• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI FEMINISME DALAM SERIAL “THE GREAT QUEEN SEONDEOK”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI FEMINISME DALAM SERIAL “THE GREAT QUEEN SEONDEOK”"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

REPRESENTASI FEMINISME DALAM SERIAL “THE GREAT QUEEN SEONDEOK”

Oleh

DIAH MANIKAM T.

Feminisme merupakan gerakan pembebasan dari ketertindasan dan ketidak-berpihakan kultur masyarakat terhadap perempuan. Sementara itu gender mempunyai konotasi psikologis, sosial, kultural yang membedakan antara pria dan wanita dalam menjalankan peran-peran maskulinitas dan feminitas tertentu dimasyarakat.

Film yang menjadi objek penelitian penulis kali ini adalah serial drama “The Great Queen Seondeok”. dengan rumusan masalah, bagaimanakah gambaran perilaku peran dan posisi perempuan yang tercermin dalam serial “The Great Queen Seondeok”, bila ditinjau dari konteks pemerintahan dan keluarga? dan bagaimanakah bentuk representasi nilai-nilai feminisme yang tertuang dalam serial “The Great queen Seondeok”?. Maka, tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah untuk menjelaskan gambaran perilaku peran dan posisi perempuan dalam konteks keluarga dan konteks pemerintahan pada serial “The Great Queen Seondeok” dan mengetahui bentuk representasi nilai-nilai feminisme yang tertuang dalam serial “The Great Queen Seondeok”.

Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotika, yang dikonsentrasikan pada kode-kode televisi John Fiske sebagai pisau analisis dengan pendekatan kualitatif eksploratif. Serial drama “The Great Queen Seondeok” ini dikonstruksikan melalui kode-kode televisi John Fiske yang meliputi 3 level, yakni : Level realitas, level representasi dan level ideologi yang mencakup : Penampilan, perilaku, gerakan dialog dan nilai feminisme.

(2)

Deokman yang memiliki kekuasaan penuh untuk menetapkan serangkaian peraturan negara yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyatnya, baik laki-laki ataupun perempuan. Wujud representasi niali-nilai feminisme dalam serial “The Great Queen Seondeok” ini meliputi Hubungan sosial timbal balik yang diperjuangkan Mishill, kemandirian ekonomi yang dimiliki Deokman, perubahan sosial yang dilakukan Mishill dan Deokman demi mencapai kesetaraan dan mewujudkan keadilan bagi kaum perempuan dan kekuatan politik yang dimiliki Mishill dan Deokman dalam mengkampanyekan hak-haknya untuk memiliki kedudukan dalam ranah politik dan pemerintahan.

(3)

ABSTRACT

FEMINISM REPRESENTATION IN SERIAL “THE GREAT QUEEN SEONDEOK”

by

DIAH MANIKAM T.

Feminism is a movement of liberation from oppression and impartiality cultured society towards women. While it has a connotation of psychological gender, social, cultural difference between men and women in carrying out the roles of masculinity and femininity in a particular community. The film is the object of the author of this study is a serial drama "The Great Queen Seondeok". the formulation of the problem, how is the picture of behavior and the role of women's position as reflected in the series "The Great Queen Seondeok", when viewed from the context of government and family? forms of representation and how feminist values contained in the series "The Great Queen Seondeok"?. Thus, the authors aim to do this study was to clarify the picture of the behavior of the role and position of women within the family context and the context of governance on the series "The Great Queen Seondeok" and know the form of representation of the values of feminism are contained in the series "The Great Queen Seondeok".

This study uses semiotic analysis, which concentrates on codes of television John Fiske as a knife analysis with exploratory qualitative approach. Serial drama "The Great Queen Seondeok" is constructed through codes of television John Fiske which includes three levels, namely: the level of reality, the level of representation and ideological level that includes appearance, behavior, movement and the feminist dialogue.

(4)

series "The Great Queen Seondeok" encompasses the social relationships of reciprocity which fought Mishill,

owned Deokman economic independence, social change and Deokman Mishill done to achieve equality and justice for women and political power Mishill owned and Deokman in the campaign of his rights to have a position in the realm of politics and government.

(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut UU Perfilman No.8 tahun 1992 film adalah karya cipta seni dan budaya

yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat

berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video,

piringan video atau hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis

dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau yang lainnya.

(www.kpi.go.id, akses 30 April 2010)

Film merupakan media yang efektif dalam membentuk persepsi melalui

representasi yang disajikan kepada sebuah kelompok atau individu. Hal ini

disebabkan oleh karakteristik film yang dianggap memiliki jangkauan, realisme,

pengaruh emosional dan popularitas yang hebat. Film sebagai salah satu bentuk

media massa mempunyai peran penting di dalam sosial kultural, artistik, politik

dan dunia ilmiah. Pemanfaatan film dalam dunia usaha pembelajaran masyarakat

ini sebagian didasari oleh pertimbangan bahwa film mempunyai kemampuan

untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film

(6)

2

Film sebagai media komunikasi massa dapat menjadi reflektor dari bentuk

ketidakadilan gender dalam masyarakat karena menampilkan kehidupan manusia

secara faktual maupun fiksional. Film menampilkan wacana yang dapat dijadikan

pintu untuk memahami kondisi suatau masyarakat. Krishna Sen (1987) yang

melakukan kajian kritis atas film-film tahun 1965 sampai 1982, menemukan

benang merah antara struktur kekuasaan orde baru dengan film sebagai produk

kultural. Film dipandang sebagai proses ideologi, sehingga konstruksi sosial yang

membentuk masyarakat dapat dilihat melalui film. Dalam konteks gender,

konstruksi sosial muncul dalam penampilan perempuan dan laki-laki dalam

peran-peran sosial, masalah seksual dan reproduksi, pekerja perempuan, gambaran

tentang feminitas dan stereotip perempuan. (Siregar dalam Potret Perempuan

dalam film dan televisi : Pandangan dengan Perpektif Gender, 2001:7-8)

Meski demikian, realitas yang ditampilkan dalam film bukanlah realitas yang

sesungguhnya. Sutradara telah membingkai realitas sesuai dengan

subjektivitasnya yang di pengaruhi oleh kultur dan masyarakatnya. Sutradara yang

dibesarkan dalam kultur patriarki cenderung menampilkan film yang akan

memperkokoh nilai-nilai patriarki. Namun, film juga bersifat personal, sehingga

bisa pula mendobrak realitas. Demikian ungkap Hanung Bramantyo, sutradara

(7)

3

Belakangan ini banyak sekali film yang mengkonstruksikan perempuan sebagai

sosok yang kuat dan mandiri. Diantaranya adalah film Pasir Berbisik garapan

sutradara Nan T.Achnas yang menceritakan tentang kehidupan seorang

perempuan dan anaknya yang ditinggal suaminya pergi tanpa memberi kabar

berita. Pada film Pasir Berbisik ini terlihat perjuangan seorang ibu sebagai single

parent yang berusaha menghidupi anaknya seorang diri dengan berbagai

peraturan dan kungkungan yang berlebihan pada anak gadisnya. Hal ini dilakukan

sang ibu sebagai wujud traumatik akan kegagalan berumah tangga dan

kekecewaannya terhadap sosok laki-laki. (http://filmindonesia.or.id, akses 1 mei

2010)

Selain film Pasir Berbisik, masih banyak sekali film yang merepresentasikan

gerakan feminisme atau mengandung nilai-nilai kesetaraan gender dalam

kehidupan masyarakat, seperti film Devil wears Prada, shopaholic, R.A Kartini,

dan masih banyak lagi. Meskipun sudah mulai bermunculan film yang

mengedepankan kemampuan dan posisi perempuan di ranah publik, tidak dapat

dipungkiri masih banyak sekali film yang menggambarkan ketimpangan gender

dan mengkonstruksikan perempuan sebagai makhluk ‘kelas dua’ yang akrab

dengan peran-perannya disektor domestik, bahkan memarjinalkan kaum

perempuan sehingga diposisikan sebagai kelas subordinat. Dalam era globalisasi

seperti sekarang ini, perempuan hendaknya tidak lagi ditekankan untuk selalu

menempati posisinya disektor domestik, simbolik maupun objek seks. Sebab

apabila masih ada film yang menciptakan stigma negatif pada kaum perempuan,

(8)

4

akan terus memosisikan perempuan sebagai kaum terdiskriminasi dan selalu

dilabelkan pada stereotif negatif baik dalam media ataupun realita.

Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan riset tentang serial drama Korea yang

sangat kental dengan gerakan feminisme dalam memperjuangkan kesetaraan

gender. Penulis memilih serial drama Korea The Great Queen Seondeok ini

dikarenakan film yang bercerita tentang latar belakang sejarah dan kebudayaan

Korea ini sangat berkarakter dan berbeda dengan serial drama Korea lainnya yang

lebih sering menceritakan kehidupan modern dan drama percintaan yang

monoton. Pada serial drama The Great Queen Seondeok ini dapat kita lihat

perjuangan Deokman (tokoh utama) yang terus memperjuangkan takdirnya

sebagai seorang raja perempuan yang mendapat banyak tekanan dari pihak istana,

khususnya lady Mishill yang juga menginginkan posisi dan kedudukan tertinggi di

kerajaan Shilla. Kisah yang sarat intrik, politik, strategi perang, ilmu pengetahuan

dan adu kecerdasan ini merupakan tayangan berkualitas yang dikemas secara apik,

dengan bumbu romantisme yang santun.

Sebagaimana karya sebelumnya dalam serial Jewel in The Palace yang terkenal

dengan tokoh Suh Jang Geum, Kim Young Hyun yang juga menulis cerita The

Great queen Seondeok ini, berusaha untuk mengingatkan masyarakat Korea

khususnya, akan sejarah lampau negara Korea yang memiliki

perempuan-perempuan hebat yang mampu menyejajarkan diri dengan laki-laki dan berperan

dalam sektor publik, dimana pada saat itu, di korea memang berlaku garis

keturunan matrilineal disampin patrilineal dalam sistem sosial kemasyarakatan

(9)

laki-5

laki, baik dalam bidang sosial, ekonomi ataupun pemerintahan. Pada serial The

Great queen Seondeok ini terdapat 62 episode yang menceritakan awal perjalanan

hidup Deokman menghadapi berbagai macam kendala untuk mendapatkan

takdirnya kembali menjadi seorang Raja. Dalam serial ini, bukan hanya Deokman

yang menjadi tokoh sentral yang berkarakter, pada beberapa adegan muncul tokoh

sentral selain Deokman yang memiliki kepribadian unik dan karakter sangat kuat.

Dia adalah Lady Mishill, yang nantinya akan menjadi lawan tangguh bagi

Deokman untuk memperebutkan posisi tertinggi pada kerajaan shilla.

Penggambaran tokoh Mishill yang juga merupakan tokoh sentral pada serial ini

sangat menarik perhatian pemirsa serial dramaThe Great queen seondeok.Mishill

digambarkan sebagai seorang perempuan yang anggun, cerdas, berkelas,

kharismatik, licik dan misterius (sulit ditebak). Lady Mishill adalah wanita yang

sangat luar biasa. Ia selalu punya keinginan untuk menjadi seorang permaisuri.

Apapun ia lakukan demi mewujudkan ambisinya itu, mulai dari menukar surat

wasiat Raja Jin Heung, menggalang pasukan dan kekuatan di dalam istana,

dengan menjalin hubungan istimewa dengan beberapa Raja dan panglima

hwarang. Sebelum menjadi orang kepercayaan Raja, Mishill hanyalah penjaga

stempel istana, kemudian menjadi prajurit, karena ketekunannya itu, dia menjadi

orang kepercayaan Raja. Inilah yang membuat karakter Mishill lebih kuat dari

karakter Deokman sehingga meninggalkan kesan tersendiri di hati para pemirsa.

(10)

6

Pada penelitian kali ini, penulis hanya mengangkat beberapa episode saja untuk

diteliti, yakni episode 1, 2, 3, 51 dan 52. Kalau pada episode 1-3 banyak adegan

yang menceritakan sosok “si penguasa cantik” Lady Mishill, pada episode 51-52

banyak menceritakan sosok Putri Deokman sebagai Raja perempuan pertama kali

di kerajaan Shilla. Sosok Putri Deokman diceritakan sebagai perempuan yang

dapat menjadi seorang pemimpin dengan dukungan berbagai pihak.

Kepemimpinan Ratu Deokman ini memperkuat keberhasilannya dalam merubah

pola pikir masyarakat awam, bahwa perempuan juga memiliki kemampuan

memimpin dan mengambil keputusan penting yang menyangkut hajat hidup orang

banyak, memiliki kemampuan intelektual yang sebanding dengan laki-laki, serta

memiliki pendirian dan juga prinsip yang kuat dalam menentukan

tindakan-tindakan yang harus dilakukan.

Dengan mengangkat serial The Great Queen Seondeok ini kedalam sebuah

penelitian ini diharapkan, kaum perempuan dapat tergugah untuk meningkatkan

(11)

7

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah

dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah gambaran perilaku peran dan posisi perempuan yang

tercermin dalam serial “The Great Queen Seondeok”, bila ditinjau dari

konteks pemerintahan dan keluarga ?.

2. Bagaimanakah bentuk representasi nilai-nilai feminisme yang tertuang

dalam serial“The Great queen Seondeok”?.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui gambaran perilaku,peran dan posisi perempuan yang

tercermin dalam serial “The Great Queen Seondeok” bila ditinjau dari

konteks pemerintahan dan keluarga.

2. Untuk mengetahui bentuk representasi nilai-nilai feminisme yang tertuang dalam serial“The Great queen Seondeok”

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan

mengenai feminisme dan media massa. Selain itu, penelitian ini juga

diharapkan dapat mengembangkan Ilmu Komunikasi Massa khususnya

(12)

8

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan

pertimbangan bagi penelitian lanjutan dan sebagai acuan

(referensi) bagi jurusan Ilmu komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik.

b. Untuk memberikan pandangan baru mengenai perspektif

feminisme khususnya bagi seluruh perempuan.

c. Sebagai salah satu syarat kelulusan di Fakultas Ilmu sosial dan

(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Telah banyak penelitian yang dilakukan dengan menggunakan perspektif

feminisme, khususnya penelitian yang menggunakan metode analisis isi, baik

kuantitatif maupun kualitatif. Hanya saja media dan objek penelitian yang dipilih

berbeda-beda. Salah satu diantaranya penelitian yang dilakukan Hasaumi

Mayaranti dengan judul “ Analisis Isi Film Serial Jewel in The Palace dalam

perspektif Gender”. Objek penelitian Hasaumi adalah serial drama yang berasal

dari Korea Selatan. Film ini memiliki tokoh sentral perempuan Suh jang Geum,

yang menjadi tabib perempuan kepercayaan Raja. Namun, negara, tradisi dan

masyarakat pada saat itu menolak seorang perempuan diberi gelar sebagai seorang

tabib agung. Berdasarkan adanya persoalan gender tersebut. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode analisis isi

dalam perspektif gender. (Mayaranti, 2008:70)

Penelitian sejenis lainnya juga terdapat pada penelitian berjudul “ Representasi

Perempuan Jawa dalam Film R.A Kartini” yang ditulis oleh Edwina Ayu

Dianingtyas tahun 2010, dari Universitas Diponegoro Semarang.. Film tersebut

menunjukan ketidakadilan gender dalam budaya Jawa yang identik dengan

(14)

9

subordinasi yang dialami oleh perempuan Jawa. Film ini juga menunjukan

perjuangan perempuan Jawa untuk melawan ketidakadilan gender yang sangat

menindas kaumnya. Pada akhirnya perempuan Jawa dalam film R.A Kartini dapat

mendobrak mitos yang selama ini dilabelkan negatif pada diri perempuan Jawa.

Selain dua penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan Shinta Kristanty tahun

2007 dengan judul “Representasi Perempuan sebagai wujud Feminisme dalam Film Erin Brokovich” Universitas Budi Luhur, Jakarta. juga mengungkapkan perspektif gender yang terkandung dalam film tersebut. Film Erin Brokovich ini

seakan menjadi pendobrak perjuangan wanita di lingkungan masyarakat. Dalam

penelitian lainnya yang masih menggunakan perspektif feminisme, di tahun 2010

Arga Fajar Rianto melakukan penelitian tentang “Representasi Feminisme dalam film Kutunggu Jandamu”. Penelitian ini didasarkan pada sebuah fenomena mengenai feminisme yang sedang menuai pro dan kontra di masyarakat. Film

Kutunggu Jandamuini merupakan film yang berani merekam gerakan emansipasi

wanita yang diproyeksikan melalui tokoh utama perempuannya yaitu Persik.

