• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen sterol dalam ekstrak daun katuk dan hubungannya dengan sistem reproduksi puyuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komponen sterol dalam ekstrak daun katuk dan hubungannya dengan sistem reproduksi puyuh"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPONEN STEROL DALAM EKSTRAK DAUN KATUK

(

Sauropus androgynus L. Merr

) DAN HUBUNGANNYA

DENGAN SISTEM REPRODUKSI PUYUH

SRI SUBEKTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul:

”Komponen Sterol dalam Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus) dan Hubungannya dengan Sistem Reproduksi Puyuh”

adalah benar-benar asli karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun.

Bogor, April 2007

Sri Subekti

(3)

ABSTRAK

SRI SUBEKTI. Komponen Sterol dalam Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus) dan Hubungannya dengan Sistem Reproduksi Puyuh. Dibimbing oleh WIRANDA GENTINI PILIANG, WASMEN MANALU dan TRI BUDHI MURDIATI.

(4)

ABSTRACT

SRI SUBEKTI. Sterols Component of Katuk Leaves Extract (Sauropus androgynus) and Its Relation to Japanese Quail Reproduction System. Under the direction of WIRANDA GENTINI PILIANG, WASMEN MANALU and TRI BUDHI MURDIATI.

(5)

© Hak cipta milik

Institut Pertanian Bogor

, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(6)

KOMPONEN STEROL DALAM EKSTRAK DAUN KATUK

(

Sauropus androgynus L. Merr

) DAN HUBUNGANNYA

DENGAN SISTEM REPRODUKSI PUYUH

SRI SUBEKTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Disertasi : Komponen Sterol dalam Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus) dan Hubungannya dengan Sistem Reproduksi Puyuh

Nama : Sri Subekti

NIM : D061030161

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Wiranda Gentini Piliang, MSc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu Dr. dra. Tri Budhi Murdiati, MSc. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Nahrowi, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2005 ini ialah komponen aktif dalam daun katuk, dengan judul ”Komponen Sterol dalam Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus) dan Hubungannya dengan Sistem Reproduksi Puyuh”. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikut-Nya.

Disertasi ini ditulis berdasarkan serangkaian penelitian yang terdiri atas 3 percobaan yang dilakukan di beberapa laboratorium, yaitu Laboratorium Toksikologi, Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor untuk feeding trial dan ekstraksi daun katuk; Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor untuk analisis hormon steroid dan kolesterol; Laboratorium Kesehatan DKI Jakarta untuk analisis GCMS ekstrak katuk, Balai Besar Industri Agro untuk analisis vitamin.

Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir Wiranda G Piliang, MSC., selaku ketua komisi pembimbing atas saran dan bimbingannya, Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu dan Dr. Dra. Tri Budhi Murdiati, MSc. selaku anggota komisi pembimbing, yang telah membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dra. Yvone Matindap dari PT Phytochemindo Reksa yang telah membantu penulis dalam penyelesaian penelitian ini. Secara khusus penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Pak Eman yang telah membantu pemeliharaan puyuh dengan sebaik-baiknya sehingga penelitian ini berhasil.

Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Peternakan dan Ketua serta seluruh pengelola Program Studi Ilmu Ternak disampaikan terima kasih atas kesempatan studi yang diberikan. Kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa untuk menempuh Program Pascasarjana melalui BPPS penulis juga menyampaikan terima kasih.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suamiku yang paling kukagumi, anakku tersayang dan kedua orang tuaku serta seluruh keluarga atas segala dukungan, doa, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2007

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 20 Juli 1977 dari ayah Ismail Yahya BcHk. dan Ibu Dra. Siti Soepami. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Pati dan pada tahun yang sama masuk Undip melalui jalur UMPTN. Penulis memilih Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2001, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS.

Pada bulan Februari tahun 2004 penulis menikah dengan Firman Agus Heriyansyah ST, MSi. dan dikaruniai seorang putri pada bulan November 2004, yaitu Syadia Nabilla Dinayasakti.

Penulis bekerja sebagai Dosen di Akademi Pertanian Pragola Pati sejak tahun 1999 sampai dengan sekarang.

Sebuah artikel akan diterbitkan dengan judul PENGGUNAAN TEPUNG DAUN KATUK DAN EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus L.Merr) SEBAGAI SUBSTITUSI RANSUM YANG DAPAT MENGHASILKAN PRODUK TERNAK RENDAH KOLESTEROL pada Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

(10)

DAFTAR ISI

Perkembangan Penelitian Katuk pada Ternak ... 17

MATERI METODE

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN Fitosterol dalam Daun Katuk ... 32

Konsumsi dan Konversi Ransum ... 33

Saluran Reproduksi ... 34

Hormon Progesteron dan Estradiol dalam Serum ... 36

Umur Dewasa Kelamin dan Produksi Telur ... 39

Kualitas Telur ... 40

Kolesterol Ransum, Serum, Telur, Karkas, dan Hati ... 42

Kandungan Vitamin A dalam Ransum, Kuning Telur, dan Serum 44 Kandungan Vitamin E dalam Ransum dan Serum... 45

Kandungan Vitamin C dalam Ransum dan Serum ... 47

Bilangan Thiobarbituric Acid dalam Ransum ... 48

(11)

Bobot Tetas dan Bobot Badan Anak Puyuh ... 51

Tingkat Mortalitas Anak Puyuh ... 53

PEMBAHASAN UMUM ... 55

KESIMPULAN ... 63

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kandungan vitamin dan provitamin dalam daun katuk ... 7

2 Komposisi nutrien daun katuk ... 8

3 Perkembangan penelitian pengaruh daun katuk pada hewan ... 17

4 Ransum penelitian ... 20

5 Komposisi nutrien ransum ... 20

6 Senyawa-senyawa dalam ekstrak daun katuk dengan etanol 70% ... 32

7 Konsumsi dan konversi ransum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama penelitian (25 minggu)... 33

8 Bobot badan dan saluran reproduksi puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) pada umur 2 (base line), 3, 4, dan 5 minggu ... 36

9 Kandungan progesteron dalam serum puyuh (ng/ml) yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan (umur 2-5 minggu)... 38

10 Kandungan estradiol dalam serum puyuh (pg/ml) yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan (umur 2-5 minggu)... 38

11 Umur dewasa kelamin dan produksi telur puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) 39 12 Kualitas telur puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)………. 41

13 Kandungan kolesterol kuning telur, serum, karkas, dan hati puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)... 43

14 Kandungan vitamin A dalam ransum, kuning telur, dan serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ... 45

15 Kandungan vitamin E dalam ransum, kuning telur, dan serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ... 46 16 Kandungan vitamin C dalam ransum, kuning telur, dan serum puyuh

(13)

tepung daun katuk (TDK) ... 47 17 Kandungan bilangan TBA dalam ransum ... 48 18 Fertilitas (%) puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak

daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ... 49 19 Daya tetas (%) puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak

daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ... 49 20 Bobot tetas (g) dan bobot badan (g) anak puyuh yang diberi ransum

kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun

katuk (TDK) ... 52 21 Tingkat mortalitas (%) anak puyuh yang diberi ransum

kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun

katuk (TDK) ... 53

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan kerangka pemikiran ... 4

2 Tanaman katuk ... 5

3 Kerangka inti steroid ... 9

4 Jalur biosintesis fitosterol ... 12

5 Biosintesis mevalonat ... 14

6 Konversi mevalonat menjadi squalen ... 14

7 Konversi squalen menjadi kolesterol ... 15

8 Biosintesis hormon steroid ... 16

9 Bagan persiapan tepung ekstrak katuk... 21

10 Prosedur penelitian pada pengujian TEK dan TDK dalam ransum ... 22

11 Saluran reproduksi unggas ... 23

12 Bobot badan puyuh (A) dan panjang saluran reproduksi (B) puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ... 35

13 Kandungan progesteron dalam serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ... ... 37

14 Kandungan estradiol dalam serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ... ... 37

15 Produksi telur puyuh umur 6 – 27 minggu ... 40

16 Warna kuning telur puyuh ... 42

17 Kandungan kolesterol ransum, serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ... 43

18 Fertilitas dan daya tetas puyuh perlakuan pada umur 21 – 24 minggu.. 51

19 Bobot tetas dan bobot badan anak puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) ... 52

20 Penggantian kolesterol oleh fitosterol/stanol dalam misel ... 56

21 Mekanisme penurunan kolesterol, kokristalisasi fitosterol dan kolesterol (A), dan penghambatan aktivitas acyl-coenzyme A cholesterol acyltransferase/ACAT (B)... 57

(15)
(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Analisis proksimat pakan (Kontrol/K, Tepung Ekstrak Katuk/

