BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dwasa ini banyak kita lihat seorang ulama yang terjun kedunia politik atau bersikap oposan terhadap pemerintah, padahal yang seharusnya dilakukan oleh seorang ulama untuk menghadapi perpolitikan atau pemerintahan dewasa ini adalah bersikap kritis dan mengingatkan seperti perannya terhadap umatnya. Kalau dilihat ulama adalah orang biasa, tetapi ulama memiliki kelebihan dalam hal spiritual keagamaan serta kearifan. Ulama memiliki beban membimbing, mengarahkan umatnya kejalan yang diridhoi oleh Allah SWT dan menyebarkan agama islam agar orang-orang yang masih kurang paham akan islam sesungguhnya. Ulama merupakan tempat untuk kita bertanya dan konsultasi tentang kehidupan.
Kita ketahu seorang ulama memiliki umat yang dapat mendukungnya dalam berpolik. Dan tentunya umatnya akan lebih percaya kepada figur seorang ulama yang dia anggap bisa menyampaikan aspirasi mereka dari pada orang-orang yang lihai dalam berpolitik. Tetapi sayangnya, tidak semua ulama memiliki kecakapan dalam berpolitik. Juga tidak setiap memiliki sifat dan sikap amanah terhadap tugas yang ia emban. Masalah inilah yang menjadikan adanya sikap ketidakpuasan terhadap peran seorang ulama dalam berpolitik.
B. Rumusan Masaalah
Yang menjadi landasan kenapa penulis ingin membahas hal ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa ulama mau terlibat dalam politik praktis,?
2. Sejauh mana pengaruh ulama dalam kebijakan pemerintah dan sistem politik Indonesia,?
3. Apa dampak polsitif dan negatife jika ulama terjun kedunia politik praktis.?
4. Menurut ajaran islam sejauh mana keterlibatan ulama dalam politik dan aktifitas politik apa saja yang seharusnya dilakukan oleh para ulama,?
C. Landasan Teoritis
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Perpolitikan Ulama di Indonesia 1. Masa Orde Lama
Pada awal-awal kemerdekaan, sejarah mencatat bahwa umat islam berhasil mendirikan sebuah partai yang bernuansa keislaman yang diberi nama Masyumi. Partai Masyumi didirikan pada tanggal 7-8 November 1945 yang sepenuhnya merupakan hasil karya pemimpin-pemimpin umat islam dalam sebuah kongres bertempat di gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta.1
Pendukung utama Partai Masyumi adalah Muhammadiyah dan NU dan hampir semua organisasi Islam Nasional maupun lokal mendukung Masyumi kecuali Perti. Tujuan dari partai Masyumi adalah melanjutkan perjuangan dibidang politik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka. Pada masa itu umat islam telah bersatu dan Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam.2
Diera 1950-an Masyumi adalah salah satu dari empat partai besar yang ada di Indonesia pada saat itu, seperti yang telah saya singgung di atas bahwa Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi islam terbesar dan mempunya banyak masa bila kita bandingkan dengan organisi islam lainnya. Berdasarkan kenyataan ini dapat dibayangkan apabila salah satu dari dua organisasi besar ini mengundurkan diri dari Masyumi, maka partai ini akan kehilangan salah satu sayapnya (pesantren atau reformis) dari tubuhnya, dan memang kenyataan inilah yang terjadi pada awal 1950-an.3 Partai Masyumi pecah ini antara lain disebabkan
oleh pembagaian kekuasaan yang tidak seimbang didalam pemerintah. NU mengharapkan agar kursi mentri agama dapat ditunjuk dari golongan mereka. Namun Dewan Syura Masyumi memutuskan memilih KH. Fakih Usman (berasal
1 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal 31 2 Dehar Noer, Islam dan Politik, Jakarta: Yayasan Risalah, 2003, hal 149
dari Muhammadiyah) untuk menduduki kursi Mentri Agama.4 Kegagalan tersebut
semakin memotifasi ulama tradisional untuk keluar dari partai ini dan mendirikan partai sendiri yang diberi nama NU. Dengan adanya perpecahan dua partai ini bukan hanya mengakibatkan perpecahan dari dua golongan ulama tersebut, tetapi juga membuat umat islam yang ada di Indonesia saat itu menjadi terpecah belah. Dari kasus ini adapat kita lihat bahwa dalam hal politik ulama sudah mulai mementingkan kelompok masing-masing dan tidak melihat keadaan umat islam pada saat itu.
