• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Stabilitas Obat Spironolakton Terhadap Perubahan pH Dengan Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Stabilitas Obat Spironolakton Terhadap Perubahan pH Dengan Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

UJI STABILITAS OBAT SPIRONOLAKTON TERHADAP

PERUBAHAN pH DENGAN MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

SKRIPSI

Ririn Astri Sabdowati

1111102000040

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

ii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

UJI STABILITAS OBAT SPIRONOLAKTON TERHADAP

PERUBAHAN pH DENGAN MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Farmasi

Ririn Astri Sabdowati

1111102000040

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(3)

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan benar.

Nama : Ririn Astri Sabdowati

NIM : 1111102000040

Tanda Tangan :

(4)

iv

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

NAMA : RIRIN ASTRI SABDOWATI

NIM : 1111102000040

PROGRAM STUDI : Strata-1 Farmasi

JUDUL : UJI STABILITAS OBAT SPIRONOLAKTON

TERHADAP PERUBAHAN pH DENGAN

MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

Disetujui Oleh:

Pembimbing I

Nelly Suryani, Ph.D, Apt

NIP. 19651024 200501 2 001

Pembimbing II

Supandi, M.Si, Apt

Mengetahui,

Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(5)

v

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Ririn Astri Sabdowati

NIM : 1111102000040

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Uji Stabilitas Obat Spironolakton Terhadap Perubahan pH Dengan Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI

Pembimbing 1 : Nelly Suryani, Ph.D., Apt ( )

Pembimbing 2 : Supandi M.Si., Apt ( )

Penguji 1 : Umar Mansur, M.Sc., Apt ( )

Penguji 2 : Lina Elfita M.Si., Apt ( )

(6)

vi

ABSTRAK

Nama : Ririn Astri Sabdowati Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Uji Stabilitas Obat Spironolakton Terhadap Perubahan PH dengan Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Spironolakton merupakan obat hipertensi golongan diuretik antagonis aldosteron yang umumnya dibuat dalam bentuk tablet salut film tidak dalam bentuk larutan ataupun suspensi. Di Indonesia spironolakton terkadang digabung dengan obat-obat lain terutama untuk pasien geriatrik yang mengalami komplikasi penyakit yang terkadang sulit untuk menelan obat ataupun pasien tersebut dalam keadaan koma. Pencampuran obat dan perubahan bentuk sediaan obat sebelum digunakan dapat mempengaruhi pH akhir sediaan. Sedangkan spironolakton merupakan senyawa ester yang mengandung gugus lakton yang mudah terhidrolisis pada perubahan pH. Dimana reaksi ini akan menyebabkan terjadinya degradasi spironolakton. Pada penelitian ini, persentase kadar spirononlakton dalam sediaan suspensi yang dibuat dengan cara menggerus tablet spironolakton dan mensuspensikannya dengan air diukur dengan mengunakan metode KCKT. Suspensi spironolakton yang telah dibuat ditambahkan dapar untuk memberi variasi suasana pH hingga diperoleh pH 3,5,7 dan 9 dan diujikan pada menit ke 0,15,30,45, dan 60. Persen kadar spironolakton pada ph 3 adalah 19%, 21%, 22%,27%,dan 40%. Pada pH 5 100%,88%,85%,74% dan 91%. Pada pH 7 61%,46%,38%,27%,dan 35%. Pada pH 9 54%,50%,41%,38%, dan 38%. Kadar spironolakton pada pH 3, 7, dan 9 pada semua menit sudah tidak dapat diterima, sesuai ketentuan kadar spironolakton dalam sediaan. Sedangkan pada pH 5 pada menit ke-0 saja yang masih dapat diterima. Spironolakton lebih stabil pada atau mendekati pH optimum yaitu 4.5.

(7)

vii Name : Ririn Astri Sabdowati Study program : Pharmacy

Thesis title : Stability Test on Spironolactone towards pH changes using High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

Spironolactone is an aldosterone antagonist diuretic drug for hypertension which is generally made in form of film-coated tablets not liquid nor suspension. In Indonesia, spironolactone is sometimes combined with other medicines especially for geriatric patients who suffer complications and sometimes have difficulty in swallowing medicine or those patients who are in a comma-state. Mixture of drug and the changes of drug form before being used can affect the final pH, while spironolactone is an ester containing lactone group which is easily hydrolyzed towards change of pH. This reaction will cause degradation of spironolactone. In this research, the spironolactone percentage in suspension was created by grinding the spironolactone tablet and suspended it with water measured by using HPLC method. Buffer was added to the spironolactone suspension to give variation to pH solution until pH 3, 5, 7, and 9 were obtained which then tested on minute 0, 15, 30, 45, and 60. The percentages of spironolactone at pH 3 were 19%, 21%, 22%, 27%, and 40%. At pH 5 the percentages were 100%, 88%, 85%, 74% and 91%, while at pH 7 were 61%, 46%, 38%, 27%, and 35%. At ph 9, the percentages were 54%, 50%, 41%, 38%, and 38%. The spironolactone at pH 3, 7, and 9 at all minutes could not be accepted in accordance to the spironolactone in the formulation. Meanwhile, at ph 5, the only one that could be accepted was at minute 0. Spironolactone was more stabilized at or near optimum pH which was 4.5.

(8)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Rumusan Masalah ... 3

I.3. Tujuan Penelitian ... 3

I.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Stabilitas Obat ... 4

2.2. Stabilitas Obat Terhadap pH ... 6

2.3. Degradasi Obat ... 7

2.4. Tablet Salut ... 10

2.5. Spironolakton ... 10

2.6. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ... 14

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

3.2. Alat dan Bahan ... 18

3.3. Prosedur Kerja ... 18

3.3.1 Pembuatan Fase Gerak ... 18

3.3.2 Preparasi Standar ... 18

3.3.3 Optimasi dan Validasi ... 19

3.3.4 Preparasi dan Pengujian Sampel ... 20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 22

4.1. Penentuan Panjang Gelombang Optimum ... 22

4.2. Pemilihan Fase Gerak ... 22

4.3. Uji Kesesuaian Sistem ... 22

4.4. Pembuatan Kurva Kalibrasi ... 23

4.5. Uji Akurasi dan Perolehan Kembali ... 24

(9)

xii

4.7. Pengukuran Kadar Spironolakton dalam Sampel ... 26

4.8. Uji Statistik Nilai Normalitas ... 29

4.9. Uji Statistik Nilai Homogenitas dan ANOVA ... 29

4.10. Pembahasan Pengukuran Kadar Spironolakton dalam Sampel ... 30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

5.1. Kesimpulan ... 34

5.2. Saran ... 34

(10)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Contoh hidrolisis dengan katalis asam ... 8

