• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perancangan Media Film Dokudrama Tokoh Raden Werkudara Dalam Lakon Bima Suci Sebagai Media Studi Karakter Visual Wayang Kulit Gagrak Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perancangan Media Film Dokudrama Tokoh Raden Werkudara Dalam Lakon Bima Suci Sebagai Media Studi Karakter Visual Wayang Kulit Gagrak Surakarta"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Pengantar Proyek Tugas Akhir

PERANCANGAN MEDIA FILM DOKUDRAMA TOKOH

RADEN WERKUDARA DALAM LAKON BIMA SUCI

SEBAGAI MEDIA STUDI KARAKTER VISUAL

WAYANG KULIT GAGRAK SURAKARTA

DK 38315/Tugas Akhir Semester II 2010/2011

Oleh :

Afrina Rahmaniar 51907051

Program Studi

Desain Komunikasi Visual

FAKULTAS DESAIN

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah Swt atas

limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan

pengantar tugas akhir ini dengan judul PERANCANGAN MEDIA FILM

DOKUDRAMA TOKOH RADEN WERKUDARA DALAM LAKON BIMA SUCI SEBAGAI MEDIA STUDI KARAKTER VISUAL WAYANG KULIT

GAGRAK SURAKARTA.

Laporan ini di buat dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan dalam

menyelesaikan Program Strata I Desain Komunikasi Visual. Dalam penulisan

laporan pengantar tugas akhir, tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah

memberikan dukungan moril dan materil sehingga penulis dapat

menyelesaikan laporan ini tepat waktu.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

banyak membantu yang tidak dapat di sebutkan satu persatu. Tanpa

bantuan dan dukungan berbagai pihak penulis tidak dapat menyelesaikan

laporan ini dengan tepat waktu. Laporan ini belum dapat di katakan

sempurna, oleh karena itu penulis senantiasa mengharapkan saran dari

semua pihak guna untuk melakukan perbaikan di masa mendatang.

Bandung, 8 Agustus 2011

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Beragam kebudayaan yang ada didunia ini menjadikan

munculnya sebuah kesenian yang di buat oleh manusia, seperti

bangsa Indonesia yang merupakan salah satu peradaban yang

berkembang dengan berbagai macam kebudayaan yang menjadi jati

diri bangsa Indonesia seperti halnya kesenian. Seluruh

bangsa-bangsa yang ada didunia mengetahui bahwa Indonesia memiliki

banyak karya seni yang memiliki nilai sejarah dan filosofi, salah

satunya adalah wayang kulit yang memiliki nilai seni dan filosofi yang

tinggi.

Wayang kulit merupakan kesenian yang meliputi seni pahat,

seni lukis, seni perlambang, seni sastra, seni tutur, seni musik, seni

suara. Dalam dunia pewayangan, pada umumnya penonton atau

pembaca cerita pewayangan mengetahui karakter tokoh-tokoh

pewayangan dari cerita yang di tulis atau jalan ceritanya. Dan pada

umumnya penonton atau pembaca cerita kurang memahami setiap

filosofi dan karakter yang terkandung dalam cerita maupun pada

tokoh-tokoh yang ada pada cerita atau lakon dari wayang kulit.

Terdapat sisi lain untuk mengetahui karakter dan sifat dari tokoh-tokoh

(4)

gambarkan menjadi sebuah bentuk-bentuk anggota tubuh, dari ujung

rambut hingga ujung kaki wayang kulit. Dan dalam setiap sebuah

lakon wayang kulit juga memiliki filosofi, jika di jabarkan lebih dalam sehingga setiap lakon dalam wayang kulit memiliki makna dan

manfaat yang lebih bagi penonton, pembaca, pengrajin wayang kulit

dan seorang dalang.

Wayang kulit memiliki berbagai ragam berdasarkan setiap

daerah asalnya, seperti wayang kulit gagrak Surakarta, gagrak

Cirebon, gagrak Yogyakarta, Gagrak Jawa Timur, dan lainnya. Tidak

hanya itu, wayang kulit juga memiliki klasifikasi dalam

menggambarkan kondisi spiritual dari tokoh-tokohnya tersebut yang di

sebut dengan istilah wanda untuk mendukung situasi yang di

gambarkan oleh seorang dalang. Hal ini tidak mudah untuk di ketahui

oleh masyarakat yang sedang menonton wayang kulit.

Tokoh Raden Werkudara merupakan tokoh yang penuh dengan

filosofi karena dalam penggambaran sosok Werkudara ini menyimpan

berbagai simbol kehidupan. Werkudara juga merupakan tokoh yang di

anggap mistis oleh orang Jawa. Dalam penggambaran tokoh

Werkudara ini ada berbagai macam bentuk menurut daerahnya

karena setiap daerah memiliki wujud sendiri dalam menggambarkan

tokoh Werkudara ini begitu juga dengan wandanya yang

menggunakan wanda-wanda tertentu menurut kebutuhan dalang

(5)

Wayang kulit dan lakon yang ada tidak lepas dari sebuah

fenomena yang muncul, seperti perbedaan bagaimana menyampaikan

sebuah lakon dalam sebuah pagelaran wayang kulit dan beragam versi cerita yang di bawakan oleh seorang dalang. Kajian karakter

visual wayang kulit gagrak Surakarta dengan kasus studi tokoh,

merupakan penjabaran karakter tokoh Werkudara dalam lakon

Begawan Bima Suci, meliputi penjabaran cerita dan filosofinya.

1.2 Identifikasi Masalah

Permasalahan yang dapat di identifikasi secara deskriptif

tentang karakter wayang kulit gagrak Surakarta secara fisik dalam

studi tokoh-tokoh pada lakon Begawan Bima Suci antara lain :

a. Terbatasnya keterangan tentang pemahaman karakter, sifat,

dan status sosial dari tokoh-tokoh pewayangan dari bentuk

fisiknya.

b. Pemahaman simbol-simbol falsafah hidup melalui karakter fisik

wayang kulit maupun dari filosofi yang terkandung dalam lakon

Begawan Bima Suci tidak selalu mudah.

c. Lakon Begawan Bima Suci sebagai cerita memiliki makna yang

penting untuk kehidupan, khususnya orang Jawa sebagai

pendidikan moral dan perilaku manusia.

d. Tokoh Raden Werkudara dianggap sebagai tokoh yang penuh

(6)

e. Untuk memberikan pemahaman tentang filosofi yang ada pada

tokoh Raden Werkudara dalam lakon Begawan Bima Suci.

f. Perlu penjabaran isi dari lakon Begawan Bima Suci agar masyarakat lebih dapat memahami makna, dan filosofinya.

g. Karakter visual wayang kulit hanya dapat di pahami oleh orang

tertentu.

1.3 Fokus Permasalahan

Fokus permasalahan yang ada pada wayang kulit gagrak

Surakarta pada tokoh Raden Werkudara dalam lakon Begawan Bima Suci adalah bahwa karakter dari tokoh wayang kulit gagrak Surakarta,

tidak semua kalangan masyarakat dapat memahami dan mengenali

karakter visual tokoh-tokoh dari wayang kulit, hanya kalangan tertentu

yang dapat memahami dan mengenali karakter visual dari tokoh-tokoh

wayang Kulit.

1.4 Tujuan Penelitian

Untuk memberikan penjelasan tentang simbol-simbol dan

filosofi yang terkandung dalam rupa dan karakter wayang kulit gagrak

Surakarta terutama pada tokoh Raden Werkudara dalam lakon

Begawan Bima Suci, agar masyarakat dapat mengetahui dan

memahami semua makna-makna yang terkandung dalam

(7)

perancangan ini adalah untuk membuat salah satu instrumen yang

dapat membantu masyarakat yang belum bisa memahami dan

(8)

BAB II

WAYANG KULIT GAGRAK SURAKARTA

2.1 Pengertian Wayang Kulit

Wayang adalah kesenian asli Indonesia (Jawa). Kesenian wayang

kulit meliputi seni pahat, seni lukis, seni sastra, seni tutur, seni

perlambang, seni musik, seni suara, dan juga seni peran. Masyarakat

Jawa Tengah menyebutkan bahwa ‘wayang’ juga dikenal dengan

sebutan ‘Ringgit’ yang diartikan sebagai ‘miring dianggit.’ Miring

karena wayang kulit bersikap miring yaitu kedua bahu tangannya tidak

seimbang, dengan posisi badan menghadap pada kita. Dianggit

artinya dicipta sehingga wayang dapat digerakkan seperti orang

berjalan (Marwoton Panenggak Widodo).

Wayang adalah wewayanganing urip (cerminan jiwa dan karakter hidup manusia), (Heru S Sudjarwo, Sumari, Undung Wiyono, 2010).

