• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN DOKTER DALAM PELAYANAN MATERNAL DI 001

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN DOKTER DALAM PELAYANAN MATERNAL DI 001"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 PERAN DOKTER DALAM PELAYANAN MATERNAL DI PUSKESMAS

KOTA YOGYAKARTA

Physician’s Role in Maternal Care on Yogyakarta’s Puskesmas Lucky M Hatta1, Laksono Trisnantoro2, Ova Emilia3

1. Dinas Kesehatan Tapin, Kalsel

2. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UGM, Yogyakarta 3. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM, Yogyakarta

Abstrak

Latar Belakang: Penolong persalinan terampil didefinisikan sebagai ahli kandungan, dokter, perawat atau bidan. SDKI 2012 menunjukkan utilisasi dokter dalam menolong persalinan hanya 1%.

Tujuan: Mempelajari peran dokter dalam pelayanan maternal di Puskesmas dan opini mereka dalam pelayanan maternal.

Metode: penelitian deskriptif analitik dengan desain mixed method dengan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data kuantitatif dengan kuisioner terhadap 36 dokter (53%) dari populasi 68 dokter di 18 Puskesmas Kota Yogyakarta sebagai responden. Peran dokter diukur dengan menggunakan variabel persepsi pada regulasi, persepsi pada sumber daya/peralatan, dan persepsi pada beban kerja. Pengambilan data kualitatif dari dokter, Sp.OG dan Bidan dilakukan pada opini mereka terhadap peran dokter dalam pelayanan maternal di Puskesmas.

Hasil Penelitian: 8.3% responden baik, 47.2% cukup baik, dan 44.4% kurang baik dalam kriteria peran dokter di pelayanan maternal Puskesmas. Dokter tidak pernah melakukan pemeriksaan ANC, INC, dan PNC di Puskesmas, dan hanya sebagai koordinator Tim PONED.

Kesimpulan: Penyebab menurunnya peran dokter dalam maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta karena takut litigasi, persepsi peran dan kompetensi klinis dokter yang buruk akibat pre-service training deficit, minim fasilitas, kurangnya pelatihan vokasi, remunerasi yang tidak memadai, kurangnya definisi peran akibat kebijakan parsial SDM kesehatan oleh pemerintah dalam kesehatan maternal neonatal yang out-of-date menyebabkan terjadinya task shifting dan task delegating dalam lingkup praktek umum.

Kata Kunci: Dokter Puskesmas, Pelayanan maternal Puskesmas, Peran dokter, Persepsi dokter, Opini dokter, intrapartum dokter, dampak kebijakan kesehatan maternal-neonatal.

Abstract

Background: Skilled birth attendant defined as Obstetrician, physician, nurse or midwife.

IDHS 2012 showed physician’s utilization on intra partum only 1%.

Objective: to examine the physician’s role in maternal care on Puskesmas and their

opinion on maternal care.

Methods: a descriptive analytic design through a mixed method by cross sectional

approach. Quantitative data collection by questionnaire to 53% of physician’s population on 18 Puskesmas as respondents on Yogyakarta City. The physician’s role stately by

perception of regulation, perception of resources/equipment, and perception of workload as variables. Qualitative data retrieved from midwife and obstetrician performed on their opinion of physician's role in maternal care on Puskesmas.

Results: 8.3% of respondents good in criteria, 47.2% is fair, and 44.4% unfavorable. Physicians never do assessment for ANC, INC and PNC for mothers on the Puskesmas.

Conclusion:The physician’s role in maternal has decreased in Yogyakarta’s Puskesmas initiated by fear of litigation, low in role’s perceptions, and clinical incompetence by pre -service/campus training deficiency, absence of facilities, vocational training deficiency, unsatisfactory compensation, and role definition insufficiency caused by out-of-date national policy impact on maternal-neonatal health policy.

(2)

2 Pendahuluan

Kehamilan merupakan proses fisiologis normal, suatu kehidupan yang penting dan

family event. Ada banyak profesional yang terlibat dalam perawatan ibu, bayi, dan keluarga mereka, termasuk dokter Sp.OG, Sp.An, Sp.A, dokter dan bidan. Saat ini, ada dua model utama perawatan untuk ibu hamil yaitu: Asuhan bidan (midwife-led) untuk ibu yang berisiko rendah, dan Asuhan dokter Sp.OG (consultant-led) untuk ibu yang beresiko tinggi. Keterlibatan dokter dalam perawatan ibu hamil secara dramatis menurun1. Dokter umum biasanya menjadi pilihan pertama ibu untuk pemeriksaan antenatal setelah mengetahui dirinya hamil, walaupun mereka dapat pergi ke bidan2. Bukti dari survei yang dilakukan oleh Unit Epidemiologi Perinatal Nasional (NPEU) Inggris menunjukkan bahwa saat ibu mengetahui dirinya hamil, 83% pergi ke dokter umum sebagai pilihan pertama3. Namun jika pernah hamil sebelumnya, 17% lebih memilih pergi ke bidan dibanding 7% ibu yang belum pernah hamil. Pada tahun 2007 Commission for Healthcare Audit and Inspection Inggris memiliki temuan yang sama, yaitu 78% ibu mengakses layanan maternal pertama kali datang ke dokter mereka1. Ibu mengunjungi dokter umum pada awal kehamilan hanya untuk konfirmasi, meskipun dengan test-pack

dirumah juga akurat. Ada persepsi yang kuat, bahwa dokter umum akan melakukan test lebih mendalam untuk konfirmasi, agar lebih ‘nyata' dan 'spesial’. Dokter umum pun menjadi orang pertama yang memberikan selamat atas kehamilannya. Walau praktik obstetri saat ini menganjurkan ibu untuk menghubungi bidan langsung dalam kondisi kehamilan darurat, beberapa ibu tetap memilih berkonsultasi dengan dokter umum. Dokumen kebijakan terbaru18 telah gagal untuk memperjelas peran dokter dalam layanan maternal, dengan beberapa dokter umum mengabaikan itu dan muncul ambivalensi tentang peran mereka sendiri1.

Selain itu, dengan semakin luasnya ilmu kedokteran reproduksi dan perkembangan pesat teknologi medis, penekanan dalam perawatan ibu hamil telah bergeser dari aspek fisiologis, persiapan psiko-sosial dan pemeriksaan patologis, ke aspek medis penilaian risiko kehamilan, seperti pengujian prenatal, pengobatan kondisi patologis, dan intervensi saat persalinan. Proses ini dikenal sebagai 'medikalisasi' kehamilan. Dokter umum telah memberi kontribusi dengan meninggalkan perawatan maternal kepada sejawat mereka, SpOG4. Proses medikalisasi ini menyebabkan kenaikan tingkat sectio caesar21 serta tingkat intervensi keseluruhan pada angka yang tidak dapat diterima, karena ditemukan tidak adanya hubungan langsung dengan morbiditas perinatal dengan angka kematian ibu5. Sementara pendekatan utilisasi bidan untuk persalinan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat di Indonesia juga tidak memiliki dampak antisipasi6, sudah cacat dalam konsep, dan ada masalah serius dengan pelaksanaannya7. Penelitian di Indonesia pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa "Pencapaian cakupan merata dari seluruh persalinan oleh tenaga kesehatan masih merupakan tujuan yang jauh bahkan di kalangan ibu yang menerima perawatan profesional, rasio kematian ibu tetap sangat tinggi meski hampir tiga dekade diintervensi 6".

(3)

3 lagi dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI 2012), yang harus mampu, mandiri, dan tuntas (Level 4-A) dalam menolong partus normal9.

