PENGARUH KOMPONEN KOMUNIKASI DALAM PELAKSANAAN PREVENTION MOTHER TO CHILD TRANSMISSION (PMTCT) OLEH
BIDAN TERHADAP KUNJUNGAN KLIEN PADA PELAYANAN VOLUNTARY COUNCELLING AND TEST (VCT) HIV-AIDS
DI KOTA MEDAN
TESIS
OLEH
ARIFAH
087033016/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PENGARUH KOMPONEN KOMUNIKASI DALAM PELAKSANAAN PREVENTION MOTHER TO CHILD TRANSMISSION (PMTCT) OLEH
BIDAN TERHADAP KUNJUNGAN KLIEN PADA PELAYANAN VOLUNTARY COUNCELLING AND TEST (VCT) HIV-AIDS
DI KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ARIFAH
087033016/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH KOMPONEN KOMUNIKASI DALAM PELAKSANAAN PREVENTION
MOTHER TO CHILD TRANSMISSION (PMTCT) OLEH BIDAN TERHADAP
KUNJUNGAN KLIEN PADA
PELAYANAN VOLUNTARY COUNCELLING AND TEST (VCT) HIV-AIDS DI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Arifah
Nomor Induk Mahasiswa : 087033016
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Perilaku
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof.dr. Guslihan Dasatjipta. SpA(K))
Ketua
(dr. Jamaludin, M.A.R.S)
Anggota
Ketua Program Studi
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Dekan
Telah diuji pada
Tanggal : 31 Agustus 2010
Panitia Penguji Tesis
Ketua : Prof.dr. Guslihan Dasatjipta. SpA (K) Anggota : 1. dr. Jamaludin, M.A.R.S
SURAT PERNYATAAN
PENGARUH KOMPONEN KOMUNIKASI DALAM PELAKSANAAN PREVENTION MOTHER TO CHILD TRANSMISSION (PMTCT) OLEH
BIDAN TERHADAP KUNJUNGAN KLIEN PADA PELAYANAN VOLUNTARY COUNCELLING AND TEST (VCT) HIV-AIDS
DI KOTA MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, September 2010
ABSTRAK
AIDS telah menyerang di segala segmen masyarakat termasuk pada kelompok ibu rumah tangga, wanita hamil, dan bayi yang tertular dari ibunya. Sebagai tenaga kesehatan, bidan diharapkan berperan serta dalam penanggulangan HIV/AIDS melalui program Prevention Mother To Children Transmission (PMTCT). Pada studi pendahuluan di beberapa puskesmas di Kota Medan Tahun 2010 diketahui bahwa masih lemahnya proses komunikasi antara bidan dengan kelompok ibu rumah tangga dan wanita hamil.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh komponen komunikasi dalam pelaksanaan PMTCT oleh bidan terhadap kunjungan klien pada pelayanan
voluntary councelling and test (VCT) di Kota Medan. Penelitian ini bersifat
explanatory study dengan populasi 33 orang bidan dan sekaligus menjadi sampel penelitian. Data dikumpulkan melalui kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan Uji Regresi Linier Berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh komponen komunikasi terhadap kunjungan klien pada pelayanan voluntary councelling and test (VCT).
Diharapkan kepada petugas kesehatan lebih meningkatkan program PMTCT sehingga kelompok ibu rumah tangga dan ibu hamil mau mengunjungi klinik VCT serta meningkatkan penyuluhan dengan menggunakan media yang menarik sehingga masyarakat mengerti dan mengetahui dengan baik.
ABSTRACT
AIDS has been assaulted in all segments of comunity including the group of housewives, pregnant women, and infants who were transmitted the disease from her mother. As health officer, midwives were expected to participate in HIV / AIDS through Prevention Mother To Children Transmission (PMTCT). On preliminary study at health centers in Medan 2010 it was known that the communication process between the midwives with the group of housewives and pregnant women remained low.
This research aimed to analyze the influence of the components communication on the implementation of PMTCT by midwives to client visits in voluntary services councelling and test (VCT) in Medan. This research was an explanatory study. The populations were 33 midwives and all of them became samples. Data were obtained from questionnaires and analyzed by using multiple linear regression test.
The result showed the influence of the overall communication component for client visits to communicant influence on voluntary service councelling and test (VCT).
Health officer were expected to further improve PMTCT programs so that groups of housewives and pregnant women would visit the clinic for VCT and to increase education by using interesting media in order to make people more understand.
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas
Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul
“ Pengaruh Komponen Komunikasi dalam Pelaksanaan Prevention Mother To Child
Transmission (PMTCT) oleh Bidan terhadap Kunjungan Klien pada Pelayanan
Voluntary Councelling and Test (VCT) di Kota Medan”.
Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk
menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan ini, penulis
banyak mendapatkan bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak pada
kesempatan ini penulis mengucapakan banyak terima kasih tak terhingga kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara dan Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M, Selaku Sekretaris Minat Studi Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
4. Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A(K) dan dr.Jamaludin M.A.R.S, selaku
komisi pembimbing yang telah banyak membimbing penulis dengan penuh
kesabararan dari awal sampai selesainya penyusunan tesis ini.
5. Andi Ilham S.K.M. M.Epid dan Asfriyati S.K.M. M.Kes, selaku dosen
pembanding yang telah banyak memberikan masukan demi kesempurnaan
penulisan tesis ini.
6. Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan beserta pegawai yang telah memberikan
izin untuk melakukan penelitian.
7. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat selama
pendidikan S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
8. Seluruh bidan yang telah mengikuti pelatihan PMTCT yang telah memberikan
informasi bagi penulis selama melakukan penelitian.
9. Ayahanda dan Ibunda tercinta serta kakak dan adikku tersayang untuk segala
dukungan moril dan materil serta pengertiannya.
10. Suami dan anak – anak tercinta atas segala dukungan, kesabaran dan
pengertiannya, serta sumber inspirasi dan motivasi.
11. Sahabatku Roslina Yulianti, S.ST dan Burhanuddin Harahap S.K.M, dr.
Abdul Wahid untuk segala dukungan dan motivasi yang telah berkontribusi
dalam terselesainya tesis ini.
13. Rekan – rekan satu angkatan, khususnya minat Studi PKIP, atas dukungan dan
kebersamaan yang diberikan.
14. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah
berkontribusi dalam terselesaikannya tesis ini.
Hanya Allah SWT yang senantiasa dapat memberikan balasan atas kebaikan
yang telah diperbuat. Selanjutnya demi kesempurnaan tesis ini, peneliti sangat
mengharapkan masukan, saran dan kritik yang bersifat membangun.
Medan, September 2010
RIWAYAT HIDUP
Arifah, lahir di Padang pada tanggal 7 Juli 1970, Anak ketiga dari Ayahanda
Drs. Mohd Umar dan Ibunda Basriamah yang saat ini bertempat tinggal di Jalan Garu
III, No.52 Medan.
Pendidikan formal penulis dimulai tahun 1978 di Sekolah Dasar di SD Sahara
Padang tamat Tahun 1984, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Padang
tamat tahun 1987, Sekolah Perawat Kesehatan di SPK Aisiyah Muhammadiyah
Padang tamat tahun 1990, Program Pendidikan Bidan (DI Kebidanan) DepKes RI
Padang tamat tahun 1991, D-III Keperawatan Poltekes Medan tamat tahun 2005 dan
S1 Keperawatan di Universitas Prima Husada tamat tahun 2007, dan Penulis
mengikuti Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi
Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2008.