Kata “wayang” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “Wewayangan”, yang artinya bayangan atau bayang-bayang. Wayang kulit yang biasanya

yang disebut wayang purwa adalah gambar atau tiruan orang dan

sebagainya untuk pertunjukan suatu lakon, dan wayang kulit adalah

wayang yang dibuat dari kulit, sedangkan orang yang memainkannya

(9)

Wayang yang merupakan hasil karya 2 dimensi yang memiliki

sifat, karakter, watak yang dapat digerakkan yang terbuat dari kulit

kerbau dan tanduk kerbau sebagai gapitnya atau sebagai penggapit

untuk memegang wayang. Kulit ditatah dan di sungging sehingga

dapat dilihat pada bayangan yang seakan-akan kulit yang ditatah dan

disungging itu bergerak sendiri, dan merupakan simbol dan cermin

hidup manusia dan jagat raya. Wayang merupakan simbol kehidupan

yang dapat diartikan sebagai sebuah gambaran, dari watak-watak

manusia dan cerminan jiwa dari karakter kehidupan manusia didunia.

Wayang sama halnya seperti sebuah cermin, yang sebenarnya

merupakan gambaran dari diri orang sedang bercermin kepada

kehidupan yang dijalani, dan memantulkan watak dari diri orang yang

bercermin, yang sebenarnya dapat dilukiskan jelas pada karakter dari

visual wayang kulit maupun diri manusia, yang juga menggambarkan

sebuah perjalanan kehidupan dan siklusnya.

2.2 Sejarah Wayang Kulit

Keberadaan kesenian wayang kulit sudah berabad-abad sebelum

agama Hindu masuk ke pulau Jawa. Berawal dari tahun 1500 SM, dan

saat itu masyarakat menganut kepercayaan Animisme-Dinamisme.

Pada abad ke-4 masuklah agama Hindu dari India yang membawa

cerita-cerita Ramayana dan Mahabaratha yang dapat diterima oleh

(10)

disesuaikan kembali dengan falsafah hidup masyarakat Jawa.

Kemudian cerita-cerita tersebut dibuat menjadi ukiran pada dinding

relief yang ada pada candi Penataran, Prambanan dan

candi-candi Hindu lain yang ada di Jawa.

Di zaman kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Prabu

Jayabaya, mulai muncul bentuk wayang purwa yang menggambarkan

cerita dari serat Mahadarma. Sampai pada masa kerajaan Majapahit,

yang saat itu di perintah oleh Raja Bratama, muncul wayang beber

yang digambar pada kertas. Dan pada masa pemerintahan Prabu

Brawijaya, salah satu putranya yang bernama Sungging Prabangkoro

yang pandai menggambar diperintahkan oleh ayahnya untuk

melengkapi pakaian wayang beber.

Mulailah pada masuknya agama Islam bentuk wayang purwa

mengalami perubahan karena bentuk fisik dari wayang bertentangan

dengan ajaran Islam, maka Wali Songo memunculkan pemikiran untuk

merubah bentuk wayang purwa dengan disesuaikan kembali dengan

ajaran agama Islam.

2.3 Wanda Wayang Kulit

Wanda adalah ragam karakter dari figur wayang kulit, hanya

tokoh-tokoh tertentu yang dikembangkan kembali, untuk menampilkan

ekspresi dan suasana karakter tokoh wayang kulit dalam kondisi

(11)

(lakon). Wanda dapat diartikan sebagai gambaran pasemon raenan,

wanda punika gambaring wewatakaning manungsa ingkang boten nate pejah (Heru S Sudjarwo, Sumari, Undung Wiyono, 2010).

Wanda memiliki fungsi yang sangat penting dalam pagelaran

wayang kulit yaitu untuk memberikan kemudahan kepada dalang

untuk memberikan suasana beragam pada tokoh yang dimainkan

dalam cerita dan memberikan kondisi spiritual yang dapat di

ekspresikan pada penyampaian jalan cerita kepada penonton.

Pengembangan atau pembuatan wanda yang beragam

dilakukan dengan merubah detail-detail fisik dari perupaan wayang

kulit, dari segi warna, posisi bagian tubuh dan ragam hias yang di

gunakan tetapi masih pada pakemnya. Jadi kondisi spiritual pada wanda itu bersifat mengikuti tempo atau situasi pada jalan cerita yang

di mainkan. Dari sekian banyak tokoh wayang dalam satu kotak, tidak

semua memiliki wanda, hanya tokoh-tokoh tertentu yang memiliki

wanda, biasanya tokoh yang memiliki wanda itu yang sering

diceritakan dalam lakon dan tokoh-tokoh pewayangan yang di

istimewakan saja yang memiliki wanda. Dalam wayang gagrak

Surakarta, tokoh yang memiliki wanda terdapat kurang lebih 40 tokoh,

tapi hal itu terus berkembang sesuai dengan kreatifitas dari

seniman-seniman. Pada dasarnya wanda itu ada 3 macam, yaitu :

(12)

Digambarkan dengan wajah merunduk, dengan posisi tubuh

condong kedepan, wanda ini tampil saat adegan jejeran atau

pasewakan.

b. Wanda yang menggambarkan sikap tegap, siaga, dan aktif.

Di gambarkan dengan tubuh tegak , muka sedikit

menengadah dengan mata memandang lurus kedepan,

wanda ini tampil saat ada dalam perjalanan, pelawatan, yang

memerlukan kesiapan mental.

c. Wanda yang menggambarkan dalam kondisi emosional

tinggi yang meluap-luap, di gambarkan muka tokoh yang

sangat menengadah tinggi, dengan tubuh tegak sedikit

condong kebelakang, wanda ini tampil saat adegan perang

(Heru S Sudjarwo, Sumari, Undung Wiyono, 2010).

2.4 Tata Sungging Wayang Kulit

Warna sungging itu memiliki ragam yang berbeda di setiap

daerah. Seperti daerah Surakarta dan Yogyakarta itu tata

sunggingnya itu hawancawarna, artinya bermacam-macam warna. Kalau untuk daerah Jawa Timur istilah tata sunggingnya adalah

parianom yang komposisi warnanya adalah biru dan hijau. Kalau untuk daerah sebelah barat ke Cirebon, Tegal, Kedu lebih dominan

(13)

gambarkan ole Mpu Kanwa dalam Kakawin Arjuna Wiwaha, pada

zaman pemerintahan Prabu Airlangga (1019 – 1049) kesamaan dalam

warna dasar merah, kuning, hitam, putih. Kemudian warna yang

menyusul adalah warna biru. Warna kulit dari wayang kulit, dulu

berwarna coklat muda terang kini berwarna keemasan yang di buat

dari prodo atau brons. Lima warna dasar sungging yang

melambangkan karakter, watak, maupun status sosial wayang kulit

adalah :

a. Wayang yang mukanya berwarna putih.

Melambangkan bahwa masih bujang atau masih muda, belum

menikah dan memiliki watak yang halus dan jujur, misalkan

tokoh Pandawa masih muda.

b. Wayang yang mukanya berwarna hitam.

Melambangankan bahwa sudah menikah dan di gambarkan

sebagai seorang kesatria, contohnya Arjuna, Kresna, mereka

dikenal sebagai kesatria yang tampan dan mereka juga sudah

menikah. Dan warna hitam melambangkan kekuatan dan

keteguhan.

c. Wayang yang mukanya berwarna kuning (Prodo).

Melambangkan seorang kesatria yang memiliki watak sedikit

kasar seperti Prabu Suyudhana.

(14)

Melambangkan sifat yang kasar, munafik, bringasan, dan

memiliki nafsu amarah yang besar seperti Buto Cakil atau

raksasa, Prabu Dasamuka, yang memiliki tubuh manusia atau

kesatria. Dan warna muka merah pada umumnya menandakan

wayang sabrang.

e. Wayang yang mukanya berwana biru.

Melambangkan wayang yang memiliki sifat penakut, pengecut,

tapi sombong, biasanya wayang ini bermata telengan.

Contohnya Leksmana Mandra Kumara, Citraksa, Citraksi.

2.5 Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Gagrak adalah sebuah istilah, yang memiliki pengertian yaitu

merupakan ciri khas dari wayang kulit yang disesuaikan dengan

wilayahnya, yang pada akhirnya menjadi keaneka ragaman ciri khas

bentuk, dan gagrak di pengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan

geografis dari wilayahnya yang memiliki perbedaan yang bertolak

belakang walaupun masih dalam satu Pulau Jawa.

Perbedaan ini disebabkan karena adanya penyesuaian dengan

kebudayaan dilingkungan setiap wilayah. Sehingga memiliki karakter

khusus yang akan menjadi ciri atau identitas yang kuat dari wayang

kulit yang di miliki oleh wilayah Surakarta. Dalam pengkarakteran

wayang kulit ini merupakan gagrak Surakarta, yang memiliki ciri khas

(15)

tinggi satu palemanan dari pada ukuran wayang kulit gagrak lain,

seperti wayang kulit gagrak Yogyakarta, Cirebon, Jawa Timur.

Wayang kulit gagrak Surakarta ini, memiliki proporsi fisik yang

ramping dan panjang. Pada penggunaan ragam hias, akan

menambah ciri khas yang akan muncul, untuk membedakan dengan

gagrak wayang kulit lain seperti pada tata sunggingnya menggunakan

Hawancawarna yang artinaya berbagai macam warna.

