SKRIPSI
Oleh:
EKA DIAN SARI
0731010031 / FTI / TK
JURUSAN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia beserta rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penelitian dengan judul “ Pembentukan Biodiesel Dari Minyak Biji Karet Dengan Proses Esterifikasi dan Transesterifikasi “.
Laporan penyusunan penelitian ini merupakan salah satu syarat yang harus di tempuh dalam kurikulum program studi ( S-1 ) Teknik Kimia dan memperoleh gelar Sarjana Teknik Kimia UPN Veteran Jawa Timur. Laporan Penelitian ini kami susun berdasarkan data – data yang diperoleh dari hasil percobaan.
Laporan penelitian yang kami dapatkan tersusun atas kerjasama dan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Ir. Sutiyono, MT selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jawa Timur.
2. Ibu Ir. Retno Dewati, MT selaku Ketua Jurusan Teknik Kimia UPN “Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Ir. Suprihatin , MT selaku Dosen Pembimbing. 4. Bpk Dr. Ir. Edi Muljadi, SU selaku Dosen penguji. I 5. Bpk Mu’tasim Billah, MT selaku Dosen Penguji II
7. Teman – teman dan seluruh pihak terkait yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu yang telah memberikan dorongan semangat dalam pelaksanaan dan penyusunan laporan penelitian.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan ini.
Dan akhirnya kami selaku penyusun mohon maaf kepada semua pihak, apabila dalam penyusunan laporan ini terdapat kesalahan. Kami berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Surabaya, 27 September 2011
DAFTAR ISI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Teori Secara Umum ... 4
II.1.1 Biodiesel ... 4
II.1.2 Biodiesel dari Minyak Nabati... 9
II.1.2.1 Minyak Nabati ... 9
II.1.2.2 Komposisi Dalam Minyak Nabati... 11
II.1.3 Trigleserida... 11
II.1.4 Asam Lemak Bebas ... 12
II.1.5 Minyak Biji Karet (Rubber Seed Oil) ... 13
II.1.6 Sifat-Sifat Fisika dan Kimia Minyak Biji Karet ... 15
II.1.7 Methanol ... 17
II.1.8 NaOH... 18
II.1.9 Asam Phosphat ... 18
II.1.10 Asam Sulfat ... 19
II.1.11 Syarat Mutu Biodiesel ... 20
II.1.12 Pemurnian Minyak ... 22
II.2 Landasan Teori ... 23
II.2.1 Proses Pembuatan Biodiesel ... 23
II.2.1a Esterifikasi ... 23
II.2.1b Transesterifikasi ... 24
II.2.2 Hal – Hal yang Mempengaruhi Reaksi Transesterifikasi... 26
BAB III RENCANA PENELITIAN
III.1 Bhahan – Bahan yang Digunakan ... 30
III.2 Alat yang Digunakan ... 30
III.2.1 Crusher ... 30
III.2.2 Expeller ... 31
III.2.3 Seperangkat Alat Esterifikasi Dan Transesterifikasi ... 31
III.3. Peubah ... 32
III.3.1 Peubah yang Ditetapkan ... 32
III.3.1.1a Degumming ... 32
III.3.1.1b Esterifikasi ... 32
III.3.2 Peubah yang Dijalankan ... 33
III.4 Prosedur Penelitian... 33
III.5 Analisa ... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil Penelitian ... 38
IV.2 Pembahasan... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan ... 62
V.2 Saran ... 62 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel II.1. Sifat Fisika Biodiesel ... 9
Tabel II.2. Kandungan Minyak Dalam Beberapa Biji – Bijian... 14
Tabel II.3 Sifat – Sifat fisika Minyak Biji Karet... 15
Tabel II.4 Sifat – Sifat Kimia Minyak Biji Karet ... 16
Tabel II.5 Susunan Asam Lemak Biji Karet ... 16
Tabel II.6 Persyaratan Kualitas Biodiesel yang Diiginkan ... 20
Tabel II.7 Spesifikasi Solar ... 22
Tabel IV.1 Hasil Analisa Angka Kadar Air dan FFA ...39
Tabel IV.2 Hasil Analisa Pengaruh Suhu Terhadap Variasi Waktu dengan Tabel IV.4 Hasil Uji Karesteristik Biodiesel Minyak Biji Karet Pada Waktu 150 Menit dan Suhu 70oC ... 53
Tabel IV.5 Tabel Hasil Titik Optimum Dari Perhitungan Persamaan Regresi Pengaruh Waktu (Menit) terhadap Variasi Suhu (oC) Dan Pengaruh Suhu (oC) Terhadap Variasi Waktu (Menit) Dengan Konversi MetIl Ester(%) Pada Proses Transesterifikasi ... 57
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Struktur Molekul Trigliserida ... 12
Gambar II.2 Struktur Molekul Asam Lemak Bebas ... 12
Gambar II.3 Biji Karet dan Kernel Biji Karet ... 14
Gambar II.4 Pengaruh Temperatur Terhadap Waktu Pencapaian Konversi ... 28
Gambar III.2.1 Crusher ... 30
Gambar III.2.2 Expeller ... 31
Gambar III.2.3 Seperangkat Alat Esterifikasi dan Transesterifikasi ... 31
Gambvar IV.1 Pengaruh Suhu 30oC Terhadap Variasi Waktu dengan Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi... 41
Gambar IV.2 Pengaruh Suhu 40oC Terhadap Variasi Waktu dengan Konversi Metil Ester (%) Pada Proses Transesterifikasi... 42
Gambar IV.3 Pengaruh Suhu 50oC Terhadap Variasi Waktu dengan Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi... 43
Gambar IV.4 Pengaruh Suhu 60oC Terhadap Variasi Waktu dengan Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi... 44
Gambar IV.5 Pengaruh Suhu 70oC Terhadap Variasi Waktu dengan Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi... 45
Gambar IV.6 Pengaruh Waktu 30Menit Terhadap Variasi Suhu dengan Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi... 47
Gambar IV.7 Pengaruh Waktu 60Menit Terhadap Variasi Suhu dengan Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi... 49
Gambar IV.8 Pengaruh Waktu 90Menit Terhadap Variasi Suhu dengan Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi... 51
Gambar IV.9 Pengaruh Waktu 150Menit Terhadap Variasi Suhu dengan Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi... 59
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metil ester yang dapat digunakan sebagai biodiesel dan mendapatkan data – data esterifikasi dan transesterifikasi.
Adapun prosedur penelitian ini adalah sebagai nerikut :
bahan baku yang digunakan adalah biji karet. Biji karet di pecah dengan menggunakan crusher yang menghasilkan kernel dan kulit. Setelah itu kernel di pres dengan menggunakan expeller yang menghasilkan minyak biji karet. Untuk memisahkan gum yang terkandung dalam minyak biji karet mentah dilakukan proses degumming, proses ini dilakukan pada temperatur 90oC dan waktu 30 menit dan diendapkan selama 24 jam. Selanjutnya di lakukan prosees esterifikasi dari 500 ml minyak biji karet hasil degumming dengan penambahan 56,39ml methanol dan 2 ml H2SO4 dalam waktu 120 menit pada suhu 110oC dan kecepatan pengadukan 250 rpm. Hasil dari esterifikasi ditransesterifikasi kemudian dilakukan pencampuran 200 ml minyak dengan 22,556 ml methanol dan 1,424 gr NaOH. Peubah yang dijalankan adalah suhu (30oC; 40oC; 50oC; 60oC; 70oC), waktu (30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, 150 menit) dan kecepatan pengadukan 250 rpm.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Bahan bakar fosil terutama minyak bumi masih menjadi konsumsi energi utama, padahal cadangan minyak bumi dunia terbatas dan minyak bumi merupakan sumber energi tak terbarukan (non renewable). Kekhawatiran ini memunculkan perhatian terhadap penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif. Penelitian mengenai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil terus dilakukan. Parameter keberhasilan bahan bakar alternatif ini adalah emisi gas buang yang rendah (gas NOx, SOx, CO2, dan CO) dan memenuhi spesifikasi menurut SNI (www.energiterbarukan.net).