Institusi Puskesmas dalam memberikan pelayanan biasanya terbagi menjadi tiga klinik. Yaitu Klinik Umum, Klinik Gigi dan Mulut, serta Klinik KIA. Ada beberapa Puskesmas juga memberikan layanan Klinik Gizi, dan Klinik Sanitasi pada hari-hari tertentu10. Dan yang menjadi perhatian adalah, mengapa dokter jarang melakukan pemeriksaan maternal di Klinik KIA. Mengingat pentingnya menurunkan AKI di Indonesia dan melihat keterlibatan dokter dalam maternitas, maka ingin diketahui,

“Bagaimanakah peran dokter dalam pelayanan maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta?”

Bahan dan Metode Penelitian

Penelitian deskriptif ini menggunakan metode mixed method dengan desain cross sectional. Lokasi Penelitian di Kota Yogyakarta. Populasi yang diteliti adalah 68 dokter PNS10 yang bertugas di 18 Puskesmas utama (cluster) dengan teknik cluster random sampling pada populasi sebanyak 2 dokter setiap Puskesmas, sehingga jumlah sampel 36 orang (53%) dari populasi dokter Puskesmas. Sampel kualitatif adalah 3 Bidan yang bertugas di Puskesmas Poned, dan 1 dokter Sp.OG yang dipilih secara random sampling. Instrumen data kuantitatif berbentuk kuesioner untuk variabel dependent peran dokter dalam pelayanan maternal dan independent yaitu, persepsi dokter terhadap regulasi, persepsi dokter pada sumber daya/peralatan, persepsi dokter pada beban kerja. Untuk data kualitatif dilakukan dengan pedoman wawancara. Analisis data menggunakan analisis univariat dalam bentuk deskripsi untuk tiap variable, dan analisis bivariat untuk melihat korelasi antara variable dependent dan variabel independent.

Hasil Penelitian

Distribusi Karakteristik Responden

Dari 36 responden yang diwawancarai diperoleh hasil bahwa responden yang paling banyak terdapat pada kelompok umur 30 - 39 sebanyak 25 orang (70%). Dan responden yang paling sedikit pada kelompok umur >40 tahun sebesar 5 orang (14%). Umur yang paling muda adalah 28 tahun dan paling tua adalah 49 tahun dengan rata-rata umur responden adalah 38 tahun.

Sedangkan berdasarkan masa kerja diperoleh hasil bahwa masa kerja responden paling banyak adalah antara 5 - 9 tahun yaitu 16 responden (44%), masa kerja terendah 3 tahun, dan masa kerja tertinggi 18 tahun sehingga rata-rata masa kerja 11 tahun. Dan 52.7% berdomisili di Kota Yogyakarta.

Jumlah responden terbanyak adalah wanita yaitu 30 orang (84%). Tercatat ada 21 orang dokter alumni dari PTN (69%) dan 15 orang dari PTS (31%). Dokter alumni FK UGM menjadi mayoritas sebanyak 17 orang atau 47% dari 36 responden.

(4)

4

Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden (n=36) No. Karakteristik Responden F (orang) (%)

1 Umur

40 – 49 tahun 5 14

30 – 39 tahun 25 70

20 – 29 tahun 6 16

2 Jenis Kelamin

Pria 6 16

Wanita 30 84

3 Lama Bekerja

10 - 14 tahun 6 16

5 - 9 tahun 16 44

0 - 4 tahun 14 40

4 Domisili

Di Kota Yogya 19 53

Di luar Kota Yogya 17 47

5 Alumni FK

1. PTN 21 69

2. PTS 15 31

6 Pelatihan yg pernah diikuti

- Poned 6 16

- Obs-Neo Emergency (ONE) 1 3 - PPGD Obstetri-Neonatal 1 3

- CTU 4 11

- Papsmear + IVA test 4 11

- IUD 4 11

Tidak Pernah Pelatihan 16 45

Hasil Uji Statistik

Uji normalitas adalah untuk mengetahui suatu data berdistribusi normal atau tidak, berdasarkan patokan distribusi normal data dengan mean dan standard deviasi yang sama dan melakukan perbandingan antara data yang dimiliki dengan data berdistribusi normal. Berdasarkan tabel normalitas berikut ini, maka dapat disimpulkan bahwa keempat variabel >0.05 dan memiliki distribusi normal.

Tabel 2 Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Peran Dokter Total Score .126 36 .160 .932 36 .028 Regulasi Total Score .113 36 .200* .963 36 .263 Sumberdaya Total Score .111 36 .200* .967 36 .346 Beban Kerja Total Score .106 36 .200* .954 36 .136

Tabel 3 Correlations

Spearman's ρ Regulasi Sumberdaya Beban Kerja

Peran Dokter

Correlation Coeff -.430 .650** .157

Sig. (2-tailed) . 001 . 000 . 000

N 36 36 36

(5)

5 dalam persalinan, kekuatan hubungan antara kedua variabel tersebut bersifat kuat (ρ=0,650).

Hasil analisis hubungan menggunakan uji rank-spearman pada persepsi Beban Kerja diperoleh p-value sebesar 0,000<0,05, maka Ho diterima yaitu ada korelasi antara persepsi beban kerja dengan Peran dokter, walaupun kekuatan hubungan keduanya bersifat lemah (ρ=0,157), persepsi beban kerja tidak terlalu signifikan pada peran dokter dalam maternal di Puskesmas.

Distribusi Kriteria Responden menurut variable

Tabel 4 Kriteria responden menurut variabel

No Variabel n F %

1 Peran Dokter dalam Pelayanan Maternal di PKM 36 - Kurang baik 16 44.4

- Cukup Baik 17 47.2 - Baik 3 8.3

2 Persepsi terhadap regulasi 36

- Kurang 26 72.2 - Cukup 8 22.2 - Baik 2 5.6 3 Persepsi terhadap sumberdaya/peralatan di PKM 36

- Kurang lengkap 19 52.8 - Cukup lengkap 9 25

- Lengkap 8 22.2

4 Persepsi terhadap beban kerja di PKM 36

- Ringan 20 55.6 - Sedang 16 44.4 - Berat 0 0

Menurut Tabel 4 berdasarkan kriteria variabel memperlihatkan bahwa peran dokter 47.2% cukup baik dalam maternal, dan 44.4% responden dengan kriteria kurang baik, dan 8.3% responden baik dalam pelayanan maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta.

52.8% responden menyatakan bahwa sumberdaya/peralatan yang diperlukan untuk memberikan pelayanan maternal masih kurang lengkap di Puskesmas mereka, 25% menilai sumberdaya/peralatan cukup lengkap, dan lengkap 22.2%.

Pada Persepsi beban kerja, 55.6% responden berpendapat beban kerjanya ringan, sementara 44.4% berpendapat beban kerja mereka sedang. Persepsi 72.2% dokter terhadap regulasi sangat kurang atau rendah, persepsi 22.2% responden terhadap regulasi cukup baik, dan baik 5.6% responden.

Analisis Univariat

a. Peran Dokter dalam Pelayanan Maternal di PKM Kota Yogyakarta

(6)

6 dirumahnya sendiri (77,8%), yang menarik adalah ditemukan 50.8% dokter yang setuju untuk melepas kewenangannya kepada bidan dalam perawatan maternal.

