalam pelaksanaan PMTCT harus benar-benar diperhatikan. Selain harus memiliki keterampilan khusus dalam mempromosikan program, bidan juga harus mengetahui seluk beluk pemahaman tentang HIV-AIDS. Bidan diharapkan bisa memahami kondisi yang ada pada klien sehingga klien merasa nyaman dan mau melakukan langkah-langkah dari program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission). Para bidan diharapkan cermat melakukan anamnese para ibu hamil

(bumil) tentang ada tidaknya faktor risiko terinfeksi HIV. Selain itu ibu hamil diharapkan secara suka rela memeriksakan diri ke klinik VCT (Voluntary Counceling and Testing). Tujuan kegiatan VCT adalah untuk mendeteksi apakah seseorang (ibu

(41)

20 persen ibu hamil yang diperiksa di Puskesmas / RS, dirujuk ke klinik VCT. Bila di VCT ditemukan ibu hamil, dan wanita usia produktif positif HIV dirujuk ke program PMTCT. Secara khusus, program PMTCT memiliki 4 sasaran yakni: (1) mencegah agar para wanita usia reproduktif tinggi tidak terinfeksi HIV. (2) Kalau ada pasien dengan HIV positif, diharapkan pasien tidak hamil. (3) Jika terlanjur ibu dengan HIV terlanjur hamil, maka ada program PMTCT untuk menangani (4) secara khusus, supaya anak yang di lahirkan tidak terinfeksi HIV. Caranya pelaksanaan secara umum mulai dari (1) pemberian profilaksis kepada ibu hamil, (2) proses melahirkan melalui operasi caesar, (3) pemberian ASI eksklusif tiga bulan atau diberikan pengganti ASI. Kalau tidak ada tindakan intervensi, maka 15-30 persen bayi akan terinfeksi (Pedoman Nasional Pencegahan HIV/AIDS 2007).

(42)

(39,4%). Hal ini menunjukkan bahwa bidan kurang komunikasi dengan pasien dan jarang menggunakan media dalam penyampaian pesan. (Arifah, 2010).

Berdasarkan suvei pendahuluan yang telah dilakukan, Rumah Sakit Haji merupakan tempat percontohan untuk layanan PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) pertama kali tahun 2005. Hal ini tentu saja menjadi kebanggaan

sekaligus tantangan bagi Rumah Sakit tersebut karena sebagai contoh mereka harus memberikan yang terbaik dalam memberi pelayanan kepada masyarakat. Bapak Jamalludin selaku pemegang program konseling di Rumah Sakit tersebut mengatakan bahwa sudah banyak pasien yang datang dengan HIV (+). Jumlah kasus HIV-AIDS yang sudah ditangani Rumah Sakit Haji hingga tahun 2013 mencapai 369 kasus dan ada 33 orang yang sudah meninggal. Dari 369 kasus HIV-AIDS 90 diantaranya telah mengikuti program PMTCT. Namun ada 4 kasus pasien yang gagal di follow up. Hal ini dikarenakan kurangnya kepatuhan dari pasien itu sendiri. Selain itu lokasi pelayanan yang jauh dari tempat tinggal pasien serta ketidakpahaman pasien akan program PMTCT menyebabkan mereka mengurungkan niat untuk melanjutkan program PMTCT.

(43)

Berdasarkan paparan diatas dapat dilihat bahwa program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) yang selama ini diharapkan menjadi program

andalan dalam penanggulangan masalah HIV/AIDS di kota Medan, mempunyai masalah yang cukup kompleks dalam pelaksanaannya. Meskipun layanan PMTCT memiliki 4 tiang strategi, namun di Indonesia hanya berfokus pada dua tiang strategi saja yakni tiang ketiga mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya dan tiang keempat, memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarga. Beberapa isu merebak terkait akses dan layanan PMTCT oleh perempuan yang terinfeksi HIV yang tersedia di Indonesia. Rumah Sakit yang merupakan rujukan layanan PMTCT belum semua melakukan penatalaksanaan medis dan manajemen yang baik kepada perempuan terinfeksi HIV meski Rumah Sakit berkewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit. Beberapa ketidaksesuaian layanan dan pelanggaran HAM disinyalir terjadi meski tidak dilaporkan kepada lembaga hukum secara formal. Kasus-kasus tindakan medis yang tidak mengacu pada pedoman, akses yang relatif sulit dan mahal, praktek sterilisasi yang seolah dipaksakan, serta diskriminasi oleh tenaga medis menjadi tantangan dalam akses dan mutu layanan PMTCT (IPPI, 2012).

(44)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang diteliti adalah “ Bagaimana Perilaku Bidan KIA/KB dalam Pelaksanaan Program Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013 ” .

