• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tarekat syadziliyah dan hizbnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tarekat syadziliyah dan hizbnya"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Disusun Oleh:

Sa’adatul Jannah

NIM:107033101689

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis menghaturkan segala puji yang tidak terhingga

kepada Allah SWT. Karena Dialah satu-satunya yang memiliki segala kebesaran

dan keagungan. Ditangan-Nyalah bermula segala masalah dan ditangan-Nyalah

terselesaikan segala masalah. Dia juga yang menciptakan kesedihan dikala

manusia sedang bergembira dan menciptakan kegembiraan disaat manusia sedang

berputus asa. Dia juga yang menyembuhkan penyakit manusia ketika mereka

sudah tidak mempunyai harapan untuk kesembuhannya dan Dia pulalah yang

memberikan rasa sakit kepada manusia ketika mereka dalam keadaan

menyombongkan kesehatan dirinya. Dialah yang membuat kesulitan ketika

manusia merasa sombong atas kemampuannya dan dia pulalah yang menjadikan

kemudahan ketika manusia berpasrah diri kepada-Nya.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

juga keluarga serta sahabat-sahabat sekalian. Beliaulah utusan Allah yang telah

merubah kebatilan menuju keimanan serta membawa umat manusia dari tempat

yang gelap gulita ke tempat yang terang benderang.

Setelah sekian lama bertahan antara harap dan cemas, akhirnya penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih atas segala bantuan, dorongan dan

(6)

ii

Pertama-tama penulis haturkan terimakasih kepada Keluarga saya.

Ayahanda Supangat dan ibunda Choiriah yang dengan penuh kasih sayang,

keikhlasan dan tidak henti-hentinya memanjatkan doa, memberikan dorongan dan

memenuhi kebutuhan materil selama penulis menjalankan perkuliahan. Buat

kakanda Chafid Syahbi yang selalu setia menemani saya dan adik saya M. Hasan

Tamami yang selalu mendo’akan dan menasihati saya.

Terima kasih kepada K.H. Habib Makky dan Ibu Nyai, selaku pimpinan

Pondok Pesantren al-Amien Mersi Purwokerto Wetan yang telah memberikan

waktu untuk memberi arahan dan informasi atas penelitian yang penulis lakukan.

Tak lupa pula penulis haturkan terima kasih kepada bapak Anas penganut dari

Tarekat syadziliyah yang telah merekomendasikan dan yang telah menemani dan

memberi informasi.

Terima kasih kepada Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan. MA, selaku

pembimbing yang sangat sabar memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi

ini, Dekan Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Zainun Kamal. MA, Ketua Jurusan

Akidah Filsafat Drs. Agus Darmaji. M.Fils, Sekretaris Jurusan Akidah Filsafat

Dra. Tien Rohmatin, MA.

Terima kasih kepada segenap civitas akademik Fakultas Ushuluddin yang

telah membantu kelancaran administrasi. Kepada pimpinan dan staf perpustakaan

Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

(7)

iii

Selanjutnya, terimakasih kepada kawan-kawan seperjuangan, mba saya

Uyun yang sudah meninggalkan saya wisuda duluan, Ayu yang semangat ya

kuliahnya, Ipeh yang selalu senang mendengar cerita-cerita saya, Nanang, Amar,

Faiz, Makin, Anwar, Muis, Riza, Rian, Acan, Verli, Diki, Hambali, Khadoet,

Deul, Gangsar, Hamzah dan Tanti. Tak lupa penulis ucapkan salam kepada

senior-senior Ushuluddin.

Terima kasih kepada semua seluruh pihak yang telah membantu penulis,

namun tidak sempat di sebutkan satu persatu namanya. Semoga Allah SWT.

membalas dengan kebaikan kalian. Akhirnya, penulis menyelesaikan skripsi ini,

semoga bermanfaat dunia akhirat.

(8)

iv

skripsi ini berdasarkan pada pedoman Penulisan Karya Ilmiah ( Skripsi, Tesis, dan disertasi) “ yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Develoment and Assurance ) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ع ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

(9)

v

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a Fathah

i Kasrah

u Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ai a dan i

au a dan u

Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab di lambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas

î i dengan topi di atas

و û u dengan topi di atas

Kata sandang

(10)

vi

TRANSLITERASI……….……….. iv

DAFTAR ISI……….……….... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…….……….………... 1

B. Tinjauan Pustaka ...…………... 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah…..………... 8

D. Tujuan Penelitian……….………... 8

E. Metode Penelitian……….……….. 9

F. Sistematika Penulisan………..………... 9

BAB II :ABÛ HASAN AL-SYÂDZILÎ DAN TAREKAT SYÂDZILIYAH A. Biografi Abû Hasan Al-Syâdzilî……….. 11

1. Latar belakang danPendidikan Abû Hasan Al-Syâdzilî…..… 11

2. Karya-karya Abû Hasan Al-Syâdzilî... 14

3. Kepribadian Abû Hasan Al-Syâdzilî……… 15

4. Pemikiran Abû Hasan Al-Syâdzilî………... 17

B. Tarekat Syâdziliyah dan Keberadaannya………... 18

C. Pengikut Tarekat Syâdziliyah………... 23

BAB III : HIZB TAREKAT SYÂDZILIYAH A. Pengertian Hizb……… 28

(11)

vii

B. Saran-Saran……….. 77

DAFTAR PUSTAKA... 78

(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Tarekat adalah sebuah kata yang berasal dari kata thariqah yang berarti

jalan. Kata al-thariqah dapat dijumpai pada al-Qur’an surah al-Jin ayat 16:

“Dan seandainya mereka menempuh jalan lurus mengikuti jalan itu, niscaya Aku akan memberi mereka minum dengan air yang paling segar.”

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi

saw. menyuruh umatnya untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para

sahabatnya. Sunnah juga berarti jalan, seperti halnya thariqah yang berarti jalan.

Kendati sama-sama bermakna jalan, istilah tarekat dapat diterapkan pada berbagai

kelompok orang yang mengikuti mazhab pemikiran yang dikembangkan oleh

seorang alim atau Syaikh tertentu,1 sedangkan istilah sunnah tidak demikian

halnya.

Pada abad ketujuh Hijriyah di dunia Islam, baik di kawasan sebelah Timur

maupun Barat, tumbuh berbagai tarekat sufi yang bergerak secara aktif. Di dunia

Islam belahan Barat muncul Tarekat Syâdziliyah yang kemudian berkembang ke

Mesir dan negeri-negeri dunia Islam belahan Timur dan terus menyebar ke

1Syekh Muhammad Hisyam Kabbani,

(13)

berbagai kawasan Islam hingga saat ini.2 Tarekat Syâdziliyah adalah salah satu

tarekat yang diakui kebenarannya (al-mu’tabarah).

Tarekat Syâdziliyah dinisbatkan kepada Abû Hasan al-Syâdzilî (w. 656

H/1258 M) sebagai pendirinya, Tarekat ini cukup dikenal dengan hizbnya.3 Ia

adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf searah dengan

al-Ghazâlî, yakni pelaksanaan tasawuf yang tetap memegang teguh syariat yang

berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, mengarah pada asketisme, pelurusan dan

penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pembinaan moral (akhlaq). Tarekat ini

dinilai oleh kebanyakan kalangan bersifat moderat dan menawarkan konsep zuhud

(al-zuhd) yang lebih moderat.4

Al-Syâdzilî tidak menganjurkan pada murid-muridnya untuk

meninggalkan profesi dunia mereka. Mereka tidak harus hidup menyendiri dan

bahkan dianjurkan untuk merealisasikan ajaran tarekat dalam masyarakat di

tengah-tengah kesibukan mereka. Bertarekat itu tidak berarti menghalangi

upaya-upaya modernisasi. Konon, tarekat ini banyak digemari oleh kalangan

usahawan-usahawan berduit dan berdasi, yang merasa pas dengan ajarannya dan tertarik

menjadi pengikut Tarekat Syâdziliyah.

Al-Syâdzilî senantiasa mengajarkan kepada pengikutnya agar

menggunakan nikmat Allah secukupnya baik dalam hal pakaian, makanan,

kendaraan, yang layak dalam kehidupan yang sederhana. Hal demikian akan

menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT dan mengenal rahmat Ilahi.

2Abu al-Wafa al-Taftazani,

Sufi dari Zaman ke Zaman. Penerjemah Ahmad Rofi’

„Utsmani (Bandung: Pustaka, 1997), h. 238.

3Sri Mulyati dan Wiwi Siti Sajaroh,

Laporan Penelitian Kolektif: Tasawuf Pasca Ibn Arabi (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN, 2006), h 1.

(14)

Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur

dan berlebih-lebihan memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezhaliman.

Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT, sebaik-baiknya sesuai

petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Al-Syâdzilî berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan

umat Islam saat itu, seperti apa yang dirisaukan oleh para modernis-rasionalis

sekarang. Dia berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami

oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif

yang banyak dialami para sâlik. Dia menawarkan tasawuf yang ideal dalam arti

bahwa di samping berupaya mencapai makrifat, juga harus beraktivitas dalam

realitas sosial di „bumi’ ini. Seperti yang dikatakan al-Syâdzilî bahwa seorang sufi

tidak hanya beribadah tetapi juga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan

hidup jasmaniahnya.5

Di samping itu tarekat ini mempunyai lima prinsip dasar yang harus

menjadi ciri sikap dan tingkah laku setiap pengikutnya. Lima prinsip ini, yakni:

(1) bertaqwa kepada Allah, baik dalam keadaan sunyi maupun dalam keadaan

ramai. (2) mengikuti sunnah Rasulullah (3) berkhalwat (4) ridha kepada Allah (5)

senantiasa mengingat Allah baik dalam keadaan lapang maupun sulit.6

Ajaran al-Syâdzilî ini kemudian diteruskan oleh muridnya Abû Άbbâs al

-Mursî (w. 686 H.), kemudian diteruskan oleh Ibn Athâillâh al-Iskandari (w. 709

H.). Mereka ini dalam perkembangannya dipandang sebagai pioner Tarekat

5Ardani, “Tarekat Syadziliyah terkenal dengan Variasi Hizb-nya,” dalam Sri Mulyati, ed.,

Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h. 73-75.

6Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (T.tp.: AMZAH,

(15)

Syâdziliyah, sehingga berkembang pesat di beberapa wilayah seperti Tunisia,

Mesir, Aljazair, Sudan, Syria dan Indonesia khususnya di Jawa.7 Tarekat

Syâdziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidûn,

yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur

di Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.

Al-Syâdzilî tidak meninggalkan karya berupa buku maupun risalah

tasawuf, tetapi menyusun rangkaian doa yang berasal dari pengalaman mistis

(hizb) yang memuat formula ayat al-Qur’an dan juga inspirasi khas tasawuf.

Kumpulan doa ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Dunia Islam.

Rangkaian doa ini memiliki nama yang diberikan olehnya sendiri (Abû Hasan

Al-Syâdzilî) ataupun oleh orang lain, seperti hizb al-bahr, hizb al-nashr, hizb al-barr

atau al-kabir dan lain-lain. Saat ini dapat dijumpai bahwa di banyak pesantren di

Indonesia diajarkan hizb al-Syâdzilî itu. Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat

makbul dan Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî mengakui bahwa dirinya menerima

langsung dari lisan Nabi dalam penglihatan spiritual.8

Menurut Tarekat Syâdziliyah, daya spiritual hizb itu bukan datang dari jin,

tetapi murni dari Allah. Apabila terjadi kasus seseorang yang mengamalkan hizb

ini, ternyata jin yang turut campur, maka yang perlu diluruskan adalah niat

seseorang mengamalkan hizb tersebut. Amal sebaik apapun jika niat dalam

hatinya jahat maka niat jahatnya itulah yang akan menjadi kenyataan dan hasilnya

7Hasan Muarif Ambari, et.al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

1996), h. 193.

8Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” dalam Sayyed

(16)

hanya akan berhenti pada niatnya itu, yang biasanya tidak ikhlas karena Allah.

Karena itulah, jika seseorang akan memasuki suatu tarekat, yang paling penting

adalah menata dan meluruskan niat dalam hatinya semata-mata hanya karena

Allah.

Hizb inilah ciri utama Tarekat Syâdziliyah yang dapat dirasakan hingga

saat ini dan terutama hizb al-bahr yang dikenal sangat memberi pengaruh yang

kuat bagi pengamalnya. Hizb yang diajarkan Tarekat Syâdziliyah jumlahnya

cukup banyak dan setiap murid tidak menerima hizb yang sama karena

disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruhaniah murid sendiri dan kebijaksanaan

mursyid. Hizb-hizb tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali

telah mendapat izin atau ijazah dari mursyid atau seseorang murid yang ditunjuk

mursyid untuk mengijazahkannya.9

Penulis sangat tertarik terhadap Tarekat Syâdziliyah karena banyaknya

penganut atau pengikut dari Tarekat Syâdziliyah. Dalam penulisan ini, penulis

ingin membahas tentang tokoh Tarekat Syâdziliyah dan ajarannya mengenai

hizbnya. Meskipun sudah ada yang membahas tentang Tarekat Syâdziliyah,

namun menurut penulis pembahasannya lebih kepada seputar perkembangan sosio

kultural para pengikut Tarekat Syâdziliyah, terutama dalam aspek perkembangan,

dan ajarannya. Walaupun dalam ajarannya sudah diteliti, tetapi tidak secara

terperinci dalam membahas ajaran hizb Tarekat Syâdziliyah. Oleh karena itu

dalam skripsi ini penulis lebih menitik beratkan pada aspek Tarekat Syâdziliyah

dan hizbnya. Inilah inti dari permasalahan yang akan dibahas. Hal ini sangat

9Heri MS Faridy, dkk., ed., Ensiklopedi Tasawuf, jilid III (Bandung: Angkasa, 2008), h.

(17)

menarik untuk dikaji dan dipahami lebih dalam. Karena itu, penulis ingin

membahas hal ini lewat sebuah tulisan ilmiah yang berjudul “Tarekat Syâdziliyah

dan Hizbnya”.

B. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan hasil tinjauan penulis terhadap pustaka yang ada terdapat

beberapa karya tulis dalam bentuk buku, skripsi, tesis yang pernah penulis baca,

berkaitan dengan pembahasan skripsi ini:

Pertama, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili: Kepribadian dan Pemikiran

karya Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf. Buku ini selain

menguraikan tentang kepribadian dan pemikiran Abû Hasan al-Syâdzilî, juga

membahas hizb-hizb Abû Hasan al-Syâdzilî beserta terjemahan hizb-hizb, tetapi

tidak semua hizb-hizb Abû Hasan al-Syâdzilî dibahas di dalam buku ini.

Dikatakan oleh Abû Hasan al-Syâdzilî: “Barangsiapa yang membaca hizb ini,

maka dia akan memperoleh segala apa yang telah kami peroleh dan terhindar dari

bahaya yang Allah hindarkan dari kami”.

Kedua, kitab Dalâil al-Khairât má a al-Ahzâb yang di karang oleh Abi

́

Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazulî. Kitab itu berisi petunjuk tentang

bacaan shalawat atas Nabi Muhammad saw. beserta bacaan hizb yang diajarkan

oleh pendahulunya, Abû Hasan al-Syâdzilî. Hizb yang terkenal adalah hizb yang

di susun oleh Abû Hasan al-Syâdzilî, pendiri Tarekat Syâdziliyah, antara lain hizb

(18)

Ketiga, Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah di Kabupaten Bekasi”, skripsi yang ditulis oleh Muhammad Juni, menginformasikan

bahwa perkembangan Tarekat Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi sangat pesat sejak

periode KH. Mahfudz Syafi’i (1993-2003) sampai sekarang, yang mempunyai

bai’at mutlaq dari KH. Mustaqim bin Husain Tulungagung Jawa Timur. Tarekat

Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi diajarkan degan konsep yang mudah dipahami,

sesuai zaman sekarang yang serba modern dan sesuai kebutuhan murid-murid

pada saat itu. Tarekat Syâdziliyah berdiri di Kabupaten Bekasi, karena adanya

murid yang membutuhkan tempat untuk menjalankan riyadhah di dekat kediaman

Kyai dan dapat bimbingan langsung dari Kyai dan sebagai tempat untuk

menjalankan acara ke tarekatan, seperti pengajian, ritual khususiyah dan tempat

untuk menjalankan wiridan.

Keempat, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajarannya:

Studi pada Pondok Peta di Tulungagung”, tesis yang ditulis oleh Muhammad

Zaini, menginformasikan bahwa perkembangan Tarekat Syâdziliyah di Pondok

PETA Tulungagung sangat baik; secara kuantitas murid atau pengikutnya sangat

banyak, yang diperkirakan jumlah pengikutnya minimal adalah 50.000 orang

sampai jutaan orang. Tarekat Syâdziliyah yang dikembangkan di Pondok PETA

Tulungagung berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan, tepatnya dibawa

oleh Syaikh Άbdul Razzâq ibn Άbdullâh al-Termasî. Ajaran-ajaran Tarekat

Syâdziliyah di Tulungagung meliputi istighfar, shalawat Nabi saw, wasilah atau

(19)

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Perkembangan pengikut Tarekat Syâdziliyah yang begitu pesat, membuat

peneliti bermaksud mengetahui lebih mendalam Tarekat Syâdziliyah dan hizbnya.