TEK, Tepung Daun Katuk/TDK) dan Ekstrak Katuk (EK) ... 71

2 Hasil formulasi ransum isonitrogen dan isokalori pakan K, TEK, dan TDK... 72

3 Kandungan fitosterol dari bahan pangan terseleksi ... 74

4 Senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak daun katuk (dengan etanol 70%) ... 76

5 Analisis ragam untuk konsumsi ransum puyuh ... 77

6 Analisis ragam untuk konversi ransum puyuh ... 77

7 Analisis ragam untuk total bobot telur puyuh ... 77

8 Analisis ragam untuk bobot badan puyuh umur 3 minggu ... 77

9 Analisis ragam untuk bobot badan puyuh umur 4 minggu ... 78

10 Analisis ragam untuk bobot badan puyuh umur 5 minggu ... 78

11 Analisis ragam untuk panjang saluran reproduksi umur 3 minggu ... 79

12 Analisis ragam untuk panjang saluran reproduksi umur 4 minggu ... 79

13 Analisis ragam untuk panjang saluran reproduksi umur 5 minggu ... 79

14 Analisis ragam untuk umur dewasa kelamin puyuh ... 80

15 Analisis ragam untuk bobot badan pada saat dewasa kelamin ... 80

16 Analsis ragam untuk bobot telur pertama puyuh ... 81

17 Analisis ragam untuk produksi telur puyuh ... 81

18 Analisis ragam untuk bobot telur puyuh ... 81

19 Analisis ragam untuk bobot cangkang telur puyuh ... 82

20 Analisis ragam untuk tebal cangkang telur puyuh ... 82

21 Analisis ragam untuk bobot kuning telur puyuh ……… 82

22 Analisis ragam untuk bobot putih telur puyuh ……… 82

23 Analisis ragam untuk warna kuning telur puyuh ... 83

24 Analisis ragam untuk HU index telur puyuh ... 83

25 Analisis ragam untuk kolesterol serum puyuh ... 84

26 Analisis ragam untuk kolesterol kuning telur puyuh ... 84

27 Analisis ragam untuk kolesterol karkas puyuh ... 85

(17)

29 Analisis ragam untuk vitamin A serum puyuh ... 86

30 Analisis ragam untuk vitamin A kuning telur puyuh ... 86

31 Analisis ragam untuk vitamin E serum puyuh ... 87

32 Analisis ragam untuk vitamin C serum puyuh ... 87

33 Analisis ragam untuk progesteron serum puyuh umur 3 minggu ... 88

34 Analisis ragam untuk progesteron serum puyuh umur 4 minggu ... 88

35 Analisis ragam untuk progesteron serum puyuh umur 5 minggu ... 88

36 Analisis ragam untuk estradiol serum puyuh umur 3 minggu ... 89

37 Analisis ragam untuk estradiol serum puyuh umur 4 minggu ... 89

38 Analisis ragam untuk estradiol serum puyuh umur 5 minggu ... 90

39 Analisis ragam untuk fertilitas puyuh umur 21 minggu ... 90

40 Analisis ragam untuk fertilitas puyuh umur 22 minggu ... 91

41 Analisis ragam untuk fertilitas puyuh umur 23 minggu ... 91

42 Analisis ragam untuk fertilitas puyuh umur 24 minggu ... 91

43 Analisis ragam untuk daya tetas puyuh umur 21 minggu ... 92

44 Analisis ragam untuk daya tetas puyuh umur 22 minggu ... 92

45 Analisis ragam untuk daya tetas puyuh umur 23 minggu ... 92

46 Analisis ragam untuk daya tetas puyuh umur 24 minggu ... 92

47 Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 0 minggu ... 93

48 Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 1 minggu ... 93

49 Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 2 minggu ... 94

50 Analisis ragam untuk berat badan anak puyuh umur 3 minggu ... 94

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) merupakan tanaman obat yang termasuk dalam famili Euphorbiaceae. Kandungan kimia katuk adalah protein, lemak, kalsium, fosfat, besi, vitamin A, B, C, steroid, flavonoid, dan polifenol. Pemanfaatan tanaman ini sebagai obat tradisional sangat bervariasi, seperti untuk pelancar ASI, obat demam, obat bisul, darah kotor, selain itu akarnya berkhasiat sebagai obat frambusia, susah kencing, dan obat panas (Astuti et al. 1997).

Katuk, dalam kaitannya sebagai obat tradisional, telah mendorong para peneliti untuk mengungkapkan senyawa-senyawa aktif serta zat-zat fitokimia yang terkandung di dalamnya. Agusta et al. (1997) telah menemukan enam senyawa utama dalam daun katuk, yaitu monometil suksinat, cis 2-metil siklopentanol asetat, asam benzoat, asam fenil malonat, 2-pirolidinon, dan metil piroglutamat. Dalam penelusuran ilmiahnya, Malik (1997) menyebutkan tanaman ini mengandung minyak atsiri, sterol, saponin, flavonoid, asam-asam organik, asam-asam amino, alkaloid, dan tanin. Prajonggo et al. (1983) menduga bahwa kandungan sterol dalam tanaman ini kemungkinan mempunyai peranan dalam meningkatkan produksi ASI secara hormonal karena beberapa tanaman yang mengandung sterol diketahui mempunyai sifat estrogenik.

(19)

Pada unggas juga telah diteliti efek penambahan daun katuk pada ransum ayam kampung. Pada taraf 9% penambahan DK dapat meningkatkan produksi telur, mempercepat umur dewasa kelamin, dan meningkatkan kualitas telur dan karkas (Subekti 2003). Hasil ini diduga karena adanya kandungan karoten yang tinggi pada daun katuk, serta kemungkinan adanya kandungan mineral dalam daun katuk.

Hal tersebut di atas merupakan pendorong untuk mengkaji lebih dalam mengenai pengaruh daun katuk pada tingkat fertilitas, hormon-hormon reproduksi, serta meneliti lebih dalam pada aspek peningkatan fungsi reproduksi pada hewan coba. Hal ini disebabkan adanya fenomena menarik dari komponen yang terdapat dalam daun katuk, yang mengandung senyawa sterol sehingga menimbulkan efek estrogenik yang dapat meningkatkan produksi susu pada mamalia, dan produksi telur pada ayam. Namun, adanya pengaruh daun katuk pada peningkatan hormon oksitosin dan prolaktin (Agil 1991), yang merupakan hormon untuk memacu produksi susu, diduga mempunyai efek lain, yaitu oksitosin diperkirakan dapat mengurangi fertilitas sesudah melahirkan dengan cara melakukan rangsangan terhadap otot uterus (Djojosoebagio 1990).

Mencermati hal tersebut di atas, dapat diduga adanya pengaruh positif senyawa-senyawa aktif dalam daun katuk pada fertilitas dan fungsi reproduksi pada hewan jantan dan betina. Pada hewan betina, daun katuk dapat memacu sekresi air susu pada mamalia dan ovulasi pada unggas (peningkatan produksi telur) sedangkan pada hewan jantan dapat memacu peningkatan seksualitas dan fertilitas dengan peningkatan hormon androgen. Oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengkaji fenomena tersebut.

Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk :

(20)

2 Mempelajari hubungan komponen sterol daun katuk pada metabolisme hormon-hormon steroid (progesteron dan estradiol) dan kaitannya dengan peningkatan produktivitas dan sistem reproduksi pada puyuh.

Kerangka Pemikiran

(21)

Katuk

Komponen Zat Aktif Kandungan Nutrisi

Senyawa Alkaloid Protein Karoten Vitamin Vitamin Sterol E C

Tepung Katuk Ekstrak Katuk

Komponen Zat Aktif + Senyawa Fitosterol, Asam Lemak, Nutrien Vitamin E yang Larut dalam

Pengekstrak

??

Sebagai Prekursor Hormon Reproduksi

Meningkatkan Fungsi Reproduksi

Produksi Telur Kualitas Telur Daya Tetas Profil Darah

Performans F1

Gambar 1. Bagan kerangka pemikiran

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Kajian Karakteristik Tanaman Katuk

Katuk (Sauropus androgynus) merupakan salah satu jenis tanaman semak yang tergolong dalam suku jarak-jarakan (Euphorbiaceae), dengan ketinggian mencapai 2-3 m. Katuk dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 1500 m di atas permukaan laut. Taksonomi tanaman katuk menurut Backer dan Brink (1963) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Geraniales

Suku : Euphorbiaceae

Anak suku : Phyllathoideae

Puak : Phyllanth

Marga : Sauropus

Jenis : Sauropus androgynus

Gambar 2 Bagian tanaman katuk

(23)

Deskripsi morfologi tanaman katuk yang lebih jelas diberikan oleh Sukendar (1997) sebagai berikut: Daun tunggal walaupun seperti majemuk, duduk daun susun berseling, dengan jumlah daun per cabang umumnya berkisar 11 - 21 helai, bentuk dan ukuran daun bervariasi, daun yang di pangkal cabang berbentuk bulat telur berukuran lebar 1.5 – 2.5 cm, panjang 2.5 – 4.5 cm, sedangkan yang di tengah dan di ujung berbentuk jorong berukuran lebar 2.3 – 3.1 cm, panjang 4.3 – 8.5 cm. Warna daun permukaan atas hijau dengan bercak putih, permukaan bawah daun berwarna hijau muda dengan tampak pertulangan daun yang jelas, tepi daun rata, pangkal daun tumpul, ujung daun lancip. Tangkai daun pendek 0.2 cm dan tiap daun memiliki sepasang daun penumpu kecil dengan panjang sekitar 1 cm.

Bunga jantan berbentuk seperti giwang, kelopak dan mahkota serupa, masing-masing berjumlah tiga, saling berlekatan, tebal dan berdaging, berwarna hijau kemerahan, benang sari enam buah dengan serbuk sari berwarna putih kekuningan. Benang sari tersusun dalam satu lingkaran atau dua lingkaran dengan benang sari dalam lingkaran yang luar berhadapan dengan daun mahkota.