Gambar 2.2. Contoh hidrolisis dengan katalis basa ... 8

Gambar 2.3. Struktur Spironolakton... 10

Gambar 2.4. Struktur Lakton ... 12

Gambar 2.5. Instrumen KCKT ... 15

Gambar 4.1. Kurva Kalibrasi ... 23

Gambar 4.2. Grafik perbandingan pH akhir sediaan terhadap Waktu ... 30

Gambar 4.3. Spironolakton ... 31

Gambar 4.4 Hidrolisis Gugus Ester Dalam Suasana Asam ... 32

Gambar 4.5. Hidrolisis Gugus Ester Dalam Suasana Basa ... 32

(11)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Uji kesesuaian Sistem ... 23

Tabel 4.2. Kurva Kalibrasi ... 23

Tabel 4.3. Uji Akurasi ... 24

Tabel 4.4. Uji Presisi ... 25

Tabel 4.5. Persentase Kadar Spironolakton pada pH 3 ... 26

Tabel 4.6. Persentase Kadar Spironolakton pada pH 5 ... 27

Tabel 4.7. Persentase Kadar Spironolakton pada pH 7 ... 27

Tabel 4.8. Persentase Kadar Spironolakton pada pH 9 ... 28

(12)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Kerja ... 36

Lampiran 2. Sertifikat Spironolakton Standar Sigma ... 37

Lampiran 3. Panjang Gelombang Maksimum Spironolakton ... 38

Lampiran 4. Perhitungan Persiapan Kurva Kalibrasi ... 39

Lampiran 5. Kromatogram Larutan Standar dan Tablet ... 41

Lampiran 6. Kromatogram Kalibrasi ... 42

Lampiran 7. Kurva Dan Tabel Kalibrasi ... 43

Lampiran 8. Hasil Kromatogram Uji Kesesuaian Sistem ... 44

Lampiran 9. Hasil Uji Kesesuaian Sistem ... 45

Lampiran 10. Hasil Uji Akurasi ... 46

Lampiran 11. Hasil Uji Presisi ... 47

Lampiran 12. Perhitungan Preparasi Sampel dan Luas Area secara Manual ... 49

Lampiran 13. Hasil Kromatogram pH 3 ... 50

Lampiran 14. Hasil dan Kurva pH 3 ... 51

Lampiran 15. Hasil Kromatogram pH 5 ... 52

Lampiran 16. Hasil dan Kurva pH 5 ... 53

Lampiran 17. Hasil Kromatogram pH 7 ... 54

Lampiran 18. Hasil dan Kurva pH 7 ... 55

Lampiran 19. Hasil Kromatogram pH 9 ... 56

Lampiran 20. Hasil dan Kurva pH 9 ... 57

Lampiran 21. Kurva Perbandingan Konsentrasi terhadap Waktu ... 58

(13)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.1. Latar Belakang

Stabilitas dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai ketahanan suatu produk sesuai dengan batas-batas tertentu selama penyimpanan dan penggunaanya atau umur simpan suatu produk dimana produk tersebut masih mempunyai sifat dan karakteristik yang sama seperti pada waktu pembuatan. (David B. Troy, 2006; USP 30)

Obat dibuat dalam berbagai bentuk sediaan disesuaikan dengan cara dan tujuan pemakaian, pertimbangan sifat bahan obat dan sebagainya. Bila bentuk suatu sediaan obat diubah seperti dilarutkan, diserbuk, ditambahkan bahan tambahan lain atau dilakukan modifikasi faktor lingkungan seperti pada kondisi penyimpanan, kemungkinan dapat terjadi perubahan pada stabilitas obat tersebut.

(Connors et al, 1992)

Ada beberapa parameter yang perlu dipertimbangkan dalam memformulasi

suatu sediaan obat yang stabil. Diantaranya sifat kimia, sifat fisik, mikrobiologi, efek terapi, efek toksik. Evaluasi stabilitas sediaan tidak hanya memperhitungkan zat aktif farmasi, tetapi juga eksipien dan kemasan produk obat. Selanjutnya, karena kemudahan dan ketersediaan bahan, pada praktek umum dilakukan pembuatan cairan suspensi oral yang disiapkan dari bentuk sediaan padat seperti tablet atau kapsul yang tersedia. Oleh karena itu potensi interaksi tambahan dapat terjadi antara obat. (Niazi, Sarfaraz, 2006)

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi stabilitas dari sediaan farmasi salah satunya adalah interaksi bahan aktif dengan bahan aktif lain dalam penggunaannya, faktor lingkungan seperti temperatur juga mempengaruhi stabilitas obat. Demikian pula faktor formulasi seperti pH, sifat dalam air dan sifat pelarutnya dapat mempengaruhi stabilitas obat (David B. Troy, 2006; USP. 30)

(14)

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kebanyakan molekul obat baik asam atau basa lemah akan terionisasi

yang ditentukan oleh pKa senyawa dan pH cairan biologis dimana obat itu akan terlarut. pH dari larutan obat mungkin memiliki efek yang besar pada stabilitas,

bergantung pada mekanisme reaksinya. Ketika obat diformulasikan dalam bentuk larutan, penting untuk mengetahui pH optimum sediaan. Kebanyakan obat akan berkontak dengan air dan bahkan obat berbentuk solid dapat kontak dengan air. Oleh karena itu, hidrolisis menjadi reaksi yang paling banyak ditemukan. Hidrolisis sering menjadi jalur degradasi dari obat-obat yang memiliki gugus ester dan amida. (Banker, Gilbert S and C T Rhodes, 2002; Min Li, 2012)

Spironolakton umumnya dibuat dalam bentuk tablet salut film dengan kekuatan dosis 25, 50 dan 100 mg tidak dalam bentuk larutan ataupun suspensi. Spironolakton praktis tidak larut dalam air dan larut dalam alkohol. Sedikit larut dalam kondisi basa. Sediaan larutan oral yang dibuat dengan spironolakton stabil setidaknya selama 30 hari dan biasanya memiliki nilai pH akhir 3.5 – 6.5. (Mahmoud, Ismail M et al, 2014)

Spironolakton merupakan senyawa ester yang memiliki struktur lakton yang mudah terhidrolisis. Struktur lakton merupakan salah satu dari senyawa karbonil labil yang memiliki pusat elektropositif yang mudah bereaksi dengan nukleofil. (Banker, Gilbert S and C T Rhodes, 2002)

Lakton merupakan ester siklik. Menurut studi oleh Kaufman, antara hidrolisis menghasilkan reaksi campuran yang sama dibawah katalis asam.

(15)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Di Indonesia spironolakton terkadang digabung dengan obat-obat lain terutama

untuk pasien geriatrik yang mengalami komplikasi penyakit yang terkadang sulit untuk menelan obat ataupun pasien tersebut dalam keadaan koma sehingga sulit

untuk diberikan obat berbentuk tablet. Pencampuran obat dan perubahan bentuk sediaan obat sebelum digunakan terkadang dapat mempengaruhi pH akhir sediaan. Sedangkan spironolakton merupakan senyawa ester yang mengandung gugus lakton yang mudah terhidrolisis pada perubahan pH.

