• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Visual Motif Batik Parang Rusak Barong keraton Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Visual Motif Batik Parang Rusak Barong keraton Yogyakarta"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN VISUAL MOTIF BATIK PARANG RUSAK BARONG KERATON YOGYAKARTA

(Studi Kasus: Pola Visual Batik Parang Rusak Barong)

DK3831/Skripsi Semester II 2014-2015

Oleh:

Dina Kusuma Rahayu 51910723

Program Studi Desain Komunikasi Visual

FAKULTAS DESAIN

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan

rahmatnya yang telah memberikan penulis kesempatan untuk menyelesaikan

penelitian tentang Tinjauan Visual Motif Batik ParangRusak Barong Keraton Yogyakarta. Penelitian ini membahas tentang bagaimana visualisasi struktur batik Parang Rusak Barong dalam budaya Jawa yang kemudian ditinjau melalui

cara pandang kosmologi masyarakat Jawa. Penulis menyadari bahwa dalam

proses penelitian ini masih banyak kendala. Namun, berkat bimbingan dari

pembimbing, Alhamdulillah penelitian ini dapat diselesaikan. Semoga penelitian

ini memberikan dampak baik bagi pembaca maupun bagi penulis khususnya.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan banyak terimakasih kepada

bapak Taufan Hidayatulah, S.Sn., M.Ds selaku dosen pembimbing, juga kepada

bapak Jakob Sumardjo yang sudah berkenan dengan sabar membimbing serta

mengajarkan banyak hal yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya, pelajaran

yang sangat berharga yang membuat saya lebih mengerti tujuan dalam kehidupan.

Terimakasih kepada orang terpenting di dalam hidupku yaitu ibu dan ayah serta

kakakku yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya dalam doa, terimakasih

atas dukungan moril dan materil yang tidak bisa tergantikan, juga terimakasih

untuk semua teman-teman yang sudah memberi warna di setiap harinya dalam

empat tahun ini, dan pihak lain yang membantu kelancaran dalam proses

penyusunan penelitian ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena

itu masukan dan saran yang membangun sangat diharapkan, sehingga penulis

dapat terus belajar untuk memberikan manfaat dan menjadi lebih baik.

Bandung, Agustus 2015

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

II.2 Kosmologi dan Sikap Multikulturalisme Masyarakat Jawa ... 11

II.2.1 Kosmologi Masyarakat Jawa ... 11

II.2.2 Multikulturalisme Masyarakat Jawa... 12

II.2.3 Simbolisme Masyarakat Jawa ... 15

II.3 Estetika Timur ... 16

(6)

II.5 Visual ... 23

II.6 Simbol ... 25

II.7 Paradoks ... 26

II.7.1 Estetika Pola Dua ... 27

II.7.2 Estetika Pola Tiga ... 28

II.7.3 Estetika Pola Empat ... 29

II.7.4 Estetika Pola Lima ... 30

II.7.5 Mistis-Spiritual Masyarakat Jawa ... 31

BAB III TINJAUAN VISUALISASI BATIK PARANG RUSAK BARONG III.1 Motif Batik ParangRusak Barong ... 33

III.2 Visualisasi Motif Batik ParangRusak Barong ... 38

III.3 Motif Batik ParangRusak Barong SebagaiBentukKepercayaan ... 40

III.3.1 Aturan-aturanPenggunaan Motif Batik ParangRusak Barong Kraton Yogyakarta ... 41

BAB IV KAJIAN VISUAL POLA BATIK PARANG RUSAK BARONG BERDASARKAN KOSMOLOGI MASYARAKAT JAWA KERATON YOGYAKARTA IV.1 Mistis-Spiritual Pada Pola Motif Batik Parang Rusak Barong ... 43

IV.2 Analisa Pola Parang Rusak Barong ... 44

IV.2.1 Pola Sebagai Bentuk Daya Imanen ... 49

IV.2.2 Pola Sebagai Bentuk Daya Transenden ... 52

BAB V KESIMPULAN ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, budaya visual menjadi sesuatu yang tidak

terpisahkan dari sejarah kebudayaan bangsa dan peradaban modern. Desain,

sebagai salah satu wujud budaya visual memiliki peranan yang besar bagi sejarah

kebudayaan bangsa Indonesia. Visual sebagai sarana komunikasi, baik berupa

ekspansi dan ideologi. Terdapattiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat

(1979). Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma, kedua

wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam

bermasyarakat, ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai sebuah benda hasil karya

masyarakatnya. Kebudayaan Jawa yang ada di Indonesia adalah salah satu

kebudayaan yang memiliki budaya yang sangat beragam, dimana budaya Jawa

mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam hidup berupa

pengahrapan, beberapa harapan tersebut tertuang didalam seni batik.

Penggambaran kebudayaan berdasarkan kepercayaan serta strata sosial ini

tertuang dalam artefak Jawa salah satunya yaitu seni budaya batik.

Batik merupakan salah satu bagian dari kebudayaan yang telah menjadi ciri khas

masyarakat Jawa. Berawal dari Kerajaan Majapahit hingga saat ini. Tradisi

membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun-temurun, sehingga kadang

kala suatu motif dapat dikenali berasal dari keturunan tertentu. Batik memiliki

nilai estetika tinggi, sarat makna dan filosofi yang merupakan kearifan lokal yang

perlu dipahami dan terus dilestarikan. Keserasian dan harmonisasi antar sesama

hidup manusia, manusia dengan alam dan sang pencipta terdapat dalam motif bati

yang indah. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang, bahkan

sampai saat ini, beberapa motif batik tradisional hanya dipakai oleh keluarga

(8)

Gambar I.1 Motif Batik Parang Rusak Barong Sumber: Museum Batik Yogyakarta (Data pribadi)

(20 April 2015)

Motif Batik Parang Rusak Barong adalah contoh motif batik yang berasal dari

Keraton Yogyakarta yang dimana batik tersebut termasuk jenis batik larangan

karena nilai dan kedudukan batik tersebut yang sangat tinggi, dilihat dari makna

filosofi yang adiluhung. Motif batik berbentuk mata parang ini hanya boleh

dikenakan oleh Kesatria. Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan

menghasilkan motif-motif lain antara lain Parang Rusak Kusuma, Parang Pamo,

Parang Klithik dan Lereng Sobrah. Karena berasal dari Keraton Mataram, maka

oleh kerajaan, motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat

kebangsawanan seseorang.

Yogyakarta memiliki beragam potensi budaya, baik dari segi tangible (fisik)

maupun intangible (non fisik) yang secara fisik, Yogyakarta memiliki Cagar

Budaya dan sistem nilai dan norma, karya seni, serta sistem sosial dan prilaku

masyarakat secara non fisik. Keraton salah satu peninggalan peradaban tinggi

sebagai institusi warisan adiluhung yang masih terlestari.

Sebagai suatu lingkungan sosial, keraton mempunyai kebudayaan sendiri yang

mempunyai perbedaan dibanding dengan masyarakat lain pada umumnya.

Berbagai tata cara dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari

(9)

keramat, mengatur tempat duduk, memelihara benda pusaka, bahasa yang

digunakan, tingkah laku, pakaian yang harus digunakan, cara mengenakan

pakaian dan seterusnya. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk legitimasi

kekuasaan pihak keraton, bahwa kita menemukan norma melegitimasikan dan

berusaha memberikan kontrol Negara atas masyarakat dengan bentuk

simbol-simbol berupa babad, tabu, mite, dan hasil-hasil seni yang dikeramatkan.

Perbedaan pada kebudayaan di luar aturan/tata cara tersebut diberi sanksi

sebagaimana tampak dalam memperlakukan benda yang menjadi nilai sebuah adat

kebudayaan, sebagaimana yang terdapat di Keraton Yogyakarta. Keraton

Yogyakarta memiliki kebudayaan yang masih menjunjung tinggi adat istiadat

leluhurnya. Sebagaimana halnya keraton-keraton lain yang ada di Indonesia.

Keraton Yogyakarta memiliki busana yang khusus dipergunakan di lingkungan

keraton khususnya sang Raja yang memiliki motif, simbol, dan makna filosofis

tertentu yang dijadikan sebagai pegangan hidup para keluarga keraton dan

masyarakatnya. Hal ini dapat diamati dari berbagai macam simbol yang terdapat

pada kain batik yang dipakai oleh Sultan.

Bila diamati dengan cermat, batik tradisional yang terdapat di Keraton Yogyakarta

memiliki kedudukan yang sangat penting dalam tata cara adibusana keraton,

karena melalui jenis busana yang dikenakan dapat diketahui tingkat strata sosial

pemakainya. Batik Parang Rusak Barong adalah batik yang hanya boleh

dikenakan oleh Sultan, mendapati bahwa batik tersebut memiliki kedudukan yang

sangat tinggi dapat dilihat dari makna yang sangat dalam dari motif batik tersebut.

