Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Disusun Oleh:
Sa’adatul Jannah
NIM:107033101689
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDATULLAH JAKARTA
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis menghaturkan segala puji yang tidak terhingga
kepada Allah SWT. Karena Dialah satu-satunya yang memiliki segala kebesaran
dan keagungan. Ditangan-Nyalah bermula segala masalah dan ditangan-Nyalah
terselesaikan segala masalah. Dia juga yang menciptakan kesedihan dikala
manusia sedang bergembira dan menciptakan kegembiraan disaat manusia sedang
berputus asa. Dia juga yang menyembuhkan penyakit manusia ketika mereka
sudah tidak mempunyai harapan untuk kesembuhannya dan Dia pulalah yang
memberikan rasa sakit kepada manusia ketika mereka dalam keadaan
menyombongkan kesehatan dirinya. Dialah yang membuat kesulitan ketika
manusia merasa sombong atas kemampuannya dan dia pulalah yang menjadikan
kemudahan ketika manusia berpasrah diri kepada-Nya.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
juga keluarga serta sahabat-sahabat sekalian. Beliaulah utusan Allah yang telah
merubah kebatilan menuju keimanan serta membawa umat manusia dari tempat
yang gelap gulita ke tempat yang terang benderang.
Setelah sekian lama bertahan antara harap dan cemas, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih atas segala bantuan, dorongan dan
ii
Pertama-tama penulis haturkan terimakasih kepada Keluarga saya.
Ayahanda Supangat dan ibunda Choiriah yang dengan penuh kasih sayang,
keikhlasan dan tidak henti-hentinya memanjatkan doa, memberikan dorongan dan
memenuhi kebutuhan materil selama penulis menjalankan perkuliahan. Buat
kakanda Chafid Syahbi yang selalu setia menemani saya dan adik saya M. Hasan
Tamami yang selalu mendo’akan dan menasihati saya.
Terima kasih kepada K.H. Habib Makky dan Ibu Nyai, selaku pimpinan
Pondok Pesantren al-Amien Mersi Purwokerto Wetan yang telah memberikan
waktu untuk memberi arahan dan informasi atas penelitian yang penulis lakukan.
Tak lupa pula penulis haturkan terima kasih kepada bapak Anas penganut dari
Tarekat syadziliyah yang telah merekomendasikan dan yang telah menemani dan
memberi informasi.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan. MA, selaku
pembimbing yang sangat sabar memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi
ini, Dekan Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Zainun Kamal. MA, Ketua Jurusan
Akidah Filsafat Drs. Agus Darmaji. M.Fils, Sekretaris Jurusan Akidah Filsafat
Dra. Tien Rohmatin, MA.
Terima kasih kepada segenap civitas akademik Fakultas Ushuluddin yang
telah membantu kelancaran administrasi. Kepada pimpinan dan staf perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
iii
Selanjutnya, terimakasih kepada kawan-kawan seperjuangan, mba saya
Uyun yang sudah meninggalkan saya wisuda duluan, Ayu yang semangat ya
kuliahnya, Ipeh yang selalu senang mendengar cerita-cerita saya, Nanang, Amar,
Faiz, Makin, Anwar, Muis, Riza, Rian, Acan, Verli, Diki, Hambali, Khadoet,
Deul, Gangsar, Hamzah dan Tanti. Tak lupa penulis ucapkan salam kepada
senior-senior Ushuluddin.
Terima kasih kepada semua seluruh pihak yang telah membantu penulis,
namun tidak sempat di sebutkan satu persatu namanya. Semoga Allah SWT.
membalas dengan kebaikan kalian. Akhirnya, penulis menyelesaikan skripsi ini,
semoga bermanfaat dunia akhirat.
iv
skripsi ini berdasarkan pada pedoman Penulisan Karya Ilmiah ( Skripsi, Tesis, dan disertasi) “ yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Develoment and Assurance ) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا tidak dilambangkan
ع ‘ koma terbalik di atas hadap kanan
v
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fathah
i Kasrah
u Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab di lambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas
î i dengan topi di atas
و û u dengan topi di atas
Kata sandang
vi
TRANSLITERASI……….……….. iv
DAFTAR ISI……….……….... vi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…….……….………... 1
B. Tinjauan Pustaka ...…………... 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah…..………... 8
D. Tujuan Penelitian……….………... 8
E. Metode Penelitian……….……….. 9
F. Sistematika Penulisan………..………... 9
BAB II :ABÛ HASAN AL-SYÂDZILÎ DAN TAREKAT SYÂDZILIYAH A. Biografi Abû Hasan Al-Syâdzilî……….. 11
1. Latar belakang danPendidikan Abû Hasan Al-Syâdzilî…..… 11
2. Karya-karya Abû Hasan Al-Syâdzilî... 14
3. Kepribadian Abû Hasan Al-Syâdzilî……… 15
4. Pemikiran Abû Hasan Al-Syâdzilî………... 17
B. Tarekat Syâdziliyah dan Keberadaannya………... 18
C. Pengikut Tarekat Syâdziliyah………... 23
BAB III : HIZB TAREKAT SYÂDZILIYAH A. Pengertian Hizb……… 28
vii
B. Saran-Saran……….. 77
DAFTAR PUSTAKA... 78
1 A. Latar Belakang Masalah
Tarekat adalah sebuah kata yang berasal dari kata thariqah yang berarti
jalan. Kata al-thariqah dapat dijumpai pada al-Qur’an surah al-Jin ayat 16:
“Dan seandainya mereka menempuh jalan lurus mengikuti jalan itu, niscaya Aku akan memberi mereka minum dengan air yang paling segar.”
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi
saw. menyuruh umatnya untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para
sahabatnya. Sunnah juga berarti jalan, seperti halnya thariqah yang berarti jalan.
Kendati sama-sama bermakna jalan, istilah tarekat dapat diterapkan pada berbagai
kelompok orang yang mengikuti mazhab pemikiran yang dikembangkan oleh
seorang alim atau Syaikh tertentu,1 sedangkan istilah sunnah tidak demikian
halnya.
Pada abad ketujuh Hijriyah di dunia Islam, baik di kawasan sebelah Timur
maupun Barat, tumbuh berbagai tarekat sufi yang bergerak secara aktif. Di dunia
Islam belahan Barat muncul Tarekat Syâdziliyah yang kemudian berkembang ke
Mesir dan negeri-negeri dunia Islam belahan Timur dan terus menyebar ke
1Syekh Muhammad Hisyam Kabbani,
berbagai kawasan Islam hingga saat ini.2 Tarekat Syâdziliyah adalah salah satu
tarekat yang diakui kebenarannya (al-mu’tabarah).
Tarekat Syâdziliyah dinisbatkan kepada Abû Hasan al-Syâdzilî (w. 656
H/1258 M) sebagai pendirinya, Tarekat ini cukup dikenal dengan hizbnya.3 Ia
adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf searah dengan
al-Ghazâlî, yakni pelaksanaan tasawuf yang tetap memegang teguh syariat yang
berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, mengarah pada asketisme, pelurusan dan
penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pembinaan moral (akhlaq). Tarekat ini
dinilai oleh kebanyakan kalangan bersifat moderat dan menawarkan konsep zuhud
(al-zuhd) yang lebih moderat.4
Al-Syâdzilî tidak menganjurkan pada murid-muridnya untuk
meninggalkan profesi dunia mereka. Mereka tidak harus hidup menyendiri dan
bahkan dianjurkan untuk merealisasikan ajaran tarekat dalam masyarakat di
tengah-tengah kesibukan mereka. Bertarekat itu tidak berarti menghalangi
upaya-upaya modernisasi. Konon, tarekat ini banyak digemari oleh kalangan
usahawan-usahawan berduit dan berdasi, yang merasa pas dengan ajarannya dan tertarik
menjadi pengikut Tarekat Syâdziliyah.
Al-Syâdzilî senantiasa mengajarkan kepada pengikutnya agar
menggunakan nikmat Allah secukupnya baik dalam hal pakaian, makanan,
kendaraan, yang layak dalam kehidupan yang sederhana. Hal demikian akan
menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT dan mengenal rahmat Ilahi.
2Abu al-Wafa al-Taftazani,
Sufi dari Zaman ke Zaman. Penerjemah Ahmad Rofi’
„Utsmani (Bandung: Pustaka, 1997), h. 238.
3Sri Mulyati dan Wiwi Siti Sajaroh,
Laporan Penelitian Kolektif: Tasawuf Pasca Ibn Arabi (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN, 2006), h 1.
Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur
dan berlebih-lebihan memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezhaliman.
Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT, sebaik-baiknya sesuai
petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Al-Syâdzilî berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan
umat Islam saat itu, seperti apa yang dirisaukan oleh para modernis-rasionalis
sekarang. Dia berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami
oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif
yang banyak dialami para sâlik. Dia menawarkan tasawuf yang ideal dalam arti
bahwa di samping berupaya mencapai makrifat, juga harus beraktivitas dalam
realitas sosial di „bumi’ ini. Seperti yang dikatakan al-Syâdzilî bahwa seorang sufi
tidak hanya beribadah tetapi juga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan
hidup jasmaniahnya.5
Di samping itu tarekat ini mempunyai lima prinsip dasar yang harus
menjadi ciri sikap dan tingkah laku setiap pengikutnya. Lima prinsip ini, yakni:
(1) bertaqwa kepada Allah, baik dalam keadaan sunyi maupun dalam keadaan
ramai. (2) mengikuti sunnah Rasulullah (3) berkhalwat (4) ridha kepada Allah (5)
senantiasa mengingat Allah baik dalam keadaan lapang maupun sulit.6
Ajaran al-Syâdzilî ini kemudian diteruskan oleh muridnya Abû Άbbâs al
-Mursî (w. 686 H.), kemudian diteruskan oleh Ibn Athâillâh al-Iskandari (w. 709
H.). Mereka ini dalam perkembangannya dipandang sebagai pioner Tarekat
5Ardani, “Tarekat Syadziliyah terkenal dengan Variasi Hizb-nya,” dalam Sri Mulyati, ed.,
Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h. 73-75.
6Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (T.tp.: AMZAH,
Syâdziliyah, sehingga berkembang pesat di beberapa wilayah seperti Tunisia,
Mesir, Aljazair, Sudan, Syria dan Indonesia khususnya di Jawa.7 Tarekat
Syâdziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidûn,
yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur
di Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.
Al-Syâdzilî tidak meninggalkan karya berupa buku maupun risalah
tasawuf, tetapi menyusun rangkaian doa yang berasal dari pengalaman mistis
(hizb) yang memuat formula ayat al-Qur’an dan juga inspirasi khas tasawuf.
Kumpulan doa ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Dunia Islam.
Rangkaian doa ini memiliki nama yang diberikan olehnya sendiri (Abû Hasan
Al-Syâdzilî) ataupun oleh orang lain, seperti hizb al-bahr, hizb al-nashr, hizb al-barr
atau al-kabir dan lain-lain. Saat ini dapat dijumpai bahwa di banyak pesantren di
Indonesia diajarkan hizb al-Syâdzilî itu. Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat
makbul dan Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî mengakui bahwa dirinya menerima
langsung dari lisan Nabi dalam penglihatan spiritual.8
Menurut Tarekat Syâdziliyah, daya spiritual hizb itu bukan datang dari jin,
tetapi murni dari Allah. Apabila terjadi kasus seseorang yang mengamalkan hizb
ini, ternyata jin yang turut campur, maka yang perlu diluruskan adalah niat
seseorang mengamalkan hizb tersebut. Amal sebaik apapun jika niat dalam
hatinya jahat maka niat jahatnya itulah yang akan menjadi kenyataan dan hasilnya
7Hasan Muarif Ambari, et.al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 193.
8Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” dalam Sayyed
hanya akan berhenti pada niatnya itu, yang biasanya tidak ikhlas karena Allah.
Karena itulah, jika seseorang akan memasuki suatu tarekat, yang paling penting
adalah menata dan meluruskan niat dalam hatinya semata-mata hanya karena
Allah.
Hizb inilah ciri utama Tarekat Syâdziliyah yang dapat dirasakan hingga
saat ini dan terutama hizb al-bahr yang dikenal sangat memberi pengaruh yang
kuat bagi pengamalnya. Hizb yang diajarkan Tarekat Syâdziliyah jumlahnya
cukup banyak dan setiap murid tidak menerima hizb yang sama karena
disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruhaniah murid sendiri dan kebijaksanaan
mursyid. Hizb-hizb tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali
telah mendapat izin atau ijazah dari mursyid atau seseorang murid yang ditunjuk
mursyid untuk mengijazahkannya.9
Penulis sangat tertarik terhadap Tarekat Syâdziliyah karena banyaknya
penganut atau pengikut dari Tarekat Syâdziliyah. Dalam penulisan ini, penulis
ingin membahas tentang tokoh Tarekat Syâdziliyah dan ajarannya mengenai
hizbnya. Meskipun sudah ada yang membahas tentang Tarekat Syâdziliyah,
namun menurut penulis pembahasannya lebih kepada seputar perkembangan sosio
kultural para pengikut Tarekat Syâdziliyah, terutama dalam aspek perkembangan,
dan ajarannya. Walaupun dalam ajarannya sudah diteliti, tetapi tidak secara
terperinci dalam membahas ajaran hizb Tarekat Syâdziliyah. Oleh karena itu
dalam skripsi ini penulis lebih menitik beratkan pada aspek Tarekat Syâdziliyah
dan hizbnya. Inilah inti dari permasalahan yang akan dibahas. Hal ini sangat
9Heri MS Faridy, dkk., ed., Ensiklopedi Tasawuf, jilid III (Bandung: Angkasa, 2008), h.
menarik untuk dikaji dan dipahami lebih dalam. Karena itu, penulis ingin
membahas hal ini lewat sebuah tulisan ilmiah yang berjudul “Tarekat Syâdziliyah
dan Hizbnya”.
B. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil tinjauan penulis terhadap pustaka yang ada terdapat
beberapa karya tulis dalam bentuk buku, skripsi, tesis yang pernah penulis baca,
berkaitan dengan pembahasan skripsi ini:
Pertama, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili: Kepribadian dan Pemikiran
karya Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf. Buku ini selain
menguraikan tentang kepribadian dan pemikiran Abû Hasan al-Syâdzilî, juga
membahas hizb-hizb Abû Hasan al-Syâdzilî beserta terjemahan hizb-hizb, tetapi
tidak semua hizb-hizb Abû Hasan al-Syâdzilî dibahas di dalam buku ini.
Dikatakan oleh Abû Hasan al-Syâdzilî: “Barangsiapa yang membaca hizb ini,
maka dia akan memperoleh segala apa yang telah kami peroleh dan terhindar dari
bahaya yang Allah hindarkan dari kami”.
Kedua, kitab Dalâil al-Khairât má a al-Ahzâb yang di karang oleh Abi
́
Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazulî. Kitab itu berisi petunjuk tentang
bacaan shalawat atas Nabi Muhammad saw. beserta bacaan hizb yang diajarkan
oleh pendahulunya, Abû Hasan al-Syâdzilî. Hizb yang terkenal adalah hizb yang
di susun oleh Abû Hasan al-Syâdzilî, pendiri Tarekat Syâdziliyah, antara lain hizb
Ketiga, “Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah di Kabupaten Bekasi”, skripsi yang ditulis oleh Muhammad Juni, menginformasikan
bahwa perkembangan Tarekat Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi sangat pesat sejak
periode KH. Mahfudz Syafi’i (1993-2003) sampai sekarang, yang mempunyai
bai’at mutlaq dari KH. Mustaqim bin Husain Tulungagung Jawa Timur. Tarekat
Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi diajarkan degan konsep yang mudah dipahami,
sesuai zaman sekarang yang serba modern dan sesuai kebutuhan murid-murid
pada saat itu. Tarekat Syâdziliyah berdiri di Kabupaten Bekasi, karena adanya
murid yang membutuhkan tempat untuk menjalankan riyadhah di dekat kediaman
Kyai dan dapat bimbingan langsung dari Kyai dan sebagai tempat untuk
menjalankan acara ke tarekatan, seperti pengajian, ritual khususiyah dan tempat
untuk menjalankan wiridan.
Keempat, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajarannya:
Studi pada Pondok Peta di Tulungagung”, tesis yang ditulis oleh Muhammad
Zaini, menginformasikan bahwa perkembangan Tarekat Syâdziliyah di Pondok
PETA Tulungagung sangat baik; secara kuantitas murid atau pengikutnya sangat
banyak, yang diperkirakan jumlah pengikutnya minimal adalah 50.000 orang
sampai jutaan orang. Tarekat Syâdziliyah yang dikembangkan di Pondok PETA
Tulungagung berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan, tepatnya dibawa
oleh Syaikh Άbdul Razzâq ibn Άbdullâh al-Termasî. Ajaran-ajaran Tarekat
Syâdziliyah di Tulungagung meliputi istighfar, shalawat Nabi saw, wasilah atau
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Perkembangan pengikut Tarekat Syâdziliyah yang begitu pesat, membuat
peneliti bermaksud mengetahui lebih mendalam Tarekat Syâdziliyah dan hizbnya.