Gambar II. 1 Raden Werkudara Surakarta

(16)

Gambar II. 2 Raden Werkudara Yogyakarta

(Sumber : Koleksi pribadi)

Gambar II. 3 Raden Werkudara Cirebon.

(17)

2.6 Studi Karakter Rupa Wayang Kulit Gagrak Surakarta Tokoh Raden Werkudara

2.6.1 Bentuk Mata

Raden Werkudara bermata telengan atau mata bulat. Teleng artinya mentheleng (bulat), warna matanya hitam jika wajahnya berwarna hitam. Dan Werkudara bermata

bulat tunduk, memiliki sifat watak satria, berani gagah

pekasa, yang selalu membela kebenaran yang memiliki

sifat keras, tangguh, jika marah menakutkan, namun tutur

katanya sopan santun terhadap siapapun.

Gambar II.4 Bentuk mata wayang kulit

(18)

2.6.2 Bentuk Hudung dan Wajah

Wayang kulit juga memiliki bermacam bentuk hidung

untuk mengkombinasi bentuk wajah dalam membentuk

karakter wajah pada wayang kulit. Raden Werkudara

berhidung tumpul dempak atau tumpul dempok. Berwajah

luruh, yang mengartikan bahwa Raden Werkudara memiliki

sifat andap asor (sopan santun) kepada siapa saja. Berwajah hitam melambangkan bahwa Raden Werkudara

seorang kesatria yang sudah menikah, dan melambangkan

seorang kesatria yang berkekuatan besar.

2.6.3 Bentuk Mulut

Bentuk mulut wayang kulit gagrak Surakarta di bagi

menjadi dua macam, yaitu :

a. Mulut golongan wayang halusan.

Bentuk mulut golongan wayang halusan di bagi

menjadi dua, yaitu :

1. Wayang bokongan halus.

2. Wayang jangkahan.

b. Mulut untuk wayang golongan gusen (gusi) atau

(19)

Wayang yang bermulut gusen memiliki watak kasar,

biasanya untuk wayang raksasa yang tutur katanya

sedikit kasar dan keras.

Sama dengan posisi bentuk mata yang menyatu

pada wajah. Posisi wayang yang mukanya merunduk

memberikan karakter atau sifat yang sabar, bijaksana,

halus tutur katanya, berwibawa. Dan dalam gesture wayang

yang sedang merunduk menandakan dalam kondisi

pisowanan. Untuk wajah yang posisinya langak (muka dan pandangan matanya lurus), memberikan karakter atau sifat

yang sedikit sombong, tangguh, trengginas, tangkas dalam

berperang, dan pemberani, tapi wayang dengan wajah

yang menengadah lurus kedepan biasanya dalam gesture

wayang yang posisi wajahnya langak dalam kondisi yang

waspada atau siap sedia, dalam melakukan perjalanan,

dan saat akan menghadapi musuh. Dan wayang dengan

posisi wajah yang longok (menengadah) memberikan

karakter atau sifat yang sombong, keras, kuat, pemberani,

dan selalu bersiap sedia jika ada yang menghalangi

jalannya. Raden Werkudara bermulut keketan, karena

(20)

2.6.4 Bentuk Tangan

Bentuk tangan raden Werkudara adalah mengepal

dengan kuku pancanaka adalah tangan Bathara Bayu dan

para putra Bayu (Tunggal Bayu / Panca Bayu) seperti :

1. Resi Mainoko memiliki dua perwujudan yang pada

zaman Ramayana Resi Mainoko adalah gunung, dan

pada masa Barathayudha berwujud seorang resi.

2. Kapiwara Anoman yang berwujud seekor kera putih

dan berdarah putih, yang merupakan seorang

begawan di Kendalisada.

3. Jajak Werko.

4. Gajah Situbondho yang berwujud seekor gajah.

5. R. Werkudara (Bima) merupakan seorang kesatria

Pandawa, dan juga seorang raja di kerajaan Jodipati.

Gambar II. 5 Bentuk tangan wayang kulit tokoh Werkudara.

(21)

Kuku Pancanaka, secara etimologi Pancanaka

berasal dari kata panca yang artinya lima dan naka artinya kuku jadi artinya lima kuku yang sama panjangnya

menggambarkan bahwa Raden Werkudara adalah orang

yang memiliki keseimbangan dalam pengetahuan dan

menganggap semua manusia memiliki derajad yang sama

didunia, serta sebagai pelindung para dewa.

Jarinya lima di genggam menjadi satu, sebagai

lambang persatuan dan kekuatan yang kukuh, kokoh,

keker, dan kuat (Mulyono, 1977).

2.6.5 Bentuk Gelung

Gelung minangkara cinandi rengga endek ngarep dhuwur mburi, artinya Raden Werkudara merupakan kesatria yang selalu menghargai orang lain dan selalu

sopan santun terhadap siapa saja dan Raden Werkudara

tidak senang pamer dan menyombongkan diri akan

kepandaiannya yang di miliki, dan menunjukan dirinya

adalah makhluk ciptaan Tuhan dan memenuhi kewajiban

(22)

Gambar II. 6 Bentuk gelung Supit urang untuk tokoh wayang kulit

Raden Werkudara

(Sumber : Ki Marwoto Panenggak Widodo)

2.7 Pakaian dan Perhiasan Wayang Kulit Gagrak Surakarta Tokoh Raden Werkudara.

Dalam karakter pakaian dan perhiasan wayang kulit gagrak

Surakarta meliputi jenis sumping, jenis kalung, jenis ikat pinggang,

jenis tutup kepala, sanggul, pakaian bawah, jenis uncal, jenis

anting-anting, jenis gelang, dan jenis kelat bahu, yang merupakan dalam satu

kesatuan untuk mengetahui siapa tokoh tersebut, memiliki kedudukan

apa tokoh tersebut, karakternya,dan sifatnya yang di satukan dengan

karakter rupa dari wayang kulit akan menjadikan satu komponen yang

penting untuk membentuk kondisi spiritual dari tokoh wayang kulit

sehingga membentuk sebuah wanda yang tergabung dalam

(23)

Dari seluruh bagian rupa, pakaian dan perhiasan wayang kulit

ini sudah memiliki pakem-pakem yang tidak dapat dirubah karena berkaitan dengan identitas dari tokoh tersebut, terkecuali dalam

pengembangan wanda yang merubah beberapa bagian dari tokoh

wayang yang pada dasarnya tidak merubah tampilan visual yang

menjadi ciri khusus. Gestur merupkan pengaruh penting dalam

mengenali tokoh, karena setiap tokoh maupun satu tokoh yang terdiri

dari beberapa wanda memiliki gesture yang berbeda-beda.

Dalam pakaian dan perhiasan wayang kulit yang melengkapi

tampilan visual wayang kulit yang berfingsi untuk mengetahui jenis

wayang juga, seperti :

a. Wayang golongan dewa.

b. Wayang golongan pendeta.

c. Wayang golongan kesatria.

d. Wayang golongan raja.

e. Wayang golongan putran, putra raja yang masih muda.

f. Wayang golongan putri.

g. Wayang golongan punggawa/ rampekan.

h. Wayang golongan abdi dalam.

i. Wayang golongan raksasa.

(24)

2.7.1 Pupuk Mas

Pupuk mas rineka jaroting asem, artinya pupuk mas (perhiasan) yang ada pada dahi Raden Werkudara seperti akar

dari pohon asem yang berbentuk rumit, menjelaskan bahwa

Raden Werkudara memiliki budi luhur dan memiliki akal pikiran

yang selalu maju.

2.7.2 Sumping

Sumping pudak sinumpet, menggambarkan Raden Werkudara sebagai manusia yang memiliki budi, dan tidak

terkalahkan saat di medan laga, dan juga menggambarkan

Raden Werkudara memiliki pengetahuan tentang Tuhannya

namun di simpan tidak untuk dipamerkan sehingga seperti

orang tidak berilmu, tapi memiliki pengetahuan yang luas.

Gambar II. 7 Bentuk sumping wayang kulit tokoh Raden Werkudara.

(25)

2.7.3 Anting-anting

Anting-anting panunggul maniking warih, memiliki makna Raden Werkudara adalah orang yang pikirannya selalu terang

dan terbuka, memiliki pandangan luas, serta cerdas, sehingga

sulit untuk menipu Raden Werkudara.

2.7.4 Kalung

Kalung Sangsangan naga banda, memiliki makna sebuah kekuatan yang dimiliki Raden Werkudara seperti kekuatan raja

naga yang marah, sehingga kekuatannya sangat besar. Kalau

Raden Werkudara dalam peperangan atau dalam pertempuran

tidak terkalahkan. Untuk tokoh Raden Werkudara gagrak

Surakarta ini kalung Sangsangan naga banda tidak

digambarkan seekor naga seperti tokoh Raden Werkudara

gagrak Cirebon.