Berbicara masalah makna tidak akan pernah lepas dari istilah simbol tanda yaitu

sesuatu yang mencirikan dan mengandung unsur di balik makna atau simbol

tersebut. Ciri atau lambang yang memberikan dan menyatakan sesuatu hal kepada

orang yang mengandung makna atau arti, dan dapat menyebabkan terlihatnya

suatu hal manusia melalui panca indera dan ingatan atau sesuatu hal, sehingga

dialami oleh orang tersebut. (Mulia, 1983). Pemaknaan melalui motif batik

(10)

motif Batik Parang Rusak Barong. Motif Batik Parang Rusak Barong sebagai

emisor yang menjadikan masyarakat Keraton Yogyakarta sebagai penerima

makna.

I.2 Identifikasi Masalah

Batik diproduksi utamanya untuk para Sultan dan keluarganya. Hal ini

dikemukakan oleh Djoemena (1986) “Batik ragam hias yang kuat dan besar

dipakai oleh para ponggawa, sedangkan batik ragam hias kecil dan halus dipakai

oleh ningrat, seperti Parang Rusak Kusuma, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah.

Dalam permasalahan ini dapat diajukan beberapa permasalahan yang meliputi:

 Batik Keraton Yogyakarta memiliki nilai estetika yang tinggi, sarat makna

dan filosofi yang merupakan kearifan lokal yang perlu dipahami dan terus

dilestarikan. Batik Keraton Yogyakarta memang tidak kehilangan

eksistensinya namun saat ini masyarakat sudah melupakan makna dan filosofi

yang ada pada motif batik tersebut.

 Strata sosial masyarakat dilihat dari motif batik Keraton Yogyakarta.

 Untuk menganalisis makna dari motif batik Keraton Yogyakarta diperlukan standar kriteria yang berlaku untuk seluruh jenis batik.

I.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam

penelitian sebagai berikut:

Bahwa makna yang terkandung di dalam motif Batik Parang Rusak Barong

memiliki arti sebagai sebuah bentuk kekuasaan dan strata sosial, batik juga sarat

akan harapan dan kehidupan yang lebih baik. Dimana pesan tersebut bersifat

nonverbal dan hanya dapat dimaknai melalui simbol serta pemaknaan dari motif

Batik Parang Rusak Barong tersebut.

 Bagaimana konsep kepercayaan masyarakat Jawa ditinjau dari unsure visual pada Batik Parang Rusak Barong.

 Bagaimana unsur visual yang menggambarkan strata sosial masyarakat Jawa

(11)

I.4 Batasan Masalah

Di dalam penelitian ini, ada beberapa batasan masalah yang menjadi fokus.  Motif Batik Parang Rusak Barong berdasarkan sikap dan pola pikir

masyarakat Jawa.

 Pembahasan jenis batik yang di bahas hanya sebatas motif batik Parang Rusak Barong.

 Klasifikasi batik yang digunakan sebagai contoh berdasarkan pada

klasifikasi bentuk, baik geometris maupun non geometris.

I.5 Metode Penelitian

Gambar I.2 Kerangka Berpikir Sumber: Data Pribadi

(20 April 2015)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, bersifat

empiris (dapat diamati dengan panca indera sesuai dengan kenyataan). Pendekatan

kualitatif menggunakan konsep kealamiahan (kecermatan, kelengkapan, atau

(12)

Metode penelitian ini bersifat deskripsi analitik dengan menggunakan analisis

Estetika Paradoks yang dikemukakan oleh Jakob Sumardjo, sebagai sebuah

penelitian deskriptif, penelitian ini hanya memaparkan situasi atau wacana, tidak

mencari hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.

Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif (data yang bersifat tanpa

angka-angka atau bilangan), sehingga data bersifat kategori substansif yang kemudian

diinterpretasikan dengan rujukan, acuan, dan referensi-referensi ilmiah.

Peneliti memakai analisa Estetika Paradoks yang dikemukakan oleh Jakob

Sumardjo karena peneliti berusaha menginterpretasikan dan memaknai

tanda-tanda untuk mempresentasikan pesan yang disampaikan dalam motif batik Parang

Rusak Barong dengan menggunakan tatanan visual.

Pembedahan masalah dilakukan dengan menggunakan metode Estetika Paradoks

yang dikemukakan oleh Jakob Sumardjo. Paradoks disebut sebagai ilmu tentang

dua hal yang bertentangan (kontradiksi). Paradoks merupakan studi mengenai arti

dan analisis dari kejadian-kejadian yang menimbulkan arti (meaning-producing

event). Ilmu atau metode analisis yang mengkaji penafsiran asumsi yang

kontradiksi berdasarkan sesuatu yang disebut paradoks pada dasarnya

mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan

mengkomunikasikan (to communicate).

Memaknai adalah bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal

mana objek-objek tersebut akan berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem

terstruktur dari cara berfikir manusia. Dipilih sebagai metode penelitian karena

paradoks dapat memberikan ruang yang luas untuk melakukan interpretasi

terhadap motif Batik Parang Rusak Barong sehingga pada akhirnya bisa

(13)

Studi kepustakaan ialah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi

penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan

laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. (Nazir, 1988).

Pertama studi Kepustakaan ini mengadakan penelitian terhadap Keraton

Yogyakarta dan Museum Batik Yogyakarta dengan cara mempelajari dan

membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan sejarah, kebudayaan, serta

kepercayaan masyarakat jawa khususnya Keraton Yogyakarta yang tertuang

dalam simbol dari motif Batik Parang Rusak Barong.

I.6 Tujuan Penelitian

Mengetahui keterkaitan antara motif batik Parang Rusak Barong dengan unsur

strata sosial dan kepercayaan masyarakat menggunakan pendekatan teori paradoks

sebagai acuan untuk menganalisa motif Batik Parang Rusak Barong berdasarkan

pola pikir masyarakat Jawa khususnya Keraton Yogyakarta.

I.7 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada masyarakat khususnya generasi

muda mengenai makna yang terkandung dalam motif Batik Parang Rusak Barong

dan dapat dijadikan bahan untuk memperkenalkan dan melestarikan warisan

budaya Keraton Yogyakarta. Serta dapat menambah wawasan mengenai ilmu

morfologi dan paradoks. Peneliti berupaya memperkenalkan bentuk dan makna

dari motif Batik Parang Rusak Barong.

I.8 Sistematika Penulisan

a. Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini menjelaskan secara garis besar tentang motif Batik Parang Rusak

Barong sebagai seni yang terdapat di dalam kebudayaan Jawa khususnya Keraton

Yogyakarta, paparan mengenai motif Batik Parang Rusak Barong yang sarat akan

makna dan filosofi, menjadikan motif batik tersebut menjadi media untuk acuan

kasta dan strata sosial masyarakat Jawa Khususnya Keraton Yogyakarta. Dalam

(14)

masalah, pembatasan masalah, metode penelitian dan tujuan serta manfaat

penelitian.

b. Bab II Pengenalan Batik, Simbol Kosmologi Masyarakat Jawa dalam Motif

Batik Parang Rusak Barong

Penjelasan bab ini adalah bagaimana masyarakat Jawa memaknai seni batik

sebagai simbol kosmologi mereka, dimana batik sendiri merupakan produk

pemikiran manusia sawah. Dari konteks budaya yang pada akhirnya Batik

Parang Rusak Barong menjadi salah satu batik larangan yang hanya boleh

dikenakan oleh Sultan. Hal tersebut tidak luput dari pembahasan letak

geografis Keraton Yogyakarta juga unsur pola yang terdapat pada motif

Batik Parang Rusak Barong. Pembahasan pola tiga berfungsi untuk data

pendukung pada saat mengolah masalah tentang makna filosofi yang

terdapat pada motif batik yang akan diteliti.

c. Bab III Motif Batik Parang Rusak Barong

Bab ini berisi uraian tentang sekumpulan data mengenai motif Batik Parang

Rusak Barong yang akan di kaji berdasarkan teori paradoks pada pola batik

yang menjadi objek penelitian.

d. Bab IV Kajian Motif Batik Parang Rusak Barong Berdasarkan Kebudayaan

Keraton Yogyakarta

Bab ini berisi tentang analisa unsur simbol pada motif Batik Parang Rusak

Barong berdasarkan pandangan kebudayaan serta pola pikir masyarakat

Jawa khususnya Keraton Yogyakarta.

e. Bab V Kesimpulan

Bab ini berisi kesimpulan serta hasil akhir objek penelitian yang telah

(15)

BAB II

PENGENALAN BATIK, PARADOKS, POLA PADA PARADOKS, KOSMOLOGI, MOTIF BATIK PARANG RUSAK

II.1 Kebudayaan Jawa

Menurut Emile Durkheim (dalam Soleman B. Taneko, 1984) bahwa masyarakat

merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri. Masyarakat selaku

kelompok manusia yang didalamnya memiliki beberapa unsur. Adapun

unsur-unsur tersebut adalah:

 Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang hidup bersama.  Bersama-sama untuk waktu yang lama.

 Kesadaran bahwa kelompok merupakan suatu kesatuan.  Keterikatan sistem hidup bersama.