Oleh karena itu perlu dilakukan uji stabilitas obat dalam pemberian obat antihipertensi Spironolakton terhadap pengaruh perubahan variasi pH yaitu 3, 5, 7 dan 9 dalam sediaan suspensi sederharna menggunakan KCKT.

1.2. Rumusan Masalah

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah di Indonesia spironolakton terkadang digabung dengan obat-obat lain sehingga dapat mempengaruhi pH akhir sediaan. Oleh karena itu perlu dilakukan uji stabilitas obat Spironolakton terhadap pengaruh perubahan variasi pH yaitu 3, 5, 7 dan 9 dalam sediaan suspensi sederharna menggunakan KCKT. Adakah penurunan kadar dari spironolakton yang disebabkan oleh pengaruh perubahan pH.

1.3. Tujuan Penelitian

 Melakuan analisa kandungan kadar dari spironolakton dalam variasi suasana

pH asam dan basa 3, 5, 7, dan 9.

I.4. Manfaat Penelitian

 Memberikan informasi kondisi kestabilan spironolakton dalam variasi

suasana pH asam dan basa.

 Sebagai informasi bagi dokter, farmasis darn tenaga kesehatan lain di rumah

(16)

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stabilitas Obat

Stabilitas dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai ketahanan suatu produk sesuai dengan batas-batas tertentu selama penyimpanan dan penggunaanya atau umur simpan suatu produk dimana produk tersebut masih mempunyai sifat dan karakteristik yang sama seperti pada waktu pembuatan. Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas dari sediaan farmasi, antara lain stabilitas bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dengan bahan tambahan, proses pembuatan bentuk sediaan, kemasan, cara pengemasan dan kondisi lingkungan yang dialami selama pengiriman, penyimpanan, penanganan dan jarak waktu antara pembuatan dan penggunaan. Faktor lingkungan seperti temperatur, radiasi cahaya dan udara (khususnya oksigen, karbon dioksida dan uap air) juga mempengaruhi stabilitas.

Demikian pula faktor formulasi seperti ukuran partikel, pH, sifat dari air dan sifat pelarutnya dapat mempengaruhi stabilitas. (David B. Troy,Paul Beringer, 2006;

USP 30)

Stabilitas produk obat dibagi menjadi stabilitas secara kimia dan stabilitas secara fisika. Faktor-faktor fisika seperti panas, cahaya, dan kelembapan, mungkin akan menyebabkan atau mempercepat reaksi kimia, maka setiap menentukan stabilitas kimia, stabilitas fisika juga harus ditentukan (Attwood dan Florence, 2011).

Stabilitas fisika didasari pada perubahan sifat fisika dari suatu produk yang tergantung waktu (periode penyimpanan). Contoh dari perubahan fisika antara lain migrasi (perubahan) warna, perubahan rasa, perubahan bau, perubahan tekstur atau penampilan. Evaluasi dari uji stabilitas fisika meliputi: pemeriksaan organoleptis, homogenitas, pH, bobot jenis (Attwood dan Florence, 2011).

(17)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Secara reaksi kimia, zat aktif dapat terurai karena beberapa faktor diantaranya ialah oksigen (oksidasi), air (hidrolisa), suhu (oksidasi), cahaya (fotolisis), karbondioksida (turunnya pH larutan), sesepora ion logam sebagai katalisator reaksi oksidasi. Jadi jelasnya faktor luar juga mempengaruhi ketidakstabilan kimia seperti, suhu, kelembaban udara dan cahaya (Attwood dan Florence, 2011).

Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan tetap di mana sediaan bebas dari mikroorganisme atau memenuhi syarat batas miroorganisme hingga batas waktu tertentu. Stabilitas mikrobiologi diperlukan oleh suatu sediaan farmasi untuk menjaga atau mempertahankan jumlah dan menekan pertumbuhan mikroorgansme yang terdapat dalam sediaan tersebut hingga jangka waktu tertentu yang diinginkan (Attwood dan Florence, 2011).

Stabilitas sediaan farmasi merupakan salah satu kriteria yang amat penting

untuk suatu hasil produksi yang baik. Ketidakstabilan produk obat dapat mengakibatkan terjadinya penurunan sampai dengan hilangnya khasiat, obat dapat

berubah menjadi toksik atau terjadinya perubahan penampilan sediaan (warna, bau, rasa, konsistensi dan lain - lain) yang akibatnya merugikan bagi pemakai. (Connors et al, 1994)

Obat dibuat dalam berbagai bentuk sediaan disesuaikan dengan cara dan tujuan pemakaian, pertimbangan sifat bahan obat dan sebagainya. Bila bentuk suatu sediaan obat diubah seperti dilarutkan, diserbuk, ditambahkan bahan tambahan lain atau dilakukan modifikasi faktor lingkungan seperti pada kondisi penyimpanan, kemungkinan dapat terjadi perubahan pada stabilitas obat tersebut. (Connors et al, 1994)

(18)

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Secara fisiologis, larutan obat harus diformulasikan sedekat mungkin ke pH stabilitas optimumnya karena besarnya laju reaksi hidrolitik dipengaruhi / dikatalisis oleh gugus hidroksi. (Ansel, 1994; Lachman et al, 2007)

2.2 Stabilitas Obat Terhadap pH

Kebanyakan molekul obat baik asam atau basa lemah akan terionisasi yang ditentukan oleh pKa senyawa dan pH cairan biologis dimana obat itu akan terlarut. pH dari larutan obat mungkin memiliki efek yang besar pada stabilitas, bergantung pada mekanisme reaksinya. Ketika obat diformulasikan dalam bentuk larutan, penting untuk mengetahui pH optimum sediaan. (Banker, Gilbert S and C T Rhodes, 2002)

Kebanyakan obat parenteral, obat akan berkontak dengan air dan bahkan obat berbentuk solid dapat kontak dengan air. Oleh karena itu, hidrolisis menjadi reaksi yang paling banyak ditemukan. Hidrolisis sering menjadi jalur degradasi

dari obat-obat yang memiliki gugus ester dan amida. Ketika obat tidak terion dalam air, maka akan ada tiga kemungkinan reaksi hidrolitik. Degradasi dapat

terjadi akibat katalis asam tertentu yang disebabkan oleh kinetik pada tahap pertama, hidrolisis air (tahap kedua) dan katalisis basa spesifik (tahap ketiga). (Min Li, 2012; Banker, Gilbert S and C T Rhodes, 2002)

Lakton merupakan cincin ester. Laktonisasi yang merupakan reforming cincin ester meningkat pada lakton dengan ukuran cincin kecil dan sedang. Menurut studi oleh Kaufman, antara hidrolisis dan laktonisasi menghasilkan reaksi campuran yang sama dibawah katalis asam. Katalisasi oleh asam pada hidrolisis dari lakton bersifat reversible. (Min Li, 2012)

(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sistem pH dapar yang biasanya terdegradasi dari asam atau basa lemah dan garamnya biasanya ditambahkan ke dalam sediaan cair ditambahkan untuk mempertahankan pHnya pada rentang dimana terjadinya degradasi obat minimum. (Min Li, 2012)