Terdapat 66.7% dokter tidak setuju bila bumil bebas memilih tempat melahirkan di rumah atau di fasilitas kesehatan, dan 94.4% responden setuju pada kebijakan pemerintah yang mengharuskan bumil partus di fasilitas kesehatan. Didapati juga ada 83.3% responden mengatakan bahwa beban kerjanya ringan, dan 50% berpendapat tidak ada potensi sengketa antar profesi bila berperan dalam pelayanan maternal.

Menurut survey pula, terdapat 77.8% responden setuju bila perawatan maternal adalah sebuah opsi dalam prakteknya, dan 52.8% responden setuju untuk perubahan metode kepaniteraan obstetri di FK, serta 83.3% responden setuju untuk pelatihan vokasi yang berfokus pada kehamilan normal dan abnormal yang dapat ditangani mereka, dan setuju untuk memperbaharui sistem remunerasi dokter dalam pelayanan maternal, juga setuju bahwa perawatan maternal harus berbasis masyarakat dan dekat dengan rumah pasien (63.9%).

(7)

7 b. Persepsi Dokter terhadap Regulasi

Tabel 6 Distribusi Frekuensi Kuisioner Persepsi terhadap Regulasi

Dari Tabel 6 ada 63.9% responden yang tahu dan mengerti tugas dan fungsinya pada pelayanan maternal di Puskesmas, dan 72.2% responden mengerti perbedaan kewenangan antara dokter dan bidan dalam SOP di Puskesmas. Juga 80.6% responden setuju untuk mengatur kembali kewenangan bidan/perawat. Menurut mereka, 44.4% setuju UU Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran tidak spesifik mengatur kewenangan dokter, dan 52.8% berpendapat UU Praktik Kedokteran lebih banyak mengatur administrasi .

Responden juga berpendapat bahwa tidak ada dukungan perlindungan hukum dari Pemda terhadap gugatan yang timbul dari pekerjaannya di Puskesmas (69.4%), sementara 92% responden menyatakan adanya JKN/BPJS akan menambah tuntutan terhadap kinerjanya. Persepsi mereka bahwa Pemerintah terlalu menonjolkan bidan dalam kebijakan kesehatan maternal dan perinatal (80.6%), juga 55.6% dokter berpendapat bahwa selama ini kebijakan kesehatan maternal nasional selalu tidak mengikutsertakan dokter, dan 38.9% menganggap bahwa Jampersal hanya untuk Bidan dan Sp.OG saja.

c. Persepsi Dokter terhadap Sumberdaya/Peralatan

Tabel 7 berikut ini adalah persepsi dokter Puskesmas terhadap sumberdaya/peralatan ditempatnya bekerja. Mereka 100% setuju bahwa di Puskesmas tersedia tempat pemeriksaan yang tertutup, dan tersedia perlengkapan tensi dan infus set, tersedia tempat pemeriksaan yang diterima oleh masyarakat (88.9%), dan ambulance untuk merujuk ibu hamil dan janin (97.2%).

Untuk persalinan, 75% responden mengatakan ada ruangan bersih dan sehat di Puskesmas, 69.4% ada perlengkapan dan peralatan untuk perawatan infant, 97.2% tersedia alat darurat dan sterile gloves. Juga 88.9% mengatakan adanya perlengkapan untuk pertolongan persalinan yang bersih dan aman, namun hanya 66.7% mengatakan ketersediaan obat-obatan dan perlengkapan yang tepat untuk persalinan di Puskesmas, termasuk partus set yang harus selalu ada walau tidak lengkap (69.4%), dan hanya 77.8% responden menyatakan ada obat anti hipertensi yang dibutuhkan saat emergency persalinan di Puskesmas.

F % F % F %

4 Kewenangan bidan/perawat perlu diatur kembali 29 80.6 5 13.9 2 5.6 Setuju Tdk Setuju

No Pernyataan

1 Saya tahu dan mengerti pada tugas pokok dan fungsi saya

sebagai dokter pada pelayanan maternal di puskesmas. 23 63.9 -2 Terdapat perbedaan kewenangan antara dokter dan bidan dalam

pelayanan maternal (ANC/INC/PNC) dalam SOP di Puskesmas 26 72.2 1 3

Selama ini kebijakan kesehatan maternal nasional selalu tidak mengikutsertakan dokter

16 44.4 9

5

UU Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran tidak spesifik mengatur kewenangan dokter

29 80.6 4 Pemerintah terlalu menonjolkan bidan dalam kebijakan kesehatan

maternal dan perinatal

14 38.9 12

8 UU Praktik Kedokteran No.29/2004 lebih banyak mengatur

administrasi 19 52.8 7

6

20 55.6 7

10 Adanya JKN/BPJS akan menambah tuntutan terhadap kinerja

dokter. 33 91.7 2

9 Tidak ada dukungan perlindungan hukum dari Pemda terhadap

gugatan yg timbul dari pekerjaan dokter di Puskesmas 25 69.4 6 7 Pelaksanaan Jampersal hanya untuk Bidan dan Sp.OG saja, dan

tidak melibatkan dokter umum

25 11 30

Tdk Tahu

- 13 36.1

2.8 9 25

11.1 3 8.3

19.4 9 25

33 10 27.8

19.4 10 27.8

17 5 13.9

(8)

8 Tabel 7 Distribusi Frekuensi Persepsi Dokter terhadap Sumberdaya/Peralatan

d. Persepsi Beban Kerja

Dari Table 8 terlihat, bahwa 80.6% responden membuat laporan kegiatan lainnya di Puskesmas, kemudian 88.9% mengikuti rapat, dan 97.2% melaksanakan KIE di masyarakat. Bersama Kepala Puskesmas, 80.6% responden menyusun jadwal kegiatan rutin, namun 47.2% responden menyatakan tidak pernah ditugaskan khusus untuk melakukan pelayanan maternal, dan 66.7% tugas tambahan yang diterima dokter tidak berhubungan langsung dengan pelayanan maternal, dan hanya 22.2% responden yang mendapat tugas tambahan dalam bidang maternal.

Tabel 8 Distribusi Frekuensi Persepsi Beban Kerja

Mereka juga menyatakan bahwa pelayanan ANC tidak bisa dilakukan karena banyaknya pasien umum (80,6%), dokter juga banyak membuat pencatatan dan pelaporan (50%), dan tugas integrasi lain yang mengganggu tugas pokok dokter (41.7%,)

F % F % F %

No Pernyataan Setuju Tdk Setuju

1 Tersedianya tempat pemeriksaan yang tertutup di

Puskesmas 36 100

-3 Tersedia transportasi untuk merujuk ibu hamil dengan cepat

jika terjadi kegawat daruratan ibu dan janin 35 97.2 -2 Tersedianya tempat pemeriksaan yang dapat diterima

masyarakat 32 88.9 2

5 Adanya alat untuk pertolongan termasuk beberapa sarung

tangan DTT/steril 35 97.2

-4 Tersedia obat-obatan dan perlengkapan yang tepat untuk

dipergunakan saat persalinan di Puskesmas 24 66.7 10

7 Adanya perlengkapan untuk pertolongan persalinan yang

bersih dan aman seperti air bersih, sabun dan handuk 32 88.9 2 6 Tersedia ruangan yang hangat, bersih dan sehat untuk

persalinan 27 75.0 7

9 Peralatan partus set harus selalu ada meskipun tidak

lengkap 25 69.4 9

8 Adanya perlengkapan dan peralatan untuk perawatan yang

bersih dan aman bagi bayi baru lahir 25 69.4 9

11 Tersedianya obat anti hipertensi yang dibutuhkan untuk

kegawatdaruratan (mis: Mg Sulfat, Ca glukonas) 28 77.8 8 10 Tersedianya perlengkapan penting untuk memantau