Minyak nabati merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Minyak nabati merupakan minyak yang bersumber dari tanaman. Minyak nabati dapat diolah menjadi biodiesel karena mengandung asam lemak (trigliserida). Trigliserida diubah menjadi metyl/ethyl ester melalui proses transesterifikasi methyl ester merupakan komponen penyusun biodiesel. Hasil - hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai minyak nabati memiliki potensi cukup besar sebagai bahan bakar alternatif pengganti solar, karena memiliki karakteristik yang serupa dengan solar yang berasal dari minyak bumi (petrodiesel).
lain : karet , kapuk , jarak , dan nyamplung.Tanaman karet adalah salah satu komoditi perkebunan yang produk utamanya berupa getah ( lateks ) , sedangkan hasil produksi yang berupa biji karet sampai saat ini belum termanfaatkan secara optimal. Biji karet merupakan hasil ikutan perkebunaan karet akan memiliki nilai ekonomis cukup tinggi bila di kelola dengan baik. Amat disayangkan apabila selama ini biji karet hanya di gunakan sebatas benih generatif pohon karet. Padahal biji karet memiliki kandungan minyak nabati yang tinggi ( 40-50 % ).Pengolahan biji karet dapat menghasilkan produk samping berupa bungkil yang dapat digunakan untuk pakan ternak dan tempurung biji yang dapat di manfaatkan sebagai bahan baku arang aktif. Pemanfaatan biji karet menjadi minyak ( rubber seed oil ) sebagai sumber bahan baku biodiesel merupakan terobosan yang tepat untuk meningkatkan nilai tambah perkebunan karet.
( www.pemanfaatanbijikaret.com ).
I.2 Tujuan Penelitian
1. Menemukan bahan bakar alternatif baik sebagai pencampur maupun sebagai pengganti bahan bakar diesel.
I. 3 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari pembuatan biodiesel dari minyak biji karet, antara lain :
1. Untuk Pembangunan Negara
a. Pencemaran lingkungan oleh limbah minyak biji karet dapat dikurangi
b. Ketergantungan pada BBM khususnya minyak diesel dari fraksi minyak bumi dapat diperkecil
c. Menjadi masukan dalam pembuatan biodiesel sebagai bahan baku alternative pengganti sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
d. Meningkatkan nilai guna dan nilai tambah secara ekonomi dari biji karet dengan memprosesnya menjadi biodiesel.
2. Untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Mengetahui kondisi proses pembuatan biodiesel dari biji karet 3. Peningkatan Pengetahuan dan Ketrampilan Peneliti
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum II.1.1 Biodiesel
Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono—
alkyl ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi
bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak
sayur atau lemak hewan. Sebuah proses dari transesterifikasi lipid digunakan
untuk mengubah minyak dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang
asam lemak bebas. Setelah melewati proses ini biodiesel memiliki sifat
pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak bumi. Namun,
biodiesel lebih sering digunakan sebagai penambah untuk diesel petroleum,
meningkatkan bahan bakar diesel petrol murni ultra rendah belerang yang rendah
pelumas.
Biodiesel merupakan kandidat yang paling dekat untuk menggantikan
bahan bakar fosil sebagai sumber energi transportasi utama di dunia, karena
biodiesel merupakan bahan bakar terbaharui yang dapat menggantikan diesel
petrol di mesin sekarang. Penggunaan dan produksi biodiesel meningkat dengan
cepat, terutama di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia, meskipun dalam pasar masih
semakin banyaknya penyediaan biodiesel kepada konsumen dan juga
pertumbuhan kendaraan yang menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar.
Adapun keuntungan pemakaian biodiesel di antaranya sebagai berikut :
1. Dihasilkan dari sumber daya energi terbarukan dan ketersediaan bahan
bakunya terjamin
2. Cetane number tinggi (bilangan yang menunjukkan ukuran baik tidaknya
kualitas solar berdasar sifat kecepatan bakar dalam ruang bakar mesin)
3. Viskositas tinggi sehingga mempunyai sifat pelumasan yang lebih baik
daripada solar sehingga memperpanjang umur pakai mesin
4. Dapat diproduksi secara lokal
5. Mempunyai kandungan sulfur yang rendah
6. Menurunkan emisi gas buang
7. Pencampuran biodiesel dengan petroleum diesel dapat meningkatkan
biodegradibility petroleum diesel sampai 500 %
(www.energiterbarukan.net)
Beberapa sifat fisis bahan bakar diesel antara lain :
1. Pour Point
Titik tuang ( Pour Point ) adalah suhu terendah dimana bahan bakar
masih dapat dituang atau mengalir apabila didinginkan pada kondisi tertentu.
Selain itu pour point juga menunjukkan suhu terendah di mana bahan bakar masih
2. Flash Point
Flash point adalah suhu terendah dimana suatu campuran bahan
bakar dalam campurannya dengan udara akan menyala kalau dikenai nyala uji
pada kondisi tertentu. Semula flash point dimaksudkan untuk keamanan, untuk
mengetahui sampai suhu berapa oaring masih dapat bekerja dengan aman dengan
suatu produk minyak bumi tanpa timbul bahaya kebakaran. Tetapi kemudian
ternyata flash point dapat juga digunakan untuk menunjukkan volatilitas relatif
produk minyak bumi.
3. Kinematic Viscosity
Viskositas adalah suatu ukuran resistansi suatu fluida untuk mengalir.
Semakin tinggi nilai viskositas semakin kecil kemampuan fluida tersebut untuk
mengalir. Viskositas suatu bahan bakar minyak sangat tergantung pada
temperatur, dimana nilai viskositas akan turun apabila temperatur naik. Untuk
biodiesel viskositas biasanya dinyatakan dalam viskositas kinematik, yaitu
waktu yang diperlukan oleh suatu volum tertentu fluida untuk mengalir karena
pengaruh gaya gravitasi pada pipa kapiler yang telah dikalibrasi
(viscosimeter ).
Selanjutnya viskositas kinematis dapat dihitung dengan persamaan :
ν = C.t ... ( 1 )
dengan, ν = Viskositas Kinematis ( cSt )
C = Konstanta Viscosimeter
4. Angka Cetane
Angka cetane mengukur penyalaan bahan bakar ketika diinjeksikan
ke dalam mesin. Angka cetane juga merupakan indikasi dari kemulusan
pembakaran. Angka cetane dari biodiesel tergantung pada distribusi asam lemak
dalam minyak nabati. Semakin panjang rantai karbon asam lemak dan semakin
banyak molekul jenuhnya, angka cetane semakin tinggi (Ariwibowo, 2008).
5. Angka Asam
Angka asam adalah banyak miligram KOH yang dibutuhkan untuk
menetralkan asam-asam bebas di dalam satu gram contoh biodiesel (SNI
04-7182-2006, www.bsn.or.id). Bilangan asam total (total acid number-TAN) merupakan
indikasi adanya asam lemak bebas atau asam yang terbentuk karena degradasi
minyak dan pembakaran. Keasaman juga dapat berasal dari proses pembuatan
biodiesel yang tidak tepat. Jika nilai asam lebih dari 0,01 mg KOH/gram dapat
berakibat pada deposit di sistem bahan bakar dan menurunkan umur pompa dan
saringan (Tyson, 2001).
6. Angka Iodium
Angka iodium adalah ukuran empirik banyaknya ikatan rangkap (dua)
di dalam (asam-asam lemak penyusun) biodiesel dan dinyatakan dalam sentigram
iodium yang diabsorpsi per gram contoh biodiesel (%-massa iodium terabsorpsi).
Satu mol iodium terabsorpsi setara dengan satu mol ikatan rangkap
8. Angka Penyabunan
Angka penyabunan menunjukkan berat molekul lemak dan minyak
secara kasar .minyak yang disusun oleh asam lemak berantai karbon yang
pendek berarti mempunyai berat molekul ytang relatif kecil, akan mempunyai
angka penyabunan yang besar dan sebaliknya bila minya mempunyai berat
molekul yang besar ,mka angka penyabunan relatif kecil . angka penyabunan ini
dinyatakan sebagai banyaknya (mg) NaOH yang dibutuhkan untuk
menyabunkan satu gram lemak atau minyak.
9. Densitas
Densitas produk minyak menunjukkan berat-ringannya produk
tersebut. Dalam spesifikasi produk minyak memang densitas ini dimasukkan
dalam spesifikasi produk berupa range density. Walaupun dimasukkan dalam
spesifikasi produk, namun density bukan merupakan spesifkasi produk yang
utama (tapi tentu tetap harus dipenuhi). Seperti misalnya premium dan pertamax,
yang jadi spesifkasi produk yang utama adalah nilai oktan-nya; sedangkan
diesel, yang jadi spesifikasi produk yang utama adalah cetane number-nya.
