KAJIAN PROSES PEMBAHGRUAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN
DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT
PROPTNSI KALIMANTAN TIMUR
OLEN
:GAMAL RUSTAMAJI
ABSTRAK
GAMAL RUSTAMAJL Kajian Proses Pembaharuan Kebijakan Pengelofaan Hutan Dalam Rangka Otonomi Daerah Kkbupaten Kutai Barat Propinsi Kalimantan Timur, Dibawah Bimbingan Hariadi Kolrtodihardjo dan Azis Khan. Penelitian bertujuan untuk melakukan kajian faktor pendorong dan penghambat terhadap proses pembaharuan kebijakan pengelofaan hutan dalam rangka implementasi otonomi daerah kabupaten Kutai Barat propinsi Kalimmtan Timur. Pembaharuan kebijakan
dan
kine j a pengelolaan hutan dapat tercapai, apabila faktor pendorong lebih besar dar~ pada faktor penghambatnya, dan kebijakan dapat dilaksanakan apabila rumusan operasionalnya sesuai dengan harapan rasional para pihak terkait atas kinerja insitusi pengelolaan hutan. Berdasarkan pemahaman konsep institusi serta peran institusi, maka faktor-faktor pernbaharuan tersebut ditetapkan sebagai unit analisis dengan tujuan memahami peran membngun kapasitas yang diperlukan bagi lembaga pemerintah, swasta maupun masyarakat dalarn kondisi tertentu untuk mencapai kinerja yang diharaph. Hasil penelitian menunjulckan bahwa; (I) Tidak terjadi pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan di Kutai Barat yang mengarah pada kepastian hak (right) dan kewenangan sebagai upaya rneminimasi biaya transaksidan
insentif para pihak rnewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. Apa yang dimaknai sebagai ~mbaharuan kebijakan, hanya sebatas menghimpun aspirasi para pihak atau belajar berssfna menyampaikan pikiran (harapan-harapan) atau proses penggalangan komitmen publik. Proses partisipatif yang dibangun tr'dak cukup didukung oleh kemampuandan
kapasitas institusi serta penajaman orieatasi kebijakan itu sendiri sebagai dasar pernbaharuan, (2) KK-PKD adalah wujud upaya membangun kapasitas institusi yang merupakan sebuah proses partisipasi dan belajar bersama menyampaikan pikiran, harapan dan membangun komitmen. Akibat masih besarnya ketidakpastian pelaksanaan otonomi daerah, perubahan-perubahan yang telah dirumuskan, secara fungsionai menjadi tidak berarti. Namun dalarn proses dialdrtif, KK-PKD sesungguhnya sangat bermanfaat, anbra lain; terbukti telah terbangunnya keterbukaan, proses partisipasi, koordinasi, munculnya kekuatan baru untuk mengatasipennasalahan-perrnasalahan
yang dihadapi, secara bersarna-sama, (3). Perubahan institusi dan kinerja pengelolaan hutan yang dicapai belum memenuhi harapan semua pihak. Hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintah yang dilaksmkan belum mengarah untuk memastilran bentukhak
(right) yang hams diberikan, memastikan batas kewenangan masing-masing pihak, upaya meminimurnkan biaya transaksi dan mendorong pengusaha hutan M u k melestarikan produksinya, (4) Kebijakan pengelolaan hutan di Kutai Barat cenderung mengarah kepada pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat dengan orientasi lebihSURAT
PERNYATAANDengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Proses Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Hutan Dalam Rangka Otonomi Daerah Kabupaten Kutai Barat Propinsi &slimantan Timur, adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
KAJIAN PROSES PEMBAHARUAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN
DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT
PROPINSI KALIMANTAN TIMUR
GAMAL RUSTAMAJI
Tesis
sebagai salah satu
symtuntuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahw Kehutanan
Judul Tesis KIjian Proses Pembahnruan Kebijalun Pengelolaan Hutan Dalam Rangka Otonomi Daerah Kabupaten Kutai Brtrat Propinsi Kalimantan Timur
Nama Mahasiswa : Gamal Rustamaji
Nama Pokok
P
14500020Program Studi Ilmu Pen8etahuan Kehutanan
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr.
Ir.
Hariadi Kartodihardio.MS,
K e t u aIr.
AzisKhan
MSc. Anggota2.
Ketua Program Studi 3. Direktur Program Pascasarjana Ilmu Pengetahuan KehutananProf. Dr. Ir. Cecep Kusmana.
MS.
Penulis dilahirkan di Kabupaten Kota Bam, Kalimantan Selatan, pada tan& 9 Maret 1964 dari ayah Basuki Raharjo dan ibu Siti Masitah. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara.
