• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi sintesis biodiesel dari minyak goreng bekas dengan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimasi sintesis biodiesel dari minyak goreng bekas dengan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

(Tinjauan Hukum Ketatanegaraan Islam)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh : FITRI AMALIA NIM : 102045225160

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

PROGRAM STUDY JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar stata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang telah saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang telah berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Srarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi dari Allah SWT dan sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 juli 2010

(5)

SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam terus berlanjut untuk junjungan Nabi Muhammad SAW, pembawa risalah Islam serta pengibar panji-panji kebenaran sehingga menjadi pedoman dalam berbagai aspek kehidupan umatnya.

Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, baik moril maupun materiil serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada samua pihak yang telah memberikan kotribusi dan khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M A., selaku Rektor yang mendapat amanah ilmiah dari Universitas Islam Negari Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Bapak Dr. Asmawi, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. tercinta selaku sekretaris jurusan dan pembimbing penulis yang telah membantu dan membina penulis dalam menyelesaikan skripsi ini hingga mencapai sarjana.

5. Bapak Drs Abu Thamrin, SH, M. Hum. Selaku pembimbing skrisi penulis.

(6)

6. Segenap pengelola perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum.

7. Yang paling utama ucapan terima kasih penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis; Papah H. Bisri Nasrullah dan mamah Hj. Tuti Mutmainnah dan kedua kakak penulis; M. Ilham Bisri., S.T dan M. Hakiki Bisri., S. Kom yang tidak pernah bosan memberikan do’a dan kasih sayang yang tulus baik yang bersifat materil ataupun moril terhadap karir akademis penulis serta memberikan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Yang tercinta suami penulis; Iqbal Zamzamy dan Ananda Dhya Alina Zahwa yang telah setia mendampingi dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat penulis; Julimah, Kiki GP, Lukman Hakim, Muhammad Yusuf, Eki, Hadi, Fatur yang mempunyai peran yang sangat berarti yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dengan hamparan kedua tangan disertai ketulusan, penulis mendoakan semoga bantuan, dukungan, bimbingan dan perhatian yang telah diberikan oleh semua pihak akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT disertai limpahkan rahmat, hidayah serta berkah-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sepenuhnya dapat menentramkan kegelisahan intelektual serta menyirami dahaga ilmiah, untuk itu penulis sangat berlapang dada menerima masukan-masukan apalagi kritik

(7)

Jakarta, Oktober 2010 Syawal 1431 H

(8)

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 8

1. Jenis dan Sifat Data ... 9

2. Teknik Pengumpulan Data ... 10

3. Teknik Analisis Data ... 10

E. Review Study Terdahulu ... 11

F. Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM UUD 1945 A. Konsep Lembaga Negara dalam UUD 1945 ... 15

B. Konsep Lembaga Perwakilan di Negara Modern ... 17

1. Teori Kedaulatan ... 18

2. Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat ... 20

C. Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam UUD 1945 ... 26

BAB III LEMBAGA PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM

HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM

(9)

v

C. Majelis Syura sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat ... 46

BAB IV KEKUASAAN MPR RI PADA MASA DALAM UUD 1945 PASCA REFORMASI DITINJAU DALAM HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Reformasi (1999–2004) ... 51

B. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi ditinjau dari Hukum Tata Negara Islam ... 59

C. Analisa Perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam ... 68

1. Dari Segi Perkembangannya ... 69

2. Dari Segi Keanggotaan ... 69

3. Dari Segi Tugas dan Peranannya. ... 69

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 72

(10)

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Review Study Terdahulu ... 11

F. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM UUD 1945 A. Konsep Lembaga Negara dalam UUD 1945 ... 16

B. Konsep Lembaga Perwakilan di Negara Modern ... 18

1. Teori Kedaulatan ... 19

2. Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat ... 21

C. Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam UUD 1945 ... 27

BAB III LEMBAGA PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM A. Kedaulatan Rakyat dalam Hukum Tata Negara Islam ... 35

(11)

KETATANEGARAAN ISLAM

A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca

Reformasi (1999–2004) ... 54 B. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan

Rakyat di Era Reformasi ditinjau dari Hukum

Tata Negara Islam ... 62 C. Analisa Perbandingan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis

Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam ... 63 BAB V PENUTUP

(12)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara pada Republik Indonesia dimulai pada tahun 1945. Pada tahun itulah berdiri negara Republik Indonesia sebagai suatu kumpulan besar manusia, yang sehat jiwanya dan berkobar-kobar hatinya, menimbulkan kesadaran batin yang disebut bangsa.

Persatuan Indonesia merupakan ide besar yang merupakan cita-cita hukum dan cita-cita moral bangsa Indonesia. Persatuan Indonesia telah menjiwai proses penetapan bentuk negara. Bentuk negara yang telah dipilih harus memungkinkan terwujud dan terjaminnya persatuan Indonesia.

Berdirinya Negara ini tidak hanya ditandai dengan adanya proklamasi dan berkeinginan untuk bersatu bersama, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya Undang-undang Dasar 1945 yang merumuskan berbagai macam masalah kenegaraan. Atas dasar Undang-undang Dasar 1945 berbagai struktur dan unsur negara mulai ada walaupun secara jelas pada masa itu belum ada lembaga-lembaga yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar, namun hal ini dapat diatasi dengan adanya Aturan tambahan dan Aturan peralihan dalam Undang-undang Dasar 1945.1

Setelah Undang-undang Dasar 1945 berlangsung selama 4 tahun, diganti dengan konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) pada tahun 1949,

1

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1984) h. 17

(13)

kemudian diganti lagi dengan UUDS (Undang-undang Dasar Sementara) pada tahun 1950. Pada masa UUDS 1950 terselenggara pemilihan umum pada tahun 1955 untuk memenuhi amanat masyarakat dalam Undang-undang Dasar. Hasil pemilihan umum tersebut melahirkan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat, dan terbentuk konstituante yang bertugas membuat Undang-undang Dasar. Setelah bersidang selama beberapa tahun konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno secara sepihak. Setelah itu dimulailah periode kembali ke Undang-undang Dasar 1945 ditandai dengan Dekrit Presiden tahun 1959.

Setelah tahun 1998 maka dimulai masa reformasi yang diakibatkan oleh berbagai krisis yang kemudian melahirkan gerakan reformasi yang menginginkan suatu perubahan di Indonesia. Suatu zaman perubahan yang dinamakan “reformasi”, menandai berakhirnya orde baru, dengan digantikan dengan orde reformasi atau zaman reformasi. Pada saat itu terjadi perubahan Undang-undang Dasar yang sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia.

Setelah tahun 1998 dimulai tuntutan-tuntutan akan perubahan mendasar di Republik Indonesia. Yang terpenting adalah dua tuntutan masyarakat pada saat itu adalah Supremasi Hukum dan Amandemen (perubahan Undang-undang Dasar 1945).

(14)

mendasar dalam undang Dasar 1945. Pada perubahan Undang-undang Dasar 1945 sampai tahun 2000 terdapat beberapa reduksi kekuasaan lembaga eksekutif seperti dalam pembatasan kekuasaan Presiden. Dalam banyak hal, presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif dan presiden harus memperhatikan pendapat DPR ataupun MA (Mahkamah Agung) jika berkaitan dengan hukum.2 Sampai dengan perubahan ke II belum ada kritik yang tajam terhadap perubahan yang terjadi terhadap Undang-undang Dasar 1945 dari mayoritas ahli hukum Tata Negara.

Setelah perubahan III terjadi perubahan mendasar terhadap Undang-undang Dasar 1945. Secara garis besar dapat disimpulkan perubahan III Undang-Undang Dasar 1945 meliputi :

1. Akan adanya pemilihan Presiden dan wakil Presiden langsung. Hal ini berakibat besar terhadap tugas MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). 2. Adanya Penghapusan Utusan golongan dalam MPR dan dilembagakannya

utusan daerah menjadi DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sehingga komposisi MPR berubah secara total.

Setelah perubahan III Undang-undang Dasar 1945 berlaku, maka banyak kekurangan-kekurangan yang ada dalam Undang-undang Dasar. Proses perubahan Undang-undang Dasar 1945 menjadi salah satu sebab banyaknya kekurangan yang terjadi karena ada beberapa hal yang belum diatur dengan jelas sehingga menimbulkan masalah secara teknis hukum. Hal ini dikritisi oleh sebagian besar praktisi hukum terutama Hukum Tata Negara.