Penulis menikah Tahun 1994 dan mempunyai 4 orang anak. Penulis bekerja
sebagai Pegawai Negeri Sipil dari. Tahun 1991 sampai 1997 sebagai Bidan Desa di
Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Tarab II Kabupaten Tanah Datar di Sumatera
Barat (Padang). Tahun 1997 sampai tahun 1999 bekerja di Puskesmas Sungai Tarab
II Kabupaten Tanah Datar di Sumatera Barat (Padang). Pada Tahun 2000 sampai saat
DAFTAR ISI
2.1.5. Paradigma Harold Laswe11... ... 17
2.1.6. Model Komunikasi ... 18
2.2.Acquirred Immuno Deficiency Syndrome(AIDS)... 18
2.3.Jumlah Kasus HIV-AIDS 2006 secara global ... ... 20
2.3.1. Kasus Global Burden 2009 ... 21
2.3.2. Angka Kasus HIV-AIDS di Sumatera Utara 2004 - 2009... 22
2.3.3. Usaha Penanggulangan HIV-AIDS di Sumatera Utara 2008 - 2009 ... ... 23
2.3.4. Kebijakan Program Pencegahan Penularan HIV... 25
dari Ibu ke Bayi ... 25
2.3.5. Integrasi Program ... 25
2.3.6. Konseling dan Tes HIV Sukarela ... 26
2.3.7. Penularan HIV dari Ibu ke Bayi ... 28
2.4.Pengertian Bidan ... 31
2.6.Landasan Teori ... ... ... 34
4.3.1.Distribusi Responden Menurut Komunikator dalam pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And Test (VCT) HIV-AIDS di Kota Medan ... 49
4.3.2.Distribusi Responden Menurut Pesan Dalam Pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And Test (VCT) HIV-AIDS di Kota Medan ... 50
4.3.3.Distribusi Responden Menurut Media Dalam Pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And Test (VCT) HIV-AIDS di Kota Medan ... 51
4.3.4.Distribusi Responden Menurut Komunikan dalam pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And Test (VCT) HIV-AIDS di Kota Medan ... 52
4.3.5.Distribusi Responden Menurut Kunjungan Klien Dalam Pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And Test (VCT) HIV-AIDS di Kota Medan ... 52
4.4. Hasil Analisis Bivariat... 53 4.4.1. Hubungan Komunikator dalam pelaksanaan Prevention Mother
Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And
Test (VCT) HIV-AIDS di Kota Medan... 53
4.4.2.Hubungan Pesan Dalam Pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And Test (VCT)
HIV-AIDS di Kota Medan ... 54
4.4.3.Hubungan Media Dalam Pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Concelling And Test (VCT)
HIV-AIDS di Kota Medan ... 58 4.4.4.Hubungan Komunikan Dalam Pelaksanaan Prevention Mother
To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And Test (VCT)
HIV-AIDS di Kota Medan ... 59 4.5. Hasil Analisi Multivariat ... 60
4.5.1. Pengaruh Komponen Komunikasi dalam pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan
Voluntary Councelling And Test (VCT) HIV-AIDS di Kota
Medan ... 60 4.5.2. Pengaruh Komponen Komunikator, Pesan, dan Komunikan
dalam pelaksanaan Prevention Mother To Child
Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And Test (VCT)
HIV-AIDS di Kota Medan ... 61
BAB 5 PEMBAHASAN ... 63
5.1. Pengaruh Komponen Komunikasi dalam pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And
Test (VCT) HIV-AIDS di Kota Medan ... 63 5.2. Pengaruh Komponen Komuniktor Dalam Pelaksanaan Prevention
Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And
Test (VCT) HIV-AIDS di Kota Medan ... 65 5.3. Pengaruh Komponen Pesan Dalam Pelaksanaan Prevention Mother
To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And
Test (VCT) HIV-AIDS di Kota Medan ... 66 5.4. Pengaruh Komponen Media Dalam Pelaksanaan Prevention Mother
Klien Pada Pelayanan Voluntary Councelling And Test (VCT)
HIV-AIDS di Kota Medan... 67
5.5.Pengaruh Komponen Komunikan Dalam Pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Consultation And Test (VCT) HIV-AIDS di Kota Medan ... 67
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68
6.1. Kesimpulan... 68
6.2. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA... 67
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1.1. Jumlah kumulatif kasus AIDS menurut tingkat resiko (2009) ... 3
1.2. Proporsi kumulatif kasus AIDS per golongan umur (2009) ... 3
2.1. Global Burden during 2006 ... 21
3.1. UjiValiditas... ... 40
3.2. Uji Reliabilitas... ... 41
3.3. Matrik Variabel-Variabel Dalam Definisi Operasional... ... 45
4.1. Distribusi Karakteristik Responden Komponen Komunikasi dalam Pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Consultation And Test (VCT) Di Kota Medan... 51
4.2. Distribusi Responden Menurut Komunikator dalam pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Consultation Ana Test (VCT) Di Kota Medan ... 52
4.3. Distribusi Responden Menurut Pesan dalam Pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Consultation And Test (VCT) Di Kota Medan... 53
4.4. Distribusi Responden Menurut Media dalam pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Consultation And Test (VCT) Di Kota Medan... 54 4.5. Distribusi Responden Menurut Komunikan dalam pelaksanaan
Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Consultation And Test (VCT) Di Kota Medan... 55
4.6. Distribusi Responden Menurut Kunjungan Klien dalam pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Consultation And Test
(VCT) DI Kota Medan ... 56
4.7. Hubungan Komunikator Dalam Pelaksanaan Prevention To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Consultation And Test (VCT)
Di Kota Medan ... 57
4.8. Hubungan Pesan dalam pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Consultation And Test (VCT)
Di Kota Medan ... 58
4.9. Hubungan Media Dalam Pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Consultation And Test (VCT)
Di Kota Medan ... 59
4.10. Hubungan Komunikan dalam pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap
Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Consultation And
Test (VCT) Di Kota Medan ... 60
4.11. Hasil uji Regresi Linear Berganda Pengaruh Komponen
Komunikasi Dalam Pelaksanaan Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) Oleh Bidan Tehadap Kunjungan Klien Pada Pelayanan Voluntary Consultation And Test (VCT)
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
2.1. Schema Model Komunikasi Harold Lasswell ... 12
2.2. Paradigma Harold Lasswell... 17
2.3. Model Komunikasi Schramm ... 18
2.4. Statistik kasus HIV AIDS di Sumatera Utara... 22
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Lembar Permohonan Menjadi Responden ... 60
2. Lembar Persetujuan Responden ... 61
3. Kuesioner Penelitian... 62
4. Surat Izin Survey Dari Fakultas Kesehtan Masyarakat ... 65
5. Surat Izin Survey Dari Dinas Kesehatan Kota Medan ... 66
6. Surat Izin Penelitian Dari Fakultas Kesehtan Masyarakat ... 67
7. Surat Izin Penelitian Dari Dinas Kesehatan Kota Medan... ... 68
8. Lampiran Uji Validitas dan Reliabilitas ... 69
9. Lampiran Hasil Analisa Data ... ... 70
ABSTRAK
AIDS telah menyerang di segala segmen masyarakat termasuk pada kelompok ibu rumah tangga, wanita hamil, dan bayi yang tertular dari ibunya. Sebagai tenaga kesehatan, bidan diharapkan berperan serta dalam penanggulangan HIV/AIDS melalui program Prevention Mother To Children Transmission (PMTCT). Pada studi pendahuluan di beberapa puskesmas di Kota Medan Tahun 2010 diketahui bahwa masih lemahnya proses komunikasi antara bidan dengan kelompok ibu rumah tangga dan wanita hamil.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh komponen komunikasi dalam pelaksanaan PMTCT oleh bidan terhadap kunjungan klien pada pelayanan
voluntary councelling and test (VCT) di Kota Medan. Penelitian ini bersifat
explanatory study dengan populasi 33 orang bidan dan sekaligus menjadi sampel penelitian. Data dikumpulkan melalui kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan Uji Regresi Linier Berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh komponen komunikasi terhadap kunjungan klien pada pelayanan voluntary councelling and test (VCT).
Diharapkan kepada petugas kesehatan lebih meningkatkan program PMTCT sehingga kelompok ibu rumah tangga dan ibu hamil mau mengunjungi klinik VCT serta meningkatkan penyuluhan dengan menggunakan media yang menarik sehingga masyarakat mengerti dan mengetahui dengan baik.
ABSTRACT
AIDS has been assaulted in all segments of comunity including the group of housewives, pregnant women, and infants who were transmitted the disease from her mother. As health officer, midwives were expected to participate in HIV / AIDS through Prevention Mother To Children Transmission (PMTCT). On preliminary study at health centers in Medan 2010 it was known that the communication process between the midwives with the group of housewives and pregnant women remained low.
This research aimed to analyze the influence of the components communication on the implementation of PMTCT by midwives to client visits in voluntary services councelling and test (VCT) in Medan. This research was an explanatory study. The populations were 33 midwives and all of them became samples. Data were obtained from questionnaires and analyzed by using multiple linear regression test.