tekanan darah dan memberikan cairan IV 36 100

-Tdk Tahu

- -

-5.6 2 5.6

- 1 2.8

27.8 2 5.6

- 1 2.8

19.4 2 5.6

5.6 2 5.6

25.0 2 5.6

22.2 -

-25.0 2 5.6

- -

-F % F % F %

No Pernyataan Setuju Tdk Setuju

1 Selain memeriksa pasien umum, saya juga membuat laporan

untuk kegiatan lainnya di PKM 29 80.6 7

3 Bersama Ka Puskesmas saya menyusun jadwal kegiatan rutin

yang akan dilaksanakan 29 80.6 3 2

Selain memeriksa pasien umum saya juga menghadiri rapat-rapat 32 88.9 4

5 Kegiatan pelayanan ANC tidak dilakukan krn banyaknya pasien

umum di PKM 29 80.6 7

4 Selain memeriksa pasien umum saya juga melaksanakan KIE

kepada masyarakat 35 97.2 1

7 Saya ditugaskan oleh Ka Puskesmas untuk memberikan pelayanan

maternal di KIA 16 44.4 17

6 Tugas-tugas integrasi/tambahan sangat mengganggu tugas

pokok saya sebagai dokter 15 41.7 20

9 Tugas tambahan yang diterima oleh saya berhubungan langsung

dengan kesehatan maternal 8 22.2 24 8 Selain memeriksa pasien, saya juga melaksanakan pengabdian

kepada masyarakat 36 100

-10 Pencatatan dan pelaporan yang dibuat oleh saya banyak

macamnya dan kompleks 15 41.7 18

Tdk Tahu

19.4 -

-11.1 -

-8.3 4 11.1

2.8 -

-19.4 -

-55.6 1 2.8

47.2 3 8.3

- -

-66.7 4 11.1

(9)

9 Analisis Bivariat

Tabel 9 Crosstable Peran Dokter terhadap Persepsi Regulasi, Persepsi Sumberdaya, dan Persepsi Beban Kerja

Variabel

Peran Dokter dalam Pelayanan Maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta

Kurang baik Cukup baik Baik n %

Persepsi Regulasi

Kurang 10 (28%) 13 (36%) 3 (8,4%) 26 72.4

Cukup 4 (11%) 2 (5.5%) 0 6 16.6

Baik 2 (5.5%) 2 (5.5%) 0 4 11

Total 16 (44%) 17 (47.6%) 3 (8.4%) 36 100

Persepsi Sumberdaya/

Peralatan

Kurang Lengkap 12 (33.4%) 7 (19.4%) 0 19 52.8

Cukup Lengkap 2 (5.5%) 6 (17%) 1 (2.5%) 9 25

Lengkap 2 (5.5%) 4 (11.2%) 2 (5.5%) 8 22.2

Total 16 (44.4%) 17 (47.6) 3 (8%) 36 100

Persepsi Beban Kerja

Ringan 9 (25%) 9 (25%) 2 (5.5%) 20 55.5

Sedang 7 (19.5%) 8 (22.3%) 1 (2.7%) 16 44.5

Berat 0 0 0 0 0

Total 16 (44.5%) 17 (47.3%) 3 (8.2%) 36 100

Dari Tabel 9 diketahui bahwa hanya 8.4% dokter yang memiliki peran baik dengan Persepsi Regulasi kurang. Dari 47.6% dokter yang memiliki Peran Cukup baik dalam pelayanan maternal, sebagian besar mempunyai pemahaman yang kurang dalam Persepsi Regulasi (36%). Ada 44% dokter yang memiliki peran kurang baik, dengan 28% mempunyai persepsi regulasi kurang.

Dari 26 responden (72.4%) yang Persepsi regulasinya kurang, proporsi peran dokter cukup baik (36%) lebih besar dibandingkan proporsi peran dokter yang kurang baik (28%) dan baik (8,3%) dalam pelayanan maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta. Persepsi Sumberdaya/peralatan berpengaruh pada peran dokter dalam pelayanan maternal. Walaupun Sumberdaya/peralatan yang lengkap (22.2%) proporsi peran dokter cukup baik (11.2.3%) dua kali lipat dari proporsi peran dokter baik dalam maternal (5.5%). Dan dari 17 (47.6%) responden yang memiliki peran cukup baik, 7 responden (19.4%) memiliki persepsi sumberdaya/peralatan Puskesmasnya kurang lengkap, 6 responden (17%) cukup lengkap, dan 4 responden (11.2%) mempunyai persepsi peralatan Puskesmasnya lengkap.

Dari 52.8% responden yang memiliki persepsi sumberdaya/peralatan kurang lengkap, mayoritas responden (33.4%) memiliki peran kurang baik, 19.4% responden cukup baik, dan 0% responden baik dalam pelayanan maternal.

Dari tabel juga dapat dilihat, bahwa sebanyak 55.5% responden mempunyai persepsi beban kerja ringan di Puskesmas, sebanyak 50% dokter kurang dan cukup berperan dalam pelayanan maternal, dan hanya 5.5% dengan persepsi beban kerja ringan memiliki peran baik dalam pelayanan maternal di Puskesmas.

Dari variabel persepsi beban kerja sedang sejumlah 16 responden (44.5%), terdapat 19.5% responden yang berperan kurang baik, dan 22.3% cukup baik dalam maternal. Hanya 2.7% yang dapat mempunyai peran baik dalam persepsi beban kerja sedang. Pada variable persepsi beban kerja, tidak ada responden (0%) yang menganggap beban kerjanya di Puskesmas berat.

Kualitatif

Karakteristik Responden

Yang menjadi responden pada penelitian ini adalah petugas yang membawahi Pelayanan Maternal dalam pelayanan di Puskesmas Poned, dan dokter Sp.OG, yaitu : 1) Satu bidan di PKM Tegalrejo, dan Dua Bidan di PKM Jetis

(10)

10 Pada hasil wawancara dengan empat orang responden untuk mendapatkan opini responden terhadap peran dokter dalam pelayanan maternal di Puskesmas didapat hasil sebagai berikut:

a. Bidan

Wawancara yang dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan sesuai pedoman wawancara yang dibuat adalah sebagai berikut:

1) Peran dokter dalam pelayanan maternal di Puskesmas sehari-hari.

Peran dokter dalam pelayanan maternal hampir dapat dikatakan hanya struktural, misalnya sebagai Penanggung Jawab Tim PONED, sebagai Koordinator Rawat jalan, atau Rawat Inap. Dan bukan sebagai klinisi di Klinik KIA Puskesmas. Semua pemeriksaan pasien Bumil dilakukan oleh bidan. Hal tersebut dapat dilihat dari wawancara berikut ini: - Bd1: begini, di Puskesmas ini biasanya dokter A hanya sebagai penanggung jawab

ti Po ed…bila ada asalah da tidak ada reside , baru kami langsung

menghubungi dokter A

- Bd2: … peranannya dokter disini yaitu sebagai dokter koordinator rawat jalan dan

rawat i ap…kan kita disini ada empat grup ti Po ed ya …terus sebagai

dokter dalam pelayanan USG kalo ndak ada residen

- Bd3: disi i dokter ya sebagai pe a ggu g jawab rawat i ap ater al…jadi kalo

ada sesuatu aja bila diperlukan data g…ka dekat, di ru ah di as si i…tapi

kalo ti daka jara g…

2) Konsultan bila menemui kesulitan dalam pelayanan Maternal di Puskesmas.