2

(15)

Ketika memasuki proses perubahan IV perubahan yang kurang, coba diperbaiki. Perubahan IV menjadi suatu keharusan yang mau tidak mau harus ada. Karena dengan adanya pemilihan presiden langsung, maka presiden langsung bertanggung jawab kepada pemilihnya dan tidak ada lagi tugas membuat GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang dilakukan oleh MPR.

Perubahan III dan IV Undang-undang Dasar 1945 telah mengubah status dan peran MPR. MPR berubah dari lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang disebutkan secara eksplisit dalam Undang-undang Dasar 1945 menjadi lembaga negara.

Setelah adanya perubahan Undang-undang Dasar 1945 maka berakhirlah kekuasaan MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat dan berakhir juga kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara dalam struktur kelembagaan negara di Indonesia.

Hukum tata negara Indonesia menghadapi suatu masa perubahan besar dalam tugas dan wewenang lembaga negara. Sangat penting untuk diselidiki bagaimanakah nantinya lembaga negara melakukan tugas dan wewenangnya dan bagaimana menjalankannya.

(16)

Adapun dalam Hukum Tata Negara Islam, berbicara mengenai lembaga perwakilan sendiri musyawarah termasuk bagian dari menjalankan pemerintahan menurut hukum Tata Negara Islam yang merupakan suatu perbuatan yang dibenarkan syariat, oleh karena itu segala sesuatu yang terkait dengannya menyangkut tujuan, cara, dan sistem harus terkait dengan hukum syar’i. karena Representasi permusyawaratan Majelis Syuraterhadap pendapat masyarakat dibangun dengan dasar akad perwakilan masyarakat pemilih.

Musyawarah dalam Islam adalah syari’at yang dipancarkan dari akidah Islam. Taqiyudin berkata:

”Musyawarah adalah pengambilan keputusan secara mutlak, sebagai pengambilan pendapat maka bisa ditetapkan berdasarkan dalil Al-qur’an dan Hadist. Allah berfirman, “Dan terhadap urusan mereka hendaknya dimusyawarahkan sesama mereka” (QS. As-syuro’ Ayat 38). Dari Abu Huroiroh ra telah berkata: “Aku tidak melihat seorangpun yang banyak musyawarahnya dibandingkan Rasulullah SAW terhadap sahabatnya”.3”

:Artinya

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya

dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan

musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki

yang kami berikan kepada mereka.

Adapun yang dikehendaki dari keberadaan lembaga permusyawaratan negara atau Majelis Syuradalam Islam adalah representasi manusia, maka keberadaaan Majelis Syuraadalah harus merepresentasikan pendapat warga

3

(17)

negara, sebagaimana pemilihan para pemimpin kaum yang merupakan represetasi komunitas sebagaimana yang tercermin dalam pemilihan para pemimpin kaum Muhajirin dan Anshor, yang masing-masing adalah separuhnya. Ini menyangkut keberadaan individu dan jamaah yang tidak dikenal, tidak mungkin ada perwakilannya kecuali melalui pemilihan. Oleh karena itu pemilihan anggota majelis umat adalah suatu keharusan.

Jadi, keanggotaan Majelis Syuraditentukan melalui pemilihan umum dan bukan melalui penunjukan. Ketentuan ini berlaku karena mereka adalah wakil dari pendapat warga Negara. Wakil tentu harus dipilih dari yang diwakilinya dan tidak ditunjuk secara mutlak. Keanggotaan Majelis Syuraharus mencerminkan kesetaraan dengan manusia secara individu dan kelompok dalam pendapatnya.

Untuk mengetahui kesetaraan dalam wilayah luas dan kaum yang tidak dikenal, tidak mungkin dapat diketahui kecuali dengan pemilihan langsung oleh yang mewakilinya. Hal ini merujuk pada perbuatan Rasul bahwa tidak dilakukan penunjukan berdasarkan perkiraan, kecukupan jumlah ataupun kepribadian, melainkan pemilihannya didasarkan atas 2 (dua) asas, yaitu: 1. Bahwa para wakil itu adalah para pemimpin kelompoknya dengan

memperhatikan perkiraan jumlah kecukupannya.

2. Mereka adalah representasi dari Muhajirin dan Anshor, masing-masing adalah separuhnya.4

4

(18)

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk memilih dan menetapkan judul tentang “Kekuasaan MPR RI Dalam UUD 1945 Pasca Reformasi (Tinjauan Hukum Ketatanegaraan Islam)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.

Berdasarkan atas latar belakang di atas, maka dianggap perlu untuk diadakannya pembatasan masalah yang akan dianalisa dengan maksud agar pembahasan skripsi ini akan lebih sistematis dan terarah. Untuk itu, masalah yang akan diteliti adalah lembaga MPR sebagai perwakilan rakyat di Indonesia, dibatasi dengan hal kekuasaan MPR mengenai tugas dan wewenang MPR periode 1999 sampai dengan 2004, yaitu pada masa reformasi dalam hal mengangkat dan memberhentikan presiden atau wakil presiden, selanjutnya menetapkan dan merubah Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahan-perubahannya yang ditinjau dari lembaga permusyawaratan rakyat dalam sistem pemerintahan Islam.

Untuk mempermudah dan memperjelas jawaban dari masalah pokoknya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi? 2. Bagaimana kedudukan Majelis Syuradalam Hukum Ketatanegaraan Islam? 3. Bagaimana tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada

(19)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Sedangkan yang menjadi tujuan dan manfaat penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana konsep lembaga negara MPR di Era Reformasi.

2. Untuk mengetahui kedudukan Majelis Syuradalam Hukum Ketatanegaraan Islam.

3. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa Reformasi ditinjau dari Hukum Ketatanegaraan Islam.

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah:

1. Memberikan wacana solutif dalam penanganan pengambilan keputusan dalam pengangkatan dan pemberhentian presiden dan penetapan dan perubahan Undang-undang Dasar 1945 sebagai basis pengetahuan Hukum mahasiswa syari’ah dan masyarakat umum yang konsen di bidang ini. 2. Menambah khazanah intelektual bagi individu atau kelompok untuk

mendapatkan akses informasi yang komprehensif tentang pangambilan keputusan MPR RI yang sesuai untuk kesejahteraan rakyat.

3. Penambahan literatur kepustakaan.

D. Metode Penelitian.

(20)

1. Jenis dan Sifat Data

Metode yang penulis gunakan pada dasarnya adalah metode

(21)

2. Teknik Pengumpulan Data

Sedangkan teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini dengan Study Dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan data-data dari buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini dengan meminjam dari perpustakaan atau membeli dan mengumpulkan artikel-artikel yang berkaitan dengan masalah kedudukan MPR tersebut di website.

Adapun bahan pustaka yang penulis gunakan meliputi:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunya kekuatan mengikat antara lain: Undang-Undang Dasar 1945 Naskah Asli dan Perubahannya.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel website, dan makalah-makalah yang berhubungan dengan topik penulisan ini.

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan lainnya seperti kamus hukum dan kamus bahasa.

3. Teknik Analisis Data

(22)

Penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku “pedoman penulisan skripsi” Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum tahun 2007.

E. Review Study Terdahulu.

Sejumlah penelitian dengan pembahasan mengenai kekuasaan MPR RI telah banyak dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik ataupun secara umum. Pembahasan bersumber dari buku-buku dan skripsi terdahulu , selain itu beberapa makalah yang berkaitan dengan bahasan penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut:

Pertama, karya Imam Al-Mawardi tentang “ Al-Ahkam As-Shulthaniyah; Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”. Didalam buku tersebut berisi tentang kajian hukum tata negara dan kepemimpinan menurut sudut pandang islam yang menitik beratkan kepada hal tentang Ahl al-Hall wa al-aqd.

Kedua, karya Munawir Sjadzali tentang proses pengangkatan empat al-Khulafa al-Rasyidin pada buku yang berjudul “ Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran”. Yang menjelaskan proses pengangkatan kepala negara dan metode-metodenya.

(23)

Keempat, buku yang berjudul “Fiqh Politik Islam” karya Farid Abdul Khaliq”. Yang didalamnya membahas konsep politik islam yang menyangkut tentang prinsip-prinsip yang terdapat pada lembaga perwakilan rakyat (Ahlul Halli Wal Aqdi) dan segala kewajiban dalam bermasyarakat dan bernegara.