2.7.5 Kelat Bahu

Kelat bahu rineka balibar manggis binelah tekan kendangane trus njaba njerone, kusuma dilaga trus njaba njero, binasakake bawa leksana, datan kersa ngoncati sabda kang wus kawedar, memiliki makna perhiasan yang dikenakan di lengan Raden Werkudara seperti belahan buah manggis,

(26)

janjikan, dan Raden Werkudara merupakan bunganya dimedan

perang yang tidak terkalahkan.

Gambar II. 8 Bentuk Kelat bahu wayang kulit tokoh Werkudara

(Sumber : Ki Marwoto Panenggak Widodo)

2.7.6 Gelang

Gelang Candrakirana, artinya gelang yang dipakai oleh Raden Werkudara berwujut seperti bulan purnama yang

bersinar terang, sebagai simbol orang yang memiliki

pengetahuan yang benar serta luas yang di gunakan untuk di

(27)

Gambar II. 9 Bentuk badan wayang kulit tokoh Raden Werkudara

(Sumber : Ki Marwoto Panenggak Widodo)

2.7.7 Jenis Pakaian Bawah

Dalam karakter pakaian dan perhiasan wayang kulit

gagrak Surakarta meliputi jenis sumping, jenis kalung, jenis ikat

pinggang, jenis tutup kepala, sanggul, pakaian bawah, jenis

uncal, jenis anting-anting, jenis gelang, dan jenis kelat bahu,

yang merupakan dalam satu kesatuan untuk mengetahui siapa

tokoh tersebut, memiliki kedudukan apa tokoh tersebut,

(28)

dari wayang kulit akan menjadikan satu komponen yang

penting untuk membentuk kondisi spiritual dari tokoh wayang

kulit sehingga membentuk sebuah wanda yang tergabung

dalam perupaannya.

Dari seluruh bagian rupa, pakaian dan perhiasan wayang

kulit ini sudah memiliki pakem-pakem yang tidak dapat di rubah karena berkaitan dengan identitas dari tokoh tersebut,

terkecuali dalam pengembangan wanda yang merubah

beberapa bagian dari tokoh wayang yang pada dasarnya tidak

merubah tampilan visual yang menjadi ciri khusus. Gestur

merupkan pengaruh penting dalam mengenali tokoh, karena

setiap tokoh maupun satu tokoh yang terdiri dari beberapa

wanda memiliki gesture yang berbeda-beda.

Dalam pakaian dan perhiasan wayang kulit yang

melengkapi tampilan visual wayang kulit yang berfungsi untuk

mengetahui jenis wayang juga, seperti :

a. Wayang golongan dewa.

b. Wayang golongan pendeta.

Wayang golongan kesatria.

Wayang golongan raja.

c. Wayang golongan putran, putra raja yang masih muda.

d. Wayang golongan putri.

(29)

f. Wayang golongan abdi dalam.

g. Wayang golongan raksasa.

h. Wayang golongan kera.

Wayang Jangkahan Wayang jangkahan dibagi menjadi

beberapa macam Wayang jangkahan dengan pakaian dodot

poleng bang bintulu aji, merupakan pakaian khusus untuk Arya

Bima. Kampuh poleng bang bintulu, kampuh yang memiliki lima macam warna di dalamnya. Warna kampuh yang berjumlah

lima macam tersebut merupakan simbol dari panca indriya

yang merupakan indera yang tidak dapat di lihat seperti nafsu

manusia. Merah melambangkan keperwiraan, hitam

melambangkan kesentosaan, kuning melambangkan

kepercayaan, putih melambangkan kesucian, sedangkan hijau

melambangkan kebijaksanaan dan keadilan.

Paningset cinde bara binelah numpangwetis kanan kiri,

artinya ikat pinggang cinde yang dikenakan Raden Werkudara

melambangkan orang yang sudah menguasai keyakinannya

(30)

Gambar II. 10 Bentuk Pakaian wayang kulit tokoh Werkudara

(Sumber : Ki Marwoto Panenggak Widodo)

2.7.8 Raden Werkudara ( Brantasena )

Raden Werkudara adalah putra ke dua dari Prabu Pandu

Dewanata dengan Dewi Kunthi, yang dilahirkan dengan

keadaan terbungkus. Sebelum Raden Werkudara bertemu

dengan Batara Ruci, rabut Raden Werkudara masih terurai,

dan setelah pertemuannya dengan Batara Ruci, Raden

Werkudara menyanggul rambutnya. Raden Werkudara di kenal

(31)

Abilawa, Pandusiwi, Wastratmaja, Arya Dadunwacana, Kusuma

Dilaga, Sena Wangi, Jayadilaga.

Gambar II. 11 Raden Werkudara

(Sumber : Heru S Sudjarwo, Sumari, Undung Wiyono, 2010)

Raden Wekudara memiliki hati yang sangat keras,

(32)

Wekudara digambarkan sebagai seorang pahlawan perang

pemberani, kuat, keras, tangguh, tegas, pintar, bijaksana, jujur,

pelindung keluarga dan rakyatnya. Raden Werkudara memiliki

senjata yaitu kuku pancanaka, gada rujakpolo, bergawa, dan

bargawastra, tapi Raden Werkudara juga memiliki kesaktian aji

bandung Bandawasa, blabak pengantol-antol, kethuk lindu, aji

ungkal bener, aji pancawara. Raden Werkudara dalam perang

Barathayuda menjabat sebagai seorang senopati tanpa

pasukan. Raden Werkudara yang juga merupakan putra titisan

Batara Bayu, yang memiliki tunggal Bayu, yaitu Anoman, Jajak

Werko, Gunung Mainoko, dan Gajah Situbanda yang memiliki

ciri yang sama yaitu memiliki Kuku Pancanaka, hanya para

Putra Bayu yang memiliki Kuku Pancanaka seperti Batara

Bayu.

Raden Werkudara memiliki tiga orang putra yaitu

Gathutkaca putra Werkudar dengan Dewi Arimbi, putri Prabu

Arimbaka raja dinegara Pringgondani yang menguasai

angkasa, sedangkan Antareja adalah putra Werkudara dengan

Dewi Nagagini, putri Hyang Antaboga dari Khayangan

Saptapratala, yang memiliki kesaktian menembus bumi,

Antasena adalah putra Werkudara dengan Dewi Urangayung,

putrid Hyang Mintuna dewa ikan air tawar di Kisik Narmada

(33)

meninggal sebelum perang Barathayuda, karena kesaktian

yang di miliki tidak ada satupun yang menandingi dan di sisi

lain dalam takdir perang Barathayudha yang di tuliskan oleh

dewa Antasena dan Antareja tidak memiliki lawan tanding yang

sepadan karena kesaktian yang di miliki tidak dapat di kalahkan

dengan senjata maupun kekuatan apapun. Namun Gathutkaca

terlibat dalam Perang Barathayudha, dan meninggal karena di

kalahkan oleh Adipati Karna.

Dalam lakon Bima Suci ini, Raden Werkudara dalam

bentuk wayang kulit menggunakan wanda gurnat, yang

memiliki sifat bijaksana, sabar dan berwibawa. Raden

Werkudara wanda gurnat memiliki ciri-ciri, muka longok (agak

kedepan), gelung sedang, bahu pajeg, dan badan agak besar,

adeg pajeg, lambung mayat (agak miring), leher keker (Heru S Sudjarwo, Sumari, Undung Wiyono; 2010). Ciri lainnya adalah

mata lebih besar dari wanda lain, pundak belakang lebih tingg

dari pundak depan, warna muka hitam, badannya berwarna

kuning prada, dada tegak, leher lebih pendek dari wanda lain.

Adapun dalam tokoh Raden Werkudara ini saat menjadi

seorang begawan Bima Suci menggunakan wayang kulit Bima

yang menggunakan pakaian brahmana atau pendeta. Dalam

lakon inilah tokoh Bima Suci atau Raden Werkudara mengalami

(34)

contohnya saat sebelum bertemu Dewa Ruci, rambut Raden

Werkudara masih terurai, dan saat Raden Werkudara bertemu

dengan Dewa Ruci sampai akhir hayat, rambutnya di gelung

atau di sanggul.

Gambar II. 12 Raden Werkudara gelung

(35)

2.7.9 Bima Suci

Di pertemuan dalam istana dikerajaan Astina yang di

pimpin langsung oleh Prabu Duryudana dan terdapat Sengkuni

sebagai patih, Basukarana sebagai senopati, Pendita Durna,

Kartamarma, membicarakan tentang masalah yang sedang

mengancam kekuasaan kerajaan Astina, yang sewaktu-waktu

dapat menghancurkan ketentraman negara. Prabu Duryudana

pun marah kepada semua yang ada di pertemuan agung

diistana, karena tidak ada yang mengetahui permasalah yang

mengancam negara dan Prabu Duryudana pun

memberitahukan bahwa di Argakilasa ada seorang yang

menjadi pendita dan mendirikan padepokan yang bernama

Begawan Bima Suci atau Bimapaksa yang mengajarkan

tentang ilmu sangkan paraning dumadi. Patih Sengkuni yang juga merupakan paman dari para Kurawa mencurigai bahwa

Begawan Bima Suci adalah Raden Werkudara atau

Brantasena. Patih Sengkuni berusaha untuk menelaah

semuanya dan mencari ujung dari permasalahannya yang

ternyata kecurigaannya itu benar.