Penulis menfokuskan kajian dalam penulisan ini hanya terkait dengan
Tarekat Syâdziliyah, khususnya berkenaan dengan Tarekat Syâdziliyah dan ajaran
mengenai hizb sebagai pembatasan masalah.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, terdapat perumusan masalah
dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimana munculnya Tarekat Syâdziliyah dan sosok pendirinya?
2. Apa pengaruh ajaran hizb bagi pengikutnya yang mengamalkan?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai media informasi dan media belajar serta
untuk mengetahui lebih dalam Tarekat Syâdziliyah dan ajarannya mengenai hizb,
agar tidak ada kesalahfahaman persepsi tentang Tarekat Syâdziliyah.
Adapun tujuan penulisan skripsi ini ialah:
1. Mengetahui lebih jelas tentang biografi Abû Hasan al-Syâdzilî.
2. Mengetahui keberadaan Tarekat Syâdziliyah dan pengikutnya.
3. Memperoleh pemahaman mengenai hizb-hizb Tarekat Syâdziliyah.
4. Sebagai karya akademik, penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi
persyaratan mencapai gelar Sarjana pada Fakultas Ushuluddin, Program
E. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, untuk mendapatkan data yang diperlukan,
penulis melakukan Studi Pustaka (Library Research), yakni menggunakan
sumber-sumber pustaka sebagai rujukan utama dalam mengumpulkan informasi.
Penulis mencari dan mengumpulkan buku-buku, tulisan-tulisan dan dokumen
elektronik dari internet serta beberapa sumber yang berkaitan dengan Tarekat
Syâdziliyah dan hizbnya.
Adapun pembahasannya, dalam skripsi ini adalah menggunakan metode
deskripsi analisis, yaitu pertama menggambarkan masalah, berikutnya meneliti
tulisan-tulisan kepustakaan yang berkaitan dengan pembahasan Tarekat
Syâdziliyah dan hizbnya dan kemudian melakukan analisis.
Teknik penulisan dalam skripsi ini sesuai dengan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh
CeQDA (Center for Quality Develoment and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2007.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini, penulis bagi ke dalam empat bab, masing-masing bab terdiri
atas beberapa sub bab:
Bab I, pendahuluan, dimulai dengan latar belakang masalah, tinjauan
pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian
dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab II, membahas Tarekat
latar belakang dan pendidikan Abû Hasan al-Syâdzilî, karya-karya Abû Hasan
Al-Syâdzilî, kepribadian Abû Hasan Syâdzilî dan pemikiran Abû Hasan
al-Syâdzilî. Kedua, Tarekat Syâdziliyah dan keberadaannya. Ketiga, pengikut
Tarekat Syâdziliyah.
Bab III, merupakan bab inti, memaparkan pokok bahasan berkenaan hizb
Tarekat Syâdziliyah, seperti pengertian hizb, hizb-hizb Tarekat Syâdziliyah,
pengaruh hizb bagi yang mengamalkannya. Bab IV, menyimpulkan semua isi
pembahasan yang menjadi fokus kajian dari penelitian ini dan saran-saran yang
BAB II
TAREKAT SYÂDZILIYAH
A. Biografi Abû Hasan Al-Syâdzilî
1. Latar Belakang dan Pendidikan Abû Hasan Al-Syâdzilî
Nama lengkapnya Άli bin Abdullah bin Άbd. Al-Jabbâr Abû Hasan
al-Syâdzilî. Sebutan Abû Hasan merupakan nama kunyah (gelar kemuliaan) bagi
beliau. Abû Hasan Syâdzilî kemudian lebih terkenal dengan panggilan
al-Syâdzilî.1 Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis
keturunan Hasan bin Άlî bin Abi Thâlib, cucu Nabi Muhammad SAW. Silsilah a
l-Syâdzilî dari Hasan bin Άlî bin Abi Thâlib, kemudian diteruskan kepada Άlî bin
Abi Thâlib yang menikah dengan Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad.
Oleh karenanya tarekat ini mempunyai silsilah sampai kepada Nabi Muhammad.2
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara Ibn Athâillâh dengan
al-Jami’, mengenai nasab al-Syâdzilî. Ibn Athâillâh menasabkan kepada orang-orang
terhormat dan menyatukan nasabnya kepada al-Hasan bin Άlî bin Abi Thâlib.
Namun al-Jami’ menasabkan al-Syâdzilî kepada al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Al-Syâdzilî dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta, di utara Maroko pada tahun
573 H. Wafat pada 656H/1258M, di Humaithra,3dekat pantai Laut Merah, dalam
perjalanan pulang dari ibadah haji. Adapun mengenai tahun kelahiran al-Syâdzilî,
1Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili:
Kepribadian dan Pemikiran (Jawa Tengah: Al-Anwar, 2002), h. 1.
2Harun Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 902. 3Humaithra adalah suatu daerah yang terletak antara Port Said dan Padang Izab, (Mesir).
Menurut keterangan air di tempat itu rasanya asin, tetapi sejak Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî wafat dan dimakamkan di sana airnya berubah menjadi tawar. Lihat Abdullah Zain, Tasawuf dan Zikir, h. 153.
sebenarnya masih belum ada kesepakatan. Beberapa penulis berbeda pendapat
antara lain sebagai berikut: Sirâdj al-Din Abû Hafsh menyebut tahun kelahirannya
pada 591 H/1069 M, Ibn Sabbâgh menyebut tahun kelahirannya pada 583 H/1187
M, dan J. Spencer Trimingham mencatat tahun kelahiran al-Syâdzilî pada 593
H/1196 M.4
Di tanah kelahirannya itulah, semaca kecil beliau belajar dan mempelajari
berbagai ilmu pengetahuan agama, sebelum akhirnya beliau mengembara ke
berbagai daerah untuk menimba ilmu pengetahuan yang kelak menghantarkan
maqam (derajat) beliau menjadi seorang waliyyun min auliyâ’illâh (termasuk
orang-orang yang dicintai Allah), bahkan mencapai derajat quthbil ghouts
(pemimpin para wali yang dapat dimintai pertolongan).5
Ilmu yang diperoleh bermula dari orang tuanya, kemudian al-Syâdzilî
melanjutkan pendidikannya pada seorang ulama besar yaitu Άbd. Al-Salâm Ibn
Masyîsy (w. 628 H/1228 M) dan Abû Abdillah M Ibn Kharazim (w. 633 H/1236
M) yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu terutama dalam hal spiritual. Kedua
murid besarnya adalah murid dari Abû Madyan Syu’aib Ibn al-Husein
(1116-1198)6, lahir di Seville. Beliau adalah ulama besar di Maghribi yang telah
mempelajari dan menghafal kitab Ihyâ’ „Ulûm al-Dîn karya al-Ghazâlî dan juga
murid dari Syaikh Άbd. al-Qâdir al-Jîlânî (w. 561 H/1166 M), sehingga tidak
mengherankan jika al-Syâdzilî pun terpengaruh oleh ajaran-ajaran Syaikh Άbd. al
4Ardani, “Tarekat Syadziliyah terkenal dengan Variasi Hizb-nya,” dalam Sri Mulyati, ed.,
Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h. 57-58.
5Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, h. 1-2.
6Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas). Penerjemah Gufron A. Mas’adi (Jakarta: PT
Qâdir al-Jîlânî. Di antara guru-guru al-Syâdzilî, Ibn Masyisy-lah yang sangat
mempengaruhi perjalanan spiritual dan kehidupannya.
Adapun kitab-kitab tasawuf yang pernah dikaji oleh al-Syâdzilî dan
dikemudian hari ia ajarkan kepada muridnya, antara lain: Ihyâ’ „Ulûm al-Dîn
karya al-Ghazâlî, Qût al-Qulûb karya Abû Thâlib al-Makkî, Khatm al-Auliyâ’
karya al-Hâkim al-Tirmidzi, al-Mawâqif wa al-Mukhâthabah karya Muhammad
Άbd al-Abbâr an-Nafri, al-Syifa’ karya Qadhli „Iyâdh, al-Risâlah karya
al-Qusyairî dan Muharrar al-Wajiz karya Ibn Athiah.7
Menurut Abdul Halim Mahmud (w. 1978 M),8 al-Syâdzilî mendapatkan
berbagai ilmu yang dia peroleh dari gurunya maupun belajar secara autodidak.