The result showed the influence of the overall communication component for client visits to communicant influence on voluntary service councelling and test (VCT).
Health officer were expected to further improve PMTCT programs so that groups of housewives and pregnant women would visit the clinic for VCT and to increase education by using interesting media in order to make people more understand.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Penyakit Acquired Immunity Deficiency Syndrome (AIDS) yang diakibatkan
oleh Human Immuno Deficiensy Virus (HIV), dianggap oleh seluruh lapisan
masyarakat dunia sebagai suatu malapetaka global. Semua kelompok, baik sebagai
pengidap penyakit, pihak masyarakat yang perduli kesehatan, pihak pemerintah, serta
organisasi sosial masyarakat perduli AIDS, menyadari penting adanya usaha terpadu
untuk melakukan tindakan promosi dan prevensi terhadap penyebaran penyakit HIV
AIDS (DepKes RI, 2007).
Kondisi pertumbuhan / perkembangan penyakit HIV/AIDS di Indonesia
dinilai sudah meningkat kritis. Dalam triwulan Januari hingga Maret 2009 di seluruh
Indonesia dilaporkan ada penambahan penderita AIDS (sudah menampakkan gejala
secara fisik) sebesar 854 kasus. Pengidap infeksi HIV (kasus ditemukan terinfeksi
tapi belum menampakkan gejala) ditemukan mencapai 114 sehingga sampai saat ini
total penambahan di triwulan pertama 2009, mencapai 968 kasus. Secara kumulatif
kasus pengidap HIV dan AIDS (1 Januari 1987 - 31 Maret 2009) terdiri dari HIV
sebanyak 6.668 kasus, sementara AIDS sebanyak 16.964 kasus. Jumlah keseluruhan
mencapai 23.632 kasus, dengan angka kematian 3.992 jiwa.
Dari fakta pertumbuhan jumlah kasus sedemikian signifikan, Pemerintah
dengan melakukan promosi supaya pihak masyarakat turut berpartisipasi, bahu
membahu menjaga diri dari kemungkinan infeksi HIV. Tujuan himbauan ini agar
kasus HIV dan AIDS tidak bertambah. Meningkatnya HIV dan AIDS diperkirakan
lebih banyak karena hetero seksual (gonta – ganti pasangan), homoseksual,
pemakaian jarum suntik atau IDU, dan penularan dari ibu hamil pengidap HIV dan
AIDS terhadap bayi yang dilahirkan. Statistik jumlah kumulatif kasus AIDS menurut
jenis kelamin: (1) laki – laki sebanyak 12.640 kasus dan (2) wanita sebanyak 4.239
kasus (Medan, Analisa, 23 Juli 2009).
Hal yang paling mengkhawatirkan adalah tingkat penularan HIV / AIDS pada
kelompok usia umur reproduktif tinggi, yaitu mencapai tingkat penularan HIV /
AIDS pada kelompok 90 %. Kondisi ini otomatis akan memperbesar kemungkinan
terjadinya penularan HIV AIDS dari ibu hamil kepada bayi yang dikandung. Menurut
temuan sampai saat ini sebanyak 16 anak berusia 0 – 9 tahun diketahui telah
terjangkit HIV/AIDS. Namun, jumlah 16 tersebut diperkirakan terlalu kecil
dibandingkan dengan fakta yang sesungguhnya (RSUPHAM; 2005 – 2008).
Hingga April 2009, KPA Sumut mencatat temuan sebanyak 23 orang ibu
rumah tangga dan 17 orang bayi terjangkit HIV/AIDS. Kota Medan sendiri
dilaporkan sebagai daerah yang terbanyak ditulari HIV / AIDS di Sumatera Utara.
Jumlah pengidap di daerah ini adalah : HIV / AIDS sebanyak 1181 kasus.
Berdasarkan laporan 11 klinik VCT di Medan tahun 2009, kunjungan ke klinik VCT
AIDS 77 orang. Jumlah kelompok menurut kelompok gender, laki-laki sebanyak 515
orang dan perempuan sebanyak 146 orang.
Tabel 1.1. Jumlah kumulatif kasus AIDS menurut tingkat resiko (2009)
Resiko Jumlah
Hetero seksual 412
Homoseksual 10
Jarum suntik atau IUD 216
Transmisi perinatal atau ibu hamil menular pada bayi 14
Transfusi darah 1
Tidak diketahui penyebab 8
Sumber Dinkes Medan 2010
Tabel 1.2. Proporsi kumulatif kasus AIDS per golongan umur (2009) :
Umur Jumlah
Sumber Dinkes Medan 2010
Berdasarkan data di atas pihak pelayanan kesehatan perlu melakukan
peningkatan pelayanan program Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT)
untuk menghentikan penularan HIV / AIDS dari ibu hamil ke bayi yang dikandung.
Program PMTCT dimulai dari : (1) pencegahan penularan HIV / AIDS untuk
kelompok usia reproduktif tinggi hingga (2) pemberian dukungan psikologis serta
sosial pada ibu dan bayi pengidap HIV/AIDS.
Bidan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan ibu hamil, kelahiran dan
pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, memiliki peran cukup strategis dalam upaya
pengunjung Puskesmas terutama pada pelayanan KIA. Para bidan di latih agar
memiliki pengetahuan tentang pencegahan transmisi HIV/AIDS dari ibu ke bayi.
Proses penularan HIV AIDS dapat berlangsung melalui proses kehamilan,
persalinan, maupun proses pemberian air susu ibu pada bayi. Kondisi beresiko ini
menuntut komitmen lintas kelembagaan, pemerintah maupun swasta untuk
menciptakan berbagai program dan aktifitas, secara optimal untuk mencegah
penularan HIV / AIDS dari ibu ke anak (Jamaludin ,2009).
Pemanfaatan Bidan dalam hal penanggulangan HIV / AIDS di khususkan
untuk program Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) atau
penularan dari ibu ke bayi. Para bidan diharapkan cermat melakukan anamnese para
ibu hamil (bumil) tentang ada tidaknya faktor risiko terinfeksi HIV. Selain itu ibu
hamil diharapkan secara suka rela memeriksakan diri ke klinik VCT (Voluntary
Counceling and Testing). Tujuan kegiatan VCT adalah untuk mendeteksi apakah
seseorang (ibu dan suami) terkena HIV atau tidak, Dalam pelayanan sehari-hari
diprediksi akan ada 20 persen ibu hamil yang diperiksa di Puskesmas / RS, dirujuk ke
klinik VCT. Bila di VCT ditemukan ibu hamil, dan wanita usia produktif positif HIV
dirujuk ke program PMTCT. Secara khusus, program PMTCT memiliki 4 sasaran
yakni: (1) mencegah agar para wanita usia reproduktif tinggi tidak terinfeksi HIV. (2)
Kalau ada pasien dengan HIV positif, diharapkan pasien tidak hamil. (3) Jika
terlanjur ibu dengan HIV terlanjur hamil, maka ada program PMTCT untuk
hamil, (2) proses melahirkan melalui operasi caesar, (3) pemberian ASI eksklusif tiga
bulan atau diberikan pengganti ASI. Kalau tidak ada tindakan intervensi, maka 15-30
persen bayi akan terinfeksi. (Pedoman Nasional Pencegahan HIV/AIDS, 2007).
Aspek-aspek komunikasi yang dapat diperankan oleh para bidan dalam
tugas-tugas profesi adalah peran potensil menjadi penyebar informasi, pemberi nasihat /
petunjuk pada ibu hamil bagaimana cara mencegah terjadinya transmisi virus HIV
selama masa pra kehamilan, hamil dan setelah melahirkan. Semuanya ditujukan
terutama pada ibu yang ternyata dijumpai potensil mengidap penyakit akibat virus
HIV. Perlu ditekankan bahwa proses komunikasi penanggulangan HIV AIDS selalu
berlangsung dengan tahapan: (1) perubahan nilai pengetahuan / informasi (cognitive)
pada penerima; (2) perubahan sikap (attitude) yang positif pasien dan (3) perubahan
perilaku (behaviour) menjadi lebih baik (sehat) menghindari resiko HIV AIDS.