Pendidikan Sarjana di tempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakdtas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda, dan Zulus tahun 1988. Pada tahun
1988 hingga 1989, penulis bekerja di perusahaan kayu W l u x Firma. Selanjutnya tahun 1989 m p a i dengan tahun 1995 bekerja di perusban PT. Sumalindo Lestari
Jaya,
dan pada tahun 1995 penulis pindah kerja ke perushaan PT. Kalimanis Group, hinggatahun
2000, Selanjutnya penuIis memutuskan untuk melanjutkan pendidikanPRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT,
atas segala rahrnat dan hidayah Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini. Penelitian yang telah d i l a k s d a n sejak April 2002 ini berjudul "Kajian Proses Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Hutan Dalam Rangla Otonomi Daerah Kabupaten Kutai Barat Propinsi Kalimantan Timur".Tesis ini tidak dapat tenvujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Penghargaan dan terimakasih s e e m khusus penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS,
dan
Ir Azis Khan, MSc, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan pengetahuandan
waktunya, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA, selaku dosen penguji. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Bupatidan
segenap Pejabat Kutai Bmt, Tim Kelompok Kerja Program Kehutanan Daerah (KK-PKD), Lembaga Swadaya Masyarakat, serta Masyarakat di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Tirnur, yang telah membantu selarna penelitian. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak Staf Pengajar dan Rekan-rebn Mahasiswa Pascasarjana IPK-IPB, kedua Orangtua, Istri serta Keluarga, atas segala do7a dan dukungan yang diberikan, hingga selesainya karya ilmiah ini.Penulis menyadari, adanya kekurangan-kekurangan dari tesis ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pernbaca dan bagi pengembangan pengelolaan sumberdaya hutan
Bogor, Desember 2002
DAFTAR IS1
Halaman
...
PRAKATA 1
.
.
DAFTAR IS1
...
11DAFTAR TABEL
...
iv DAFTAR GAMBAR...
vi DAFTAR LAMPIRAN...
viiI
.
PENDAEULUAN...
1 A.
Latar Belakang...
1B
.
Penunusan Masalah...
3 C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 3 D.
Ruang Lingkup Penelitian...
4E
.
Organisasi Laporan...
...
II
.
KERANGKAPEMIIURAN
DAN METODE PENELITIANA
.
Pennasalahan Pengusahaan Hutan di Kabupaten Kutai Barat B.
Kebijakan Pengelolaan Hutan dan Inisiatif yang di Bangun ..C . Pengaruk Institusi Terhadap Pengeloleian Hutan
...
D . Faktor-faktor Penghambat dan Pendorong P e m b a h m
...
Kebijakan Pengelolaan HutanE
.
Penyempurnaan hstitusi...
F.
Hipotesis...
.,...
...
.
G Metode Penelitian 24
.
...
1 Lokasidan Walctu 24
2
.
Metode Pengumpulan Data ... 24 3.
Analisis Data...
25 H.
Ringkasan...
,... 31LIL
PENGELOLM HUTANDALAM
RANGKAOTONOMI DAERAH
...
34 A.
Telaah Permasalahan...
34D
.
Penyempurnaan Institusi ... E.
Rin-an...
IV
.
KEADAAN UMUM KABUPATEN KUTAI BARAT...
A
.
Wilayah Administrasi Kehutanan...
B.
Perekonomian Kabupaten Kutai Barat....
C . Sektor Usaha Kehutanan ... D
.
Ringkasan...
V.
HASIL DAN PEMBABASAN...
A
.
Tujuan Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Hutan...
B . Arah Pembaharuan Kebijakan Kehutanan...
...
C . Kinerja Pengelolaan HutanD
.
PersepsiPelaku
terhadap Pembaharuan Kebijakan Kehutanan 1.
Rlatrik Pendapat Indiwdu...
2.
Matrik Pendapat Gabungan...
...
VI
.
RINGKASAN PENELITIAN, KESIMPULAN DAN SARAN...
.
A Ringkasan Penelitian
.
...
B Kesimpulan.
...
C Saran...
DAFTAR PUSTAKADAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5 .
Tabel 9.
Tabel 10.
Tabel 1 1.
Tabel 12.
Tabel 13,
Tabel 14.
Sistem Pengusahaan Hutan HPH, HTI, HPHH, IPPK,
dan
ISLdi Kabupaten Kutai Barat
...
.,...
35 Ruang Lingkup dan Arah Pengembangan Kebijakan di BidangKehutanan di Kutai Barat
...
39 Misi Pengelolaan Hutan Kabupaten Kutai Barat...
4 1 [image:122.588.73.509.147.763.2]Kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai
...
Barat terkait dengan Pengelolaan Hutan 42 Kesesuaian Penggunaan Lahan terhadap Rencana TataRuang
Wilayah
...
49 Struktur Ekonomi Kabupaten Kutai Barat 1998-200 1 AtasDasar Harga Berlaku Tahun 1993-2000 (dalarn Prosen)
...
50 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar HargaBerlaku, Tahun 1993-2000 (dalam prosen)
...
50 Data Realisasi Produksi Kayu Bulat HPH, HPHH, HPHTI, IPKdm IPPK Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat
...
5 1Nilai Penerimaan dari Produksi Kayu Log Kabupaten Kutai
Barat
...