( www.migas-indonesia.com )
10. Nilai Kalor
Nilai kalor bahan bakar menentukan jumlah konsumsi bahan bakar
yang di gunakan setiap satuan waktu.Makin tinggi nilai kalor bahan bakar
menunjukkan bahwa pemakaian bahan bakar semakin tinggi. Tidak ada standart
khusus yang menentukan kalor maksimal yang harus dimiliki bahan bakar mesin
Tabel II.1 Sifat Fisik Biodiesel
( www.biodiesel.org.,2005 )
II.1.2 Biodiesel dari Minyak Nabati II.1.2.1 Minyak Nabati
Pengertian ilmiah paling umum dari istilah ‘biodiesel’ mencakup
sembarang (dan semua) bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari sumber daya
hayati atau biomassa. Sekalipun demikian, makalah ini akan menganut definisi
yang pengertiannya lebih sempit tetapi telah diterima luas di dalam industri, yaitu
bahwa “biodiesel adalah bahan bakar mesin / motor diesel yang terdiri atas ester
alkil dari asam-asam lemak” ( Soerawidjaja,2006 ).
Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati maupun lemak hewan,
namun yang paling umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel
adalah minyak nabati. Minyak nabati dan biodiesel tergolong ke dalam kelas besar
senyawa-senyawa organik yang sama, yaitu kelas ester asam-asam lemak. Akan
Specific gravity 0,87 to 0,89
Kinematic viscosity @ 40 0 C 3,7 to 5,8
Cetane Number 46 to 70
Higher Heating Value, (Btu/Lb) 16.928 to 17.996
Sulfur, % wt 0,0 to 0,0024
Cloud Point, 0 C -11 to 16
Pour Point, 0 C -15 to 13
Iodine Number 60 to 135
tetapi, minyak nabati adalah triester asam-asam lemak dengan gliserol, atau
trigliserida, sedangkan biodiesel adalah monoester asam-asam lemak dengan
metanol. Perbedaan wujud molekuler ini memiliki beberapa konsekuensi penting
dalam penilaian keduanya sebagai kandidat bahan bakar mesin diesel :
1. Minyak nabati (yaitu trigliserida) berberat molekul besar, jauh lebih besar dari
biodiesel (yaitu ester metil). Akibatnya, trigliserida relatif mudah mengalami
perengkahan (cracking) menjadi aneka molekul kecil, jika terpanaskan tanpa
kontak dengan udara (oksigen).
2. Minyak nabati memiliki kekentalan (viskositas) yang jauh lebih besar dari
minyak diesel/solar maupun biodiesel, sehingga pompa penginjeksi bahan
bakar di dalam mesin diesel tak mampu menghasilkan pengkabutan
(atomization) yang baik ketika minyak nabati disemprotkan ke dalam kamar
pembakaran.
3. Molekul minyak nabati relatif lebih bercabang dibanding ester metil asam-asam
lemak. Akibatnya, angka setana minyak nabati lebih rendah daripada angka
setana ester metil. Angka setana adalah tolok ukur kemudahan
menyala/terbakar dari suatu bahan bakar di dalam mesin diesel.
Di luar perbedaan yang memiliki tiga konsekuensi penting di atas,
minyak nabati dan biodiesel sama-sama berkomponen penyusun utama (≥ 90 %
berat) asam-asam lemak. Pada kenyataannya, proses transesterifikasi minyak
nabati menjadi ester metil asam-asam lemak, memang bertujuan memodifikasi
minyak nabati menjadi produk (yaitu biodiesel) yang berkekentalan mirip solar,
minyak nabati dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar namun dengan
proses-proses pengolahan tertentu (Y.M Choo, 1994).
II.1.2.2 Komposisi Dalam Minyak Nabati
Komposisi yang terdapat dalam minyak nabati terdiri dari
trigliserida-trigliserida asam lemak (mempunyai kandungan terbanyak dalam minyak nabati,
mencapai sekitar95%-b), asam lemak bebas (Free Fatty Acid atau biasa disingkat
dengan FFA), mono- dan digliserida, serta beberapa komponen-komponen lain
seperti phosphoglycerides, vitamin, mineral, atau sulfur. Bahan-bahan mentah
pembuatan biodiesel adalah ( Mittelbach, 2004 ) :
a. Trigliserida-trigliserida, yaitu komponen utama aneka lemak dan
minyak-lemak, dan
b. Asam-asam lemak, yaitu produk samping industri pemulusan (refining) lemak
dan minyak-lemak.
II.1.3 Trigiliserida
Trigliserida adalah triester dari gliserol dengan asam-asam lemak, yaitu
asam-asam karboksilat beratom karbon 6 s/d 30. Trigliserida banyak dikandung
dalam minyak dan lemak, merupakan komponen terbesar penyusun minyak nabati.
Selain trigliserida, terdapat juga monogliserida dan digliserida. Struktur molekul dari
Gambar II.1 Struktur Molekul Trigliserida II.1.4 Asam Lemak Bebas
Gambar II.2 Struktur Molekul Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang terpisahkan dari
trigliserida, digliserida, monogliserida dan gliserin bebas. Hal ini dapat
disebabkan oleh pemanasan dan terdapatnya air sehingga terjadi proses hidrolisis.
Oksidasi juga dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam minyak nabati.
Dalam proses konversi trigliserida menjadi alkil esternya melalui reaksi
transesterifikasi dengan katalis basa, asam lemak bebas harus dipisahkan atau
dikonversi menjadi alkil ester terlebih dahulu karena asam lemak bebas akan
mengkonsumsi katalis. Kandungan asam lemak bebas dalam biodiesel akan
mengakibatkan terbentuknya suasana asam yang dapat mengakibatkan korosi
sedimentasi pada injektor (www.journeytoforever.com). Pemisahan atau konversi
asam lemak bebas ini dinamakan tahap preesterifikasi.
II.1.5 Minyak Biji Karet (Rubber Seed Oil)
Karet adalah tanaman perkebunan/industri tahunan berupa pohon
batang lurus yang pertama kali ditemukan di Brasil dan mulai dibudidayakan
tahun 1601. Di Indonesia, Malaysia dan Singapura tanaman karet dicoba
dibudidayakan pada tahun 1876. Tanaman karet pertama di Indonesia ditanam di
Kebun Raya Bogor. Karet cukup baik dikembangkan di daerah lahan kering
beriklim basah. Tanaman karet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
dengan komoditas lainnya yaitu:
1. Dapat tumbuh pada berbagai kondisi dan jenis lahan, serta masih mampu
dipanen hasilnya meskipun pada tanah yang tidak subur,
2. Mampu membentuk ekologi hutan, yang pada umumnya terdapat pada daerah
lahan kering beriklim basah, sehingga karet cukup baik untuk menanggulangi
lahan kritis,
3. Dapat memberikan pendapatan harian bagi petani yang mengusahakannya, dan
4. Memiliki prospek harga yang cukup baik. (Prima Tani, 2006).
Pohon karet akan dapat dipanen getahnya pada usia 5 tahun dan
memiliki usia produktif 25 sampai 30 tahun. Berdasarkan statistik perkebunan
karet di Indonesia (2002) luas kebun karet di Indonesia mencapai 3.318.105 Ha
dan diperkirakan mampu menghasilkan minyak biji karet sebesar 25.622.406,8
buah akan masak dan pecah sehingga biji karet terlepas dari batoknya. Biji karet
terdiri dari 40-50% kulit yang keras, berwarna coklat, 50-60% kernel yang
berwarna putih kekuningan. Kernel biji karet terdiri dari 40 – 50 % minyak,
2,71% abu, 3,71% air, 2,17% protein dan 24,21% karbohidrat. Ini menunjukkan
bahwa biji karet berpotensi untuk dijadikan sumber minyak nabati. Tetapi
kandungan air yang cukup besar dalam biji karet dapat memicu hidrolisis
triglyserida menjadi FFA. Oleh karenanya, diperlukan pengeringan sebelum
pengepresan. Biji karet merupakan limbah pertanian yang tidak mempunyai nilai
ekonomi, tidak memerlukan lahan subur, pemeliharaan yang intensif dan
ketersediaannya melimpah (Luthfi,2008).