Secara sederhana komunikasi dapat dirumuskan sebagai proses pengoperan isi
pesan berupa lambang-lambang dari komunikator kepada komunikan. Pengertian
komunikasi menurut Dale Yoder, dkk (Surakhmat, 2006:17) dikutip dari
www.wordpress.com/fag/interpersonal-communication/ - diakses 05 Mei 2008 : 22.55
WIB Communication is the interchange of information, ideas, attitudes, thoughts, and/or opinions. Komunikasi adalah pertukaran informasi, ide, sikap, pikiran dan/atau pendapat.
Komunikasi dapat berlangsung melalui peran multi aspek yang ada di sekitar
inividu. Aspek komunikasi yang diangkat lebih difokuskan pada aspek-aspek (1)
Siapa pemberi pesan (2) materi pencegahan HIV/AIDS (3) dengan media apa, (4)
mengunjungi klinik VCT. Indikator yang dipakai apakah ada perubahan perilaku pada
individu penerima pesan, lalu mereka melakukan pemeriksaan secara sukarela ke
klinik VCT (Jamaludin, 2009).
Kelompok bidan dianggap penting dibuat terpisah dari kelompok pelayanan
lain adalah karena kesempatan para bidan untuk mengadakan komunikasi khusus
dengan para ibu yang potensil tertular adalah lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok lain-nya. Dapat diterima bahwa di masyarakat peran bidan sebagai tempat
mempertanyakan masalah kehamilan adalah hal yang lazim. Dapat dimengerti bahwa
pihak bidan selain memiliki keterampilan profesi, memerlukan keterampilan
melaksanakan komunikasi dengan pihak pasien yang mereka layani supaya program
promosi VCT dalam rangkaian PTMCT dapat terlaksana. (Jamaludin, 2009).
1.2. Permasalahan
Menurut Harold D. Lasswel, cara terbaik untuk menjelaskan komunikasi
adalah menjawab pertanyaan ” Who says what in which channel to whom with what
effect”. Dari definisi Harrold D. Lasswel dapat dibuat suatu rangkaian komponen
komunikasi dengan ulasan sebagai berikut: (Ruslan; 2003)
Who siapa ? Komunikator
Says what berkata apa ? Pesan
In which channel dengan media apa ? Media
Dari uraian tersebut diatas dapat di buat suatu rumusan permasalahan,
bagaimana pengaruh aspek-aspek (komponen) komunikasi (komunikator, pesan,
komunikan, media) yang dilakukan oleh bidan terutama dalam pelaksanaan PMTCT
(Prevention Mother to Child Transmission) terhadap effek yaitu kunjungan
komunikan (pasien) yang kemudian secara sukarela memeriksakan diri ke pos-pos
pelayanan Voluntary Consultation and Test (VCT) yang telah dipersiapkan di beberapa RS di Medan dan sekitarnya tahun 2010.
1.3. Tujuan penelitian
Untuk menganalisis pengaruh proses komponen komunikasi (komunikator,
pesan, komunikan, media) yang berlangsung secara bersamaan dengan kegiatan
Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT), terhadap kunjungan pasien yang
memeriksakan diri ke pelayanan Voluntary Counselling and Test (VCT) di Medan
tahun 2010.
1.4. Hipotesis
Terdapat pengaruh komponen komunikasi (komunikator, pesan, komunikan,
media) yang dilakukan oleh bidan dalam pelaksanaan Prevention Mother to Child
Transmission (PMTCT) terhadap kunjungan pasien yang memeriksakan diri ke
1.5. Manfaat penelitian
1. Memberi informasi pada masyarakat dan pemerhati kesehatan masyarakat lain
pada umumnya bagaimana pemerintah serta masayarakat telah melakukan
penanggulangan terhadap penyebaran penyakit HIV-AIDS.
2. Memberi informasi penting pada pihak pemerintah tentang deskripsi tentang
usaha prevensi (pencegahan) apa yang sudah dilakukan khusus untuk tujuan
pencegahan penyebaran HIV-AIDS melalui jalur pembinaan keluarga
berencana serta Kesehatan Ibu dan Anak di kelompok BKIA.
3. Memberi informasi tentang kekuatan komunikasi oleh pihak bidan, berpengaruh
pada perubahan perilaku komunikan (pasien) di lingkungan pelayanan PMTCT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Komunikasi 2.1.1. Komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata
Latin yang berarti “sama”, communico, communication, atau communicare yang
berarti membuat sama” (to make common). Istilah pertama communis adalah istilah
yang paling sering disebut sebagai asal- usul kata komunikasi, yang merupakan akar
dari kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran,
suatu makna, atau suatu pesan yang dianut secara sama. Akan tetapi berbagai defenisi
menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada cara berbagai hal tersebut, seperti
dalam kalimat “kita berbagi fikiran”, “kita mendiskusikan makna”, dan “kita
mengirimkan pesan”. (Mulyana, Dedy, 2005).
Komunikasi menurut kamus Webster berarti suatu proses dengan apa
informasi dipertukarkan diantara individu – individu melalui suatu sistem yang umum
dalam simbol-simbol, tanda-tanda atau perilaku.
Komunikasi adalah suatu proses pengiriman pesan dari komunikator kepada
komunikan secara sepihak atau timbal balik dengan tujuan memberi pengaruh,
minimal informasi pada pihak penerima pesan. Pengaruh informasi dapat memberi
manfaat perubahan sikap (attitude) dan seterusnya perubahan tindakan /perilaku
Komunikasi menurut Dale Yoder, dkk adalah pertukaran informasi, ide, sikap,
pikiran dan/atau pendapat.
2.1.2. Tujuan Komunikasi
Tujuan komunikasi umum menurut Watson dan Hill : (1) sebagai instrumen
penyampaian pesan antar pihak; (2) mengendalikan pihak-pihak supaya selaras; (3)
memperjelas pengertian suatu informasi; (4) instrumen pembudayaan / pergaulan
antar pihak. Effendy (1986) mempertegas secara padat bahwa komunikasi bertujuan
untuk memberi suatu pesan yang dapat memberi perubahan atau penguatan informasi
tertentu pada pihak-pihak yang melaksanakannya. Kata perubahan informasi
(kognitif) pada penerima pesan selanjutnya diharapkan menjadi perubahan sikap
(attitude) yang selalu disebut affective. Seterusnya bila berkenan dihati penerima
pesan, perubahan sikap itu menjadi aksi yang selaras. Aksi yang dilakukan
berulang-ulang dikenal sebagai perubahan perilaku (behavior).
2.1.3. Proses Komunikasi
Model komunikasi dari Harold Laswell’s dianggap oleh para pakar
komunikasi sebagai salah satu teori komunikasi yang paling awal dalam
perkembangan teori komunikasi (1948). Laswell’s menyatakan bahwa “cara yang
terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan: Who
Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Efek Apa). (Effendy, Onong U, 2000:
253).
Jawaban bagi pertanyaan paradigmatik Laswell itu merupakan unsur-unsur
proses komunikasi, yaitu communicator (komunikator), message (pesan), media
(media), receiver (komunikan), dan effect (efek). (Effendy, Onong U., 2000:253).
Adapun fungsi komunikasi menurut Laswell adalah sebagai berikut :
1. Pengamatan lingkungan
2. Korelasi kelompok-kelompok dalam masyarakat ketika menanggapi lingkungan
3. Transmisi warisan sosial dari generasi yang satu ke generasi yang lain.
Surveillance yang dimaksud oleh Lasswell adalah kegiatan mengumpulkan
dan menyebarkan informasi mengenai peristiwa-peristiwa dalam suatu lingkungan;
dengan kata lain penggarapan berita. Kegiatan yang disebut correlation adalah
interpretasi terhadap informasi mengenai peristiwa yang terjadi di lingkungan; dalam
beberapa hal ini dapat didefenisikan sebagai tajuk rencana atau propaganda. Kegiatan
transmission of culture difokuskan kepada kegiatan mengkomunikasikan informasi,
nilai, dan norma sosial dari generasi yang satu ke generasi yang lain atau dari anggota
suatu kelompok kepada pendatang baru, ini sama dengan kegiatan pendidikan.
(Effendy, Onong U., 2000: 254).