52 Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Kutai Barat,Tahun 200 1..
...
52 Program Pengelolaan Hutan antara Pemerintah Pusat, Propinsi...
dan Kabupaten 56
Arah Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Hutan Kabupaten
...
Kutai Barat 5 8
Realisasi Kegiatan Reboisasi
dan
Rehabilitasi Lahan Hutan...
di Kabupaten Kutai Barat
Tahun 2000-200 1
62 Jumlah Keseluruhan IjinHPHWIPPWZSL
di Kutai Barat...
...
(1 .3 1
8
Ij in) Tahun 1998-200 1...
62 Bobot Nilai Matrik Pendapat Individu Dalam PenentuanPrioritas Pslaku Faktor-faktor P ~ s m b a h a m
...
64 Bobot Nilai Matrik Pendapat Gabungan Prioritas PeranInstitusi dalam Pembaharuan Kebijakm Pengelolaan Hutan.. . 65
Bobot Nilai Matrik Pendapat Gabungan Prioritas Faktor Pen-
Tabel 18. Bobot Nilai Matrik Pendapat Gabungan Prioritas Faktor Peng-
barnbat Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan
Hutm..
.
..
. . .. .
. . . ...
67DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
...
23 Gambar 2, Hierarki Untuk Menangkap Faktor Penghambat terhadapPembaharuan Kebijakan Pengelolaan Hutan Dalarn
Rangka Otonomi Daerah di Kutai Barat
...
2 8Gambar 3. Hierarki Untuk Menangkap Faktor Pendorong terhadap Pembaharuan Kebijakan Pmgelolaan Hutan Dalam
Hafaman
Lampiran 1. Data Realisasi Produksi HPH tahun 200 1, Dinas Kehutanan
Kabupaten Kutai Barat
...
.
.
.
...
80 Lampiran 2. Data Realisasi Produksi IPPK tahun 2001, Dinas KehutananKabupaten Kutai Barat ... 82
Lampiran 3. Data Realisasi Produksi IPK tahun 2001, Dinas Kehutanan
Kabupaten Kutai Barat ... 83
Lampiran 4. Peta Areal Kebakaran dan Hutan Kalimantan Timur Tahun,
1997-1998
...
84...
Lampiran 5. Realisasi APBD 200 1, Kabupaten Kutai Barat 85 Lampiran 6. Peta Lokasi Penelitian, Kabupaten Kutai Barat Propinsi
...
Kalimantan Timur 86
Lampiran 7. Perhitungan Matrik Pendapat Gabungan Prioritas Peran
X,
PENDAHULUANPenatam kembali pembangunan kehutanan dinilai strategis untuk dilaksanakan di era otonomi daerah, agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan keberlanjutan bagi seluruh masyarakat, Penataan pembangunan kehutanan diperlukan mengingat terdapat potensi yang sangat besar yang &pat disumbangkan oleh sumberdaya hutan bag kesejahteraan masyarakat. Penataan pembangunan kehutanan atau lebih khusus lagi pembaharuan sistem pengelolaan hutan perlu dipahami, apakah dalam implementasinya dapat dijalankan hanya dengan memperbaiki progrm- program pembangunan kehutanan yang sudah ada, ataukah diperlukan pembaharuan kebijakan pembangunan kehutanan yang lebih spesifik yaitu kebijakan pengelolaan hutan.
Pelaksanaan kebijakan pernMgunm kehutanan s e r a
nampak
timpang. Sebagian upaya yang telah dan sedang dilakukan selama ini lebih tertuju kepada aspek-aspek ekonomi dan pewfaatan sumberdaya hutan jangka pendek. Sedangkan upaya-upaya pembaharuan kebijakanuntuk
meningkatkan kinerja pertindungan dan konservasi hutan kurang mendapat perhatian. Disamping itu substansi pembaharuan kebijakan yang dihasiikan selama otonomi dae& belum diarahkanuntuk
menguatkan kapasitas insitutsi daerah dalarn penyiapan prakondisi pengelolaan hutan.Otonomi daerah' termask otonomi pengelolaan sumberdaya hutan adslah sebuah kenyataan. Kebijakan ofonomi ini telah digulirkan sejak Jmuari 2001 dm
telah mulai diterapkan. Kedudukan seorang Bupati menjacli sangat penting dan strategis karena otonomi daerah chtempatkan
p;tds
tingkat kabupaten. Meskipun m a p a n otonomi daerah dewasa ini menimbulkan berbagai persoalan karena belum jelasnya rancang bangun dan persepsi pusat-daerah, namun sesungguhnya otonomiI
juga rnemberi berbagai peluang dan kesempatan yang menjanjikan. Perbedaan persepsi dan interpretasi terhadap rancang-bangun pelaksanaan otonomi antara pusat-
daerah adalah sebuah proses yang harus disikapi secara arif
dan
proporsional, Mengingat, momentum pelaksanaan otonomi daerah telah menjadi agenda publik yang mendorong paradigma baru pengelolaan hutan yang berkelanjutandwn