( a ) Biji Karet ( b ) Kernel Biji Karet
Gambar II.3 Biji Karet dan Kernel Biji Karet
Tabel II.2 Kandungan Minyak Dalam Beberapa Biji – Bijian
Biji % Berat
Karet 40-50
Jarak 54
Inti Sawit 47 – 52
Wijen 33 – 57
Kacang Tanah 46 – 52
Minyak biji karet merupakan minyak nabati yang berdasarkan sifat
mengeringnya termasuk jenis minyak mengering, yaitu minyak yang mempunyai
sifat dapat mengering jika kena oksidasi dan membentuk sejenis selaput jika
dibiarkan di udara terbuka. Adapun perbedaan minyak hewani dan nabati adalah :
1. Lemak hewani mengandung kolesterol sedangkan lemak nabati mengandung
fitosterol.
2. Kadar asam lemak tidak jenuh dalam lemak hewani lebih kecil dari lemak
nabati. Tipe dan persentase asam lemak tergantung jenis tanaman dan kondisi
pertumbuhan tanaman. Kandungan asam lemak bebas (FFA) pada minyak
mentah biji karet sekitar 17% dan bilangan asam sekitar 34.
II.1.6 Sifat Sifat Fisika dan Kimia Minyak Biji Karet
Di dalam pengembangan minyak atau bahan bahan lainnya yang perlu
diperhatikan terutama adalah sifat sifat dari fisika dan kimia daripada minyak atau
bahan tersebut. Adapun sifat sifat fisika dan kimia serta susunan asam lemak dari
minyak biji karet adalah sebagai berikut :
Tabel II.3 Sifat – Sifat Fisika Minyak Biji Karet :
Parameter Nilai
Nilai Kalor 18850 J/g
Refractive Indeks ( 40 o C ) 1,466 – 1, 469
Rapat Rata – Rata 0,925 gr / ml
Refractive Indeks(40oC) 1,466 – 1,469
Specific Grafity 15 oC 0,924 – 0,93 C
Tabel II.4. Sifat – SifatKimia Minyak Biji Karet
Parameter Nilai
Bilangan Iod 132 – 148 g I2/100 g minyak
Bilangan Penyabunan 190 – 195 mg KOH/g minyak
Bilangan Asam 4 – 40
Asam lemak Jenuh 24%
Asam lemak tidak jenuh 76%
Fraksi tak tersabunkan (%) 0,5 – 1
(Sumber: Luthfi,2008)
Tabel II.5. Susunan Asam Lemak Biji Karet Asam Lemak Komposisi
( % Berat )
Asam Palmitat 11
Asam Arachidat 1
Asam stearat 12
Asam Oleat 17
Asam Linoleat 35
Asam Linolenat 24
Total 100
II.1.7 Metanol
Metanol, juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau
spiritus, adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Ia merupakan bentuk
alkohol paling sederhana. Pada "keadaan atmosfer" ia berbentuk cairan yang
ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan
bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). Ia digunakan sebagai bahan
pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol
industri. Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh
bakteri. Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara.
Setelah beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan
bantuan sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air.
Reaksi kimia metanol yang terbakar di udara dan membentuk karbon
dioksida dan air adalah sebagai berikut:
2CH3OH + 3 O2→ 2 CO2 + 4 H2O ... ( 2 )
Api dari metanol biasanya tidak berwarna. Oleh karena itu, kita harus
berhati - hati bila berada dekat metanol yang terbakar untuk mencegah cedera
akibat api yang tak terlihat. Karena sifatnya yang beracun, metanol sering
digunakan sebagai bahan additif bagi pembuatan alkohol untuk penggunaan
industri; Penambahan "racun" ini akan menghindarkan industri dari pajak yang
dapat dikenakan karena etanol merupakan bahan utama untuk minuman keras
( http://id.wikipedia.org/wiki/Metanol, 2009 )
II.1.8. NaOH
Natrium hidroksida (NaOH), juga dikenal sebagai soda kaustik,
adalah sejenis basa logam kaustik. Natrium hidroksida membentuk larutan alkalin
yang kuat ketika dilarutkan ke dalam air. Ia digunakan di berbagai macam bidang
industri, kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu
dan kertas , tekstil, air minum , sabun dan deterjen. Natrium hidroksida adalah
basa yang paling umum digunakan dalam laboratorium kimia.Natrium hidroksida
murni berbentuk putih padat dan tersedia dalam bentuk pelet, serpihan, butiran
ataupun larutan jenuh 50%. Ia bersifat lembab cair dan secara spontan menyerap
karbon dioksida dari udara bebas. Ia sangat larut dalam air dan akan melepaskan
panas ketika dilarutkan. Ia juga larut dalam etanol dan metanol, walaupun
kelarutan NaOH dalam kedua cairan ini lebih kecil daripada kelarutan KOH. Ia
tidak larut dalam dietil eter dan pelarut non-polar lainnya. Larutan natrium
hidroksida akan meninggalkan noda kuning pada kain dan kertas.
( http://id.wikipedia.org/wiki/NatriumHidroksida, 2009 )
II.1.9 Asam Phospat
Asam phospat digunakan dalam berbagai jenis industri, antara lain
digunakan untuk membuat senyawa – senyawa phospat, terutama garam – garam
phospat (Super Phospat, Double dan Triple Super Phospat) ynag banyak
digunakan dalam industri pupuk dan tanaman. (Kirk and Orthmer, 1952)
Sifat – Sifat Asam Phospat :
1. Tidak Berwana atau Jernih
2. Berbentuk Kristal
3. Berat Molekul : 98
4. Specific Grafity : 1,834
5. Melting Point : 42,35 °C
6. Boiling Point : 213 °C
7. Larurt Dalam Air dan Alkohol
(faith, WL Keyes, 2ed)
II.1.10. .Asam Sulfat
Asam sulfat (H2SO4) merupakan asam mineral (anorganik) yang kuat.
Zat ini larut dalam air pada semua perbandingan. Asam sulfat mempunyai
banyak kegunaan dan merupakan salah satu produk utama industri kimia.
Asam sulfat murni yang tidak diencerkan tidak dapat ditemukan secara alami
di bumi oleh karena sifatnya yang higroskopis.Walaupun asam sulfat yang
mendekati 100% dapat dibuat, ia akan melepaskan SO3 pada titik didihnya
dan menghasilkan asam 98,3%. Asam sulfat 98% lebih stabil untuk
disimpan, dan merupakan bentuk asam sulfat yang paling umum. Asam
sulfat 98% umumnya disebut sebagai asam sulfat pekat. Terdapat berbagai
jenis konsentrasi asam sulfat yang digunakan untuk berbagai keperluan:
10%, asam sulfat encer untuk kegunaan laboratorium,
62,18%, asam bilik atau asam pupuk,
73,61%, asam menara atau asam glover,
97%, asam pekat.
( http://id.wikipedia.org/wiki/Asam Sulfat, 2009 )
II.1.11 Syarat Mutu Biodiesel
Suatu teknik pembuatan biodiesel hanya akan berSguna apabila
produk yang dihasilkannya sesuai dengan spesifikasi (syarat mutu) yang telah
ditetapkan dan berlaku di daerah pemasaran biodiesel tersebut. Persyaratan mutu
biodiesel di Indonesia sudah dibakukan dalam SNI-04-7182-2006, yang telah
disahkan dan diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) tanggal 22
Februari 2006 (Soerawidjaja,2006).
Tabel II.6 Persyaratan Kualitas Biodisel yang Diinginkan
Parameter yang menunjukkan keberhasilan pembuatan biodiesel
dapat dilihat dari kandungan gliserol total dan gliserol bebas (maksimal 0,24%-b
dan 0,02%-b) serta angka asam (maksimal 0,8) dari biodiesel hasil produksi.
Terpenuhinya semua persyaratan SNI-04-7182-2006 oleh suatu biodiesel
menunjukkan bahwa biodiesel tersebut tidak hanya telah dibuat dari bahan
mentah yang baik, melainkan juga dengan tata cara pemrosesan serta pengolahan
yang baik pula.
