• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bukti Ketiadaan Naskh dalam Al-Qur’an (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bukti Ketiadaan Naskh dalam Al-Qur’an (3)"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

22 12 - 24 RABIULAWAL 1432 H

K H A Z A N A H

5. Ayat 240 Al-Baqarah [2]

“Dan orang-orang yang akan mening-gal dunia di antaramu dan meningmening-galkan istri, hendaklah berwasiat untuk istrinya, (yaitu diberi nafkah hingga setahun lama-nya dengan tidak disuruh keluar (dari ru-mahnya).”

Menurut as-Siyutiy, ayat tersebut di-nasakh oleh ayat 234 Al-Baqarah [2]:

“(Hendaklah para istri itu) menang-guhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.”

Jika diteliti dengan cermat, sebenarnya kedua ayat tersebut tidak bertentangan, sebab masing-masing mempunyai makna dan tujuan yang berbeda. Ayat pertama menjelaskan hak orang yang ditinggal mati oleh suaminya; ia berhak memperoleh nafkah selama satu tahun dan berhak menempati rumah suaminya. Sedang ayat kedua menjelaskan kewajiban istri untuk ber’iddah selama empat bulan sepuluh hari, sesudah selesai ber’iddah ia diperbolehkan menikah. Jelaslah bahwa tidak ada kontradiksi antara kedua ayat tersebut.

Muhammad Abduh menjelaskan bahwa sebagian sahabat dan tabi’in berpendapat; perintah wasiat dalam ayat itu menunjukkan kepada nadb (sunnah), bukan menunjukkan kepada wajib, maka jelaslah bahwa ayat pertama tidak dinasakh oleh ayat kedua.

6. Ayat 284 Al-Baqarah [2]:

“Dan jika kamu melahirkan apa yang

ada di dalam hatimu atau kamu menyem-bunyikannya, niscaya Allah akan mem-buat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu”.

Menurut as-Siyutiy, ayat ini dinasakh oleh ayat 286 Al-Baqarah [2]:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan-nya”.

Jika kita cermati kedua ayat tersebut, maka tidaklah tampak sedikit pun makna yang menunjukkan adanya nasakh. Pada ayat pertama, Allah menyatakan akan mengadakan perhitungan terhadap segala perbuatan manusia, baik yang dikerjakan secara terang-terangan maupun secara tersembunyi. Kemudian pada ayat kedua, Allah menegaskan; sekalipun demikian, Allah tidak akan memberatkan manusia, melainkan hanya menurut kemampuan-nya. Yang demikian itu tidaklah mustahil, sebab manusia itu mempunyai banyak ke-lemahan, termasuk dalam melaksanakan perintah Allah.

Rasyid Ridha dalam tafsirnya menga-takan, riwayat mengenai dinasakhkannya ayat itu sangat varian, dan dapat ditolak dari beberapa aspek, di antaranya ialah bahwa

firman Allah: “ “ adalah bentuk khabariyah (berita), padahal menurut ilmu usul, bentuk khabariyah itu tidak dapat dinasakh. (Rasyid Ridha, al-Manar, 1373, hlm. 139).

7. Ayat 102 Ali Imran [3]:

“Hai orang-orang yang beriman, ber-takwalah kepada Allah sebenar-benar tak-wa kepada-Nya.”

Menurut as-Siyutiy, ayat ini dinasakh oleh ayat 16 At-Taghabun [64]:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”.

Sebenarnya ayat yang kedua itu tidak-lah menasakh ayat yang pertama, melain-kan hanya sebagai penjelasan. Bahwa takwa yang sesuai dengan kemampuan itulah takwa yang sebenarnya. Sebab, Allah tidak mungkin menuntut manusia menger-jakan sesuatu di luar kemampuannya. Diri-wayatkan dari Ibnu Abbas dan Tawus bah-wa ayat tersebut tidaklah dinasakh. Bahkan Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai berikut:

“Hendaklah mereka berjihad dengan sebenar-benar jihad”.

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha sependapat dalam menolak sangkaan bahwa ayat itu (Ali Imran: 102) telah dina-sakh, bahkan mereka mengatakan bahwa riwayat tentang dinasakhkannya ayat itu adalah maudu’ (palsu). (Rasyid Ridha, al-Manar, 1373, hlm. 19).