Pembedaan ini dilihat sebagai suatu penggolongan masyarakat Jawa dalam 3

struktur sosial yang berbeda, desa, pasar, dan birokrasi pemerintah. Suatu

penggolongan yang menurut pandangan mereka tentang kepercayaan keagamaan,

preferensi etnis dan ideologi politik mereka, yang menghasilkan 3 tipe utama

kebudayaan yang mencerminkan kebudayaan Jawa, ide umum tentang ketentuan

yang berkaitan dengan tingkah laku petani, buruh, pekerja tangan, pedagang, dan

pegawai Jawa dalam semua arena kehidupan. (Geertz, 1983)

Ketiga varian tersebut mempunyai perbedaan dalam penerjemahan makna agama

Jawa melalui unsur religinya yang berbeda. Seperti abangan yang menekankan

kepercayaannya pada unsur budaya lokal, terutama ritus yang disebut slametan,

kepercayaan kepada mahkluk halus, kepercayaan akan sihir yang mengutamakan

kepercayaannya kepada unsur Islam dan priyayi yang menekankan kepada unsur

Hinduisme, yaitu konsep Perbedaan penekanan unsur-unsur yang berbeda tersebut

berasal dari lingkungan yang diseimbangi oleh sejarah kebudayaan yang berbeda.

(16)

Kebudayaan suku Jawa merupakan salah satu kebudayan tertua yang ada di

Indonesia. Hadirnya berbagai kerajaan yang berdiri kokoh dimasa lampau

merupakan salah satu bukti bahwa kebudayaan suku Jawa sudah ada sedari dulu,

jauh sebelum modernisasi mempengaruhi kehidupan masyarakat Jawa.

Setiap peradaban yang pernah lestari di bumi selalu meninggalkan warisan

simbol-simbol yang menjadi bukti eksistensi. Simbol-simbol tersebut pada

masanya dapat jadi merupakan media komunikasi. Baik itu komunikasi sesama

manusia maupun dengan Tuhan. Begitupun yang terjadi pada kebudayaan suku

Jawa.

Kebudayaan suku Jawa melintasi waktu sejarah. Simbol yang dimiliki, dan tetap

bertahan sampai sekarang. Simbol mengkomunikasi masa lalu dengan seksama

kepada masyarakat modern, sehingga mereka bisa mengetahui makna dan filosofi

yang terkandung di dalamnya pada saat ini.

Dengan simbol-simbol tersebut, dapat di sampaikan pesan kearifan dan nilai

moral yang menjadi acuan. Kebudayaan merupakan proses pemikiran masyarakat.

Kebudayaan dapat juga diartikan sebagai kebutuhan manusia secara batiniah.

Oleh karena itu, berbudaya menjadi semacam "ritual" yang sudah dilalui sejak

lama oleh masyarakat Indonesia suku Jawa.

II.2 Kosmologi dan Sikap Multikulturalisme Masyarakat Jawa II.2.1 Kosmologi Masyarakat Jawa

Dalam kosmologi Jawa dikenal adanya makrokosmos dan mikrokosmos, atau

jagad ageng (besar) dan jagad alit (kecil). Jagad ageng adalah alam semesta dan

jagad alit adalah manusia. Pemahaman masyarakat Jawa bahwa korelasi

hubungan antara alam – manusia dan pencipta-Nya merupakan satu kesatuan yang

utuh, sehingga manusia memiliki kewajiban menjaga keselarasan hidup, menjaga

kelestarian alam dan manembah (manunggal) dengan Allah yang juga disebut

sebagai Gusti Kang Murbeng Dumadi atau Sang Hyang Akarya Jagad. Paham

(17)

menjadikan masyarakat Jawa sangat menjaga keseimbangan dan keteraturan. Bagi

masyarakat Jawa yang lebih mengutamakan logos dari pada chaos, manusia dan

alam merupakan lingkup kehidupan yang tak terpisahkan dalam dunia orang Jawa.

Manusia mula-mula hidup dalam lingkup kecil masyarakat. (Baihaqi, 2013)

Eksistensi manusia sangat tergantung kepada alam sehingga manusia mempunyai

kewajiban untuk menempatkan diri dalam keselarasan kosmosjika menginginkan

keselarasan dan mencapai kesejatian. Masyarakat Jawa sejak dahulu telah

memiliki kesadaran bahwasanya manusia sebagai jagad kecil dari keseluruhan

kehidupan dan kekuatan tertinggi, hendaknya menghayati posisinya dalam kosmos, Dengan Tuhan sebagai “Sangkan Paraning Dumadi”. Ia adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan

Paran. (Kebudayaan Jawa, Jurnal, 2006)

Kosmologi juga menggambarkan analisis pada batik yaitu moncopat kalimo

pancer dengan empat arah ruang dan satu pusat tepat bagian tengah kacu.

Kosmologi juga menggambarkan anasir hidup manusia yaitu air, api, tanah dan

angin. Anasir ini akan membentuk struktur nafsu yang merepresentasikan

dorongan dalam diri manusia untuk memenuhi kebutuhan rohaniah dan badaniah.

Konsep ini menjelaskan bahwa manusia di dunia tidak hidup sendiri, melainkan

memiliki empat saudara gaib yang diwakilkan dengan arah mata angin atau arah

ruang.

II.2.2 Multikulturalisme Masyarakat Jawa

Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah

kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi

kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini

telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Sebuah ideologi

dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya.

Setya Raharja (2011) mengemukakan pengertian multikulturalisme meliputi tiga

hal yaitu:

(18)

 Mengacu pada perbedaan budaya.

 Berkaitan dengan tindakan spesifik pada pada perbedaan.

Keanekaragaman budaya sebagai bentuk dalam kehidupan bermasyarakat.

Kebijaksanaan akan segera datang, jika seseorang membuka diri untuk menjalani

kehidupan bersama dengan hidup yang adikodrati, baik dalam kehidupan diri

sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat yang kompleks. Demokrasi,

keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan

yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan

keagamaan.

Menurut Watson (2000) mengungkapkan bahwa multikulturalisme ini akan

menjadi pedoman utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena

multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan memahami perbedaan dalam

kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model

multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (Indonesia) mempunyai sebuah

kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut. Multikulturalisme

diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis

meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayaan.

Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh

masyarakat tersebut secara tersusun memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat

diverse yang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati

oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari satu-kesatuan sosial.

Berikut adalah beberapa cirri dari masyarakat multikultural berdasarkan beberapa

faktor kebudayaan:

Waston (2000) menjabarkan beberapa cirri dari masyarakat multikultural

masyarakat Jawa berdasarkan beberapa faktor kebudayaan:

Ciri masyarakat multikultural :

 Faktor geografis, faktor ini sangat mempengaruhi apa dan bagaimana

(19)

geografis yang berbeda maka akan terdapat perbedaan dalam masyarakat

(multikultural).

 Pengaruh budaya luar, budaya luar menjadi penyebab terjadinya multikultural,

karena masyarakat yang sudah mengetahui budaya-budaya luar akan

mempengaruhi masyarakat akan mind set dan menjadikan perbedaan antara

sistem berpikir pra-modern dengan jaman modern.

Berikut adalah jenis bentuk dari masyarakat Jawa yang multikultural :

 Konsolidasi

Suatu proses penguatan pemikiran atas kepercayaan yang telah diyakini agar

kepercayaan akan sesuatu yang diyakini semakin kuat. Yang mana hal ini

dilakukan oleh orang yang lebih mengerti akan kepercayaan yang dianut.

Masyarakat Jawa menanamkan kepercayaan sebagai bentuk dari kehidupan

yang adikodrati dimana kepercayaan turun-temurun ini semakin kuat dengan

adanya hegemoni kebudayaan yang membuat kepercayaan Masyarakat

semakin kuat.

 Primodialisme

Primordialisme pada masyarakat Jawa melihat sudut pandang atau paham yang

dibawa sedari kecil mengenai adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan

memiliki ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai

yang diperolehnya melalui sosialisasi. Satu sisi, sikap primordial memiliki

fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Masyarakat primordialisme

akan selalu memandang budaya orang lain dari sudut pandang budaya asalnya.