Tabel II.7 Spesifikasi Solar Sesuai SK Dirjen Migas No.3657K/24/DJM/2006
No Karakteristik Unit Super Reguler
1 Berat jenis pada suhu 15 0C kg/m3 820-860 815-870
2 Viskositas kinematik pada suhu 40 0C mm2/s 2.0-4.5 2.0-5.0
3 Angka setana / indeks ≥51/48 ≥48-45
4 Titik nyala 40 0C 0C ≥55 ≥60
5 Titik tuang 0C ≤18 ≤18
6 Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 0C)
16 Kandungan metanol dan etanol %v/v Tak terditeksi Tak terditeksi
17 Partikulat mg/l ≤10 -
II.1.12 Pemurnian Minyak
Untuk mendapatkan minyak yang bermutu baik, minyak dan lemak
harus dimurnikan dari kotoran atau bahan yang terdapat di dalamnya. Cara
pemurnian dilakukan dalam beberapa tahap :
1. Pengendapan (settling) dan pemisahan gum (deguming) , bertujuan
menghilangkan partikel – partikel halus yang tersuspensi atau yang
berbentuk koloidal. Pemisahan ini dilakukan dengan pemanasan uap dan
adsorben, terkadang juga dilakukan dengan centrifuge.
2. Netralisasi dengan Alkali, bertujuan memisahkan senyawa – senyawa
terlarut seperti fosfatida, asam lemak bebas dan hidrokarbon. Lemak
dengan kandungan asam lemak bebas yang tinggi dipisahkan dengan
menggunakan uap panas dalam keadaan vakum, kemudian ditambahkan
alkali. Sedangkan lemak dengan kandungan asam lemak bebas yang
rendah cukup ditambahakan NaOH atau garam NaCO3, sehingga asam
lemak ikut fase air dan terpisah dari lemaknya.
3. Pemucatan, bertujuan menghilangkan zat – zat warna dalam minyak
dengan penambahan adsorbing agent seperti arang aktif, tanah liat atau
dengan reaksi – reaksi kimia. Setelah penyerapan warna, lemak disaring
dalam keadaan vakum.
4. Penghilangan bau (deodorisasi) lemak, dilakukan dalam botol vakum,
kemudian dipanaskan dengan mengalirkan uap panas yang akan membawa
II.2 Landasar Teori
Minyak nabati bisa langsung dimanfaatkan untuk bahan bakar
karena memiliki nilai kalor yang tinggi (Watanabe,2001). Namun demikian
minyak nabati memiliki kekentalan yang relatif tinggi dibanding minyak dari
fraksi minyak bumi, karena adanya percabangan pada rantai karbonnya yang
cenderung panjang. Kekentalan ini dapat dikurangi dengan memutus
percabangan rantai karbon tersebut melalui proses esterifikasi (alkoholisis
terhadap asam lemak dari minyak nabati) menggunakan alkohol fraksi ringan,
misalnya metanol atau etanol. Pada reaksi esterifikasi diperlukan adanya
katalis karena cenderung berjalan lambat. Katalis berfungsi untuk menurunkan
energi aktifasi. Katalis yang digunakan dapat berupa asam, basa maupun
penukar ion. Dengan katalis basa reaksi dapat berlangsung pada suhu kamar
atau lebih rendah, sementara dengan katalis asam reaksi berlangsung dengan
baik pada suhu sekitar 100OC atau lebih. Tanpa katalis, reaksi esterifikasi baru
dapat berlangsung pada suhu minimal 250OC (Kirk & Othmer, 1980).
II.2.1 Proses Pembuatan Biodiesel II.2.1a Esterifikasi
Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi
ester. Esterifikasi mereaksikan minyak lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang
cocok adalah zat berkarakter asam kuat dan, karena ini, asam sulfat, asam sulfonat
organik atau resin penukar kation asam kuat merupakan katalis - katalis yang
agar reaksi bisa berlangsung ke konversi yang sempurna pada temperatur rendah
(misalnya paling tinggi 120°C), reaktan metanol harus ditambahkan dalam jumlah
yang sangat berlebih (biasanya lebih besar dari 10 kali stoikhiometrik) dan air
produk ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak.
Melalui kombinasi - kombinasi yang tepat dari kondisi - kondisi reaksi dan
metode penyingkiran air, konversi sempurna asam - asam lemak ke ester metilnya
dapat dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam. Reaksi esterifikasi dapat
dilihat dibawah ini :
... ( 3 )
Reaksi Esterifikasi Dari Asam Lemak Menjadi Metil Ester
Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak
berkadar asam lemak bebas tinggi (berangka - asam ≥ 5 mg-KOH/g). Pada tahap
ini, asam lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi
biasa diikuti dengan tahap transesterfikasi. Namun sebelum produk esterifikasi
diumpankan ke tahap transesterifikasi, air dan bagian terbesar katalis asam yang
dikandungnya harus disingkirkan terlebih dahulu.
II.2.1b Transesterifikasi
Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap
konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkyl ester, melalui reaksi
dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara
alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan
reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Jadi di sebagian
besar dunia ini, biodiesel praktis identik dengan ester metil asam-asam lemak
(Fatty Acids Metil Ester, FAME). Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi
metil ester dapat dilihat dibawah ini.
... ( 4 )
Reaksi Transesterifikasi dari Trigliserida Menjadi Metil Ester Lemak – Lemak
Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa
adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan
dengan lambat (Mittlebatch,2004). Katalis yang biasa digunakan pada reaksi
transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi.
Reaksi transesterifikasi sebenarnya berlangsung dalam 3 tahap yaitu
sebagai berikut:
.
... ( 5 )
Produk yang diinginkan dari reaksi transesterifikasi adalah ester
metil asam-asam lemak. Terdapat beberapa cara agar kesetimbangan lebih ke arah
produk, yaitu:
a. Menambahkan metanol berlebih ke dalam reaksi
b. Memisahkan gliserol
c. Menurunkan temperatur reaksi (transesterifikasi merupakan reaksi eksoterm)
II.2.2 Hal-hal yang Mempengaruhi Reaksi Transesterifikasi
Pada intinya, tahapan reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel selalu
menginginkan agar didapatkan produk biodiesel dengan jumlah yang maksimum.
Beberapa kondisi reaksi yang mempengaruhi konversi serta perolehan biodiesel
melalui transesterifikasi adalah sebagai berikut (Freedman, 1984):
a. Pengaruh Air dan Asam Lemak Bebas
Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka
asam yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan
asam lemak bebas lebih kecil dari 0.5% (<0.5%). Selain itu, semua bahan yang
akan digunakan harus bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis,
sehingga jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak
dengan udara agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.
b. Pengaruh Jenis Katalis
Alkali katalis (katalis basa ) akan mempercepat reaksi
transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling
sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Reaksi transesterifikasi akan
menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0,5 – 1,5% -b
minyak nabati. Jumlah katalis yang efektif untuk reaksi adalah 0,55 –b minyak
nabati untuk natrium metoksida dan 1% -b minyak nabati untuk natrium
hidroksida.
c. Metanolisis Crude dan Refined Minyak Nabati
Perolehan metil ester akan lebih tinggi jika menggunakan minyak
nabati refined. Namun apabila produk metil ester akan digunakan sebagai bahan
bakar mesin diesel, cukup digunakan bahan baku berupa minyak yang telah
dihilangkan getahnya dan disaring.
d. Pengaruh Temperatur
Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur 30 - 65° C
(titik didih metanol sekitar 65° C). Semakin tinggi temperatur, konversi yang
diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat. Hal ini ditunjukan
pada Gambar 2.4. Untuk waktu 6 menit, pada temperatur 60oC konversi telah
mencapai 94% sedangkan pada 45oC yaitu 87% dan pada 32oC yaitu 64%.
Temperatur yang rendah akan menghasilkan konversi yang lebih tinggi namun
Gambar II.4 Pengaruh Temperatur Terhadap Waktu Pencapaian
Konversi
e. Pengaruh Perbandingan Molar Alkohol dengan Bahan Mentah
Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi
adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester
dan 1 mol gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1 dapat
menghasilkan konversi 98% (Bradshaw and Meuly, 1944). Secara umum
ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka
konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6:1,
setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-99%, sedangkan pada 3:1 adalah
74-89%. Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan
konversi yang maksimum.
e. Pengaruh Jenis Alkohol
Pada rasio 10%, methanol dari berat minyak akan memberikan
perolehan ester yang tertinggi dibandingkan dengaan menggunakan etanol atau
II.3 Hipotesis
Proses pembentukan biodiesel dari minyak biji karet ini dapat
dilakukan dengan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi , yaitu reaksi asam
lemak bebas dengan alkohol membentuk methyl ester dan air yang
BAB III
RENCANA PENELITIAN
III.1 Bahan Yang Digunakan
Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Biji Karet yang di peroleh dari Jember, sedangkan aquadest, NaOH padat, methanol 97%, asam phospat 80% dan H2SO4 dibeli di suatu toko kimia yang terletak di Jalan Tidar Surabaya
.