Penulis menfokuskan kajian dalam penulisan ini hanya terkait dengan

Tarekat Syâdziliyah, khususnya berkenaan dengan Tarekat Syâdziliyah dan ajaran

mengenai hizb sebagai pembatasan masalah.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, terdapat perumusan masalah

dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana munculnya Tarekat Syâdziliyah dan sosok pendirinya?

2. Apa pengaruh ajaran hizb bagi pengikutnya yang mengamalkan?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai media informasi dan media belajar serta

untuk mengetahui lebih dalam Tarekat Syâdziliyah dan ajarannya mengenai hizb,

agar tidak ada kesalahfahaman persepsi tentang Tarekat Syâdziliyah.

Adapun tujuan penulisan skripsi ini ialah:

1. Mengetahui lebih jelas tentang biografi Abû Hasan al-Syâdzilî.

2. Mengetahui keberadaan Tarekat Syâdziliyah dan pengikutnya.

3. Memperoleh pemahaman mengenai hizb-hizb Tarekat Syâdziliyah.

4. Sebagai karya akademik, penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi

persyaratan mencapai gelar Sarjana pada Fakultas Ushuluddin, Program

(20)

E. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, untuk mendapatkan data yang diperlukan,

penulis melakukan Studi Pustaka (Library Research), yakni menggunakan

sumber-sumber pustaka sebagai rujukan utama dalam mengumpulkan informasi.

Penulis mencari dan mengumpulkan buku-buku, tulisan-tulisan dan dokumen

elektronik dari internet serta beberapa sumber yang berkaitan dengan Tarekat

Syâdziliyah dan hizbnya.

Adapun pembahasannya, dalam skripsi ini adalah menggunakan metode

deskripsi analisis, yaitu pertama menggambarkan masalah, berikutnya meneliti

tulisan-tulisan kepustakaan yang berkaitan dengan pembahasan Tarekat

Syâdziliyah dan hizbnya dan kemudian melakukan analisis.

Teknik penulisan dalam skripsi ini sesuai dengan buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh

CeQDA (Center for Quality Develoment and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta 2007.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini, penulis bagi ke dalam empat bab, masing-masing bab terdiri

atas beberapa sub bab:

Bab I, pendahuluan, dimulai dengan latar belakang masalah, tinjauan

pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian

dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab II, membahas Tarekat

(21)

latar belakang dan pendidikan Abû Hasan al-Syâdzilî, karya-karya Abû Hasan

Al-Syâdzilî, kepribadian Abû Hasan Syâdzilî dan pemikiran Abû Hasan

al-Syâdzilî. Kedua, Tarekat Syâdziliyah dan keberadaannya. Ketiga, pengikut

Tarekat Syâdziliyah.

Bab III, merupakan bab inti, memaparkan pokok bahasan berkenaan hizb

Tarekat Syâdziliyah, seperti pengertian hizb, hizb-hizb Tarekat Syâdziliyah,

pengaruh hizb bagi yang mengamalkannya. Bab IV, menyimpulkan semua isi

pembahasan yang menjadi fokus kajian dari penelitian ini dan saran-saran yang

(22)

BAB II

TAREKAT SYÂDZILIYAH

A. Biografi Abû Hasan Al-Syâdzilî

1. Latar Belakang dan Pendidikan Abû Hasan Al-Syâdzilî

Nama lengkapnya Άli bin Abdullah bin Άbd. Al-Jabbâr Abû Hasan

al-Syâdzilî. Sebutan Abû Hasan merupakan nama kunyah (gelar kemuliaan) bagi

beliau. Abû Hasan Syâdzilî kemudian lebih terkenal dengan panggilan

al-Syâdzilî.1 Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis

keturunan Hasan bin Άlî bin Abi Thâlib, cucu Nabi Muhammad SAW. Silsilah a

l-Syâdzilî dari Hasan bin Άlî bin Abi Thâlib, kemudian diteruskan kepada Άlî bin

Abi Thâlib yang menikah dengan Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad.

Oleh karenanya tarekat ini mempunyai silsilah sampai kepada Nabi Muhammad.2

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara Ibn Athâillâh dengan

al-Jami’, mengenai nasab al-Syâdzilî. Ibn Athâillâh menasabkan kepada orang-orang

terhormat dan menyatukan nasabnya kepada al-Hasan bin Άlî bin Abi Thâlib.

Namun al-Jami’ menasabkan al-Syâdzilî kepada al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Al-Syâdzilî dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta, di utara Maroko pada tahun

573 H. Wafat pada 656H/1258M, di Humaithra,3dekat pantai Laut Merah, dalam

perjalanan pulang dari ibadah haji. Adapun mengenai tahun kelahiran al-Syâdzilî,

1Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili:

Kepribadian dan Pemikiran (Jawa Tengah: Al-Anwar, 2002), h. 1.

2Harun Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 902. 3Humaithra adalah suatu daerah yang terletak antara Port Said dan Padang Izab, (Mesir).

Menurut keterangan air di tempat itu rasanya asin, tetapi sejak Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî wafat dan dimakamkan di sana airnya berubah menjadi tawar. Lihat Abdullah Zain, Tasawuf dan Zikir, h. 153.

(23)

sebenarnya masih belum ada kesepakatan. Beberapa penulis berbeda pendapat

antara lain sebagai berikut: Sirâdj al-Din Abû Hafsh menyebut tahun kelahirannya

pada 591 H/1069 M, Ibn Sabbâgh menyebut tahun kelahirannya pada 583 H/1187

M, dan J. Spencer Trimingham mencatat tahun kelahiran al-Syâdzilî pada 593

H/1196 M.4

Di tanah kelahirannya itulah, semaca kecil beliau belajar dan mempelajari

berbagai ilmu pengetahuan agama, sebelum akhirnya beliau mengembara ke

berbagai daerah untuk menimba ilmu pengetahuan yang kelak menghantarkan

maqam (derajat) beliau menjadi seorang waliyyun min auliyâ’illâh (termasuk

orang-orang yang dicintai Allah), bahkan mencapai derajat quthbil ghouts

(pemimpin para wali yang dapat dimintai pertolongan).5

Ilmu yang diperoleh bermula dari orang tuanya, kemudian al-Syâdzilî

melanjutkan pendidikannya pada seorang ulama besar yaitu Άbd. Al-Salâm Ibn

Masyîsy (w. 628 H/1228 M) dan Abû Abdillah M Ibn Kharazim (w. 633 H/1236

M) yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu terutama dalam hal spiritual. Kedua

murid besarnya adalah murid dari Abû Madyan Syu’aib Ibn al-Husein

(1116-1198)6, lahir di Seville. Beliau adalah ulama besar di Maghribi yang telah

mempelajari dan menghafal kitab Ihyâ’ „Ulûm al-Dîn karya al-Ghazâlî dan juga

murid dari Syaikh Άbd. al-Qâdir al-Jîlânî (w. 561 H/1166 M), sehingga tidak

mengherankan jika al-Syâdzilî pun terpengaruh oleh ajaran-ajaran Syaikh Άbd. al

4Ardani, “Tarekat Syadziliyah terkenal dengan Variasi Hizb-nya,” dalam Sri Mulyati, ed.,

Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h. 57-58.

5Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, h. 1-2.

6Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas). Penerjemah Gufron A. Mas’adi (Jakarta: PT

(24)

Qâdir al-Jîlânî. Di antara guru-guru al-Syâdzilî, Ibn Masyisy-lah yang sangat

mempengaruhi perjalanan spiritual dan kehidupannya.

Adapun kitab-kitab tasawuf yang pernah dikaji oleh al-Syâdzilî dan

dikemudian hari ia ajarkan kepada muridnya, antara lain: Ihyâ’ „Ulûm al-Dîn

karya al-Ghazâlî, Qût al-Qulûb karya Abû Thâlib al-Makkî, Khatm al-Auliyâ’

karya al-Hâkim al-Tirmidzi, al-Mawâqif wa al-Mukhâthabah karya Muhammad

Άbd al-Abbâr an-Nafri, al-Syifa’ karya Qadhli „Iyâdh, al-Risâlah karya

al-Qusyairî dan Muharrar al-Wajiz karya Ibn Athiah.7

Menurut Abdul Halim Mahmud (w. 1978 M),8 al-Syâdzilî mendapatkan

berbagai ilmu yang dia peroleh dari gurunya maupun belajar secara autodidak.

Al-Syâdzilî terkenal sebagai ahli dalam al-Hadis, penghafal al-Qur’an, ahli fiqih,

teologi dan tidak kalah penting adalah ahli dalam ilmu tasawuf. Hal inilah yang

memberi pengaruh pada perkembangan pemikirannya dan menjadi seorang guru

dan sufi yang mempunyai karomah. Pendapat Abdul Halim, menurut Ardani,

agaknya masuk akal dan bisa diterima. Tidak mungkin tanpa pengetahuannya

tentang syariat, al-Syâdzilî berpendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara syariat

dan tasawuf, antara fiqh dengan haqiqah atau antara eksoterik dengan esoteris.