2.3 Degradasi Obat

Substansi obat yang digunakan dalam farmasetikal memiliki struktur molekul yang berbeda-beda. Oleh karena itu rentan terdegradasi oleh banyak dan berbagai macam jalur degradasi. Jalur degradasi antara lain adalah hidrolisis, dehidrasi, isomerisasi dan rasemisasi, eliminasi, oksidasi, photodegradasi dan interaksi kompleks dengan eksipien ataupun dengan obat lain. Ini sangat berguna untuk memperkirakan ketidakstabilan kimia yang terjadi berdasarkan struktur melekulnya. Banyak obat yang cukup stabil, tetapi kelompok dengan gugus fungsional seperti ester dan cincin laktam yang terdapat pada beberapa obat rentan

terhadap hidrolisis dan gugus fungsional seperti katekol dan fenol cukup mudah teroksidasi. (Min Li, 2012; Lee, David C, M L Webb, 2009)

a. Hidrolisis

Hidrolisis merupakan salah satu dari reaksi utama dari degradasi obat terutama dalam bentuk larutan. Hidrolisis adalah proses dua tahap, dimana nukleofil, seperti air dan ion hidroksi yang ditambahkan yang kemudian akan membentuk senayawa intermediet dari leaving group yang terlepas pada tahap kedua. Struktur senyawa mempengaruhi tingkat hidrolisis, dimana semakin kuat asam konjugasi yang terlepas maka reaksi yang terjadi semakin cepat. Banyak obat yang mengandung gugus fungsional yang sangat rentan terhadap hidrolisis.

Contoh dari dua tipe reaksi hidrolisis (Niazi, Sarfaraz, 2006):

Hidrolisis tipe satu dapat dikatalisasi baik oleh asam dan basa, oleh karena itu kontrol pH formulasi merupakan salah satu hal yang mempengaruhi tingkat dekomposisi (Niazi, Sarfaraz, 2006):.

X = OR (ester), NR1R2 (amida) (Tipe I)

(20)

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.1. Contoh hidrolisis dengan katalis asam

Gambar 2.2. Contoh hidrolisis dengan katalis basa

Beberapa obat-obat yang memiliki gugus fungsi yang rentan terhadap hidrolisis antara lain aspirin (ester), spironolakton (tiol ester, lakton), kloramfenikol (amida), sulfonamide, fenobarbitak (imida), methicillin (lactam) dan klorambusil (alifatik terhalogenasi) (Niazi, Sarfaraz, 2006):.

(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Oksidasi

Reaksi penguraian kedua yang paling umum adalah melalui reaksi oksidasi. Penguranga/ oksidasi (redoks) merupakan reaksi yang melibatkan baik transfer oksigen atau hidrogen ataupun elektron. Oksidasi disebabkan oleh adanya oksigen dan reaksi yang dapat diinisasi oleh pemanasan, cahaya, dan paparan logam yang menghasilkan radikal bebas organic. Radikal ini menyebarkan reaksi oksidasi yang berlangsung hingga inhibitor menghancurkan radikal atau sampai terbentuknya reaksi samping yang memutuskan rantai. Sensitivitas masing-masing entisitas obat baru terhadap oksigen atmosfir harus dievaluasi untuk mententukan apakah produk akhir perlu dikemas dalam kondisi kedap udara dan jika harus mengandung antioksidan (Niazi, Sarfaraz, 2006).

Obat mungkin akan terdegradasi menjadi substansi toksik. Oleh karenanya

penting untuk mengetahui tidak hanya berapa banyak obat tersebut berkurang tapi juga apa yang menyebabkannya terdegradasi. Beberapa kasus, zat pendegradasi

mungkin berupa zat toksik. Contohnya obat pralidoxine yang terdegradasi melalui dua jalur pH. Di kondisi pH basa, produk toksik cyanid terbentuk, pada obat lain, Contohnya zat pendegradasi dari tetrasiklin adalah epianhydrotetrasiklin diketahui dapat menyebabkan sindrom fanconi. Terkadang, hasil reaksi intermediet yang terbentuk diketahui atau dicurigai memiliki efek toksik. Contohnya adalah penisilin pada pH asam akan berubah menjadi asam penicilenik yang dicurigai berkontribusi dalam efek alergi terhadap penisilin. (Yoshioka, Sumie and Stella, Valentino J, 2000)

(22)

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.4 Tablet Salut

Tablet salut merupakan tablet yang ditutupi dengan satu atau lebih lapisan dari campuran zat seperti gula, polimer, dan bahan- bahan lain yang terkadang juga aktif. Tablet dilapisi kerena berbagai alasan. Beberapa alasannya seperti melindungi zat aktif dari udara, kelembaban, cahaya, bau, rasa atau bahan- bahan yang dapat merusak zat aktif. (WH0, 2006)

Tablet salut dibagi menjadi (International Pharmacopoeia,2006) : a. Tablet salut gula

Tablet yang dilapisi oleh gula untuk memperbaiki/ menutup rasa dari zat aktif.

b. Tablet salut film

Tablet yang disalut dengan lapisan tipis resin, polimer dan atau platicizer yang mampu membentuk film yang bertujuan untuk memperbaiki sifat

fisika kimia zat aktif. c. Tablet modified release

Tablet yang disalut oleh matriks yang mengandung bahan pengisi yang dibuat secara terpisah atau bersama dengan zat aktif yang berguna untuk memodifikasi laju pelepasan obat dalam tubuh.

2.5 Spironolakton

o Bentuk sediaan : Letonal tablet 100 mg

o Nama IUPAC : 7α-acetylthio-3-oxo-17α-pregn-4-ene-21,17-carbolactone o Berat molekul : 416.57

o Struktur kimia : C24H32O4S

Gambar 2.3. Struktur Spironolakton

(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta o Fisikokimia :

 Pemerian : hablur krem muda hingga coklat muda, bau lemah seperti

merkaptan dan stabil di udara.

 Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam benzene

dan kloroform, larut dalam etil asetat dan alkohol, sukar larut dalam minyak lemah.

o Stabilitas :

Spironolakton tersedia secara komersial dalam beberapa kekuatan tablet untuk pemberian oral untuk orang dewasa dan anak-anak. Namun, ada kalanya digunakan untuk mengobati pasien lansia atau koma yang memerlukan persiapan dan penggunaan suspensi oral. The United States Pharmacopeia (USP) telah menetapkan beyond use dating (BUD) untuk sediaan oral dan topikal dalam berbagai kegunaan. Tujuan BUD adalah untuk memastikan pasien menyadari manfaat terapeutik produk suspensi oral yang disiapkan. Studi telah dilakukan untuk menentukan stabilitas spironolakton ketika disiapkan dalam suspensi di masa lalu.