Referensi terakhir adalah penelitian yang ditulis oleh Esterlina Sethiowaty yang

berjudul “Representasi Seksualitas Perempuan dalam Karya Sastra Perempuan (Analisis Hermeneutika dan Pendekatan Feminisme pada buku ‘Jangan Main

-Main dengan Kelaminmu’ karya Djenar Maesa Ayu)” Dalam penelitian ini, Esterlina merepresentasikan seksualitas perempuan yang akan dianalisis melalui

karya sastra yang ditulis oleh seorang perempuan, yaitu Djenar Maesa Ayu

(15)

10

adalah film serial “Jewel In The Palace”

Sekilas film ini nampak sangat memperlihatkan perjuangan feminis (dalam hal ini R.A kartini) dalam memperjuang-kan nasib kaumnya. Namun sebagian besar orang penting yang berada dibalik layar adalah kaum laki-laki. Hal ini tentu turut mempengaruhi wanita dan pria untuk eksis didunia. Mereka juga berkeinginan untuk

memperbaiki dan mengubah keadaan dimana posisi wanita lebih rendah daripada pria di masyarakat

(16)

11

Pada penelitian ini penulis menyimpulkan : Seksualitas

Dari pengamatan beberapa penelitian terdahulu diatas, penelitian yang dilakukan

penulis memiliki perbedaan pada metode analisis. Penulis menggunakan metode

analisis semiotika yang mengacu pada kode-kode televisi John Fiske , dan

(17)

12

1.2 Teoritik

2.2.1 Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Secara teori, pada satu sisi konsep komunikasi massa mengandung pengertian

sebagai suatu proses dimana institusi media massa memproduksi dan

menyebarkan pesan kepada publik secara luas, namun pada sisi lain, komunikasi

massa merupakan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan dan dikonsumsi

olehaudience. Fokus kajian dalam komunikasi massa adalah media massa. Media

massa merupakan institusi yang menyebarkan informasi berupa pesan berita,

peristiwa atau produk budaya yang mempengaruhi dan merefleksikan suatu

keadaan masyarakat. Sehubungan dengan itu, maka institusi media massa juga

adalah bagian dari sistem kemasyarakatan dari suatu masyarakat dalam konteks

yang lebih luas. (Bungin, 2006 :256)

Film merupakan salah satu dari bagian media massa yang merupakan media

elektronik dan merupakan alat penyampai berbagai jenis pesan dalam peradaban

modern. Film merupakan medium komunikasi massa yang sangat ampuh, bukan

saja untuk hiburan, tapi juga untuk penerangan dan pendidikan.

(Effendy,2000:209). Dengan kata lain, film merupakan media komunikasi massa

yang mampu menimbulkan dampak bagi masyarakat, karena film selalu

mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya.

(Sobur,2004:127). Sebagai alat komunikasi massa saat ini film tidak sekedar

menjadi objek/sasaran hiburan semata, namun lebih kompleks daripada itu, film

juga dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan, penyalur informasi, persuasi,

karya seni, industri bahkan sebagai media berpolitik dan propaganda baik dalam

(18)

13

2.2.2 Representasi dalam Film

Representasi merupakan konsep yang berhubungan dengan pernyataan bagaimana

seseorang, kelompok,kegiatan,tindakan. keadaan sesuatu yang ditampilkan dalam

teks (Eriyanto,2001:289). Sementara itu representasi menurut kamus lengkap

bahasa Indonesia, berarti perbuatan mewakili, keadaan diwakili, perwakilan atau

gambaran. (Tim Prima Pena,2004:310). Representasi diartikan sebagai proses

sosial yang timbul dalam interaksi antara pembaca atau penonton dan sebuah teks.

Prepresentasi memproduksi tanda-tanda yang mencerminkan seperangkat ide dan

sikap yang mendasari tanda-tanda tersebut (Nelmes,1996:258).

Belakangan ini film yang merepresentasikan gerakan feminisme dan kesetaraan

gender sudah mulai berkembang luas, baik film produksi Indonesia maupun

film-film asing yang direpresentasikan dalam perspektif femnisme. Beragam film-film

direpresentasikan sesuai dengan tujuan sutradara dan produser film mengemas

suatu film. Ada yang tujuannya untuk memperbaiki keadaan atau sistem

masyarakat yang keliru mengenai pemahaman gender, namun ada juga yang

hanya ingin meraup keuntungan sehingga mengemas film yang semakin

melekatkan label wanita sebagai makhluk kelas dua yang tersubordinasi dari

dominasi pria. Lebih parahnya lagi jika seorang produser dan sutradara mengemas

film yang memperburuk citra dan posisi perempuan dalam media yang tidak

menutup kemungkinan akan berkembang menjadi realita. Salah satunya adalah

film yang berbau pornografi dan melecehkan kaum perempuan. Seperti yang kita

ketahui, pornografi menjadi musuh utama perempuan yang dirasa lebih kejam

(19)

14

Mac.Kinnon (dalam Duggan dan Hunter,2006:32) berpendapat bahwa pornografi

adalah akar dari eksploitasi dan diskriminasi yang pernah ada terhadap

perempuan. Betapa perempuan, pornografi dan media menjadi lahan basah

pengeruk keuntungan yang juga mentransfer gagasan-gagasan seputar

keperempuanan dengan rekonstruksi dan representasi nilai-nilai patriarki

didalamnya. Sungguh tidak adil bagi perempuan, disaat beberapa pihak

menikmati keuntungan tersebut, perempuan lagi-lagi harus merana dengan

tekanan sosial, domestivikasi dan ekspektasi-ekspektasi seksual dimasyarakat.

Oleh karena itu, pemilihan serial drama “The Great queen Seondeok”merupakan pilihan yang tepat untuk mengembalikan citra baik perempuan dan meluruskan

pandangan masyarakat terhadap perempuan baik dari image negatif maupun bias

gender yang selama ini terjadi dalam masyarakat kita.

2.2.3 Feminisme

Feminisme menunjuk pada sebuah gerakan sosial yang muncul pertama kali di

Inggris pada abad ke-18, yang berupaya meraih kesetaraan gender antara jenis

kelamin dengan memperluas hak-hak perempuan. Ditahun 1080-an istilah tersebut

secara khusus ditujukan pada perempuan maupun laki-laki yang

mengampanyekan hak atau suara untuk perempuan serta akses perempuan pada

pendidikan, pekerjaan atau profesi. (feminisme gelombang pertama).

Sesudah kampanye tersebut berhasil memenangkan hak pilih perempuan (1920 di

Amerika Serikat dan 1928 di Inggris), tekanan yang terus berlangsung dalam

feminisme semakin kuat, antara tujuan feminis bagi persamaan hak dengan

laki-laki diarena publik dan pengakuan perbedaan perempuan dan laki-laki-laki-laki untuk

(20)

15

feminisme gelombang kedua dari tahun 1969 kedepan melahirkan banyak aliran

pemikiran dan telah menjadi gerakan atas nama perempuan hampir disetiap

negara. (Marshal dalam Munti,2005:41).

Secara umum bisa dikatakan bahwa feminisme merupakan ideologi pembebasan

perempuan karena melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa

perempuan mengalami ketidakadilan yang disebabkan oleh jenis kelamin

(Humm,2002:158).

Hal ini berkaitan dengan teori sosialis feminis yang mendasarkan pada

persoalan-persolanan luas menyangkut bagaimana dan mengapa perempuan tersubordinasi

dan menawarkan analisis-analisis tentang proses-proses sosial dan kultural,

dimana melalui proses tersebut subordinasi dilanggengkan.

Dalam penelitian ini, penulis mencoba menganalisis beberapa adegan pada serial

drama “The Great queen Seondeok” berdasarkan pendekatan feminisme, dimana pendekatan ini didasarkan pada suatu kerangka teori feminis yang mengusulkan

bahwa dalam kegiatan penelitian,perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai

sesama manusia yang mempunyai potensi untuk berkembang. karakteristik

perempuan yang tidak kompeten, lemah, tidak mandiri (selalu mendapat label

menggantungkan hidupnya pada laki-laki) lebih merupakan produk budaya yang

meremehkan dan oleh karenanya perlu diimbangi dengan gambaran perempuan

yang pintar, mandiri, cerdas, berani. mampu mengambil keputusan penting,

sukses dan sebagainya. Kaum perempuan juga mempunyai kemampuan untuk

mengembangkan kondisi lingkungan hidupnya dan sangat bisa hidup memberi

(21)

16

pribadi. Kaum perempuan juga bisa memiliki kualitas manusia yang bisa

meningkatkan mutu hidupnya, seperti yang dimiliki kaum laki-laki. (Jurnal

perempuan, vol 48 2006:52).

2.2.4 Feminisme Dalam Film

Pada zaman yang sudah modern seperti sekarang ini, mulai bermunculan film atau

serial drama yang menonjolkan ideologi feminisme untuk menyetarakan posisi

perempuan terhadap laki-laki dan memperbaiki citra kaum perempuan, dimana

pada zaman dahulu peran dan tokoh perempuan dikenal sebagai sosok yang sering

terdiskriminasikan, mengalami kekerasan dalam bentuk fisik maupun psikis,

dikenal dengan sifat yang lemah lembut, penurut dan sebagainya.Walaupun

sampai saat ini masih banyak film yang mengeksploitasi perempuan dari bentuk

tubuh, karakter ataupun sifat. Anggapan perempuan cantik dengan tubuh

proporsional, memakai pakaian minim pada beberapa adegan di film/sinetron

televisi misalnya, memberi sebuah pandangan bahwa perempuan hanya sebagai

korban eksploitas terhadap sebuah materi untuk melahirkanproject para produser

film demi keuntungan industri bisnis.