Prabu Duryudhana ingin membubarkan padepokan Bima

Suci di Argakilasa dan membunuh Bima Suci. Namun Adipati

Karna yang juga merupakan raja dinegeri Awangga ini

(36)

akhirnya Adipati Karna bersama Durna dan Kartamarma

berangkat ke Argakilasa bersama pasukan Astina.

Di Argakilasa Anoman dan Gatutkaca memantau

keamanan padepokan Pandan Sumirat, dan menemukan dari

kejauhan pasukan kurawa mendekat ke arah Argakilasa. Dan

akhrinya timbul perselisihan untuk menjaga ketentraman

Argakilasa, akhirnya pasukan Astina yang bersama dengan

pasukan negara sekutunya dapat di kalahkan oleh Anoman dan

Gatutkaca.

Di padepokan Argakilasa ada seorang begawan bernama

begawan Soponyono dari Sonyoluri yang datang ke padepokan

Argakilasa untuk belajar tentang ilmu yang dimiliki oleh

Begawan Bima Suci. Namun Bima Suci justru membongkar jati

diri dari begawan Soponyono yang ternyata Bathara Indra yang

merupakan utusan Bathara Guru untuk menyelidiki siapa

Begawan Bima Suci dan apa yang diajarkannya. Dan akhirnya

Bathara Indra membawa Begawan Bima Suci ke Suralaya

untuk menemui Bathara Guru dan Bathara Narada.

Saat berada di Suralaya Begawan Bima Suci di tanyai

tentang ilmu yang di milikinya untuk di sampaikan pada

murid-muridnya. Namun Begawan Bima Suci hanya menjawab,

(37)

mong kuwi panguasane jantung rino wengi, sing tak rasakake sing obah yo obah.” Jawaban itu membuat Bathara Guru dan Bathara Narada menjadi bingung karena tidak dapat menelaah

ilmu apa itu. Namun pada akhirnya Bathara Guru memberikan

tawaran untuk meminta sesuatu padanya misalkan harta, tahta,

pangkat. Namun Begawan Bima Suci menolaknya namun

Begawan Bima Suci melakukan kesalahan karena menolak

semua tawaran yang di berikan Bathara Guru, namun Bima

Suci justru melirik dan menanyakan sesuatu yang menjadi

tempat Bathara Guru duduk itu bercahaya terang. Karna itulah

Bathara guru marah dan ingin memasukkan Begawan Bima

Suci ke dalam Kawah Candradimuka sebagai hukuman.

Saat berada di kawah Candradimuka Prabu Pandu

sedang bersama Dewi Madrim istrinya sedang menjalankan

hukumannya karena kesalahan yang pernah di perbuat. Tak

lama nampak Bima berada di Kawah Candradimuka dan

bertemu dengan ayahnya yaitu Prabu Pandu. Bima merasa

sangat sedih dengan keberadaan ayahnya yang ada di Kawah

Candradimuka bersama ibunya Madrim. Bima juga merasa

marah dan kecewa terhadap para dewa karena sudah

menempatkan ayahnya di Kawah Candradimuka padahal dulu

ayahnya merupakan jagonya dewa, begitu berbuat satu

(38)

Candradimuka, sedangkan jikan dewa yang berbuat salah

hanya minta maaf. Ketidak adilan itulah yang di rasakan oleh

Bima saat melihat ayahnya yang berada di Kawah

Candradimuka. Pada saat Bima berada di Kawah

Candradimuka kondisi kawah yang awalnya sangat panas

langsung menjadi dingin.

Di sisi lain di Suralaya terjadi keributan karena ulah dari

para Kadang Bayu yang di pimpin oleh Anoman meminta

Begawan Bima Suci kembali ke dunia. Dan para dewa juga di

ributka dengan kondisi kawah Candradimuka yang menjadi

dingin. Lalu Bathara Narada dan Bathara Guru membujuk Bima

untuk keluar dari Kawah Candradimuka, namun Bima tidak mau

keluar dari Kawah Candradimuka karena ingin bersama

ayahnya. Tapi akhirnya Bathara Narada memerintahkan

Bathara Bayu untuk mengeluarkan Bima dari Kawah

Candradimuka, dan akhirnya Bima bersedia keluar dari kawah

Candradimukan karena perintah dewanya. Dan bukan hanya itu

Bima merupakan titisan Bathara Bayu.

Saat Bathara Guru dan Bathara Narada datang menemui

Bima di kawah Candradimuka, Bathara Guru dan Bathara

Narada meminta bantuan pada Bima untuk membubarkan para

Kadang Bayu yaitu Anoman, Gajah Situbanda, Jajak Werko

(39)

Bima Suci segera di kembalikan ke dunia. Namun sebelum

Bima Suci menjalankan tugasnya Bathara Guru memberikan

hadiah berupa apapun yang di minta oleh Bima Suci akan di

kabulkan. Bima Suci langsung yang di minta pertama kali

adalah ayahnya Pandu dan ibunya Dewi Madrim yang ada di

Kawah Candradimuka menjadi ada disurga, selanjutnya yang

diminta Bima Suci adalah saat perang Barathayudha dirinya

selalu menang tidak terkalahkan, membunuh senopati Kurawa

tidak ada salah dan dosanya, negara Astina separuh dan

Indraprasta dengan jajahannya kembali ke tangan Pandawa,

selanjutnya dalam perang Barathayudha Pandawa utuh tidak

ada yang gugur dalam medan perang. Akhirnya setelah

mengajukan keinginannya, Bima Suci langsung menjalankan

tugasnya untuk membubarkan para Kadang Bayu yang

membuat huru-hara di Suralaya, itulah cerita dari Bima Suci.

Lakon Bima Suci merupakan ceita yang sangat memiliki

makna yang dalam. Mengajarkan tentang pendidikan moral

dalam menjalani kehidupan yang sempurna agar mendapatkan

kematian yang sempurna, dan mengajarkan tentang mengenali

Tuhan kita. Hal yang paling penting adalah bagaimana seorang

anak dapat berbakti pada orang tuanya, dan Tuhannya seperti

Raden Werkudara yang dapat menjadi seorang anak yang

(40)

Werkudara sangat tunduk dengan Dewanya yaitu Bathara

Bayu. Dan contoh seorang anak laki laki yang memiki

pegangan mikul nduwur, mendem njero, seorang anak laki-laki harus lebih bisa menjadi anak yang dapat berbakti, menjaga

harkat, martabat, kehormatan orang tua di tempat paling tinggi,

dan dapat menjaga rahasia keluarga dan memendamnya

dalam-dalam agar tidak diketahui orang lain.

Tokoh Werkudara ini pun mengajarkan keteguhan jiwa ,

kepercayaan dan tidak takut dengan apapun yang akan datang

padanya, kekuatan itulah yang menjadikan Raden Werkudara

ini menjadi orang yang sangat kuat, jika sudah berkata iya ya

iya, jika berkata tidak ya tidak, dan memiliki karakter kalau kaku

seperi pikulan kalau lemas seperti tali. Kaku seperti pikulan itu

menggambarkan keteguhan hati dan jiwa dari seorang

Werkudara, sedangkan lemes seperti tali menggambarkan hati

seorang Werkudara begitu lembut, baik, tidak mudah emosi,

(41)

BAB III

STRATEGI PERANCANGAN DAN KONSEP VISUAL FILM DOKUMENTER

3.1 Strategi Perancangan

3.1.1 Pendekatan Komunikasi

Pendekatan komunikasi dalam menyampaikan

informasi tentang wayang kulit gagrak Surakarta yaitu

melalui pendekatan visual dan verbal. Untuk pendekatan

visualnya memiliki tujuan untuk memberikan tampilan agar

mudah dipahami dan dapat dilihat secara jelas seperti apa

wayang kulit gagrak Surakarta itu dan bagaimana jalan

cerita Bima Suci dalam pagelaran wayang kulit yaitu

dengan menampilkan tampilan visual yang memiliki

ekspresi sebagai pendukung. Sedangkan untuk

pendekatan verbalnya sebagai pendukung dari pendekatan

visual yang akan membantu untuk menjelaskan visual yang

ada dengan menggunakan dialog bahasa Indonesia karena

lebih mudah di mengerti untuk menerjemahkan dari dialog

berbahasa Jawa yang tidak semua kalangan masyarakat

(42)

3.1.2 Strategi Kreatif

Dari sebuah hasil kesenian yang berupa wayang

kulit maupun pagelarannya yang dapat di adaptasikan

dengan media film dokumenter yang dapat membantu

menyampaikan informasi pada masyarakat. Sehingga

pembelajaran dan pemahamannya dapat lebih diterima di

masa modern yang menjadikan film sebuah hiburan yang

digemari masyarakat. Dengan menggunakan bahasa

Indonesia sebagai penjelas dari bahasa pedalangan pada

film akan membantu untuk memberikan pemahan dari apa

yang terdapat dari tampilan visual dari film.