Pada bunga betina, kelopak dan mahkota serupa, berwarna merah kecokelatan, masing-masing berjumlah tiga, tipis berlepasan, tidak mudah luruh, dan tetap menempel pada buah. Bakal buah tiga menumpang, kepala putik berbentuk cuping, tetap menempel pada buah. Buah termasuk buah berbelah (Schizocarpium).

Katuk merupakan tanaman habitus perdu (2 – 3 meter), batang tegak, bulat, dan berwarna hijau. Tangkai bunga silindris dengan panjang 1 – 1.5 cm.

(24)

Kandungan Nutrisi Daun katuk

Komposisi proksimat daun katuk yang diteliti Padmavathi dan Rao (1990) menunjukkan kandungan nutrisi daun katuk yang tinggi dibanding sayur-sayuran lain yang dikonsumsi di India. Selanjutnya dilaporkan bahwa daun ini mengandung nutrien (protein, lemak, mineral, dan vitamin) dalam jumlah yang cukup tinggi dan sayuran ini dapat diterima dan cukup disukai masyarakat dalam uji palatabilitas. Yuliani dan Marwati (1997) melaporkan bahwa daun katuk dapat digunakan sebagai food additive untuk ibu-ibu yang menyusui karena tingginya kandungan protein dan vitamin A.

Daun katuk mengandung karoten yang sangat tinggi. Hulshoff et al. (1997) melaporkan bahwa di antara sayuran dan buah-buahan yang diteliti di Indonesia, daun katuk mengandung karoten tertinggi. Di samping itu daun katuk juga mengandung alpha-tocopherol yang sangat tinggi, bahkan tertinggi dibanding tanaman tropis lain yang dapat dimakan. Ching dan Mohamed (2001) melaporkan kandungan alpha tocopherol dari Sauropus androgynus sebesar 426 mg/kg. Daun katuk mengandung asam askorbat yang cukup tinggi, yaitu 244 mg/100 g kering (Padmavathi dan Rao 1990). Kandungan vitamin dan provitamin dalam daun katuk disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan vitamin dan provitamin dalam daun katuk

Vitamin dan Provitamin Jumlah

all-trans-α-carotene (µg/100g) 13351

all-trans-β-carotene (µg/100g) 100101

cis-β-carotene (µg/100g) 13121 Thiamin (mg/100g) 0.502 Riboflavin (mg/100g) 0.212 Vitamin C ((mg/100g) 2442

α-tokoferol (mg/kg) 4263 Keterangan: 1 Hulshoff et al. (1997)

2 Padmavathi dan Rao (1990) 3 Ching dan Mohamed (2001)

(25)

Tabel 2 Komposisi nutrien daun katuk

Nutrien Yasni et al. Subekti Lab. INTP (1999)* (2003) Fapet IPB** Kadar air (%) 5.84 5.84 5.84 Protein (%) 32.09 39.88 27.74 Lemak (%) 7.46 5.84 3.13 Serat kasar (%) 19.19 16.71 18.19 Kalsium (%) 2.29 1.01 Fosfor (%) 0.40 0.35 Abu (%) 18.77 14.79 - Energi bruto (kal/g) 4939.64 3818

Keterangan : * Hasil Analisis proksimat pada daun katuk muda Yasni et al.

(1999)

** Analisis proksimat tepung daun katuk kering (Laboratorium INTP, Fapet IPB)

Senyawa Aktif dalam Daun Katuk

Salah satu senyawa aktif yang terdapat dalam katuk adalah alkaloid papaverin (Bender dan Ismail 1975) dengan jumlah 5.8 g papaverin/kg daun segar. Akan tetapi, laporan Padmavathi dan Rao (1990), Agusta et al. (1997), dan Suprayogi (2000) tidak menemukan senyawa papaverin dalam daun katuk.

Penelitian yang dilakukan Agusta et al. (1997) dengan menggunakan GCMS (gas chromatography and mass spectrometers) menemukan beberapa senyawa kimia, yaitu [monometil suksinat dan cis-2-metil siklopentanol asetat

(ester), asam benzoat dan asam fenilmalonat (asam karboksilat), serta 2-pirolidinon dan metal piroglutamat (alkaloid)]. Senyawa monometil suksinat

(26)

glikosida (sauroposide) dari daun katuk (Sauropus androgynus) yang diisolasi dari bagian aerial katuk.

Suprayogi (2000) menemukan senyawa aktif dalam daun katuk yang mempunyai peran penting dalam metabolisme jaringan. Lima senyawa kelompok dari asam lemak tak jenuh seperti octadecanoic acids; 9-eicosyne; 5,8,11-heptadecatrienoic acid methyl ester; 9,12,15-octadecatrienoic acid ethyl ester, dan 11,14,17-eicosatrienoic acid methyl ester. Satu senyawa steroid, yaitu

androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha. Senyawa lain, yaitu 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid.

Androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha merepresentasikan 17-ketosteroid (kelompok keto pada C 17), secara langsung merupakan precursor

atau senyawa intermediate dalam biosintesis hormon steroid (Suprayogi 2000).

Senyawa Steroid

Senyawa steroid berstruktur inti siklopentanoperhidro-penantren, yang terdiri atas cincin A, B, C, dan D (Gambar 3). Cincin A, B, dan C berfusi secara nonlinear seperti susunan fenantren. Cincin Siklopentana (Cincin D) berfusi pada cincin C. (Bahti et al. 1983)

C D

A B

Gambar 3 Kerangka inti steroid (Sumber: Bahti et al., 1983)

(27)

cincin A berbentuk benzenoid, seperti pada kelompok estrogen; kemungkinan substitusi gugus alifatik (R) pada atom C-17, substitusi ini memberikan dasar pembagian senyawa steroid.

Di alam, senyawa steroid terdapat pada hewan, tanaman tingkat tinggi, bahkan terdapat pula pada beberapa tanaman tingkat rendah, seperti pada ragi dan jamur (Harborne, 1973). Biosintesis dan metabolisme sterol telah diteliti pada jamur oomycetous (ordo Saprogleniales, Leptomitales, Lagenidiales, dan Peronosporales) serta peranan fisiologis sterol dan isopentanoid terhadap pertumbuhan dan reproduksi (Ness dan Stafford 1983). Sterol-auxotropic fungi dari Pythiaceae membutuhkan sumber eksogen dari senyawa sterol untuk reproduksi seksual (Kerwin dan Duddles 1989).

Senyawa steroid pada hewan dapat dijumpai antara lain sebagai hormon kelamin (contohnya androgen dan estrogen, hormon adrenal korteks (contohnya kortikosteron), dan asam empedu (contohnya asam kolat).

Steroid pada tanaman tingkat tinggi yang dikenal dengan fitosterol, antara lain terdiri atas sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol. Pada tanaman tingkat rendah, misalnya ergosterol (terdapat pada ragi dan jamur). Fukosterol adalah senyawa steroid yang terdapat pada tanaman tingkat rendah (alga cokelat), tetapi berhasil juga dideteksi dalam buah kelapa (Harborne 1973). Tarigan (1980) telah mengisolasi dan mengidentifikasi solasodin, suatu steroid alkaloid dari buah

Solanum chasianum. Kanchanapoom et al. (2003) juga telah mengisolasi komponen steroid sauroposide dari Sauropus androgynus.

(28)

Fitosterol

Fitosterol mencakup sterol tanaman dan stanol tanaman adalah lemak tanaman yang terdapat pada pangan yang berasal dari tanaman. Sterol tanaman secara alami merupakan substansi yang ada dalam pangan, secara prinsip merupakan komponen minor dari minyak tanaman. Stanol tanaman terdapat di alam pada kadar yang lebih rendah yang merupakan senyawa hidrogenasi dari sterol tanaman (Sahelian 2006).

Sterol tanaman berperan sama dengan kolesterol pada mamalia, yaitu membentuk struktur membran sel. The Institute of Food Science and Technology (IFST) (2005) menyatakan bahwa sterol tanaman terdiri atas tiga ketegori, yaitu 4-desmetilsterol (bukan kelompok metil), 4-monometil sterol (kelompok satu metil), dan 4,4-dimetilsterol (kelompok 2 metil). Sterol tanaman yang umum adalah β -sitosterol, kampesterol, dan stigmasterol. Stanol tanaman termasuk dalam kelompok 4-desmetilsterol. Stanol tanaman adalah produk hidrogenasi dari sterol tanaman, misalnya kampestanol dari kampesterol dan sitostanol dari sitosterol .

Sebagai satu kelompok, sterol, stanol, dan sterolin merupakan lemak tanaman di dalam semua bahan pangan berbasis tanaman. Stanol merupakan bentuk esterifikasi sterol dan sterolin merupakan sterol yang secara kimiawi berikatan dengan glikosida (molekul gula rantai pendek). Glukosida adalah glukosa tanaman yang merupakan salah satu dari beberapa tipe glikosida. Selain dengan glukosida, sterol tanaman dapat berikatan dengan gula glikonutrien yang lain. Sterol tanaman termasuk klasifikasi famili dari steroid, tetapi tidak mempunyai efek negatif seperti yang sering diasosiasikan dengan steroid.

(29)

dengan pembentukan sikloartenol. Jalur pembentukan fitosterol disajikan dalam skema Gambar 4.