Al-Syâdzilî terkenal sebagai ahli dalam al-Hadis, penghafal al-Qur’an, ahli fiqih,
teologi dan tidak kalah penting adalah ahli dalam ilmu tasawuf. Hal inilah yang
memberi pengaruh pada perkembangan pemikirannya dan menjadi seorang guru
dan sufi yang mempunyai karomah. Pendapat Abdul Halim, menurut Ardani,
agaknya masuk akal dan bisa diterima. Tidak mungkin tanpa pengetahuannya
tentang syariat, al-Syâdzilî berpendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara syariat
dan tasawuf, antara fiqh dengan haqiqah atau antara eksoterik dengan esoteris.
Al-Syâdzilî menegaskan, “jika engkau ingin belajar tasawuf maka pelajarilah syariat
terlebih dahulu”, sehingga mereka yang ingin masuk Tarekat Syâdziliyah
diharuskan mempelajari dan memahami ajaran-ajaran syariat dasar.
Namun demikian, bisa jadi pendapatnya yang moderat dalam masalah
hubungan syariat dengan tasawuf ini, diperoleh juga dari guru sufinya, karena
7Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 59-60.
8Dia adalah mantan Rektor Universitas al-Azhar yang pernah menjadi mursyid Tarekat
menurut data yang diberikan oleh Trimingham bahwa Abû Madyan dan muridnya
Άbd. Al-Salâm Ibn Masyîsy adalah sufi yang kokoh mengenai syariat.9
Ketika masih berusia muda, al-Syâdzilî meninggalkan kota kelahirannya
menuju Tunisia. Beberapa waktu kemudian, dia menjadi seorang teolog beraliran
Sunni yang sangat menentang Mu’tazilah. Dia sangat menentang sistem
pemikiran Mu’tazilah yang sangat menghargai akal. Sedangkan dalam fikih, para
anggota Syâdziliyah awal mengikuti mazhab Maliki. Hal ini bukan hanya karena
al-Syâdzilî sendiri bermazhab Maliki, tetapi Mazhab ini sangat dominan di daerah
Maghribi (Spanyol, Maroko, Tunisia).10 Ketika penyebaran Tarekat Syâdziliyah,
berpindah ke Alexandria, Mesir,11 di daerah ini juga mayoritas penduduknya
berpaham Maliki.
2. Karya-karya Abû Hasan Al-Syâdzilî
Dalam kehidupannya al-Syâdzilî tidak menulis ajaran-ajarannya dalam
sebuah karya berupa buku maupun risalah tasawuf, begitu juga muridnya, Abû
Άbbâs al-Mursî; di antara sebab-sebabnya adalah karena kesibukannya melakukan
pengajaran-pengajaran terhadap murid-muridnya yang sangat banyak. Al-Syâdzilî
berkata: “Kitabku adalah murid-muridku, merekalah yang menyebarkan ilmu dan
9Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 60-61.
10Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” dalam Seyyed
Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Penerjemah Tim Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 44-47.
tarekatku”.12 Ajaran-ajaran al-Syâdzilî dapat diketahui melalui risalah tulisan Ibn
Athâillâh al-Iskandari, sehingga khazanah Tarekat Syâdziliyah tetap terpelihara.13
Meskipun begitu, al-Syâdzilî menyusun rangkaian doa yang berasal dari
pengalaman mistis (hizb) yang memuat formula ayat al-Qur’an dan juga inspirasi
khas tasawuf. Kumpulan doa ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Dunia
Islam. Sejak saat itu, karya beliau menjadi rangkaian doa yang sangat luas
pemakaiannya dalam Dunia Islam dan dianggap memiliki keberkatan khusus.
Rangkaian doa ini memiliki nama yang diberikan olehnya sendiri (Abû Hasan
Al-Syâdzilî) ataupun oleh orang lain, seperti hizb al-bahr, hizb al-nashr, hizb al-barr
atau al-kabir dan lain-lain. Saat ini dapat dijumpai bahwa di banyak pesantren di
Indonesia diajarkan hizb al-Syâdzilî itu. Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat
makbul dan Syaikh Abû Hasan Al-Syâdzilî mengakui bahwa dirinya menerima
langsung dari lisan Nabi dalam penglihatan spiritual.14
3. Kepribadian Abû Hasan Al-Syâdzilî
Di antara para tokoh sufi, Abû Hasan al-Syâdzilî adalah seorang yang
mempunyai perawakan ideal, warna kulitnya sawo matang, tinggi badannya,
jari-jarinya panjang sebagaimana orang Hijaz. Fasih lisannya dan manis tutur katanya.
Ia selalu berpakaian mewah saat ia berpergian kemana-mana, lebih-lebih ketika ia
pergi ke masjid. Tempat-tempat yang lain (selain tempat kotor) baginya sama
12Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 73.
13Data yang ada seringkali berdasarkan atas riwayat, baik dari muridnya, koleganya atau
anaknya sendiri. Meskipun begitu, data tersebut tidak bisa dikatakan tidak valid karena dalam tradisi kesufian, periwayatan dan kesaksian menempati bagian penting.
seperti masjid.15 Al-Syâdzilî agaknya seorang tokoh sufi yang bercorak modern,
artinya „tidak terlalu’ meninggalkan dunia.16 Ia hidup sebagaimana layaknya
manusia modern. Bagi al-Syâdzilî, bila seorang memanfaatkan kebahagiaan
dunianya, ia adalah orang yang bersyukur atas ni’mat yang diberikan oleh Allah
SWT. Hal ini juga sesuai dengan ajaran Islam yang mengatakan berfikirlah
dengan ciptaan-Nya dan jangan memikirkan zat-Nya. Menurutnya, orang yang
memanfaatkan kebahagiaan di dunia akan selalu mencintai Allah SWT. Sebab
dengan memikirkan ciptaan-Nya ia akan merasakan betapa agungnya Allah SWT.
Al-Ustadz Syekh Άli Salim Άmmar mengatakan: “al-Syâdzilî suka
mengenakan pakaian yang paling bagus dan paling mewah, makan makanan yang
lezat dan minum minuman yang enak, serta memiliki kuda yang bagus dan cepat.
Beliau juga penunggang kuda yang hebat, seorang ilmuwan yang handal, seorang
pejuang di medan peperangan, seorang petani yang membajak sawah, menanam
dan memanennya sendiri.” Demikian pula al-Syâdzilî juga terkenal sebagai hamba
Allah yang selalu beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, sekaligus
sebagai sosok seorang Muslim yang dicintai oleh Allah SWT.
Ibn Athâillâh al-Iskandari pernah mengatakan dan ini menjadi penjabaran
salah satu ajaran Tarekat Syâdziliyah, bahwa barangsiapa mengenakan pakaian,
15Hadits Rasulullah saw. “Aku jadikan bumi laksana Masjid.” Yakni bahwa bumi di mana
tempat manusia berada semuanya masjid. Abû Hasan al-Syâdzilî selalu berpenampilan rapih dan bersih di manapun ia berada. Lihat Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, h. 17-18.
16Abû Hasan al-Syâdzilî pernah berkata, ketika ia menasihati pengikutnya, “janganlah
makan makanan yang enak dan minum minuman yang lezat selagi disertai syukur
kepada Allah, maka itu tidak sesuatu yang dilarang.17
4. Pemikiran Abû Hasan Al-Syâdzilî
Al-Syâdzilî, seorang tokoh sufi yang berasal dari Maghribi dan kemudian
hijrah ke Mesir, ia sangat menekankan ajaran tasawuf yang moderat.
Ajaran-ajaran tasawufnya sifatnya seimbang, diarahkan untuk mendekatkan diri kepada
Allah sekaligus kepada realitas masyarakat. Bahwa seorang salik tidak cukup
mendekat kepada Allah saja, tapi juga harus berbakti kepada masyarakat.
Menurutnya, sufi bukanlah seorang yang menghindar dari masyarakat, karena
sebenarnya beraktivitas sosial untuk kemaslahatan ummat adalah bagian
terpenting dari hasil kontemplasi seorang sufi.
Begitu pula, ajaran-ajarannya juga selalu berpegang teguh pada al-Qur’an
dan Sunnah, sebagai sumber tertinggi. Dengan demikian, ajaran tasawufnya dapat
dikatakan tidak menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW. Karena bertasawuf
adalah upaya melatih dan memperbaiki diri agar sesuai dengan aturan-aturan
Allah SWT. Tasawuf merupakan latihan-latihan jiwa dalam rangka beribadah dan
menempatkannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Ilahi.18
Al-Syâdzilî termasuk juga sufi yang berpandangan bahwa dunia itu hina.