Satu studi yang dilakukan oleh Nahata et al mengemukakan stabilitas suspensi spironolakton selama setidaknya 90 hari ketika suspensi disimpan di bawah pendinginan dan pada suhu kamar. Sebuah studi serupa yang dilakukan oleh Mathur et al meneliti tiga konsentrasi suspensi spironolakton (2,5, 5, dan 10 mg mL -1) pada tiga suhu yang berbeda (5°C, suhu kamar lingkungan, dan 30°C) untuk jangka waktu empat minggu. Hasil ini menunjukkan bahwa suspensi yang

stabil untuk masa studi empat minggu. Sebuah studi oleh Allen dan Erickson (1996) mengevaluasi 25 mg mL -1 suspensi spironolakton disimpan pada suhu 5 ° C dan 25 ° C selama periode enam puluh hari dan menemukan stabilitas kimia spironolakton dapat diterima sesuai standar USP. (Basusarkar et al, 2013)

(24)

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.4. Struktur Lakton

(Sumber: Banker, Gilbert S and C T Rhodes, 2002s 4th Ed)

Spironolakton umumnya dibuat dalam bentuk tablet salut film dengan kekuatan dosis 25, 50 dan 100 mg tidak dalam bentuk larutan ataupun suspensi. Spironolakton praktis tidak larut dalam air dan larut dalam alkohol. Sedikit larut dalam kondisi basa dengan stabilitas maksimum pada pH 4.5. Sediaan larutan oral yang dibuat dengan spironolakton stabil setidaknya selama 30 hari dan biasanya memiliki nilai pH akhir 3.5 – 6.5. (Mahmoud, Ismail M et al, 2014)

Dekomposisi spironolakton terhadap pengaruh pH menunjukkan bahwa

nilai pH optimum stabilitas untuk spironolakton adalah 4.5 pada suhu 40oC. sedangkan pengaruh kekuatan ionik dari dapar tidak memengaruhi secara konstan

dekomposisi dari spironolakton.Sehingga dapat diasumsikan bawha spironolakton yang tidak terionisasi bereaksi dengan ion H+ dan OH- Pada penelitian ini diteliti nilai dekomposisi spironolakton terhadap pengaruh pH menurut orde satu. Pada pH 4.5 efek pH menunjukkan nilai dekomposisi minimum dengan nilai K 0.00095. sedangkan pada suasana asam pH 2.3 nilai K adalah 0.0079. pada pH 7.3 nilai K yang diperoleh adalah 0.025 dan pada ph 8.3 nilai K= 0.126. (Pramar,et al, 1991)

Pembentukan metabolit dari spironolakton menjadi canrennone juga telah dilakukan dengan menggunakan reaksi kimia menggunakan medium air pada pH 13 melalui mekanisme deasetilasi. Pada tahap pertama terjadi hidrolisis cepat pada

pH 13, spironolakton berubah menjadi metabolitnya yaitu 7α-thiol. Tahap kedua adalah eliminasi H2S secara perlahan dan membentuk canrenone. (W. Sadée, et al, 1974)

o Indikasi :

(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mineralokortikoid adalah protein intraseluler yang dapat mengikat aldosteron. spironolakton mengikat reseptor dan kompetitif menghambat aldosteron mengikat reseptor. ketidakmampuan aldosteron untuk mengikat reseptor mencegah reabsorpsi natrium dan klorida ion dan air yang terkait. situs yang paling penting dari reseptor ini adalah pada akhir distal rumit tubulus dan mengumpulkan sistem. (Bernal et al, 2014; Lemke, Thomas L et al)

Spironolakton menghambat efek aldosteron dengan bersaing menuju reseptor aldosteron intraseluler dalam sel tubulus distal (benar-benar bekerja pada reseptor aldosteron di saluran pengumpul). Hal ini meningkatkan ekskresi air dan natrium, sekaligus mengurangi ekskresi kalium. Spironolakton memiliki onset cukup lambat. Spironolakton memiliki aktivitas anti-androgen dengan cara mengikat reseptor androgen dan mencegah dari berinteraksi dengan dihidrotestosteron. (Kher et al, 2013)

Pada pemberian oral, sekitar 90% dari dosis spironolakton diserap dan dimetabolisme secara signifikan selama first pass metabolism oleh hati akan

membentuk metabolit aktif, yaitu canrenone. Canrenone merupakan antagonis aldosteron. Anion canrenoate tidak aktif sebagai antagonis aldosteron berbeda dengan canrenone, yang ada dalam bentuk lakton. canrenone telah diusulkan untuk menjadi bentuk aktif dari spironolakton sebagai antagonis aldosteron. pembentukan canrenone, bagaimanapun, tidak bisa sepenuhnya menjelaskan aktivitas total spironolakton. Baik canrenone dan kalium canrenoate digunakan sebagai diuretik di negara lain, namun belum tersedia di AS. (Lemke, Thomas L et al)

Pengujian kadar dengan KCKT menurut USP :

 Fase gerak : Campuran methanol : air (60:40)

 Larutan standar : dilarutkan dengan asetonitril:air (50:50) secara

kuantitatif hingga didapat 0,5 mg/ml

 Detektor : 250 nm

 Laju alir : 1 ml/ menit

 Tailing factor : Tidak lebih dari 20

(26)

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.6 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang antara lain; farmasi, lingkungan dan industri-industri makanan. Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian (impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap (non volatil).

KCKT paling sering digunakan untuk: menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan protein- protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa -senyawa aktif obat dan lain-lain. Kelebihan KCKT antara lain:

 Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran

 Resolusinya baik

 Mudah melaksanakannya

 Kecepatan analisis dan kepekaannya tinggi

 Dapat dihindari terjadinya dekomposisi/kerusakan bahan yang

dianalisis

 Dapat digunakan bermacam-macam detector

 Kolom dapat digunakan kembali

 Mudah melakukan rekoveri cuplikan

 Tekniknya tidak begitu tergantung pada keahlian operator dan reprodusibilitasnya lebih baik

 Instrumennya memungkinan untuk bekerja secara otomatis dan

kuantitatif

 Waktu analisis umumnya singkat

 Kromatografi cair preparatif memungkinkan dalam skala besar

 Ideal untuk molekul besar dan ion.