1.3 Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku bidan KIA/KB dalam pelaksanaan program Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengetahuan bidan tentang program PMTCT di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013

2. Untuk mengetahui sikap bidan terhadap program PMTCT di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013

3. Untuk mengetahui tindakan bidan dalam proses pelaksanaan program PMTCT di Rumah Sakit Haji Kota Medan tahun 2013

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

(45)

2. Sebagai kontribusi terhadap Tim penanggulangan AIDS kota Medan dalam pengembangan PMTCT untuk HIV-AIDS.

3. Memberikan masukan kepada pihak Dinas Kesehatan kota Medan dalam rangka pengembangan pelayanan PMTCT bagi masyarakat kota Medan. 4. Untuk pengembangan konsep-konsep tentang program HIV-AIDS.

(46)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku

2.1.1. Defenisi Perilaku

Menurut ensiklopedia Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu reaksi organisme terhadap lingkungannya, yang berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada suatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi (rangsangan), dengan demikian suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Notoatmodjo (2003) juga berpendapat perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Robert kwick (1974) perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Skiner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.

Dilihat dari respons terhadap stimulus tersebut, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua :

1. Perilaku Tertutup ( covert behavior )

Respons yang terjadi dalam stimuus ini masih dibatasi perhatian, persepsi, pengetahuan/ kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain .

(47)

2. Perilaku Terbuka ( overt behavior )

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka .

Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Dari penjelasan di atas dapat disebutkan bahwa perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu :

1. Faktor eksternal, yaitu stimulus yang merupakan faktor dari luar diri seseorang. Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi maupun politik.

2. Faktor internal, yaitu respon yang merupakan faktor dari dalam diri seseorang. Faktor internal yang menentukan seseorang merespon stimulus dari luar dapat berupa perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya.

(48)

kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang tegas. Pembagian kawasan ini, dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan, yaitu mengembangakan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut yang terdiri dari:

a. Pengetahuan

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Pengetahuan dibagi atas 6 tingkatan : 1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (Aplication)

Apikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4. Analisis (Analysis)

(49)

5. Sintesis (Synthesis)

Sintensis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru 6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek.

b. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek

3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan

emosi memegang peranan penting.

Menurut Purwanto (1999) sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecendrungan untuk bertindak terhadap suatu obyek. Ciri ciri sikap (Purwanto, 1999) adalah :

(50)

2) Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

3) Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.

4) Objek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

5) Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.

Selain itu sikap juga memiliki tingkatan. Tingkatan dalam sikap adalah sebagai berikut :

1. Menerima ( receiving )

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding)

(51)

3. Menghargai (valuing)

Merupakan suatu indikasi sikap tingkat tiga dimana mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah .

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi .

Sedangkan fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yaitu :  Sikap sebagai alat untuk menyesuaikan diri.

Sikap adalah sesuatu yang bersifat coomunicable, artinya suatu yang mudah menjalar, sihngga menjadi mudah pula menjadi milik bersama. Sikap bisa menjadi rantai penghubung antara orang dengan kelompoknya atau dengan anggota kelompoknya.

 Sikap sebagai alat pengatur tingkah laku.

Pertimbangan antara perangsang dan reaksi pada anak dewasa dan yang sudah lanjut usianya tidak ada. Perrangsang itu pada umumnya tidak diberi perangsang secara spontan, akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang itu.

 Sikap sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman.

(52)

perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman diberi penilaian lalu dipilih.

 Sikap sebagai pernyataan kepribadian.

Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang, ini disebabkan karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi, sikap merupakan pernyataan pribadi (Notoatmodjo, 2007).

c. Tindakan ( practise )

Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terbentuknya suatu sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain didalam tindakan atau praktik (Notoatmodjo, 2007).

Tingkatan-tingkatan praktik itu adalah :

1. Persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

2. Respon terpimpin (guided response) adalah bila seseorang dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar.

(53)

4. Adaptasi (adaptation) adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Rogers (1983) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa proses perubahan keputusan dibagi menjadi lima tahap, yaitu :

1. Knowledge, yaitu seseorang terbuka akan adanya perubahan dan memiliki

pemahaman yang berkaitan bagaimana perubahan itu dapat dimanfaatkan. 2. Persuasion, yaitu terjadi ketika seseorang memiliki sikap yang baik maupun

yang tidak baik terhadap suatu perubahan.

3. Decision, yaitu ketika seseorang menggunakan suatu perubahan dalam

kehidupan dan aktivitasnya dan memutuskan untuk memilih, mengadopsi atau menolak perubahan tersebut.

4. Implementatiom, yaitu tahap dimana seseorang memutuskan untuk melakukan suatu perubahan.

5. Confirmation, yaitu tahap dimana seseorang mencari penguatan diri sebuah perubahan keputusan yang telah dibuat, tetapi sesorang bisa merubah keputusan yang sebelumnya telah dibuat bila terdapat berita yang bertentangan denga perubahan tersebut.