Pada tahun 1960-an partai Masyumi dibekukan dan tinggal PNU sebagai satu-satunya partai Islam yang ada di Indonesia.
2. Masa Orde Baru
Kegagalan percobaan kudeta PKI pada 30 September 1965 memberikan konsekuensi bahwa Orde Lama akan hancur dan muncul pemerintahan Orde Baru.5 Banyak yang menganggap bahwa kehancuran Komunis akan memberikan
peran penting PNU dalam membina umat dan memajukan Negara ini dan islam akan kembali menjadi kekuatan politik sebagai mana terjadi pada masa demokrasi parlementer. Namun dengan taktik pemerintah yang didukung oleh militer dengan penundaan pemilu sampai tahun 1971 dan menjadikan Golkar sebagai organisasi politik yang mendukungnya, harapan tokoh islam tidak menjadi kenyataan karena pada saat itu Golkar menang dengan memperoleh suara 62%.6
Pada masa Orde Baru, PNU bergabung dengan PPP. Ketika Orde Baru ingin menguasai kekuasaan, Soeharto membujuk ulama untuk bergabung bersama Golkar. Sekjak itulah ulama ada yang di PPP dan ada juga yang di Golkar, dan hal itu semakin membuat perpecahan dikalangan umat islam.
Pada era tersebut untuk meraih suara umat, para ulama yang tergabung di Golkar dan PPP melakukan berbagai cara, bahkan mereka juga sempat
4 Hasbi Indra, Pesantren dan Transpormasi Sosial” Jakarta: Penerbit Penamadani, 2005, hal 51
mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa “umat Islam haram hukumnya apabila tidak memilih PPP”. Dengan kasus tersebut jelas bagi kita bahwa pada saat itu ulama kita sudah berani berfatwa halal dan haram dalam memilih partai yang notabene belum tentu bersih, bijaksana dan diridhai oleh Allah.
3. Masa Reformasi
Pada pemilu pertama masa reformasi partai politik islam (PPP) sudah mulai melakukan berbagai cara supaya bisa memperoleh kekuasaan tertinggi di Negara ini walaupun harus melakukan berbagai cara yang tidak adil. Seperti hal yang terjadi pada pemilu 1999, pada pemilu tersebut jelas-jelas bahwa partai yang memenangkan pemilu adalah PDIP dan yang berhak menjadi Presiden pada saat utu adalah Megawati Soekarno Putri. Namun dengan taktik politiknya ulama-ulama PPP mengeluarkan fatwa bahwa dalam ajaran islam ditegaskan perempuan tidak boleh untuk menjadi pemimpin. Maka dengan berat hati Megawati harus rela jabatannya diberikan kepada Abdurahman Wahed dan Megawati harus puas denga jabatan sebagai Wakil Presiden.
Namun setelah presiden Abdurahman Wahid dilengserkan dari jabatannya karena berbagai hal, maka otomatis posisi Presiden RI digantikan oleh Wakil Presiden yaitu Megawati, dan para ulama PPP akhirnya mencabut fatwa pertamanya karena alasan mudharat. Tetapi menurut pengamatan banyak orang, alasan kenapa PPP mengeluarkan fatwa yang demikian karena Megawati mengajak Hamzahas yang merupakan kader PPP untuk menjadi wakilnya.7
Jadi jelas bagi kita bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama bukan berdasarkan kebutuhan Agama atau umat Islam, tetapi melainkan karena kepentingan Partai atau golongan mereka.
B. Ulama dan Politik Praktis
Keterlibatan ulama dalam politik praktis baik sebagai calon maupun sebagai pendukung calon Kepala Daerah, DPR, Presiden dan lain-lain menimbulkan kekhawatiran dari banya kalangan, karena leterlibatan ulama dalam kancah politik praktis tersebut dikhawatirkan akan memecah berlahkan umat islam.