 Etnosentrisme

Etnosentris sangat erat hubungannya dengan apa yang disebut in group feeling

(keikut sertaan dalam kelompok) tinggi. Masyarakat entosentris lebih kepada

anggapan suatu kelompok sosial dimana masyarakat etnosenrtis merasa bahwa

(20)

II.2.3 Simbolisme dalam Masyarakat Jawa

Simbol merupakan suatu bentuk komunikasi yang tidak langsung, artinya di

dalam komunikasi tersebut terdapat pesan-pesan tersembunyi sehingga makna

suatu simbol sangat bergantung pada setiap individu. Selain dapat berfungsi

sebagai pedoman sosial, simbol juga dapat berfungsi sebagai alat untuk

melakukan hegemoni budaya. Batik Parang Rusak Barong sebagai bentuk

hegemoni budaya yang masih di terapkan sampai saat ini di dalam ruang lingkup

Keraton Yogyakarta. (Jurnal Kebudayaan Jawa, 2006)

Filsafat dan pandangan hidup orang Jawa merupakan hasil Krida, Cipta, Rasa, dan

Karsa sebagai bentuk dari realitas kehidupan (kasunyatan). Pandangan hidup

orang Jawa banyak dipengaruhi oleh budaya animisme-dinamisme, Hindu, Budha,

dan Islam. Hal itu tercermin pada pengadaan ritual slametan yang dulunya

merupakan sarana pemujaan roh-roh nenek moyang. Tujuan dari ritual ini pun

sama sekali berbeda dengan ritual-ritual semacam itu sebelumnya. Selain

merupakan bentuk permohonan dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang

Maha Esa, slametan juga sarat dengan ajaran moral dan tata kelakuan (code of

conduct) yang diharapkan menjadi pedoman hidup masyarakat. Tujuan dari itu

semua tidak lain adalah untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis. Hal

tersebut selaras dengan konsep memayu hayuning buwono, mangasah mingising

budi, mamasuh malaning bumi (memakmurkan bumi, mengasah kepekaan batin,

dan menghilangkan penyakit masyarakat). (Jurnal Kebudayaan Jawa, 2006)

Masyarakat sebagai wadah yang sempurna bagi kehidupan bersama antar

manusia. Hukum adat memandang masyarakat sebagai suatu jenis hidup bersama

dimana manusia memandang sesamanya manusia sebagai tujuan bersama. Sistem

kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok

merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya (Soerjono Soekanto, 2006)

Dapat dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi

(21)

identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat

oleh kesamaan.

Koentjaraningrat memaparkan dalam bukunya (Pengantar Ilmu Antropologi,

1990) bahwa akulturasi iyalah sebuah proses sosial yang tumbuh pada satu

kelompok manusia, dengan kebudayaan tertentu yang dipertemukan dengan

unsur-unsur kebudayaan lain. Kedua kebudayaan tersebut dapat diterima dan

dipelajari kedalam kebudayaan sendiri, tampa menghilangkan esensi pribadi dari

budaya itu sendiri.

Proses terjadinya kebudayaan baru dimana ketika beberapa kebudayaan saling

berhubungan dalam jangka waktu yang cukup lama, setelah itu terdapat proses

penyesuaian antara masing-masing kebudayaan tersebut yang menghasilkan suatu

kepercayaan yang dapat dilihat dari bahasa, organisasi sosial kemasyarakatan,

pengetahuan, kesenian dan bentuk kerajinan.

II.3 Estetika Timur

Estetika yang lahir di kebudayaan Timur memiliki inti daripada dunia yaitu

agama. Manusia Timur menghayati hidup meliputi seluruh eksistensinya

dimana manusia Timur tidak bertujuan untuk menjadikan hidupnya secara

teknis, sebab masyarakat timur lebih menyukai intuisi ketimbang akal budi.

Mereka menyatukan akal dengan perasaan untuk penghayatan hidup.

(Sulaeman, 2012)

Pengaruh ajaran Hindu dan Budha membuat masyarakat Timur bersifat

kontemplatif yakni pandangan perkembangan rohani manusia. Manusia

Timur cendrung tidak mementingkan dunia, manusia timur lebih mencari

keharmonisan dengan alam, sebab alam adalah pemberi kehidupan, makanan,

tempat berteduh, seni dan ilmu pengetahuan. (Sulaeman, 2012)

Kebudayaan Timur memiliki orientasi budaya sebagaimana menyangkut lima

(22)

 Hakikat hidup manusia (HAM), keberagaman hakikat hidup di setiap

kebudayaan berusaha berbeda dengan kelakuan tertentu menganggap hidup

sebagai sesuatu hal yang baik.

 Hakikat karya manusia (MK). Kebudayaan memiliki hakikat yang berbeda, memberikan kedudukan dan kehormata

Berbeda dengan kebudayaan Barat, Menurut (Harold, Marylin, and Richard,

1979) berbeda dengan masyarakat Timur, manusia Barat lebih cenderung memilih

dunia objektif daripada rasa, sehingga pola pikir budaya Barat membuahkan sains

dan teknologi. Mereka lebih dipusatkan pada ujud dunia rasio yang dimana

pemahamannya tentang pengetahuan memiliki dasar yang kuat. Dan pandangan

hidup budaya Barat tradisional maupun agama akan bergerak mundur. Barat lebih

tertarik kepada material dan hidup yang menjadikan manusia Barat tidak merasa

perlu untuk meninjau makna dunia dan kehidupan.

II.4 Batik

Pengertian batik menurut kamus Bahasa Indonesia-Jawa yakni kata batik berasal

dari bahasa Jawa, batik memiliki arti menulis, mengarang dan menggambar. (Duta

Wacana, 1991)

Batik adalah lukisan atau gambar pada seni yang dibuat dengan menggunakan alat

yang bernama canting, orang melukis atau menggambar atau menulis pada mori

memakai canting disebut membatik atau mempunyai sifat-sifat khusus yang

dimiliki oleh batik itu sendiri. (hamzuri, 1985). Bahwa seni batik merupakan

produk pemikiran manusia sawah terlihat dari simbol yang merupakan simbol

kosmologi mereka. Bukti yang terletak pada simbol gambar batiknya. (Sumardjo,

2006)

Beberapa daerah pembatikkan di Indonesia mempunyai berbagai macam jenis

batik dengan variasi dan coraknya. Seperti halnya batik Parang yang menurut

penggolongannya termasuk golongan motif geometris yang ciri khas motifnya

(23)

Pada proses pembuatan batik umumnya terdapat tahapan yang meliputi :

1. Menyiapkan Kain Putih

Menyiapkan kain putih (katun atau sutera) meliputi menghilangkan kanji dan

kotoran. Kain putih yang dipakai dalam pembuatan batik biasa disubut juga

dengan istilah mori dalam perdagangan dikenal pula dengan cambric atau

white cambric.

2. Kain putih yang masih berbentuk geblogan (piece). Satu geblogan untuk

kualitas primisima dan prima, memiliki panjang 35 atau 36 yard dengan lebar

105 atau 106 cm. dipotong terlebih dahulu menjadi 12 atau 13 potongan

dengan ukuran tertentu. Terdapat beberapa ukuran panjang kain yaitu 250 cm,

260 cm, tetapi ada pula yang berukuran 225 cm.

3. Melipit pinggiran kain merupakan proses menjahit.

4. Setelah kain batik di jahit tepinya, beberapa ada yang langsung di batik ada

juga yang melalui proses pencucian terlebih dahulu untuk menghilangkan

kandungan kanji yang terdapat pada kain.

5. Proses selanjutnya setelah kain dibersihkan yaitu me-ngethel atau me-loyor

bertujuan agar kain melemas dan warna dapat terserap dengan sempurna.

6. Setelah kain putih selesai dicuci masuklah pada proses menganji, berfungsi

untuk menjaga agar lilin batik tidak meresap di benang agar mudah melakukan

proses me-lorod.

7. Mengemplong adalah memukul kain di atas landasan kayu yang telah tersedia

dengan ganden kayu.

Berdasarkan Komponen batik:

Batik memiliki dua komponen utama, yauitu warna dan garis. Kedua komponen

inilah yang membentuk batik menjadi tampilan kain yang indah. (Wulandari,

2011)

a. Warna

Warna sebagaimana juga bentuk dan tulisan merupakan media penyampai

(24)

kuat. Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya

sempurna (berwarna putih). (Wulandari, 2011)

b. Garis

Garis adalah suatu hasil goresan di atas permukaan benda atau bisang gambar.

Garis-garis inilah yang menjadi panduan dalam penggambaran pola dalam

membatik. Menurut bentuknya, garis dapat dibedakan sebagai berikut:  Garis lurus (tegak lurus, horizontal dan condong)

 Garis lengkung

Pola batik adalah gambar di atas kertas yang nantinya akan dipindahkan ke dalam

mori untuk digunakan sebagai motif. Pola batik dipengaruhi oleh keadaan alam,

lingkungan, falsafah, pengetahuan, adat istiadat, dan unsur-unsur lokal yang khas

di setiap daerah. (Wulandari, 2011)

Berdasarkan Corak Batik:

Corak batik adalah hasil lukisan pada kain dengan menggunakan alat yang disebut

dengan canting. Pada umumnya corak batik dipengaruhi oleh letak geografis

daerah pembuat batik. Sifat dan tata penghidupan daerah bersangkutan,

kepercayaan, adat istiadat yang ada, keadaan alam sekitar, termasuk flora dan

fauna, serta adanya kontak atau hubungan antar daerah pembuat pembatikan.  Bagian Corak Batik

Terdapat dua bagian utama, yaitu :

a. Ornamen utama dimana corak yang menentukan makna motif batik.

b. Isen-isen merupakan aneka corak pengisi latar kain dan bidang-bidang kosong

corak batik

(25)

Secara garis besar, corak batik berdasarkan bentuknya dibagi menjadi dua

golongan yaitu golongan ragam hias geometris dan non geometris.