keadilan. Namun ditengah tekad untuk mendorong sukses pelaksanaan otonomi, ada gejala yang perlu diwaspadai. Dalam masa traflsisi sejak otonomi digulirkan, misdnya telah rnuncul sejumf& indikasi bahwa pelaksanaan otonomi umumnya direspons dengan upaya gencar peningkatan pendapatan asli daerah d a l m perspektif jangka pendek.Berangkat dari semangat
untuk
memanfbatkan momentum desentralisasi dan otonomi daerah, Pemerintah kabupaten Kutai Barat bersama para pihak pemangku kepentingan telah membentuk Kelompok Kerja Program Kehutanan Daerah (KK- PKD) Kutai Barat. Agenda kerja yang telah chsusundan
disepakati, meliputi:(a)
pernbuatan Potret Kehutanan Kutai Barat, (b) lokakarya Skenario Planning (Perencanaan Skenario), (c) lokakarya Strategic Planning (Perencanaan Strategis), dan (d) penyusunan dokumen Program Kehutanan Daerah Kutai Barat. Denganberjalannya secara optimal agenda kerja d m implemehtasi program kehutanan tersebut diharapkan dapat mendorong upaya pergeseran paradigma pengelolaan hutan di Kutai Barat dari orientasi jangka pendek, sentralistik tanpa berpihak pada masyarakat, menuju paradigma baru pengelolaan hutan yang berorientasi jangka panjang, terdesentralisasi dan berpihak pada masyarakat luas.
masyarakat, dan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Sementara tingkat kemiskinan, serta laju kerusakan sumberdaya hutan masih tetap belum terpecahkan. Kondisi tersebut merupakan gambaran realita yang jauh dari cita-cita dan harapan oleh semua pihak yang menghendaki hutan lestari dan masyarakat sejahtera, sebagaimana digariskan oleh para pihak dan KK-PKD.
Kebijakan kehutanan dan ekonomi dan tekanan-tekanan politik di daerah sangat berpengaruh terhadap pencapaian upaya-upaya berbagai pihak untuk mencapai kinerja pengelolaan hutan yang lebih baik. Kebijakan pembangunan kehutanan dan kondisi institusi pengelolaan hutan yang ada berpengaruh terhadap perilotku birokrasi, pengusaha atau kelompok masyarakat dalam pengambilan keputusan. Oleh
karena
itu dengan memahami tujuan pembangunan daerah dan kondisi institusi, dapat diperhitungkandan
ditetapkansasaran-sasaran
strategis dalam pembaharuan kebijakan.B. Perurnusan Masalah
1. Apakah terjadi pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan di Kabupaten Kutai Barat, yang mengarah pada kepastian hak kepemilikan, batas yurisdiksi dan aturan representasi?
2.
Apakah perubahan institusi daerahclan
kinerja pengelolaan hutan yang dicapai akan memenuhi harapan para pihak terkait, termasuk pengarnbil keputusan?3. Apakah program pengelolaan hutan berbasiskan mayarakat mampu menjadi prinsip pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan dalam tema penyelesaian konflik sumberdaya hutan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
penelitian ini &pat bermanfaat untuk mengenali; (a) tingkat kapasitas dan kapabilitas institusi daerah, (b) adanya peningkatan kapasitas
dm
bpabilitas institusi tersebut, (c) terakomodasinya aspirasi rnasyarakat dalm program-program pembangunan daerah yang dihasilkan, (d) ada tidaknya dukungan masyarakat terhadap program- program dimaksud. Disamping itu, penelitian ini dapat pula menjadi masukan bagi pemerintah daerah, dalam membantu mewujudkan pencapaian visi dan misi pengelolaan hutandi
Kabupaten Kutai Barat sebagai perwujudan pembaharuan kebijakan dan kinerja pengelolaan hutan yang diharapkan semua pihak.D. Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan pemahaman terhadap konsep, arti clan peran institusi, maka faktor
pendorong dan faktor pengharnbat p e m b a h w kebijakan pengelolaan hutan dalam rangka otonomi daerah kabupaten Kutai Barat, sebagai unit analisis dengan tujuan memahami peran membangun kapasitas (capacity building). yang diperlukan bagi lembaga pemerintah, swasta rnaupun masyarakat dalam membuat perubahan menuju kinerja yang diharapkan.
Dengan demikian, institusi sebagai fokus kajian ini, dapat diletakkan sebagai bentuk atut.an main dan organisasi dalam penataan kembali sistem pengelolaan sumberdaya hutan
di
kabupaten Kutai Barat. Institusi j u g ditempatkan sebagai kine rja yang diharapkan, dapat dicapai melalui peningkatan kapasitas dan kapabilitas institusi, baik dalam perspektif jangka pendek maupun jangka panjang.E.