Vardiansyah, Dani (2004 : 115), menyampaikan dalam bukunya Pengantar
Ilmu Komunikasi mengenai gambar model komuniksi yang disampaikan oleh
tidak persis sama, yaitu komunikator, pesan, saluran komunikasi, komunikan dan
efek komunikasi sebagai berikut:
Sumber : Dani, Vardiansyah, 2004: 115
Gambar 2.1: Model Lasswell
2.1.4. Komponen Komunikasi 2.1.4.1. Komunikator
Dafid K. Berlo mengatakan bahwa sumber atau komunikator merupakan
pemrakarsa atau orang yang pertama mengurai terjadinya proses komunikasi. Hal ini
disebabkan karena semua peristiwa komunikasi akan melibatkan dan tergantung dari
sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Sumber inilah penentu
keberhasilan proses komunikasi sehingga diperlukan kiat – kiat tertentu dalam
menyampaikan sebah informasi. Sumber dapat berasal dari individu, kelompok
maupun organisasi. Sumber pengirim pesan bisa dikatakan sebagai pusat stimulator.
Dani Vardiansyah menyampaikan dalam bukunya Pengantar Ilmu
Komunikasi bahwa Pengirim pesan atau komunikator yang dimaksud di sini adalah
manusia yang mengambil inisiatif dalam berkomunikasi. Pesan disampaikan
komunikator untuk mewujudkan motif komunikasi. Karena itu, komunikator kita
In which channel
defenisikan sebagai manusia berakal budi yang berinisiatif menyampaikan pesan
untuk mewujudkan motif komunikasinya.
Dilihat dari jumlahnya, komunikator dapat terdiri dari (a) satu orang (b)
banyak orang dalam pengertian lebih dari satu orang, serta (c) massa. Apabila lebih
dari satu orang yakni banyak orang di mana mereka relatif saling kenal sehingga
terdapat ikatan emosional yang kuat dalam kelompoknya, maka kumpulan banyak
orang ini kita sebut kelompok kecil. Apabila lebih dari seorang atau banyak orang
relatif tidak saling kenal secara pribadi dan karenanya ikatan emosionalnya kurang
kuat, maka kita sebagai kelompok besar atau publik. Namun apabila banyak orang
atau lebih dari satu orang ini memiliki tujuan yang sama dan untuk mencapai tujuan
tersebut terdapat pembagian kerja di antara para anggotanya, maka wadah kerjasama
yang terbentuk sebagai kesatuan banyak orang ini lazim kita sebut organisasi. Jadi,
selain komunikator dapat berupa banyak orang dalam kelompok kecil dan kelompok
besar, juga dapat berbentuk organisasi. Misalnya, dalam tataran komunikasi massa,
komunikatornya biasanya adalah organisasi penerbitan, yakni tim redaksi surat kabar.
2.1.4.2. Pesan
Dani Vardiansyah menyampaikan dalam bukunya Pengantar Ilmu
Komunikasi bahwa pesan pada dasarnya abstrak. Untuk membuatnya konkret agar
dapat dikirim dan diterma oleh komunikan, manusia dengan akal budinya
menciptakan sejumlah lambing komunikasi berupa suara, mimik, gerak-gerik, bahasa
yang ada dalam benak anda sampai anda mewujudkan dalam salah satu bentuk atau
kombinasi lambang-lambang komunikasi ini. Karena itu, lambang komunikasi
disebut juga bentuk pesan, yakni wujud konkret dari pesan, berfungsi mewujudkan
pesan yang abstrak menjadi konkret. Suara, mimik, dan gerak-gerik lazim
digolongkan dalam pesan nonverbal, sedangkan bahasa lisan dan bahasa tulisan
dikelompokkan dalam pesan verbal.
Awalnya manusia berkomunikasi hanya dengan mimik dan gerak-gerik serta
suara yang relatif tanpa makna, kecuali untuk mempertegas mimik dan gerak gerik.
Pesan disampaikan komunikator kepada komunikan untuk mewujudkan motif
komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan. Karena itu, pesan kita definisikan sebagai
segala sesuatu, verbal maupun non verbal, yang disampaikan komunikator kepada
komunikan untuk mewujudkan motif komunikasinya.
2.1.4.3. Media Komunikasi
Saluran komunikasi adalah jalan yang dilalui pesan komunikator untuk
sampai ke komunikannya. Terdapat dua jalan agar pesan ke komunikator untuk
sampai ke komunikannya, yaitu tanpa media (nonmediated communication yang
berlangsung face to face, tatap muka) atau dengan media. Media yang dimaksud di
sini adalah media komunikasi. Media merupakan bentuk jamak dari medium.
Medium komunikasi kita artikan sebagai alat perantara yang sengaja dipilih
dilakukan komunikator dengan sengaja. Artinya, hal ini mengacu kepada pemilihan
dan penggunaan teknologi media komunikasi.
Media komunikasi dilihat dari jumlah target komunikannya dapat dibedakan
atas media massa dan non media massa. Media massa dilihat dari waktu terbitnya
dapat dibedakan atas media massa periodik dan media massa non periodik. Periodik
berarti terbit teratur pada waktu-waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Media
massa periodik dapat dibedakan atas yang elektronik (radio, TV) dan non elektronik
atau cetak (surat kabar, majalah). Media massa non periodik dimaksudkan pada
media massa yang bersifat eventual, tergantung pada event tertentu. Setelah event
usai, selesai pulalah penggunaannya. Untuk itu, media massa nonperiodik dapat
dibedakan atas manusia (juru kampanye atau sales promotion girl) dan benda (poster,
spanduk, leaflet).
Kembali kepada nonmedia massa. Dilihat dari sifatnya, dapat dibedakan atas
nonmedia massa benda. Nonmedia massa benda dapat dibedakan atas yang elektronik
(telepon, fax) dan yang nonelektronik (surat). Perkembangan teknologi komunikasi
terkini, yakni teknologi komputer dengan internetnya, melahirkan media yang bersifat
multimedia. Dikatakan multimedia karena hampir seluruh bentuk media komunikasi
yang telah dikenal umat manusia menyatu dalam elektronik digitalnya. Di internet
kita dapat menemukan surat elektronik, i-phone (telepon internet), surat
kabar/majalah elektronik, radio internet, bahkan kegiatan tatap muka melalui internet
Kembali kepada komunikasi langsung tatap muka. Pada dasarnya, yang
dilakukan adalah aktivitas komunikasi. Aktivitas komunikasi tatap muka ini
bentuknya bermacam-macam, mulai dari perbincangan, wawancara, konseling, rapat,
seminar, lokakarya, hingga pameran dimana target komunikasi (calon konsumen)
dapat berbincang langsung tatap muka dengan wakil dari perusahaan guna
membicarakan produk yang dipamerkan.
2.1.4.4. Komunikan
Dani Vardiansyah menyampaikan dalam bukunya Pengantar Ilmu
Komunikasi bahwa Penerima pesan disebut komunikan. Komunikan didefinisikan
sebagai manusia berakal budi, kepada siapa pesan komunikator ditujukan. Dalam
proses komunikasi, utamanya dalam tataran antar pribadi, peran komunikator dan
komunikan bersifat dinamis, saling berganti. Komunikan disebut juga penerima.
Dalam konteks komunikasi massa, komunikan lazim disebut khalayak, tujuan
(destination), pemirsa, pendengar, pembaca, target sasaran.
Menurut Dafid K. Berlo (1960) yang dikutif oleh Cangara H (2004)
komunikan merupakan objek sasaran pesan yang dikirim oleh pengirim pesan. Untuk
mencapai keberhasilan dalam komunikasi sebaiknya harus mengenali penerima. Hal
– hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut ;
1. Karakteristik
4. Tingkat pemahaman
5. Waktu
6. Lingkungan fisik dan sikologis
7. Tingkat kebutuhan.
2.1.5. Paradigma Harold Lasswell
8.
9.
(Sumber : Ruslan, Rosadi; 2003)
Gambar 2.2: Schema Model Komunikasi Harold Lasswell
Komunikasi menurut Harold Lasswell dapat dianalisis menurut paradigma :
Who Says What In which Channel To Whom and With What Effect? (Watson, James
& Hill, Anne; 1996), Artinya: “Siapa mengatakan apa, dengan jalur apa, kepada siapa
dan dengan pengaruh apa?”. Maknanya adalah: pengaruh komunikasi dari siapa
(bidan), mengatakan apa (materi) dengan cara apa (media), kepada siapa (komunikan
dengan karakteristik masing-masing), dan dengan pengaruh apa (apakah penerima
pesan selanjutnya memeriksakan diri ke VCT). Paradigma Lasswell penting dianalisis
untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi efektif mampu membujuk pasien
sehingga mengikuti program VCT.