Motif Parang diciptakan oleh Panembahan Senopati, pendiri Keraton Mataram.

Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, Senopati sering

bertapa di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh jajaran

pegunungan seribu yang tampak seperti pereng (tebing) berbaris. Akhirnya, ia

menamai tempat bertapanya dengan pereng yang kemudian berubah menjadi

parang. Di salah satu tempat tersebut ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing

atau pereng yang rusak karena deburan ombak laut selatan sehingga kemudian

diberi nama Parang Rusak.

Ragam hias Motif parang berbentuk mata parang, melambangan kekuasaan dan

kekuatan. Hanya boleh dikenakan oleh penguasa dan ksatria. Batik jenis ini harus

dibuat dengan ketenangan dan kesabaran yang tinggi. Kesalahan dalam proses

pembatikan dipercaya akan menghilangkan kekuatan gaib batik tersebut.

Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif

lain seperti Parang Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik,

dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya pendiri Keraton Mataram, maka oleh

kerajaan. Motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat

kebangsawanan seseorang. Motif-motif parang dulunya hanya diperkenankan

dipakai oleh raja dan keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa.

Sehingga jenis motif ini termasuk kelompok batik larangan. Motif ini merupakan

motif batik sakral yang hanya digunakan di lingkungan keraton. Pada jaman

dahulu, Parang Rusak biasanya digunakan prajurit setelah perang untuk

memberitahukan kepada Raja bahwa mereka telah memenangkan peperangan.

Berikut beberapa motif Batik Parang dan filosofinya:

 Parang Klitik

Motif ini merupakan pola parang dengan stilasi motif yang lebih halus.

(26)

melambangkan kelemah-lembutan, perilaku halus dan bijaksana. Biasanya

dikenakan kalangan Putri istana.

Gambar II. 1 Motif Parang Klitik Sumber: http://ekanurulhidayatii.blogspot.com

(28 April 2015)

 Parang Soblong

Motif parang ini menyimbolkan keteguhan, ketelitian, dan kesabaran, dan biasa

digunakan dalam upacara pelantikan. Motif ini mengandung makna harapan

agar pemimpin yang dilantik itu diilhami petunjuk dan kebijaksanaan dalam

mengemban amanah. Bisa juga dikenakan dalam upacara kematian karena

mengandung doa agar derajatnya diangkat ke tempat yang lebih terhormat.

Gambar II. 2 Motif Parang Soblong Sumber: http://ekanurulhidayatii.blogspot.com

(28 April 2015)

 Parang Kusumo

Mengandung makna hidup harus dilandasi oleh perjuangan untuk mencari

(27)

Demikianlah, bagi orang Jawa, hidup di masyarakat yang paling utama dicari

adalah keharuman pribadinya tanpa meninggalkan norma-norma yang berlaku

dan sopan santun agar dapat terhindar dari bencana lahir dan batin. Kain batik

motif parang kusumo biasanya digunakan pada saat tukar cincin.

Gambar II. 3 Motif Parang Kusumo Sumber: http://ekanurulhidayatii.blogspot.com

(28 April 2015)

Dari pengamatan Sri Soedewi Samsi (2006) Untuk membuat pola pada motif

Parang di atas kain putih (mori) pertama diawali dengan membuat kotak berupa

bujur sangkar. Panjang sisi antara 15 cm untuk Parang Rusak dan 25 cm untuk

Parang Barong. Arah garis 45 derajat dengan menghadap mendekat ke depan

pembuat pola. Demikian seterusnya hingga seluruh kain terisi bujur sangkar.

(hl.135)

Komponen dan struktur yang terdapat pada motif Parang antara lain:  Arah kemiringan parang

Mlinjon

 Pundak atau bahu  Pantat atau bokong  Bidang parang  Garis parang

 Kepala capung (serangga terbang) atau ukel  Hidung Gareng

(28)

Gambar III. 4 Struktur Motif Parang Sumber: Data Pribadi

(7 April 2015)

II.5 Visual

Elemen atau unsur visual yang dapat dilihat dalam seni rupa merupakan sebuah

bagian yang penting dalam menciptakan karya seni rupa. Elemen rupa meropakan

obyek material yang akan disusun agar menjadi sebuah karya seni. Unsur-unsur

atau elemen tersebut diantaranya: garis, bidang, warna, nada/irama (rhytme),

komposisi, dominasi (center of interest), dan kesatuan. (Tri Sulistyo, 2005)

a. Garis (line)

Melihat bentuk garis dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni: garis lurus

Horizontal dan vertikal, kedua garis lengkung dan bergelombang, ketiga garis

patah-patah, bentuk zig-zag, siku-siku atau membentuk sudut tajam.

Dari ketiga bentuk garis dasar tadi dapat memberikan kesan sifat/simbol, antara

lain:

 Memberi kesan kekuatan pada garis lurus.

 Memberi kesan mengembang/memusat pada causentric arcs.

 Memberi kesan berirama, dapat dinyatakan dalam garis lengkung yang

berurutan.

 Memberi kesan luwes, dapat dinyatakan pada garis lurus yang ujungnya

melengkung atau disebut juga bending upright line

 Memberi kesan sugesti dari garis yang berkobar, bersemangat/berkekuatan

(29)

 Memberi kesan melenyap, memperlihatkan jarak kejauhan, kerinduan di

sebut diminisshing persepective.

 Memberi kesan tentang keadaan ledakan, memusat, disebut radiation line.  Memberi kesan konflik, dapat digambarkan dalam garis-garis yang

bertumpuk, disebut juga conflicting diagonals

b. Bidang (shapes)

Pada dasarnya bidang di bagi menjadi dua, pertama bidang yang terdiri dari

segi empat, lingkaran, segi tiga sama sisi, dan bidang hasil gabungan antara

segi empat/lingkaran/segi tiga sama sisi.

c. Warna (colour)

Penggunaan warna dalam seni rupa pada dasarnya memiliki tiga fungsi, yaitu:

 Fungsi perjanjian (heraldis)  Fungsi optis (harmonis).

 Fungsi warna sebagai perwakilan dirinya sendiri/identitas

d. Irama (rhytme)

Irama dapat terbentuk dari warna (biru dengan hijau berulang-ulang menerus).

Karena pengulangan bidang atau bentuk atau garis yang beraturan dengan

bentuk dan jarak yang sama. Karena perbedaan dan ukuran dan bentuk yang

teratur dan berkelanjutan. Karena perbedaan jarak ruanng yang menerus antara

bentuk atau bidang yang selaras dalam gerak.

e. Komposisi

Komposisi adalah susunan (keseimbangan). Komposisi ini mencakup

keseimbangan (balance), artinya apabila unsur-unsur garis, bidang, warna, dan

sebagainya memberi rasa seimbang serta memuasakan kepada kita yang

melihat atau merasakannya. Balance dibagi menjadi dua yaitu keseimbangan

(30)

f. Dominasi (center of interest)

Dominasi atau lebihh sering disebutkan yaitu, pusat perhatian dari karya.

Kehadiran ini ditujukan untuk menonjolkan bagian tertentu yang sekirannya

perlu disampaikan. dominasi bisa ditampilkan melalui warna.

g. Kesatuan (totalitas).

Perpaduan/keselarasan antara unsur-unsur visual menjadi satu kesatuan

ungkapan dan kesatuan makna. Kesatuan ungkapan dan kesatuan makna ini

yang merupakan kesan keseluruhan dari sebuah karya seni. Keselarasan

unsur-unsur itu membentuk suatu pernyataan atau ungkapan maka bisa dikatakan

lukisan itu berhasil dan memiliki kekuatan.

II.6 Simbol

Langer dalalm Ross (1980) membedakan antara simbol diskrutif dan simbol

presentatif sementara simbol diskrusif digunakan dalam bahasa tulis dan lisan

untuk keperluan berkomunikasi. Jadi simbol tersebut bersifat penggambaran.

Adalah fenomena sensoris yang mengandung makna implisit, dalam ritus dan

mitos. Dari realitas faktual atau realitas kesadaran, lalu kemudian Bernard C. Heyl

memberikan skema hubungan simbol dengan kedua jenis realitas tersebut.

Gambar II.5 Skema Hubungan

(31)

Berdasarkan gambar di atas yang dimaksud dengan referen adalah segala sesuatu,

objek, fakta, kualitas, pengalaman, denotasi, pristiwa, designatum, benda-benda.

Konsep adalah konotasi, ide, pikiran, respon psikologis. Sedangkan simbol berupa

kata atau gambar. (Sumardjo, 2006)

Simbol peradaban modern mengacu kepada makna, konsep, dan pengalaman.

Dillistone mengungkapkan bahwa acuan simbol bukan sekedar konsep, tetapi

lebih dari sesuatu yang transenden, sesuatu yang lebih besar, lebih tinggi, sesuatu

yang absolut, konsep, makna, nilai, kepercayaan, realitas, ide. Bahkan menurut

Louis Macneice berpendapat bahwa simbol adalah tanda tangan imanesi Allah.