Film bukan hanya sekedar koleksi atas gambaran atau stereotipe. Menurut

Johnston, untuk menakar sejauh mana tingkat kebenaran atau kepalsuan citra

sinematik, point tersebut harus dilewatkan. Film-film membentuk makna melalui

susunan tanda-tanda visual dan verbal. Struktur tekstual inilah yang harus

diperiksa, karena disinilah makna akan dihasilkan. Film menghasilkan ideologi.

Ideologi bisa didefinisikan sebagai sistem representasi atau penggambaran,

(22)

17

merupakan struktur kekuatan tertentu yang membentuk masyarakat

(Sue,2010:120).

2.2.5 Gender

Istilah gender mempunyai konotasi psikologis, sosial dan kultural yang

membedakan antara pria dan wanita dalam menjalankan peran-peran maskulinitas

dan feminitas tertentu dimasyarakat (Sunarto dalam Haralambos dan Holborn,

2009:33). Gender lebih berkaitan dengan anggapan dan kebiasaan yang berlaku di

suatu tempat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan dianggap sesuai atau

tidak sesuai (tidak lumrah) dengan tata nilai sosial dan budaya setempat. Dengan

demikian, gender dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat

berubah dari waktu ke waktu (Brief, 2006: 1). Gender berbeda dengan jenis

kelamin yang sudah dimiliki manusia secara kodrati, jika jenis kelamin

menyangkut perbedaan organ biologis laki-laki dan perempuan, khususnya pada

bagian alat-alat reproduksi. Gender, dalam wacana feminisme dan isu perempuan

di Indonesia dibedakan dengan seks. Gender dipahami sebagai socially

constructed, temporal, bisa dipertukarkan, berubah dan bergeser. Kalau diterapkan

pada perbedaan seks, gender berarti sifat, peran, pembagian tugas, perilaku, dam

kecenderungan dari laki-laki dan perempuan yang terikat oleh konteks yang bisa

dipertukarkan. Sementara itu seks dinyatakan sebagai sesuatu yang naturallly

given, tetap, biologis, alamiah, universal dan tidak bisa dipertukarkan antar-seks.

(Fakih dalam Hidayat, 2004:257). Gender lebih mengacu pada perbedaan peran,

fungsi dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil kesepakatan atau

hasil bentukan dari masyarakat. Peran, fungsi dan tanggungjawab ini dapat

(23)

18

masing-masin pihak misalnya, peran istri sebagai ibu rumah tangga dapat berubah

menjadi pekerja atau pencari nafkah, disamping masih menjadi istri juga. Dalam

hal ini, peran sosial dapat dipertukarkan untuk saat-saat tertentu, bisa saja suami

dalam keadaan menganggur tidak mempunyai pekerjaan sehingga tinggal dirumah

mengurus rumah tangga, sementara istri bertukar peran untuk bekerja mencari

nafkah bahkan sampai ke luar negerimenjadi TKW. Peran sosial bergantung pada

masa, keadaan dan budaya masing-masing. Salah satu teori gender yang penulis

kaitkan dengan penelitian kali ini adalah tori Nurture, dimana teori ini memiliki

konsep yang sangat berbeda dengan teori Nature. Menurut teori Nurture adanya

perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya adalah bentukan masyarakat

melalui konstruksi sosial budaya, sehingga menghasilkan peran dan tugas yang

berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan

peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga,bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam

perbedaan kelas. Perjuangan untuk persamaan hak ini dipelopori oleh kaum

feminist internasional yang cenderung mengejar kesamaan (sameness) dengan

konsep 50:50. Konsep yang kemudian dikenal dengan istilah perfect equality

(kesamaan sempurna secara kuantitas). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena

berbagai hambatan baik dari nilai agama maupun budaya. Berangkat dari

kenyataan tersebut, para feminis berjuang dengan menggunakan pendekatan sosial

konflik, yaitu konsep yang diilhami oleh ajaran Karl Marx (1818-1883) dan

Machiavvelli (1469-1527) dilanjutkan oleh David Lockwood (!957) dengan tetap

(24)

19

Konsep Teori Nurture

Randall Collins (1987) dalam teori nurture beranggapan keluarga adalah wadah

tempat pemaksaan, suami sebagai pemilik dan istri sebagai abdi. Teorinurtureini

melahirkan paham sosial konflik yang menempatkan kaum laki-laki sebagai kaum

penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum (proletar). Bagi kaum proletar

tidak ada pilihan lain kecuali berjuang menyingkirkan penindas untuk mencapai

kebebasan dan persamaan. Karena itu, paham ini banyak dianut oleh masyarakat

sosialis komunis yang menghilangkan strata penduduk. Paham ini

memperjuangkan kesamaan proporsional dalam segala aktifitas masyarakat seperti

di DPR,menteri,gubernur ataupun pimpinan partai politik.

2.2.6 Semiotika Televisi

Semiotika merupakan studi mengenai pertandaan dan makna dari sistem tanda;

ilmu tentang tanda, bagaimana makna dibangun dalam ‘teks’ media;atau studi

tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang

mengkonsumsi makna (Fiske,2004:282)

Semiotik memfokuskan kajiannya pada ‘teks’ tersebut dengan melibatkan pengalaman, sikap dan emosi mereka. ‘Teks’ dapat dikatakan sebagai sesuatu

(25)

yang menjadi objek yang dapat dibaca, dapat berbentuk verbal, non verbal

ataupun keduanya. ‘Teks’ adalah kumpulan dari tanda-tanda seperti (kata, imaji,suara,gerakan atau isyarat) yang dibangun dan diinterpretasikan dengan

referensi pada konvensi-konvensi yang berhubungan dengan genre dan berada

dalam medium komunikasi tertentu. Medium dapat mencakup kategori tulisan

atau cetak dan penyiaran atau semua yang berhubungan dengan bentuk teknikal

dalam media massa (seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, foto dan film).

Dalam teori semiotika pokok studinya adalah tanda atau bagaimana cara

tanda-tanda itu bekerja juga disebut semiologi. Tanda-tanda-tanda itu hanya mengemban arti

pada dirinya sendiri, dengan kata lain, jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa,

maka huruf, kata dan kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri.

Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitan dengan pembacanya,

pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan

(signifie) sebagai konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Segala

sesuatu yang memiliki sistem tanda dapat dianggap teks, contohnya dalam film.,

televisi, majalah, koran, novel dan sebagainya. Seperti yang dikutip oleh Sobur

(31-32) Saussure mengatakan bahwa tanda (sign) disusun dari dua elemen, yaitu

persepsi (image) dari kata/visual yang disebut sebagai penanda

(signifian/signifier) dan konteks yang disebut sebagai petanda (signified), serta

hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbiter (bebas). Sedangkan

signifikasi menurut John Fiske adalah upaya dalam memberi makna pada dunia

(Sobur, 2004:125). Dengan demikian , pernyataan John Fiske tersebut merujuk

pada Saussure yang memaknai tanda sebagai simbol. Saussure juga mengatakan

(26)

✂✄

antara penanda dan petanda ini yang disebut pertandaan (signification). Dalam

kategori tanda, Saussure hanya menaruh perhatian pada simbol, karena simbol

merupakan kata-kata (Fiske dalam Kristalia,2004 :17).

Saussure menjelaskan maknanya sebagai berikut :

Tanda

Pertandaan

Tersusun atas Realitas aksternal atau makna

Penanda Plus Petanda (eksistensi fisik (konsep mental)

dari tanda)

Unsur Makna Saussure

Semiotika sendiri menurut John Fiske (Wawan,1996:40) mencakup tiga bidang

studi yaitu :

1. Semiotik menjadi petanda atas dirinya sendiri, perbedaan tanda-tanda

menjadikan variasi yang berbeda dalam pemaknaan tanda-tanda tersebut.

2. Sistem pengorganisasian kode. Disini variasi kode berguna untuk memenuhi

kebutuhan suatu kultur masyarakat.

3. Penggunaan tanda dan kode selalu terkandung dalam sistem budaya, yang

mana tanda dan kode yang sangat bergantung pada formatnya. Jika dikaitkan

dengan semiotika, pesan akan dimaknai sebagai susunan tanda-tanda yang

dapat digunakan untuk berinteraksi dengan para penerima pesan tersebut,

serta dapat menghasilkan arti atau pengertian. Pengalaman sosial serta latar

(27)

☎☎

dimaknai oleh penerima pesan, artinya suatu pesan yang sama dapat diartikan

atau dimaknai berbeda oleh orang yang mempunyai pengalaman sosial dan

latar belakang budaya yang berbeda. Televisi (termasuk didalamnya film)

berfungsi sebagai “a bearer provoker of meaning and pleasure”, Televisi sebagai budaya merupakan bagian yang krusial dari dinamika sosial yang

memelihara struktur sosial dalam suatu proses produksi dan reproduksi yang

konstan : melalui makna, berupa popular pleasures, dan oleh karena itu

sirkulasinya adalah bagian dan merupakan parcel struktur sosial, film

memaknai realitas sosial dengan simbol.