Gambar 4 Jalur biosintesis fitosterol (Zhou et al. 2004)

Burton dan Wells (2002) menyatakan bahwa fitoestrogen, salah satu dari fitosterol, merupakan fitokimia yang ditemukan dalam tanaman dan produk tanaman yang secara struktural dan fungsional sama dengan 17β-estradiol, yaitu isoflavon, atau estrogen sintetik misalnya dietilstilbestrol, yaitu lignan. Fitoestrogen hadir sebagai glikosida dalam pangan dari legum, biji-bijian, kacang-kacangan, dan pangan kaya serat, dan juga ada dalam plasma dan urin hewan dan manusia yang mengkonsumsi pangan kaya fitoestrogen.

Selanjutnya dinyatakan bahwa metabolisme fitoestrogen yang berkenaan dengan aktivitas biologinya adalah sebagai berikut: menyerupai aksi estrogen endogen, beraksi sebagai estrogen antagonis, mengubah pola sintesis dan metabolisme hormon endogen, dan memodifikasi kadar reseptor hormon.

(30)

Beberapa manfaat fitosterol yang telah diteliti adalah sebagai berikut. Fitosterol mempunyai efek estrogenik pada wanita menopouse (Wu et al. 2005), menurunkan kolesterol dan lemak LDL (Low Density Lipoprotein) (Tilvis & Miettinen 1986; Ling & Jones 1995; Nguyen, 1999; Miettinen & Gyllings 1999; Jones, 1999; Jones et al. 2000; Lichtenstein & Deckelbaum 2001; Yang et al. 2004); meningkatkan aktivitas modulasi sistem imun, antiinflamasi dan antipiretik (Gupta et al. 1980; Bouic et al. 1996; Yamada et al. 1997; Bouic et al. 1999; Bouic & Lamprecht 1999; Bouic 2001); sebagai antioksidan (Araghinikham et al. 1996; Maskarinec et al. 1999 dan Wu et al. 2005); digunakan dalam terapi antidiabetes (Undie & Akubue 1986 dan Iwu et al. 1990); sebagai agen preventif kanker (Kenedy 1995), mencegah kanker kolon (Rao & Janezie 1992), menyebabkan apoptosis pada sel kanker (von Holtz et al. 1998 & Moalic et al. 2001). Beberapa teori tentang mekanisme aksi fitosterol sebagai faktor pelindung (protective factor) yang dihimpun IFST (2005) adalah menghambat pembelahan sel, menstimulasi kematian sel tumor, dan memodifikasi beberapa hormon yang esensial bagi pertumbuhan tumor.

Biosintesis Kolesterol

Kolesterol merupakan sumber untuk sintesis steroid lain, misalnya hormon seks dan asam empedu. Kolesterol yang disintesis dalam tubuh berasal dari dua unit karbon asetil koenzim A yang terbentuk dari asam lemak atau metabolisme karbohidrat melalui piruvat (Bell et al. 1972).

Biosintesis kolesterol terdiri atas tiga tahapan (Mathews et al. 2000).

1 Pembentukan mevalonat

(31)

Asetoasetil-CoA

3-hidroksi-3-metilglutaril-CoA

Mevalonat Gambar 5 Biosintesis mevalonat

2 Sintesis squalen dari mevalonat Mevalonat

5-fosfomevalonat

5-pirofosfomevalonat

3-fosfo-5-pirofosfomevalonat

CO2 + Pi

Isopentenil pirofosfat

Dimetilalil pirofosfat + Isopentenil pirofoafat

PPi

Geranil pirofosfat

Farnesil pirofosfat + Farnesil pirofosfat

Presqualen pirofosfat

squalen

2NADPH + 2H+

CoA-SH+ 2 NADP+ HMG-CoA

reduktase HMG-CoA sintetase

ATP ADP

ATP ADP

ATP ADP

Isopentenil pirofosfat

PPi

(32)

Gambar 6 Konversi mevalonat menjadi squalen

Mevalonat teraktivasi oleh tiga fosforilasi menjadi isopentenil pirofosfat. Salah satu molekul isopentenil pirofosfat terisomerasi menjadi C5 dimetilalil pirofosfat. Senyawa dimetilalil pirofosfat bereaksi dengan isopentenil pirofosfat membentuk C10 geranil pirofosfat, dan molekul isopentenil pirofosfat yang lain bereaksi dengan C10 geranil pirofosfat membentuk C15 farnesil pirofosfat. Enzim NADPH bergabung dengan dua molekul farnesil pirofosfat membentuk presqualen pirofosfat, kemudian dengan pelepasan pirofosfat dan pengaturan kembali melalui cyclopropyl cation intermediate

menghasilkan squalen

3 Siklisasi squalen menjadi lanosterol dan konversi lanosterol menjadi kolesterol

Squalen

Squalen 2,3-epoksida

H+

Lanosterol

Banyak reaksi

Kolesterol

Gambar 7 Konversi squalen menjadi kolesterol

Hormon Steroid

Steroid menyusun sekelompok senyawa organik yang aktif secara biologis, meliputi zat-zat seperti kolesterol, androgen, estrogen, dan progesteron (Turner dan Bagnara, 1976). Hormon steroid disekresikan oleh korteks adrenal, ovarium, dan testis dan disimpan dalam jumlah kecil di tempat produksinya. Semua hormon steroid disintesis dari kolesterol. Kolesterol tersedia melalui tiga tapak

Squalen monooksigenase

O2 + NADPH+ + H+

H2O + NADP+

(33)

jalan, yaitu 1) sintesis asetat secara de novo, 2) mobilisasi tetesan lemak intraseluler, dan 3) pembebasan low-density lipoprotein (LDL).

Gambar 8 Biosintesis hormon steroid (Sumber: Berne dan Levy 1988) Kolesterol

Pregnenolon Progesteron

17OH-Pregnenolon 17OH-Progesteron

Dehidroepiandrosteron Androstendion Estron

Androstendiol Testosteron Estradiol

(34)

Selanjutnya, kolesterol bebas ini diubah ke pregnenolon. Pregnenolon merupakan prekursor untuk semua hormon steroid. Sekali terbentuk, pregnenolon secara cepat diubah menjadi progesteron oleh kerja enzim yang spesifik yang terdapat di luar membran mitokondria dan retikulum endoplasma dari sel-sel yang mensekresikan hormon setroid. Melalui serangkaian reaksi akhirnya terbentuklah estradiol serta hormon steroid lainnya (Berne dan Levy 1988). Proses pembentukan hormon steroid utama terdiri atas tiga bagian, yaitu sintesis kolesterol dari asetat, konversi kolesterol menjadi progesteron, dan pembentukan androgen, estrogen, dan kortikoid dari progesteron (Hansel dan McEntee 1977).

Perkembangan Penelitian Katuk pada Ternak

No. Jenis Ternak Jenis Perlakuan Hasil Penelitian Peneliti yang dapat mempengaruhi otot polos dan beraksi seperti oksitosin

Djojosoebagio (1965) dalam Suprayogi (2000)

2 Mencit Pemberian ekstrak air daun katuk 10 dan 20% masing-masing sebanyak 0,5 ml

Peningkatan jumlah asini kelenjar susu mencit dewasa yang baru melahirkan pada mencit yang diberi ekstrak katuk dibandingkan dengan kontrol.

Prajonggo et al. (1983)

3 Tikus Ekstrak daun katuk dengan aquadest dan diencerkan 10 dan 20% dan diberikan secara oral

Daun katuk meningkat- kan produksi susu, dan berasumsi daun katuk mengandung senyawa yang mempengaruhi sintesis susu yang mirip dengan hormon steroid, hormon prolaktin, oksitosin dan prolactin releasing hormone

Agil (1991)

4 Kambing Ekstrak daun katuk dengan air (20%) yang diberikan

5 Domba Pemberian papaverin (0.5% sebanyak 185mg/hari, ekstrak daun katuk dengan alkohol 70% (Sax) sebanyak 1.89 mg/hari, tepung daun katuk (SAp) (diencerkan 18%) sebanyak 7.44 g/hari)

Peningkatan produksi susu pada perlakuan SAp sebanyak 7.75% dan SAx sebanyak 0.89% dibandingkan dengan kontrol pada hari ke 35, Peningkatan performans pertumbuhan dan pertambahan bobot badan pada perlakuan SAp dibandingkan dengan SAx.

Suprayogi (2000)

6 Ayam lokal Pemberian tepung daun katuk dalam ransum sebanyak 3, 6, dan 9%

Peningkatan produksi telur, kualitas telur, penurunan kolesterol produk unggas dengan pemberian tepung DK dibandingkan dengan kontrol dengan hasil tebaik dicapai perlakuan pemberian tepung daun katuk 9% dalam ransum

Subekti (2003)

7 Ayam broiler Pemberian tepung daun katuk dalam ransum: 0%, 5%, 10%, dan 15 %

Pada pemberian tepung daun katuk 15%, kolesterol daging dan hati menurun secara nyata, dan lemak

(35)

daging menurun sampai 28.30% 8 Ayam petelur Pemberian tepung daun katuk

dalam ransum 0%, 5%, 10%, dan 15%

Penambahan tepung DK sebesar 15% dapat meningkatkan kualitas telur, konsentrasi beta karoten dan vitamin A pada telur, karkas dan hati serta meningkatkan estradiol serum, dan mampu menurunkan kolesterol dalam kuning telur, hati dan karkas

Saragih (2005)

(36)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung antara bulan September 2005 sampai dengan bulan September 2006 yang terdiri atas tiga tahapan.

• Tahap pertama adalah persiapan ekstrak dan pengujian ekstrak daun katuk dengan GCMS yang dilakukan pada bulan September – Oktober 2005.