III.2 Alat Yang Digunakan
Peralatan yang digunakan terdiri atas
III.2.1 Crusher
Sebagai tempat pemecah kulit luar dan kernel biji karet
III.2.2 Expeller
Sebagai tempat pengepres untuk menghasilkan minyak biji karet , dilengkapi dengan pengatur suhu.
Gambar III.2 Expeller
III.2.3 Seperangkat Alat Esterifikasi dan Transesterifikasi
Keterangan :
III.3.1 Peubah yang Di Tetapkan III.3.1a Degumming :
- Minyak biji karet : 3.000 ml
- Suhu : 90 oC
- Waktu : 30 menit
- Penambahan H3PO4 : 0,2 % volume minyak III.3.1b Esterifikasi :
- Volume minyak : 500 ml
- Jumlah methanol : 10% berat minyak - Katalis H2SO44 : 0,8 % berat minyak - Suhu : 110 oC
III.3.2 Peubah Yang Di Jalankan
Transesterifikasi :
- Volume minyak : 200 ml
- Jumlah metanol : 10% berat minyak - Katalis NaOH : 0,8% berat minyak - Kecepatan pengadukan : 250 rpm
- Suhu ( oC ) : 30 ; 40 ; 50 ; 60 ; 70 - Waktu ( menit ) : 30 ; 60 ; 90 ; 120 ; 150.
III.4 Prosedur Penelitian 1. Persiapan Bahan Baku
2. Proses Pemisahan Gum
Untuk memisahkan gum yang kemungkinan terkandung dalam minyak biji karet mentah, selanjutnya dilakukan proses degumming. Proses ini dilakukan dengan penambahan asam phospat pekat sebanyak 0,2 % dari berat minyak. Proses ini dilakukan pada temperatur 900C dan waktu 30 menit dalam reaktor degumming. Selanjutnya minyak hasil degumming diendapkan selama 48 jam untuk mengendapkan gum dan disaring.
3. Tahap Esterifikasi
Tahap esterifikasi ini terjadi dalam reaktor esterifikasi. Pada proses ini minyak biji karet sebanyak 500 ml direaksikan dengan volume methanol sebesar 10% berat minyak dan ditambah dengan katalis H2SO4 pekat sebanyak 0,8 % dari berat minyak biji karet. Selanjutnya dipanaskan sampai suhu 110 0 C selama 120 menit, diaduk dengan kecepatan pengadukan 250 rpm serta menjaga suhu dan pengadukan tetap konstan. Kemudian hasil reaksi esterifikasi di tampung di erlenmeyer dan didiamkan beberapa saat untuk menghilangkan uap. Setelah itu hasil di analisa untuk bilangan FFA.
4. Tahap Transesterifikasi
larutan sodium methoksida yang telah dibuat dalam labu leher tiga. Memanaskan dan mengaduk campuran tersebut pada suhu dan waktu sesuai dengan variasi suhu ( o C ) 30 ; 40 ; 50 ; 60 ; 70 dengan waktu ( menit ) 30 , 60 , 90 , 120 , 150 dan putaran pengadukan 250 rpm. Menuangkan hasil reaksi dalam corong pemisah dan didiamkan hingga membentuk dua lapisan, lapisan bawah adalah gliserol yang merupakan produk samping, sedangkan lapisan atas merupakan hasil utama, yaitu metil ester (biodiesel).
5. Pemisahan Gliserol
Setelah reaksi transesterifikasi selesai, crude biodiesel hasil transesterifikasi didiamkan sekitar 15 menit sampai campuran terdiri dari 2 fasa, fasa atas merupakan metil ester dan fasa bawah adalah gliserol. Fasa metil ester akan berwarna kekuningan sedangkan fasa gliserol akan berwarna lebih gelap. Kemudian dilakukan pemisahan terhadap metil ester dan gliserol menggunakan corong pisah.
6. Pencucian biodiesel hasil transesterifikasi
7. Pengeringan Biodiesel
III.5. Diagram Proses Penelitian
Methanol 10% w minyak 110OC ; 120 Menit
NaOH 4 0,8% w minyak
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini berupa metil ester (biodiesel) yang diharapkan
dapat digunakan sebagai alternatif pengganti minyak solar. Untuk itu perlu
dilakukan analisa terhadap karakteristik biodiesel.
Analisa yang di lakukan adalah konversi metil ester yang selanjutnya
dianalisa lengkap pada hasil konversi metil ester terbesar yang meliputi :
1. Massa Jenis
Pada penelitian ini, proses yang dilakukan adalah esterifikasi yang
sebelumnya dianalisa kandungan FFA nya. .Dari hasil analisa dihasilkan
kandungan FFA minyak mentah biji karet sebesar 27,47 %. Karena kandungan
FFA yang dihasilkan >2% maka dilakukan proses esterifikasi terlebih dahulu,
kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi. Syarat untuk melakukan
transesterifikasi adalah kandungan FFA dalam minyak harus <2%. (ramadhas et
Berdasarkan hasil analisa bahan baku (minyak biji karet) diperoleh
data sebagai berikut :
Tabel IV.1 Hasil Analisa Kadar Air dan FFA
Sampel Kadar Air (20011) dan Team Afiliasi dan Konsultasi Industri “ITS”
Sukomulyo Surabaya
Setelah di dapatkan hasil analisa FFA sesudah esterifikasi, selanjutnya
dilakukan proses transesterifikasi untuk mendapatkan hasil metil ester yang
dijalankan pada peubah (suhu dan waktu). Hasil analisa yang di dapatkan untuk
Tabel IV.2 Tabel Hasil Analisa Pengaruh Suhu terhadap Variasi Waktu Dengan Konversi MetIl Ester Pada Proses
A. Grafik Hubungan Antara Pengaruh Suhu Terhadap Variasi Waktu Dengan Konversi Metil Ester Pada Proses Transesterifikasi
Gambar IV.1. Pengaruh Suhu 30oC Terhadap variasi Waktu dengan Konversi Metil Eester (%) Pada Proses Transesterifikasi
Berdasarkan teori semakin lama waktu reaksi, maka kemungkinan
kontak antar zat semakin besar sehingga akan menghasilkan peningkatan konversi
metil ester. Hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa pada
waktu 30 menit sampai 150 menit terjadi kenaikan konversi dan konversi metil
ester tertinggi terjadi pada waktu 150 menit dan suhu 30oC yaitu sebesar 45,64 %
dan hasil perhtungan numerik dari persamaan garis polynomial diperoleh waktu
optimumnya 163 menit dengan konversi metil ester sebesar 56,35%.
MetIl
Ester
(
%)
Gambar IV.2 Pengaruh Suhu 40oC Terhadap variasi Waktu dengan Konversi Metil Eester (%) Pada Proses Transesterifikasi
Berdasarkan teori semakin lama waktu reaksi, maka kemungkinan
kontak antar zat semakin besar sehingga akan menghasilkan peningkatan konversi
metil ester. Hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa pada
waktu 30 menit sampai 150 menit terjadi kenaikan konversi dan konversi metil
ester tertinggi terjadi pada waktu 150 menit dan suhu 40oC yaitu sebesar 57,03 %
dan hasil perhitungan numerik dari persamaan garis polynomial diperoleh waktu
optimumnya 144,833 menit dengan konversi metil ester sebesar 68,265%.
.
Metil Ester
(
%)
Gambar IV.3. Pengaruh Suhu 50oC Terhadap variasi Waktu dengan Konversi Metil Eester (%) Pada Proses Transesterifikasi
Berdasarkan teori semakin lama waktu reaksi, maka kemungkinan
kontak antar zat semakin besar sehingga akan menghasilkan peningkatan konversi
metil ester. Hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa pada
waktu 30 menit sampai 150 menit terjadi kenaikan konversi dan konversi metil
ester tertinggi terjadi pada waktu 150 menit dan suhu 50oC yaitu sebesar 60,02 %
dan hasil perhitungan numerik dari persmaan garis polynomial diperoleh waktu
optimumnya 129,125 menit dengan konversi metil ester sebesar 73,424 %.