Kelima, buku yang berjudul “Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi” karya Prof. Dr. jimly Asshiddiqie, S. H. yang menjelaskan tentang berbagai persoalan hukum tata negara Indonesia dengan perspektif baru setelah reformasi.

Keenam, buku karya Drs. Muhammad Iqbal yang berjudul,” Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”yang membahas tentang masalah politik dan kenegaraan dalam Islam secara komprehensif.

Ketujuh, karya Moh. Mahfud MD tentang “ Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Di dalam buku ini menjelaskan tentang segala hal yang membahas tentang permasalahan yang terjadi pasca amandemen Undang-undang 1945 dalam hal hukum tatanegara di Indonesia.

Kedelapan, skripsi Kholik tahun 2002 , fakultas Syariah dan Hukum yang berjudul, “ Implementasi Syuro Pada Masa Al-Khulafaul Rasyidin dan Relevansinya Pada Masa Kini”. Pada skripsi ini dibahas mengenai definisi syura’, implementasi syuro pada masa Al-Khulafaul Rasyidin dan pendangan para pemikir muslim tentang konsep syuro itu pada masa kini.

(24)

kedaulatan rakyat dalam politik islam dan politik Indonesia melalui analisa komparatif, selain itu menunjukan adanya sksistensi lembaga-lembaga perwakilan sebagai pelaksana operasional kedaulatan rakyat baik di Indonesia maupun dalam politik pemerintahan islam.

Secara umum tinjauan review pustaka di atas telah banyak membahas tentang konsep perwakilan dari berbagai versi dan pengembangannya. Akan tetapi, belum terdapat suatu kajian yang membahas tentang kajian tentang eksistensi kekuasaan MPR di Indonesia yang diterapkan pada masa reformasi yang telah banyak berubah seiring adanya beberapa perubahan Undang-undang Dasar 1945 (Amandemen UUD 1945) yang kemudian ditinjau dengan hukum tata negara Islam.

Atas dasar itu, penulis berinisiatif untuk meninjau lebih dalam mengenai konsep kekuasaan MPR di Indonesia pada masa reformasi dan tinjauan Hukum Tata Negara Islamnya.

F. Sistematika Pembahasan.

Pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang disusun secara sistematis, sebagai berikut:

(25)

Bab II : Berisi tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga negara dalam UUD 1945, yang menjelaskan tentang konsep Lembaga negara dalam UUD 1945, konsep lembaga perwakilan di negara modern dan fungsi dan kewenangan lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam UUD 1945..

Bab III: Berisi tentang lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam hukum ketatanegaraan islam yang menjelaskan kedaulatan rakyat dalam hukum ketatanegaraan islam, konsep syura dan demokrasi dalam hukum ketatanegaraan Islam dan Majelis Syurasebagai lembaga perwakilan rakyat.

Bab IV: Dalam bab ini saya membahas kekuasaan MPR RI dalam UUD 1945 pasca Reformasi ditinjau dalam hukum ketatanegaraan Islam yang terdiri dari; konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Reformasi (1999-2004), Tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi ditinjau dari Hukum Tata Negara Islam dan analisa perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam.

(26)

15

BAB II

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA

NEGARA DALAM UUD 1945

A. Konsep Lembaga Negara dalam UUD 1945.

Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang ada dalam sebuah negara.

Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai tertinggi negara, dan DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, lembaga negara berdasarkan UUD adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau lembaga tertinggi negara.

Republik Indonesia merupakan salah satu negara kesatuan yang sangat luas wilayahnya dan sangat besar jumlah penduduknya. Karena itu UUD 1945 yang sejak semula menganut prinsip ”semua harus terwakili”, melembagakan ketiga prinsip perwakilan politik, perwakilan teritorial dan perwakilan fungsional sekaligus dalam keanggotaan lembaga permusyawaratan rakyat di MPR. Itu sebabnya maka pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang lama berbunyi :

” MPR terdiri dari anggota-anggota DPR, ditambah dengan itutusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang

(27)

Ketiga metode perwakilan tersebut, yaitu perwakilan politik (political

repesentation), perwakilan teritorial (teritorial representation), atau perwakilan daerah (regional representation), dan perwakilan fungsional (functional representation) sama-sama tercermin dalam keanggotaan MPR RI.

Adanya lembaga MPR yang terdiri di samping DPR, tidak menyebabkan struktur parlemen Indonesia disebut sebagai parlemen dua kamar atau bikameral, karena MPR sendiri tidak menjalankan fungsi legislasi dalam arti terlibat dalam proses pembentukan undang-undang. namun dikatakan sebagai parlemen unikameral murni juga kurang tepat karena mengingat keberadaan MPR itu sendiri merupakan lembaga tersendiri di luar dan bahkan berada di atas DPR, karena itu sebenarnya sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan itu dapat juga disebut sebagai ”quasi monokameral’ atau semi-unikameral.

Namun, sekarang dengan Perubahan keempat (2002), Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 itu diubah menjadi;

” MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”

Dalam keanggotaan MPR tidak ada lagi unsur utusan golongan fungsional.yang ada hanya keanggotaan yang mencerminkan perwakilan politik dan perwakilan daerah daerah.

(28)

keanggotaan perwakilan rakyat dan DPD, misalnya, dengan memberikan jatah tertentu, seperti kepada golongan perempuan. Ide semacam ini, dianggap penting sebagai perlakuan khusus yang bersifat positif untuk membantu agar kelompok tertentu dalam masyarakat yang tergolong sangat tertinggal peranannya dalam sistem representasi politik yang bersifat formal.5

B. Konsep Lembaga Perwakilan di Negara Modern.

Untuk membahas lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia maka harus dijelaskan bagaimana konsep lembaga perwakilan sehingga dapat mengatasnamakan rakyat.

Lembaga perwakilan atau yang lebih sering disebut representative institution adalah lembaga yang mewakili rakyat dalam melakukan fungsi pengawasan dan fungsi legalisasi

Konsep lembaga perwakilan tidak terlepas dari tujuan suatu Negara, yakni mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Menurut ilmuwan islam Ibnu Khaldun bahwa adanya organisasi kemasyarakatan (ijtima’I wal insani) merupakan suatu keharusan. Para filosof dan ahli hukum telah melahirkan kenyataan ini dengan perkataan mereka “manusia adalah bersifat politis menurut tabiatnya (al insanu madaniyyun’biath-thab’i). ini berarti ia memerlukan suatu organisasi kemasyarakatan yang menurut para filosof dinamakan “kota”, dan itulah yang dimaksud dengan peradaban. Jadi,

5

(29)

di dalam pandangan ahli agamapun pembentukan suatu organisasi kemasyarakatan untuk mengatur masyarakat merupakan suatu keharusan.

1. Teori Kedaulatan

Setelah adanya negara di zaman modern, maka merumuskan kembali kedaulatan menjadi suatu yang sangat penting. Menurut Harold J. Laski bahwa:

the modern state is a sovereign state. It is, therefore, independent in the face of other communities. It may infuse its will towards them with a substance wich need not be affected by the will of any external power. It is, moreover, internally supreme over the territory that it control”.

Terjemahan bebas: Negara modern adalah Negara yang mempunyai kedaulatan. Hal ini untuk independent dalam menghadapi komunitas lain. Dan akan mempengaruhi subtansi yng akan diperlukan dalam kekusaan internal adan kekuasaan eksternal. Hal ini lebih jauh meruakan kekusaan yang trtinggi atas wilayahnya.

Jelas disini dijelaskan bahwa kedaulatan sangatlah penting bagi Negara yang independent atau merdeka dalam menjalankan kehendak rakyat yang dipimpinnya. Sehingga kedaulatan merupakan hal yang mempengaruhi seluruh kehidupan bernegara.

Adapun teori kedaulatan ada 5, yaitu:

b. Kedaulatan Tuhan;

Kedaulatan Tuhan adalah dimana kekuasaan tertingi ada pada Tuhan, jadi didasarkan pada agama atau kepercayaannya.

c. Kedaulatan Raja.

(30)

d. Kedaulatan Rakyat.

Menurut teori ini rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan ata menyerahkan kekuasaannya kepada Negara atau pemerintah. Apabila pemerintah melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat maka rakyatlah yang berhak untuk mengganti pemerintah tersebut.

e. Kedaulatan Negara.