Al-Syâdzilî menegaskan, “jika engkau ingin belajar tasawuf maka pelajarilah syariat

terlebih dahulu”, sehingga mereka yang ingin masuk Tarekat Syâdziliyah

diharuskan mempelajari dan memahami ajaran-ajaran syariat dasar.

Namun demikian, bisa jadi pendapatnya yang moderat dalam masalah

hubungan syariat dengan tasawuf ini, diperoleh juga dari guru sufinya, karena

7Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 59-60.

8Dia adalah mantan Rektor Universitas al-Azhar yang pernah menjadi mursyid Tarekat

(25)

menurut data yang diberikan oleh Trimingham bahwa Abû Madyan dan muridnya

Άbd. Al-Salâm Ibn Masyîsy adalah sufi yang kokoh mengenai syariat.9

Ketika masih berusia muda, al-Syâdzilî meninggalkan kota kelahirannya

menuju Tunisia. Beberapa waktu kemudian, dia menjadi seorang teolog beraliran

Sunni yang sangat menentang Mu’tazilah. Dia sangat menentang sistem

pemikiran Mu’tazilah yang sangat menghargai akal. Sedangkan dalam fikih, para

anggota Syâdziliyah awal mengikuti mazhab Maliki. Hal ini bukan hanya karena

al-Syâdzilî sendiri bermazhab Maliki, tetapi Mazhab ini sangat dominan di daerah

Maghribi (Spanyol, Maroko, Tunisia).10 Ketika penyebaran Tarekat Syâdziliyah,

berpindah ke Alexandria, Mesir,11 di daerah ini juga mayoritas penduduknya

berpaham Maliki.

2. Karya-karya Abû Hasan Al-Syâdzilî

Dalam kehidupannya al-Syâdzilî tidak menulis ajaran-ajarannya dalam

sebuah karya berupa buku maupun risalah tasawuf, begitu juga muridnya, Abû

Άbbâs al-Mursî; di antara sebab-sebabnya adalah karena kesibukannya melakukan

pengajaran-pengajaran terhadap murid-muridnya yang sangat banyak. Al-Syâdzilî

berkata: Kitabku adalah murid-muridku, merekalah yang menyebarkan ilmu dan

9Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 60-61.

10Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” dalam Seyyed

Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Penerjemah Tim Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 44-47.

(26)

tarekatku.12 Ajaran-ajaran al-Syâdzilî dapat diketahui melalui risalah tulisan Ibn

Athâillâh al-Iskandari, sehingga khazanah Tarekat Syâdziliyah tetap terpelihara.13

Meskipun begitu, al-Syâdzilî menyusun rangkaian doa yang berasal dari

pengalaman mistis (hizb) yang memuat formula ayat al-Qur’an dan juga inspirasi

khas tasawuf. Kumpulan doa ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Dunia

Islam. Sejak saat itu, karya beliau menjadi rangkaian doa yang sangat luas

pemakaiannya dalam Dunia Islam dan dianggap memiliki keberkatan khusus.

Rangkaian doa ini memiliki nama yang diberikan olehnya sendiri (Abû Hasan

Al-Syâdzilî) ataupun oleh orang lain, seperti hizb al-bahr, hizb al-nashr, hizb al-barr

atau al-kabir dan lain-lain. Saat ini dapat dijumpai bahwa di banyak pesantren di

Indonesia diajarkan hizb al-Syâdzilî itu. Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat

makbul dan Syaikh Abû Hasan Al-Syâdzilî mengakui bahwa dirinya menerima

langsung dari lisan Nabi dalam penglihatan spiritual.14

3. Kepribadian Abû Hasan Al-Syâdzilî

Di antara para tokoh sufi, Abû Hasan al-Syâdzilî adalah seorang yang

mempunyai perawakan ideal, warna kulitnya sawo matang, tinggi badannya,

jari-jarinya panjang sebagaimana orang Hijaz. Fasih lisannya dan manis tutur katanya.

Ia selalu berpakaian mewah saat ia berpergian kemana-mana, lebih-lebih ketika ia

pergi ke masjid. Tempat-tempat yang lain (selain tempat kotor) baginya sama

12Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 73.

13Data yang ada seringkali berdasarkan atas riwayat, baik dari muridnya, koleganya atau

anaknya sendiri. Meskipun begitu, data tersebut tidak bisa dikatakan tidak valid karena dalam tradisi kesufian, periwayatan dan kesaksian menempati bagian penting.

(27)

seperti masjid.15 Al-Syâdzilî agaknya seorang tokoh sufi yang bercorak modern,

artinya „tidak terlalu’ meninggalkan dunia.16 Ia hidup sebagaimana layaknya

manusia modern. Bagi al-Syâdzilî, bila seorang memanfaatkan kebahagiaan

dunianya, ia adalah orang yang bersyukur atas ni’mat yang diberikan oleh Allah

SWT. Hal ini juga sesuai dengan ajaran Islam yang mengatakan berfikirlah

dengan ciptaan-Nya dan jangan memikirkan zat-Nya. Menurutnya, orang yang

memanfaatkan kebahagiaan di dunia akan selalu mencintai Allah SWT. Sebab

dengan memikirkan ciptaan-Nya ia akan merasakan betapa agungnya Allah SWT.

Al-Ustadz Syekh Άli Salim Άmmar mengatakan: “al-Syâdzilî suka

mengenakan pakaian yang paling bagus dan paling mewah, makan makanan yang

lezat dan minum minuman yang enak, serta memiliki kuda yang bagus dan cepat.

Beliau juga penunggang kuda yang hebat, seorang ilmuwan yang handal, seorang

pejuang di medan peperangan, seorang petani yang membajak sawah, menanam

dan memanennya sendiri.” Demikian pula al-Syâdzilî juga terkenal sebagai hamba

Allah yang selalu beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, sekaligus

sebagai sosok seorang Muslim yang dicintai oleh Allah SWT.

Ibn Athâillâh al-Iskandari pernah mengatakan dan ini menjadi penjabaran

salah satu ajaran Tarekat Syâdziliyah, bahwa barangsiapa mengenakan pakaian,

15Hadits Rasulullah saw. “Aku jadikan bumi laksana Masjid.” Yakni bahwa bumi di mana

tempat manusia berada semuanya masjid. Abû Hasan al-Syâdzilî selalu berpenampilan rapih dan bersih di manapun ia berada. Lihat Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, h. 17-18.

16Abû Hasan al-Syâdzilî pernah berkata, ketika ia menasihati pengikutnya, “janganlah

(28)

makan makanan yang enak dan minum minuman yang lezat selagi disertai syukur

kepada Allah, maka itu tidak sesuatu yang dilarang.17

4. Pemikiran Abû Hasan Al-Syâdzilî

Al-Syâdzilî, seorang tokoh sufi yang berasal dari Maghribi dan kemudian

hijrah ke Mesir, ia sangat menekankan ajaran tasawuf yang moderat.

Ajaran-ajaran tasawufnya sifatnya seimbang, diarahkan untuk mendekatkan diri kepada

Allah sekaligus kepada realitas masyarakat. Bahwa seorang salik tidak cukup

mendekat kepada Allah saja, tapi juga harus berbakti kepada masyarakat.

Menurutnya, sufi bukanlah seorang yang menghindar dari masyarakat, karena

sebenarnya beraktivitas sosial untuk kemaslahatan ummat adalah bagian

terpenting dari hasil kontemplasi seorang sufi.

Begitu pula, ajaran-ajarannya juga selalu berpegang teguh pada al-Qur’an

dan Sunnah, sebagai sumber tertinggi. Dengan demikian, ajaran tasawufnya dapat

dikatakan tidak menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW. Karena bertasawuf

adalah upaya melatih dan memperbaiki diri agar sesuai dengan aturan-aturan

Allah SWT. Tasawuf merupakan latihan-latihan jiwa dalam rangka beribadah dan

menempatkannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Ilahi.18

Al-Syâdzilî termasuk juga sufi yang berpandangan bahwa dunia itu hina.

Tetapi dengan catatan, dunia yang bisa melalaikan manusia pada tuhannya.

Menurutnya, tidak ada larangan bagi seseorang menjadi kaya, milliuner, asalkan

hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Sesungguhnya yang

menjadikan seorang hina adalah karena ketergantungannya pada dunia. Seseorang

(29)

yang memiliki banyak harta dan hatinya tidak tergantung padanya maka dia bisa

disebut zahid. Sebaliknya, meskipun tidak mempunyai harta, tetapi jika perhatian

terfokus pada harta, orang tersebut tidak bisa disebut zahid.

Zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan. Karena sifatnya

pekerjaan hati maka tidak mesti sifat zuhud itu diukur dari kepemilikan harta.

Seorang zahid bisa jadi mempunyai banyak harta. Atas pertimbangan itu dan demi

memakmurkan dunia, al-Syâdzilî mendorong para salik agar tetap mencari harta

kekayaan, namun jangan sampai melalaikan Tuhan.19 Pemahaman al-Syâdzilî ini

kemudian terimplementasikan, seperti dalam tarekat yang dipimpinnya,

al-Syâdzilî yang sebagaimana ungkap Annemari Schimmel, mempunyai pendekatan

pragmatis untuk kenyamanan duniawi.20

Memang menurut al-Syâdzilî, bertasawuf itu tidak menjadikan sang salik

terasing dari dirinya sendiri maupun masyarakat. Dengan demikian, konsep

tasawuf yang diajukannya bisa menolak sikap apatis sebagian kalangan

modernisme terhadap tasawuf. Menurutnya, tasawuf bukan anti kemajuan, tapi

sebaliknya, mendukung perubahan kearah tatanan masyarakat yang lebih baik.

B. Tarekat Syâdziliyah dan Keberadaannya

Tarekat Syâdziliyah adalah salah satu tarekat yang besar di samping

Tarekat Qadiriyah, Rifa’iyah, Naqsyabandiyah dan Suhrawardiyah. Tarekat

Syâdziliyah adalah tarekat yang paling layak disejajarkan dengan Tarekat

19Saepudin, “Pemikiran Tasawuf Abu Hasan Al-Syadzili (1196-1258M)”, (Tesis Pasca

Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 93-95.

20Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Penerjemah Sapardi Djoko

(30)

Qadiriyah dalam hal penyebarannya.21 Nama Tarekat Syâdziliyah dinisbatkan

kepada Abû Hasan al-Syâdzilî (w.656 H/1258 M) sebagai pendirinya. Ia adalah

keturunan Nabi Muhammad SAW. melalui Sayidina Hasan bin Alî bin Abî

Thâlib. Tarekat Syâdziliyah adalah salah satu tarekat yang diakui kebenarannya

(al-mu’tabarah), karena silsilah al-Syâdzilî adalah bersambung (muttasil) sampai

Rasulullah SAW.22

Tarekat Syâdziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti

al-Muwahhidûn, yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang di

Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang

menarik, sebagaimana dicatat Victor Danner, peneliti Tarekat Syâdziliyah,

meskipun terekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal

perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah

Maghribi dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, perannya

sejak abad ke-7H/13M sangatlah jelas. Banyak tokoh sufi yang sezaman dengan

al-Syâdzilî menetap di Barat, misalnya Abû Madyan Syu’aib al-Maghribi (w. 594

H/1197M), Ibn al-Άrabi (w. 638H/1240M), Άbd. Al-Salâm ibn Masyîsy (w.

625H/1228M), Ibn Sab’in (w. 669H/1271M) dan al-Syusyturî (w. 688H/1270M).

Walaupun dasar-dasar tasawuf Maghribi itu berasal dari Timur sebagai asal

muasal Islam itu sendiri, namun kecerdasan Muslim daerah Barat, gaya hidupnya,

seni kaligrafinya, arsitektur masjidnya, juga mazhab Malikinya, telah ada sejak

generasi Islam awal. Ciri umum ini mendapat penguatan bersamaan dengan

berdirinya dinasti Abbasiyah pada abad ke-2H/8M dan mulai mengembangkan

21Martin Lings, Membedah Tasawuf. Penerjemah Bambang Herawan (Bandung: Mizan,

1979), h. 112.

(31)

kebiasaan sendiri. Inilah atmosfir yang melatarbelakangi berdirinya Tarekat

Syâdziliyah pada abad ke-7H/13M yang mengembangkan kebebasan berfikir,

kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban dan perekonomian.23

Daerah Maghribi telah mengembangkan suatu peradaban Islam yang luar

biasa. Bahkan setelah penaklukan kembali Spanyol oleh pasukan Kristen pada

abad ke-9 H/15 M yang mengakhiri kejayaan Islam di sana, Afrika Utara tetap

menjadi benteng pertengahan spiritualitas sufi, khususnya jika disadari bahwa

sejak zaman itu, daerah Timur Dekat sudah mengalami kemerosotan

berkepanjangan. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa pergerakan Tarekat

Syâdziliyah dari Maghribi ke Timur merupakan sebuah upaya penguatan kembali

semangat tasawuf di daerah Timur, khususnya di wilayah Arab. Ini berarti Tarekat

Syâdziliyah memainkan peranan penting di tengah kemunduran umat Islam.24

Di Maghribi (Maroko), al-Syâdzilî sangat terkenal dan banyak sekali

pengikutnya. Meskipun demikian, tetap saja ada orang yang dengki atas

kehebatannya al-Syâdzilî. Bahkan ada pula yang berani melontarkan

bermacam-macam fitnah kepadanya yang melewati batas, menyakiti beliau, melarang

orang-orang untuk tidak bergaul dengannya. Mereka menuduh al-Syâdzilî seorang-orang

zindik. Bahkan beliau bersama pengikut-pengikutnya diusir keluar dari negeri

Maghribi, karena itu al-Syâdzilî pindah ke Mesir pada 642 H/1244 M dan dari

sinilah berkembang ke seluruh Dunia.25

Para tokoh Syâdziliyah pada masa awal tidak hanya menaruh perhatian

pada pengajaran dan praktik tasawuf tetapi juga terhadap masalah-masalah akidah

(32)

dan hukum Islam. Hal ini karena al-Syâdzilî sangat menekankan pentingnya

pengetahuan agama bagi para pengikutnya. Mereka bermazhab Sunni dan

sekalipun tasawuf sendiri tidak menaruh perhatian pada dogma-dogma teologis,

mereka cenderung untuk memilih mazhab Asy’ariyah dalam bidang ilmu kalam.

Namun, mazhab Asy’ariyah yang mereka anut kemungkinan besar yang sudah

dipengaruhi oleh ajaran-ajaran al-Ghazâlî yang turut memberikan kontribusi pada

mazhab itu dan mengubah watak aslinya. Secara turun temurun mereka mengikuti

aliran Asy’ariyyah. Sekalipun anggota Tarekat Syâdziliyah saat itu menganut

Asy’ariyyah, sama sekali tidak berarti bahwa tasawuf mereka adalah dogmatisme

Asy’ariyyah atau bahwa tarekat ini bersifat dogmatis. Kenyataannya pada masa

berikutnya banyak pengikut Syâdziliyah di daerah lain bermazhab Syafi’i, dan

umumnya mereka mengikuti Asy’ariyyah.

Sedangkan dalam fikih, para anggota Syâdziliyah awal mengikuti mazhab

Maliki. Hal ini bukan hanya karena al-Syâdzilî sendiri bermazhab Maliki, tetapi

Mazhab ini sangat dominan di daerah Maghribi (Spanyol, Maroko, Tunisia).

Ketika penyebaran Tarekat Syâdziliyah, berpindah ke Alexandria, Mesir, di

daerah ini juga mayoritas penduduknya berpaham Maliki.26

Tarekat yang didirikan oleh Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî ini dilandaskan

pada ajaran metafisik dan spiritual tauhid dan tentu saja pada al-Qur’an dan

Sunnah. Tujuan tarekat ini adalah kesadaran ma’rifah kepada Allah yang

mengimplikasikan kebijaksanaan sempurna dan kesucian jiwa pelaku

kontemplasi. Ma’rifah yang diajarkannya ini berdasarkan keyakinan sederhana,

(33)

ketaatan syariat dan formulasi dogmatis dari aqidah yang diajarkan oleh

Asy’ariyah. Sehingga tentu saja bukan ma’rifah dalam pembahasannya memiliki

implikasi kosmologi dalam konteks spiritual, hal ini tidaklah membuatnya

terselimuti oleh kompleksnya konsep filosofis wahdah al-wujûd yang dilansir

oleh Ibn Άrabî, sekalipun al-Syâdzilî selalu membelanya dari para penentang ide

tersebut.27 Tauhid dan dzikir merupakan dua pilar esensial tarekat ini. Yang

pertama berhubungan dengan doktrin sedangkan yang kedua berkaitan dengan

metodologi spiritual.28

Tarekat Syâdziliyah merupakan suatu bentuk reformasi pandangan

spiritual dan religius, bukan dalam arti sebagai gerakan pemurnian dan

anti-kemusyrikan yang sering secara brutal membinasakan institusi Islam eksternal di

bawah bendera “kembali ke jalan para salaf”. Namun, dengan caranya sendiri, ia

mengkritisi formalisme dan literalisme yang berlebih-lebihan dalam Islam

eksoterik saat itu. Mungkin di luar tarekat besar lainnya yang berkembang saat itu,