(Sumardjo, 2006)

II.7 Paradoks

Paradoks adalah ilmu yang membahas sesuatu yang kontradiksi dimana terdapat

dua hal yang berlawanan namun memiliki harmonisasi. Paradoks tercipta dari

pemikiran pra–modern yang memercayai adanya transenden. Tradisi Pemahaman

seni pra-modern berasal dalam kebudayaan mistis-spritualis-keagamaan.

Kebudayaan pra-modern berpikir kosmosentris, sementara kebudayaan modern

lebih antroposentris. Manusia itu hanyalah bagian dari alam dan semua yang ada.

Mikrokosmos manusia itu adalah makrokosmos semesta dan bagian pula dari

sebuah metakosmos. (Sumardjo, 2006)

Pandangan antroposentris menempatkan manusia sebagai pusat realitas. Ada jarak

manusia dengan semesta dan pencipta. Dengan demikian, realitas itu tergantung

dari masing-masing manusianya, yakni realitas kesadarannya atau cara

berpikirnya. Jakob Sumardjo menempatkan karya itu dalam cara berpikir

budayanya. Ada beberapa dasar pola pikir masyarakat pra-modern. Diantaranya

pola dua, pola tiga, pola empat, dan pola lima.

II.7.1 Estetika Pola Dua

Menurut Jakob Sumardjo (2006) Dasar pemikiran manusia pola dua adalah bahwa

(32)

bahkan perang. Dalam masyarakat berpola dua, jumlah kelompok sosial bukan

semakin menyatu, justru terpisah. (hl. 33)

Di dalam Estetika pola dua terdapat dualistik-antagonistik yaitu pola pikir yang

menekankan “pertentangan” daripada “komplementer”. Masyarakat yang hidup

dalam pola dua adalah masyarakat yang memiliki fenomena dualisme yang keberadaannya dilihat dari “material” dan “roh”. Masyarakat pola dua memiliki kepercayaan dinamisme bahwa segala sesuatu memiliki kekuatan yang dapat

mempengaruhi sesuatu. Masyarakat pola dua berusaha mengumpulkan daya-daya

dengan simbol. Simbol mereka sesuatu paradoks yang berupa bersatunya dua

unsur yang saling bertentangan, badan dan jiwa, lelaki dan perempuan, lawan dan

kawan.

Berikut contoh pola/struktur pola dua

Gambar II.6 Struktur Pola Dua

Sumber: Estetika Paradoks Jakob Sumardjo 2006 (4 Mei 2015)

II.7.2 Estetika Pola Tiga

Masyarakat pola tiga adalah kaum peladang dimana mereka hidup dari bercocok

tanam padi di lahan kering, hidupnya sudah tidak bergantung pada alam. Kaum

peladang membatasi komunitasnya dalam jumlah tertentu. Mereka memiliki

prinsip pemisahan yakni memiliki nama keluarga contoh eksplisitnya yaitu

(33)

Pola tiga hadir karena masyarakan peladang hidup dengan cara berladang,

menanam, memelihara, dan mengambangkan padi. Merawat dan memelihara

tanaman adalah simbol dari oposisi yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Tanaman padi dapat terus hidup kaerna adanya “perkawinan” antara Langit dan Bumi yang memiliki arti bahwa langit itu “basah” sedangkan bumi itu “kering”. Keduanya menciptakan entitas ketiga yakni kehidupan di muka bumi, langit di atas, bumi dibawah dan kehidupan muncul ditengah-tengah langit dan

bumi.

Kepercayaan kosmologi masyarakat peladang menjadi landasan berpikirnya yakni

pola tiga. Pola tiga bertolak dari kepercayaan dualisme yakni langit di atas, bumi

di bawah. Langit basah, bumi kering. Lagit perempuan, bumi laki-laki. Harmoni

menjadi syarat di dalam kehidupan masyarakat peladang.

Struktur hubungan tersebut dapat diambarkan sebagai berikut.

Gambar II.7 Struktur Pola Tiga

Sumber: Estetika Paradoks Jakob Sumardjo 2006 (4 Mei 2015)

II.7.3 Estetika Pola Empat

Pola empat berasal dari masyarakat pesisir atau kepulauan. Kosmologinya terdiri

dari tanah perbukitan, langit (hujan), laut, dan dunia manusia sendiri. Mereka

mempercayai ada empat pasangan kosmos yang membuat hidup ini tertap

(34)

seperti dalam budaya peladang, bagian hulu lebih sakral dari pada bagian hilir

yang tidak suci.

Hulu dan hilir merupakan bentuk kesempurnaan begitu juga dengan bukit dan

pesisir, gunung dan laut, asli dan asing, tua dan muda. Dengan demikian bukan

hanya pembagian sakral-profan, tetapi juga pembagian yang lebih dihormati dan

kurang dihormati.

Gambar II.8 Struktur Pola Empat Sumber: Estetika Paradoks Jakob Sumardjo 2006

(4 Mei 2015)

Bentuk belah ketupat atau jajaran genjang pada artefak tradisi pramodern dapat

diuraikan dan yang menjadi utama adalah bentuk itu tidak mempunyai titik pusat

di tengah wujud belah ketupatnya. (hl. 157)

II.7.4 Estetika Pola Lima

Estetika pola lima berkembang di masyarakat pesawah. Pengaturan pola

lima masyarakat pesawahan merupakan sumber makna bagi praksis kehidupan.

Semua hal dipola berdasarkan mancapat kalimo pancer, baik alam rohaniah, alam

(35)

ekonomi). Mancapat kalima pancer adalah parade hubungan tunggal dan plural.

Tunggal adalah pusat dan plural adalah pengikut.

Pola diatas dapat digunakan sebagai alat untuk mengkaji nilai estetika dan makna

dari motif Batik Parang Rusak Barong sebagai seni budaya dalam konteks

pemikiran masyarakat pra-modern. Dari sini pula akan terlihat perbedaan

masyarakat pra-modern dengan masyarakat saat ini dalam membuat dan

memaknai suatu karya.

Berikut sistematika sederhana pola pikir masyarakat Jawa

Gambar II.9 Kerangka Berfikir Masyarakat Jawa pada Artefak Sumber: Data Pribadi

(8 Mei 2015)

II.7.5 Mistis-Spiritual Masyarakat Jawa

Pada dasarnya masyarakat Jawa memiliki sifat atau kemampuan asimilasi pada

sebuah kebudayaan, dimana masyarakat Jawa mengelompokkan kebudayaan

dengan kepercayaan menjadi sebuah paham dan pemikiran tentang sejumlah ide

dasar spiritualisme. (Clifford, 1960)

Merurut Kuntowijoyo (1987) bahwa semua agama yang berkembang di tanah

(36)

tradisi dengan ketentuan agama, dan dari sanalah munculnya masyarakat

Jawanisme. Salah satu contoh prilaku gabungan yang bersifat kultural-spiritual

adalah upacara Slametan yang berbentuk Khenduren. (Soedarsono, 1986,

Haryadi, 1998)

Mistik sendiri secara singkat didalam buku Antropologi Budaya karya

Koentjaningrat dijelaskan sebagai aspek ruhaniah dalam diri individu yang

meyakini, mempelajari, menghayati, sebuah ajaran agama beserta prakteknya.

Namun di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, telah terjadi pergeseran

pemahaman makna kata mistik, didalam budaya Jawa sejak lama mistik dikaitkan

dengan segala bentuk kepercayaan atas kekuatan diluar manusia namun lebih

kepada diluar Tuhan, dengan kata lain individu-individu yang tidak mendapatkan

kepuasan atas kehausan spiritual mereka terhadap sebuah ajaran agama maka

mereka berpaling kepada hal-hal lain.

Dalam mekanisme harmoni pada masyarakat pola lima yakni memiliki pusat diri

(way to the centre) dimana pemahaman pada pusat diri tersebut menjadi bentuk

kecil dari alam semesta (mikro kosmos, jagat cilik), dalam spiritual pusat diri

bersifat harmoni. Spiritual sebagai pertemuan kosmos (makro kosmos). Tuhan

(37)

BAB III

MOTIF BATIK PARANG RUSAK BARONG

III.1 Motif Parang Rusak Barong

Parang Rusak motif Barong (Parang Rusak) adalah salah satu motif larangan.

Motif, seperti yang diperintahkan oleh Sunan Paku Buwana III tahun 1769, hanya

boleh digunakan oleh Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Motif Parang Rusak

Barong menjadi motif larangan karena dalamnya makna filosofis yang

disimbolkan oleh motif ini. Motif ini menyimbolkan pengendalian nafsu manusia

menuju pencapaian watak yang luhur, sekaligus menjadi simbol keagungan.

Pengendalian nafsu disimbolkan pada perpaduan ornamen uceng yang

menyimbolkan lidah api serta ornament blumbangan yang menyimbolkan air.