Menurut teori ini, Negara dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap warga negaranya. Warga Negara dapat dikerahkan untuk kepantingan Negara. Mereka harus taat kepada perauran Negara tidak karena adanya suatu perjanjian namun karena kehendak Negara tersebut.

e. Kedaulatan hukum.

Teori ini menunjukan kekuasaan tertinggi pada hukum yang ditetapkan. Dalam hal ini dituntut adanya kesadaran hukum pada setiap orang. Menurut teori ini, hukum adalah pernyataan penilaian yang ada dari kesadaran hukum manusia. Dan hukum merupakan sumber kedaulatan.

(31)

Berpijak pada hal tersebut maka konsep lembaga perwakilan berkembang dan terbagi dalam berbagai system.

Adapun konsep dasar dalam lembaga perwakilan atau parlemen adalah system demokrasi perwakilan dimana kedaulatan rakyat yang tercantum dalam undang-undang dasar, kemudian dipecah menjadi beberapa kekuasaan yang ada dan yang dipakai dalam teori kedaulatan adalah kekuasaan di bidang pengawasan dan pembuatan undang-undang.

2. Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat.

Lembaga perwakilan atau yang lebih dikenal sebagai parlemen dibagi ke dalam berbagai sistem yaitu:

a. Sistem Satu Kamar;

Sistem satu kamar adalah sistem parlemen yang berdasar pada satu lembaga legislatif tertinggi dalam struktur Negara. Lembaga ini menjalankan fungsi legislatif dan pengawasan terhadap pemerintah dan juga membuat undang-undang.

Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unicameral ini beragam dan bervariasi dari suatu negara ke negara lain, akan tetapi pada pokoknya serupa secara kelambagaan fungsi legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih oleh rakyat.

b. Sistem dua kamar;

(32)

negara dan dalam menjalankan tugasnya kedua lembaga ini mempunyai tugas-tugas tertentu.

Pada prinsipnya kedua kamar majelis dalam sistem bicameral ini memiliki kedudukan yang sederajat. Satu sama lain tidak saling membawahi baik secara politik maupun secara legislatif. Segala keputusan tidak dapat ditetapkan tanpa persetujuan bersama.

c. Sistem tiga kamar (tricameral);

Sistem tiga kamar adalah siitem yang sistem parlemennya tebagi atas tiga lembaga legislatif atau lembaga perwakilan dalam suatu struktur negara.

Konsep lembaga perwakilan di Indonesia jika dipecah-pecah akan terbagi kedalam beberapa periodesasi menurut Undang-Undang Dasar yang dipakai dalam Negara Indonesia ,yaitu:6

1. UUD 1945, yang berlaku pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1949. 2. Konstitusi RIS 1949, yang berlaku antara tahun 1949 sampai dengan

tahun 1950.

3. UUDS 1950, yang berlaku pada tahun 1950 sampai dengan 1959.

4. kembali ke UUD 1945, yang berlaku sejak dekrit presiden pada tahun 1959 sampai dengan sekarang.

Perkembangan konsep lembaga perwakilan di Indonesia dimulai sejak tahun 1945. tidak ada ketentuan secara tegas bahwa MPR termasuk lembaga perwakilan atau tidak.

6

(33)

Secara filosofis MPR merupakan perwujudan seluruh rakyat di Indonesia, dan MPR secara yuridis menurut pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi; ”kedaulatan ada di tangan rakyat dan menjalankan secara sepenuhnya oleh MPR”, berarti yang merupakan penjelmaan rakyat di Indonesia adalah MPR, sehingga lembaga MPR termasuk ke dalam penjelmaan perwakilan rakyat sepenuhnya dan mempunyai kekuasaan di segala fungsi.

Jika dilihat dari penjelasan di atas MPR memiliki dua macam fungsi, yaitu:

1. Fungsi Legislatif, yang lahir dari kekuasaan-kekuasaan menetapkan Undang-undang Dasar, mengubah Undang-undang dasar dan kekuasaan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

2. Fungsi non Legislatif, yang lahir melalui kekuasaaan memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden.

Untuk menjamin agar majelis ini benar-benar menjadi penjelmaan seluruh rakyat. Maka ditentukan bahwa keanggotaannya meliputi:

1. Seluruh wakil rakyat yang terpilih melalui DPR.

2. Utusan Golongan yang ada dalam masyarakat menurut ketentuan peundang-undangan yang berlaku.

3. Utusan daerah seluruh Indonesia menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.7

Sebelum dilakukan perubahan UUD 1945 maka MPR mempunyai kewenangan menjalankan kedaulatan rakyat yang penuh. Tidak ada suatu

7

(34)

lembaga negarapun di Indonesia yang diberikan kewenangan sebesar ini sehingga MPR menjadi lembaga yang sangat kuat.

Konsep lembaga MPR sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 harus dilihat dari apa yang diinginkan oleh para pendiri bangsa ini yang merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 (Founding Fathers). Sebelum Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 telah ada lembaga yang dibentuk oleh Jepang yaitu BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan merupakan badan yang menyelidiki usaha persiapan kemerdekaan di Indonesia. Walaupun pada akhirnya BPUPKI merumuskan Undang-Undang Dasar.

Konstitusi atau Undang-undang Dasar adalah hukum tertinggi dan tertulis yang mengatur tentang mekanisme penyelenggaraan negara, sebagai kumpulan aturan pembagian kekuasaan negara dan membatasi kekuasaan pemerintah sehingga tidak sewenang-wenang.

(35)

juga yang bersifat umum dengan pelaksanaan pengadilan kebebasan individu, seperti apa yang kita sebut pemerintahan berdasarkan hukum (hal ini diungkapkan oleh Montesquieu ) dan para founding fathers kemudian membuat beberapa lembaga negara yang fungsinya mengawasi lembaga negara yang lain.

Konsep perwakilan di Indonesia sulit untuk dikategorikan sistem perwakilan satu kamar, dua kamar ataupun tiga kamar. Apabila dicari kemiripannya maka akan mirip dengan sistem parlemen satu kamar. Walaupun demikian lembaga perwakilan di Indonesia haruslah dilihat sebagai suatu hal yang khas dari sistem ketatanegaraan di Indonesia. Menurut Profesor Jimly Asshiddiqie bahwa kategori sistem parlemen di Indonesia adalah sistem campuran.

Kesulitan untuk mengkategorikan hal ini mungkin karena Indonesia adalah negara yang baru ada dan konsep lembaga negara Indonesia berdasarkan keinginan founding fathers untuk membuat hal yang berbeda dalam struktur lembaga negara. Walaupun para pembuat Undang-undang Dasarnya belajar ke negara lain sehingga akan ada proses peniruan dengan negara lain.

(36)

karena MPR tidak membuat peraturan perundang-undangan. Tetapi MPR masih bisa dikategorikan sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Karena susunan anggota MPR yang ada dalam Undang- Undang Dasar 1945 menurut pasal 2 UUD 1945 setelah Perubahan Keempat adalah:

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.8

Jika dilihat dari komposisi anggota MPR maka MPR dapat digolongkan sebagai lembaga parlemen dan masih ada kewenangan membuat Undang-undang Dasar, memberhentikan presiden, maka MPR dianggap institusi demokrasi perwakilan.

Representasi kepentingan rakyat secara nasional dalam lembaga DPR yang dipilih melalui partai politik dalam pemilihan umum. Hal ini merupakan suatu tuntutan negara demokratis.

Representasi Dewan Perwakilan Daerah sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat didaerah dipahami diantaranya karena:

1. Secara sosiologis ikatan masyarakat dengan propinsi jauh lebih kuat dibandingkan kabupaten.

2. Secara teknis pelaksanaan juga jauh lebih mudah karena sudah ada pembagian wilayah administratif yang jelas.

3. Pemilihan berbasis propinsi lebih representatif mewakili semua daerah dibandingkan dengan basis kabupaten, mengingat jumlah kabupaten yang ada di pulau jawa tidak seimbang dengan daerah diluar pulau jawa.

8

(37)

Jika demikian maka sistem parlemen di Indonesia adalah sistem trikameral. Hal ini diungkapkan oleh Prof.Jimly Asshiddiqie pada seminar yang dilaksanakan di Bali9. Dengan alasan bahwa unsur keanggotaan MPR yang berubah, kewenangan tertinggi yang dicabut, diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan, diadopsinya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.

C. Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam UUD 1945.

Dalam menjelaskan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia haruslah dilihat tugas dan wewenang yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga pembahasan akan lebih tajam dan mengkerucut, dan fungsi dan wewenang ini akan dibagi kedalam dua periode Undang-Undang Dasar 1945. Periode tersebut adalah sebelum perubahan Undang-Undang Dasar dan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar.

1. Tugas dan Wewenang MPR RI Sebelum Perubahan UUD 1945

MPR sebagai suatu lembaga negara merupakan badan yang merupakan pelaksana kedaulatan rakyat di Republik Indonesia sebelum diadakan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah diadakan perubahan maka terjadilah perubahan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. MPR sebagai lembaga penjelamaan seluruh rakyat Indonesia, dan lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara yang sama kedudukannya dengan negara lain.

9

(38)

Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tugas dan wewenang MPR dicantumkan dalam UUD 1945 dan juga TAP MPR. Sedangkan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka tidak ada lagi pengaturan tugas dan wewenang yang diatur dalam Ketetapan MPR. Setelah satu tahun berjalan disahkanlah undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD baru dijelaskan tugas dan wewenang MPR.

Adapun Fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebelum Perubahan UUD 1945 ada didalam pasal 3 dan pasal 6 UUD 1945 serta pasal 3 Ketetapan MPR No. 1/MPR/ 1983, dan dinyatakan sebagai berikut:

1. menetapkan Undang Undang Dasar

2. menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.

3. memilih (dan mengangkat) presiden dan wakil Presiden.10

Dalam tugas MPR ini dapat dipelajari bahwa tugas MPR sebagai suatu lembaga negara meliputi tiga. Tugas ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai lembaga pemegang kedaulatan Rakyat dalam UUD 1945 maka MPR mempunyai tugas yang besar yaitu membuat Undang-Undang Dasar. Dan tugas inilah yang pada masa sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 belum pernah dilaksanakan oleh Majelis Permusyawatan Rakyat.

10

(39)

Sedangkan wewenang MPR menurut Prof Sri Soemantri bahwa jika diteliti dalam UUD 1945 maka Undang Undang Dasar 1945 hanya mengatur satu wewenang saja, yaitu dalam pasal 37. Dan setelah adanya ketetapan MPR No. 1/MPR/1983 dapat kita lihat bahwa wewenang MPR tidak hanya itu saja. Dalam pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR No 1/MPR/1983 kewenangan MPR ada sembilan, yaitu11: 1. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga

negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris. 2. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap

putusan-putusan Majelis.

3. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden.

4. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.

5. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar. 6.Mengubah undang-Undang Dasar.

7.Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.

8.Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.

11

(40)

9.Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggota.

Ada satu kewenangan yang sudah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 akan tetapi lebih sering disebut dengan kekuasaan atau kedaulatan. Dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa ”Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”12. Kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut

Power merupakan Great Authority, atau dapat diartikan sebagai kewenangan yang sangat besar/terbesar. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa Undang-Undang Dasar di negara lain seperti Cina, Venezuela dan Amerika Serikat yang menggunakan kata power sebagai kewenangan lembaga negaranya.

2. Tugas Dan Wewenang MPR Yang Diatur Dalam UUD Sesudah Perubahan

UUD1945.

Tugas dan wewenang Majelis Permusyaratan Rakyat tidaklah banyak berkurang setelah perubahan UUD, akan tetapi dampaknya sangat besar terhadap lembaga MPR. Karena Majelis Permusyawaratan Rakyat kedudukannya sama dengan dengan lembaga negara yang lain13.

Hal yang sangat mendasar adalah dicabutnya kewenangan MPR dalam hal melaksanakan kedaulatan rakyat dan dicabutnya tugas untuk

12

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945

13

(41)

memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat tidaklah lagi menjadi lembaga tertinggi negara.

Dalam Perubahan UUD 1945, tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat berubah. Dengan berubahnya konsep lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat maka berubah pula beberapa tugas dan wewenangnya. Tugas MPR setelah Amandemen UUD 1945 adalah

(42)

hukum karena belum dilantik oleh lembaga yang berwenang yang diberi kekuasaan untuk melantik. Dan apakah Majelis Permusyawaratan Rakyat melanggar Undang-Undang Dasar jika tidak mau melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

2. Melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (pasal I Aturan Tambahan Perubahan ke IV UUD 1945), yakni tugas MPR melakukan peninjauan materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan MPR merupakan tugas sementara yang dibebankan kepada MPR oleh Undang-Undang Dasar. Pasal I Aturan Tambahan menyatakan bahwa MPR harus “melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 200314”. Sementara disini terletak pada kalimat akan diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003, jika telah diambil putusannya maka tugas ini berakhir dengan sendirinya.

Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka dapat disimpulkan tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dijelaskan secara jelas. Apakah ketentuan tersebut tugas atau bukan tapi secara

14

(43)

definitif, tugas adalah kewajiban atau sesuatu yang wajib dikerjakan atau ditentukan untuk dilakukan.

Sedangkan wewenang Presiden RI dalam UUD 1945 maka bisa disimpulkan sebagai berikut:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945. (Pasal 3 ayat 1 Perubahan Ke III UUD 1945.

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3 ayat 3 Perubahan ke III UUD 1945).

3. Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya. ( Pasal 8 ayat 3 Perubahan Keempat).15

Secara kedudukan maka MPR telah sama dengan lembaga negara yang lain. Tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara dan lembaga tinggi Negara. Sehingga dalam sistem Ketatanegaraan tidak ada lagi lembaga Negara yang lebih tinggi dari yang lain.

Menurut Dr. Maria Farida, semua lembaga negara yang mengeluarkan produk peraturan perundang-undangan maka kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Dan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga Negara yang mengeluarkan peraturan yang lebih

15

(44)

tinggi. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga Negara yang lebih tinggi dari lembaga Negara yang lain.

(45)

BAB III

LEMBAGA PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HUKUM

KETATANEGARAAN ISLAM

A. Kedaulatan Rakyat Dalam Hukum Tata Negara Islam

Istilah ‘kedaulatan’ dalam Islam merujuk kepada kata “daulah” yang berasal dari kata dasar dāla-yadūlu-daulah yang bersifat bergilir, beredar dan berputar.16 Kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka. Kadang-kadang muncul kata “riyāsah” dipakai juga untuk istilah negara, tetapi kata ini (riyāsah) hanyalah turunan dari kata “rā`is”, yang berarti ‘kepala suku’.17 Daulah dapat diartikan negara, pemerintahan, kerajaan, atau dinasti.

Dalam Al-qur’an terdapat dua ayat yang menggunakan kata “daulah”, misalnya dalam makna ‘pergantian’ atau giliran yang terjadi dalam kehidupan manusia.18 Kata ini tercantum dalam surah Ali Imran [3] ayat 140 yang berbunyi:

16

H. A. Hafidz Dasuki, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), jilid. I, h. 262.

17

Qamaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, alih bahasa: Taufik Adnan Amal, (Bandung: Mizan, 1987), h. 6.