(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Cara Kerja KCKT

Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel. (Rohman, 2007)

B. Komponen KCKT

Gambar 2.5. Instrumen KCKT

a. Wadah Fase Gerak

Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah pelarut kosong ataupun labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak. Wadah ini biasanya dapat meampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut. Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan degassing (penghilangan gas) yang ada pada fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul dengan komponen lain terutama dipompa dan detektor sehingga akan mengacaukan analisis. (Rohman, 2007)

b. Pompa

Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni : pompa harus

inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, teflon, dan batu nilam. Pompa yang digunakan

(28)

16

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 ml/menit. Untuk tujuan preparatif, pompa yang digunakan harus mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan 20 mL/ menit. (Rohman, 2007)

c. Injektor

Ada 3 jenis injektor, yakni syringe injector, loop valve dan automatic injector (autosampler). Syringe injector merupakan bentuk injektor yang paling sederhana. Pada waktu sampel diinjeksikan ke dalam kolom, diharapkan agar aliran pelarut tidak mengganggu masuknya keseluruhan sampel ke dalam kolom. Sampel dapat langsung diinjeksikan ke dalam kolom (on column injection) atau digunakan katup injeksi. (Adnan, 1997; Meyer, 2004)

d. Kolom

Kolom merupakan jantung kromatografi. Keberhasilan atau kegagalan

analisis bergantung pada pemilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok :

 Kolom analitik : garis tengah dalam 2 – 6 nm. Panjang bergantung

pada jenis kemasan,untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50

– 100 cm. Untuk kemasan mikropartikel berpori, biasanya 10 – 30cm;

 Kolom preparatif : umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar

dan panjang kolom 25 – 100 cm. Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan biasanya dioperasikan pada temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi, terutama untuk

kromatografi penukar ion dan kromatografi eksklusi. Kemasan kolom tergantung pada mode KCKT yang digunakan. (Johnson, 1991)

e. Detektor

(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

f. Fase Gerak

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel Dalam kromatografi cair komposisi pelarut atau fase gerak adalah satu variabel yang mempengaruhi pemisahan.(Johnson, 1991).

Gelembung udara (degassing) yang ada harus dihilangkan dari pelarut, karena udara yang terlarut keluar melewati detektor dapat menghasilkan banyak noise sehingga data tidak dapat digunakan (Johnson, 1991). C. Validasi

Validasi adalah suatu tindakan terhadap parameter tertentu pada prosedur penetapan yang dipakai untuk membuktikan bahwa parameter tersebut

memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Parameter analisis yang ditentukan pada uji kesesuaian system adalah akurasi, presisi, batas

deteksi, batas kuantitasi, spesifikasi, linieritas dan rentang, kekasaran (Ruggedness) dan ketahanan (Robutness). (WHO, 1992)

a. Presisi

Merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya diekspresikan sebagai relatif standar deviasi (RSD) dari sejumlah sampel yang berbeda secara signifikan secara statistik.

b. Batas deteksi (limit of detection, LOD)

Didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat terdeteksi.

c. Batas kuantitasi (limit of quantitation, LOQ)

Didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan.

d. Linieritas

(30)

18 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

 Tempat Penelitian :

Penelitian dilakukan di laboratorium Pharmacy Natural Analysis Kampus FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 Waktu Penelitian :

Waktu Penelitian yaitu sekitar bulan November 2014 – April 2015

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang diperlukan meliputi KCKT (Dionex Ultimate 3000) yang terdiri

dari pompa, autosampler, kolom, detector DAD (Diode Array Detector) dan program komputer PC (Chromaleon) sebagai instrumental uji utama. Spektrofotometer Uv-Visible (Hitachi u-2910), Ultrasonikator (Branson 5510), pH Meter (Horiba), dan magnetic Stirer. Neraca digital, mikropipet, syringe filter, peralatan gelas dan spuit.

Bahan yang diperlukan meliputi bahan Uji utama yaitu tablet spironolakton dengan merek letonal (mengandung Spironolakton 25 mg). spironolakton standar (Sigma-Aldirch) Aquabidest (Wida) Dan metanol Grade KCKT (Merck) Untuk pengujian pH menggunakan larutan dapar yang dibuat dari KH2PO4 dan K2HPO4.

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1. Pembuatan Fase Gerak

Fase gerak digunakan dari campuran methanol : Air 60: 40 yang merupakan fase gerak untuk pengujian spironolakton menurut USP. Pembuatan fase gerak ini adalah dengan cara mencampurkan methanol

Grade KCKT dan Aquabidest dengan perbandingan 60:40 secara kuantitatif. Kemudian disaring dan dilakukan proses penghilangan

gelembung dengan cara sonikasi. 3.3.2. Preparasi Standar

(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3.3. Optimasi dan Validasi

Optimasi dan validasi yang dilakukan yaitu meliputi penentuan panjang gelombang maksimum, uji presisi, akurasi, LOD, LOQ dan kurva

kalibrasi larutan standar.

A. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Penentuan panjang gelombang maksimum untuk spironolakton menggunakan spetrofotometer UV-Vis. Pengujian ini dengan mengencerkan larutan induk standar hingga konsentrasi 10 ppm. Larutan tersebut kemudian diuji serapannya dengan rentang panjang gelombang 200- 400 nm. dan dicatat nilai serapan dan panjang gelombang maksimumnya.

B. Uji Kesesuaian Sistem

Optimasi alat dilakukan sesuai dengan Farmakope Indonesia yatu dengan menggunakan 1 konsentrasi larutan standar yang diencerkan hingga diperoleh konsentrasi 100 ppm yang diinjeksikan sebanyak 6 kali yang dideteksi dengan menggunakan panjang gelombang maksimum.

C. Pembuatan kurva kalibrasi

Kurva kalibrasi spironolakton dibuat dengan menggunakan rentang konsentrasi spironolakton 25, 50, 75, 100, 125 dan 150 ppm yang dibuat

dengan cara mengencerkan larutan standar. Masing-masing konsentrasi diinjeksikan sebanyak 50µl duplo dengan pengujian menggunakan

panjang gelombang maksimum. Dan akan didapatkan nilai absorbansi dan dibuat dalam bentuk kurva yang linear. Serta dapat dihitung nilai LOD dan LOQ.

D. Uji Akurasi

(32)

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dengan menggunakan panjang gelombang maksimum dan dibandingkan

hasil pembacaan nilai konsentrasi oleh KCKT dengan nilai konsentrasi yang dibuat. Pada pengujian ini akan didapatkan nilai persentase perolehan

kembali (recovery) dengan range 95%-105%, dan persentase differensiasi. E. Uji Presisi

Uji presisi dilakukan dengan menginjeksikan larutan standar yang dibuat hingga diperoleh konsentrasi 120, 100 dan 80 ppm sebanyak 3 kali. Pengujian ini dilakukan secara intraday dalam saat 0 jam, 9 jam dan 24 jam. Dan pengujian interday yaitu hari pertama (0 jam) dan hari kedua (48 jam). Lalu dihitung nilai SD dan Persentase RSD dengan batasan nilai

RSD ≤ 2.

3.3.4. Preparasi dan Pengujian Sampel

a. Pembuatan Dapar (Europe Pharmacopeia)

1. Dapar pH 3 dibuat dengan KH2PO4 0,34 gr yang dilarutkan ke dalam 40 ml aquabiset. Kemudian di cek dengan pH meter, kemudian diadjust dengan menggunakan asam ortofosfat hingga ph 3. Kemudian dicukupkan dengan aquabidest hingga 50 ml.