2.1.6. Model Komunikasi
Menurut Wilbur Schramm (1954) bahwa model komunikasi dapat disamakan
dengan mekanisme model proses seperti diilustrasikan pada gambar berikut :
Sumber : (Watson dan Hill; 1996)
Gambar 2.3. Model Komunikasi Schramm
Dengan model mekanis di atas Schramm menjelaskan bahwa proses
komunikasi hanya dapat berlangsung efektif bila pada proses tersebut ada pihak (1)
source (sumber informasi atau pesan) yang menjadi inisiato/pencetus; (2) ada proses
pengkodean pesan ke dalam bentuk-bentuk sandi (kode) tertentu yang dianggap dapat
saling dimengerti/dipahami; (3) kode-kode dikirim / dinyatkan dengan sinyal (bahasa,
gerakan dll); (4) sinyal diindra (dipersepsi) setelah ada penterjemahanan / interpretasi
sinyal dari pesan oleh (5) penerima pesan sebagai target.
2.2. Acquirred Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).
Berdasarkan namanya AIDS berarti suatu kondisi yang dapat ditemukan pada
individu pasien pengidap penyakit yaitu sekumpulan gejala-gejala (sindroma) khas
dari sindroma adalah virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Supari SF, 2006,
Rencana Strategis Departemen Kesehatan Tahun 2005 – 2010, Jakarta).
Selanjutnya HIV memiliki keganasan yaitu merusak sistem daya pertahanan
alam (kekebalan – imunitas) dari penderita sehingga riskan berakibat fatal sekalipun
hanya tercemar bibit penyakit yang pada orang sehat tidak mengakibatkan hal-hal
yang mematikan. Virus dapat menular melalui hubungan langsung antara cairan
tubuh atau darah yang tercemar milik pengidap ke jaringan peredaran darah dari
pengidap yang baru (Supari SF, 2006, Rencana Strategis Departemen Kesehatan
Tahun 2005 – 2010, Jakarta).
Penularan terutama melalui pintu masuk (port of entry) hubungan seksual
(homo atau hetero), luka-luka tercemar, intra placenta ibu tercemar, melalui jarum
suntik pada pengguna narkoba yang ceroboh serta pencemaran diruang bedah,
pelayanan kesehatan gigi, proses kehamilan, persalinan, proses pemeliharaan anak
bayi dan lain-lain. Sampai saat ini tidak ada dikenal suatu obat yang ampuh
mengeradiasi virus dari tubuh pengidap. Hal-hal yang dilakukan sejauh ini terbatas
pada usaha meredam perkembangan akibat virus supaya tidak menjadi lebih parah,
pencegahan penularan serta santunan biaya hidup serta pengobatan pada pasien
penderita (Supari SF, 2006).
Perkembangan penyakit di tubuh pengidap selalu progresif yang pada awalnya
hampir-hampir tidak menimbulkan gejal yang mencurigakan. Kondisi yang
tersembunyi seperti itu menjadikan HIV sebagai suatu penyakit yang tiba-tiba saja
tragedi penularan adalah ketertutupan dari para pengidap yang memang tidak
mengetahui perihal penyakit yang diidapnya, atau ia selalu menutup rapat
permasalahan perilaku yang riskan dapat menularkan penyakit HIV AIDS. Penyakit
HIV AIDS sendiri sebenarnya lebih populer dikenal masyarakat sebagai penyakit
orang yang aib moral, jadi kebanyakan pasien merasa malu bila suatu waktu ia
diketahui mengidap penyakit tersebut (Supari SF, 2006).
Permasalahan akan lebih menyulitkan masyarakat karena resiko dari
ketertutupan mereka yang terkena HIV AIDS, akan menguat karena penyakit tersebut
serta merta memberi kasus predikat orang tidak bermoral, orang yang berbahaya dan
harus dijauhi, sementara kasus penularan banyak dikaitkan pada masalah peredaran
obat-obat terlarang ditambah dunia prostitusi. Masalah ketertutupan pasien pengidap
HIV AIDS akan selalu menjadi lebih misterius dan potensi merugikan masyarakat
sendiri bila fenomena tersebut tidak dirubah (Supari SF, 2006).
2.3. Jumlah Kasus HIV-AIDS 2006 secara global
Pihak WHO menyadari bahaya yang terselubung sehingga promosi
badan-badan tertentu untuk menanggulangi penyakit global HIV-AIDS. Penyebaran kasus
penyakit ini di Indonesia sudah semakin meluas tidak hanya di kota besar tapi juga ke
daerah pendesaan. Penyebaran HIV-AIDS juga mengikuti mobilitas dari masyarakat
yang semakin pesat sejalan dengan hubungan internasional serta teknologi transport
peroleh dengan tanpa sengaja selama di perantauan. Pihak bidan dan pelayanan
kesehatan lain di semua tempat, bila tidak berhati-hati dan tidak disiplin menjalankan
pelayanan yang aman potensil dapat menjadi agen penularan HIV AIDS atau jadi
korban penyakit itu sendiri (Supari SF, 2006).
2.3.1. Kasus Global Burden 2009
Tabel 2.1. Global Burden during 2006
Penulis Lubis (2006) mengutip tulisan Global Burden (Beban Dunia) seperti
tertulis pada tabel berikut. (Tabel 2.1. Global Burden during 2006) Pada tabel dapat dilihat bahwa ada sekitar 40 juta orang diperkirakan sedang menderita
HIV-AIDS. 17, 7 juta diantaranya wanita dan 2,3 juta anak-anak. Sebanyak 3,8 juta adalah
kasus baru dan 530 ribu anak-anak merupakan kasus baru. Separuh dari semua kasus
diperkirakan adalah para usia muda / remaja 15 – 25 tahun (Supari SF, 2006).
Urgensi pemaparan ulang masalah peran bidan dalam pencegahan / penyebaran HIV-AIDS di Sumatera Utara adalah juga penting karena proses penyebaran HIV
dalam tahun-tahun terakhir selalu bertambah banyak. Dinas Kesehatan Sumatera
Global Burden, during 2006
Worldwide 39,5 million people are estimated to be living with HIV/AIDS
17.7 million are women and
2.3 million are children
3.8 million are newly infected adults
530.000 are newly infected children
2.4 million adult deaths
380.000 child deaths
Young people (15-25 years) account for half of new HIV infections
Series1
Utara serta para akademisi pelayanan kesehatan termasuk Akademi Kebidanan
terpanggil untuk melaksanakan penataran-penataran promosi pencegahan (Supari SF,
2006).
2.3.2. Angka Kasus HIV-AIDS di Sumatera Utara 2004 – 2009
Pematang Siantar adalah kota terbesar kedua di Sumatera Utara, di dalam
statistik 2004 s/d 2009 termasuk 4 daerah paling besar di papari kasus HIV-AIDS.
P.Siantar menduduki posisi 4 besar kasus HIV terbanyak setelah Medan, Tobasa, dan
Deli Serdang. Jumlah Kasus akumulatif tercatat berturut-turut sebanyak :581;66;42.
Angka-angka tidak otomatis menjadi nilai betapa buruknya penanganan kasus
HIV di setiap daerah/kota tapi boleh juga menunjukkan efektifnya penemuan
kasus-kasus oleh petugas profesional di setiap daerah. Masalah yang penting dicermati
adalah besarnya jumlah kasus-kasus tersebut merupakan bukti bahwa HIV sudah
merebak ke semua daerah urban propinsi.
2.3.3. Usaha Penanggulangan HIV-AIDS di Sumatera Utara 2008 - 2009
Sumatera Utara menyadari sepenuhnya masalah masalah HIV-AIDS dan
bahayanya bila tidak ditanggulangi dengan serius. PBB (WHO) sendiri seperti yang
tertera pada inset yang dikutip menganjurkan adanya usaha penyaringan kasus-kasus
yang potensil menyebarkan penularan HIV-AIS dengan menyediakan fasilitas
pemeriksaan, manajemen prosedur bahkan biaya pelaksanaan VCT (Voluntary
Counselling and Test) untuk cegah HIV AIDS.