Tetapi dengan catatan, dunia yang bisa melalaikan manusia pada tuhannya.
Menurutnya, tidak ada larangan bagi seseorang menjadi kaya, milliuner, asalkan
hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Sesungguhnya yang
menjadikan seorang hina adalah karena ketergantungannya pada dunia. Seseorang
yang memiliki banyak harta dan hatinya tidak tergantung padanya maka dia bisa
disebut zahid. Sebaliknya, meskipun tidak mempunyai harta, tetapi jika perhatian
terfokus pada harta, orang tersebut tidak bisa disebut zahid.
Zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan. Karena sifatnya
pekerjaan hati maka tidak mesti sifat zuhud itu diukur dari kepemilikan harta.
Seorang zahid bisa jadi mempunyai banyak harta. Atas pertimbangan itu dan demi
memakmurkan dunia, al-Syâdzilî mendorong para salik agar tetap mencari harta
kekayaan, namun jangan sampai melalaikan Tuhan.19 Pemahaman al-Syâdzilî ini
kemudian terimplementasikan, seperti dalam tarekat yang dipimpinnya,
al-Syâdzilî yang sebagaimana ungkap Annemari Schimmel, mempunyai pendekatan
pragmatis untuk kenyamanan duniawi.20
Memang menurut al-Syâdzilî, bertasawuf itu tidak menjadikan sang salik
terasing dari dirinya sendiri maupun masyarakat. Dengan demikian, konsep
tasawuf yang diajukannya bisa menolak sikap apatis sebagian kalangan
modernisme terhadap tasawuf. Menurutnya, tasawuf bukan anti kemajuan, tapi
sebaliknya, mendukung perubahan kearah tatanan masyarakat yang lebih baik.
B. Tarekat Syâdziliyah dan Keberadaannya
Tarekat Syâdziliyah adalah salah satu tarekat yang besar di samping
Tarekat Qadiriyah, Rifa’iyah, Naqsyabandiyah dan Suhrawardiyah. Tarekat
Syâdziliyah adalah tarekat yang paling layak disejajarkan dengan Tarekat
19Saepudin, “Pemikiran Tasawuf Abu Hasan Al-Syadzili (1196-1258M)”, (Tesis Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 93-95.
20Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Penerjemah Sapardi Djoko
Qadiriyah dalam hal penyebarannya.21 Nama Tarekat Syâdziliyah dinisbatkan
kepada Abû Hasan al-Syâdzilî (w.656 H/1258 M) sebagai pendirinya. Ia adalah
keturunan Nabi Muhammad SAW. melalui Sayidina Hasan bin Alî bin Abî
Thâlib. Tarekat Syâdziliyah adalah salah satu tarekat yang diakui kebenarannya
(al-mu’tabarah), karena silsilah al-Syâdzilî adalah bersambung (muttasil) sampai
Rasulullah SAW.22
Tarekat Syâdziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti
al-Muwahhidûn, yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang di
Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang
menarik, sebagaimana dicatat Victor Danner, peneliti Tarekat Syâdziliyah,
meskipun terekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal
perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah
Maghribi dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, perannya
sejak abad ke-7H/13M sangatlah jelas. Banyak tokoh sufi yang sezaman dengan
al-Syâdzilî menetap di Barat, misalnya Abû Madyan Syu’aib al-Maghribi (w. 594
H/1197M), Ibn al-Άrabi (w. 638H/1240M), Άbd. Al-Salâm ibn Masyîsy (w.
625H/1228M), Ibn Sab’in (w. 669H/1271M) dan al-Syusyturî (w. 688H/1270M).
Walaupun dasar-dasar tasawuf Maghribi itu berasal dari Timur sebagai asal
muasal Islam itu sendiri, namun kecerdasan Muslim daerah Barat, gaya hidupnya,
seni kaligrafinya, arsitektur masjidnya, juga mazhab Malikinya, telah ada sejak
generasi Islam awal. Ciri umum ini mendapat penguatan bersamaan dengan
berdirinya dinasti Abbasiyah pada abad ke-2H/8M dan mulai mengembangkan
21Martin Lings, Membedah Tasawuf. Penerjemah Bambang Herawan (Bandung: Mizan,
1979), h. 112.
kebiasaan sendiri. Inilah atmosfir yang melatarbelakangi berdirinya Tarekat
Syâdziliyah pada abad ke-7H/13M yang mengembangkan kebebasan berfikir,
kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban dan perekonomian.23
Daerah Maghribi telah mengembangkan suatu peradaban Islam yang luar
biasa. Bahkan setelah penaklukan kembali Spanyol oleh pasukan Kristen pada
abad ke-9 H/15 M yang mengakhiri kejayaan Islam di sana, Afrika Utara tetap
menjadi benteng pertengahan spiritualitas sufi, khususnya jika disadari bahwa
sejak zaman itu, daerah Timur Dekat sudah mengalami kemerosotan
berkepanjangan. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa pergerakan Tarekat
Syâdziliyah dari Maghribi ke Timur merupakan sebuah upaya penguatan kembali
semangat tasawuf di daerah Timur, khususnya di wilayah Arab. Ini berarti Tarekat
Syâdziliyah memainkan peranan penting di tengah kemunduran umat Islam.24
Di Maghribi (Maroko), al-Syâdzilî sangat terkenal dan banyak sekali
pengikutnya. Meskipun demikian, tetap saja ada orang yang dengki atas
kehebatannya al-Syâdzilî. Bahkan ada pula yang berani melontarkan
bermacam-macam fitnah kepadanya yang melewati batas, menyakiti beliau, melarang
orang-orang untuk tidak bergaul dengannya. Mereka menuduh al-Syâdzilî seorang-orang
zindik. Bahkan beliau bersama pengikut-pengikutnya diusir keluar dari negeri
Maghribi, karena itu al-Syâdzilî pindah ke Mesir pada 642 H/1244 M dan dari
sinilah berkembang ke seluruh Dunia.25
Para tokoh Syâdziliyah pada masa awal tidak hanya menaruh perhatian
pada pengajaran dan praktik tasawuf tetapi juga terhadap masalah-masalah akidah
dan hukum Islam. Hal ini karena al-Syâdzilî sangat menekankan pentingnya
pengetahuan agama bagi para pengikutnya. Mereka bermazhab Sunni dan
sekalipun tasawuf sendiri tidak menaruh perhatian pada dogma-dogma teologis,
mereka cenderung untuk memilih mazhab Asy’ariyah dalam bidang ilmu kalam.
Namun, mazhab Asy’ariyah yang mereka anut kemungkinan besar yang sudah
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran al-Ghazâlî yang turut memberikan kontribusi pada
mazhab itu dan mengubah watak aslinya. Secara turun temurun mereka mengikuti
aliran Asy’ariyyah. Sekalipun anggota Tarekat Syâdziliyah saat itu menganut
Asy’ariyyah, sama sekali tidak berarti bahwa tasawuf mereka adalah dogmatisme
Asy’ariyyah atau bahwa tarekat ini bersifat dogmatis. Kenyataannya pada masa
berikutnya banyak pengikut Syâdziliyah di daerah lain bermazhab Syafi’i, dan
umumnya mereka mengikuti Asy’ariyyah.
Sedangkan dalam fikih, para anggota Syâdziliyah awal mengikuti mazhab
Maliki. Hal ini bukan hanya karena al-Syâdzilî sendiri bermazhab Maliki, tetapi
Mazhab ini sangat dominan di daerah Maghribi (Spanyol, Maroko, Tunisia).
