24 12 - 24 RABIULAWAL 1432 H
Perspektif normatif
tentang (hubungan)
ulama dan umara dalam
Islam nyaris tanpa
persoalan. Disepakati
bahwa kedua pemilik
otoritas tersebut
merupakan paduan
yang utuh, tidak
terpisah, dan mustahil
dipertentangkan.
Rujukan normatif
tekstualnya adalah
keharusan umat
menaati pemimpin atau
ulil amri (An-Nisaa’ [4]:
59) dan pribadi Nabi
sendiri sebagai seorang
Rasul juga sekaligus
sebagai pemimpin
pemerintahan. Dengan
kalimat lain, pada
dasarnya Islam tidak
mengenal pemisahan
antara agama dan
negara.
L
ain halnya bila dengan cermat meng ulas kembali manifestasi Islam dalam pemerintahan yang menyejarah pascake-nabian yang membentang hingga masya-rakat Muslim kontemporer. Dalam bentang-an sejarah kaum Muslim ybentang-ang pbentang-anjbentang-ang dbentang-an luas, ulama dan umara tidak hanya dapat dibedakan, lebih dari itu keduanya tidakjarang saling silang sebagai pemilik otoritas kepemimpinan dalam masyarakat Muslim. Oleh karena itu, persoalan posisi dan peran ulama dan umara dalam masyarakat Muslim sebenarnya merupakan gejala belakangan, dengan segala pengaruh dinamika global dan lokal.
Mengikuti formulasi Obert Voll (1997) tentang kontinuitas dan perubahan pemerintahan Islam telah terjadi empat periode pemerintahan. Yaitu periode komunitas umat (masa Nabi dan sahabat), periode kekhalifahan, periode kesultanan dan kerajaan, dan periode negara-bangsa. Pada keempat periode tersebut dapat dilihat hubungan ulama dan umara terjalin secara dinamis.
Dalam sejarah, sejak awal lahirnya agama Islam tidak ada pemisahan antara kewajiban keagamaan dan kewajiban kenegaraan. Pada masa Nabi baik kepemimpinan keagamaan maupun kepemimpinan kenegaraan bersatu pada diri beliau. Demikian juga halnya semasa para Khalifah mengganti Nabi. Komunitas Muslim yang masih terbatas lazim dengan sebutan sebagai ummah. Mungkin sekali
hal itu terjadi karena masyarakatnya masih lebih sederhana dalam arti belum banyak lembaga dan pranata yang majemuk sebagaimana dalam masyarakat mutakhir. Bahkan pengertian tentang negara saja tumbuh secara pelan-pelan dari masyara-kat kesukuan atau federasi kesukuan, kemudian berkembang menjadi umat dan lambat laun menjelma menjadi negara.
Selanjutnya setelah Nabi meninggal muncul persoalan tentang sifat dasar ke-pemimpinan umat. Tampaknya Nabi sen-diri tidak secara tegas menetapkan siapa penggantinya. Sesudah Nabi, istilah yang banyak dipakai untuk menyebut pimpinan negara adalah khalifah. Namun persoalan kepemimpinan segera teratasi setelah Abu
Bakar Ash-Shidiq terpilih sebagai pemimpin kaum Muslim dan masyarakat Makkah-Madinah. Secara umum tidak ter-jadi polaritas ulama-umara sampai setidak-nya pada kekhalifahan (khulafaurrasyidin), meski kadang karena tuntutan perluasan pemerintahan Islam daerah perluasan ditentukan secara pragmatik dengan catatan pengakuan atas khalifah sebagai pemimpin umat dibawah naungan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Persoalan peran dan posisi ulama dan umara mulai terlihat nampak jelas pada masa pemerintahan pasca-khalifah yang empat (khulafaurrasyidin). Dalam rentetan sejarah Islam, sikap penguasa—kecuali empat khalifah pertama dan Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umawiyah—dinilai membias dari nilai-nilai Islam. Karena itu, banyak ulama yang menjauhi penguasa, bahkan melakukan penentangan terbuka seperti yang dilakukan Imam Ahmad Bin Hanbal terhadap Khalifah pada zamannya.
Realitas kekhalifahan yang tidak selalu terbimbing di bawah wahyu bahkan meme-ngaruhi pemikiran Al-Ghazali sehingga pesimis terhadap kesatuan ulama dan umara. Imam al-Ghazali menyatakan tidak pantas dan tidak terpuji ulama mendekatkan diri kepada penguasa. Ulama yang bersentuhan dengan dinding kekuasaan dikategorikan oleh Sang Hujjatul Islam sebagai ulama syu’ (buruk). Al-Ghazali hidup di masa kekuasaan Bani Abbasiah, yang tidak sedikit penguasa berusaha mengkoptasi ulama untuk melanggengkan kekuasaan dan mendukung kebijakan penguasa.
Seiring dengan perluasan wilayah kekuasaan Islam, istilah sultan digunakan untuk menyebut pemimpin pertama kalinya diberikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid kepada para menterinya. Sultan diperun-tukkan bagi penguasa-penguasa daerah
MUTOHHARUN JINAN MA
Pengasuh Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta
D I R A S A H I S L A M I Y A H
RELASI ULAMA DAN UMARA
DALAM SEJARAH ISLAM
De
m
o (Vi
si
t ht
tp:
//www.pdfspl
itm
erge
r.c
om
25
SUARA MUHAMMADIYAH 04 / 96 | 16 - 28 FEBRUARI 2011
yang merdeka atau takluk di bawah kekuasaan Islam. Pada masa kesultanan Seljuk, istilah sultan lantas dipakai sebagai gelar untuk pimpinan politik dan militer tertinggi, sementara istilah Khalifah lebih terbatas kepada pimpinan keagamaan saja. Hal ini menunjukkan telah merosot-nya istilah Khalifah yang sudah mulai sejak abad-abad akhir dari Khalifah Abbasiah di Baghdad. Dan dengan jatuhnya Baghdad pada tahun 1258, maka gelar Khalifah hanyalah semacam gelar kehormatan tanpa wewenang politik.