• Tahap Kedua adalah percobaan ekstrak daun katuk dan tepung daun katuk dalam ransum burung puyuh dilakukan dari bulan November 2005 sampai dengan bulan Mei 2006 di Kandang Percobaan Laboratorium Toksikologi, Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.

• Tahap ketiga adalah analisis sampel yang meliputi hormon, kolesterol, dan vitamin pada bulan Juni – September 2006.

Materi Hewan Coba

Penelitian ini menggunakan burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) betina umur dua minggu sebanyak 150 ekor dari peternakan Golden Quail Sukabumi. Puyuh-puyuh tersebut ditempatkan dalam kandang baterei dan dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan ransum dengan lima ulangan dan 10 satuan percobaan, dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Puyuh betina dikawinkan dengan puyuh jantan secara alami pada umur 21 – 24 minggu dengan

sex ratio 1:1.

Ransum

(37)

Tabel 4 Ransum penelitian

* Kontrol: bungkil kelapa 12%, bungkil kedelai 18%; EDK: bungkil kelapa 8%, bungkil kedelai 13%, ekstrak daun katuk + amilum 9%; TDK: bungkil kelapa 10%, bungkil kedelai 11%, tepung daun katuk 9%.

** Komposisi vitamin dan mineral setiap kg mengandung: Vitamin A = 4 000 000 IU; D3 =

800 000 IU; E = 4 500 mg; K3 = 450 mg; B1 = 450 mg; B2 = 1 350 mg; B6 = 480 mg; B12 =

6 mg; Ca-d Pantotenat = 2 400 mg; Asam Folat = 270 mg; Asam Nikotinat = 7 200 mg; choline chloride = 28 000 mg; DL-Methionine = 28 000 mg; L-Lysine = 50 000 mg; Mineral : Fe = 8 500 mg; Cu = 700 mg; Mn = 18 500 mg; Zn = 14 000 mg; Co = 50 mg; I = 70 mg; Se = 35 mg. (Seperti tercantum dalam label kemasan)

Tabel 5 Komposisi nutrien ransum

(38)

Sebelum perlakuan dilakukan, status hormon reproduksi (progesteron dan estradiol) dalam darah hewan percobaan dianalisis sebagai data based line.

Prosedur Penelitian

Tepung daun katuk diperoleh dari petani katuk di daerah Subang Jawa Barat, daun katuk segar dikeringkan dengan sinar matahari dan digiling hingga menjadi

tepung. Ekstrak katuk dibuat dari tepung katuk yang diekstrak dengan etanol 70% dan pengisi amilum, yang dilakukan di PT Phytochemindo Reksa, Gunung Putri Bogor.

Proses pembuatan tepung ekstrak katuk disajikan dalam bagan berikut ini.

Katuk kering

Penggilingan

Ekstraksi dengan etanol 70%

Pengeringan (50-60ºC)

Granulasi

Pengeringan

Tepung ekstrak katuk

Analisis proksimat tepung ekstrak katuk

Gambar 9 Bagan persiapan tepung ekstrak katuk

Selanjutnya untuk mengetahui senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak daun katuk, dilakukan screening dengan menggunakan alat GCMS (Gas Chromatography-Mass Spectrometric) di Laboratorium Kesehatan Daerah DKI

Analisis GCMS

(39)

Jakarta. Kandungan senyawa-senyawa aktif ekstrak kasar dianalisis dengan menggunakan GCMS (Agilent technology 6890 Gas Chromatograph with Auto Sampler and 5973 Mass Selective Detector and Chemstation data system; mode ionisasi: electron impact; energi elektron: 70 eV, Kolom: HP Ultra 2. Capilarry coloumn panjang 17 x 0.2 mm I.D x 0.33 (µm) film thickness; gas pembawa: helium; model kolom: aliran konstan, laju kolom: 0.9µl/menit; data metode: BAHALAM; database: Wiley 275. L).

Burung puyuh mulai diberi perlakuan pakan pada umur 2 minggu dan ditempatkan pada kandang baterei secara individual. Kemudian, setelah mendapatkan perlakuan, setiap satu minggu diambil sampel sebanyak lima ekor dari masing-masing perlakuan untuk melihat perkembangan organ reproduksinya, yaitu pada umur 2 (base line), 3, 4, dan 5 minggu. Pengukuran berat badan puyuh dilakukan setiap satu minggu, dan pengukuran kualitas telur dilakukan secara reguler selama penelitian. Pengambilan sampel darah dilakukan untuk analisis hormon progesteron, hormon estradiol, kadar kolesterol, kadar vitamin A, kadar vitamin E, dan kadar vitamin C. Untuk pengujian daya tetas dan fertilitas puyuh dilakukan perkawinan secara alami dengan sex ratio 1 : 1 pada umur 21 – 24 minggu. Tahapan-tahapan penelitian disajikan dalam Gambar 10

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Umur puyuh penelitian (Minggu)

Gambar 10 Prosedur penelitian pada pengujian TDK dan EDK dalam ransum Keterangan:

Pengukuran panjang saluran reproduksi dan analisis hormon reproduksi serum Pengukuran berat badan (sampai dewasa kelamin)

Pengukuran kualitas telur

Pencatatan produksi telur dan pengukuran berat telur Perkawinan (pengujian fertilitas dan daya tetas)

(40)

Pengamatan yang Dilakukan

Pada Induk. Pengamatan yang dilakukan pada induk meliputi bobot badan, konsumsi ransum, produksi telur, kualitas telur, dewasa kelamin, fertilitas, dan daya tetas (hatchability).

1 Pengukuran bobot badan:

Pengukuran bobot badan dilakukan pada umur dua, tiga, empat, dan lima minggu, serta bobot puyuh betina pada saat dewasa kelamin. Penimbangan bobot badan dilakukan pada setiap individu.

2 Panjang saluran reproduksi

Panjang saluran reproduksi yang diukur adalah saluran reproduksi betina (dari infundibulum sampai vagina). Pengukuran dilakukan setelah ternak dimatikan, dan saluran reproduksi dikeluarkan untuk diukur panjangnya. Pengukuran saluran reproduksi dilakukan pada umur dua, tiga, empat, dan lima minggu

Gambar 11. Saluran reproduksi unggas

3 Produksi telur

(41)

diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah telur dengan rataan bobot telur tiap individu sampai umur 27 minggu.

4 Kualitas telur

Kualitas telur terdiri atas Haugh Unit, indeks warna kuning telur dengan menggunakan “Roche yolk colour fan”, bobot cangkang telur, bobot putih telur, dan bobot kuning telur.

5 Umur pertama kali bertelur

Umur pertama kali bertelur dihitung berdasarkan lama (hari) dari menetas sampai puyuh betina bertelur yang pertama kali.

6 Fertilitas

Fertilitas dihitung berdasarkan persentase jumlah telur yang fertil dari jumlah semua telur.

F = ∑ telur fertil x 100% ∑ telur

7 Daya tetas (Hatchability)

Daya tetas dihitung berdasarkan persentase jumlah telur yang menetas dari jumlah telur yang fertil.

H = ∑ telur menetas x 100% ∑ telur fertil

Pada Anak. Pengamatan yang dilakukan pada anak hasil perkawinan puyuh penelitian ini terdiri atas pengukuran bobot badan dan tingkat mortalitas atau viabilitas.

Bobot badan, bobot tetas diperoleh dari penimbangan bobot puyuh setelah menetas (umur satu hari), kemudian dilanjutkan dengan penimbangan bobot badan seminggu sekali sampai umur 4 minggu.

(42)

Analisis Hormon

Analisis hormon estradiol dan progesteron dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, sedangkan pembacaan radioaktivitas sampel dilakukan di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.

Estradiol

Konsentrasi estardiol dalam serum diukur dengan radioimmunoassay (RIA) teknik fase padat dengan menggunakan kit estradiol coat-a-count yang berisi estradiol berlabel 125I, seri larutan standar A, B, C, D, E, F, dan G, berturut-turut berisi estradiol dengan konsentrasi 0, 20, 50, 150, 500, 1800, dan 3600 pg/ml yang diperoleh dari Diagnostic Products Corporation (Los Angeles, CA). Volume sampel yang direkomendasikan adalah 100 μl. Untuk melihat adanya variasi hasil dengan pemekatan sampel terhadap konsentrasi hormon, dilakukan pengujian dengan menggunakan volume sampel 100, 200, dan 300 μl.

(43)

Progesteron

Konsentrasi progesteron dalam serum diukur dengan radioimmunoassay (RIA) teknik fase padat dengan menggunakan kit progesteron coat-a-count yang berisi progesteron berlabel 125I, seri larutan standar A, B, C, D, E, F, dan G, berturut-turut berisi progesteron dengan konsentrasi 0, 0.1, 0.5, 2, 10, 20, dan 40 ng/ml yang diperoleh dari Diagnostic Products Corporation (Los Angeles, CA). Volume sampel yang direkomendasikan adalah 100 μl. Supaya konsentrasi sampel dapat masuk dalam kisaran standar yang direkomendasikan pembuat kit, maka sampel diencerkan sampai 10 kali.