Syâdziliyah merupakan tarekat yang paling diterima, tidak hanya oleh tasawuf

normatif tetapi juga oleh Islam normatif. Hal ini karena, baiat atau inisiasi yang

dilakukan tarekat ini tidak pernah melanggar apa yang diyakini masyarakat.29

Ajaran al-Syâdzilî kemudian diteruskan murid-muridnya, antara lain Abû

Άbbâs al-Mursî (w. 686 H), kemudian diteruskan Ibn Athâ’illâh al-Iskandari

27Ada kemungkinan bahwa Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî pernah berhubungan dengan

Ibn Άrabî saat melakukan sejumlah perjalaan ke Timur Dekat. Hubungan seperti ini lebih dapat diyakini jika menyangkut murid Ibn Άrabî, yaitu shadr al-Din Al-Qûnawî (w. 673 H/1275 M). Ia berkunjung ke Kairo untuk menemui sejumlah tokoh-tokoh Syâdziliyah. Lebih jauh, anggota tarekat ini merupakan pembela yang kukuh, seperti yang kita saksikan dalam perbenturan hebat antara Ibn Athâ’illâh al-Iskandari dan Ibn Taimiyah sebagai fundamentalis Hanbali yang mengkritiki Ibn Άrabî, di benteng Kairo awal abad ke-8 H/14 M. Lihat Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 48

(34)

(w.709 H), Ibn Abbâd al-Randî (w. 793 H). Pada abad IX H/XV M. dilanjutkan

Sayid Abî Abd Allah Muhammad ibn Sulaymân al-Jazulî. Di dalam

perkembangannya, mereka dipandang sebagai pemimpin-pemimpin Tarekat

Syâdziliyah, sehingga berkembang pesat di beberapa wilayah seperti Tunisia,

Mesir, Aljazair, Maroko, Sudan, Afrika Barat, Afrika Utara, Afrika Selatan,

Mesopotamia, Palestina, Syiria, dan Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan

Jawa Timur.30

Bahwa tetap berlangsungnya dan mapannya Tarekat Syâdziliyah tidak

dapat dilepaskan dari faktor atau konteks sejarahnya. Kondisi Afrika Utara yang

diliputi krisis ekonomi dan politik membuat masyarakat tertarik untuk bergabung

dengan organisasi semacam tarekat ini.31 Faktor lain adalah karena terekat ini

memegang kuat ortodoksi Sunni dan cukup moderat, sehingga bisa terus tumbuh

di lingkungan penguaha Sunni dan menarik minat banyak orang karena ajarannya

yang moderat.

C. Pengikut Tarekat Syâdziliyah

Sepeninggal al-Syâdzilî, kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abû

Άbbâs al-Mursî yang ditunjuk langsung oleh al-Syâdzilî. Al-Mursî termasuk

murid yang memiliki kualitas spiritual paling tinggi dibandingkan ikhwân-ikhwân

yang lainnya. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn „Umar ibn Alî al-Anshari

al-Mursî, terlahir di Murcia, Spanyol pada 616 H/1219 M dan meninggal pada 686

H/1287 M di Alexandria. Seperti gurunya, ia tidak menulis sebuah buku atau

30Heri MS Faridy, Ensiklopedi Tasawuf , h. 1155.

(35)

risalah tasawuf. Namun Abû Άbbâs al-Mursî menyusun hizb-hizb juga seperti

al-Syâdzilî.32

Guru ketiga yang terkemuka dari rantai silsilah tarekat ini, Ibn Athâ’illâh

al-Iskandari, lahir di kota Iskandariyah Mesir, oleh karena itulah nama

belakangnya disebutkan al-Iskandari. Ia adalah seorang ahli hukum Malikiyah

yang terkenal. Mengenai pengaruh al-Syâdzilî kepada Ibn Athâ’illâh, tampaknya

dimungkinkan melalui dua cara, yaitu al-Mursî dan hizb-hizb yang ditinggalkan

al-Syâdzilî. Melalui dua cara inilah Ibn Athâ’illâh mewarisi ajaran spiritual al

-Syâdzilî. Ibn Athâ’illâh al-Iskandari merupakan Syaikh pertama yang menuliskan

ajaran, pesan-pesan, doa-doa al-Syâdzilî dan al-Mursî. Ia pula yang menyusun

berbagai aturan tarekat ini dalam bentuk buku-buku dan karya-karya yang tak

ternilai untuk memahami perspektif Syâdziliyah bagi angkatan sesudahnya.33

Ajaran-ajaran Tarekat Syâdziliyah tidak terlalu berbeda dengan

ajaran-ajaran tarekat lainnya. Yang menjadi perbedaan dengan tarekat-tarekat lainnya

pada masa itu tampaknya adalah sikap tidak menonjolkan diri dalam hal

bertarekat. Tarekat Syâdziliyah tidak memisahkan diri dengan dunia luar,

meskipun al-Syâdzilî dari waktu ke waktu memberikan khutbah bagi masyarakat

umum. Para pengikut di bawahnya sulit dibedakan dengan masyarakat awam.

Satu hal juga yang membedakan Tarekat Syâdziliyah dengan tarekat lain pada

umumnya adalah dalam hal sikap hidup dan sosial bermasyarakat.

Para pengikut tarekat ini tidaklah mengenakan pakaian yang unik seperti

yang terdapat pada tarekat lainnya. Semacam khirqah atau muraqqa’ah yang

32Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 67. 33Abu al-Wafa al-Taftazani,

Sufi dari Zaman ke Zaman. Penerjemah Ahmad Rofi’

(36)

terdapat pada kain wol bertambal dan terbuat dari bahan kasar, yang seringkali

dikenakan sebagai simbol lahiriah oleh kalangan sufi pada umumnya. Mereka

tidak hidup mengembara atau mengasingkan diri sebagai orang fakir. Sebaliknya

mereka berpakaian seperti masyarakat umum, bahkan sebagian dari mereka

seperti halnya pendiri tarekat ini sering mengenakan pakaian yang indah. Inilah

yang mengakibatkan orang sering bertanya, apakah sang Syaikh ini benar-benar

seorang sufi. Pakaian yang mereka pakai merefleksikan strata sosialnya, apakah

seorang guru, pedangang, pegawai atau yang lainnya.34 Pada tingkat ini, dapat di

mengerti kesimpulan yang dibuat Annemari Schimmel, bahwa tarekat ini

mempunyai pendekatan pragmatis untuk kenyamanan duniawi. Seorang faqih

kepada Tuhan tidak harus miskin harta, begitu pula tidak harus menyendiri, malah

dianjurkan untuk merealisasikan ajaran tarekat ini kepada masyarakat di

tengah-tengah kesibukannya.35

Hal-hal lain yang menjadi motivasi pengikut Tarekat Syâdziliyah adalah

bahwa tarekat tersebut adalah salah satu tarekat yang diakui kebenarannya oleh

ulama ahli tasawuf dan sah untuk di ikuti (al-mu’tabarah), tiada pertentangan di

antara mereka karena silsilahnya bersambung sampai kepada Rasullullah SAW.

yang pada intinya adalah bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan

teknik-teknik tertentu sesuai petunjuk mursyid dalam waktu yang relatif tidak

terlalu lama, melalui jalan atau tarekat yang diakui kebenarannya oleh ulama ahli

tasawuf.

(37)

Ajaran-ajaranya tidak begitu memberatkan para pengikutnya. Karena

ajaran-ajarannya yang mudah diterima dan moderat, tak heran jika pengikutnya

pun terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat, ulama, cendekiawan sampai

masyarakat awam; mulai dari masyarakat desa sampai masyarakat urban.36

Tarekat Syâdziliyah yang merupakan manifestasi dari ajaran-ajarannya pun

menyebar di berbagai negara, dengan jumlah pengikut yang sangat banyak.