2. Dapar pH 9 dibuat dengan K2HPO4 0,34 gr yang dilarutkan ke dalam 40 ml aquabiset. Kemudian di cek dengan pH meter, kemudian

diadjust dengan menggunakan NaOH hingga ph 9. Kemudian dicukupkan dengan aquabidest hingga 50 ml.

b. Penyiapan Sampel

(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Pengujian Sampel

Cuplikan yang telah diambil diencerkan dengan metanol dan diajust dengan dapar fosfat untuk menyamakan pH sampel dengan pH optimum

(34)

34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Persen kadar spironolakton dalam rentang waktu 0-60 menit pada pH 3

adalah 19%, 21%, 22%,27%,dan 40%. Pada pH 5 100%,88%,85%,74% dan

91%. Pada pH 7 61%,46%,38%,27%,dan 35%. Pada pH 9

54%,50%,41%,38%, dan 38%.

2. Kadar spironolakton pada pH 3, 7, dan 9 pada semua menit sudah tidak

dapat memenuhi syarat sesuai ketentuan kadar spironolakton dalam sediaan.

Sedangkan pada pH 5 pada menit ke-0 saja yang masih memenuhi syarat.

3. Dengan perubahan suasana pH semakin jauh dari pH optimum yaitu 4.5

baik asam maupun basa, semakin besar penurunan persentase kadar

spironolakton dalam sediaan suspensi sederhana.

5.2. Saran

1. Diperlukan pengujian dengan fase gerak yang berbeda agar dapat

memisahkan peak kromatogram yang berdempetan dengan peak

kromatogram sampel

2. Diperlukan pengujian mengenai hasil samping dari degradasi

(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M, 1997, Teknik Kromatografi untuk Analisis Makanan, Penerbit Andi Alim, Yogyakarta

Anonim, World Health Organizations, 1992

Anonim. Europe Pharmacopeia

Ansel H.C, 1994., Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, ed 4, Penerjemah Farida Ibrahim, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 155-164

Attwood D dam Florence, 2011, Physicochemical Principles of Pharmacy Ed.5, Chapman and Hall Inc

Banker, Gilbert S and C T Rhodes, 2002, Modern Pharmaceutics: Fourth Edition, Revised, and Expanded, Marcel Dekker, Inc, New York

Basusarkar, Arindam et al,2013, Chemical Stability of Compounded Spironolactone Suspension in Proprietary Oral Mix Over a 90-day Period at Two Controlled Temperatures in Different Storage Containers, Int. J. Pharm. Sci. Rev. Res., 23(1), Nov-Dec 2013, ISSN 0976044X

Bernal, Nora Provenza et al, 2014, Development, Physical-Chemical Stability, and Release Studies of Four Alcohol-Free Spironolactone Suspensions for Use in Pediatrics, dx.doi.org/10.14227/DT210114P19

Connor K.A, Amidan, Kennon L, 1994., Chemical Stability of Pharmaceuticals, John Willey and Sons, New York, 8-17

David B. Troy,Paul Beringer, 2006, Remington's Pharmaceutical Sciences, 21th ed, Lippincott Williams & Wilkins,

Departemen Kesehatan, 1995., Farmakope Indonesia, edisi IV, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta

Haywood, Alison and Beverley, Glass, 2013, Liquid Dosage Forms Extemporaneously Prepared from Commercially Available Products- Considering New Evidence on Stability, J Pharm Sci 441- 455

Johnson, E L dan Stevenson, 1991, DASAR KROMATOGRAFI CAIR, Penerjemah: Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB

(36)

35

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig, J. L., 2007, Teori dan Praktek Farmasi Industri,

Edisi ketiga, diterjemahkan oleh: Suyatmi, S., Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 760-779, 1514 – 1587

Lee, David C, M L Webb, 2009, Pharmaceutical Analysis, Wiley

Lemke, Thomas L et al, Foye’s Principles of Medical Chemistry Sixth Edition, Wolters

Kluwer Health Lippincott Williams & Wilkins

Mahmoud, Ismail M et al, 2014, Extemporaneous Preparations of Pediatric Oral Formulations: Stability Studies Conducted In Spironolactone Suspensions, Powders and Capsules in Saudi Hospital Pharmacies, Journal of Global Trends in Pharmaceutical Sciences Vol. 5 Issue-2, ISSN: 2230-7346

Meyer. V R, 2004, Practical High-Performance Liquid Chromatography, Chichester: John Wiley and Sons Inc

Min Li, 2012, Organic Chemistry of Drug Degradation, The Royal Society of Chemistry, Cambridge

Munson J W, 2000, Analisa Farmasi Metode Modern, The Upjohn Company Kalamazoo, Michigan

Niazi, Sarfaraz, 2006, Handbook of Preformulation: Chemical, Biological, and Botanical Drugs, Informa Healthcare USA Inc, New York

Pramar, Yasoda and V, D. Gupta, 1990, Preformulation Studies of Spironolactone : Effect of pH, Two Buffer Species, Ionic Strength, and Temperature on Stability, Departemen of Pharmaceutics, University of Houston, TX 77030

Rohman, Abdul, 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogjakarta

The United States pharmacopoeia, 1990, 22nd., United States Pharmacopoeia Convention, Twin Brook Parkway, Rockville, 1226-1228, 1703

W. Sadee,U.Abshagen, C. Finn, and N. Rietbrock, 1974, Conversion of Spironolactone to Canrenone and Disposition Kinetics of Spironolactone and Canrenoate-Potassium in Rats, Naunyn-Schmiedeberg’s Arch. Pharmacol. 283, 303-318

(37)
(38)

37

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 1. Alur Kerja

Optimasi HPLC

didiamkan dalam rentang waktu yang dibedakan yaitu 0 menit, 15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60 menit dan

disonikasi selama 1 menit pada setiap rentang waktu.

Analisa degradasi kadar

dengan KCKT

(39)
(40)

39

(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 4. Perhitungan Persiapan Kurva Kalibrasi

Massa Spironolakton standar : 50 mg

Dilarutkan dalam 50 ml methanol

= 1000µg/ml~ 1000 ppm

Diencerkan dalam labu ukur 5 ml

Seri Konsentrasi 25, 50, 75, 100, 125, 150 ppm

 Pembuatan larutan konsentrasi 25 ppm

M1V1 = M2V2

1000V1 = 25.5

V1 = 0,125ml ~ 125µl

 Pembuatan larutan konsentrasi 50 ppm

M1V1 = M2V2

1000V1 = 50.5

V1 = 0,25ml ~ 250µl

 Pembuatan larutan konsentrasi 75 ppm

M1V1 = M2V2

1000V1 = 75.5

V1 = 0,375ml ~ 375µl

 Pembuatan larutan konsentrasi 100 ppm

M1V1 = M2V2

1000V1 = 100.5

(42)

41

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  Pembuatan larutan konsentrasi 125 ppm

M1V1 = M2V2

1000V1 = 125.5

V1 = 0,625ml ~ 625µl

 Pembuatan larutan konsentrasi 150 ppm

M1V1 = M2V2

1000V1 = 150.5

(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 5. Kromatogram Larutan Standar dan Tablet

Kromatogram Larutan Standar

(44)

43

(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 7. Kurva Dan Tabel Kalibrasi

(46)

45

(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 9. Hasil Uji Kesesuaian Sistem