Dokter yang berfungsi sebagai Koordinator Tim PONED atau Koordinator Rawat Inap menjadi tempat terakhir bidan untuk bertanya bila ada masalah pada pelayanan maternal. Sebagai konsultan pertama bidan adalah Bidan Senior/Koordinator, kemudian residen atau dokter anak untuk perinatal, selanjutnya dokter. Ini dapat dilihat dari hasil wawancara:

- Bd1 : disi i kare a siste ya kerja sa a…terga tu g a ti je is kesulita ya g

ka i hadapi… isal ya ti daka kalau kita yang belum terampil, itu kita

bertanya kepada bidan yang lebih terampil atau se ior… kalau bidan seniornya juga belum terampil, kita biasanya dengan reside …atau dokter sini...tergantung kasusnya juga, …biasa ya sih, lebih seri g de ga bida

ya g lebih se ior…

- Bd2 : ah…kalo kita ada kesulitan, pertama saya konsul ya..., ke bidan koordinator yang sudah banyak pengalaman dan lebih senior dulu..., baru ke dokter…kemudian dokter anak untuk Perina

- Bd3 : … kita bisa ya diskusi dulu dala ti bida Po ed… isal ya i partu…, bila

tidak bisa ditangani kami berta ya ke reside bila ada…bila tidak ada baru ke dokter

3) Bila dokter melakukan pemeriksaan ANC di klinik KIA Puskesmas.

Ada keberatan dari bidan bila dokter ikut serta melakukan ANC di klinik KIA Puskesmas. Ini terkait dengan kewenangan bidan yang diatur dalam KMK No. 369/2007 yang memberikan wewenang penuh pada Bidan untuk melakukan ANC, INC, dan PNC. Bila ditelaah maka KMK 369/2007 telah memberikan bidan hak eksklusif pada kesehatan maternal dan neonatal dari Pra Konsepsi, KB, Ginekologi, hingga penggunaan obat/ramuan tradisional pada kehamilan dan masa nifas. Berikut ini adalah hasil wawancara bidan tentang ANC;

(11)

11

dokter siapa…tapi ba yak pasie ya g e ilih bida ya g biasa periksa sebelumnya

- Bd2: … kalo ANC ataupun PNC disini yang menangani bidan…kalo ada dokter nanti peran bidan yang semestinya.., tidak i i, do g… alah kita bi gu g…

- Bd3: … Na ti kewe a ga bida ya gi a a…nanti kita kerjanya apa..?

4) Membantu dokter dalam pertolongan persalinan di Puskesmas, dan yang memimpin. Dari hasil wawancara ditemukan, bahwa dokter tidak pernah menolong dan memimpin persalinan di Puskesmas PONED.

- Bd1: … kalo dokter u u disi i…sela a saya disi i… saya belu per ah e e uka ada ya g olo g partus…pali g sa a reside …itupu kalo lagi

jaga

- Bd2: … kalo itu kebetula belu per ah…sela a saya tugas disini dua tahu …da

di Puskes as sebelu ya juga belu per ah…

- Bd3: … dokternya cuma ndampingi aja..,kadang diluar, kadang didalam VK...yang melakukan dan yang i pi ya bida …

b. Dokter Sp.OG

1) Peran dokter dalam perawatan maternal.

Ada keengganan dari Sp.OG saat ditanyakan tentang peran dokter dalam perawatan maternal. Walaupun akhirnya diakui, bahwa dokter memang hampir tidak ada peran di pelayanan maternal karena merasa belum punya kompetensi.

Waduhhh… a ti gga etis... takut mendiskreditkan dokter umum nanti…

….yaa.., tapi kalo secara anu, hampir ndak ada pera ya ya….mereka untuk lebih ke maternal itu sendiri ngga tau merasa belum punya kompetensi

disitu…atau gi a a,ya…ya buka ya ogah, gitu…e a g ke yataa ya

begitu…dokter umum rata-rata gga au..

2) Bekal sebagai dokter untuk melakukan intrapartum care saat mengikuti kepaniteraan obstetri.

Pelemahan fungsi dan peran dokter di bidang maternal telah dimulai sejak mereka co-ass

di Kepaniteraan Obstetri. Proses sistematis task shifting dan task delegating di Institusi Pendidikan Kedokteran sudah ditekankan saat dokter menempuh masa Pendidikan Profesi melalui etika.

…. Waktu kita dokter uda ya…itu aja kita e batasi.., bukan membatasi

apa, kare a etika tak tertulis seperti itu, sih…kita sali g e jaga batasa

bahwa kita ndak mau ambil alih yang sudah bidangnya dia…Gitu aja.., kalo dulu ya, jelas kita ditekankan untuk tidak rebutan pasien lah, kata senior kita: jadi turun derajad!

3) Keterlibatan sebagai dokter sebelum menjadi Sp.OG dalam perawatan maternal. Karena proses pelemahan fungsi dan peran dokter dalam maternal sudah dimulai di Institusi Pendidikan Kedokteran, maka berakibat pada minimnya keterlibatan dokter dalam perawatan maternal, termasuk di Puskesmas sebagai institusi yang menjalankan

task shifting. Sehingga ada keengganan dokter untuk terlibat dalam maternal.

…. Waktu dulu saya di Puskesmas.., bila ada pasien yang ingin periksa hamil ke saya, pertanyaan kita pertama kali: Ibu sudah ke Bida belu ..? Advice bidannya apa..? dikasih obat apa…? “udah bener ini, bu..,nanti malah saya kasih obat yang sama, gga ada beda ya ….

(12)

12 Sistem kesehatan maternal yang di buat oleh pemerintah dengan mengedepankan bidan sebagai “agen” maternal perinatal, telah membuat dokter tidak pernah merujuk pasien kepada Sp.OG. Sp.OG lebih banyak menerima rujukan atau konsul dari bidan.

…. Wah… gga per ah saya terima rujukan dari dokter umum… ol

persen..., kebanyakan bidan malah yang merujuk ke kita dirumah sakit, kalo konsultasi, ya paling dari junior kita yang di Obgyn...

5) Perlunya dokter lebih dilibatkan lagi dalam sistem pelayanan maternal untuk kasus tertentu.

Persistensi terhadap system pelayanan maternal yang sudah terbentuk selama 25 tahun telah membuat dokter umum sulit untuk berperan serta dalam pelayanan maternal. Diperlukan inisiasi dari pemerintah untuk melibatkan mereka dengan merubah kebijakan maternal nasional. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan Sp.OG berikut:

…. Kalo saya bilang ndak…saya pribadi bila g dak…kare a kalo dokter masuk ke Maternal, kan sudah ada bidan yang menangani disitu…dari jaman BKKBN dulu semua program pemerintah kan, yang dijadikan ujung tombak memang bidan …lha terus, kalo dokter umum mengambil alih porsi itu juga tidak pada tempatnya karena semua program pemerintah kan larinya ke bidan, da di support sa a depkes se diri… ah kita itu.., cuma etika aja…ja ga erebut rejeki ya ora g gitu…

Pembahasan

Menurunnya Peran Dokter dalam Pelayanan Maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta

Jenis pelayanan maternal yang diberikan oleh dokter bervariasi dan berubah dari waktu ke waktu. Selama 30 tahun terakhir, telah terjadi penurunan penyediaan perawatan intrapartum oleh dokter di banyak negara. Berbagai faktor untuk menjelaskan penyebabnya yaitu: ancaman litigasi, tingginya premi asuransi malpraktek, persepsi kompetensi klinis dokter yang buruk, kurangnya pelatihan, tuntutan gaya hidup, kurangnya fasilitas, tekanan medicopolitical, jenis pelatihan vokasi, jenis masyarakat yang dilayani, model peran yang sesuai, kurangnya waktu, remunerasi yang tidak memadai, dan kurangnya definisi peran11. Semua ini dianggap bertanggung jawab pada menurunnya perawatan maternal pada dokter.