Karena merupakan manifestasi dari ajaran-ajarannya al-Syâdzilî yang moderat itu,

maka tarekat ini menurut istilah Victor Danner, merupakan suatu bentuk

reformasi pandangan spiritual dan religius. Dalam arti, dengan carannya sendiri,

ia mengkritisi formalisme dan literalisme yang berlebih-lebihan dalam Islam

eksoterik saat itu.37

Annemarie Schimmel dalam pengantar sejarah sufi dan tasawuf karya Abu

Bakar Aceh, mencatat bahwa tarekat ini paling mudah dalam hal ilmu dan amal,

ihwal dan maqam, ihwal dan maqal. Menurut kitab-kitabnya, Tarekat Syâdziliyah

tidak meletakkan syarat-syarat yang berat bagi pengikutnya, kecuali melakukan

ibadah wajib, melakukan ibadah sunnah semampunya, zikir kepada tuhan

sebanyak mungkin minimal 1000 kali sehari semalam, istighfar dan membaca

shalawat nabi.38 Masing-masing bacaan istighfar dan shalawat itu dibaca sebanyak

36 Minat mayoritas masyarakat Islam Indonesia pada tasawuf (tarekat), sebagaimana hasil

penelitian Martin, agaknya telah ditentukan beberapa abad silam. Meskipun ketertarikan mereka disebabkan oleh motivasi-motivasi tertentu, misalnya karena latihan-latihan mistiknya yang diajarkan dan kekuatan spiritualnya yang dapat mereka peroleh atau juga mereka tertarik mengikuti tarekat karena kepribadian seorang pemimpin atau Syaikh tarekat yang kharismatik. Sehingga besar pula pengaruhnya terhadap pengikut tarekat. Lihat Martin Van Bruienessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), h. 16.

37Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 45.

38Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf (Jakarta: Ramadhani, 1984), h.

(38)

100 kali pada setiap habis shalat maghrib dan subuh. Dalam keadaan tertentu,

amalan itu bisa dibaca di waktu lain dengan cara diqadha (diganti). Selain itu juga

bisa dilakukan sambil melakukan kegiatan atau pekerjaan lain, seperti berjalan

atau bekerja.

Bagi pengikut tarekat ini membaca zikir, tidak tergantung pada jumlah

yang dibaca. Walaupun jumlahnya sedikit, bisa jadi diterima oleh Allah,

sementara yang banyak mungkin justru sebaliknya, ditolak. Pandangan ini di

dasarkan pada keyakinan bahwa diterima atau tidaknya suatu amalan merupakan

rahasia Allah. Inilah yang membedakan Tarekat Syâdziliyah dengan tarekat lain.39

Karena kesederhanaan Tarekat Syâdziliyah ini sehingga sangat

mempengaruhi tempat berdirinya dan berkembang secara luas hingga saat ini.40

Banyak pengikutnya, sehingga berkembang pesat di beberapa wilayah seperti

Tunisia, Mesir, Aljazair, Maroko, Sudan, Afrika Barat, Afrika Utara, Afrika

Selatan, Mesopotamia, Palestina, Syiria, dan di Indonesia khususnya di wilayah

Jawa Tengah dan Jawa Timur.

39Mu’tasim Radjasa dan Abdul Munir Mulkha, Bisnis Kaum Sufi (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1998), h. 39.

40Noer Iskandar al-Baisany. Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi (Jakarta: PT RajaGrafindo,

(39)

BAB III

HIZB TAREKAT SYÂDZILIYAH

A. Pengertian Hizb

Hizb berasal dari bahasa Arab, yaitu Hizbun. Artinya partai, kelompok,

golongan, jenis, wirid, bagian, tentara, pasukan atau senjata. Dalam pembahasan

ini arti Hizbun adalah jenis wirid yang bahasa keseharian disebut hizb.1 Hizb

adalah suatu do’a yang cukup panjang, dengan lirik dan bahasa yang indah yang

disusun ulama besar.2 Hizb adalah kumpulan do’a khusus yang sudah sangat

populer di kalangan masyarakat Islam khususnya di pesantren dan tarekat. Hizb

ini biasanya merupakan do’a andalan seorang Syaikh yang biasanya juga

diberikan kepada para muridnya secara ijazah yang jelas (ijâzah sharîh). Do’a ini

diyakini oleh kebanyakan masyarakat Islam atau kaum santri sebagai amalan yang

memiliki daya spiritual yang sangat besar.3

Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat makbul dan Syaikh Abû Hasan

al-Syâdzilî mengakui bahwa dirinya menerima langsung dari lisan Nabi dalam

penglihatan spiritual. Al-Syâdzilî menyusun rangkaian doa yang berasal dari

pengalaman mistis (hizb) yang memuat formula ayat al-Qur’an dan juga inspirasi

khas tasawuf. Kumpulan doa ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Dunia

1Ki UmarJogja, “Definisi Ilmu Hizib,” artikel diakses pada 30 Juni 2011 dari

http://rasasejati.wordpress.com/kajian-ilmu-ghoib/hizib-ratib

2Hizb yang terkenal adalah hizb yang di susun oleh Abû Hasan al-Syâdzilî, pendiri

Tarekat Syâdziliyah antara lain, hizb al-bahr, hizb al-nashr, hizb al-barr (al-kabir) dan lain-lain. Lihat Abi ́Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazulî, Dalâil al-Khairât má a al-Ahzâb, (Surabaya: Nabhan, t.th).

3Heri MS Faridy, dkk., ed., Ensiklopedi Tasawuf, jilid III (Bandung: Angkasa, 2008), h.

1153.

(40)

Islam. Sejak saat itu, karya beliau menjadi rangkaian doa yang sangat luas

pemakaiannya dalam Dunia Islam dan dianggap memiliki keberkatan khusus.4

Hizb adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an dan untaian kalimat zikir,

Asma Allah dan do’a yang disusun untuk diamalkan dengan membacanya atau

diwiridkan (diucapkan berulang-ulang) sebagai salah satu bentuk ibadah untuk

mendekatkan diri kepada Allah SWT (Taqarrub Ilallah).

Jadi kandungan dari sebuah hizb selain berisi pujian mengagungkan Asma Allah

SWT dan shalawat Nabi juga mengandung doa untuk memohon pertolongan

kepada Allah. Hizb juga mengandung banyak rahasia (sirr) yang sulit dipahami

oleh orang awam, seperti kutipan beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang isinya

seperti tidak terkait dengan lafal rangkaian doa sebelumnya. Para ahli hizb

berpendapat bahwa dalam hal ini yang terkait adalah asbabun nuzul-nya.5

B. Hizb-Hizb Tarekat Syâdziliyah

Hizb yang diajarkan Tarekat Syâdziliyah jumlahnya cukup banyak dan

setiap murid tidak menerima hizb yang sama karena disesuaikan dengan situasi

dan kondisi ruhaniah murid sendiri dan kebijaksanaan mursyid. Hizb-hizb tersebut

tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapat izin atau ijazah

dari mursyid atau seseorang murid yang ditunjuk mursyid untuk

mengijazahkannya. Adapun hizb-hizb tersebut, antara lain hizb al-asyfâ’, hizb

4 Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” dalam Seyyed

Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Penerjemah Tim Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 38.

(41)

kâfî atau al-autâd, hizb al-bahr, hizb al-birhatiyah, hizb al-nashr, hizb al-barr atau al-kabir.6

1. Hizb al-Asyfâ

Hizb al-asyfâ’ adalah hizb yang khas dari Tarekat Syâdziliyah di

Tulungagung. Sebelum seseorang mengikuti prosesi baiat atau talqin zikir,

biasanya ia dianjurkan untuk membaca hizb al-asyfâ’, untuk membuka hati dan

membersihkannya dari kotoran nafsu. Adapun cara mengamalkan, apabila disertai

puasa maka hizb al-asyfâ’ dibaca setiap selesai shalat fardhu dan puasa

dilaksanakan selama tiga hari, tujuh hari, sepuluh hari atau empat puluh hari,

sesuai dengan petunjuk Mursyid. Puasa dimulai pada hari selasa, rabu dan kamis.

Apabila tidak disertai puasa, maka pembacaan hizbal-asyfâ’ dilaksanakan cukup

sekali dalam sehari semalam.7 Tidak semua murid diperlakukan sama antara yang

satu dengan yang lain, karena semuanya tergantung kepada kebijakan dan

kearifan Mursyid yang sesungguhnya. Mursyid lebih mengetahui keadaan hati dan

kualitas ruhani seseorang. Ketika seseorang dipandang secara ruhaniyah telah

pantas untuk dibaiat, kapanpun waktunya yang dikehendaki oleh Mursyid untuk

dibaiat, saat itu pula seseorang dibaiat untuk memasuki Tarekat Syâdziliyah.8

Pertama-tama membaca surat al-Fatihah yang ditujukan kepada Allah

SWT., Nabi Muhammad SAW., Sayidina Abû Bakar al-Shiddîq, Sayidina „Umar

ibn al-Khaththâb, Sayidina „Ustmân bin Άffan, Sayidina Άli bin Abî Thalib,

6Muhammad Zaini, “

Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran: Studi pada Pondok Peta di Tulungagung”, (Tesis Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003) h. 168. Tentu saja masih banyak hizb-hizb Abû Hasan al-Syâdzilî. Lihat Abi ́Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazulî, Dalâil al-Khairât má a al-Ahzâb, (Surabaya: Nabhan, t.th).

7Muhammad Zaini, “

Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran” h. 168.