Organisasi LaporanHasil penelitian ini dibagi &lam enam bagian. Bab I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian. Pada Bab 11, terdiri kerangka pemikim
dm
metode penelitian yang menguraikan tentang fakta atau situasi masalah, kemwdian konsep yang mendukung serta sintesis dalam metode penelitian. Pada Bab I11
11. KERANGKA PEMIKXRAN DAN METODE PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang penelitian
bahwa
penataan pembangunan kehutanan atau pembaharuan sistem pengelolaan tersebut perlu dipahami, apakah dalam implementasinya dapat dijalankan hanya dengan memperbaiki program-program pembangunan kehutanan yang sudah ada, ataukah diprlukan penelaahan kembali mengenai kebijakan pembangunan kehutanan yang lebih spesifik yaitu kebijakan mengenai pengelolaan hutan. Kerangka pemikiran yang dibangun dalam penelitian ini, diawali dengan menjelaskan gambaran kondisi hutandm
situasi masalah yang terjadi di lapangan, kemudian beberapa inisiatif dan kebijakan yang dibangun, serta faktor-faktor penghambat clan pendorong pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan. Perumusan metodologi penelitian didasarkan pada sintesis antara konsep institusi dan permasalahan pengelolaan hutan yang selanjutnya dirumuskandalam
hipotesis penelitian.A. Permasalahan Pengelolrran Hutan di Kabupaten Kutai Barat
Pexnkab, KK-PKD Kutai Barat (2001), menggambarkan dua persoalan penting dalam pengelolaan hutan. Pertama, pengelolaan kehutanan itu sendiri
dan
kedua,darnpak pengelolaan kehutanan terhadap masyarakat disekitarnya. Permasalahan yang
muncul dan terkait dengan pengelolaan hutan, antara lain:Kelembagaan; mekanisme kerja, koorclinasi
dan
pengawasan oleh Dims Kehutanan bersama unsur pemerintah kabupaten terkait dalam pengelolaan kehutanan belum berjalan optimal, disamping lembaga resolusi konflik belumtersedia.
hukum adat dan hukum formal, Perda tentang pengelolaan hutan, dan Perda tentang adat.
Pengelolaan huian; tumpah tindih KPWHP)-ITI
dan
perkebwan di Kawasan Budidaya Kehutanan(KBK)
atau Kawasan Budidaya Non Kehutanan(KBNK),
musnah atau berkurangnya keanekaragaman flora, fauna, dampak negatif pengelolaan hutan terhadap ekologi (erosi, pencemaran, sedimentasi, iklim mikro, kebakaran hutan), meningkatnya illegal logging, pelanggaran terhadap kawasan penyangga daerah aliran sungai @AS), konflik lahandan
batas, antara pengusaha dan masyarakat dan konflik antar masyarakat, belum jelasnya batas administrasi pemerintahan (kabupaten) dan batas administrasi kehutamn.Permas Jahan yang berkaitan dengan dampak pengelolaan hutan terhadap masyarakat, antara lain;
Ekonomi; ketergantungan masyarakat terhadap hutan masih tinggi, sebagian besar kampung-kampmg di sekitar perusahaan tergolong Inpres Desa Tertinggal
(IDT),
peran swasta dalam perbaikan ekonomi masyarakat masih kurang, belumberkembangnya koperasi dan belum berkembangnya pengelolaan hasil hutan non-kayu (obat-obatan, rotan, madu, buah-buahan) dan peningkatan ketrampilan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan peningkatan nilai tarnbah.
Kelembagaan; terjadinya dwlisrne kepemimpinan adat dan kampung serta semakin lunturnya ikatan komunal
Konfik; telah terjadi konflik lahan di seluruh kecamatan
dan
wbagian besar kampung. Konflik lahan ini terjadi antar masyarakat, antar karnpung, antar kecamatan dan konflik antara masyarakat dengan p e r u s a h .Dan situasi masalah tersebut diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
dan Pemungutan Kayu (IPPK) dan Ijin Sah hinnya (ISL), masih berorientasi pada pemanfatan kayu. Hutan masih dipandang sebagai sumberdaya yang menghasilkan
kayu.
Dengan berbagai cara mendapatkan kesempatan dan modal yang dimiliki dalam pemadbtannya, tentu mengharapkan keuntungan yang secara nyata meningkatkan kesejahterw bagi masyarakat.-
Konflik yang terjadi, baik horisontal maupun vertikal, lebih berkaitan dengan pemanfaatan hutan, sebagai akibat belurn adanya kepastian atas hak-hak masyarakat adatdan
lokal laimya. Kawasan hutan negara yang secara de$kto menjadi akses yang terbuka untuk dimasukidan
dimanfmtkan, telah mendorong para pihak untuk memperebutkan keberadaan hutan tersebut.-
Lemahnya institusi pemerintah dalam mengatur dan mengurus hubungan antar individu, perilaku masyarakat, pelaku usaha, terhadap sumberdaya hutan, yang mengakibatkan rendahnya kinerja pengelolaan hutan. Hal ini ditunjukkan dengan lernahnya mekanisme kerja, ketidak mampuan mengatasi berbagai konflik yang tejadi, lemahnya koordinasi dan pengawasan oleh Dinas Kehutanan kabupaten bersama unsw pemerintah kabupaten yang terkait.-
Dampak kerusakan sumberdaya hutan yang te rjadi, akibat kegiatan pengusahaan hutan dirasakan langsung oleh masyarakat adalah banjir, kekeringan dan p e n m a n populasi satwa. Sementara kebijakan kehutanan yang dilaksanakan belum tertuju pada upaya untuk melindungi keberadaan hutan tersebut. Lahirnya kebijakan kehutanan yang tidak sejalan antara pusat, propinsi dm daerah merupakan masalah baru yang mengakibatkan munculnya ketidak-pedulian terhadap kerusakan hutan, serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.B.