Usaha pencegahan tampaknya menjadi kegiatan utama dari pihak internasional
untuk mengatasi penularan wabah HIV-AIDS. Satu dari pencegahan dapat berupa
pemakaian alat kontrasepsi kondom bagi mereka yang tidak dapat menghindari kasus
seksual multi pasangan. Pengamanan prosedur penyaringan donor darah adalah sudah
menjadi standar pusat-pusat bank darah. Di setiap pos pelayanan dengan instrumen di
klinik dan rumah sakit diwajibkan melalui prosedur steril yang absolut atau
pemakaian peralatan yang disposable (sekali pakai buang). Khususnya bagi proses
kehamilan, kelahiran dan pemeliharaan anak yang kemudian dikelompokkan sebagai
selalu dimulai dengan mendeteksi kasus-kasus ibu, anak atau pasangan dengan
potensi tercemar HIV yang tinggi. Kasus yang ditemukan riskan dianjurkan
mengunjungi pusat konsultasi sukarela dan pemeriksaan (VCT) di pos-pos tersendiri.
Pada dasarnya kegiatan promosi VCT inilah yang menjadi pokok perhatian dari
penelitian ini.
Secara logis dapat diterima bahwa untuk mencegah penularan penyakit
seberbahaya HIV-AIDS – karena kesehatan adalah hak azasi setiap individu – tidak
seorangpun yang dapat dipaksa untuk memeriksakan diri. Kata voluntary pada VCT
menonjolkan arti sukarela ada di pihak pasien pengguna jasa. Jadi tidak ada unsur
paksaan yang boleh dipakai dalam mempromosikan program pencegahan penyakit
HIV AIDS. Setiap mereka yang memilih memeriksakan diri harus menanda tangani
informed concent yaitu semacam pernyataan tertulis bahwa mereka yang
memeriksakan diri menyadari keperluan pemeriksaan dan mau menjalaninya secara
sukarela.
Konseling dan Testing secara sukarela (VCT) – Secara sukarela individu
memilih untuk mengikuti tes untuk mengetahui status HIV mereka. Ini adalah bagian
dari strategi kesehatan masyarakat yang utama yaitu menjadikan individu-individu
yang belum menunjukan gejala penyakit (asimptomatik) sebagai sasaran. Pendekatan
ini berasal dari perspektif penurunan penularan HIV yaitu untuk
mengindenti-fikasikan individu-individu yang sehat dan yang oleh karena itu lebih besar
kemungkinan menerima hasil tes positif adalah komponen kunci. Program VCT juga
merupakan pintu masuk yang penting untuk mendapatkan perawatan.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpuan bahwa sebenarnya PMTCT
dengan VCT adalah tim kerja sama yang saling membantu fungsi bersama yaitu
menanggulangi penularan HIV AIDS dengan program promosi deteksi dini kasus
yang potensil oleh bidan, dan pemeriksaan sukarela oleh pasien di klinik VCT.
2.3.4. Kebijakan Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Strategi penanggulangan AIDS Nasional 2003-2007 menegaskan bahwa
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas.
Departemen Kesehatan RI dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional telah
berkomitmen untuk meningkatkan cakupan program pencegahan penularan HIV dari
ibu ke bayi di Indonesia. Sebagai pedoman untuk menjalankan program tersebut bagi
manajer program, aparat pemerintahan, petugas kesehatan, serta kelompok profesi
dan kelompok seminat bidang kesehatan di Indonesia, perlu adanya kebijakan
pemerintah tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Kebijakan ini
mencakup hal-hal penting pada tiap-tiap langkah intervensi program pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayi di Indonesia. (Depkes RI, 2007)
2.3.5. Integrasi Program
Kebijakan umum pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi sejalan dengan
kebijakan umum kesehatan ibu dan anak dan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS
paket pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap
jenjang pelayanan kesehatan. Semua perempuan yang datang ke pelayanan kesehatan
ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan
mendapatkan informasi pencegahan penularan HIV selama masa kehamilan dan
menyusui .Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi,
dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu :
1. Prong 1: Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi;
2. Prong 2: Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif;
3. Prong 3: Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke
bayi yang dikandungnya;
4. Prong 4: Memberikan dukungan psikologis, sosial dengan perawatan kepada
ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya. Pada daerah dengan
prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1 dan Prong2.
Pada daerah dengan prevalensi HIV yang padat diimplementasikan
semua prong. Keempat prong secara nasional dikoordinir dan
dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi
kesehatan swasta dan lembaga swadaya masyarakat.
2.3.6. Konseling dan Tes HIV Sukarela
Konseling HIV menjadi salah satu komponen dari pelayanan kesehatan ibu dan
ke bayi mengikuti Pedoman Nasional Konseling dan Tes HIV Sukarela. Tes HIV
dilakukan kepada semua ibu hamil (routine HIV testing) di seluruh rumah sakit
rujukan ODHA (Orang dengan HIV AIDS) yang telah ditetapkan pemerintah. Ibu
hamil menjalani konseling dan diberikan kesempatan untuk menetapkan sendiri
keputusannya untuk menjalani tes HIV atau tidak. Di daerah prevalensi HIV tinggi
yang tidak terdapat layanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, untuk
menentukan faktor-faktor risiko ibu hamils digunakan beberapa kriteria, seperti
memiliki penyakit menular seksual, berganti-ganti pasangan pengguna narkoba, dan
lain-lain.
Layanan tes HIV dipromosikan dan dimungkinkan bagi laki-laki dan
perempuan yang merencanakan untuk memiliki bayi. Pada tiap jenjang pelayanan
kesehatan yang memberikan konseling dan tes HIV sukarela dalam paket pelayanan
kesehatan ibu dan angka dan layanan keluarga berencana, harus terdapat tenaga
petugas yang mampu memberikan konseling sebelum dan sesudah tes HIV (Depkes
RI, 2007)
Pada pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana yang
memberikan layanan konseling dan tes HIV sukarela, konseling pasca tes (post-tes
counseling) bagi perempuan HIV negatif diberikan bimbingan untuk tetap HIV
negatif selama kehamilan, menyusui dan seterusnya. Pada tiap jenjang pelayanan
kesehatan tersebut harus terjamin aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengkuti proses
konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Untuk program pencegahan penularan HIV
ibu hamil di tiap jenjang layanan kesehatan. Protokol pemberian obat antiretroviral
(ARV) untuk ibu hamil HIV positif mengikuti Pedoman Nasional Pengobatan ARV
di Indonesia. Pemerintah menyediakan ARV untuk ibu hamil HIV positif secara
gratis untuk mengurangi risiko penularan HIV ke bayi. Pemerintah juga menyediakan
ARV secara gratis untuk tujuan pengobatan jangka panjang jika ibu atau anaknya
telah membutuhkan ARV untuk mempertahankan kualitas fisiknya (Depkes RI,
2007).
Ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan dengan
keputusannya untuk menjalani persalinan secara operasi seksio sesarea ataupun
persalinan normal.Pelaksanaan persalinan, baik secara operasi seksio sesarea maupun
persalinan normal, harus memperhatikan kondisi fisik dari ibu hamil HIV positif.
Tindakan menolong persalinan ibu hamil HIV positif, baik secara operasi seksio
sesarea maupun persalinan normal, mengikuti standar kewaspadaan universal yang
biasa berlaku untuk persalinan ibu hamil HIV negatif. Untuk program pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayi pemerintah memberikan bantuan layanan persalinan
gratis kepada ibu hamil HIV positif (Depkes RI, 2007).
2.3.7. Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Arti Penting
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah upaya yang
2. Lebih dari 90% kasus bayi yang terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses dari ibu
ke bayi.
3. Sepanjang akses pengobatan antiretroviral belum baik, bayi HIV positif akan
menjadi anak yatim/piatu. Dari 61 anak- dengan HIV/AIDS di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta (Januari 2003-Desember 2004), sebanyak 23 orang
diantaranya menjadi yatim dan 3 orang menjadi yatim piatu.
4. Bayi HIV positif akan mengalami gangguan tumbuh kembang. Anak dengan
HIV/AIDS lebih sering mengalami penyakit infeksi bakteri ataupun virus.