Ketika penyebaran Tarekat Syâdziliyah, berpindah ke Alexandria, Mesir, di
daerah ini juga mayoritas penduduknya berpaham Maliki.26
Tarekat yang didirikan oleh Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî ini dilandaskan
pada ajaran metafisik dan spiritual tauhid dan tentu saja pada al-Qur’an dan
Sunnah. Tujuan tarekat ini adalah kesadaran ma’rifah kepada Allah yang
mengimplikasikan kebijaksanaan sempurna dan kesucian jiwa pelaku
kontemplasi. Ma’rifah yang diajarkannya ini berdasarkan keyakinan sederhana,
ketaatan syariat dan formulasi dogmatis dari aqidah yang diajarkan oleh
Asy’ariyah. Sehingga tentu saja bukan ma’rifah dalam pembahasannya memiliki
implikasi kosmologi dalam konteks spiritual, hal ini tidaklah membuatnya
terselimuti oleh kompleksnya konsep filosofis wahdah al-wujûd yang dilansir
oleh Ibn Άrabî, sekalipun al-Syâdzilî selalu membelanya dari para penentang ide
tersebut.27 Tauhid dan dzikir merupakan dua pilar esensial tarekat ini. Yang
pertama berhubungan dengan doktrin sedangkan yang kedua berkaitan dengan
metodologi spiritual.28
Tarekat Syâdziliyah merupakan suatu bentuk reformasi pandangan
spiritual dan religius, bukan dalam arti sebagai gerakan pemurnian dan
anti-kemusyrikan yang sering secara brutal membinasakan institusi Islam eksternal di
bawah bendera “kembali ke jalan para salaf”. Namun, dengan caranya sendiri, ia
mengkritisi formalisme dan literalisme yang berlebih-lebihan dalam Islam
eksoterik saat itu. Mungkin di luar tarekat besar lainnya yang berkembang saat itu,
Syâdziliyah merupakan tarekat yang paling diterima, tidak hanya oleh tasawuf
normatif tetapi juga oleh Islam normatif. Hal ini karena, baiat atau inisiasi yang
dilakukan tarekat ini tidak pernah melanggar apa yang diyakini masyarakat.29
Ajaran al-Syâdzilî kemudian diteruskan murid-muridnya, antara lain Abû
Άbbâs al-Mursî (w. 686 H), kemudian diteruskan Ibn Athâ’illâh al-Iskandari
27Ada kemungkinan bahwa Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî pernah berhubungan dengan
Ibn Άrabî saat melakukan sejumlah perjalaan ke Timur Dekat. Hubungan seperti ini lebih dapat diyakini jika menyangkut murid Ibn Άrabî, yaitu shadr al-Din Al-Qûnawî (w. 673 H/1275 M). Ia berkunjung ke Kairo untuk menemui sejumlah tokoh-tokoh Syâdziliyah. Lebih jauh, anggota tarekat ini merupakan pembela yang kukuh, seperti yang kita saksikan dalam perbenturan hebat antara Ibn Athâ’illâh al-Iskandari dan Ibn Taimiyah sebagai fundamentalis Hanbali yang mengkritiki Ibn Άrabî, di benteng Kairo awal abad ke-8 H/14 M. Lihat Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 48
(w.709 H), Ibn Abbâd al-Randî (w. 793 H). Pada abad IX H/XV M. dilanjutkan
Sayid Abî Abd Allah Muhammad ibn Sulaymân al-Jazulî. Di dalam
perkembangannya, mereka dipandang sebagai pemimpin-pemimpin Tarekat
Syâdziliyah, sehingga berkembang pesat di beberapa wilayah seperti Tunisia,
Mesir, Aljazair, Maroko, Sudan, Afrika Barat, Afrika Utara, Afrika Selatan,
Mesopotamia, Palestina, Syiria, dan Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan
Jawa Timur.30
Bahwa tetap berlangsungnya dan mapannya Tarekat Syâdziliyah tidak
dapat dilepaskan dari faktor atau konteks sejarahnya. Kondisi Afrika Utara yang
diliputi krisis ekonomi dan politik membuat masyarakat tertarik untuk bergabung
dengan organisasi semacam tarekat ini.31 Faktor lain adalah karena terekat ini
memegang kuat ortodoksi Sunni dan cukup moderat, sehingga bisa terus tumbuh
di lingkungan penguaha Sunni dan menarik minat banyak orang karena ajarannya
yang moderat.
C. Pengikut Tarekat Syâdziliyah
Sepeninggal al-Syâdzilî, kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abû
Άbbâs al-Mursî yang ditunjuk langsung oleh al-Syâdzilî. Al-Mursî termasuk
murid yang memiliki kualitas spiritual paling tinggi dibandingkan ikhwân-ikhwân
yang lainnya. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn „Umar ibn Alî al-Anshari
al-Mursî, terlahir di Murcia, Spanyol pada 616 H/1219 M dan meninggal pada 686
H/1287 M di Alexandria. Seperti gurunya, ia tidak menulis sebuah buku atau
30Heri MS Faridy, Ensiklopedi Tasawuf , h. 1155.
risalah tasawuf. Namun Abû Άbbâs al-Mursî menyusun hizb-hizb juga seperti
al-Syâdzilî.32
Guru ketiga yang terkemuka dari rantai silsilah tarekat ini, Ibn Athâ’illâh
al-Iskandari, lahir di kota Iskandariyah Mesir, oleh karena itulah nama
belakangnya disebutkan al-Iskandari. Ia adalah seorang ahli hukum Malikiyah
yang terkenal. Mengenai pengaruh al-Syâdzilî kepada Ibn Athâ’illâh, tampaknya
dimungkinkan melalui dua cara, yaitu al-Mursî dan hizb-hizb yang ditinggalkan
al-Syâdzilî. Melalui dua cara inilah Ibn Athâ’illâh mewarisi ajaran spiritual al
-Syâdzilî. Ibn Athâ’illâh al-Iskandari merupakan Syaikh pertama yang menuliskan
ajaran, pesan-pesan, doa-doa al-Syâdzilî dan al-Mursî. Ia pula yang menyusun
berbagai aturan tarekat ini dalam bentuk buku-buku dan karya-karya yang tak
ternilai untuk memahami perspektif Syâdziliyah bagi angkatan sesudahnya.33
Ajaran-ajaran Tarekat Syâdziliyah tidak terlalu berbeda dengan
ajaran-ajaran tarekat lainnya. Yang menjadi perbedaan dengan tarekat-tarekat lainnya
pada masa itu tampaknya adalah sikap tidak menonjolkan diri dalam hal
bertarekat. Tarekat Syâdziliyah tidak memisahkan diri dengan dunia luar,
meskipun al-Syâdzilî dari waktu ke waktu memberikan khutbah bagi masyarakat
umum. Para pengikut di bawahnya sulit dibedakan dengan masyarakat awam.
Satu hal juga yang membedakan Tarekat Syâdziliyah dengan tarekat lain pada
umumnya adalah dalam hal sikap hidup dan sosial bermasyarakat.
Para pengikut tarekat ini tidaklah mengenakan pakaian yang unik seperti
yang terdapat pada tarekat lainnya. Semacam khirqah atau muraqqa’ah yang
32Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 67. 33Abu al-Wafa al-Taftazani,
Sufi dari Zaman ke Zaman. Penerjemah Ahmad Rofi’
terdapat pada kain wol bertambal dan terbuat dari bahan kasar, yang seringkali
dikenakan sebagai simbol lahiriah oleh kalangan sufi pada umumnya. Mereka
tidak hidup mengembara atau mengasingkan diri sebagai orang fakir. Sebaliknya
mereka berpakaian seperti masyarakat umum, bahkan sebagian dari mereka
seperti halnya pendiri tarekat ini sering mengenakan pakaian yang indah. Inilah
yang mengakibatkan orang sering bertanya, apakah sang Syaikh ini benar-benar
seorang sufi. Pakaian yang mereka pakai merefleksikan strata sosialnya, apakah
seorang guru, pedangang, pegawai atau yang lainnya.34 Pada tingkat ini, dapat di
mengerti kesimpulan yang dibuat Annemari Schimmel, bahwa tarekat ini
mempunyai pendekatan pragmatis untuk kenyamanan duniawi. Seorang faqih
kepada Tuhan tidak harus miskin harta, begitu pula tidak harus menyendiri, malah
dianjurkan untuk merealisasikan ajaran tarekat ini kepada masyarakat di
tengah-tengah kesibukannya.35
Hal-hal lain yang menjadi motivasi pengikut Tarekat Syâdziliyah adalah
bahwa tarekat tersebut adalah salah satu tarekat yang diakui kebenarannya oleh
ulama ahli tasawuf dan sah untuk di ikuti (al-mu’tabarah), tiada pertentangan di
antara mereka karena silsilahnya bersambung sampai kepada Rasullullah SAW.
yang pada intinya adalah bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan
teknik-teknik tertentu sesuai petunjuk mursyid dalam waktu yang relatif tidak
terlalu lama, melalui jalan atau tarekat yang diakui kebenarannya oleh ulama ahli
tasawuf.