8. Ayat 33 An-Nisaa’ [4]:

“Dan (jika ada) orang-orang yang ka-mu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya”.

Menurut as-Siyutiy, ayat ini telah dina-sakh oleh ayat 75 Al-Anfal [8]:

“Orang-orang yang mempunyai hu-bungan kerabat itu sebagiannya lebih ber-hak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.”

Tanda-tanda nasakh di sini tidak tam-pak, bahkan kedua ayat tersebut saling me-lengkapi dan saling menjelaskan hukum yang tidak dijelaskan oleh ayat lainnya.

PROF DRS SA’AD ABDUL WAHID

Bukti Ketiadaan Naskh dalam Al-Qur’an (3)

De

m

o (Vi

si

t ht

tp:

//www.pdfspl

itm

erge

r.c

om

(2)

23 SUARA MUHAMMADIYAH 04 / 96 | 16 - 28 FEBRUARI 2011

K H A Z A N A H

Rasyid Ridha dalam tafsirnya, al-Ma-nar. menjelaskan bahwa surat An-Nisaa’ diturunkan sesudah surat Al-Anfal. Surat Al-Anfal diturunkan pada tahun Badar, dan mawaris disyariatkan sesudah itu, sedang-kan ayat yang kita bahas (33 An-Nisaa’) diturunkan sesudah ayat mawaris. (Rasyid Ridha, al-Manar, 1373, hlm. 65)

Maka, jika dikatakan bahwa ayat 33 An-Nisaa’ telah dinasakh oleh ayat 75 Al-Anfal, adalah menyalahi kaidah usul fiqih yang menetapkan bahwa ayat yang me-nasakh itu harus lebih akhir nuzulnya.

9. Ayat 15 An-Nisaa’ [4]:

“Dan (terhadap) para wanita yang me-ngerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) da-lam rumah sampai mereka menemui ajalnya atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.”

Menurut as-Siyutiy, ayat ini dinasakh oleh ayat 2 An-Nuur [24]:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”

Sebagian ulama menafsirkan bahwa ayat ini (An-Nisaa’: 15), ditujukan khusus

kepada para wanita yang diketahui sering mendatangi tempat-tempat yang mencuri-gakan atau rumah-rumah tempat perbuat-an mesum, tetapi tidak ada bukti yperbuat-ang jelas bahwa mereka berbuat zina. Maka, jika ada empat orang saksi laki-laki yang me-ngetahui bahwa mereka sering mendatangi tempat-tempat seperti itu, hendaklah me-reka dijatuhi hukum kurungan, atau dice-raikan oleh suaminya. Itulah yang dimak-sudkan dengan jalan keluar yang diberikan

Allah kepada mereka. Penafsiran inilah yang memperkuat pendapat Abu Muslim yang menyatakan bahwa ayat tersebut tidak dinasakh. (al-Khudariy Bek, 1352 H. hlm. 316).

10. Ayat 2 Al-Maidah [5]:

“Hai orang-orang yang beriman, ja-nganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Al-lah dan janganAl-lah melanggar kehormatan bulan-bulan haram”.

Menurut as-Siyutiy, ayat ini telah di-nasakh oleh ayat 36 At-Taubah

“Dan perangilah kaum musyrikin se-muanya.”

Masalah ayat ini sama dengan ma-salah ayat 217 Al-Baqarah [2]

Menurut Abu Muslim al-Asfahaniy, yang dimaksudkan oleh ayat ini (Al-Maidah [5]: 2), ialah orang-orang kafir yang hidup pada masa Rasulullah saw. Setelah masa itu habis, maka hilanglah larangan itu. De-ngan demikian hukum ayat tersebut tidak dinasakh.

Sebagian mufassir menyatakan bahwa ayat tersebut mengenai orang-orang Muslim, maka ayat tersebut tetap muh-kamah, tidak dinasakh. (Rasyid Ridha, 1373 H., hlm. 126).