Kebijakan Pengelolaan Butan dan Inisiatif yang dibangun2002, terdapat 27 ijin
HPH
dan 3 ijin pemanfaatan yang dikeluarkan berdasarkan Kepmenhut sebelum tahun 1999. selain itu terdapat 125 ijin NPHH,clan
IPPK yang dikelwkan Bupati Kutai Kertanegara. Pemerintah daerah Kutai Barat sendiri, mengeluarkan ijin pemungutan dan pemanfaatan hasil h u m sebanyak 1.3 19 ijin2. Kemudian pada tahun 2001, timbd inisiatif memkn'tuk Kelompok Kerja Program Kehutanan Daerah guC-PKD) yang melibatkan berbagai unsur; masyarakat, tokoh- tokoh informal, pemerintah, akademisi, swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM)dan
tim pendamping kerjasama antar negara seperti Natural Resources Management Program (NRM/EPIQ) dan Deutche Gesst?llschaft Fur Technische Zusamenarbeit (GTZ). Langkah-langkah perencanaan dan agenda kerja KK-PKD disusun dmdisepakati bersama mulai dari, pengurnpulan data dan informasi, penyusunan dokumen potret kehutanm, perencanaan skenario, perencanaan strategis, hingga penyusunan dokurnen program kehutanan yang secara keseluruhannya telah dilakukan dengan menganut
azas
demokrasi, partisipasi dan transparansi.Sebagai tindak lanjut dari program-prograrn kehutanan KK-PKD juga telah menyusun Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Hutan Kutai Barat, dan Peraiman Daerah tentang Penyelenggaraan Kehutwan Masyarakat, yang merujuk pada Peraturan Daemh No.2. tahun 2001 Propinsi Kalimantan Timur, tentang Kewenangan Kabupaten khususnya dibidang kehutanan. Dalarn penyusunan Perda tentang Kehutanan Daerah
dan
Kehutanan Masyarakat, ini dibentuk tim penyusun (dengan Surat Keputusan Bupati No. 522,1/K,309/2001), yang terdiri dari anggota tim tetap yang memiliki komitmendan
upaya untuk melibatkan berbagai kelompok rnasyarakat dalam proses penyusunan Perda tersebut melalui proses konsultasi publik. Dengan tersedianya Perda tersebut, diharapkan pemerintah dapat mengakomodasi danmengimplementasikan semua aspirasi mwyarakat dan dunia usaha yang sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi seternpat kedalam kebijakan kehutanan.
2
Data Kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat, tahun 2002
C.
Pengaruh Iastitusi Terhadap Pengelolaan HutanMenurut Pakpahan (1990) &lam Kartodihardjo (1998), institusi atau kelembagaan
menMan
suatu sistem yang kompleks, nunit, abstrak, yang mencakup ideologi, hukurn adat istiadat, aturan, kebiasaan yahg tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatw apa yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi) atau dalam kondisi bagaimana individu dapat menge rjakan sesuatu. Oleh karena itu kelembagaan adalah i n s t m e n yang mengatur hubungan antar individu3.Selanjutnya Schmidt (1987) &lam Kartodihardjo (2000), kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana mereka telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang &pat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggungjawab yang harus mereka lakukan. Hak- hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalarn kaitannya dengan pananfaatan sumberdaya alam tertentu. Suatu kelembagaan baik sebagai aturan main maupun organisasi, dicirikan oleh adanya tiga komponen utama, yaitu : 1) Batas yurisdiksi (jurisdicrional bounctary), 2) Hak kepemilikan (property right) dan 3) Aturan represenmi (rules of representation).