Ulama adalah orang yang menempati kedudukan tertinggi dimata umat, hal itu disebabkan karena kharismanya, ulama memiliki kelebihan dalam spiritual keagamaan serta kearifan, dan ulama juga memiliki beban membimbing, mengarahkan umatnya kejalan yang diridhoi oleh Allah swt ulama juga merupakan tempat untuk bertanya dan konsultasi tentang kehidupan oleh semua umatnya.8 Disamping itu Ulama dijadikan sebuah simbol pencitraan kepada
masyarakat. Citra diri yang ingin dibentuk manakala calon tersebut menggandeng ulama adalah citra yang religius dengan komitmen mengangkat nilai-nilai religius Islam.9 Dengan peran tersebut membuat banyak perkataan ulama didengar oleh
umat yang selalu setia mengikutinya.
Namun dewasa ini dengan kedudukan itulah membuat ulama menjadi rebutan banyak golongan, termasuk partai politik dan mereka melamar para ulama untuk menjadi wakil calon kepala daerah, calon anggota dewan dari partai mereka, dan mereka juga menggunakan ulama sebagai pendukung setia mereka karena perkataan ulama sangat dihargai oleh umat dan umat bisa memilih kandidat yang didukung oleh para ulama. Ketika ulama tergoda dengan politik praktis, maka ulama tidak lagi sebagai pengayom umat, dan pengarah umat kejalan agama, tetapi ulama sudah berubah fungsi menjadi Makelar Politik/ Political Brokers.
Pada masa reformasi sampai saat ini sudah banya partai politik yang dikemudikan oleh para ulama. Para ulama yang mengemudikan partai-partai
8 http://muhammadidolaq.blogspot.com/2011/03/jika-kiai-jadi-politisi.html, diakses tgl 29 April 2012
politik tersebut dewasa ini tidak hanya melakukan perang fatwa untuk memenangkan golongannya, akan tetapi perperangan dikalangan ulama dalam hal politik sudah semakin memanas, mereka sudah berani berperang ayat dan hadis demi memenangkan kelompok-kelompok mereka.
Jangan heran apabila dalam pemilukada persaingan para ulama semakin memanas karena setiap ulama mempromosikan calon mereka masing-masing, dan terkadang ulama dalam berkampanye berani memnipulasi ayat-ayat (agama) demi memenangkan kandidat yang didukungnya. Oleh karena itu, ulama yang terlibat atau melibatkan diri keranah pilkada secara tidak sadar bukan membuat umat islam bersatu, akan tetapi mereka telah memecah belahkan umat dalam kotak-kotak politik.
C. Pengaruh Ulama dalam Kebijakan Pemerintah dan Sistem Politik Indonesia.
Keterlibatan ulama dalam dunia perpolitikan Indonesia tidak banyak bisa merubah kebijakan pemerintah supaya bisa menjalankan kebijakan-kebijakan yang baik dan menjadikan pemerintah yang mampu mensejahterakan rakyat dan diridhai oleh Allah. Hal itu disebabkan karena ulama tidak mampu bersaing dengan para politisi-politisi yang bukan berasal dari kaum ulama. Ulama belum mampu mengalahkan cara merasionalkan usulan-usulan kebijakan yang diajukan oleh para politisi-politisi kondang yang mempunyai banyak pengetahuan dalam bidang politik, akibatnya kebijakan-kebijakan yang sudah diskenariokan oleh para ulama tidak bisa dijalankan dalam dunia nyata. Dan bahkan sebaliknya politisi-politisi kondang tersebut mampu mempengaruhi ulama dan membuat ulama mengikuti cara mereka berpolitik.
Dalam perpolitikan Indonesia, aktifitas politik ulama sama saja dengan politisi-politisi yang bukan berasal dari partai yang bernuansa islam. Etika politik para politisi partai-partai politik islam tidak jauh berbeda dengan etika politisi yang tidak berasal dari partai islam. Contohnya para politisi partai-partai islam juga melakukan tindakan korupsi bahkan mereka juga melakukan tindakan yang sangat memalukan ketika sidang dilakukan dan hal itu menurut pengetahuan saya tidak pernah dilakukan oleh para politisi-politisi lainnya.