18

(46)

Artinya:

Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…” (QS. Ali Imran/3 : 140)

Sedangkan dalam bentuk “daulatan”, kata ini muncul dalam Al-qur’an

(QS. Al-Hasyr [59]: 7) dengan pengertian beredar, sesuatu yang digunakan secara bersama, pemilikan atas sesuatu yang penggunaannya dilakukan secara

bergilir antar beberapa orang.19 Sebagaimana yang dijelaskan:

34

Artinya:

“Apa saja harta rampasan fa’i yang diberikan Allah kepada Rasulnya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang miskin, dan untuk orang-orang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu ” (QS. Al-Hasyr/59: 7)

Istilah daulah dalam ayat di atas dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran dan pergantian tangan dari kekayaan. Namun istilah tersebut kemudian berkembang untuk menyatakan kekuasaan politik karena kekuasaan politik selalu berpindah tangan. Maka apa yang dikatakan Ibnu al-Muqaffa’ (w. 140 H / 757 M), “al-dunya’ duwal”, adalah bahwa dunia ini

19

(47)

penuh dengan pasang-naik dan pasang surut yang menimpa nasib seseorang.20 Hal tersebut diungkapkannya melalui sebuah tulisan yang berisi nasihat kepada khalifah, agar mensistematisir hukum dan melakukan ijtihadnya sendiri dengan Al-qur’an dan Sunnah. Ibnu al-Muqaffa’ barangkali adalah orang pertama yang mendukung legislasi oleh negara.21

Berdasarkan ayat di atas, kata daulah bergeser dan digunakan sebagai istilah politik setelah difiguratifkan untuk menandai kekuasaan negara. Selain itu, hal ini juga dilandasi paradigma pemikiran ulama fiqh siyasah yang merumuskan pembidangan siyasah menjadi empat, yaitu: (1) fiqh siyasah dusturiyah, yang mencakup pembahasan masalah-masalah imamah, hak dan kewajibannya, rakyat status dan hak-haknya, bai’at, waliyul ahdi, perwakilan,

ahl al-hal wa al-‘aqd, dan wazarah; (2) fiqh siyasah maliyah, yang meliputi pembahasan sumber-sumber perbendaharaan negara, pajak, baitul mal, serta fungsinya; (3) fiqh siyasah dauliyah, meliputi persoalan internasional, teritorial, nasionalisme dalam fiqh Islam, pembagian dunia menurut hukum fiqh Islam, dst; (4) fiqh siyasah harbiyah, yang mencakup bahasan tentang peperangan dalam Islam, tawanan perang, harta rampasan perang, dan perdamaian.22

Pembidangan fiqh siyasah maliyah memperlihatkan adanya hubungan antara politik dan ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa politik selalu menandai kewenangan yang dimiliki oleh negara. Negara dituntut untuk

20 Ibid., 21

Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1994), h.149

22

(48)

memenuhi segala kebutuhan dan mensejahterakan rakyat. Pemerintah dengan segala kewenangannya bertugas mengatur pemasukan dan pengeluaran negara serta distribusi keuangan untuk rakyat. Kiranya, pembidangan fiqh siyasah maliyah inilah yang menjadi tolak ukur pergeseran makna.

Karena kata ‘daulah’ tidak memiliki pengertian yang seragam dalam konteks kebahasaannya, maka Dien Syamsuddin keberatan memberikan makna kepada kata daulah sebagai “negara” atau “kedaulatan”. Dien menegaskan:

“Apakah konsep ‘daulah’ sebagai negara mempunyai landasan teologis dalam Al-qur’an? Al-qur’an menyebut kata ‘daulah’ (tepatnya ‘dulah’) dan bentuk kata kerjanya ‘nudawilu’ sebanyak dua kali, yaitu masing-masing di QS. Al-Hasyr/59: 7 dan QS. Ali Imran/3: 140. Baik pada ayat pertama maupun ayat kedua, kedua kata yang berhubungan dengan kata daulah

menunjukkan arti ‘peredaran’ atau ‘giliran’. Oleh karena itu sulit untuk menghubungkan kedua kata itu dengan konsepsi tentang negara atau pemerintahan. Karenanya, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah negatif: tidak terdapat dalam Al-qur’an rujukan dan sandaran jelas untuk kata daulah

dalam pengertian ‘negara’ atau ‘pemerintahan’”.23

Adapun kata daulah dalam arti dinasti belum dipergunakan pada pra-Islam, karena tidak ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut. Sedangkan istilah kesukuan “al-banu” terus digunakan dalam Islam. Pada masa Abbasiyah, kata daulah diartikan dengan kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan, dan dinasti.24

Berdasarkan uraian di atas mungkin dapat menjelaskan bahwa kata

daulah tidak memiliki akar teologis dalam Al-qur’an dan konsep daulah untuk menunjukkan pengertian negara, pemerintahan dan dinasti tidaklah secara

23

M. Dien Syamsuddin, “Sistem Kenegaraan Modern Republik dan Kekhilafahan Islam Klasik”, Makalah pada KKA Paramadina, dipresentasikan pada 16 Desember 1997.

24

(49)

serta merta lahir, tapi mengalami transformasi konseptual yang panjang dalam sejarah.

Kedaulatan selalu menandai otoritas atau pemerintahan tertinggi berdasarkan hukum. Kedaulatan telah didefinisikan sebagai “kekuasaan tertinggi di mana rakyat diperintah dan bahwa seseorang atau sekelompok orang dalam suatu negara, secara politik tidak ada yang lebih tinggi.

Di kalangan para sarjana muslim terjadi perkembangan penafsiran mengenai konsep kekuasaan ini. Pendapat pertama melihat kedaulatan dengan penekanan pada konsep kekuasaan hukum. Sedang pendapat kedua cenderung pada konsep Islam mengenai divine democracy (demokrasi suci). Karena itu, Tahir Azhari, misalnya, mengatakan bahwa predikat yang tepat untuk negara dalam Islam ialah “nomokrasi Islam”.25 Abdul A’la Maududi menggunakan istilah divine democracy atau theo-democracy untuk menyebut negara dalam Islam.26

Dalam QS. Al-Hadid [57] : 5, Allah Swt. berfirman:

Artinya:

“Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan”. (QS. Al-Hadid/ 57:5)

25

Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), Cet. ke-1, h.93

26

(50)

Menurut Isma’il Sunny, kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan, sementara otomatis rakyat adalah kepercayaan suci yang harus berada dalam batas-batas kehendak Tuhan. Menurutnya, kedaulatan rakyat pada dasarnya merupakan penerapan kedaulatan Tuhan oleh semua rakyat atas hamba-Nya, dimana implementasi aturan-aturan Tuhan dalam kehidupan sosial dan politik diimplementasikan oleh rakyat melalui para wakil mereka.27

Adapun pembatasan kedaulatan rakyat dalam Islam adalah memandang bahwa kedaulatan rakyat sebagai sesuatu yang mutlak, karena Islam adalah paradigma moral bagi sistem demokrasi masyarakat muslim. Oleh karenanya, demokrasi harus dilaksanakan dalam kerangka paradigma moral ini. Segala sesuatu yang dianggap benar oleh manusia adalah belum tentu benar di mata Allah.28

Dalam konteks kenegaraan, pelaksanaan kedaulatan Tuhan terwujudkan dalam bentuk pendelegasian wewenang dan kekuasaan dari Tuhan kepada hambanya yang terpilih menjadi pemimpin. Manusia secara umum telah diangkat sebagai khalifah di muka bumi yang berkewajiban mengatur bumi berdasarkan ketentuan-ketentuan syar’i. Sebagaimana firman Allah dalam penggalan surat Al-qur’an surat Al-Baqarah [2]:ayat 30 yang berbunyi:

Artinya:

“...Sesungguhnya Aku (Allah) akan menjadikan seseorang Khalifah di muka bumi...” (QS. Al-Baqarah/2 : 30)

27

Isma’il Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), Cet. Ke-6, h.7.

28

(51)

Ayat tersebut menginformasikan tentang unsur-unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah (1) bumi atau wilayah; (2) khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris); (3) hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt).29

Adapun hubungan antara penguasa dan rakyat dalam Islam adalah adanya pelimpahan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada khalifah, yang berhubungan erat dengan legitimasi kekuasaan negara. Memang benar, kedaulatan pembuat hukum hanya milik Allah semata, tetapi bukan berarti Allah-lah yang mengangkat para ulama dan penguasa, lalu mereka bisa berkuasa atas nama Tuhan. Tapi yang dimaksudkan adalah dalam penetapan hukum semata. Sedangkan sandaran kekuasaan secara pemerintahan tetapi kembali kepada rakyat atau umat. Perlu digaris bawahi bahwa kedaulatan rakyat dalam Islam berbeda dengan konsep rakyat yang melahirkan sistem yang absolut.

Bagaimanapun juga dalam Islam, seluruh kekuasaan dan otoritas adalah milik Tuhan. Dan manusia hanya dianugerahi kekuasaan yang menjadi suatu kepercayaan. Setiap orang yang menerima kekuasaan harus tunduk kepada sang pemberi kekuasaan. Jadi, ketika kita berbicara tentang kedaulatan rakyat dalam Islam berkaitan erat dengan kedaulatan Tuhan, karena merupakan bagian integral. Kedaulatan rakyat tidak akan terwujud tanpa membatasi

29

(52)

kekuasaan negara dengan undang-undang (konstitusi) dan konstitusi tertinggi berada di tangan Allah.