Dari hasil penelitian kuantitatif didapat, bahwa dokter dengan kriteria baik dalam pelayanan maternal di Puskesmas hanya 3 responden (8.3%), cukup baik sebanyak 17 responden (47.2%), dan kriteria kurang baik adalah 16 responden (44.4%). Namun bila dilihat dari pernyataan "Idealnya saya ingin menawarkan intrapartum care kepada pasien saya" ada 22 responden (61.1%) tidak setuju, 17 responden (47.2%) tidak setuju dengan pernyataan "Saya yakin dan cukup kompeten dalam obstetri dan menawarkan intrapartum di PKM atau praktek saya", dan 16 responden (44.4%) setuju dengan pernyataan "Saya tidak menawarkan intrapartum care karena kurang percaya diri" yang memperlihatkan adanya obstetric training deficiency pada dokter layanan primer12. Hal ini mendekati hasil penelitian dari David J. Brown13 (1994) di Inggris yaitu 66% dokter tidak setuju ingin menawarkan intrapartum care, 64% tidak setuju pada pernyataan yakin dan kompeten dalam obstetri, dan 49% setuju pada pernyataan tidak menawarkan intrapartum karena kurang percaya diri.

(13)

13 Obstetric training deficiency juga dapat dilihat dari 52.8% setuju pada “metode kepaniteraan obstetri perlu diubah di FK” dan 83.3% setuju pada “Pelatihan vokasi

obstetri harus berkonsentrasi pada kehamilan normal dan abnormal yang dapat ditangani

dokter”. Padahal menurut SKDI 2012 telah mensyaratkan level 4-A, yaitu mampu melakukan secara mandiri dan tuntas saat lulus sebagai dokter8. Tantangan untuk mempertahankan kompetensi dalam konteks low volume adalah tantangan mendasar dokter dalam maternitas16. Hasil riset dengan pertanyaan yang sama di Inggris ditemukan 36% dokter setuju bila metode kepaniteraan obstetri perlu diubah, dan 76% setuju bila pelatihan vokasi obstetri berkonsentrasi pada kehamilan normal dan abnormal yang dapat ditangani oleh dokter13.

Pada pernyataan “Bumil tanpa komplikasi cukup partus di Bidan saja” terdapat 61.1% tidak setuju dan, namun 66.7% setuju bila ”Pemeriksaan postpartum oleh dokter”. Juga 77.8 % responden setuju bila “Pemeriksaan antepartum oleh bidan”, namun 77.8%

responden tidak setuju bila “bidan harus melakukan pemeriksaan rutin pada infant,

asalkan terlatih mendeteksi kelainan kongenital”. Ini menunjukkan kurangnya definisi peran pada dokter dalam maternitas11.

Kurangnya definisi peran, dan obstetric training deficiency dalam maternal akibat dari kebijakan pemerintah pada tahun 1989, yang merilis program Bidan di Desa untuk mengatasi kesenjangan sumber daya manusia dalam mengatasi AKI dan AKB. Tidak dapat dipungkiri, bahwa bidan saja bukanlah jawaban untuk penurunan angka kematian ibu, tapi mendorong dokter untuk memberi perawatan persalinan normal dan mengatasi kesehatan ibu17.

Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan Sp.OG: “…dari jaman BKKBN dulu, semua program pemerintah kan, yang dijadikan ujung tombak memang bidan

…lha, terus kalo dokter umum mengambil alih porsi itu juga, tidak pada tempatnya… karena semua program pemerintah kan larinya ke bidan, dan di support sama Depkes

se diri… Dan …kita gga per ah dapet kasus itu sejak kita kuliah…te bok itu sudah

ada…u tuk erubah i dset itu perlu waktu puluha tahu lagi…, dari pemerintah

se diri…, dokter itu se diri…da di FK sewaktu kuliah selalu dikataka : U tuk urusa

mater al, kita ada itra…siapa? Bida ! Da i dset-nya harus dirubah dari pemerintah dulu .

Pada bulan Maret 2013, Pemerintah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia (RAN PP AKI 2013 - 2015)18 dengan tujuh key programs. Pemerintah tetap menempatkan bidan di desa untuk memegang peran dalam penurunan AKI, dengan Program pertamanya adalah penjaminan kompetensi bidan di desa sesuai standard. Dan pada Program keenam, Peningkatan kemitraan dengan lintas sektor dan swasta, Institusi Pendidikan Kedokteran diwajibkan bekerjasama dengan Pemda/RSUD untuk menempatkan dokter PPDS kebidanan. Dokter umum hanya disebutkan perannya dalam Puskesmas PONED, melalui in-service training, dan tidak disebutkan dalam pre-service training sebagai strategi. Institusi Pendidikan Kedokteran hanya diberi tanggung jawab untuk mendidik dan men-supply Sp.OG saja dan tetap dalam hospital based framework, yang tetap menganggap rumah sakit sebagai the last (going to) heaven dalam maternitas. Walaupun tidak ada bukti yang mendukung klaim melahirkan di rumah sakit pasti aman20. Akibatnya adalah dokter secara langsung dan sistematis telah di”marginal”kan perannya dalam maternitas oleh Pemerintah, dan juga Universitas.

(14)

14 dalam bentuk keterampilan, sikap dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memberikan dasar yang kuat saat terjun di masyarakat. Perubahan tersebut tidak akan menghalangi pengenalan opsi pendidikan elektif bagi mahasiswa yang tertarik memperoleh pengalaman dalam bidang perawatan obstetri. Dari sebuah studi tentang Tingkat Pengetahuan Pada Mahasiswa Yang Akan Lulus Menjadi Dokter Tentang Partograf tahun 2011 di Semarang, memperlihatkan hanya 17 dari 97 mahasiswa (17,5%) yang dapat menulis dan menerapkan pengetahuan tersebut dengan benar dalam simulasi kasus pengisian partograf19.

Pada persepsi dokter terhadap regulasi, ada 80,6% responden setuju bila

“Pemerintah terlalu menonjolkan bidan dalam kebijakan kesehatan maternal dan perinatal”, 55.6% responden setuju bila “kebijakan maternal nasional, selalu tidak

mengikut sertakan dokter”. Serta 80,6% responden setuju bila “kewenangan bidan/perawat perlu diatur kembali”. Ada kebimbangan pada dokter tentang tanggung jawab hukum bila terlibat dalam memberikan perawatan intrapartum yang ditunjukkan oleh 33.3% responden takut pada litigasi. Sedangkan keterampilan yang dibutuhkan dokter adalah dapat menolong partus dengan efektif, dan bidan harus membantu bila dibutuhkan20.

Selain itu, 69.4% responden juga berpendapat bahwa tidak ada dukungan perlindungan hukum dari Pemda terhadap gugatan yang timbul dari pekerjaannya di Puskesmas. Ini berdampak defensive medicine pada dokter dan dokter Sp.OG, yang menyebabkan naiknya angka SC21. Akibatnya secara perlahan dokter menyetujui kebijakan task shifting yang dibuat Pemerintah di tahun 1989 menjadi task delegation, lalu enggan untuk mengambilnya kembali.