Tabung untuk Nonspecific Binding (NSB) dan Total Count (T) diberi label dan masing-masing dibuat duplo. Sebanyak 14 tabung diberi label masing-masing A (MB), B, C, D, E, F, dan G (duplo). Dengan menggunakan mikropipet 100 μl, larutan standar konsentrasi 0, 0.1, 0.5, 2, 10, 20, dan 40 ng/ml dipipet hingga ke dasar tabung. Pada tabung NSB dimasukkan juga 100 μl larutan standar A. Tabung-tabung lainnya diisi sampel masing-masing sebanyak 10 μl. Ke dalam tiap tabung ditambahkan 1 ml progesteron berlabel kemudian divorteks. Keseluruhan campuran itu diinkubasikan selama 3 jam dalam keadaan temperatur kamar. Sisa cairan yang ada dalam tiap tabung dituang dan tabung dibiarkan kering selama 3 menit. Radioaktivitas yang terikat pada tabung dicacah dengan menggunakan automatic gamma counter selama 1 menit. Prosedur selanjutnya sama seperti yang dijelaskan untuk estradiol.

Analisis Kolesterol

(44)

cholesterol liquicolor (CHOD-PAP-Method) dari HUMAN, yaitu dengan memipet sampel/standar sebanyak 10 μl ke dalam kuvet. Selanjutnya ditambahkan reagen enzim sebanyak 1000 μl dan dikocok. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu kamar selama 10 menit, setelah itu absorbansi sampel/standar diukur terhadap reagen blanko dengan panjang gelombang 500 nm. Spektrofotometer yang digunakan merk Hitachi model U – 2001 UV/Vis spectrofotometre, lampu:

Tungsten iodide, detektor : Silicon photodiode.

Analisis Kadar Vitamin A.

Analisis kandungan vitamin A, vitamin E, dan vitamin C dilakukan di Balai Penelitian Teknologi Pascapanen, Cimanggu Bogor. Kandungan vitamin A dalam ransum, telur, dan serum ditentukan dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dengan metode modifikasi dari AOAC (1990). Kondisi alat HPLC adalah menggunakan kolom C-18, fase gerak metanol 96%, laju fase gerak 1.0 ml/menit, dan detektor UV dengan panjang gelombang 340 nm.

Tahap pertama adalah mempersiapkan reagen A dengan menimbang 90 g KOH yang dilarutkan dengan aquabides secukupnya dan didinginkan. Asam askorbat ditimbang sebanyak 7.5 g dan dilarutkan dengan aquabides secukupnya. Kemudian mencampurkan kedua larutan tersebut dan diencerkan sampai 250 ml dengan aquabides dan disimpan dalam tabung gelap.

(45)

Tahap ketiga adalah mempersiapkan larutan sampel, yaitu dengan menimbang 0.5 g sampel dan ditambahkan dengan 2.5 ml etanol ke dalam tabung 5 ml, diultrasonik sampai larut. Kemudian 1.5 ml reagen A ditambahkan dan diaduk sampai homogen lalu dibilas dengan sedikit aquades kemudian ditutup dengan parafilm dan disimpan dalam ruang gelap selama semalam. Selanjutnya, campuran ini dilarutkan dengan aquabidest dan dikocok, lalu disaring dengan kertas whatman no 41. Selanjutnya sebanyak 0.5 ml filtrat dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung 2.5 ml untuk diencerkan dengan asetonitril. Selanjutnya dilakukan pengocokan dengan ultrasonic bath selama 40 menit. Larutan blanko dipersiapkan seperti larutan sampel di atas. Selanjutnya larutan dilewatkan ke dalam kolom berisi glass wooll dan Al2O3. Filtrat siap diinjeksikan ke dalam HPLC dengan UV detector panjang gelombang 340 nm, kolom C-18, fase gerak metanol 96%, dan laju fase gerak 1 ml/menit.

Perhitungan :

Kadar vitamin A: luas area sampel X 0.05 ppm X FP X 100 (ppm) luas area standar 0.5 Keterangan:

0.05 ppm: Konsentrasi standar FP: faktor pengencer (10 x)

100: volume akhir (ml)

0.5: volume sampel yang diinjeksikan (ml)

Analisis Kadar Vitamin C.

(46)

gerak, disaring dan siap diinjeksikan ke HPLC. Kondisi alat HPLC adalah kolom C-18, fase gerak aquabidest dengan pH 2.2 dengan H2SO4, laju fase gerak 1 ml/menit, dan detektor UV dengan panjang gelombang 254 nm.

Perhitungan:

Kadar vitamin C: Luas area sampel X 50 ppm X 10 Luas area contoh 0.5 Keterangan:

50 ppm: konsentrasi standar

10: volume akhir (ml)

0.5: volume sampel yang diinjeksikan (ml)

Analisis Kadar Vitamin E.

Sampel disiapkan dengan menimbang 0.5 g sampel dan dimasukkan ke dalam labu ukur 20 ml dan ditambahkan enzim makatase 40 mg dan 2 ml amonia 0.02%. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam ultrasonik selama 20 menit pada suhu 65ºC. Lalu campuran tersebut didinginkan pada suhu ruang dan ditambahkan etanol 10 ml dan dimasukkan kembali dalam ultrasonik selama 10 menit. Kemudian larutan ditambahkan etanol hingga volumenya menjadi 20 ml, dan dikocok kembali. Selanjutnya larutan disentrifus dan 5 ml supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam labu ukur 5 ml. Larutan siap diinjeksikan ke HPLC. Kondisi alat HPLC adalah kolom C-18, fase gerak metanol 98%, laju fase gerak 1.2 ml/menit, dan detektor UV dengan panjang gelombang 254 nm.

Perhitungan:

Kadar Vitamin E: Luas area sampel X 25 ppm X 10 Luas area standar 0.5 Keterangan:

25 ppm: Konsentrasi standar

10: volume akhir (ml)

(47)

Analisis Bilangan Asam Thiobarbiturat

Prinsipnya adalah 2-asam thiobarbiturat bereaksi dengan malonaldehid membentuk warna merah, intensitas warna merah yang terbentuk dapat diukur pada spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm. Malonaldehid merupakan hasil oksidasi lipid.

Prosedur kerjanya adalah dengan menimbang sampel sebanyak 10 g dan dimasukkan ke waring blender. Selanjutnya sampel tersebut ditambah dengan 50 ml aquades dan dihancurkan selama dua menit. Sampel tersebut dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml aquades. Selanjutnya campuran tersebut ditambahkan 2.5 ml HCl 4 M untuk dibuat menjadi pH 1.5. Setelah itu menambahkan batu didih dan pencegah buih (anti- foaming agent) dan memasang labu destilasi ke dalam alat destilasi. Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh diaduk merata dan dipipet 5 ml ke dalam tabung reaksi tertutup, dan ditambahkan 5 ml pereaksi TBA, ditutup dan dipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Selanjutnya membuat blanko, yaitu 5 ml aquadest dan 5 ml pereaksi, dan diperlakukan seperti penetapan sampel. Pendinginan tabung reaksi dengan air dingin selama 10 menit, kemudian mengukur absorbansinya (D) dengan larutan blanko sebagai titik nol. Perhitungan bilangan TBA dinyatakan dalam mg malonaldehid per kg sampel.

Bilangan TBA = 7.8 X D 7.8 = Konstanta

D = Absorbansi sampel

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) menurut Steel dan Torrie (1991) dengan tiga perlakuan dan masing-masing diulang sebanyak lima kali dan setiap ulangan terdiri atas dua puluh satuan percobaan. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (Anova) dengan menggunakan soft ware Minitab. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Tukey.

(48)

Yij = μ + αi + εij (i = 1, 2, 3; j = 1, 2, 3, 4, dan 5)

μ = rataan umum hasil percobaan

αi = pengaruh perlakuan ke i

(49)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fitosterol dalam Daun Katuk

Dari ekstraksi tepung daun katuk kering (TDK) menggunakan etanol 70% diperoleh ekstrak kasar sebanyak 28.9 g/100 g daun katuk kering. Kandungan senyawa aktif dalam ekstrak kasar tersebut diuji dengan GCMS dan hampir seluruh senyawa-senyawa tersebut dapat diidentifikasikan dan diklasifikasikan sebagai asam lemak, vitamin, klorofil, dan fitosterol yang disajikan pada Tabel 6, berdasarkan data hasil GCMS dengan database Wiley 275. L.

Tabel 6 Senyawa-senyawa dalam ekstrak daun katuk dengan etanol 70%

No. Golongan Nama Senyawa % peak Komposisi*

area (%)

1 Asam lemak C20H34O2 9,12,15- asam oktadekatrienoat etil ester 32.40 9.36

2 Asam lemak C16H32O2 heksadekanoat/asam palmitat 18.35 5.30

3 Klorofil C20H40O PHYTOL 17.02 4.92

4 Asam lemak C21H36O2 11,14,17- asam eikosatrienoat metil ester 12.81 3.70

5 Vitamin C28H48O2 Tokoferol (Vitamin E) 4.16 1.20

6 Stigmasterol C29H48O Stigmasta-5,22-dien-3β-ol 3.81 1.10

7 Asam lemak C16H26O2 Asam tetradekanoat etil ester 2.40 0.69

8 Sitosterol C29H50O Stigmasta-5-en-3β-ol 2.38 0.69

9 Fukosterol C29H48O Stigmasta-5,24-dien-3β-ol 2.21 0.64

10 Asam lemak C18H36O2 Asam oktadekanoat 1.34 0.39

27.98

* Keterangan: Komposisi senyawa yang larut dalam ekstrak etanol 70% per 100 g daun katuk kering (% peak area x 28.9%)

(50)

dalam penelitian ini digunakan daun katuk kering, sedangkan pada ulasan Designed for Health (2006) digunakan bahan pangan segar. Kandungan fitosterol tersebut di atas bila dikonversikan dalam daun katuk segar dengan asumsi kadar air 78.2% adalah 466 mg/100 g, ternyata juga lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sayuran lain (Lampiran 3). Dapat disimpulkan bahwa daun katuk dapat menjadi sumber fitosterol. Hal ini didukung oleh beberapa hasil penelitian terdahulu tentang kandungan vitamin E dan beta karoten (vitamin larut dalam lemak) dalam daun katuk paling tinggi dibanding sayuran lain di Indonesia (Hulshoff et al. 1997 & Ching dan Mohamed 2001).