Ajaran-ajaranya tidak begitu memberatkan para pengikutnya. Karena
ajaran-ajarannya yang mudah diterima dan moderat, tak heran jika pengikutnya
pun terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat, ulama, cendekiawan sampai
masyarakat awam; mulai dari masyarakat desa sampai masyarakat urban.36
Tarekat Syâdziliyah yang merupakan manifestasi dari ajaran-ajarannya pun
menyebar di berbagai negara, dengan jumlah pengikut yang sangat banyak.
Karena merupakan manifestasi dari ajaran-ajarannya al-Syâdzilî yang moderat itu,
maka tarekat ini menurut istilah Victor Danner, merupakan suatu bentuk
reformasi pandangan spiritual dan religius. Dalam arti, dengan carannya sendiri,
ia mengkritisi formalisme dan literalisme yang berlebih-lebihan dalam Islam
eksoterik saat itu.37
Annemarie Schimmel dalam pengantar sejarah sufi dan tasawuf karya Abu
Bakar Aceh, mencatat bahwa tarekat ini paling mudah dalam hal ilmu dan amal,
ihwal dan maqam, ihwal dan maqal. Menurut kitab-kitabnya, Tarekat Syâdziliyah
tidak meletakkan syarat-syarat yang berat bagi pengikutnya, kecuali melakukan
ibadah wajib, melakukan ibadah sunnah semampunya, zikir kepada tuhan
sebanyak mungkin minimal 1000 kali sehari semalam, istighfar dan membaca
shalawat nabi.38 Masing-masing bacaan istighfar dan shalawat itu dibaca sebanyak
36 Minat mayoritas masyarakat Islam Indonesia pada tasawuf (tarekat), sebagaimana hasil
penelitian Martin, agaknya telah ditentukan beberapa abad silam. Meskipun ketertarikan mereka disebabkan oleh motivasi-motivasi tertentu, misalnya karena latihan-latihan mistiknya yang diajarkan dan kekuatan spiritualnya yang dapat mereka peroleh atau juga mereka tertarik mengikuti tarekat karena kepribadian seorang pemimpin atau Syaikh tarekat yang kharismatik. Sehingga besar pula pengaruhnya terhadap pengikut tarekat. Lihat Martin Van Bruienessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), h. 16.
37Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 45.
38Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf (Jakarta: Ramadhani, 1984), h.
100 kali pada setiap habis shalat maghrib dan subuh. Dalam keadaan tertentu,
amalan itu bisa dibaca di waktu lain dengan cara diqadha (diganti). Selain itu juga
bisa dilakukan sambil melakukan kegiatan atau pekerjaan lain, seperti berjalan
atau bekerja.
Bagi pengikut tarekat ini membaca zikir, tidak tergantung pada jumlah
yang dibaca. Walaupun jumlahnya sedikit, bisa jadi diterima oleh Allah,
sementara yang banyak mungkin justru sebaliknya, ditolak. Pandangan ini di
dasarkan pada keyakinan bahwa diterima atau tidaknya suatu amalan merupakan
rahasia Allah. Inilah yang membedakan Tarekat Syâdziliyah dengan tarekat lain.39
Karena kesederhanaan Tarekat Syâdziliyah ini sehingga sangat
mempengaruhi tempat berdirinya dan berkembang secara luas hingga saat ini.40
Banyak pengikutnya, sehingga berkembang pesat di beberapa wilayah seperti
Tunisia, Mesir, Aljazair, Maroko, Sudan, Afrika Barat, Afrika Utara, Afrika
Selatan, Mesopotamia, Palestina, Syiria, dan di Indonesia khususnya di wilayah
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
39Mu’tasim Radjasa dan Abdul Munir Mulkha, Bisnis Kaum Sufi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), h. 39.
40Noer Iskandar al-Baisany. Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi (Jakarta: PT RajaGrafindo,
BAB III
HIZB TAREKAT SYÂDZILIYAH
A. Pengertian Hizb
Hizb berasal dari bahasa Arab, yaitu Hizbun. Artinya partai, kelompok,
golongan, jenis, wirid, bagian, tentara, pasukan atau senjata. Dalam pembahasan
ini arti Hizbun adalah jenis wirid yang bahasa keseharian disebut hizb.1 Hizb
adalah suatu do’a yang cukup panjang, dengan lirik dan bahasa yang indah yang
disusun ulama besar.2 Hizb adalah kumpulan do’a khusus yang sudah sangat
populer di kalangan masyarakat Islam khususnya di pesantren dan tarekat. Hizb
ini biasanya merupakan do’a andalan seorang Syaikh yang biasanya juga
diberikan kepada para muridnya secara ijazah yang jelas (ijâzah sharîh). Do’a ini
diyakini oleh kebanyakan masyarakat Islam atau kaum santri sebagai amalan yang
memiliki daya spiritual yang sangat besar.3
Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat makbul dan Syaikh Abû Hasan
al-Syâdzilî mengakui bahwa dirinya menerima langsung dari lisan Nabi dalam
penglihatan spiritual. Al-Syâdzilî menyusun rangkaian doa yang berasal dari
pengalaman mistis (hizb) yang memuat formula ayat al-Qur’an dan juga inspirasi
khas tasawuf. Kumpulan doa ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Dunia
1Ki UmarJogja, “Definisi Ilmu Hizib,” artikel diakses pada 30 Juni 2011 dari
http://rasasejati.wordpress.com/kajian-ilmu-ghoib/hizib-ratib
2Hizb yang terkenal adalah hizb yang di susun oleh Abû Hasan al-Syâdzilî, pendiri
Tarekat Syâdziliyah antara lain, hizb al-bahr, hizb al-nashr, hizb al-barr (al-kabir) dan lain-lain. Lihat Abi ́Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazulî, Dalâil al-Khairât má a al-Ahzâb, (Surabaya: Nabhan, t.th).
3Heri MS Faridy, dkk., ed., Ensiklopedi Tasawuf, jilid III (Bandung: Angkasa, 2008), h.
1153.
Islam. Sejak saat itu, karya beliau menjadi rangkaian doa yang sangat luas
pemakaiannya dalam Dunia Islam dan dianggap memiliki keberkatan khusus.4
Hizb adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an dan untaian kalimat zikir,
Asma Allah dan do’a yang disusun untuk diamalkan dengan membacanya atau
diwiridkan (diucapkan berulang-ulang) sebagai salah satu bentuk ibadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT (Taqarrub Ilallah).
Jadi kandungan dari sebuah hizb selain berisi pujian mengagungkan Asma Allah
SWT dan shalawat Nabi juga mengandung doa untuk memohon pertolongan
kepada Allah. Hizb juga mengandung banyak rahasia (sirr) yang sulit dipahami
oleh orang awam, seperti kutipan beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang isinya
seperti tidak terkait dengan lafal rangkaian doa sebelumnya. Para ahli hizb
berpendapat bahwa dalam hal ini yang terkait adalah asbabun nuzul-nya.5
B. Hizb-Hizb Tarekat Syâdziliyah
Hizb yang diajarkan Tarekat Syâdziliyah jumlahnya cukup banyak dan
setiap murid tidak menerima hizb yang sama karena disesuaikan dengan situasi
dan kondisi ruhaniah murid sendiri dan kebijaksanaan mursyid. Hizb-hizb tersebut
tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapat izin atau ijazah
dari mursyid atau seseorang murid yang ditunjuk mursyid untuk
mengijazahkannya. Adapun hizb-hizb tersebut, antara lain hizb al-asyfâ’, hizb
4 Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” dalam Seyyed
Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Penerjemah Tim Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 38.
kâfî atau al-autâd, hizb al-bahr, hizb al-birhatiyah, hizb al-nashr, hizb al-barr atau al-kabir.6
1. Hizb al-Asyfâ’
Hizb al-asyfâ’ adalah hizb yang khas dari Tarekat Syâdziliyah di
Tulungagung. Sebelum seseorang mengikuti prosesi baiat atau talqin zikir,
biasanya ia dianjurkan untuk membaca hizb al-asyfâ’, untuk membuka hati dan
membersihkannya dari kotoran nafsu. Adapun cara mengamalkan, apabila disertai
puasa maka hizb al-asyfâ’ dibaca setiap selesai shalat fardhu dan puasa
dilaksanakan selama tiga hari, tujuh hari, sepuluh hari atau empat puluh hari,
sesuai dengan petunjuk Mursyid. Puasa dimulai pada hari selasa, rabu dan kamis.