Berikutnya, perluasan masyarakat Muslim ke berbagai penjuru dunia pe-merintahannya mengambil bentuk sesuai dengan warisan lokal antara lain dalam bentuk kerajaan dan negara-bangsa. Dalam bentuk kerajaan polarisasi peran antara ulama dan umara semakin jelas dapat dibedakan. Perkembangan masya-rakat bisa menyebabkan terpisahnya kepemimpinan agama dan kepemimpinan negara karena berbagai alasan. Yang pertama tentu saja karena harapan untuk memperoleh pimpinan politik yang shalih dan religius, serta memperoleh dukungan yang luas dari umat tidak berhasil. Yang kedua, mungkin juga karena makin maje-muknya masyarakat dan makin luasnya kekuasaan negara.
Peran dan posisi
Perubahan bentuk pemerintahan dari
D I R A S A H I S L A M I Y A H
ummah menjadi negara-bangsa di kalang-an kaum Muslim dengkalang-an sendirinya berim-plikasi pada dikotomi peran-peran yang dimainkan kedua pemilik otoritas tersebut. Ulama dan umara menjadi dua jenis kekuasaan yang sulit disatukan dalam satu tangan. Kata “ulama” bentuk jamak (plural) dari “’alim” yang artinya orang mengetahui. Jadi, ulama—mengikuti kaidah linguistik (bahasa)—adalah orang-orang yang mengetahui. Kata “ulama” mengalami penciutan makna dan tidak bermakna jamak lagi, tapi tunggal. Yaitu, orang yang hanya mengetahui dan memahami ilmu agama secara mendalam.
Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, ulama disandang oleh siapa saja yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang pengetahuan, dan dengan keahliannya itu memiliki otoritas untuk memimpin dan mengarahkan gerak masyarakat (umat). Termasuk dalam kelompok ini adalah para intelektual atau cendekiawan yang berbeda dengan para pemimpin negara. Namun, Ibnu Khaldun yang hidup pada abad ke-14 yangkala itu kekuasan Islam mulai runtuh tetap membedakan ulama dan umara (penguasa).
Dalam sejarah peran dan posisi ulama seringkali tersubordinasi oleh peran umara. Fatwa para ulama lantas menjadi sema-cam sumber legitimasi. Karena itulah, ter-dengar kisah tentang usaha umara untuk “marangkul” ulama yang berpengaruh,
dengan memberinya jabatan sebagai qadli atau mufti negara. Lalu ada banyak cerita tentang ulama besar yang menolak tawaran raja dan kemudian mengalami siksaan. Dalam bahasa sekarang seakan-akan ulama besar ini menjadi semacam “tokoh oposisi” yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan. Kritisisme ulama terhadap pemerintahan telah menjadi bagian menyatu dalam setiap zaman.
Lebih-lebih pada saat ini, ketika sistem demokrasi merambah di kawasan negara-negara Muslim, jarak antara umara dan ulama diperbesar oleh banyak faktor yang semakin kompleks. Masyara-kat telah jauh mengalami proses deferen-siasi dan para ulama seakan-akan hanya mengkhususkan diri dalam soal-soal keagamaan. Juga perkembangan ilmu pengetahuan modern menyebabkan perbedaan bidang antara ilmuwan dan ulama walaupun secara bahasa sebenarnya kedua kata itu masih searti. Sekalipun demikian pengaruh ulama pada masyarakat masih tetap besar sehingga fatwa mereka sedikit banyak masih memengaruhi legitimasi pemerintahan. Bagaimanapun ulama masih punya peranan politik. Dalam bahasa yang lebih pragmatis, senantiasa ada usaha-usaha untuk merangkul para ulama; baik itu dilakukan oleh kekuatan politik penguasa, atau golongan-golongan lain yang ingin turut serta dalam pengambilan keputusan politik. Di antara ulama, ada yang ingin tetap merdeka dari kekuasaan, sambil meme-rankan fungsi sebagai pengawal moralitas masyarakat. Meski begitu ulama tetap kokoh dalam bingkai normatif yang ketat ketika berhadapan dengan umara sebagai ulil amri yang wajib ditaati sepanjang tidak mengajak maksiat. Ulil amri menurut Ibnu Taimiyah, adalah semua orang yang memberi bimbingan dan mengatur kehidupan baik itu raja, ulama, ilmuwan, dan para birokrat. Dikisahkan, ada seorang perempuan yang berani bertanya kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq: “Apa yang menjamin kita dalam urusan taat kepada negara?” Abu Bakar menjawab: “Selama pemimpin kalian berlaku lurus”. Artinya, kritisisme peran ulama sesungguhnya akan berhenti sepanjang umara memenuhi amanah yang diemban.l
Ketika hubungan antara ulama dan umara membaik maka jayalah kerajaan Islam.
Foto: WWW. GOOGLE.COM
De
m
o (Vi
si
t ht
tp:
//www.pdfspl
itm
erge
r.c
om