Waktu (Menit)
Metil Ester
(
Gambar IV.4 Pengaruh Suhu 60oC Terhadap variasi Waktu dengan Konversi Metil Eester (%) Pada Proses Transesterifikasi
Berdasarkan teori semakin lama waktu reaksi , maka kemungkinan
kontak antar zat semakin besar sehingga akan menghasilkan peningkatan konvers
metil esteri .Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa pada
waktu 30 menit sampai 150 menit terjadi kenaikan konversi dan konversi metil
ester tertinggi terjadi pada waktu 150 menit dan suhu 60oC yaitu sebesar 58,38 %
dan hasil perhitungan numerik dari persamaan garis polynomial diperoleh waktu
optimumnya 143,333 menit dengan konversi metil ester sebesar 68,631%.
Waktu (Menit)
Metil Ester
(
Gambar IV.5 Pengaruh Suhu 70oC Terhadap variasi Waktu dengan Konversi Metil Eester (%) Pada Proses Transesterifikasi
Berdasarkan teori semakin lama waktu reaksi , maka kemungkinan
kontak antar zat semakin besar sehingga akan menghasilkan peningkatan konversi
metil ester. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan , diperoleh data bahwa pada
waktu 30 menit sampai 150 menit terjadi kenaikan konversi dan konversi metil
ester tertinggi terjadi pada waktu 150 menit dan suhu 70oC yaitu sebesar 64,52%
dan hasil perhitungan numerik dari persaan garis polynomial diperoleh waktu
optimumnya 124,875 menit dengan konversi metil ester sebesar 69,954%.
Waktu (Menit)
Metil Ester
(
Tabel IV.3. Tabel Hasil Analisa Pengaruh Waktu terhadap Variasi Suhu dengan Konversi Metil Ester pada Proses
B. Grafik Hubungan Antara Pengaruh Waktu Terhadap Variasi Suhu Dengan Konversi Metil Ester Pada Proses Transesterifikasi
Gambar IV.6. Pengaruh Waktu 30 ( Menit) Terhadap Variasi Suhu Dengan Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi.
Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu reaksi yang
dioperasikan sampai dengan 70oC, maka konversi metil ester semakin besar,
sehingga reaksi berjalan semakin cepat dan konstanta reaksi semakin besar.
Reaksi transesterifikasi minyak biji karet dengan methanol menjadi Fatty Metil
Ester (FAME) dengan metanol merupakan reaksi endotermis (Vieville et al, 1993),
sehingga bila suhu reaksi dinaikkan, maka kesetimbangan bergeser ke kanan/
produk (Dogra, 1990). Peningkatan laju reaksi ini disebabkan oleh meningkatnya
konstanta laju reaksi yang merupakan fungsi dari temperatur. Semakin tinggi
temperaturnya, maka semakin besar laju reaksinya. Hal ini sesuai dengan
persamaan Archenius. Hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa
Metil Ester
(%)
pada suhu 30oC sampai 70oC terjadi kenaikan konversi dan konversi metil ester
tertinggi terjadi pada suhu 70oC dan waktu 30 menits yaitu sebesar 45,64% dan
hasil perhitungan numerik dari persamaan garis polynomial diperoleh suhu
mbar IV.7. Pengaruh Waktu 60 ((Menit) Terhadap Variasi Suhu dengan Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi.
Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu reaksi yang
dioperasikan sampai dengan 70oC, maka konversi metil ester semakin besar,
sehingga reaksi berjalan semakin cepat dan konstanta reaksi semakin besar.
Reaksi transesterifikasi minyak biji karet dengan methanol menjadi Fatty Metil
Ester (FAME) dengan metanol merupakan reaksi endotermis (Vieville et al, 1993),
sehingga bila suhu reaksi dinaikkan, maka kesetimbangan bergeser ke kanan/
produk (Dogra, 1990). Peningkatan laju reaksi ini disebabkan oleh meningkatnya
konstanta laju reaksi yang merupakan fungsi dari temperatur. Semakin tinggi
temperaturnya, maka semakin besar laju reaksinya. Hal ini sesuai dengan
persamaan Archenius. Hasil penelitian yang telah lakukan , diperoleh data bahwa
pada suhu 30oC sampai 70oC terjadi kenaikan konversi dan konversi metil ester
tertinggi terjadi pada suhu 70oC dan waktu 60 menit yaitu sebesar 57,03% dan
Metil Ester
(
%)
hasil perhitungan numerik dari persamaan garis polynomial diperoleh suhu
optimumnya 75,85 oC dengan konversi metil ester sebesar 57,784 %.
Gambar IV.8 Pengaruh Waktu 90 ((Menit) Terhadap Variasi Waktu dengan Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi.
Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu reaksi yang
dioperasikan sampai dengan 70oC, maka konversi metil ester semakin besar,
sehingga reaksi berjalan semakin cepat dan konstanta reaksi semakin besar.
Reaksi transesterifikasi minyak biji karet dengan methanol menjadi Fatty Metil
Ester (FAME) dengan metanol merupakan reaksi endotermis (Vieville et al, 1993),
sehingga bila suhu reaksi dinaikkan, maka kesetimbangan bergeser ke kanan/
produk (Dogra, 1990). Peningkatan laju reaksi ini disebabkan oleh meningkatnya
konstanta laju reaksi yang merupakan fungsi dari temperatur. Semakin tinggi
temperaturnya, maka semakin besar laju reaksinya. Hal ini sesuai dengan
persamaan Archenius. Hasil penelitian yang telah dilakukan , diperoleh data
bahwa pada suhu 30oC sampai 70oC terjadi kenaikan konversi dan konversi metil
ester tertinggi terjadi pada suhu 70oC dan waktu 90 menit yaitu sebesar 60,02%
Metil Ester
(
%)
dan hasil perhitungan numerik dari persamaan garis polynomial diperoleh suhu
Gambar IV.9. Pengaruh Waktu 120 ((Menit) Terhadap Variasi Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi.
Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu reaksi yang
dioperasikan sampai dengan 70oC, maka konversi metil ester semakin besar,
sehingga reaksi berjalan semakin cepat dan konstanta reaksi semakin besar.
Reaksi transesterifikasi minyak biji karet dengan methanol menjadi Fatty Metil
Ester (FAME) dengan metanol merupakan reaksi endotermis (Vieville et al, 1993),
sehingga bila suhu reaksi dinaikkan, maka kesetimbangan bergeser ke kanan/
produk (Dogra, 1990). Peningkatan laju reaksi ini disebabkan oleh meningkatnya
konstanta laju reaksi yang merupakan fungsi dari temperatur. Semakin tinggi
temperaturnya, maka semakin besar laju reaksinya. Hal ini sesuai dengan
persamaan Archenius. Hasil penelitian yang telah dilakukan , diperoleh data
bahwa pada suhu 30oC sampai 70oC terjadi kenaikan konversi dan konversi metil
ester tertinggi terjadi pada suhu 70oC dan waktu 120 menit yaitu sebesar 58,38%
Metil Ester
(
%)
dan hasil perhitungan numerik dari persamaan garis polynomial diperoleh suhu
Gambar IV.10. Pengaruh Waktu 150 ((Menit) Terhadap Variasi Suhu dengan Konversi Metil Ester ( % ) Pada Proses Transesterifikasi.
Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu reaksi yang
dioperasikan sampai dengan 70oC, maka konversi metil ester semakin besar,
sehingga reaksi berjalan semakin cepat dan konstanta reaksi semakin besar.
Reaksi transesterifikasi minyak biji karet dengan methanol menjadi Fatty Metil
Ester (FAME) dengan metanol merupakan reaksi endotermis (Vieville et al, 1993),
sehingga bila suhu reaksi dinaikkan, maka kesetimbangan bergeser ke kanan/
produk (Dogra, 1990). Peningkatan laju reaksi ini disebabkan oleh meningkatnya
konstanta laju reaksi yang merupakan fungsi dari temperatur. Semakin tinggi
temperaturnya, maka semakin besar laju reaksinya. Hal ini sesuai dengan
persamaan Archenius. Hasil penelitian yang telah dilakukan , diperoleh data
bahwa pada suhu 30oC sampai 70oC terjadi kenaikan konversi dan konversi metil
ester tertinggi terjadi pada suhu 70oC dan waktu 150 menit yaitu sebesar 64,52%
Metil
Ester
(%
)
dan hasil perhitungan numerik dari persamaan garis polynomial diperoleh suhu
optimumnya 57,269oC dengan konversi metil ester sebesar 43,409 %.