2.1.2. Teori Mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku 2.1.2.1. Teori Lawrence Green

(54)

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. b. Faktor-faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku seseorang.

2.1.2.2. Teori Snehandu B. Kar

Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari (Notoatamodjo,2003) :

a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behavior intention).

b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support).

c. Ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessebility of information).

d. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil keputusan (personal autonomy).

e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation).

2.1.2.3.Teori WHO

(55)

a. Pengetahuan

Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.

b. Kepercayaan

Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek dan nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.

c. Sikap

Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat.

d. Orang penting sebagai referensi

Perilaku orang, terutama anak kecil, lebih banyak dipengaruhi oleh orang – orang yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh.

e. Sumber – sumber daya (resources)

Maksudnya adalah fasilitas – fasilitas uang waktu tenaga dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat, yang dapat bersifat positif ataupun negatif.

(56)

2.2. HIV- AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyebabkan

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). HIV menimpa kehidupan anak-anak dan keluarga di seluruh dunia. Penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) mulai pada pertengahan hingga akhir 1970-an, tetapi dianggap ada di Afrika selama bertahun-tahun sebelumnya. Kasus pertama diketahui di Afrika Tengah tetapi kematian disalahkan pada tuberkulosis dan penyakit lain. Penelitian epidemiologi penyakit HIV dimulai pada 1981 setelah perjangkitan pertama suatu bentuk kanker yang jarang yaitu sarkoma kaposi, dan pneumonia pneumocystis carinii di beberapa kota di Ameriaka Serikat. Pada 1982, Centres for Disease Control and Prevention (CDC), di Atllanta, Amerika Serikat, mendefenisikan sindrom kanker dan penyakit menular sebagai Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS): sebagaimana pengertian tentang gejala lanjutan infeksi HIV muncul dan terjadi perubahan pada diagnosis, defenisi AIDS beberapa kali diubah.

(57)

Virus HIV terdapat di dalam darah, mani, cairan vagina, air mata, air ludah, cairan otak, air susu, dan air seni penderita HIV, namun penyakit AIDS ditularkan hanya melalui virus HIV yang terdapat dalam darah, air mani, dan cairan vagina.

HIV ditularkan melalui :

1. Hubungan seksual (vagina, anal, oral) yang tidak aman dengan orang yang telah terinfeksi HIV/AIDS

2. Perempuan terinfeksi HIV positif kepada bayinya selama kehamilan, saa persalinan atau setelah melahirkan dan saat pemberian ASI .

3. Darah dari jarum suntik yang tercemar HIV, jenis jarum atau peralatan tajam yang tercemar HIV dan tranfusi darah yang tercemar HIV .

Walaupun secara umum semua orang dapat tertular AIDS namun beberapa kelompok mempunyai resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan perilaku seksualnya. AIDS adalah penyakit yang berbahaya yang telah membunuh banyak orang . Sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit AIDS. Namun obat yang selama ini dikonsumsi oleh penderita HIV adalah antiretroviral (ARV) dimana obat ini hanya dapat memperbaiki sistem kekebalan dan memperlambat perkembangan virus HIV menjadi AIDS. Sedangkan untuk penyembuhan total dari AIDS itu sendiri belum ada obatnya.

(58)

mengetahui perihal penyakit yang diidapnya, atau ia selalu menutup rapat permasalahan perilaku yang dapat menularkan penyakit HIV AIDS karena penyakit ini dianggap aib atau perilaku tidak bermoral di kalangan masyarakat sehingga mereka malu untuk megakui penyakit ini .

2.3. Upaya Penanggulangan HIV- AIDS

Di Indonesia sudah ada beberapa upaya penganggulangan dalam pencegahan HIV/AIDS. Salah satunya dibuat suatu kebijakan yaitu Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN, 2010-2014). Kebijakan ini dikembangkan berdasarkan kajian empirik oleh tim yang terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat sipil maupun mitra internasional. Strategi ini ditujukan untuk mencegah dan mengurangi risiko penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA, serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat, agar individu dan masyarakat menjadi produktif dan bermanfaat untuk pembangunan. Skenario strategi dan rencana aksi ini pada tahun 2014 adalah bahwa 80% populasi kunci terjangkau oleh program yang efektif dan 60% populasi kunci berperilaku aman. Strategi yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut:

• Meningkatkan dan memperluas cakupan seluruh pencegahan

• Meningkatkan dan memperluas cakupan perawatan, dukungan dan pengobatan • Mengurangi dampak negatif dari epidemi dengan meningkatkan akses program mitigasi sosial.

• Penguatan kemitraan, sistem kesehatan dan masyarakat.