Task delegation ini terlihat dari sikap 50.8% responden yang setuju untuk melepaskan kewenangannya dalam maternitas kepada bidan, walaupun ada 27.8% yang tidak setuju. Juga karena 72.2% responden berpendapat karena kurangnya remunerasi dokter pada intrapartum, 55.6% tidak ingin kehidupan pribadinya terganggu bila tengah malam ada partus, dan 36.1% mengikuti sikap sesama dokter.

Pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikembangkan pada pendidikan dokter, difokuskan pada model perawatan Hospital base. Ketika model perawatan tiba-tiba berubah, adaptasi dan adopsi menjadi sulit. Tak heran, banyak dokter merasa tidak terampil untuk perubahan kondisi20. Hal tersebut dapat dilihat pada 66.7% tidak setuju pada pernyataan “Ibu harus bebas memilih dimana hendak bersalin, dirumah atau di

fasilitas kesehatan” serta 94.4% tidak setuju pada pernyataan ”Kebijakan yang mendorong

ibu untuk harus bersalin di fasilitas kesehatan tidak dapat dibenarkan”, Juga 77.8% tidak

setuju pada “Dokter salah bila menolak bumil yang ingin partus dirumahnya sendiri”.

Ketidakmampuan adaptasi model persalinan menyebabkan 75% responden tidak bisa dipanggil kerumah, dan 58.3% responden tidak dapat menata tempat bersalin dirumah. Sementara tidak ada bukti yang mendukung klaim medicopolitical, bahwa persalinan yang paling aman adalah di rumah sakit22.

Dokter secara tradisional memiliki peran integral dalam proses maternal sebagai komponen komprehensif kesehatan ibu, yang kini semakin menurun proporsinya23. Pada persepsi sumberdaya/peralatan, 22.2% responden menganggap sumberdaya/peralatan di Puskesmasnya lengkap, dan hanya 8% (3 orang) yang berperan dalam maternal sebagai koordinator tim PONED, bukan sebagai klinisi. Dari hasil kualitatif pun, dokter tidak pernah menolong partus di VK Puskesmas PONED, penolong partus tetap Bidan, baik ada atau tidak ada Residen.

(15)

15 mengendalikannya. Pada bidan, hal ini sangat mempengaruhi peran dan kinerjanya dalam menolong persalinan. Tapi peralatan dan obat yang lengkap di Puskesmas PONED tetap tidak membuat dokter mau melakukan pelayanan maternal, baik ANC, INC, dan PNC walau sebagian besar responden (55.5%) mengatakan persepsi beban kerja mereka di Puskesmas ringan, dan juga 50.8% responden setuju untuk melepaskan kewenangan dalam maternitas kepada bidan.

Ketersedian sarana pelayanan sebagai salah satu faktor pendukung juga dikemukakan Gitosudarmo25 yang mengatakan faktor pendukung yang tidak boleh dilupakan adalah sarana atau alat dalam pelaksanaan tugas pelayanan, sarana pelayanan yang dimaksud disini adalah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja dan fasilitas lain yang berfungsi sebagai alat utama/pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan maternal di Puskesmas. Hasil penelitian ini tidak mendukung pendapat yang dikemukakan Gibson26 yang menyatakan ketersediaan sarana dan prasarana berpengaruh terhadap kinerja individu.

Berdasarkan teori yang dikemukakan Ruhimat27 beban kerja sangat berpengaruh terhadap kinerja individu dalam melaksanakan perkerjaan yang dilakukan. Beban kerja dokter yang ringan di Puskesmas, sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai penolong persalinan untuk menurunkan AKI/AKB di Indonesia. Potensi ini sudah saatnya kembali dioptimalkan pemerintah dengan membentuk kebijakan komprehensif dalam utilisasi dokter untuk pelayanan maternal dan neonatal, yang harus dipersiapkan dengan baik oleh Universitas. Keterlibatan dokter dalam perawatan maternal tidak hanya akan memberikan perawatan yang tepat, tetapi juga memanfaatkan sumber daya dengan menghindari rujukan yang tidak perlu28.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan maka disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dokter yang mempunyai peran baik dalam pelayanan maternal di Puskesmas Kota

Yogyakarta ada 3 orang (8,3%), dengan persepsi terhadap regulasi baik 2 orang (5.6%), persepsi dokter bahwa sumberdaya/peralatan lengkap 8 orang (22.2%), dan persepsi dokter bahwa beban kerjanya ringan 20 orang (55.6%).

2. Variabel Persepsi terhadap Regulasi mempunyai korelasi cukup kuat arah negative dengan peran dokter dalam maternal dimana semakin baik persepsi regulasinya akan membuat peran dokter dalam pelayanan maternal di Puskesmas menurun. Variabel Persepsi terhadap sumberdaya/peralatan mempunyai korelasi kuat namun tidak signifikan. Variabel persepsi terhadap beban kerja memiliki korelasi lemah tidak signifikan terhadap peran dokter dalam pelayanan maternal di PKM.

3. Dari hasil penelitian kualitatif di Puskesmas PONED didapatkan bahwa dokter tidak pernah melakukan pelayanan maternal ANC, INC, dan PNC dan hanya berperan sebagai koordinator pada rawat inap atau rawat jalan di Puskesmas, dan lebih berfokus menangani pasien umum.

4. Faktor penyebabnya menurunnya peran dokter dalam maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta adalah ancaman litigasi, persepsi peran dan kompetensi klinis dokter yang buruk karena pre-service training deficit, minim fasilitas, kurangnya pelatihan vokasi, remunerasi yang tidak memadai, kurangnya definisi peran dokter akibat kebijakan parsial SDM kesehatan oleh pemerintah dalam kesehatan maternal neonatal tahun 1989.

5. Ketidakmampuan dokter dalam adaptasi model persalinan non-hospital based menjadi hambatan dalam memberikan perawatan persalinan.

(16)

16 merawat masalah kesehatan lainnya, untuk masalah non-medis lainnya, untuk kesehatan sebelum dan sesudah kehamilan, dan untuk kesehatan keluarga ibu.

7. Dokter umum meninggalkan praktek maternal karena adanya out-of-date kebijakan pemerintah tahun 1989 yang menyebabkan terjadinya task shifting dan task delegating

dalam lingkup praktek umum.

Saran

1. Pemerintah Pusat

a. Membuat program kesehatan ibu dengan memberi peran kepada dokter dalam intra partum dan post partum.

b. Merubah persepsi dalam masyarakat bahwa untuk masalah pelayanan kesehatan maternal dan neonatal bukan cuma bidan yang dapat memberikan pelayanan, tapi juga dokter dan perawat.

c. Memperjelas persalinan oleh tenaga kesehatan menjadi persalinan dokter, persalinan bidan, atau persalinan perawat sebagai indikator.

d. Menghentikan Program Bidan di Desa yang sudah cacat dalam konsep continuum of care yang sesuai dengan UU Kesehatan No.36/2009 dan UU Praktek Kedokteran No.29/2004.

e. Mengembalikan fungsi bidan sebagai perawat maternal neonatal di komunitas atau institusi dengan merevisi Kepmenkes 369/2007.

f. Membuat kebijakan dan menaikkan anggaran in-service training untuk pelatihan vokasi dokter dalam maternal neonatal kepada Pemerintah Daerah.