5. Perlakuan diskriminatif akan dihadapi anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS.
Stigma negatif terhadap HIV/AIDS menyebabkan anak-anak dengan HIV/AIDS
seringkali didiskriminasi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, di sekolah,
dan sebagainya.
6. Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan ibu HIV
positif, meskipun ibunya masih hidup, secara signifikan memiliki risiko
kesakitan dan kematian yang lebih tinggi.
7. Setiap anak memiliki hak untuk hidup sehat, panjang umur, dan mengembangkan
potensi diri terbaiknya.
a. Faktor Ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
adalah kandungan HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat
satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali
bertambah di tubuh seseorang (Digram I), Kadar HIV tertinggi sebesar 10 juta
kopi/ml darah terjadi 3-6 minggu setelah terinfeksi (disebut infeksi primer). Setelah
beberapa minggu, biasanya kadar HIV mulai berkurang dan relatif terus rendah
selama beberapa tahun pada periode tanpa gejala (asimptomatik). Ketika memasuki
masa stadium AIDS (dimana tanda-tanda gejala AIDS mulai muncul), kadar HIV
kembali meningkat (Depkes RI, 2007).
b. Faktor Bayi
Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah diduga lebih
rendah untuk tertular HIV dikarenakan sistem organ tubuh yang tersebut belum
berkembang baik, seperti sistem kulit dan mukosa, dll. Sebuah studi di Tanzania
menunjukkan bahwa bayi yang lahirkan sebelum 24 minggu memiliki risiko tertular
HIV yang lebih tinggi pada saat persalinan dan masa-masa awal kelahiran. Seorang
bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV negatif selama masa kehamilan dan
proses persalinan, tetapi mungkin akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI. HIV
terdapat di dalam ASI, meskipun konsentrasinya jauh lebih kecil dibandingkan
dengan HIV di dalam darah. Antara 10-20% bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV
positif akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI (hingga 18 bulan atau lebih).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
1. Umur Bayi
Risiko penularan melalui ASI akan lebih besar pada bayi yang baru lahir.
Antara 50-70% dari semua penularan HIV melalui ASI terjadi pada usia enam bulan
pertama kali. Setelah tahun kedua umur bayi, risiko penularan menjadi lebih rendah.
2. Luka di Mulut Bayi
Bayi yang memiliki luka di mulutnya memiliki risiko untuk tertular HIV lebih
besar ketika diberikan ASI.
a. Faktor Cara Penularan
Sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat
persalinan.Ketika proses persalinan, tekanan pada plasenta meningkat yang bisa
menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara darah ibu dan darah bayi. Hal ini
lebih sering terjadi jika plasenta meradang atau terinfeksi (Depkes RI, 2007).
2.4. Pengertian dan Peran Bidan
Bidan merupakan profesi yang diakui secara nasional maupun internasional.
Pengertian bidan dan bidang prakteknya telah diakui oleh International
Confederation Midwives (ICM) dan International Federation of Gynaecologist dan
Obstetrion (FIGO) serta World Health Organitation (WHO). Secara lengkap
pengertian bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan
yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi ijin untuk
supervisi, asuhan dan nasehat yang dibutuhkan kepada wanita pada masa hamil,
persalinan, pasca persalinan, memimpin persalinan atas tanggungjawabnya sendiri
serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak (Syafrudin Cs, 2009).
Asuhan yang dimaksud termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi
abnormal pada ibu dan bayi serta mengupanyakan bantuan medis, melakukan
tindakan pertolongan gawatdarurat pada saat tidak hadirnya tenaga medik lainnya.
Bidan mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan pedidikan kesehatan, tidak
hanya untuk wanita hamil, bersalin dan pasca pesalinan saja tetapi juga untuk
keluarga dan komunitasnya. Pendidikan yang dimaksud mencakup pendidikan untuk
kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan, persiapan menjadi orang
tua, keluarga berencana, kesehatan bayi dan anak. Bidan bisa praktek di Rumah Sakit
Klinik, Unit kesehatan, Rumah- rumah perawatan dan fasilitas kesehatan lainnya.
(Syafrudin Cs, 2009).
2.5.Komponen Komunikasi Terhadap PMTCT
Pada proses komunikasi promosi kesehatan khusus yang dilakukan petugas
PMTCT yaitu mencegah terjadinya transmisi penyakit menular HIV di antara ibu dan
janin, pihak petugas berfungsi sebagai inisiator (komunikator awal). Pihak pasien
adalah penerima pesan. Pesan yang diberikan inisiator adalah materi tentang masalah
HIV/AIDS dan anjuran-anjuran supaya penerima pesan terbujuk untuk memeriksakan
Masalah efektifitas dari suatu komunikasi dalam mempromosikan usaha
pencegahan penyebaran HIV/AIDS melalui jalur PMTCT terhadap komunitas
keluarga yang memeriksakan diri ke Puskesmas, sementara petugas Puskesmas sudah
banyak yang terlatih untuk pekerjaan khusus PMTCT, tergantung dari bagaimana
informasi dapat memberi / menyentuh hati pasien/keluarga sehingga membetuk suatu
sikap yang sadar dan terbujuk (affective). Kesadaran dapat meningkat ke perilaku
mau melakukan pemeriksaan diri ke VCT.
Pihak komunikan (penerima pesan) pada pihak lain memiliki karakteristik yang
heterogen. Karakteristik latar belakang pendidikan, temperamen, budaya serta
kondisi-kondisi ekonomis lain dapat pula menjadi faktor penghalang komunikasi
efektif yang dijalankan oleh pihak bidan dalam mempromosikan PMTCT dan VCT.
Lembaga pencegahan penyakit HIV AIDS melakukan promosi dengan aneka rupa
dan cara mulai dari komunikasi tatap muka dilakukan oleh masing-masing petugas.
Pengaruh komunikasi yang biasanya multi tahap jadi sering lebih efektif bila
dipaparkan secara simultan dan serentak oleh lembaga. Model komunikasi mana yang
kemudian paling berpengaruh dan mampu merubah sikap serta perilaku pasien
PMTCT untuk mau menjalani proses VCT, hal itulah yang ingin diketahui melalui
penelitian ini (Jamaludin, 2010). Tidak ada jaminan bahwa pihak masyarakat
komunikan datang ke VCT semata-mata karena pengaruh komunikasi oleh bidan,
tetapi bila selama ini tidak ada suatu kegiatan VCT dapat dikaitkan dengan proses
pemeriksaan sebagai akibat langsung komunikasi bidan dan pasien, hal tersebut perlu
tentang fungsi dan kewajiban bidan melaksanakan promosi dan prevensi HIV AIDS
sama sekali tidak bermanfaat untuk promosi dan prevensi tersebut. Kalau tidak
bermanfaat, bagaimana cara selanjutnya untuk membuat fungsi promosi dan prevensi
HIV AIDS melalui PMTCT harus direvitalisasi (Jamaludin, 2010).
2.6. Landasan Teori
HIV-AIDS adalah suatu penyakit menular dapat mengakibatkan penderita
mengalami kekurangan pada daya tahan (imunitas) tubuh. Penderita yang terinfeksi
akan mengalmi kekurangan kekebalan (imunitas) menahan infeksi sekunder yang
dapat berakibat fatal. Penyakit HIV-AIDS ini belum dapat disembuhkan secara
tuntas, jadi tetap memerlukan pemeliharaan yang mahal di sepanjang umur hidup
ODHA (Orang dengan HIV AIDS). Cara penularan-nya biasa melalui hubungan
seksual, pencemaran alat suntik pada pemakaian silang, transfusi darah, luka – luka
tercemar pada proses kelahiran ataupun operasi yang tercemar, serta transmisi dari
ibu tercemar pada bayinya baik dalam kandungan maupun setelah lahir.
Sampai saat ini belum ada suatu obat apapun yang dianggap efektif dapat
mengeradikasi penyakit secara tuntas sehingga pasien dapat dianggap murni sembuh
dari HIV-AIDS. Usaha pemeliharaan kesehatan dengan mengendalikan
pengembangan tingkat keparahan penyakit banyak yang efektif memperpanjang
kenyamanan masa hidup penderita tetapi semua itu cukup riskan dan berbiaya mahal.