Pertama, batas yurisdiksi diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya faktor produksi, barang dan jasa. Oleh karena sumberdaya tersebut hams dikonsumsi secara bersama, maka batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan para pengguna sumberdaya tersebut dalarn aturan pengarnbilan keputusan. Penentuan
sangat penting dibedakan pengertian antara institusi dan organisasi. Seperti halnya institusi, organisasi juga ~nenyediakan inehisine yang ~nengatur hubungan antar individu. Narnuil dapat dibedakan bahwa aturan dalam institusi dipergunakan untuk menata aturan main dari
pemain-pemain atau organisasi-organisasi yang terlibat, sedangkan atwan dalm organisasi ditujukan untuk memenangkan p~rrnainan tersebut. Bentuk organisasi dapat rneliputi oganisasi polit& organisasi ekonorni, organisasi sosial dan organisasi pendidikan (North,
siapa dan apa yang tercakup oleh batas ditentukan oleh batas yurisdiksi. Banyak permasalahan dan isu dalam ekonomi berkaitan dengan struktur dari batas yurisdiksi ini, yakni batas wilaywh kekuwun atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu Iembaga, atau mengandung makna kedwduanya. Batas yurisdiksi akan berperan dalarn mengatur alokasi surnberdaya. Singkatnya, suahi institusi dengan komponen batas yurisdiksinya akan menentukan siapa yang tercakup dan apa yang diperoleh yang pada akhirnya
akan
direfleksikan oleh kinerja atau keragaan tertentu.Kinerja yang dihasilkan sebagai akibat perubahan batas yurisdiksi ditentukan oleh beberapa faktor :
Perasaan peserta sebagai suatu masyarakat (sense of community)
Merupakan variabel psikologi penting yang sering diabaikan dalam analisis ekonomi. Masyarakat bukan merupakan suatu kelompok yang tidak memiIiki hubungan satu dengan yang lain. Pefasaan sebagai satu masyarakat menentukan siapa yang tennasuk kita (in group) dan siapa yang termasuk mereka (out group). Ha1 ini erat kaitannya dengan konsep jarak sosial yang akan menentukan kadar komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan.
Eksternalitas (externality)
3). Homogenitas (homogenity)
Homogenitas preferensi dan kepekaan politik ekonomi terhadap perbedaan preferensi. Konsep ini sangat penting dalam merefleksikan permintaan terhadap barang dan jasa. Jika barang dan jasa hanya dikonsumsi sendiri, permasalahannya relatif sederhana karena individulah sebagai satuan pengambil keputusan. Tetapi, jika bamng
dan
jasa tersebut h a w dikonsumsi secara kolektif maka masalah batas yurisdiksi menjadi penting, terutama dalam keleiuasaan merefleksikan preferensi konsumen dalam proses pengambilan keputusan. Homogenitas preferensi dan dtstribusi individu masyarakat (anggota organisasi) yang memiliki preferensi yang berbeda akan mempengaruhi jawaban atas pertanyaan siapa yang akan memutuskan.4). Skala ekonomi (economics of scale)
Konsep skala ekonomi memegang peranan penting dalam menelaah masalah batas yurisdiksi. Konsep ini menunjukkan hubungan antara output dengan biaya per satuan output. Biaya per satuan output terus menurun jika total output ditingkatkan. Batas yurisdiksi yang tepat akan menghasilkan ongkos per satuan yang lebih rendah dibandingkan dengan alternatif lain.
Ketiga, aturan representasi mengatur siapa yang berhak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil
dan
apa akibatnya terhadap kinerja yang ingin dicapai akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalarn proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan pula jenis keputusan yang dibuat. Oleh karena itu, aturan representasi menentukan alokasi d m distribusi sumberdaya yang langka. Dengan demikian aturan representasi merupakan subyek analisis ekonomi. Dipandang dari segi ekonomi, aturan representasi mempengaruhi ongkos membuat keputusan (transaction cost). Ongkos membuat keputusan ini pada akhirnya menentukan nilai output. Semakin tin@ ongkos transaksi, menyebabkan output tidak bernilai untuk diproduksi. Dengan demikian ongkos transaksi menjadi instrument kontrol yang ampuh dalam mengontrol pemanfaatan sekaligus alokasi-distribusi smberdaya. Oleh karena itu perlu dicari suatu mekanisme representasi yang efisien yang dapat menetapkan ongkos transaksi yang tepat. Di pihak lain, keciVrendahnya ongkos h.ansaksi akan meningkatkan eksternalitas. Karenanya kecilnya ongkos transaksi perlu dijelaskan dan didukung oleh inforrnasi yang memadai. Disinilah letaknya bahwa analisis kelembagaan dari sisi aturan representasi akan berguna dalam memecahkan masalah efisiensi dalam pengambilan keputusan alokasi sumberdaya.Pengertian institusi di atas memberikan gambaran, bahwa jika kinerja pengelolaan hutan tidak sesuai dengan yang diharapkan, berarti instiusi pengelolaan hutan tidak mengandung faktor-faktor yang menjadi pertimbangan masyarakat agar memberikan respon dan melakukan reaksi
untuk
mencapai kinerja yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena lemahnya institusi clan kontrol pelaksanaanya, perilaku, kapabilitas organisasi pemerintah dan masyarakat.antara teknologi dengan institusi menciptakan suatu sistem sosial yang kompleks. Kontribusi utama institusi dalam proses pembangunan adalah mengkoordinasikan para pemilik input berupa; tenaga kerja, kapital, manajemen, dll, dalam proses transformasi dari input menjadi output. Pada saat yang bersamaan institusi juga mengkoordinasikan distribusi output kepada para pemilik input berupa individu, organisasi pemerintah, dll, tergantung dari satuan analisis yang digunakan. Kemampuan suatu institusi mengkoordinasikan, mengendalikan atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan surnber interdependensi. Sumber interdependensi merupakan karaktmstik
dari
sumberdaya yang dibicarakan. Karakteristik sumberdaya mencakup inkompatibilifas, ongkos ekslusi, joint impact, surplus, resiko dm ketidakpastian, ongkos transaksi.D.