Konsumsi dan Konversi Ransum

Tabel 7 menunjukkan konsumsi dan konversi ransum selama penelitian (25 minggu) tidak berbeda nyata. Pemberian tepung daun katuk dan ekstrak daun katuk tidak memberikan pengaruh yang nyata pada konsumsi ransum, konversi ransum, dan pada total berat telur.

Tabel 7 Konsumsi dan konversi ransum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama penelitian (25 minggu)

Perlakuan Konsumsi Berat Telur Konversi

Ransum (g) (g) Ransum (g)

Kontrol 4689.3±329.1 a 815.1±120.6 a 5.87±1.10 a TEK 4714.9±276.2 a 857.5±120.8 a 5.56±0.61 a TDK 4835.3±249.1 a 915.8±105.7 a????????±

??????a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

(51)

Pada penelitian sebelumnya (Subekti 2003) dilaporkan bahwa penggunaan tepung daun katuk dalam ransum ayam mempengaruhi konsumsi ransum. Perbedaan ini kemungkinan karena adanya perbedaan warna ransum yang mempengaruhi konsumsi ayam, tetapi ternyata tidak demikian halnya pada puyuh. Tidak adanya perbedaan energi dan protein yang signifikan, serta bentuk ransum yang semuanya berupa butiran (lebih disukai burung) adalah hal yang mempengaruhi konsumsi ransum dalam penelitian ini.

Penggunaan tepung daun katuk dan ekstrak daun katuk tidak mempengaruhi konversi ransum, hal ini karena tidak adanya perbedaan kandungan nutrisi ransum (makronutrien) sehingga tidak mempengaruhi konsumsi ransum dan produksi telur. Namun demikian, konversi ransum pada kelompok puyuh yang diberi tepung daun katuk lebih kecil dibandingkan dengan yang diberi ekstrak daun katuk dan kontrol. Dengan kata lain, puyuh yang diberi tepung daun katuk lebih efisien, hal ini mendukung penelitian terdahulu (Subekti 2003) bahwa penggunaan TDK 9% dapat meningkatkan efisiensi ransum. Rataan konversi ransum penelitian adalah 5.87-5.36 yang artinya untuk membentuk satu gram telur puyuh diperlukan ransum sebanyak 5.87-5.36 gram ransum.

Saluran Reproduksi

Berat badan dan panjang saluran reproduksi puyuh selama masa perkembangan disajikan dalam Gambar 12. Berat badan puyuh yang diberi tepung daun katuk dan tepung ekstrak daun katuk pada umur 4 minggu berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kontrol, sedangkan berat badan puyuh yang diberi TDK pada umur 5 minggu secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan puyuh yang diberi TEK dan kontrol. Saluran reproduksi puyuh yang diberi TDK dan TEK umur 3 minggu tidak berbeda secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Saluran reproduksi puyuh yang diberi tepung daun katuk pada umur 4 minggu (p<0.05) dan 5 minggu (p<0.01) lebih panjang dibandingkan dengan yang diberi tepung ekstrak katuk dan kontrol.

(52)

dengan cepat, dan gagasan ini dikonfirmasikan dengan data umur dewasa kelamin puyuh yang diberi ransum TDK yang lebih awal dan hormon estradiol yang lebih tinggi. Saluran reproduksi (oviduct) juga dibawah kontrol hormon. Sekresi estrogen dari folikel ovarium bertanggung jawab atas pembesaran oviduct sampai dengan ukuran fungsionalnya (Moreng dan Avens 1985). Gambar 15 secara jelas menunjukkan perbedaan umur pada permulaan bertelur dan produksi telur antara kelompok yang diberi TDK dan kontrol serta yang diberi ransum TEK. Secara lebih jelas data tentang panjang saluran reproduksi dan berat badan puyuh umur 2, 3, 4, dan 5 minggu disajikan dalam Tabel 8.

Gambar 12 Bobot badan puyuh (A) dan panjang saluran reproduksi (B) puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)

A

(53)

Tabel 8 Bobot badan dan saluran reproduksi puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) pada umur 2 (base line), 3, 4, dan 5 minggu

Bobot badan (g) pada Panjang saluran reproduksi (cm) Perlakuan umur (minggu) pada umur (minggu)

2 3 4 5 2 3 4 5

Kontrol 43.95 72.84±2.82a 80.92±5.56a 102.76±5.38 a 3.48 3.49±0.66 a 4.13±0.12 a 8.16±1.46 a TEK 43.95 78.20±5.63a 88.26±6.38b 105.62±3.76 a 3.48 3.85±0.67 a 4.26±0.42 a 8.25±3.50 a TDK 43.95 77.22±2.83a 91.06±3.54b 114.52±3.47 b 3.48 4.13±0.10 a 4.71±0.17 b 13.04±0.96 b Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Hormon Progesteron dan Estradiol dalam Serum

Pada Tabel 6 telah dipaparkan bahwa daun katuk mengandung fitosterol, yaitu senyawa tumbuhan yang mempunyai aktivitas estrogenik dan atau anti-estrogenik. Fitosterol dalam daun katuk baik dalam bentuk ekstrak dan tepung juga telah menurunkan kolesterol serum, kuning telur, karkas, dan hati pada puyuh (Tabel 13). Namun, terjadi juga percepatan masa dewasa kelamin dan peningkatan perkembangan saluran reproduksi pada puyuh yang mengkonsumsi daun katuk (Tabel 8 dan 11). Efek estrogenik daun katuk pada hormon steroid puyuh disajikan pada Tabel 9, Tabel 10, Gambar 13, dan 14.

(54)

0

Gambar 14 Kandungan estradiol dalam serum puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan

(55)

Tabel 9 Kandungan progesteron dalam serum puyuh (ng/ml) yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan (umur 2-5 minggu)

* Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 1%.

** Base line data

Tabel 10 Kandungan estradiol dalam serum puyuh (pg/ml) yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK) selama masa perkembangan (umur 2-5 minggu)

* Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

** Base linedata

Hormon steroid dalam serum ternyata dipengaruhi oleh penggunaan daun katuk dalam ransum baik dalam bentuk tepung maupun ekstrak. Hal tersebut mungkin disebabkan adanya pengaruh dari kandungan fitosterol dalam daun katuk. Sebelum ini Wu et al. (2005) telah meneliti konsumsi Yam (Dioscorea) yang merupakan sumber fitosterol dan hasilnya meningkatkan konsentrasi hormon estradiol (27%), hormon estron (26%) dan sex hormon binding globulin (9.5%) dan juga meningkatkan status antioksidan pada wanita menopouse, meskipun mekanisme secara pasti belum jelas.

(56)

dalam serum. Pada saat mulai periode bertelur, konsentrasi progesteron serum meningkat dan konsentrasi estradiol serum konstan (Pageaux et al. 1984). Status estradiol pada perlakuan TEK juga cenderung meningkat walaupun masih lebih rendah dibandingkan dengan TDK. Hal tersebut juga tercermin dalam perkembangan saluran reproduksi dan masa dewasa kelamin yang lebih lambat dibandingkan dengan puyuh yang diberi ransum TDK. Status hormon dan perkembangan saluran reproduksi pada puyuh yang diberi ransum TEK cenderung lebih baik dibandingkan dengan kontrol, yang membuktikan bahwa fitosterol dalam daun katuk berpengaruh pada peningkatan status hormon steroid, atau mempunyai efek estrogenik.

Umur Dewasa Kelamin dan Produksi Telur

Puyuh yang diberi ransum TDK bertelur lebih awal daripada kelompok puyuh yang diberi TEK dan kontrol. Puyuh yang diberi TDK mulai bertelur pada umur 40 hari dan setengah dari seluruh jumlah puyuh tersebut bertelur pertama kali pada umur 46 hari. Setengah dari seluruh jumlah puyuh kontrol dan yang diberi TEK bertelur pertama kali pada umur 53 dan 52. Jika jumlah puyuh yang bertelur pertama kali dibandingkan, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara TDK dan TEK pada umur 46 hari (p<0.01) dan 52 hari (p<0.01) dan antara puyuh yang diberi TDK dan kontrol pada umur 46 hari (p<0.01) dan 53 hari (p<0.01) hari (Gambar 15).