3.1.3 Strategi Media

Media yang akan di gunakan adalah media Film,

yang lebih fokus pada dokumenter. Karena media film ini

memiliki unsur yang sama dengan obyek yang akan di buat

film yaitu membicarakan tentang wayang kulit gagrak

Surakarta dalam lakon Bima Suci secara menyeluruh.

Karena wayang kulit lebih condong pada pagelaran

langsung sehingga sesuai dengan media film untuk

mendokuntasikan secara langsung agar lebih dapat di

fahami secara visual dan audionyapun mendukung untuk

(43)

Target audiens pada media film dokudrama dalam

wayang kulit gagrak Surakarta pada lakon Bima Suci ini di

tujukan kepada masyarakat Surakarta. Segmentasinya

yaitu kalangan menengah dengan rentan usia siswa SLTA

kurang lebih dengan umur 16-20 tahun yang berminat untuk

mempelajari wayang kulit Surakarta beserta pagelaran

wayang kulit. Status sosial masyarakatnya adalah

masyarakat kota. Dengan memiliki gaya hidup yang selalu

mengikuti perkembangan jaman yang identik dengan

hiburan dan hobi. Dengan status ekonomi B+ (kalangan

menengah). Secara geografinya yaitu di pusat kota yang

menjadi sentra perkembangan ekonomi, pendidikan, dan

budaya.

3.2 Film Dokudrama

Film Dokumenter adalah representasi atas realita yang bersifat

subyektif, karena di pengaruhi oleh argument sutradaranya.

Argumen dalam dokumenter sangat di pengaruhi oleh cara

pandang sutradara terhadap fenomena yang di telitinya. Namun

demikian argumenharus di capai dengan data dan metode yang dapat

di pertanggung-jawabkan.

Integritas dan kejujuran serta wawasan artistik seorang

(44)

dokumenternya (IGP Wiranegara, 2010). Film dokudrama adalah film

yang sesuai dengan realitas yang masih bersifat subyektif dari

sutradara namun di buat dengan masih menggunakan beberapa

pengaturan kondisi sehingga memiliki sebuah cerita yang lebih

menarik dalam pembuatan film dokudrama.

3.2.1 Gagasan Film

Dalam pengerjaan Tugas Akhir ini akan di buat

sebuah Film Dokumenter yang mengangkat wayang kulit

gagrak Surakarta dalam lakon Begawan Bima Suci. Ide

dasar ini diambil dengan alasan karena di masa sekarang

sebagian besar menganggap bahwa pertunjukan wayang

kulit merupakan sebatas hiburan, dan masyarakat tidak

mengetahui tentang makna-makna yang ada pada wayang

kulit yang memiliki filosofi yang dalam dan dapat

mempengaruhi kehidupan manusia secara sosial, budaya

dan keagamaan.

Gagasan dari pembuatan film dokumenter ini dari

gagasan yang berupa Wayang kulit gagrak Surakarta. Ide

ini memiliki tujuan agar masyarakat dapat mengetahui lebih

mendalam tentang kesenian wayang kulit gagrak Surakarta

dari filosofi yang ada dalam wayang kulit gagrak Surakarta

(45)

kulit gagrak Surakarta dengan wayang kulit gagrak lain

seperti Yogyakarta, Cirebon, atau Jawa Timur. Dan

memiliki tujuan juga agar lebih mengenal siapa dalang yang

berada di balik sebuah Kelir.

Film Dokumenter ini dibuat dengan cara melalui riset

mendalam terhadap obyek yang akan di jadikan tujuan

utama dari pembuatan film dokumenter, dan melalui

wawancara terhadap beberapa orang yang terkait dengan

ide dasar atau masalah utama. Film ini pun di buat dengan

cara yang berdasarkan fakta yang ada dengan

mendokumentasikan segala yang terkait dengan wayang

kulit gagrak Surakarta dan tokoh Raden Werkudara dalam

lakon Bima Suci, dari rupa dan karakternya sampai

penjelasan tentang makna yang ada.

Film ini akan di distribusikan pada dinas pendidikan,

DISPARBUD, dan musium wayang sebagai arsip, dan jika

dalam acara-acara tertentu yang berhubungan dengan

wayang kulit seperti acara festifal wayang kulit akan diputar,

agar dapat membantu kalangan masyarakat tertentu yang

(46)

3.2.2 Inti Cerita

Judul film yang akan di gunakan adalah BIMA SUCI

THE PUPPET SURAKARTA. Inti ceritanya yaitu sebuah

cerita tentang wayang kulit gagrak Surakarta yang memiliki

ciri khas. Dan menjelaskan rupa dan karakter visual dari

wayang kulit gagrak Surakarta yang memiliki filosofi dan

makna tertentu yang ada pada bagian-bagian dari wayang

kulit. Menerangkan simbol-simbol makna kehidupan dari

lakon Bima Suci yang menjadi cerita yang memiliki

keistimewaan. Dengan menjelaskan bagaimana sosok

seorang Raden Werkudara dalam wayang kulit gagrak

Surakarta dalam lakon Bima Suci.

3.2.3 Struktur Cerita

Sebuah cerita tentang wayang kulit gagrak Surakarta

yang memiliki ciri khas. Dan menjelaskan rupa dan karakter

visual dari wayang kulit gagrak Surakarta yang memiliki

filosofi dan makna tertentu yang ada pada bagian-bagian

dari wayang kulit. Menerangkan simbol-simbol makna

kehidupan dari lakon Bima Suci yang menjadi cerita yang

memiliki keistimewaan. Dengan menjelaskan juga

bagaimana sosok seorang Raden Werkudara dalam

(47)

3.3 Konsep Visual

3.3.1 Format Film

Format film yang akan di gunakan adalah digital

video, berdurasi 45 menit. Format untuk pembuatan film ini

menggunakan digital video karena secara materi lebih

dapat menekan biaya pembuatan film, dan dalam segi

hasil, digital video memberikan kualitas gambar yang lebih

baik, dan memiliki pengaturan digital yang lebih praktis

dalam gambar, dan kualitas audionya lebih baik.

3.3.2 Tipografi

Tipografi yang di gunakan adalah huruf dekoratif dan

huruf sans serif. Jenis huruf dekoratif memiliki sifat yang

bebas, anggun dan tradisional. Pemilihan jenis huruf

dekoratif sangat sesuai dengan mengangkat tema

kebudayaan tradisional. Sedangkan untuk pemilihan jenis

huruf sans serif agar memiliki kesan tidak formal,

sederhana dan akrab, dan fleksibel.

a. Huruf dekoratif ( Awesome Java )

(48)

. , * ( ) ! ? “ ; / \ < > { } [ ] @ # % = +

b. Huruf sans serif (Century Gothic )

ABC DEFG HIJKLMNO PQ RSTUVWXYZ

Ab c d e fg hijklm no p q rstuvw xyz

. , * ( ) ! ? “ ; / \ < > { } [ ] @ # % = +

c. Huruf sans serif ( Agency FB )

ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ

Abcdefghijklmnopqrstuvwxyz

(49)

BAB IV

TEKNIS PRODUKSI

4.1 Gagasan – Tema

Gagasan atau tema dari film ini adalah wayang kulit gagrak

Surakarta yang mengangkat sebuah karakter tokoh wayang kulit yaitu

Werkudara yang merupakan bagian dari Pandawa dalam sebuah

lakon Bima Suci, yang merupakan sebuah cerita lakon Bima Suci,

yang merupakan sebuah cerita yang memiliki makna filosofi yang

tinggi dan mendalam dalam mengajarkan moralitas dan ke Tuhanan,

terutama bagaimana seorang anak yang berbakti kepada orang

tuanya, walaupun orang tuanya sudah meninggal.

4.2 Sinopsis

Wayang kulit gagrak Surakarta, merupakan sebuah wayang

kulit yang berasal dari wilayah Surakarta atau yang lebih di kenal

dengan Solo. Dalam wayang kulit gagrak Surakarta mengangkat

sosok karakter dari tokoh pewayangan yaitu Werkudara atau

Brantasena. Brantasena atau Werkudara ini adalah sosok kesatria

pandawa yang memiliki keistimewaan dan karakter yang sangat kuat,

sosoknya yang tinggi besar, menyimpan sesuatu yang tidak dapat

(50)

Dalam lakon Bima Suci, Werkudara ini memberikan sebuah

ajaran tentang ilmu kesempurnaan hidup, kesejatian dari hidup

manusia didunia harus bermoral baik dan bagaimana dia dapat

menjalani kehidupan dengan benar dan konsisten untuk mendapatkan

kesempurnaan hidup dan mati. Pengapdiannya terhadap Dewanya

dan orang tuanya begitu besar, dan perannya sebagai seorang anak

yang dapat menjunjung tinggi harkat, martabat, derajad dan

kehormatan orang tua, dan menempatkan ditempat yang paling tinggi.