Parameter Syarat Hasil Rata-rata Keterangan

RSD Peak Waktu retensi <2

0.039

Theoritical plates (USP) ≥2500

(48)

47

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 10. Hasil Uji Akurasi

konsentrasi

rata-rata 138.0616 145.3655 -5.0245 94.9755

No x A B %diff %recovery

rata-rata 187.68568 181.0775 3.6494 103.6494

No x A B %diff %recovery

(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 11. Hasil Uji Presisi

Kons Jam ke- Hasil

142.71406 2.3223 1.6391

48

141.31874 2.0611 1.4659

100

189.32746 1.1378 0.6029

24

(50)

49

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 120

217.89378 1.3285 0.6086

(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 12. Perhitungan Preparasi Sampel dan Perhitungan Luas Area secara Manual

Berat total sampel : 25 mg Spironolakton

Volume Suspensi : 50 ml aquadest

= 500µg/ml~ 500 ppm

Pengenceran 100 ppm, konsentrasi yang diinjekkan ke dalam KCKT

Diambil cuplikan 300 µl dan dicukupkan dengan methanol-dapar hingga 1500 µl

M1V1 = M2V2

500V1 = 100.1500

V1 = 300 µl

Rumus perhitungan Luas Area (mAu) secara manual

x

= mAu

Rumus Perhitungan Konsentrasi Akhir Spironolakton

y = 1.7856x + 2.5175

diketahui :

y = Luas Area

x = Konsentrasi Spironolakton

Rumus Perhitungan Persentase Kadar

(52)

51

(53)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 14. Hasil dan Kurva pH 3

Waktu Area / SD

Konsentrasi

Awal (ppm)

Konsentrasi

Akhir (ppm)

Persen Kadar (%)

0 36.30697 / 2.76 100 18.92331 19

15 40.24055 / 2.04 100 21.12626 21

30 42.4618 / 2.32 100 22.37024 22

45 50.07035 / 0.033 100 26.6313 27

60 73.4604 / 1.81 100 39.73057 40

(54)

53

(55)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 16. Hasil dan Kurva pH 5

Waktu Area / SD

Konsentrasi

Awal (ppm)

Konsentrasi Akhir

(ppm)

Persen Kadar

(%)

0 181.6558 / 3.23 100 100.3284 100

15 159.02 / 2.22 100 87.647 88

30 154.596 / 2.49 100 85.16941 85

45 135.2707 / 0.90 100 74.34653 74

60 164.145 / 0.58 100 90.51719 91

(56)

55

(57)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 19. Hasil dan Kurva pH 7

Waktu Area / SD

Konsentrasi

Awal (ppm)

Konsentrasi Akhir

(ppm)

Persen Kadar

(%)

0 110.9063 / 4.46 100 60.70258 61

15 83.81825 / 2.02 100 45.53133 46

30 115.9023 / 0.62 100 38.46485 38

45 202.6765 / 0.17 100 26.96664 27

60 262.6525 / 1.17 100 35.36381 35

(58)

57

(59)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 20. Hasil dan Kurva pH 9

Waktu Area / SD

Konsentrasi

Awal (ppm)

Konsentrasi

Akhir (ppm)

Persen Kadar

(%)

0 98.4725 / 1.12 100 53.73824 54

15 90.92292 / 0.21 100 49.5102 50

30 76.1625 / 0.22 100 41.24384 41

45 70.68675 / 1.11 100 38.17722 38

60 70.305 / 1.28 100 37.96343 38

(60)

59

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0.0000 20.0000 40.0000 60.0000 80.0000 100.0000 120.0000

0 10 20 30 40 50 60 70

kon

sent

ra

si

Waktu

ph 3

ph 5

ph 7

ph 9

(61)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 22. Hasil Uji Statistik ANOVA, Normalitas dan Homogenitas

Tabel Analisa Statistik Uji Normalitas

PH

Tabel Analisa Statistik Uji Homogenitas

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.455 3 16 .717

Tabel Uji Statistik ANOVA

Between Groups 10548.462 3 3516.154 38.172 .000 Within Groups 1473.812 16 92.113

Total 12022.273 19

Tabel Uji Statistik LSD

(I) PH (J) PH

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

PH 3 PH 5 -6.184537000E1* 6.070032161

E0 .000 -7.47132633E1 -4.89774767E1

PH 7

-1.564950600E1* 6.070032161

E0 .020 -2.85173993E1 -2.78161265

PH 9

-1.837025000E1* 6.070032161E0 .008 -3.12381433E1 -5.50235665

PH 5 PH 3 6.184537000E1* 6.070032161

E0 .000 48.97747665 74.71326335 PH 7

4.619586400E1* 6.070032161E0 .000 33.32797065 59.06375735

PH 9

4.347512000E1* 6.070032161E0 .000 30.60722665 56.34301335

PH 7 PH 3

1.564950600E1* 6.070032161E0 .020 2.78161265 28.51739935

PH 5

-4.619586400E1* 6.070032161

E0 .000 -5.90637573E1 -3.33279707E1 PH 9

-2.720744000 6.070032161E0 .660 -1.55886373E1 10.14714935

PH 9 PH 3

1.837025000E1* 6.070032161

E0 .008 5.50235665 31.23814335 PH 5

-4.347512000E1* 6.070032161

E0 .000 -5.63430133E1 -3.06072267E1 PH 7

2.720744000 6.070032161

Gambar

Gambar 2.1. Contoh hidrolisis dengan katalis asam .....................................................
Tabel 4.1. Uji kesesuaian Sistem  .................................................................................
Gambar 2.2. Contoh hidrolisis dengan katalis basa
Gambar 2.3. Struktur Spironolakton
+4

Referensi

Dokumen terkait

Adapun judul dari karya ilmiah yang saya susun adalah : “Penentuan Kadar Epinefrin Dalam Sediaan Injeksi Obat Pemacu Kerja Jantung Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja

Pengujian ini bertujuan untuk menetapkan keseragaman kandungan digoksin dalam sediaan tablet menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan kolom, fase gerak, laju

Pengujian ini bertujuan untuk menetapkan kadar sulfametoksazol dan trimetoprim dalam sediaan suspensi menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan kolom, fase

KESERAGAMAN KANDUNGAN DIGOKSIN DALAM SEDIAAN TABLET DENGAN METODE KROMATOGRAFI.. CAIR KINERJA

Analisis Farmasi : Buku Ajar Untuk Mahasiswa Farmasi dan Praktisi Kimia Farmasi.. Yogyakarta: Penerbit

Sebaliknya kecepatan obat yang kelarutannya kecil akan dibatasi karena kecepatan disolusi dari obat tidak larut atau disentegrasi sediaan relatif pengaruhnya kecil terhadap

Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya.. dibuata dengan penambahan bahan tambahan farmasetika

Pada pembuatan obat, khususnya pada pembuatan tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot dan keseragaman kandungan seperti yang tertera pada keseragaman sediaan, jika zat