2.2.7 Kode-kode Televisi

Television codes adalah teori yang dikemukakan oleh John Fiske, atau biasa yang

disebut dengan kode-kode yang digunakan dalam dunia pertelevisian. Menurut

Fiske, kode-kode yang muncul atau yang digunakan diacara televisi saling

berhubungan sehingga terbentuk sebuah makna. menurut teori ini pula, sebuah

realitas tidak muncul begitu saja melalui kode-kode yang timbul, namun juga

diolah melalui penginderaan serta referensi yang telah dimiliki oleh pemirsa

televisi, sehingga sebuah kode akan dipersepsi secara berbeda oleh orang yang

berbeda juga. Dalam kode-kode televisi yang diungkapkan dalam teori John Fiske

(Fiske, 1987:1), peristiwa yang ditayangkan dalam dunia televisi telah dienkode,

sesuai dengan kode-kode sosial yang terbagi ke dalam tiga level, antara lain :

1. Level Realitas(Reality)

Kode yang termasuk di dalamnya adalah penampilan, kostum, riasan,

(28)

✆✝

2. Level Representasi(Representation)

Kode sosial yang termasuk didalamnya adalah kamera, pencayahaan, musik.

3. Level Ideologi(Ideology)

Kode sosial yang termasuk didalamnya adalah individualisme, kapitalisme,

patriarki, feminisme dan sebagainya.

Dalam analisis ini, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh John Fiske,

peneliti hanya akan menggunakan kode-kode sosial seperti : kostum, perilaku,

teknik kamera, dialog, latar, gerakan dan konflik.

Kode-kode sosial dalam film serial drama“The Great Queen seondeok”

Unit analisis yang digunakan oleh peneliti meliputi : Level realitas, level

representasi dan level ideologi. Kode-kode tersebut adalah :

1. Level realitas dengan kode :

a. Penampilan

Ada pepatah yang mengatakan, kesan pertama yang akan dilabelkan kepada

seseorang adalah melalui pandangan pertama secara keseluruhan. Setiap

orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai penampilan fisik.

Seringkali orang memberi makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang

bersangkutan, seperti : bentuk tubuh, warna kulit, model rambut dan

sebagainya. Ketika kita melihat penampilan seseorang, maka secara spontan

kita akan mempersepsi kehidupan orang tersebut. Misalnya, seorang pemuda

tampan, berpakaian rapi, berdasi dan mengendarai mobil mewah, maka kita

akan mempersepsi bahwa laki-laki itu adalah seorang pekerja yang sukses.

(29)

✞✟

menggali makna pesan yang ingin disampaikan dari representasi feminisme

dalam serial“The Great queen Seondeok”. b. Perilaku

Perilaku merupakan sebuah tindakan atau sikap seseorang. Dalam kode sosial

ini, penulis ingin melihat perilaku tokoh utama yang merepresentasikan

gerakan feminisme.

2. Level Representasi dengan kode :

a. Kerja Kamera

Elemen penting yang terdapat pada film adalah audio visual, sehingga tidak

dapat dipungkiri jika dalam pengambilan gambar, kamera merupakan alat

yang paling menentukan hasil akhir pada sebuah film. Begitu juga dengan

teknik pengambilan gambar yang memiliki tujuan serta mengandung makna

pesan yang ingin disampaikan. Komposisi dan kualitas gambar yang baik,

mampu membuat gambar menyampaikan pesan dengan sendirinya.

Beberapa teknik pengambilan gambar berdasarkan besar kecilnya subjek

antara lain (Naratama,2004:73-78) :

1. Extreme Long Shot(ELS)

Shot ini dilakukan apabila ingin mengambil gambar yang sangat jauh,

panjang dan luas serta berdimensi lebar. ELS biasanya digunakan untuk

pembukaan cerita yang bertujuan membawa penonton mengenal lokasi

cerita.

2. Very Long Shot(VLS)

Teknik ini digunakan untuk pengambilan gambar seperti pada adegan

kolosal yang memiliki banyak objek, contohnya : adegan perang di

(30)

✠✡

3. Long Shot(LS)

Ukuran shot ini dari ujung kepala hingga ujung kaki. Long shot juga bisa

disebut dengan landscape format yang berfungsi mengantarkan mata

penonton pada keluasan atau suasana dan objek.

4. Medium Long Shot(MLS)

Ukuran shot ini adalah dari ujung kepala hingga setengah kaki. Tujuan

shot ini untuk memperkaya keindahan gambar yang disajikan ke mata

penonton.

5. Medium Shot(MS)

Ukuran shot ini dari tangan hingga atas kepala. Tujuan shot ini adalah

agar penonton dapat melihat dengan jelas ekspresi dan emosi dari

pemain.

6. Middle Close Up(MCU)

Ukuran shot ini adalah dari ujung kepala hingga perut. Dengan angle ini

penonton masih tetap dapat melihat latar belakang yang ada. Melalui shot

ini pula, penonton diajak untuk melihat lebih dalam profil, bahasa tubuh

dan emosi pemeran tokoh tersebut.

7. Close Up(CU)

Komposisi gambar ini merupakan komposisi gambar yang paling popular

dibandingkan komposisi gambar lainnya. Close mempunyai banyak

fungsi, close up merekam gambar penuh dari leher hingga ujung kepala.

Melalui angle ini, sebuah gambar dapat berbicara sendiri kepada

penonton, karena emosi dan reaksi dari mimik wajah akan tergambar

(31)

☛☞

8. Big Close Up(BCU)

Komposisi gambar ini lebih dalam dibandingkan Close Up. Kedalaman

pandangan mata, kebencian raut wajah, air mata dan mimik wajah sedih

yang tak bertepi adalah ungkapan-ungkapan yang terwujud dari

komposisi ini.

9. Extreme Close Up (ECU)

Komposisi ini terfokus pada satu objek saja. Misal :hidung, mata atau alis

saja.

2. Level Ideologi dengan kode :

1. Dialog

Dialog merupakan percakapan antar pemain (aktor) dalam sebuah film.

Dalam dialog, penulis bisa melihat makna yang ingin disampaikan oleh

film tersebut.

2. Nilai Feminisme

Nilai feminisme adalah nilai-nilai yang sesuai dengan tuntutan

perempuan atau nilai-nilai perempuan dalam Serial The Great Queen

Seondeok. Nilai-nilai feminisme merupakan pengetahuan dan

pengalaman personal, rumusan tentang diri perempuan sendiri,

kekuasaan personal, otentitas, kreativitas, sintesis, kesetaraan, hubungan

sosial timbal balik, kemandirian ekonomi, kebebasan reproduksi pada

(32)

✌✍

Dalam penelitian ini, penulis memilih kode-kode diatas karena terkait dengan

permasalahan dan ruang lingkupnya serta sangat cocok dengan jenis

penelitiannya yakni penelitian kualitatif yang fleksibel dan sementara. Hal ini

dilakukan untuk mengetahui representasi feminisme dalam serial “The Great Queen seondeok” Objek penelitian akan dianalisis secara tekstual yakni dengan mengamati tanda-tanda yang terdapat pada serial tersebut.

2.2.8 Kerangka Pemikiran

Komunikasi massa merupakan bentuk komunikasi (penyampaian pesan) yang

menggunakan media massa modern, dimana pesan-pesan didalam media tersebut

disampaikan kepada khalayak yang heterogen secara serentak. Kali ini penelitian

hanya difokuskan pada salah satu media elektronik saja yaitu film. Dengan

kemampuannya, film dapat mengangkat realitas sosial dalam layar, tidak hanya

itu, sebagai alat komunikasi massa, film juga menjadi alat penyampaian pesan

pada khalayak karena film merupakan sebuah representasi sosial yang tidak

sekedar memindahkan realitas dan menyajikannya, tetapi juga membentuk realitas

itu berdasarkan ideologi yang ada pada masyarakat dalam film itu. Realitas yang

diangkat bermacam-macam salah satunya adalah tentang perempuan. Banyak

sekali film ataupun serial drama yang merepresentasikan tentang realita kehidupan

perempuan baik secara negatif (ketimpangan gender yang selama ini sering

dialami oleh perempuan) ataupun secara positif (gerakan feminisme dan

perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender). Representasi yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah representasi feminisme yang bertujuan

untuk menghilangkan bias gender yang telah terpatri dalam pola pikir masyarakat.