11. Ayat 42 Al-Ma’idah [5]:

“Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), ma-ka putusma-kanlah (perma-kara itu) di antara me-reka, atau berpalinglah dari mereka”.

Menurut as-Siyutiy, ayat ini dinasakh oleh ayat 49 Al-Ma’idah [5]:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.”

Jika diteliti dengan cermat, sebenarnya

ayat yang kedua itu justru menyempurna-kan ayat yang pertama: Nabi saw disuruh memilih antara dua alternatif, memutuskan perkara antara orang-orang Yahudi itu atau berpaling dari mereka Jika memilih alter-natif pertama, yaitu memutuskan perkara, maka putuskanlah perkara itu dengan kitab yang diturunkan Allah. Dengan demikian, jelaslah bahwa ayat yang pertama itu tidak dinasakh. (al-Khudariy Bek, 1352 H. hlm. 316).

Rasyid Ridha, dalam tafsirnya menya-takan bahwa tidak masuk akal, jika ayat-ayat diturunkan dengan maksud dan nada yang sama, seperti kita lihat pada kedua ayat tersebut, kemudian sebagiannya me-nasakhkan sebagian yang lain. Justru ke-dua ayat tersebut saling melengkapi. Sebab ayat yang kedua menyuruh Nabi saw agar memutuskan perkara dengan adil, yaitu berlandaskan Al-Qur’an yang diturunkan Allah SwT. (Rasyid Ridha, al-Manar, 1373

H. VI, hlm. 126).

12. Ayat 106 Al-Maidah [5]:

“Atau dua orang yang berlainan aga-ma dengan kamu.”

Menurut as-Siyutiy ayat ini telah di-nasakh oleh ayat 2 At-Talaq [65]:

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu”.

Setelah diteliti, ternyata tidak ada sedikit pun tanda-tanda adanya nasakh pada ayat tersebut di atas. Sebab, ayat yang pertama ditujukan khusus untuk orang yang berada dalam perjalanan atau bepergian, kemu-dian meninggal dunia. Maka apabila ia berwasiat, harus disaksikan oleh dua orang yang adil (shalih) dari golongan Muslim atau bukan Muslim. Islam memperboleh-kannya sebab orang yang bepergian itu kadang-kadang sulit menemukan orang yang seagama untuk dimintai sebagai saksi wasiat. Keringanan tersebut hanya dibe-rikan pada waktu kesulitan memperoleh saksi yang seagama. Sedang, ayat yang kedua bersifat umum. Maka, jelaslah bah-wa ayat yang pertama itu tidak dinasakh, tetap muhkamah dan dapat dijadikan se- KE HAL. 49

De

m

o (Vi

si

t ht

tp:

//www.pdfspl

itm

erge

r.c

om

Referensi

Dokumen terkait

Variables Entered/Removed b Lama Kerja, Pengalaman, Tingkat Pendidikan a , Enter Model 1 Variables Entered Variables Removed Method. All requested

Persepsi masyarakat pengelola lahan terhadap lingkungan dan manfaat hutan Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi tentang manfaat keberadaan hutan di wilayah DAS

Pada kegiatan inti ini guru langsung menyuguhkan materi kepada siswa dan memberikan perintah kepada siswa untuk membuka materi yang ingin disampaikan pada saat

Analisa bivariat dengan uji Chi Square , bertujuan untuk mengetahui hubungan umur ibu, paritas, pendidikan, status ekonomi, jarak antar kehamilan, ANC dan kepatuhan

Secara keseluruhan Manajemen Pengembangan Pariwisata Kabupaten Semarang di Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Semarang sudah baik, disini

KOMUNIKASI ANTAR KELOMPOK MASYARAKAT BERBEDA AGAMA DALAM MENGEMBANGKAN RELASI DAN TOLERANSI SOSIAL (Studi kasus pada masyarakat desa Ngadas suku tengger kecamatan

Di Indonesia ada penelitian mengenai perilaku seks pranikah, antara lain penelitian yang dilakukan Pawestri dan Dewi Setyowati (2012) juga melakukan

Pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan pada satu kawasan merupakan upaya dalam mensinergiskan berbagai kepentingan sebagaimana makna dari suatu kawasan merupakan