B. Konsep Syura dan Demokrasi Dalam Hukum Tata Negara Islam

Istilah ‘syūrā’ berasal dari kata kerja syāwara-yusyāwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja syāwara adalah asyūra (memberi isyarat), tasyāwara (berunding, saling bertukar pendapat, musyawarah),

syāwir (meminta pendapat dan musyawarah), dan mustasyir (meminta pendapat orang lain).30 Kemudian kata syūrā ini diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata musyawarah atau musyawarat yang secara semantis bermakna menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok.31 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata musyawarah hanya diartikan dengan perundingan atau perembukan.32

Dalam surat Ali Imran [3];ayat 159:

30

Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. Ke-3, Jilid V, h. 18

31

Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), jilid. I, h. 1263.

32

(53)

Artinya:

Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka urusan itu. Kemudian apabila engkau membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah maha mencintai orang yang bertawakkal” (QS. Ali Imran/3: 159)

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari menafsirkan bahwa sesungguhnya Allah Swt. menyuruh Nabi Saw. untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti letaknya. Namun kewajiban untuk melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan kepada Nabi saja, melainkan juga kepada tiap orang mukmin, sekalipun perintah ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Saw. Artinya, perintah yang terkandung dalam ayat tersebut juga berlaku umum.33

Sebenarnya praktek musyawarah dalam pengambilan keputusan telah dikenal dan membudaya di masyarakat Arab sebelum kenabian Muhammad Saw, dalam menghadapi setiap persoalan yang menyangkut orang banyak, mereka biasanya menghimpun para pemuka kabilah untuk bermusyawarah bagi penyelesaiannya. Praktek musyawarah ini terus dilestarikan dan dikembangkan oleh Islam dan dilaksanakan baik oleh Nabi Saw maupun para sahabatnya.34 Namun, banyak kalangan di antaranya Munawir Syadzali mengungkapkan bahwa pengalaman empirik demokrasi dalam Islam sangatlah

33

Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. Ke-3, Jilid V, h. 18

(54)

terbatas, baik itu ketika masa pemerintahan Nabi Saw ataupun masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidin.35 Lalu bagaimanakah Nabi Saw mempraktekkan demokrasi atau musyawarah (istilah dasar ketika itu lepas dari kontroversi setuju atau tidak) dalam menjalankan roda pemerintahannya?

Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Saw dalam memutuskan perkara selalu berpedoman pada wahyu Allah Swt (Al-qur’an), tetapi sering pula mendapatkan perkara-perkara yang belum ada petunjuknya dalam Al-qur’an, sehingga beliau mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah. Dalam hal ini Thaha Husein mengungkapkan sebagai berikut:

“Adapun bila beliau (Nabi Swt) bermusyawarah dengan mereka (para sahabat) dalam suatu perkara yang tidak disebutkan dalam Al-qur’an dan Nabi sendiri tidak dapat peintah langsung dari atas (Allah Swt), maka hak para sahabat untuk memberikan pendapat dan mengajukan usul di luar hal yang Nabi sendiri telah pasti akan melakukannya. Contohnya adalah ketika Nabi menempatkan (pasukan) sahabat pada suatu posisi pada saat terjadi perang Badar, kemudian al-Hubab Ibn al-Mundzir ibn al-Jamuh (seorang sahabat) bertanya: ‘Apakah ini perintah yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Engkau atau pendapat dan musyawarah?’ Nabi menjawab: ‘Ini hanyalah pendapat dan musyawarah’. Maka dia (al-Hubab) menyarankan kepada Nabi Saw posisi lain yang lebih cocok untuk kaum muslimin dan Nabi pun menerima saran itu.”36

Sejarah lainnya yang membuktikan bahwa beliau seringkali bermusyawarah dalam suatu urusan dan memiliki makna yang sangat signifikan adalah dalam menggagas Piagam Madinah. Piagam ini merupakan perjanjian antara Nabi Saw, sebagai pemimpin umat Islam dengan masyarakat Madinah yang nota bene multi etnis dan agama. Mereka sepakat untuk

35

Affan Gaffar, “Islam dan Demokrasi: Pengalaman Empirik yang Terbatas”, dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Munawir Syadzali, (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. Ke-1, h. 351.

36

(55)

menjunjung tinggi musyawarah dalam artian menyelesaikan segala urusan di antara mereka dengan bermusyawarah.

Begitu pula dengan masalah tawanan perang setelah terjadinya perang Badar, Nabi Saw juga bermusyawarah dengan para sahabat. Dalam musyawarah ini muncul dua pendapat yang saling bertentangan. Abu Bakar berpendapat agar Nabi mengambil tebusan tunai dari mereka lalu melepaskannya. Sedangkan Umar ibn al-Khattab berpendapat agar semua tawanan dibunuh walau ada tali persaudaraan di antara mereka dengan para sahabat Nabi. Nabi pun memberi kebebasan kepada para sahabat untuk memilih salah satu di antara kedua pendapat di atas. Akhirnya, kaum muslimin lebih memilih pendapat Abu Bakar dibandingkan pendapat Umar.37

Beberapa contoh musyawarah tersebut tampak membuktikan bahwa Nabi Saw selalu mengajak para sahabat bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial politik yang dihadapi dan beliau mentolerir adanya perbedaan pendapat di antara mereka. Namun demikian, keputusan harus ada yang menjadi kesepakatan bersama. Sedangkan mekanisme pengambilan keputusan terkadang beliau mengikuti pendapat minoritas seperti dalam bermusyawarah sebelum menghadapi perang Badar. Terkadang beliau juga mengambil keputusan menurut pendapat beliau sendiri tanpa menggubris pendapat para sahabatnya. Seperti dalam perjanjian Hudaibiyah, beliau tetap pada keputusannya.

37

(56)

Dengan demikian praktek musyawarah Nabi Saw, tidak memiliki bentuk dan sistem serta mekanisme pengambilan keputusan tertentu. Kenyataan ini mengandung arti baik Al-qur’an maupun Sunnah Nabi Saw memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menentukan bentuk dan sistem musyawarah serta mekanismenya sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan mereka. Yang penting dalam pelaksnan musyawarah itu pengambilan keputusannya tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran Islam, yaitu kebebasan, persamaan, dan keadilan. Pendapat yang dijadikan keputusan bukan melihat kepada siapa yang mengemukakan pendapat itu, melainkan bagaimana kualitas pendapat dan dampaknya bagi kemaslahatan umat; bukan kemaslahatan yang bermusyawarah.38

Artinya, syura merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang sifatnya mengikat, baik dalam bentuk peraturan-peraturan hukum, maupun kebijakan politik. Setiap orang yang ikut bermusyawarah akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Dalam masyarakat modern yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga politik, pemerintah dan masyarakat, maka lembaga-lembaga-lembaga-lembaga ini menjadi subjek musyawarah. Para pemimpinnya dibebani kewajiban mengadakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat untuk menghadapi masalah yang mereka hadapi.

38

(57)

Jadi, konsep syura pada mulanya adalah konsultasi yang tidak mengikat, sedang model demokrasi melalu pemilihan umum dengan melibatkan semua penduduk untuk memilih wakil-wakil mereka merupakan sesuatu yang tak terpikirkan kala itu. Namun di sisi lain, konsep syura itu terbuka untuk dipikirkan, yakni dapat dikembangkan penafsirannya menjadi konsep demokrasi sekarang, sesuai dengan kebutuhan masyarakat muslim kontemporer. Dengan kata lain, demokrasi adalah arah yang dituju ke masa depan.

C. Majelis Syurasebagai Lembaga Perwakilan Rakyat

Secara historis, lembaga perwakilan rakyat pada massa Khulafa’ al-Rasyidin berfungsi sebagai lembaga musyawarah untuk menentukan kebijakan hukum dan politik. Selain itu pula berfungsi sebagai lembaga pemilihan khalifah. Nama lembaga ini pada masa Khulafa al-Rasyidin disebut Majelis Syura.39 Majelis Syuraberarti majlis permusyawaratan atau badan legislatif.40 Abul A’la al-Maududi menyebutnya dengan nama ahl al-hall wa al-‘aqd dan al-Mawardi menyebutnya ahl al-ikhtiar (orang yang berhak memilih).41

Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan, Majelis Syuraialah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas,

39

Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), Cet. Ke-1, h. 166

40

Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. Ke-3, Jilid V, h. 18.