Apabila tidak disertai puasa, maka pembacaan hizbal-asyfâ’ dilaksanakan cukup
sekali dalam sehari semalam.7 Tidak semua murid diperlakukan sama antara yang
satu dengan yang lain, karena semuanya tergantung kepada kebijakan dan
kearifan Mursyid yang sesungguhnya. Mursyid lebih mengetahui keadaan hati dan
kualitas ruhani seseorang. Ketika seseorang dipandang secara ruhaniyah telah
pantas untuk dibaiat, kapanpun waktunya yang dikehendaki oleh Mursyid untuk
dibaiat, saat itu pula seseorang dibaiat untuk memasuki Tarekat Syâdziliyah.8
Pertama-tama membaca surat al-Fatihah yang ditujukan kepada Allah
SWT., Nabi Muhammad SAW., Sayidina Abû Bakar al-Shiddîq, Sayidina „Umar
ibn al-Khaththâb, Sayidina „Ustmân bin Άffan, Sayidina Άli bin Abî Thalib,
6Muhammad Zaini, “
Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran: Studi pada Pondok Peta di Tulungagung”, (Tesis Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003) h. 168. Tentu saja masih banyak hizb-hizb Abû Hasan al-Syâdzilî. Lihat Abi ́Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazulî, Dalâil al-Khairât má a al-Ahzâb, (Surabaya: Nabhan, t.th).
7Muhammad Zaini, “
Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran” h. 168.
8Muhammad Zaini, “
Syâikh Άbd al-Qâdir al-Jîlânî, Mbah Panjalu, Sunan Kalijaga, Syaikh Ibnu
„Ulwân, Wali Sembilan di Indonesia, Sulthan Agung, Syaikh Άbd al-Qadir
al-Kediri, Syaikh Mustaqîm bin Husain, Syaikh Abdul jalil bin Mustaqim, kedua
orang tua dan Nabi Hidhir as.
Bacaan hizbal-asyfâ’:9
2. Hizb al-bahr
Hizb al-bahr ditulis pada saat Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî dalam
perjalanan di Laut Merah dan mendapat langsung dari Rasulullah. Al-Syâdzilî
membacanya dalam rangka berdoa agar selamat dalam perjalanan di Laut Merah.
Walaupun hizb al-bahr mempunyai ikatan historis yang sangat erat dengan laut,
bukan berarti hizb al-bahr ini hanya dibaca atau diamalkan di laut.10
Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî sendiri telah berwasiat kepada para
pengikutnya dalam hal hizb ini, bahwa semua murid yang mengikuti Tarekat
Syâdziliyah supaya mengamalkan hizb al-bahr, karena di dalamnya terdapat
nama-nama Allah yang besar sekali berkahnya. Dengan membaca al-asmâ’
al-husnâ berarti seseorang berzikir dan mengingat Allah dengan 99 nama yang setiap
nama memiliki pengaruh spiritual yang besar. Pengaruh spiritual itu akan di
9Muhammad Zaini, “
Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran”, h. 168-169.
10Abd. Halîm Mahmûd, “Abul-Hasan Al-Syadzily, Kehidupan, doa dan hizibnya,” artikel
dapatkan oleh siapapun yang mengamalkan dengan syarat meminta ijazah dari
guru yang berwenang.11
Murid-murid atau pengikut Tarekat Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi
ketika dibaiat selain mendapatkan Tarekat Syâdziliyah juga mendapatkan hizb,
yaitu hizb al-bahr dan hizb al-asyfâ’. Kh. Mahfudz Syafi’i mursyid Tarekat
Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi tidak begitu berkenan memberikan
amalan-amalan hizb lainnya, karena semua tergantung kepada kebijakan dan kearifan
mursyid.12
Penerapan dalam mengamalkan hizb al-bahr Tarekat Syâdziliyah di
bekasi, bagi seseorang yang sudah mendapatkan ijazah hizb al-bahr, dianjurkan
agar setelah mengamalkan wirid Tarekat Syâdziliyah diteruskan dengan membaca
hizb al-bahr. Hal ini sesuai dengan anjuran al-Syâdzilî. Tatacara membacanya,
setelah membaca al-fatikhah yang terakhir atau sebelum doa kemudian
dilanjutkan membaca hizb al-bahr dengan diawali membaca al-fatikhah lillaahi
ta’ala, lalu langsung membaca hizb al-bahr. Hizb al-bahr diakhiri dengan
membaca al-fatikhah 7 kali, lalu ditutup dengan membaca doa.13 Hizb al-bahr
biasanya dibaca setelah shalat Ashar dalam tradisi Tarekat Syâdziliyah (demikian
keterangan Ibn Athâ’illâh al-Iskandari).14
11Heri MS Faridy, Ensiklopedi Tasawuf , h. 1153. 12Muhammad Juni, “
Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah di Kabupaten Bekasi”, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 33
13Muhammad Juni, “Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah”, h. 39 14Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf,
b. Terjemahan hizb al-bahr:
1. “Dengan menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
2. “Wahai Yang Maha Luhur, wahai Yang Maha Besar, wahai Yang Maha Santun, Engkaulah Tuhanku, dan ilmu-Mu cukup bagiku, dan sebaik-baik Tuhan adalah Tuhanku, dan sebaik-baik Dzat Yang Mencukupi adalah yang mencukupi diriku, Engkau adalah Penolong kepada siapa yang Engkau kehendaki dan Engkaulah yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.”
3. “Kami mohon kepada-Mu al-’ishmah (terjaga dari maksiat) baik dalam gerak dan diam, dalam bertutur kata dan kemauan, serta kekhawatiran dari wasangka, keraguan dan kecemasan yang menjadikan hati-hati ini tidak dapat melihat perkara-perkara ghaib.”
5. “Maka teguhkanlah dan tolonglah kami, dan tundukkanlah untuk kami samudera ini sebagaimana Engkau telah menundukkan samudera itu kepada Musa, sebagaimana Engkau telah menundukkan api kepada Ibrahim, sebagaimana Engkau menundukkan bukit-bukit dan besi kepada Daud, dan sebagaimana Engkau menundukkan segala angin, dan syetan-syetan serta jin kepada Sulaiman. Tundukkanlah untuk kami seluruh samudera yang menjadi milik-Mu, baik yang ada di bumi maupun di langit dan seluruh kekuasaan di laut dunia maupun laut akhirat, dan tundukkan untuk kami segala sesuatu, wahai Dzat yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu.”
7. “Wahai Allah, mudahkanlah bagi kami segala urusan kami hingga hati dan badan kami terasa lega, juga selamat dan kuat dalam segala urusan dunia dan agama kami. Engkaulah Yang Menjaga dalam perjalanan kami, Khalifah dalam keluarga kami. Butakanlah (penglihatan) wajah musuh-musuh kami dan bekukan mereka di tempatnya masing-masing sehingga tidak mampu berjalan mendatangi tempat kami.”
8. “Dan jikalau Kami menghendaki, pastilah kami hapuskan penglihatan mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan tapi bagaimana mereka dapat melihat? Dan jikalau Kami menghendaki, pastilah Kami ubah bentuk mereka di tempat mereka berada, maka mereka tidak sanggup berjalan lagi dan tidak (pula) mereka sanggup kembali.” (Q.S. Yasin 36: 66-67)
10.Wajah-wajah buruk. (3x) “Dan tunduklah semua wajah (dengan berendah diri) kepada Tuhan Yang Maha Hidup, Kekal lagi Senantiasa Mengurus (makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugi orang-orang yang melakukan kezhaliman.” (Q.S. Thaha 20:111)
11.“Dia membiarkan dua lautan itu mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dapat dilampaui oleh masing-masing.” (Q.S. Ar-Rahman 55: 19-20)
12.“Perkara itu sudah ditetapkan dan kemenangan telah tiba, maka mereka tidak akan mendapat pertolongan untuk mengalahkan kami.”
13.“Haa-Miim. Diturunkan kitab (Al-Qur’an) ini dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya, Yang Mempunyai Karunia. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali.” (Q.S. Al-Mu’min 40: 1-3)
14. “Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (3x)
16.“Padahal Allah mengepung dari belakang mereka. Bahkan yang didustakan mereka itu adalah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauhil Mahfuzh.” (Q.S. Al-Buruj 85: 20-22)
17.“Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (3x). (Q.S. Yusuf 12:64)
18.“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang shaleh.” (3x). (Q.S. Al -A’raf 7: 196)
19.“Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia Tuhan pemilik „Arasy yang Agung.” (3x). (Q.S. Al-Bara’a 9:129)
20.“Dengan Nama Allah, Dzat yang bersama Nama-Nya tidak ada sesuatupun dapat membawa malapetaka baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (3x)
21.“Tiada daya dan upaya melainkan dengan (pertolongan) Allah Yang Maha Luhur lagi Maha Agung.” (3x)15