D. Aktifitas Politik Yang Seharusnya Dilakukan Oleh Para Ulama
Ulama adalah adalah orang-orang yang mewarisi tugas para nabi dan rasul dalam menyampaikan dakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Rasulullah Pernah berkata dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang berbunyi “ jihat yang paling utama adalah (melontarkan kalimat yang adil dihadapan penguasa yang dhalim”.10 Ulama seharusnya berada di barsan terdepan
dan menyibukkan diri dengan perkara-perkara kaum muslim secara umum, dan memberi perhatian terhadap keadaan kaum muslimin, terutama perlakuan pemerintah atau penguasa terhadap mereka.11 Ulama harus terlibat langsung dalam
mengontrol, menjaga, memberikan kritik dan nasihat agar penguasa bisa memimpin bangsa ini dengan berlandaskan Al-quran dan hadits. Ulama juga tempat penguasa bertanya dalam ragam kebijakan menyangkut urusan pemerintahan, politik, sosial ekonomi, pendidikan, dll.
Di tengah-tengah umat, ulama bagaikan lentera yang bersinar terang, membimbing dan menunjukkan jalan yang benar. Apabila ulama terbenam, maka jalan akan kabur. (HR Imam Ahmad). Ulama adalah lambang harapan dan cita-cita umat. Karena itu, peran politik ulama adalah sebuah keniscayaan. Politik adalah pengaturan rakyat yang tidak akan pernah berpisah dengan visi dan misi sosok ulama. Rusaknya moral para birokrat, bergesernya haluan politik pada sekadar hanya untuk meraih kekuasaan, “lugu”-nya masyarakat menilai persoalan politik, dan intervensi asing terhadap negara, boleh jadi di antaranya
karena peran politik ulama yang kian terpinggirkan.12 Peran politik ulama
setidaknya adalah dalam beberapa aktivitas berikut:
a. Menjaga kejernihan pemikiran masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara.
b. Membangun kesadaran politik masyarakat bahwa masyarakat harus mengetahui perkembagngan perpolitikan di negaranya, sehingga apabila pemerintah melakukan kebijakan yang tidak sesuai, maka masyarakat bisa secepatnya mengatasi hal tersebut.
c. Melakukan perang pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikri) apabila kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah itu jauh dari harapan semua umat dan bertentangan dengan agama..
d. Melakukan kontrol terhadap penguasa (muhâsabah li al-hukkâm) supaya penguasa senantiasa melakukan/menjalankan kebijakan yang semestinya.
e. Membongkar konspirasi penjajah.
f. Memberikan solusi terhadap berbagai persoalan masyarakat baik itu dalam hal kehidupan beragama, maupun dalam kehidupan berkelompok.
g. Menggerakkan masyarakat untuk berjihad dan melakukan perubahan masyarakat. Baik itu dalam hal kebijakan pemerintah, maupun dalam hal cinta agama dan tanah air.
E. Dampak dari Keterlibatan Ulama Kedunia Politik Praktis
Ada berbagai pertanyaan yang akan muncul dikalangan umat apabila ulama terju kedunia politik praktis diantaranya: Bagaimana jika kata politik ada pada figure seorang ulama,? Yang tentunya menjadi seorang politisi tidak mudah.
Apalagi menjadi seorang presiden. Bukankah orang yang disebut ulama itu berwilayah dipesantren,? Bersifat zuhud dan menjauhi kekuasaan,? Sedangkan yang namanya pemimpin, sehari-harinya adalah orang yang bergelut dengan persoalan politik, ekonomi, hukum. administrasi Negara dan hubungan luar negeri,? Kemudian bagaimana nasib santri dan pesantrenya,? Apakah akan terlantar,? karena selalu ditinggal untuk kepentingan politik. Atau sebaliknya akan terus berjalan dan semakin maju,? Lalu bagaimana kondisi politik yang ia jalani, apakah selalu sukses seperti pesantren yang ia asuh,?13
Apabila ulama terjun keranah politik praktis akan meningglakan banyak masalah bagi umat. Ulama yang melakukan aktifitas lompat pagar, banyak mewakafkan waktu dan hidupnya untuk aktifitas politik dan kurang memperhatikan umat. Akibatnya, banyak pesantren dan masaalah umat yang seharusnya menjadi tanggung jawab ulama terbengkali sehingga membuat umat harus berjalan dengan mata yang buta ditengah-tengah gelapnya kehidupan dunia.