41

(58)

konsekuen, takwa, adil, dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya.

Inilah yang dimaksudkan oleh al-Mawardi dengan pendapatnya:

“Jika tidak ada seseorang yang mengendalikan pemerintahan, lahirlah dua golongan dari masyarakat. Yang pertama, golongan ahl al-ikhtiar untuk memilih seorang imam, dan kedua, ahl al-imamah yaitu orang-orang yang dapat diangkat menjadi kepala negara. Atas dua golongan inilah dibebani dosa, apabila mereka menunda-nunda mengangkat kepala negara.”42

Menurut Al-Mawardi ada beberapa syarat untuk mencapai keseimbangan dalam segi politik Negara ideal menurut Islam:43

1. Agama yang hayati;

2. Penguasa yang berwibawa; 3. Keadilan yang menyeluruh; 4. Sistem Pemerintahan; 5. Imamah (Kepemimpinan);

6. Cara pemilihan atau seleksi imam.

Al-Mawardi merumuskan beberapa syarat yang harus dimiliki majelis syura, yaitu adil dengan segala syarat-syaratnya, ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi imam (khalifah) sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal, dan memiliki wawasan serta sikap bijaksana.44 Dengan kualifikasi ini, diharapkan golongan Majelis Syuradapat menentukan

42

M. Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), Cet. Ke-1, h. 89-90.

43 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 63. 44

(59)

siapa yang pantas menjadi kepala negara dan mampu memegang jabatan untuk mengelola urusan negara dan rakyat.

Dengan memperhatikan syarat-syarat di atas maka jelaslah bahwa dewan ini bukanlah lembaga ijtihad yang dimaksudkan oleh ilmu ushul, karena pribadi-pribadi yang menjadi anggota Majelis Syuratidak harus mempunyai ilmu, terkecuali sekedar memungkinkan mengetahui keadaan-keadaan masyarakat dan perkembangan-perkembangan politik yang dengan demikian dapat memilih mana yang baik dan yang lebih maslahat dari orang-orang yang dicalonkan untuk menjadi kepala negara. Sedang Majelis Syurayang dimaksudkan ilmu ushul, ialah para mujtahid yang secara penuh memenuhi syarat-syarat ijtihad.

Pemikiran ulama fiqih siyasah merumuskan istilah Majelis Syurayang didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan, Anshar dan Muhajirin. Mereka ini dianggap oleh ulama fiqih siyasah sebagai Majelis Syurayang bertindak sebagai wakil umat. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah keanggotaan dewan syura sehingga pengangkatan khalifah oleh mereka dianggap sah.

(60)

pengangkatan imamah di waktu terjadi kekacauan dan pendapat yang simpang siur, tidak dapat dipandang sah.45

Al-Qalanisy berpendapat bahwasanya imamah itu sah dilaksanakan oleh ulama-ulama yang berada di tempat kepala negara, tanpa disyaratkan bilangan tertentu.46 Al-Mawardi menetapkan bahwasanya sekurang-kurangnya lima orang yang kesemuanya melakukan akad atau dilakukan oleh salah seorang dengan persetujuan yang empat lagi. Sedangkan para ulama Kuffah berpendapat bahwa sekurang-kurangnya tiga orang dan salah seorang melaksanakan pengangkatan dengan persetujuan dua orang yang lain, agar seorang bertindak sebagai hakim dan dua orang bertindak sebagai saksi.47

Walaupun ulama-ulama Islam berbeda-beda kecenderungan berpendapatnya, namun mereka semua menetapkan bahwa pemilihan kepala negara, haruslah dengan mubaya’ah yang benar dan bebas, serta haruslah pemilihan itu mendapatkan persetujuan umum di samping harus menentukan kepala negara dengan permusyawaratan.

Majelis Syura merupakan dewan yang merupakan representasi umat.. Seperti yang dicetuskan oleh para pemikir ketatanegaraan Islam adalah terdiri dari berbagai kelompok sosial yang memiliki profesi dan keahlian yang berbeda. Baik dari birokrat pemerintahan maupun bukan, yang lazim disebut pemimpin formal dan informal. Tidak setiap pemimpin dari pemuka profesi

45 Ibid.

46 Ibid., h. 93. 47

(61)

dan keahlian otomatis menjadi anggota Majelis Syura. Sebab, setiap anggota dewan ini perlu memenuhi kualifikasi tertentu.

Hubungan antara Majelis Syura dan rakyat tampak dalam fungsi mereka sebagai wakil rakyat dalam melaksanakan haknya untuk memilih kepala negara. Karena mereka merupakan wakil rakyat dalam melaksanakan hak pilihnya, maka pilihan mereka adalah pilihan rakyat itu sendiri. Tetapi bagaimana perwakilan tersebut terjadi, apakah mereka dipilih oleh rakyat atau ditunjuk oleh khalifah, tidak ada informasi yang menjelaskannya.

Dewan ini juga bertindak sebagai perantara antara umat dan khalifah dalam mengkokohkan tiang-tiang hukum Islam, menerapkan keadilan, menghidupkan ruh Islam di berbagai tempat, dan memuliakan khalifah dan Majelis Syura dalam menjaga kemungkinan penyimpangan dari jalan Islam yang lurus, atau bersenang-senang dengan kedudukannya.

Adapun tugas Majelis Syura adalah mempunyai hak pilih, yaitu memilih presiden. Selain itu, menurut Rasyid Ridla, adalah menjatuhkan khalifah jika terdapat hal yang mengharuskan dipecat. Al-Mawardi juga berpendapat, jika kepala negara melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan agama, rakyat dan Majelis Syura berhak menyampaikan mosi tidak percaya kepadanya.48

Sejauh ini belum ditemukan penjelasan tentang hak lain Majelis Syura

seperti pembatasan kekuatan khalifah, mekanisme pembentukan majelis itu, dan hak kontrol. Apalagi Majelis Syura sekalipun mereka mewakili rakyat,

48

(62)

menurut Rasyid Ridla tidak identik dengan parlemen di zaman modern yang memiliki kekuasaan legislatif, dan berhak membatasi kekuasaan kepala negara melalui undang-undang.49

Dengan demikian, kedudukan Majelis Syura dalam suatu negara Islam adalah sebagai wakil dari rakyat. Rakyat mengamanatkan hak pilihnya kepada lembaga ini untuk memilih kepala negara.

BAB IV

KEKUASAAN MPR RI PADA MASA DALAM UUD 1945 PASCA

REFORMASI DITINJAU DALAM HUKUM KETATANEGARAAN

ISLAM

A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi (1999-2004).

Pada tahun 1998 telah terjadi peristiwa yang mengubah tatanan ketatanegaraan Republik Indonesia dengan mundurnya Presiden Soeharto menurut pasal 8 UUD 1945. Walaupun ada yang beranggapan pergantian tersebut tidak sesuai dengan bunyi pasal 8 UUD 1945. Walaupun pada akhirnya dianggap sah pengundur

Referensi

Dokumen terkait

7. Lembaga Kemasyarakatan atau yang di sebut denagn nama Lain adalah Lembaga yang di bentuk oleh Masyarakat sesuai dengan Kebutuhan dan merupakan Mitra Pemerintah Desa

mana pada waktu-waktu tertentu tidak ada larangan bagi negara untuk melakukan intervensi demi melindungi dan menjamin kemaslahatan umat, dengan mengambil berbagai langkah

disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat hipertensi dengan kejadian demensia pada lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha

Untuk variabel produksi umbi per petak terlihat bahwa Varietas Bima dengan produksi umbi per petak sebesar 68,50 kg menunjukkan perbedaan yang nyata dengan Varietas

Wilcoxon Test pada tabel 4 menunjukkan hasil yang signifikan pada p=0,000 (p<0,05), maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan tingkat keparahan gangguan muskuloskeletal

Pada tanaman yang diberi bahan organik bokasi jerami P1 = 5 kg/ m 2 menunjukkan hasil paling bagus, dapat sebagai rekomendasi pemupukan buat petani untuk meningkatkan hasil

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui infusum daun jambu biji ( Psidium guajava Linn.) sebagai antibakteri terhadap bakteri penyebab karies yaitu

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga keberadaan pidana denda dan pidana penjara tersebut dapat dijadikan sebagai salah