Perpaduan dua motif ini melambangkan perpaduan watak amarah atau angkara

murka yang diwakili oleh ornament uceng dan watak supiyah atau kerinduan yang

disimbolkan oleh ornament blumbangan.

Penyatuan simbol-simbol yang melambangkan kedua jenis watak ini menyiratkan

harapan agar pemakainya mampu mengendalikan kedua jenis watak tersebut dan

mewujudkannya dalam sifat bijaksana. Sedangkan makna agung di simbolkan

pada ornamen barong yang merupakan deformasi dari burung garuda yang

merupakan burung tunggangan Dewa Wisnu yang merupakan Dewa tertinggi

dalam ajaran Hindu.

Selain penyatuan simbol, terdapat pula warna yang melambangkan kepercayaan

masyarakat Jawa Keraton Yogyakarta. Warna yang digunakan pada batik keraton

pun terbatas pada pewarna alam mengingat belum ditemukannya pewarna sintesis

pada masa itu.Jika dipandang melalui alam kosmologi jawa, penerapan warna

seperti hitam, putih dan coklat juga mengacu pada kaidah dan pakem yang

berlaku. Keseluruhan tata aturan tersebut bertujuan untuk penyelarasan dan

(38)

Gambar III.1 Batik Parang Rusak Barong Sumber: Keraton Yogyakarta (Data Pribadi)

(20 April 2015)

Gambar III.2 Batik Parang Rusak Barong Sumber: Keraton Yogyakarta (Data Pribadi)

(39)

Berikut batik Parang Rusak Barong yang digunakan oleh Raja Keraton

Ngayogyakarta:

Gambar III.3 Hamengku Buwono VI

Sumber: https://galeriilmiah.files.wordpress.com/2012/01/hamengkubuwono-vii.jpg (28 Juni 2015)

Gambar III.4 Hamengku Buwono VII

(40)

Gambar III.5 Hamengku Buwono IX Sumber: http://3.bp.blogspot.com

(28 Juni 2015)

Gambar III.6 Hamengku Buwono X

(41)

Fungsi dari motif batik Parang Rusak Barong adalah selain untuk busana keseharian juga dipakai untuk upacara “Jumenengan” yaitu upacara Tahta.

Motif Batik Parang Rusak Barong yang hanya boleh dikenakan oleh Raja ini

biasanya digunakan pada saat upacara Jumenengan yaitu upacara tahta untuk

Raja. Ritual adat Tinggalan Dalem Jumenengan adalah salah satu penerapan adat

istiadat Kerajaan Jawa yang dinilai paling sakral dan bermakna penting.

Ritual ini diadakan untuk memperingati hari kenaikan tahta Raja. Dalam bahasa jawa kata “Tinggalan” yang berarti “peringatan” sedangkan kata “Dalem” merujuk pada panggilan kehormatan untuk seorang Raja Jawa dan “Jumenengan” berasal dari kata jumeneng yang berarti “bertahta”. Upacara adat Tinggalan Dalem Jumenengan merupakan salah satu ritual yang wajib dilaksanakan di

Kerajaan-kerajaan yang masih memiliki garis darah dengan Kesultanan Mataram

Islam.

Gambar III.7 Prosesi Upacara Jumenengan

(42)

III.2 Visualisasi Motif Batik Parang Rusak Barong

Objek kajian dalam penelitian ini berkaitan dengan kebudayaan Jawa yang terdiri

dari beberapa simbol.Simbol pola yang terdapat pada Parang Rusak Barong ini

menjadi fokus penelitian diantaranya memperlihatkan nilai serta harmonisasi

antara dua hal yang bertentangan.

Bentuk dasar dari ornamen batik Parang Rusak Barong memakai unsur alam yang

diambil dari berbagai hakikat kehidupan untuk menciptakan suatu kesatuan yang

harmoni. Pada batik Parang Rusak Barong terdapat beberapa unsur visual

diantaranya:

Tabel: III.1 Unsur visual Motif Batik Parang Rusak Barong

Pada unsur visual yang terdapat pada batik tersebut masing-masing memiliki arti

yang mewakilkan cara berpikir masyarakat Jawa dari awal jaman sebelum

modernisasi masuk ke Negara Indonesia khususnya pulau Jawa. Hal ini terlihat

dari sebuah artefak dimana terdapat simbol yang mengkomunikasikan sesuatu hal

berupa pola pikir masyarakat pembuatnya. Dalam artefak khususnya batik yang di

lahirkan dari kebudayaan Jawa memiliki kepercayaan terhadap dunia atas dan

dunia bawah. Dunia atas ialah daya transenden yang mempengaruhi

daya-daya imanen (dunia bawah). Hal tersebut dilihat dari pola batik Parang Rusak

(43)

Parang Rusak Barong sendiri adalah 25 cm yakni ukuran terbesar di antara motif

Parang Rusak lainnya.

Pada motif batik Parang Rusak Barong mengandung falsafah yang dipercaya oleh

masyarakat Jawa sebagai anutan dalam kehidupannya yang tertuang pada batik

Parang Rusak Barong menjadikan salah satu batik yang sarat akan makna dan

filosofi.

Berikut beberapa visualisasi dari bentuk ornamen yang terdapat pada motif batik

Parang Rusak Barong:

Parang

Menurut sumber ahli batik di dalam Keraton Yogyakarta parang adalah sebuah

senjata yang tajam tetapi tidak setajam pisau dan senjata yang panjang namun

tidak sepanjang pedang.Parang memiliki sisi yang rusak yang dipercaya oleh

masyarakat Jawa Keraton Yogyakarta bahwa sisi yang rusak tersebut adalah

sebuah janji Raja yang hendak menghentikan segala peperangan.

Ombak

Dalam alam berpikir masyarakat Jawa pada saat itu, ombak diartikan sebagai

suatu bentuk dari cobaan dan masalah yang terus menerus datang tanpa henti.

Pengharapan masyarakat Jawa khususnya Keraton Yogyakarta kepada sang

Raja pemakai batik ini agar dapat menyelaraskan kehidupan dan menjadikan

kepemimpinan sang Raja dapat menjadi anugerah untuk masyarakatnya.

Blumbungan/mlinjon

Blumbungan/mlinjon bermakna sebagai lambang dari air sebagai simbol nafsu

supiah dengan komposisi diagonal 450, yang menandakan kekuatan gerak

cepat. Parang Rusak memberikan makna agar manusia di dalam hidupnya

mampu mengendalikan diri, baik secara lahir dan batin, sehingga memiliki

(44)

Hidung Gareng

Pada motif batik Parang Rusak Barong terdapat bentuk yang menyerupai

hidung gareng bulat dan besar. Hidung gareng yang terdapat pada motif batik

ini memiliki arti kearifan, kecerdasan dan peka dalam melihat berbagai macam

masalah adalah sifat yang tedapat dalam tokoh Panakawan wayang Purwa Nala

Gareng.

Tuding

Tuding yakni arah yang menunjuk ke arah lereng yang melambangkan satu

alur arah sebagai bentuk dari komitmen yang konstan pada sang Raja.

III.3 Motif Batik Parang Rusak Barong Sebagai Bentuk Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat Jawa memiliki tradisi mistik yang berdeda dengan

wilayah lainnya di Indonesia. Segala bentuk prilaku masyarakat Jawa selalu

memakai sistem berpikir spiritual. Bentuk dasar kepercayaan ini masuk dalam

kepercayaan animisme dan dinamisme dengan percampuran budaya dari beberapa

agama. Kepercayaan masyarakat Jawa menjadi pertimbangan penting karena

didalamnya terdapat pengharapan keberhasilan dan keselamatan.

Dalam mistis-spiritual itu terdapat pernyataan rasa syukur terhadap Tuhan Yang

Maha Kuasa atas anugrah alam yang telah diberikan pada manusia. Di dalam

motif batik Parang Rusak Barong menggunakan ornament-ornamen yang bentuk

dasarnya di ambil dari alam. Bentuk visualisasi tersebut menggambarkan

kepercayaan masyarakat Jawa pada jama pesawah yang mempercayai bahwa

manusia adalah bagian dari alam sebagai mikrokosmos dari alam semesta.

(45)

III.3.1 Aturan-aturan Penggunaan Motif Batik Parang Rusak Barong Keraton Yogyakarta.

 Yang berkaitan dengan kedudukan social

Kain batik yang digunakan berdasarkan falsafah yang dimiliki oleh masyarakat

dilingkungan keraton, menunjukkan bahwa kedudukan sosial atau status sosial

serta pekerjaan tidak menghilangkan keyakinan bahwa setiap manusia

memiliki hak-hak fundamental manusiawi. Ajaran islam terdapat di dalam

Keraton Yogyakarta yang dimana ajaran islam tersebut salah satunya adalah

tiap-tiap orang sama kedudukannya dalam derajat manusia, karena memilik

hak-hak universal yang tidak bisa dibedakan menurut pangkat, kekayaan

maupun lainnya. Ajaran di dalam Keraton Yogyakarta mendapat pengaruh dari

Hindu yang mengenal adanya sistem kasta, antara lain yaitu perbedaaan

menurut status, maka simbol-simbol batik Keraton Yogyakarta dalam

penggunaannya berbeda menurut kedudukan sosialnya, karena merupakan

identitas bagi sipemakai dalam kedudukannya, khususnya dalam kain batik

yang dipakai.