2. Pemerintah Kota Yogyakarta

a. Menambah jumlah Puskesmas PONED untuk memperluas layanan maternal neonatal untuk menurunkan AKI/AKB.

b. Mengalokasikan dana untuk pelatihan vokasi maternal bagi dokter Puskesmas,

c. Perencanaan dan penganggaran yang terarah untuk pengadaan fasilitas Puskesmas dalam pelayanan maternal.

d. Memberi kepastian perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan dalam menghadapi litigasi karena resiko pekerjaan.

e. Merubah paradigma dalam penanganan kehamilan dan persalinan, dari “Pasien yang

datang” menjadi “Dokter yang datang” untuk partus normal (fire-fighter approach). f. Menaikkan remunerasi dokter dalam pelayanan maternal atau dibuat skema perbedaan

tarif tindakan, khususnya intrapartum dan postpartum yang dilakukan oleh dokter. 3. Institusi Pendidikan Kedokteran

a. Pelemahan fungsi dan peran dokter dalam maternal perlu dihilangkan saat mengikuti Kepaniteraan Obstetri, sesuai dengan Standard Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). b. Merubah kurikulum pendidikan kepaniteraan obstetri yang mempersiapkan dokter agar

terampil dan mau memberi pelayanan maternal terutama partus normal.

c. Menyiapkan training vokasi persalinan normal dan abnormal yang bisa ditangani oleh dokter umum.

Referensi

1. Alex Smith, Judi S, Anna Dixon. (2010) the Role of GPs in Maternity care – What does the

future hold? Research Paper. The King’s Fund. London.

2. Hutton E. (1994) What women want from midwives, obstetricians, general practitioners, health visitors? London: National Childbirth Trust.

3. Redshaw M, Rowe R, Hockle C, Brocklehurst P. (2006) Recorded Delivery: A national survey

of women’s experience of maternity care. Oxford: National Perinatal Epidemiology Unit. 4. Wiegers, T.A. (2003) General practitioners and their role in maternity care. Health Policy:

(17)

17 5. Wagner M. (2001) Fish can’t see water: the need to humanize birth. International Journal of

Gynecology and Obstetrics; 75:S25-37.

6. Ronsmans, C., S. Scott, S.N. Qomariyah, E. Achadi, D. Braunholtz, T. Marshall, E. Pambudi, K.H Witten, and W.J. Graham. (2009). Professional assistance during birth and maternal mortality in two Indonesian districts.
Bulletin of the World Health Organization, v.87: 416-423.

7. Hull, T.H., R. Rusman, and A.C. Hayes. (1998) Village Midwives and the Improvement of Maternal and Infant Health in Nusa Tenggara Timur and Nusa Tenggara Barat. Sydney: Australian Agency for International Development.

8. Statistics Indonesia. (2013) Indonesia Demographic and Health Survey (SDKI) 2012. BPS, BKKBN, Kemenkes, and ICF International. Jakarta.

9. Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012. Peraturan KKI No.11/2012. KKI. Jakarta. 10.Profil Kesehatan DIY 2012. (2013) Dinkes Propinsi DI Yogyakarta.

11.Smith LFP, J., Reynolds, Lawrence. (1995) Factors associated with the decision of family physicians to provide intrapartum care. Canada Med Assoc J. June 1, 1995; 152(11)

12.Triche, Jessica L. (2006) Who Will Take Care of Our Mothers? Papers.

http://www.mombaby.org/UserFiles/File/WhoWillTakeCareofOurMothers.pdf. Diakses tgl 15

Januari 2014.

13.Brown D.J. (1994) Opinions of general practitioners in Nottinghamshire about provision of intrapartum care. BMJ; 309: 777-779.

14.MORI Health Research Maternity Services Summary Report. (1993) Research study conducted for the Department of Health Expert Maternity Group

15. Pecci, CC., Hines, Thomas C., Williams, Charles T., Culpepper, Larry. (2012) How We Built Our Team: Collaborating with Partners to Strengthen Skills in Pregnancy, Delivery, and

Newborn Care. J American Board Family Med 2012; 25:511–521.

16.Grzybowski, Stefan. (2007) Rural maternity care services under stress: the experiences of providers. Canada J Rural Med 2007; 12 (2). Society of Rural Physicians of Canada

17.World Bank. (2010) Indonesia Maternal Health Assessment. Jakarta: World Bank.

18.Kementerian Kesehatan RI. (2013) Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan AKI di Indonesia (RAN PP AKI). Dit Bina Kes Ibu Kemenkes. Jakarta.

19.Anggoro, Gandita (2011). Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Yang Akan Lulus Menjadi Dokter Tentang Partograf. Undip. Semarang.

20.RCGP Maternity Care Group. (1995) the Role of General Practice in Maternity Care. Occasional Paper. Royal College of General Practitioners.v; 72:1-14.

21.Cheng YW, Snowden JM, Handler SJ, Tager IB, Hubbard AE, Caughey AB. (2014). Litigation in obstetrics: does defensive medicine contribute to increases in cesarean delivery? J Maternal-fetal and Neonatal Med. Informa Healthcare, Feb 17, 2014.

22.Campbell R and Macfarlane A. (1994). Where to be born? The Debate and the Evidence. 2nd ed. Oxford, National Perinatal Epidemiology Unit (NPEU). London.

23.Tong, Sebastian T. C., Makaroff, Laura A., Xierali, Imam M., Parwen Parhat., Puffer, James C., Newton, Warren P., and Bazemore, Andrew W. (2012) Proportion of Family Physicians Providing Maternity Care Continues to Decline., J Am Board Fam Med 2012;25:270 –271. 24.Sota, (2003) Pengembangan Sumber Daya Manusia, Airlangga University Press Surabaya. 25.Gitosudarmo, Indrayo dan Sudito, Nyoman, (2000) Perilaku Keorganisasian, Ed.I/cet.2 BPFE

Yogyakarta

26.Gibson, James L Jhon M Ivancevich J.H Doelly, (1995) Organization Behavior Structure and Processes, 5th Ed, Texas Business Publications Inc,

27.Ruhimat. (1993)Beban kerja konsep dan pengukuran, UGM Yogyakarta.

28.Smith LFP. (1996) Should general practitioners have any role in maternity care in the future?

Gambar

Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden (n=36)
Tabel 4 Kriteria responden menurut variabel
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Kuisioner Peran Dokter dalam Pelayanan Maternal  di PKM Kota Yogyakarta
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Kuisioner Persepsi terhadap Regulasi
+3

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu komponen penting yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan pembelajaran Abad 21 adalah kemampuan menggunakan hingga membuat sumber belajar berbasis

DFD Level 0 dari sistem perhitungan jumlah dan jenis kendaraan menggunakan metode Fuzzy C-Means dan segmentasi menggunakan deteksi tepi canny adalah decompose dari

Variabel penelitiannya adalah: (1) variabel bebas: tingkat keterlaksanaan penerapan model pembelajaran bioteknologi bervisi kewirausahaan; (2) variabel terikat: skor

f) Postest : Setelah melakukan treatment model reciprocal teaching di kelas eksperimen langkah selanjutnya adalah memberikan postest di kelas eksperimen, ini

Karimunjawa adalah kepulauan yang terletak diutara Kabupaten Jepara, Jawa Tengah yang memiliki kearifan lokal prakiraan cuaca. Kearifan lokal ini hanya digunakan

Ada beberapa penelitian yang pernah dilakukan yang menjadi referensi penelitian ini Pertama, Penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah (2015) yang berjudul

Peserta Workshop Diabetes Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) X 2009 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU.. Peserta Simposium Update from Clinical to Aplication in

Pakuwon Jati (PWON) hingga periode 30 September 2018 mencatat laba bersih periode berjalan yang dapat didistri- busikan ke pemilik entitas induk sebesar Rp1,78 triliun naik