Bagaimana seorang Bima Suci dapat mengangkat harkat, martabat,

derajad dan kehormatan orang tuanya? Bagaimanakah sosok Bima

Suci ini dalam lakon Bima Suci?

4.3 Riset – Studi Lapangan

4.4.1 Studi Pustaka

a. Ensiklopedia Wayang, Djoko Dwiyanto, Sukatmi

Susantina, Wiwien Widyawati. Mulyono Sri. 1977.

Wayang dan Karakter Manusia. Yayasan

Nawangi, PT. Inaltu.

b. Serat Dewa Ruci. Imam Musbikin.

c. Mustikane Djagad Dewa Roetji. Ki Sigit

Natatjarita..

(51)

e. Nonton Wayang Dari Berbagai Pakeliran.

Pranoedjoe Poespaningrat.

f. Mengenal Wayang Kulit Purwa. Soekatno .

g. Rupa dan Karakter Wayang Purwa. Heru S

Sudjarwo, Sumari, Undung Wiyono.

h. Tuntunan Tatah Sungging Wayang Purwa Gagrak

Surakarta. Ki Marwoto Panenggak Widodo.

4.4.2 Studi Indikator

a. Fisik

Target audience pada media film

dokumenter dalam wayang kulit gagrak Surakarta

pada lakon Bima Suci ini di tujukan kepada

masyarakat Surakarta. Segmentasinya yaitu

kalangan menengah dengan rentan usia siswa

SLTA kurang lebih dengan umur 16-20 tahun.

Status sosial masyarakatnya adalah masyarakat

kota. Dengan memiliki gaya hidup yang selalu

mengikuti perkembangan jaman yang identik

dengan hiburan dan hobi. Dengan ekonomi B+

(kalangan menengah). Secara geografinya yaitu

(52)

b. Warna

Untuk penggunaan warna dalam fim

adalah colorfull. Karena di buat dengan dasar kriteria yang sama dengan wayang kulit gagrak

Surakarta yang hawancawarna yang memiliki arti yang sama berbagai ragam warna, selain itu agar

dapat memperlihatkan estetika dari sebuah visual.

c. Visual

Garis, merupakan unsur terbentuknya

sebuah gambar. Garis memiliki dimensi

memanjang serta memiliki arah. Garis memiliki

sifat-sifat yang khusus di setiap macam garis.

Garis yang akan digunakan dalam media ini

adalah garis lengkung dan berombak. Garis

lengkung memiliki kesan lemah lembut, anggun

dan mengarah. Untuk garis yang berombak

memiliki kesan halus, lunak, berirama. Kedua

macam garis ini akan menjadi sebuah kombinasi

yang sesuai dalam tema tradisional.

d. Bahasa

Bahasa Indonesia menumbuhkan banyak variasi

yaitu variasi yang menurut penggunaan yang di

(53)

pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa.

Dan bahasa yang di gunakan oleh target audience

adalah Dialek sosial yaitu dialek yang

dipergunakan oleh kelompok masyarakat tertentu

atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu.

Yang kedua adalah Idiolek, yaitu seluruh ciri

bahasa seseorang sekalipun kita berbahasa

Indonesia semua, masing-masing dari diri kita

memiliki ciri khas masing-masing dalam pelafalan,

tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata-kata.

e. Tipografi

Huruf dekoratif ( Awesome Java )

ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ

Abcdefghijklmnopqrstuvwxyz

. , * ( ) ! ? “ ; / \ < > { } [ ] @ # % = +

Tipografi yang di gunakan adalah huruf dekoratif.

Jenis huruf dekoratif memiliki sifat yang bebas,

anggun dan tradisional. Pemilihan jenis huruf

(54)

sebagai Headline, subheadline dan judul film

dalam cover dvd, cover film, kemasan dvd film,

dan kebutuhan media lain.

Huruf sans serif (Century Gothic )

ABC DEFG HIJKLMNO PQ RSTUVWXYZ

Ab c d e fg hijklm no p q rstuvw xyz

. , * ( ) ! ? “ ; / \ < > { } [ ] @ # % = +

Sedangkan untuk pemilihan jenis huruf sans serif

agar memiliki kesan tidak formal, sederhana dan

akrab, dan fleksibel. Huruf ini akan di gunakan

untuk teks terjemahan bahasa dalam film dan

menjadi teks penjelas keterangan identitas

narasumber. Dan jenis huruf ini akan di gunakan

sebagai teks pada Manual book.

Huruf sans serif ( Agency FB )

ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ

Abcdefghijklmnopqrstuvwxyz

(55)

Huruf ini di gunakan untuk penulisan teks dalam

film, kemasan DVD, cover DVD, dan sebagai teks

dalam ending credit.

4.4 Storyline

Di buka dengan permainan gunungan sebagai pembuka cerita.

Suasana pagi dipasar Gede Solo masyarakat Solo yang melakukan

aktivitasnya dipasar tetaplah sama. Dua orang laki laki yang sedang

menata wayang-wayang kulit pada sebuah kelir untuk persiapan

pagelaran wayang kulit. Wawancara dengan bapak Sudarsono yang

merupakan seorang dalang dan juga dosen di ISI Solo.

Pagelaran wayang kulit Bima suci di gelar dengan struktur

cerita yang di persingkat dari pagelaran wayang kulit dengan dalang

bapak Sugito. Ditengah-tengah pagelaran wayang kulit lakon Bima

Suci ini terdapat penjelasan dari narasumber yaitu bapak Bambang

Suwarno yang juga seorang dalang dan pembuat wayang kulit,

tentang warna sungging, bentuk fisik Werkudara dan wanda. Dan

dilanjutkan lagi dengan pagelaran wayang kulit lakon Bioma Suci lagi

sampai selesai.

Dan diakhir pagelaran bapak Bambang Suwarno memberikan

penjelasan lagi pada Karakter Werkudara dan makna filosofi yang

terkandung dalam setiap visual dari tokoh Werkudara. Dan di tutup

(56)

4.5 Scene Plot/Struktur Cerita

Di buka dengan permainan gunungan sebagai pembuka cerita.

Suasana pagi dipasar Gede Solo masyarakat Solo yang melakukan

aktivitasnya dipasar tetaplah sama. Dua orang laki-laki yang sedang

menata wayang-wayang kulit pada sebuah kelir untuk persiapan

pagelaran wayang kulit untuk sebuah buka giling dipabrik gula.

Wawancara dengan bapak Sudarsono yang merupakan seorang

dalang dan juga dosen di ISI Solo. Wawancara ini di lakukan di salah

satu ruangan digedung jurusan Pedalangan. Bapak Sudarsono

menjelaskan tentang wayang kulit dan pagelaran wayang kulit.

Pagelaran wayang kulit Bima suci di gelar dengan struktur

cerita yang di persingkat dari pagelaran wayang kulit dengan dalang

bapak Sugito dari Tulungagung. Pagelaran wayang kulit dengan lakon

Bima Suci ini menggunakan pagelaran klasik dalam penyajiannya.

Ditengah-tengah pagelaran wayang kulit lakon Bima Suci ini terdapat

penjelasan dari narasumber yaitu bapak Bambang Suwarno yang juga

seorang dalang dan pembuat wayang kulit, tentang warna sungging,

bentuk fisik Werkudara dan wanda. Dan di lanjutkan lagi dengan

pagelaran wayang kulit lakon Bima Suci lagi sampai selesai.

Dan di akhir pagelaran bapak Bambang Suwarno memberikan

penjelasan lagi pada Karakter Werkudara dan makna filosofi yang

terkandung dalam setiap visual dari tokoh Werkudara. Dan di tutup

(57)

4.6 Director`s Treatment

Director’s treatment adalah gaya penyutradaraan, yang meliputi

tataan seluruh pengambilan gambar sampai color tune dan

keseimbangan antara dialek dan aksi. Untuk warna yang di gunakan

menggunakan colorfull dengan nuansa sedikit gelap, dan

menggunakan tempo yang standart, tidak terlalu cepat atau tidak

terlalu lambat. Untuk peletakan kamera ada dua macam yaitu untuk

wawancara dengan narasumber dan pagelaran wayang kulit.

Gambar IV. 1 Konsep peletakan kamera untuk pagelaran wayang kulit, wawancara

(58)

4.7 Studi Karakter

4.7.1 Raden Werkudara

Raden Werkudara memiliki karakter seperti di ibaratkan

kenek kaku kaya pikulan, lek lemes kaya tali,

maksudnya jika sudah memiliki keteguhan hati dan tekat

bulat akan dilakukan, namun jika hatinya akan sangat

baik dan lembut kepada siapapun yang bersikap baik

dan bertujuan baik.

4.7.2 Sugito

Bapak Sugito memiliki karakter yang baik, humoris,

terbuka namun suka memberikan nasehat melalui tutur.