(33)

✎✏

tentang peran perempuan di masyarakat, dimana perempuan lebih cenderung

melakoni peran domestik dibanding peran publik. Terutama dalam sebuah

keluarga, perempuan seringkali menjadi objek baik menjalani peran domestik,

menjadi kaum proletar yang tidak berhak mengambil keputusan penting yang

menyangkut masalah keluarga, bahkan menjadi korban kekerasan dalam rumah

tangga. Selain itu, dalam budaya patriarkal perempuan juga tidak berhak ikut serta

dalam melakoni peran-peran publik yang berhubungan dengan pemerintahan dan

kenegaraan. Peran perempuan dalam parlemen juga masih kurang diperhitungkan.

Penelitian Republika pada buku Gender and Politics menunjukan kurang

terwakilinya wanita dalam posisi politik disebabkan faktor kultural maupun

struktural. Faktor kultural misalnya, mitos bahwa politik adalah dunia pria, serta

kurangnya kepercayaan diri perempuan untuk berkompetisi dengan pria didunia

politik. Sedangkan faktor struktural adalah adanya aturan main yang

mendiskriminasikan perempuan. Seharusnya, kaum perempuan juga berhak untuk

memperoleh tempat tertinggi dalam ruang aktivitas yang ia lakukan, sebagaimana

laki-laki dalam ruang aktivitasnya. Istilah ini yang disebut dengan kesetaraan

gender. Gender sendiri memiliki istilah yang digunakan untuk menggambarkan

perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan.

(Sunarto,2004:127). Salah satu film yang mengangkat tentang kesamaan hak

antara laki-laki dan perempuan adalah serial drama“The Geat Queen Seondeok”. Penulis memlikih serial drama ini karena serial ini dinilai sangat menginspirasi

kaum perempuan untuk lebih memaksimalkan peran dan kemampuannya di sektor

publik dan mewujudkan masyarakat yang sadar gender. Dalam serial ini terdapat

(34)

✑✒

pemimpin pada sebuah kerajaan (Ratu). Meskipun memiliki ambisi dan cita-cita

yang sama terdapat perbedaan karakter dari keduanya. Baik pada tokoh Lady

Mishill ataupun Putri Deokman, keduanya memiliki keunikan tersendiri pada

masing-masing karakternya. Pada serial “The Great Queen Seondeok” ini keseluruhan episode mencapai 62 episode, namun hanya 5 episode saja yang akan

diteliti oleh penulis terkait dengan adegan yang berhubungan dengan gerakan

feminisme dan keterwakilannya dari keseluruhan episode.

Berdasarkan penjabaran diatas, penulis memilih analisis semiotika yang mengacu

pada kode-kode televisi John Fiske yang dirasa sangat cocok sebagai metode

analisis yang digunakan. Selain karena objek penelitiannya berbentuk film,

terdapat kode-kode sosial yang dapat direpresentasikan melalui metode analisis

ini. Penelitian ini akan dianalisis sesuai dengan kode-kode televisi John Fiske

yang mencakup : Level realitas, level representasi, level ideologi yang tertuang

pada kode-kode sosial : Penampilan, gerakan, perilaku, dialog, dan kerja kamera.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran perilaku, peran dan posisi

perempuan yang tercermin dalam serial “The Great queen seondeok” pada konteks keluarga dan pemerintahan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk

mendeskripsikan nilai-nilai feminisme yang tercermin pada tokoh-tokoh sentral

(35)

✓✔

Adapun langkah-langkah untuk memahami bagaimana representasi feminisme

dalam serial “The Great Queen Seondeok” dibuatlah bagan kerangka pemikiran

sebagai berikut :

Bagan 1. Kerangka Pemikiran

Film

Serial Drama

“The Great Queen Seondeok” (Eps 1-3 dan 51-52)

Semiotika John Fiske, meliputi kode-kode televisi :

1. Level Realitas 2. Level Representasi

3. Level Ideologi

Perilaku, Peran dan Posisi Perempuan

Representasi Nilai-Nilai Feminisme dalam Serial“The Great Queen Seondeok” Konteks

Keluarga

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian

Tipe Penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, yakni penelitian yang menggali

makna-makna yang diartikulasikan dalam teks visual berupa film serial drama

“The Great queen Seondeok” dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

dengan representasi feminisme yang terkonstruksi didalamnya. Dalam penggalian

makna yang terkandung dalam kode-kode film, pendekatan kualitatif eksploratif

menjadi sangat tepat karena jenis penelitian ini memberikan peluang yang besar

bagi diciptakannya interpretasi-interpretasi. (Sobur,2004:147)

3.2. Metode Penelitian

Dengan pertimbangan bahwa objek penelitian serial drama ‘The Great Queen Seondeok” adalah sebuah teks yang tersusun atas tanda dan lambang, maka metode yang digunakan adalah semiotika, yang memiliki keandalan dalam

menganalisis tanda dan lambang. Semiotika menyediakan bingkai kerja

konseptual yang komprehensif dan serangkaian metode yang mencakup seluruh

praktek perlambangan meliputi, segala bentuk visualisasi kode televisi. Selain itu

simbol dan makna sebagai metode semiotika, merupakan dua elemen penting

dalam melihat relasi perempuan dan media massa. Pemilihan metode penelitian

(37)

32

peran dan pengaruh konteks sosial budaya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga

memungkinkan dekonstruksi teori yang berperspektif feminis. Maka dari itu,

metode semiotika paling tepat digunakan dalam studi feminis. (Lubis,2006:111)

Dalam operasional penelitian, metode semiotika yang digunakan adalah metode

analisis tekstual. Semiotika teks ini menganalisis tanda (jenis, struktur, makna)

dan juga pemilihan tanda yang dikombinasikan kedalam pola yang lebih besar

(teks), yang didalamnya terkonstruksi sikap, ideologi atau mitos tertentu yang

melatar belakangi kombinasi tanda-tanda tersebut. (Piliang,2003:271)

3.3 Definisi Konseptual

Dalam penelitian yang berjudul “Representasi Feminisme dalam film The Great

Queen Seondeok” definisi konseptual yang dipaparkan penulis adalah sebagai

berikut :

1. Representasi

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses pemaknaan melalui

sistem tanda yang ada. Tanda-tanda tersebut tersaji dalam dialog,tulisan,video,

film, tayangan televisi dan sebagainya.(Juliastuti dalam Maria,2009:38). Selain

itu representasi juga merupakan proses sosial yang timbul dalam interaksi antar

pembaca atau penonton dalam sebuah teks. Representasi memproduksi

tanda yang mencerminkan seperangkat ide dan sikap yang mendasari

tanda-tanda tersebut. (Nelmes dalam Mariska,2007:46). Proses pemaknaan ini

(38)

33

2. Feminisme

Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles

Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini pindah ke

amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill “Perempuan

sebagai subjek” (The subjection of women) pada tahun 1869. Perjuangan mereka

menandai kelahiran Feminisme Gelombang pertama. Tujuan dari feminisme ini

adalah sebagai transformasi sosial untuk meningkatkan kesadaran gender dalam

lingkungan masyarakat. (Nuruzaman,2005:181) Feminisme yang dimaksud dalam

serial ini bukanlah pembebasan kaum perempuan secara moral dan radikal, namun

feminisme yang mengacu pada kesetaraan gender yang memperjuangkan

kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan,sosial,

budaya serta politik dan pemerintahan. Dalam hal ini, serial “The Great Queen Seondeok” menjadi medium representasi feminisme dimana tokoh sentral dalam serial ini adalah perempuan-perempuan berkualitas yang memiliki cita-cita dan

ambisi yang tinggi untuk menyetarakan kedudukannya terhadap pria, dalam

bidang pemerintahan dan kenegaraan.

3.4 Unit Analisis

Dalam penelitian ini, unit-unit analisis yang dipergunakan adalah kode-kode

televisi John Fiske dengan pemilihan sebagai berikut :

1. Penampilan

Argyle membagi penampilan menjadi dua aspek :

(39)

34

b. Aspek yang kurang bisa dikontrol seperti: Tinggi badan, berat badan dan

sebagainya. Penampilan ini digunakan untuk mengirimkan pesan tentang

kepribadian dan status sosial. (Fiske,2004:96)

2. Perilaku

“Cara kita duduk, berdiri ataupun berselonjor bisa mengkomunikasikan

bagaimana cara pandang orang lain tentang pemaknaan sikap kita. Postur

seringkali terkait dengan sikap interpersonal : Bersahabat, tidak ramah atau

bermusuhan, superioritas, inferioritas yang semuanya bisa ditunjukan lewat

postur. Postur pun bisa menunjukan kondisi emosi seseorang, misalnya tingkat

ketegangan atau kesantaian”. (Fiske,2004:97)

Perilaku mengacu pada aksi dan reaksi dari aktor dalam film. Pada umumnya

dalam hubungannya dengan aktor lain maupun lingkungan sekitarnya. Terdapat

berbagai jenis prilaku baik yang disadari maupun yang tidak disadari, yang

terlihat maupun yang tersembunyi, yang dilakukan sukarela ataupun sebaliknya.