Padahal sekarang ini peran seorang ulama sangat dibutuhkan dalam menuntaskan persoalan sosial dan ekonomi umat. Dan ulama juga merupakan elemen yang paling menentukan masa depan pesantren, jika suatu saat ulama meninggal atau hengkang kedunia politik praktis, maka akan sangat mempengaruhi kualitas serta eksistensi pesantren di tengah-tengah masyarakat. Bahkan tidak jarang terjadi apabila sang ulama mati atau hengkang kedunia politk, maka hal itu akan membawa pada kematian pula pada lembaga pesantren yang didirikannya. meski badan lembaga tersebut masih kukuh, menghujam ditengah perkampungan masyarakat, tetapi jiwa lembaganya terbawa serta bersama sang ulama kedunianya yang baru.14
Untuk mewujudkan kebutuhan umat itu bukankah kita perlu menghimbau MUI untuk mengeluarkan fatwa “Haram” atas keikut sertaan ulama dalam politik praktis dan keberpihakan ulama dalam politik pilkada. Dan juga kita meminta
13 http://muhammadidolaq.blogspot.com/2011/03/jika-kiai-jadi-politisi.html, diakses tgl 28 April 2012
ulama untuk melepaskan diri dari “Makelar Politik” dan pada saat yang sama memposisikan diri sebagai “Makelar Budaya”.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Ulam adalah sosok yang sangat dihormati dan dihargai oleh banyak umat. Dengan kedudukan itulah membuat ulama menjadi rebutan banyak golongan, termasuk partai politik dan mereka melamar para ulama untuk menjadi wakil calon kepala daerah atau menggunakan ulama sebagai pendukung setia mereka karena perkataan ulama sangat dihargai oleh umat dan umat bisa memilih kandidat yang didukung oleh para ulama.
Aktifitas politik yang seharusnya dilakukan oleh seorang ulama dewasa ini adalah Ulama seharusnya berada di barsan terdepan dan menyibukkan diri dengan perkara-perkara kaum muslim secara umum, dan memberi perhatian terhadap keadaan kaum muslimin, terutama perlakuan pemerintah atau penguasa terhadap mereka. Ulama harus terlibat langsung dalam mengontrol, menjaga, memberikan kritik dan nasihat agar penguasa bisa memimpin bangsa ini dengan berlandaskan Al-quran dan hadits. Ulama juga tempat penguasa bertanya dalam ragam kebijakan menyangkut urusan pemerintahan, politik, sosial ekonomi, pendidikan, dll.
B. Saran
Daftar Pustaka
Indra, Hasbi. 2005 Pesantren dan Transpormasi Sosial” Jakarta: Penerbit Penamadani
Maarif. Ahmad Syafii. 1996, Islam dan Politik, Jakarta: Gema Insani Press
Noer, Dehar. 2003, Islam dan Politik, Jakarta: Yayasan Risalah, 2003
Saifullah, dkk. 2002, Islam, Dakwah dan Politik, Bogor: Perpustakaan Nasional
Tahqiq, Nanang. 2004, Politik Islam, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2004
Diskusi dengan salah seorang dosen tanggal 1 mei 2012 di Banda Aceh
http://muhammadidolaq.blogspot.com/2011/03/jika-kiai-jadi-politisi.html, diakses tgl 29 April 2012
http://edikusmayadi.blogspot.com/2012/03/ulama-dan-politik-lokal.html, diaksese tanggal 29 April 2012
http://hizbut-tahrir.or.id/2007/04/01/politik-ulama/ diakses tanggal 28 April 2012