(59)

• Mengembangkan intervensi struktural.

• Penerapan perencanaan, prioritas dan implementasi program berbasis data.

Beberapa program layanan penanggulangan HIV-AIDS berdasarkan kelompok resiko;

1. Penasun: LJASS (Layanan jarum dan Alat Suntik Steril ), layanan TRM ( Terapi Rumatan Metadon), layanan rujukan VCT (Voluntary Counseling and Testing) dan layanan terapi pemulihan adiksi.

2. Pekerja seks dan pelanggan, waria, kelompok LSL dan ODHA: promosi penggunaan kondom pada hubungan seksual tidak aman dan pengobatan IMS. 3. Pencegahan penularan dari Ibu dengan HIV ke anak: program layanan KIA

(Kesehatan Ibu dan Anak) yaitu VCT dan PMTCT. 2.4. PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission)

Program PMTC (Prevention of Mother to Child Transmission) merupakan program untuk menghentikan penularan HIV-AIDS dari ibu hamil ke bayi yang dikandung. Program ini dimulai dari pencegahan penularan HIV-AIDS untuk kelompok usia reproduktif tinggi hingga pemberian dukungan psikologis serta sosial pada ibu dan bayi pengidap HIV-AIDS.

(60)

PMTCT merupakan program yang diagendakan untuk mewujudkan target MDGS. Millennium Development Goals (MDGs) merupakan deklarasi yang diadopsi oleh 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di New York pada bulan September 2000 tersebut. Salah satu targetnya adalah menekan dan menghambat laju pertumbuhan penyakit HIV-AIDS.

2.4.1. Penularan HIV dari Ibu ke Anak

Ada tiga faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak yaitu :

1. Faktor ibu

(61)

Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml), sementara jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi tinggi. Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD4 < 350 sel/mm3. Semakin rendah jumlah sel CD4, pada umumnya risiko penularan HIV akan semakin besar. Sebuah studi menunjukkan bahwa ibu dengan CD4 < 350 sel/mm3 memiliki risiko untuk menularkan HIV ke anaknya jauh lebih besar.

(62)

2. Faktor Bayi dan Anak

Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah diduga lebih rentan untuk tertular HIV dikarenakan sistem organ tubuh bayi belum berkembang dengan baik, seperti sistem kulit dan mukosanya. Sebuah studi di Tanzania menunjukkan bahwa bayi yang dilahirkan sebelum umur kehamilan 34 minggu memiliki risiko tertular HIV yang lebih tinggi pada saat persalinan dan masa awal kelahiran. Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV negatif selama masa kehamilan dan proses persalinan, tetapi masih dimungkinkan akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI.

(63)

dalam darah. Antara 10%–15% bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat risiko penularan HIV melalui pemberian ASI, yaitu:

 Umur Bayi

Risiko penularan melalui ASI akan lebih besar pada bayi yang baru lahir. Antara 50–70% dari semua penularan HIV melalui ASI terjadi pada usia enam bulan pertama bayi. Semakin lama pemberian ASI, akan semakin besar kumulatif risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Pada usia 6 bulan pertama pemberian ASI diperkirakan risiko penularan sebesar 0,7% per bulan. Antara 6–12 bulan, risiko bertambah sebesar 0,5% per bulan dan antara 13–24 bulan, risiko bertambah lagi sebesar 0,3% per bulan. Dengan demikian, memperpendek masa pemberian ASI dapat mengurangi risiko bayi terinfeksi HIV.

 Luka di Mulut Bayi dan Anak

Pada bayi atau anak yang memiliki luka di mulutnya, risiko untuk tertular HIV lebih besar ketika diberikan ASI.

3. Faktor Tindakan Obstetrik

(64)

lemah dan lebih mudah terinfeksi jika kontak dengan HIV. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah ataupun lendir ibu.

Faktor – faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi selama persalinan adalah sebagai berikut :

1. Jenis persalinan (resiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar daripada per abdominal/SC)

2. Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak juga semakin meningkat karena akan semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.

3. Faktor lain yang kemungkinan meningkatkan risiko penularan selama proses persalinan adalah penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forseps dan tindakan episiotomi.

2.4.2. W

Gambar

Gambar 1.1. Diagram Bar  Jumlah Kasus HIV-AIDS Menurut Tahun di Indonesia, 2005-September 2012
Gambar 1.2. Diagram Bar Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut Kelompok Umur di Indonesia Tahun 1987- September 2012
Gambar 1.1. Diagram Bar  Jumlah Kasus HIV-AIDS Menurut Tahun di Indonesia, 2005-September 2012
Gambar 1.2. Diagram Bar Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut Kelompok Umur di Indonesia Tahun 1987- September 2012

Referensi

Dokumen terkait