 Yang berkaitan dengan upacara keagamaan

Acara atau upacara keagamaan merupakan simbol-simbol yang berhubungan

antara keraton dengan dunia yang lebih luas, mempunyai arti bahwa keraton

sebagai bagian dari dunia tersebut (keraton sebagai pusat dunia, bagian yang

penting). Hal-hal yang berhubungan tersebut harus berjalan harmonis agar

tercipta suatu keseimbangan di dalamnya. Dengan demikian dalam upacara

tersebut para masyarakat keraton diharuskan untuk mempersiapkan segala

sesuatu yang berkaitan dengan upacara tersebut sesuai dengan tugasnya

masing-masing agar tercipta suatu keseimbangan atau makna yang diharapkan.

Oleh karena itu upacara yang dilakukan di lingkungan keraton memiliki arti

yang penting bagi kehidupan masyarakatnya. Keraton Yogyakarta memiliki

beberapa upacara khusus seperti Upacara Sekaten, Upacara Siraman Pusaka

dan Labuhan, Upacara Garebeg dan Upacara Tumpal Wajik yang biasanya

diikuti oleh masyarakat keraton. Dalam mengikuti acara tersebut, ada

(46)

yang berhubungan dengan pernikahan. Batik-batik yang dipakai tidak akan

sama dalam setiap upacara, hal ini karena adanya aturan atau tata cara tentang

pemakaiannya.

 Simbolisme dalam warna motif batik Parang Rusak Barong Keraton

Yogyakarta.

Motif batik parang Rusak Barong mempunyai warna yang khusus yaitu warna

yang dipakai sebagai dasar dari seluruh kain jenis parang, yaitu wana hitam.

Warna tersebut menyiratkan arti bahwa hitam adalah simbol dari daya dari

(47)

BAB IV

TINJAUAN VISUAL POLA BATIK PARANG RUSAK BARONG BERDASARKAN KOSMOLOGI MASYARAKAT JAWA KERATON YOGYAKARTA

IV.1 Mistis-Spiritual Pada Pola Motif Batik Parang Rusak Barong

Kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat pesawah menjadikan motif batik

Parang Rusak Barong adalah sebuah artefak yang mengandung paham

mistis-spiritual, dimana artefak tersebut tidak berfungsi ganda dan masih didapatkannya

sakral. Hal tersebut dapat dilihat melalui pola pada motif batik Parang Rusak

Barong sebagai simbol dari kepercayaan masyarakat pesawah.

Batik Parang Rusak Barong yang berangkat dari seni tradisi merupakan suatu

bentuk kesenian yang merupakan produk budaya yang erat kaitannya dengan

keseharian masyarakatnya, disisi lain juga memuat sisi transendenitas. Mengingat

seni merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka.

Pada dasarnya, masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang religius.

Perilaku keseharian masyarakat Jawa banyak dipengaruhi oleh alam pikiran yang

bersifat spiritual. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa memiliki

hubungan istimewa dengan alam. Pemikiran mengenai fenomena kosmogoni

dalam alam pemikiran masyarakat Jawa, yang kemudian melahirkan beberapa

tradisi atau ritual yang berkaitan dengan penghormatan terhadap alam tempat

hidup mereka.

Sebagian besar masyarakat Jawa sekarang ini menganut agama Islam. Di antara

mereka masih banyak yang mewarisi agama nenek moyangnya, yakni beragama

Hindhu atau Buddha. Sikap masyarakat Timur terhadap alam adalah menyatu

dengan alam, tidak merusak alam, bahkan membuat sebuah harmoni dengan alam

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Masyarakat Jawa

menjaga hubungan yang harmonis dalam bentuk hubungan mistik manusia

(48)

tenang dan tentram. Di dalam seni Batik Parang Rusak Barong, terdapat pola pikir

masyarakat pesawah yang percaya akan budaya mistis-spiritual memberi makna pada

artefak pra-modern dimana masyarakat Jawa pada jaman ini memiliki bentuk

penghormatan sendiri untuk artefak tersebut. Masyarakat Jawa tradisional dengan cara

pandang animisme dan dinamisme percaya bahwa ada suatu kekuatan diluar dirinya

yang mengatur alam semesta. Menurut mereka hidup ini harus seimbang antara materi

dengan rohani, imanen-transenden sebagai bentuk dari nilai kehidupan.

Di dalam artefak batik Parang Rusak Barong, pembuat batik memberikan mutu

sebuah karya seni tidak hanya pada keindahannya namun juga pada kesakralannya

dimana didalamnya mengandung kepastian menghadirkan daya-daya rohani

kepada pemakainya.

IV.2 Analisa Pola Parang Rusak Barong

Objek kajian dalam penelitian ini berkaitan dengan kebudayaan Jawa yang terdiri

dari beberapa simbol. Simbol pola yang terdapat pada Parang Rusak Barong ini

menjadi fokus penelitian diantaranya memperlihatkan nilai serta harmonisasi

antara dua hal yang bertentangan. Visualisasi objek berdasarkan paham

kepercayaan kosmologi masyarakat Jawa yang saat ini masih di pegang teguh

berdasarkan kebudayaan tradisi.

Gambar IV.1 Bentuk Dasar Sebagai Pola Paradoks pada batik Parang Rusak Barong Sumber: Jakob Sumardjo

(49)

Bentuk dari persegi empat yang terdapat lingkaran didalamnya sebagai salah satu

unsur visual yang di dalam pola batik Parang Rusak Barong memiliki arti sebagai

dua hal yang bertentangan. Bentuk lingkaran yang terdapat struktur pola motif

batik Parang Rusak Barong menjadi simbol adanya daya-daya transenden yakni

arah rohani, sedangkan bentuk persegi empat yang terdapat pada pola motif batik

Parang Rusak Barong menjadi simbol dari adanya daya-daya imanen yaitu hal

yang berpusat pada dunia. Pola tersebut memiliki golongan.

Kedua bentuk dasar yang saling berlawanan tersebut akan menjadikan sebuah

harmoni dimana terdapat bentuk paradoks yang artinya terdapat keterkaitan di

dalam dua hal yang bertentangan dimana dalam kesatuan bentuk tersebut

mengandung arti hadirnya daya-daya transenden di dunia yang imanen (di dalam

dunia).

Bentuk tersebut menggambarkan pola pikir masyarakat Jawa pada jaman

pesawah, pola pikir yang masuk dalam kategori budaya mistis-spiritual. Dalam

alam pikir masyarakat Jawa yang mempercayai mistis, ruang dan waktu memiliki

nilai yang berbeda dengan pola pikir pra-modern, pra-modern tidak membedakan

makna ruang dan waktu, depat atau belakang juga kiri atau kanan, tetapi

masyarakat pesawah bernilai sebaliknya. Mereka menganggap kanan lebih sakral

dari kiri atau sebaliknya. Begitu juga dengan pola bentuk dasar pada batik Parang

Rusak Barong yang hal tersebut adalah dua hal yang bertentangan namun

mengandung unsur harmonisasi.

Gambar

Gambar I.1 Motif Batik Parang Rusak Barong
Gambar I.2  Kerangka Berpikir
Gambar II. 2  Motif Parang Soblong
Gambar II. 3  Motif Parang Kusumo
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kalpiko Batik terdiri dari motif fauna, motif flora, motif mega mendung, motif parang, motif kawung, motif watu tumpuk, motif percikan air, motif cecek, motif wajikan, motif

Permasalahan yang dibahas pada penelitian ini adalah estetika menurut Dharsono Sony Kartika dari tontonan sebuah jenis pola batik berupa visual pada motif utama, motif

Kata parang sendiri (dari bahasa Jawa) berarti pereng atau lereng (tebing), yang merupakan tempat Panembahan Senopati mendapatkan ide untuk membuat motif batik parang. Dapat

Batik Larangan yang mengandung makna filosofis di Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VII adalah motif huk.. Motif huk tergolong motif non

Perancangan motif batik Jombangan dalam media buku visual merupakan salah satu upaya untuk memberikan edukasi dan sebagai sumber referensi terhadap pengrajin batik di

Batik Larangan yang mengandung makna filosofis di Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VII adalah motif huk.. Motif huk tergolong motif non geometris

Suwiyantari, 2015 Kesimpulan dari konsep ini adalah penerapan tema “The Cultural Heritage of Java” motif batik Parang yang dipadukan dengan gaya desain kontemporer akan dihadirkan pada

Selain itu, batik ini memiliki pola khas sehingga mudah dikenali, seperti batik tambal yang terdiri dari berbagai motif yang disusun ke dalam satu kain.. Motif batik tambal memiliki