Tabel 11 Umur dewasa kelamin dan produksi telur puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)

Pada Saat Pertama Kali Bobot Telur(g)*

Bertelur Produksi Telur

Perlakuan Umur (hari)** BB (g)* Telur Pertama Total/ekor*** Henday (%)

Kontrol 53A 121.8±3.42 a 7.30±0.51 a 815.1±120.6 a 61.03 ± 7.12 a TEK 52A 120.2±1.92 a 7.81±0.45 a 857.5±120.8 a 61.68 ± 5.93 a TDK 46B 121.0±2.55 a 7.92±0.71 a 915.8±105.7 a 63.71 ± 5.25a * Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata

pada taraf uji 5% dan 1%

(57)

0

Gambar 15 Produksi telur puyuh umur 6-27 minggu

Umur dan rataan bobot badan pada saat pertama kali bertelur dan produksi telur selama periode penelitian disajikan dalam Tabel 11. Umur ketika 50% dari semua puyuh yang diberi TDK bertelur adalah 46 hari dibandingkan dengan kontrol, yaitu 53 hari dan yang diberi TEK adalah 52 hari. Bobot badan puyuh pada saat pertama bertelur berkisar 121-120 g pada semua kelompok perlakuan. Hal tersebut memperkuat hasil penelitian Fu et al. (2000) bahwa bobot badan puyuh ketika bertelur pertama kali sekitar 119-125 g. Rataan bobot badan puyuh antarperlakuan pada saat pertama kali bertelur tidak berbeda nyata. Produksi telur secara henday (%) dan massa telur (bobot telur total) selama penelitian dari ketiga kelompok puyuh tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05).

Kualitas Telur

(58)

dibandingkan dengan kontrol dan yang diberi TEK. Penggunaan TDK dan TEK dalam ransum tidak mempengaruhi bobot kuning telur.

Tabel 12 Kualitas telur puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)

Bobot Tebal Bobot Bobot putih Bobot kuning Haugh Warna Kuning telur* cangkang cangkang* telur* telur* Unit* telur Perlakuan (g) (mm) (g) (g) (g)

Kontrol 9.2±0.94A 0.19±0.01 a 0.97±0.20a 5.28±0.58 A 2.97±0.35a 80.85±2.37 a 2.43 ±0.55A TEK 9.7±0.75B 0.19±0.02 a 0.98±0.20a 5.58±0.60 AB 3.08±0.38a 82.97±4.81 b 3.97 ±0.65B TDK 9.9±0.53B 0.20±0.01 a 1.05±0.15a 5.79±0.67 B 3.05±0.34a 83.34±4.14 b 7.27 ±1.03C * Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata

pada taraf uji 5% dan 1%.

Pada penelitian Subekti (2003), daun katuk tidak mempengaruhi bobot putih telur, bobot kuning telur, dan bobot cangkang pada ayam lokal. Penggunaan tepung daun katuk dan ekstrak daun katuk pada puyuh ternyata dapat meningkatkan bobot telur dan HU. Selain itu, penggunaan TDK juga meningkatkan bobot putih telur (p<0.01). Bobot kuning telur secara nyata tidak dipengaruhi oleh penggunaan ekstrak dan tepung daun katuk. Hal tersebut kemungkinan karena ukuran telur puyuh yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan telur ayam sehingga apabila terdapat sedikit perbedaan saja akan menyebabkan perbedaan yang nyata. Hasil penelitian Kul dan Seker (2004) tentang kualitas telur puyuh, yaitu bobot telur (11.28±0.06); bobot cangkang (0.84±0.01); bobot putih telur (6.75±0.04); bobot kuning telur (3.69±0.02) dan Haugh Unit (85.73±0.15). Bobot cangkang, bobot kuning telur, dan HU pada penelitian ini hampir sama dengan penelitian tersebut di atas, kecuali pada bobot telur dan putih telur terdapat perbedaan. Perbedaan hasil antara penelitian ini dan penelitian lain mungkin karena perbedaan struktur genetik, kondisi kesehatan, umur, dan perbedaan manajemen perawatan dan kondisi puyuh.

(59)

(klorofil) yang terdapat dalam ekstrak. Warna kuning telur unggas ditentukan oleh konsumsi pigmen dalam ransum. Warna kuning telur pada puyuh yang diberi TDK jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain kemungkinan karena tingginya karotenoid yang terdapat dalam katuk (Hulshoff et al. 1997). Selain berperan sebagai prekursor vitamin A, karoten bersama dengan santofil dalam TDK juga mempunyai peran sebagai sumber pigmen. Namun, penggunaan TDK dengan persentase yang sama (9%), ternyata warna kuning telur pada puyuh lebih rendah dibandingkan pada ayam lokal, yaitu 10.75 (Subekti 2003). Hal ini kemungkinan karena perbedaan spesies unggas yang digunakan dalam penelitian sehingga selain karena ransum yang mengandung pigmen, warna kuning telur juga dipengaruhi oleh jenis unggas.

Gambar 16 Warna kuning telur puyuh (berdasarkan Roche yolk colour fan)

Kolesterol Ransum, Serum, Telur, Karkas, dan Hati

Hasil analisis kandungan kolesterol dalam ransum, serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh perlakuan disajikan pada Tabel 13 dan diilustrasikan pada Gambar 17.

(60)

Tabel 13 Kandungan kolesterol kuning telur, serum, karkas, dan hati puyuh yang diberi ransum kontrol, tepung ekstrak daun katuk (TEK), dan tepung daun katuk (TDK)

Kandungan Kolesterol (mg/g)

Perlakuan Ransum Serum (mg/dl)* Kuning Telur* Karkas* Hati*

Kontrol 2.60 69.12±10.51 a 13.05±2,67 a 3.18±0.05 A 25.95±2.43 A TEK 2.65 67.66±7.86 a 9.97±2.57 b 2.64±0.07 B 22.73±0.71 B TDK 2.61 64.07±16.51 a 9.11±1.36 b 2.63±0.26 B 20.97±1.71 B

* Data menunjukkan rataan ± SD. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%.

Kandungan kolesterol pada serum cenderung menurun dengan penggunaan TDK dan ekstrak DK tetapi penurunan tersebut tidak nyata. Hal tersebut kemungkinan karena homeostasis dari kolesterol serum, karena adanya mekanisme kompensasi, yaitu meningkatnya kisaran sintesis kolesterol endogen. Penurunan total kolesterol serum puyuh yang diberi TDK dan TEK dibandingkan dengan kontrol, yaitu 7.22% dan 2.11%.

(61)

Penurunan kolesterol serum ini kemungkinan karena adanya fitosterol dari katuk. Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa fitosterol dapat menurunkan total kolesterol dan kolesterol LDL. Nguyen et al. (1999) menyatakan bahwa konsumsi fitostanol (salah satu bentuk fitosterol) sebanyak 2-3 g/hari dapat menurunkan total kolesterol (6.4%) dan LDL (10.1%) pada manusia. Konsumsi fitosterol 1.84 g/hari pada manusia juga dapat menurunkan total kolesterol serum (13.4%) dan LDL (12.9%), sedangkan konsentrasi HDL serum tidak berubah secara signifikan (Jones et al. 2000). Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Ostlund (2004) bahwa dosis maksimum yang efektif untuk menurunkan LDL-kolesterol sampai 10% adalah 2 g fitosterol ester/hari, dan Moruisi et al. (2006) menegaskan bahwa konsumsi fitosterol/fitostanol 2.3±0.5 g/hari secara signifikan menurunkan kolesterol total sekitar 7-11%. Pada penelitian ini ditemukan bahwa kandungan fitosterol dari DK adalah 2.14%, atau konsumsi fitosterol pada puyuh yang diberi TEK dan TDK sekitar 0.054 dan 0.055 g/ekor/ hari.

Kandungan kolesterol pada kuning telur (p<0.05), karkas (p<0.01), dan hati (p<0.01) puyuh yang diberi TEK dan TDK lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut membuktikan bahwa kandungan fitosterol daun katuk baik dalam bentuk ekstrak maupun tepung berpengaruh pada penurunan kolesterol serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh.

Kandungan Vitamin A dalam Ransum, Kuning Telur, dan Serum

Gambar

Gambar 5  Biosintesis mevalonat
Gambar 8  Biosintesis hormon steroid  (Sumber: Berne dan Levy 1988)
Tabel 3 Perkembangan penelitian pengaruh daun katuk pada hewan
Tabel 5 Komposisi nutrien ransum
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya kesenjangan yang penulis temukan adalah dalam hal penentuan faktor predisposisi hiperemesis gravidarum, teori menyatakan bahwa salah satu faktor

Adapun yang menjadi catatan di sini adalah karena kajian living hadis lebih dekat dengan kajian-kajian ilmu sosial-budaya seperti antro- pologi dan sosiologi 45 maka

Hasil penelitian ini didasarkan pada tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui prosedur pemberian tugas berbasis portofolio dalam proses kegiatan belajar mengajar

Kesan penambahan ion Na + terhadap kadar fotodegradasi fenol pada kepekatan 20 ppm menggunakan serbuk Ti02 dengan penyinaran UV selama 8 jam. Kesan penambahan ion Ca2+

nasabah yang datang ke kantor pelayanan. Aspek ini merupakan bagian dari dimensi reliability, yang secara umum dipersepsikan dengan memuaskan oleh responden. Namun indikator

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari; tes kemampuan kreatif matematik, tes pemecahan masalah matematika, lembar observasi, dan

Komisi yang diberikan kepada pialang asuransi, agen dan perusahaan asuransi lain sehubungan dengan penutupan pertanggungan dicatat sebagai beban komisi, sedangkan komisi yang

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap ibu terhadap kepatuhan pemberian imunisasi dasar pada bayi di Desa Mororejo