8Muhammad Zaini, “

(42)

Syâikh Άbd al-Qâdir al-Jîlânî, Mbah Panjalu, Sunan Kalijaga, Syaikh Ibnu

„Ulwân, Wali Sembilan di Indonesia, Sulthan Agung, Syaikh Άbd al-Qadir

al-Kediri, Syaikh Mustaqîm bin Husain, Syaikh Abdul jalil bin Mustaqim, kedua

orang tua dan Nabi Hidhir as.

Bacaan hizbal-asyfâ’:9

2. Hizb al-bahr

Hizb al-bahr ditulis pada saat Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî dalam

perjalanan di Laut Merah dan mendapat langsung dari Rasulullah. Al-Syâdzilî

membacanya dalam rangka berdoa agar selamat dalam perjalanan di Laut Merah.

Walaupun hizb al-bahr mempunyai ikatan historis yang sangat erat dengan laut,

bukan berarti hizb al-bahr ini hanya dibaca atau diamalkan di laut.10

Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî sendiri telah berwasiat kepada para

pengikutnya dalam hal hizb ini, bahwa semua murid yang mengikuti Tarekat

Syâdziliyah supaya mengamalkan hizb al-bahr, karena di dalamnya terdapat

nama-nama Allah yang besar sekali berkahnya. Dengan membaca al-asmâ’

al-husnâ berarti seseorang berzikir dan mengingat Allah dengan 99 nama yang setiap

nama memiliki pengaruh spiritual yang besar. Pengaruh spiritual itu akan di

9Muhammad Zaini, “

Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran”, h. 168-169.

10Abd. Halîm Mahmûd, “Abul-Hasan Al-Syadzily, Kehidupan, doa dan hizibnya,” artikel

(43)

dapatkan oleh siapapun yang mengamalkan dengan syarat meminta ijazah dari

guru yang berwenang.11

Murid-murid atau pengikut Tarekat Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi

ketika dibaiat selain mendapatkan Tarekat Syâdziliyah juga mendapatkan hizb,

yaitu hizb al-bahr dan hizb al-asyfâ’. Kh. Mahfudz Syafi’i mursyid Tarekat

Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi tidak begitu berkenan memberikan

amalan-amalan hizb lainnya, karena semua tergantung kepada kebijakan dan kearifan

mursyid.12

Penerapan dalam mengamalkan hizb al-bahr Tarekat Syâdziliyah di

bekasi, bagi seseorang yang sudah mendapatkan ijazah hizb al-bahr, dianjurkan

agar setelah mengamalkan wirid Tarekat Syâdziliyah diteruskan dengan membaca

hizb al-bahr. Hal ini sesuai dengan anjuran al-Syâdzilî. Tatacara membacanya,

setelah membaca al-fatikhah yang terakhir atau sebelum doa kemudian

dilanjutkan membaca hizb al-bahr dengan diawali membaca al-fatikhah lillaahi

ta’ala, lalu langsung membaca hizb al-bahr. Hizb al-bahr diakhiri dengan

membaca al-fatikhah 7 kali, lalu ditutup dengan membaca doa.13 Hizb al-bahr

biasanya dibaca setelah shalat Ashar dalam tradisi Tarekat Syâdziliyah (demikian

keterangan Ibn Athâ’illâh al-Iskandari).14

11Heri MS Faridy, Ensiklopedi Tasawuf , h. 1153. 12Muhammad Juni, “

Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah di Kabupaten Bekasi”, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 33

13Muhammad Juni, “Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah”, h. 39 14Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf,

(44)
(45)

b. Terjemahan hizb al-bahr:

1. “Dengan menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

2. “Wahai Yang Maha Luhur, wahai Yang Maha Besar, wahai Yang Maha Santun, Engkaulah Tuhanku, dan ilmu-Mu cukup bagiku, dan sebaik-baik Tuhan adalah Tuhanku, dan sebaik-baik Dzat Yang Mencukupi adalah yang mencukupi diriku, Engkau adalah Penolong kepada siapa yang Engkau kehendaki dan Engkaulah yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.”

3. “Kami mohon kepada-Mu al-’ishmah (terjaga dari maksiat) baik dalam gerak dan diam, dalam bertutur kata dan kemauan, serta kekhawatiran dari wasangka, keraguan dan kecemasan yang menjadikan hati-hati ini tidak dapat melihat perkara-perkara ghaib.”

(46)

5. “Maka teguhkanlah dan tolonglah kami, dan tundukkanlah untuk kami samudera ini sebagaimana Engkau telah menundukkan samudera itu kepada Musa, sebagaimana Engkau telah menundukkan api kepada Ibrahim, sebagaimana Engkau menundukkan bukit-bukit dan besi kepada Daud, dan sebagaimana Engkau menundukkan segala angin, dan syetan-syetan serta jin kepada Sulaiman. Tundukkanlah untuk kami seluruh samudera yang menjadi milik-Mu, baik yang ada di bumi maupun di langit dan seluruh kekuasaan di laut dunia maupun laut akhirat, dan tundukkan untuk kami segala sesuatu, wahai Dzat yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu.”

(47)

7. “Wahai Allah, mudahkanlah bagi kami segala urusan kami hingga hati dan badan kami terasa lega, juga selamat dan kuat dalam segala urusan dunia dan agama kami. Engkaulah Yang Menjaga dalam perjalanan kami, Khalifah dalam keluarga kami. Butakanlah (penglihatan) wajah musuh-musuh kami dan bekukan mereka di tempatnya masing-masing sehingga tidak mampu berjalan mendatangi tempat kami.”

8. “Dan jikalau Kami menghendaki, pastilah kami hapuskan penglihatan mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan tapi bagaimana mereka dapat melihat? Dan jikalau Kami menghendaki, pastilah Kami ubah bentuk mereka di tempat mereka berada, maka mereka tidak sanggup berjalan lagi dan tidak (pula) mereka sanggup kembali.” (Q.S. Yasin 36: 66-67)

(48)

10.Wajah-wajah buruk. (3x) “Dan tunduklah semua wajah (dengan berendah diri) kepada Tuhan Yang Maha Hidup, Kekal lagi Senantiasa Mengurus (makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugi orang-orang yang melakukan kezhaliman.” (Q.S. Thaha 20:111)

11.“Dia membiarkan dua lautan itu mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dapat dilampaui oleh masing-masing.” (Q.S. Ar-Rahman 55: 19-20)

12.“Perkara itu sudah ditetapkan dan kemenangan telah tiba, maka mereka tidak akan mendapat pertolongan untuk mengalahkan kami.”

13.“Haa-Miim. Diturunkan kitab (Al-Qur’an) ini dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya, Yang Mempunyai Karunia. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali.” (Q.S. Al-Mu’min 40: 1-3)

14. “Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (3x)

(49)

16.“Padahal Allah mengepung dari belakang mereka. Bahkan yang didustakan mereka itu adalah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauhil Mahfuzh.” (Q.S. Al-Buruj 85: 20-22)

17.“Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (3x). (Q.S. Yusuf 12:64)

18.“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang shaleh.” (3x). (Q.S. Al -A’raf 7: 196)

19.“Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia Tuhan pemilik „Arasy yang Agung.” (3x). (Q.S. Al-Bara’a 9:129)

20.“Dengan Nama Allah, Dzat yang bersama Nama-Nya tidak ada sesuatupun dapat membawa malapetaka baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (3x)

21.“Tiada daya dan upaya melainkan dengan (pertolongan) Allah Yang Maha Luhur lagi Maha Agung.” (3x)15

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang, atas ridho dan keagungan-Mu ya Allah, perkenankanlah kami segenap yang hadir dalam Upacara

Ya Allah, anugerahkan padaku di dalamnya ketaatan orang-orang yang khusu’, lapangkan dadaku dengan taubatnya orang-orang yang memperoleh ketenteraman, dengan keamanan-Mu wahai

Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan

semua : O Kebijaksanaan, Sabda Allah yang kudus, Yesus Kristus, yang menggenggam segala sesuatu dalam tangan-Mu yang kuat namun lembut, datanglah dan tunjukkan kepada kami

terdapat beberapa fase yang mesti dilalui. Dimulai dari lahirnya peradaban tersebut yang disebut sebagai peradaban primitif atau nomaden, kemudian beralih ke fase

Ya Allah, Ya Haadii Ya ‘Aliim, Yang Maha Pemberi Petunjuk Yang Maha Mengetahui, Segala puji dan syukur ke hadirat-Mu atas segala petunjuk yang Engkau berikan, sehingga

Sesungguhnya Allah maha kuat lagi maha perkasa Berusahalah sampai nafas berhenti karena tak akan ada hasil tanpa usaha Sesungguhny kami Allah telah mengutus rasul bukti yang nyata

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Penyayang, Kami mohon kepada-Mu ya Allah, terimalah persembahan dharma bhakti para pahlawan kesatria kusuma bangsa yang telah gugur dalam memperjuangkan dan