3. Gerakan

Gerakan merupakan sebuah bentuk komunikasi non verbal, dengan menggunakan

bagian tubuh aktor/pemeran dalam film, sebagai pengganti atau kombinasi

komunikasi verbal. Gerakan meliputi gerak tubuh, gerak tangan dan kaki serta

ekspresi wajah. “Lengan adalah transmiter utama gerak, meski gerak kaki dan

kepala juga penting. Semuanya terkoordinasi erat dengan pembicaraan dan

pelengkap komunikasi verbal. Ini menunjukan baik munculnya emosi umum atau

(40)

35

4. Dialog

Dialog merupakan bentuk penyajian kata-kata yang diucapkan oleh dua atau lebih

aktor dalam film secara timbal balik. Percakapan tersebut dilaksanakan

berdasarkan skenario yang telah dibuat dan dialog telah disusun untuk mendukung

plot atau alur cerita. Menurut Sidharta dan sony, dialog merupakan gambaran dari

logika berfikir, latar belakang serta interaksi antara satu tokoh dengan tokoh yang

lain sehingga mengandung makna eksplisit maupun implisit. (Sidharta

&Sony,2004:78)

3.5 Fokus Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian kualitatif, sangat penting menyertakan fokus

penelitian, karena fokus penelitian akan membatasi ruang lingkup penelitian yang

akan dilakukan dan memegang peranan penting dalam memandu serta

menjalankan suatu penelitian. Pada penelitian ini yang menjadi fokus penelitian

adalah serial drama sejarah Korea yang berjudul “The Great Queen Seondeok”

yang memiliki 62 episode secara keseluruhan. Fokus utama penelitian ini hanya

dititik beratkan pada episode 1,2,3,51 dan 52 saja, dimana kelima episode ini

dinilai cukup mewakili representasi feminisme yang terdapat dalam serial ini.

3.6 Jenis Sumber data

Adapun yang menjadi sumber data primer adalah dokumentasi serial drama “The

Great Queen Seondeok” dan data sekunder berupa referensi serta literatur yang

berkaitan dengan penelitian ini yang diperoleh melalui majalah, koran online.

(41)

36

3.7 Teknik pengumpulan Data

Penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, meliputi :

1. Dokumentasi

Dalam penelitian ini, penulis melakukan observasi melalui kaset DVD serial

“The Great Queen Seondeok”

2. Studi Pustaka

Teknik ini merupakan teknik pengumpulan data dengan kategorisasi dan

klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian,

baik dari sumber dokumen maupun buku-buku literatur, majalah, artikel,jurnal

yang berkaitan dengan masalah perempuan, feminisme, gender,perfilman dan

semiotik.

3.8 Teknik Pengolahan Data

1. Tahap Reduksi

Penulis menyelesaikan film berdasarkan rumusan masalah penelitian, konsep

feminisme dalam film serial drama “The Great Queen Seondeok “. Kemudian menentukan adegan-adegan yang akan dianalisis dan yang tidak. Pada tahap ini

film yang menjadi objek penelitian dibagi-bagi menurut adegan yang ada untuk

mempermudah pengamatan. Pembagian ini dilakukan untuk mengamati dan

menganalisis adegan demi adegan yang sesuai dengan perspektif feminisme.

2. Tahap Kategorisasi

Setelah data-data direduksi, penulis mengklasifikasi dan mengkategorisasi

(42)

37

3. Tahap Analisis

Penulis data berupa gambar-gambar visual secara kualitatif dalam frame semiotika

yang mengacu pada kode-kode televisi John Fiske, sesuai dengan level realita,

level representasi dan level ideologi.

4. Tahap Interpretasi Data

Setelah dilakukan analisa yang mengacu pada fokus penelitian. Dimulai dari

mencari bagian dalam adegan yang sarat akan gerakan feminisme dalam serial

“The Great Queen Seondeok”untuk kemudian diinterpretasikan dan ditafsirkan.

5. Simpulan

Tahap terakhir, peneliti menarik kesimpulan dari seluruh argumen yang telah

(43)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Film merupakan salah satu media massa yang dapat merekam kehidupan sosial

dalam bingkai yang menarik. Bagaimana pengemasan film menjadi sebuah sarana

komunikasi massa yang efektif tergantung dari kerjasama tim yang terlibat dalam

pembuatan film tersebut. Khususnya, ketika film itu bertujuan merepresentasikan

gerakan feminisme dan persoalan gender dalam budaya masyarakat di berbagai

negara. Penelitian ini dilakukan dengan mendokumentasikan rekaman serial

drama korea “The Great Queen Seondeok” sebagai objek penelitian, yang

diproduksi oleh Munhwa Broadcasting Company ( MBC ) pada tahun 2009. Serial

drama ini adalah salah satu referensi yang dianggap penulis cukup

merepresentasikan gerakan feminisme dan tepat untuk dijadikan acuan bagi kaum

perempuan untuk dapat memberdayakan dirinya sebagai individu yang mandiri

dan menghasilkan.

Pada penelitian ini, penulis mencoba menganalisis adegan per adegan yang

merepresentasikan gerakan feminisme, berikut dengan perilaku yang mencakup

peran dan posisi pada beberapa tokoh utama perempuan dalam serial drama ini

berdasarkan pada Kode-kode televisi John Fiske yang meliputi : Penampilan,

(44)

✕✕

Setelah dilakukan pengamatan, penulis menemukan 49 adegan yang diantaranya

adalah sebagai berikut :

Adegan 1

Durasi : 0:02:07–0:02:13

Raja Jin Heung menunggang kuda

Gambar. 4.1

Sumber : Serial The Great Queen Seondeok

Disebuah perbukitan Shilla, Raja Jin heung menunggang kuda dengan gagah

berani, gesture-nya menggambarkan sosok pemimpin yang tegas dan berkuasa .

Hamparan perbukitan Shilla yang luas nan elok di sempurnakan dengan teknik

pengambilan gambar yang tepat yakni Extreme Long Shot (ELS). Teknik

pengambilan gambar ini ditujukan untuk gambar yang sangat jauh, panjang dan

luas serta berdimensi lebar. Teknik (ELS) ini bertujuan membawa penonton untuk

lebih mengenal lokasi cerita. Raja Jin Heung dengan kostum raja yang mewah

menunggang kuda dengan gagah, menampilkan kesan maskulin, tegas dan

berwibawa sebagai seorang Raja yang berkuasa di Kerajaan Shilla. Posisi seorang

raja tergambar pada Raja Jin Heung ini terepresentasikan melalui kostum dan

(45)

✖✗

Dialog : Tidak ada dialog ataupun monolog dalam adegan ini,

adegan ini lebih terfokus pada penampilan,gesturedan

latar

Adegan : 2

Durasi : 0:02:32 - 0:02:34

Panglima Moon Noh sedang memimpin ritual sembahyang di gunung Ba Gong Kore

Gambar. 4.2

Sumber : Serial The Great Queen Seondeok

Panglima Moon Noh dengan kostum serba putih sedang memimpin doa di gunung

Ba Gong kore untuk kejayaan dan keselamatan Shilla. Putih berarti suci dan

hubungan dengan Sang Khalik. Pada masyarakat Korea, kostum berwarna putih

sering digunakan ketika melaksanakan upacara keagamaan. Seperti upacara

kematian ataupun sembahyang atau pemujaan. Teknik pengambilan gambar pada

adegan ini memperlihatkan teknik pengambilan gambar secara Close Up (CU).

Melalui angle ini, penonton dapat lebih merasakan emosi si aktor berdasarkan

reaksi mimik wajah yg tergambarkan. Posisi Moon Noh sebagai pemimpin

tertinggi di medan laga membuatnya memiliki kedudukan yang sangat penting

dalam meraih kejayaan dinasti Shilla.

(46)

✘✙

Adegan : 3

Durasi : 0 : 02:49–0:03:05

Raja Jin Heung dikepung perampok Baekje

Gambar. 4.3

Sumber : Serial The Great Queen Seondeok

Masih di area perbukitan Shila, Raja Jin Heung terkepung oleh perampok Baekje.

Raja Jin heung mengenakan kostum rajanya merepresentasikan bahwa Raja

Jin-Heung memiliki status sosial yang sangat tinggi. Sementara perampok Baekje

dengan kostum dan penutup muka berwarna hitam-hitam serta memegang samurai

memberi kesan sadis dan misterius. Dengan demikian, kostum juga dapat menjadi

pembeda kelas, status sosial bahkan karakter seseorang dengan yang lainnya.

Nada bicara yang tinggi dan menantang, serta perawakan yang misterius membuat

pasukan Baekje terkesan mencerminkan perilaku yang tidak ramah dan kejam.