4.7.3 Sudarsono.

Memiliki karakter yang terbuka, tegas, humoris.

4.7.4 Bambang Suwarno

Memiliki karakter yang sedikit kaku, baik, terbuka, dan

serius.

4.8 Shooting List

Pengambilan gambar ini akan di lakukan secara berurutan,

seperti berikut perencanaan pengambilan gambar :

a. Pengambilan gambar suasana pagi kota Solo di pasar

(59)

b. Pengambilan gambar seorang laki-laki menata

wayang-wayang kulit di sebuah kelir.

c. Pengambilan gambar untuk wawancara dengan Bapak

Sudarsono di ISI Solo, di salah satu ruangan di gedung

jurusan pedalangan.

d. Pengambilan gambar pagelaran wayang kulit dari sisi

center depan.

e. Pengambilan gambar pagelaran wayang kulit dari sisi

samping kanan depan.

f. Pengambilan gambar pagelaran wayang kulit dari sisi

center belakang.

g. Pengambilan gambar pagelaran wayang kulit dari sisi kiri

depan.

h. Pengambilan gambar permainan gunungan sebagai

pembuka.

i. Pengambilan gambar permainan gunungan sebagai

penutup.

j. Pengambilan gambar wawancara dengan bapak

Bambang Suwarno dikediamannya di daerah Sangrah

(60)

4.9 Storyboard

Storyboard ini di buat untuk membantu pengambilan gambar, memandu sutradara, cameraman, editor film. Storyboard berfungsi untuk memberikan pengarahan pengambilan gambar yang sesuai

cerita dan kategori shoot yang akan di ambil lebih tepat dan sesuai

dengan kebutuhan. Storyboad dapat di lihat di Apendiks 1.

4.10 Dokumentasi Produksi/Behind the Scene

Dalam proses pembuatan film ini terdapat dokumentasi

produksi atau biasa di sebut behind the screne. Dokumentasi produksi ini berfungsi untuk mendokumentasikan proses persiapan dan

pengerjaan soal pembuatan film berlangsung. Dokumentasi produksi

ini juga sebagai arsip dari sebuah proses pempuatan filmnya berserta

kru film.

4.11 Studi Pasca Produksi 4.11.1 Metode Editing

Metode editing untuk film ini akan menggunakan metode

Continuity Cutting, yaitu metode untuk penyambungan gambar yang memiliki keterkaitan atau

berkesinambungan dan ini di gunakan untuk mengedit

gambar-gambar estabilish dan wawancara. Dan yang

(61)

metode penyatuan gambar-gambar yang memiliki

keterkaitan atau berkesinambungan ini di gunakan untuk

metode editing pada gambar pagelaran wayang kulit

Bima Suci.

4.11.2 Teknik Editing

Teknik editing yang di gunakan adalah Paralel Editing

dan Cross Cutting. Karena Paralel Editing di gunakan untuk penyusunan gambar yang memiliki persamaan

waktu, sedangkan Cross Cutting untuk

mengkombinasikan dua adegan atau gambar yang

waktunya tidak bersamaan.

4.11.3 Tahapan Editing non digital.

a. Logging

Tahapan editing non digital ini melalui penyusunan logging gambar, traskrip wawancara dan editing scrip. Hal ini akan membantu seorang editor film dalam proses editing gambar yang sedah di tentukan alurnya sesuai dengan storyboard.

(62)

b. Editing Script

Editing script merupakan sebuah proses akhir dari editing non digital sebelum melakukan proses editing digital. Editing script ini berfungsi sebagai penentu dari sebuah editing digital dari

visual yang akan di gunakan dan audio yang akan

di gunakan dalam penyusunan gambar dan

audionya yang berupa suara-suara musik maupun

percakapan yang muncul dalam sebuah visual.

Serta menentukan berapa durasi yang akan di

tampilkan dalam visualnya dan audionya dari

gambar satu ke gambar yang selanjutnya hingga

akhir. Sehingga dapat di ketahiu secara tepat

berapa durasi dari film yang akan di edit secara

digital. Proses editing script dapat dilihat di apendiks 3.

4.11.4 Tahapan Editing Digital

Tahapan editing digital ini dilakukan setelah

(63)

rangkaian yang membentuk sebuah alur cerita dengan

visual yang sesuai dan menjadi film yang utuh.

4.12 Media Produksi dan Distribusi 5.13.1 Cover DVD

Gambar IV. 2 Cover DVD Film.

Ukuran : 27,1cm x 18,6cm

Bahan : Art Paper 130gr

(64)

5.13.2 Cover Kemasan DVD

Gambar IV. 3 Kemasan DVD Film.

Ukuran : 29,9cm x 19,1cm

Bahan : Art Paper 250gr

(65)

5.13.3 Poster Film

Gambar IV. 4 Poster Film.

Ukuran : 29,9cm x 19,1cm

Bahan : Art Paper 250gr

(66)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Janturan Wayang.

Baksin, Askurifai.2003. Membuat Film Indie Itu Gampang. Bandung : Katarsis.

Budiono. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Karya Agung.

Dwiyanto Djoko, Susantina Sukatmi, Widyawati Wiwien. 2010. Ensiklopedia Wayang. Yogyakarta-Sleman : Media Abadi.

Sri Mulyono. 1977. Wayang dan Karakter Manusia. Yayasan Nawangi, PT. Inaltu.

Musbikin, Imam. 2010. Serat Dewa Ruci. Yogyakarta : Diva Press.

Natatjarita, Sigit. Mustikane Djagad Dewa Roetji. Surabaya : Yayasan Daniwara.

Natatjarita, Sigit. Bhimosutji (Bhimopaksa) . Surabaya : Yayasan Daniwara.

Nugroho, Fajar. 2007. Cara Pnter Bikin Film Dokumenter. Yogyakarta : Galangpress.

Poespaningrat, Pranoedjoe. 2008. Nonton Wayang Dari Berbagai Pakeliran. Yogyakarta : PT. BP. Kedaulatan Rakyat.

(67)

Sudjarwo Heru S, Sumari, Wiyono Undung. 2010. Rupa dan Karakter Wayang Purwa. Jakarta : Kaki Langit.

(68)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA

Afrina Rahmaniar

ALAMAT

Jl. Semeru No.101 Kec. Kauman Tulungagung, Jawa Timur

E-MAIL

near_frena@yahoo.co.id

TEMPAT, TGL

LAHIR

Tulungagung, 18 April 1988

STATUS

Belum Menikah

PENDIDIKAN

2007 - 2011 S-1 DESAIN KOMUNIKASI VISUAL UNIVERSITAS KOMPUTER

INDONESIA (UNIKOM), BANDUNG

Bendahara 1 GEMPA (Organisasi Pecinta Alam)

(OSIS) Bela negara

(OSIS) Bendahara

Ketua PMR (PRAMUKA)

PENGALAMAN MAGANG

2010 Majalah Suave

KEMAMPUAN SPESIFIK

Tugas Akhir (TA)

(69)

STUDI KARAKTER VISUAL WAYANG KULIT GAGRAK SURAKARTA

Komputer MS Office (Ms Word, Ms PowerPoint)

Gambar

Gambar II. 1 Raden Werkudara Surakarta
Gambar II. 2 Raden Werkudara Yogyakarta
Gambar II. 6 Bentuk gelung Supit urang untuk tokoh wayang kulit
Gambar IV. 1 Konsep peletakan kamera untuk pagelaran wayang kulit, wawancara
+3

Referensi

Dokumen terkait

Teguh, Moral Islam Dalam Lakon Bima Suci, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 Tofani Muchtar Abi, Mengenal Wayang Kulit Purwa.. Wujud, Karakter

Judul Tulisan: Pertunjukan Wayang Kulit Purwa lakon Cupu Manik Astagina sebagai Media Dakwah.. Penerbit: Fakultas Bashasa

Dari seluruh bagian rupa, pakaian dan perhiasan wayang kulit sudah memiliki pakem yang tidak dapat dirubah karena berkaitan dengan identitas dari tokoh tersebut,

Di d alam pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta lakon Kresna Gugat menjadi bagian penting yaitu untuk koreksi terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh tokoh

Seperti yang terlihat pada lakon Dewa Ruci justru Bima lebih banyak menampilkan karakter yang mencerminkan tataran dewa ya, memiliki perspektif sifat kehidupan di

Pertunjukan wayang kulit Joblar dengan lakon “ Tualen Caru ” sebagai media hiburan atau tontonan sekaligus mengandung tuntunan yang dalam hal ini disebut nilai pendidikan

Ajaran hablumminal 'alm atau hubungan antara manusia dengan alam yang disampaikan dalam pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Cupu Manik Astagina” sajian dalang Enthus Susmono ini di

Micara artinya bahwa seorang dalang harus mempunyai kemampuan dalam menyusun kata-kata serta piawai Nilai-nilai karakter yang disuguhkan dalam wayang kulit Cenk Blonk dengan lakon