Hasil analisa konversi metil ester pada peubah ( waktu dan suhu ) di
dapatkan hasil konversi metil ester terbesar pada waktu 150 menit dan suhu 70oC
maka dilakukan analisa lengkap dan perbandingan standart mutu minyak biodiesel
dengan minyak solar adalah sebagai berikut :
Tabel IV.4. Hasil Uji Karakteristik Biodiesel Minyak Biji Karet Pada Waktu 150 Menit dan Suhu 70oC
SK Dirjen Migas No 3675K/24/DJM/2006
Angka Cetana / Indeks ( ASTMD 613 )
48,50 Min 51 ≥48 – 51
Heating Value ( Btu/Lb) (Boom Kalorimetri)
Hasil suhu optimum dan waktu optimum yang diperoleh dengan cara
perhitungan numerik dari persamaan garis polynomial dapat di tabelkan sebagai
berikut :
Tabel IV.5 Tabel Hasil Titik Optimum Dari Perhitungan Persamaan Regresi Pengaruh Waktu (Menit) terhadap Variasi Suhu (oC) Dan Pengaruh Suhu (oC) Terhadap Variasi Waktu (Menit) Dengan Konversi MetIl Ester(%) Pada Proses Transesterifikasi
Waktu optimum rata – rata dari variasi suhu adalah = 141,033 Menit
Parameter
IV.6 Tabel Hubungan Antara Suhu Optimum Rata - Rata Terhadap Variasi Waktu Optimum Dengan Konversi Metil Ester
Parameter
Suhu ( oC ) Waktu (Menit)
Konversi Metil Ester ( % ) 124,875 69,954
129,125 73,434
143,333 68,631
144,833 68,265
74,869
163 56,35
Tabel IV.5 di atas merupakan hasil titik optimum dari peubah suhu
optimum rata – rata dengan variasi waktu optimum yang diperoleh dari
perhitungan numerik dari persamaan garis polynomial yang dapat disajikan dalam
bentuk grafik di bawah ini untuk memperoleh hasil konversi metil ester pada suhu
Gambar IV.11 Pengaruh Suhu 74,869 oC Terhadap Variasi Waktu ( menit ) dengan Konversi Metil Ester (%) Pada Proses Transesterifikasi.
Berdasarkan grafik IV.11 diatas melalui perhitungan numerik dengan
persamaan garis polynomial dari peubah suhu optimum rata - rata 74,869oC
dengan variasi waktu optimum (124,875; 129,125; 143,333; 144,833; 163) dapat
diketahui konversi metil ester pada suhu optimum rata - rata 74,869o C dan waktu
optimum rata -rata 141,033 yaitu sebesar 68,850 %.
Methyl Ester (%)
Metil Ester
(
%)
IV.2 Pembahasan
Hasil penelitian pembuatan biodiesel dari minyak biji karet dengan
proses esterifikasi dan transesterifikasi pada variabel waktu 30;60;90;120;150
menit dan suhu 30; 40; 50; 50; 60; 70 (o C), diperoleh titik maksimum pada waktu
150 menit dan suhu 70oC dengan konversi metil ester sebesar 64,52%. Hasil
perhitungan numerik dari persamaan garis polynomial di peroleh waktu dan suhu
optimum rata - rata sebesar 141,033 menit dan 72,097oC dengan konversi metil
ester sebesar 68,850 %..Suhu dan waktu optimum tersebut digunakan untuk
memperoleh kondisi operasi terbaik
Pada hasil penelitian yang kami lakukan untuk hasil titik maksimum
yaitu pada waktu 150 menit dan suhu 70oC di analisa sebagaimana pada tabel
IV.4.
Tabel IV.4 menunjukkan bahwa hasil analisa seperti Massa
jenis,viskositas,titik nyala, titik tuang dan angka asam telah memenuhi standart
mutu minyak biodiesel SNI 04-7182-2006 dan standart minyak solar SK Dirjen
Migas No 3675K/24/DJM/2006, tetapi untuk heating value tidak ada standart khusus yang menentukan kalor maksimal yang harus dimiliki bahan bakar mesin
diesel, pada sumber lain disebutkan ( Lower heating value ,(Btu/Lb) ) = 15700 to
16735. (www.biodiesel.org.2005) .
Pada analisa angka cetane yang kami lakukan kurang memenuhi
standart mutu biodiesel SNI 04-7182-2006 akan tetapi apabila ditinjau dari
standart mutu minyak solar SK Dirjen Migas No 3675K/24/DJM/2006 telah
asam lemak dalam minyak biji karet tersebut sehingga menyebabkan kurangnya
rantai karbon asam lemak dan molekul jenuhnya, sehingga hasil angka cetan
kurang memenuhi, akan tetapi hasil yang didapatkan sudah mendekati standart
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
1. Kadar FFA minyak biji karet mentah pada proses sebelum gumming dan sesudah gumming adalah 27,47% dan 6,036%. Sedangkan setelah proses esterifikasi FFA sebesar 0,862%.
2. Biodiesel dari minyak biji karet diperoleh dengan proses esterifikasi dan transesterifikasi. Hasil analisa konversi metil ester didapatkan konversi metil ester terbesar pada waktu 150 menit dan suhu 70oC sebesar 64,52% dan hasil perhitungan numerik dari persamaan garis polynomial diperoleh waktu optimumnya 141,03 menit.
3. Hasil uji karesteristik minyak biodiesel dari minyak biji karet telah memenuhi standart yang telah ditetapkan yaitu standart minyak biodiesel SNI 04 – 7182 – 2006 dan minyak solar SK Dirjen Migas No 3675K / 24 / DJM / 2006.
V.2. Kesimpulan
1. Dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh pencampuran antara katalis NaOH dengan methanol serta kecepatan pengadukan karena mempengaruhi hasil dari konversi metil ester.
2. Masih diperlukan tambahan untuk analisa kandungan gliserol bebas dan gliserol total guna memenuhi standart mutu biodiesel.
DAFTAR PUSTAKA
Ariwibowo, D., Muhammad, dan Fadjar T.K., B., 2008, Karakteristik Sifat-sifat Biodiesel untuk Pemakaian pada Mesin Diesel, Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Energi dan Lingkungan, Pengembangan Energi baru Terbarukan, Semarang, Indonesia
Canacki, M., Van Gerpen, J., 1999, Biodiesel Production via Acid Catalysis.,Trans ASAE
Encinar, Jose M., 1999, Preparation and Properties of Biodiesel from Cynara Carduncus L. Oil. Industrial and Enfineering Chemistry Research, Vol. 38. No.8, Ind. Chem. Res., Washington.
Fessenden, R.J., dan Fessenden, J.S., 1982, Kimia Organik , Edisi Ketiga, Jilid 2, Erlangga, Jakarta
Griffin, R.C., (1958), Technical Methods of Analysis, 2nd Edition, Mc Graw Hill Book Company, New York
Groggins, 1958, Unit Processes in Organic Synthesis, 5th ed., McGraw-Hill Book Company, New York
Hardjono, A., 2001, Teknologi Minyak Bumi, UGM Press, Yogyakarta
Ikwuagwu, O.E., Ononogobu, I.C., Njoku. O.U., 2000, Production of biodiesel using rubber [Hevea brasiliensis] seed oil, Ind Crops Prod Ketaren, S., 1986 , Minyak dan Lemak Pangan , UI Press, Jakarta
Kirk, R.E. and Othmer, D.E., 1994, Encyclopedia of Chenmical Technology, 4th ed., Vol. 12., John Wiley & Sons Inc., New York
Ningrum, Miyas, 2007, “Pemanfaatan CPO off Grade Menjadi Biodiesel dengan Proses Esterifikasi dan Transesterifikasi”, Universitas Pembangunan Nasional “veteran” Jawa Timur, Surabaya.
Pranoto, W., Cahyono E.E., Retnoningtyas E.S., Antaresti, 2006, Synthesis of Biodiesel from Beef Tallow Using Acid Pretreatment Process, Proceeding Regional Symposium OF Chem. Eng., Yogyakarta
Pratiwi, Yenny, 2007, “Kinetika Reaksi Metanolisis Biji Kapuk dengan Katalisator NaOH”, Universitas Pembangunan Nasional “veteran” jawa Timur, Surabaya.
Rahmanto, Bagus, 2008, “Kajian Produk Biofuel Crude Fish Oil”, Universitas Pembangunan Nasional “veteran” Jawa Timur, Surabaya.
Ramadhas, A.S., Jayaraj, S., Muraleedharan, C., 2005, Biodiesel production from high FFA rubber seed oil, Fuel