Gerakan perampok mengepung Raja dan mengacungkan samurai menggambarkan

perampok yang tidak terima atas kekalahan kerajaan Baekje dan berniat

menghabisi nyawa Raja Jin Heung

Dialog : Raja Jin Heung :“Perampok Baekje..!.”

Perampok Baekje :“Iya,,,kenapa?!, kami datang untuk

membalaskan dendam paduka

(47)

✚✛

Adegan 4

Durasi : 0:03:22–0:04 10

Mishill menunggang Mishill melawan perampok Mishill berhasil

mengalah-kuda menyelamatkan dilengkapi dengan kan perampok Baekje

Raja Jin Heung atribut perang

Gambar. 4.4

Sumber : Serial The Great Queen Seondeok

Masih mengambil setting di Perbukitan Shilla, Mishill dengan kostum perang

berwarna merah, dilengkapi samurai, topi dan masker baja, memberi kesan bahwa

Mishill seorang wanita yang tangguh. Perilaku Mishill yang berani berperang

melawan musuh untuk melindungi nyawa orang yang dihormati dan dicintainya

mengkomunikasikan bahwa Mishill memiliki nilai tambah sebagai seorang

perempuan yang tidak hanya bisa melakukan peran-peran domestik, tetapi juga

mampu melakukan perannya disektor publik, yang sarat intrik,politik dan

kekerasan yang mempertaruhkan nyawanya. Gerakan Mishill memacu kuda

sambil membawa samurai menampakan sikap seorang ksatria. Teknik

pengambilan gambar yang dilakukan memakai teknik Medium Shot (MS) yang

membuat penonton dapat melihat jelas ekspresi dan emosi dari pemain.

(48)

✜✢

Adegan 5

Durasi : 0 :04:38- 0:04:47

Mishill mengkhawatirkan keselamatan Raja Jin Heung

Gambar. 4.5

Sumber : Serial The Great Queen Seondeok

Masih menggunakan kostum panglima perang, Mishill membuka topeng dan

atribut perangnya, dengan mimik wajah cemas dan sedikit menyesal ia segera

berlutut di hadapan Raja. Nada bicara Mishill yang lembut dan penuh rasa peduli

berlutut meminta maaf atas kelalaiannya. Mishill menghawatirkan keselamatan

Raja Jin heung. Teknik pengambilan gambar Close Up (CU) yang mempertegas

mimik wajah penyesalan dan rasa bersalah Mishill terhadap Paduka.

Dialog : Mishill :“Paduka, maaf saya yang lalai melindungi

anda sebaiknya jangan sendirian periksa

(49)

60

Adegan 6

Durasi : 0:05:56–0:06:20

Raja memuji kepiawaian Mishill Mishill tersipu menerima pujian

Gambar. 4.6

Sumber : Serial The Great Queen Seondeok

Penampilan Mishill mengenakan kostum perang berwarna merah mengungkapkan

kepribadiannya yang berani dan percaya diri gerakan tubuh Mishill menundukan

kepala, menandakan perasaan haru karena Raja memuji kepiawaiannya

Dialog : Raja Jin Heung :“Mishill...kau sebagai pemimpin

hwarang,,sudah membina banyak

orang berbakat untuk melindungi

istana..”

Mishill :“Terima kasih paduka”.

Adegan 7

Durasi : 0:07:25–0:07:33

Mishill menuangkan teh untuk suami Mishill melayani suaminya

Gambar. 4.7

(50)

61

Dalam perjalanan menuju istana, di dalam tandu kerajaan, Mishill

berbincang-bincang dengan Raja Jin heung. Mishill sebagai selir , berpenampilan cantik dan

anggun, dengan mengenakan pakaian berwarna merah muda yang

menggambarkan sifat wanita yang penuh dengan kelembutan. Didepan Raja Jin

heung, perilaku Mishill memang mencerminkan perempuan lembut yang tidak

memiliki ambisi, namun diluar dugaan Mishill menggalang pasukan diam-diam,

mengerahkan klan / orang-orangnya untuk melancarkan strategi dan mewujudkan

ambisinya. Perilaku Raja Jin Heung sebagai suami dalam adegan ini, menunjukan

superioritas pada laki-laki, terhadap perempuan yg berada pada posisi kedua

(inferior). Terlihat gerak tubuh Mishill yang sedang menuangkan teh untuk Raja

Jin Heung. Gesture tubuh Mishill saat melayani raja terkesan anggun dan penuh

hormat.

Dialog : Mishill :“Kalau bukankarena paduka, saya

tidak pernah membayangkan mimpi

ini terwujud”.

Raja Jin Heung : “Menurutmu bagaimana saya bisa

melakukan semuaini ?.”

Mishill : “ Saya tidak berani menilai jasa

(51)

62

Adegan 8

Durasi : 0:07:53–0:08:20

Raja Jin Heung curiga Mishill mengisyaratkan salah seorang petugas sesuatu pada pengawal pengangkat tandu

di-penggal sesuai intruksi Mishill

Gambar. 4.8

Sumber : Serial The Great Queen Seondeok

Rambut terawat panjang, kulit halus putih bersih, wajah cantik, sikap yang santun

menutupi kejahatan-kejahatan yang sudah dilakukan oleh Mishill. Perilaku buruk

Mishill yang mulai berbohong di belakang Raja Jin Heung, berperilaku lemah

lembut di depan Raja untuk menutupi semua kelicikannya. Terdengar sedikit

kegaduhan diluar tandu. Raja Jin heung curiga dan menyuruh Mishill melihat ke

luar. Tanpa diduga, Mishill memberi isyarat pada pengawal tandu untuk

menghabisi nyawa salah seorang prajurit yang dianggapnya mengancam

kelancaran strateginya.

Dialog : ..tiba-tiba ada kegaduhan di luar..

Raja Jin Heung : “Adaapa diluar, coba kau lihat?.”

Mishil : “ Hanya masalah kecil paduka..”

(52)

63

Adegan 9

Durasi : 0:12:29–0:14:13

Raja terbaring sakit Mishill khawatir Raja memutuskan Raut sedih dan Dengan kesehatan Putra Baekjong kecewa atas Raja Jin Heung menjadi penerusnya keputusan Raja

Gambar. 4.9

Sumber : Serial The Great Queen Seondeok

Di tempat peristirahatan nya Raja Jin Heung yang lemah terbaring di tempat tidur

menandakan tidak bisa bertahan lama dengan sakitnya. Raut wajah Mishill terlihat

cemas ketika Raja mulai menyuruhnya menulis surat wasiat. Perilaku Raja Jin

Heung memperlihatkan gerak-gerik kurang yakin dengan ucapan Mishill yang

menyatakan setuju dengan surat wasiat Raja. Bahasa tubuh Mishill terlihat gelisah

dan pandangan mata Mishill berkaca-kaca menahan kesedihan akan rencananya

yang terancam gagal

Dialog : Raja Jin Heung : “ Nyawa saya sudah hampir buntu,

beri saya alat tulis,,,penerus saya

adalah Baekjong,Mishill dan Jin Lun

tidak boleh ikut campur masalah

kerajaan dan mengikuti jejak saya .

menjadi biksu..mengapa..? merasa

tak adil?

Gambar

Gambar. 4.1Sumber : Serial The Great Queen Seondeok
Gambar. 4.2
Gambar. 4.3Sumber : Serial The Great Queen Seondeok
Gambar. 4.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan adanya negasi dari feminisme yang menjunjung kesetaraan seperti tujuan politik modern yang paling dekat dengan feminisme liberal (Tong, 2004). Dalam

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kuasaNya, peneliti dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul Representasi Kesetaraan

FAUZIAH RAMADHANI, D1215050, REPRESENTASI HEGEMONI BUDAYA POPULER DALAM MAJALAH (Studi Analisis Isi tentang Feminisme, Kecantikan, dan Gaya Hidup dalam Majalah

Arumindyah, Devina Rahmariella. Representasi Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Budaya Patriarki pada Serial Unorthodox. Program Studi Ilmu Komunikasi. Fakultas

Gadang Mulyatama Sarasjati, D1214034, Representasi Nilai-Nilai Feminisme Liberal Dalam Film (Analisis Semiotik Film Merry Riana:Mimpi Sejuta Dollar), Skripsi, Program

Hal ini menunjukkan adanya negasi dari feminisme yang menjunjung kesetaraan seperti tujuan politik modern yang paling dekat dengan feminisme liberal (Tong, 2004). Dalam

Hasil penelitian ini adalah bahwa dalam serial televisi When Calls The Heart, bibliografi direpresentasikan dalam adegan-adegan antara guru yang bertindak sebagai terapis

Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana representasi sigma male dalam serial Peaky Blinders dengan menggunakan metode semiotika Roland Barthes,