Faktor Penghambat dan Pendorong Pembaharuan Kebijakan Pengelohan HutanUntuk mengkaji pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan, perlu didentifikasi faktor-faktor pnting yang berpengaruh terhadap proses perurnusan kebijakan tersebut. Dari hasil stud pendahuluan, diketahui beberapa faktor penting yang menghambat dan mendorong adanya pembahasuan kebijakan pengelolaan hutan. Faktor-faktcx tersebut berkaitan erat dengan peran institusi pemerintah dan masyarakat. Faktor-faktor yang diduga mendorong pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan, adalah:
sumberday a hutan lainny a sebagai s umber produksi, plasma nuftah dan pemeliharaan lingkungan hidup. Peinberdayaan masyarakat dapat terwujud apabila terlebih dahulu inenetapkan kebijakan tentang rnengembalikan "atas hak'" kepada masyarakat desa hutan atau rnasyarakat adat.
-
Sikap dan periluku masyarakat yang konvtruktif terhadup program pembangunan yang sedang berjalun yuitu; merupakan kondisi masa depan ideal yang dapat terjadi, dimarm pemerintah yang aspiratif didukung oleh sikap dan perilaku masyarakat yang mendorong terciptanya kebijakan yang selaras dengan tujuan pembangunan. Keadaan ini digambarkan bahwa, keasadaran hukum masyarakat tinggi, sistem ekonomi mendorong tercapainya kesejahteraan masyarakat, selalu ada kesadaran dan upaya mernecahkan nasala ah inelalui mekanis~ne konsultasi publik, hubungan pernerintah dengan inasyarakat harinonis, leinbaga adat diakui seinua pihak, adanya jaminan dan keselarasan hukuin adat dan hukum formal.Penyutuan dun menselaraskan kepentingan-kepentingun indivldu kelompok
terhadap program dun tujuan pembangunan, mendorong kesadaran masyarakat dan para pihak, bahwa pengelolaan hutan perlu didasari oleh kepentingan yang rnenyatu dan antar generasi, karena rnanfaat dan keberadaan surnberdaya alarn hutan dari sisi ekono~ni, sosial dan lingkur~gan p r l u diteinpatkan secara adil dan proporsional. Kondisi ini diceminkan dengan adanya visi dan misi bersama terhadap tujuan pembangunan.
~nencapai kinerja tersebut, tidak hanya tertuang dalam visi dan misi pembangunan kehutanan, tetapi juga diwujudkan dalain pelaksanaan program-program pengelolaan hutan yang telah dibuat dan disepakati.
Dari faktor-faktor pendorong tersebut, instilusi lnasyarakat di daerah merupakan inodal dasar yang dipandang sebagai aset produktif inasyarakat untuk mendorong terjadinya pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan, Adapun faktor-faktor yang diduga rnenghambat pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan, adalah :
Lemuhnya kapasitas dan kapabilitas birokrasi pemerintah, bahwa instansi pemerintah sebagai institusi penanggungjawab pelaksanaan program/kegiatan pengelolaan hutan, tidak ~nalnpu menghadapi tantangan pebangunan kehutanan dan kurang meinpunyai adaptasi yang tinggi terhadap perubahan-perubahan yang berkembang dalain masyarakat. Leinahnya manajeinen (internal) didalain organisasi peinerintahan, tidak terdapatnya suinberdaya inanusia yang mainpu menangani pekerjaan, tidak tersedia teknik dan teknologi, tidak tersedia modal usaha, tidak adanya insentif untuk meningkatkan kinerja, kebijakan pemerintah yang tidak aspiratif dan sarat kolusi, korupsi dan nepotisrne dibarengi dengan sikap perilaku pelaku (pejabat) yang tidak peduli dan mengutamakan kepentingan individu.
* Tiduk udanyu penghurguan utau insentif untuk mendorong upaya pelestarian
Kepentigan-kepentingan individu atau kelompok yang tidak selarus dengan
tujuan pembangunan atau program-program yang telah dibuat Pemmintah yang aspiratif dengan selalu mengupayakan kebijakan berdasarkan keinginan masyarakat banyak, nainun tidak didukung oleh sikap dan perilaku masyarakat yang konstruktif. Kebijakan pengelolaan sutnberdaya alain yang telah dibuat tidak diindahkan masyarakat. Kepentingan individu atau kelompok lebih menonjol daripada kepentingan ~nasyarakat banyak, tuntutan terhadap hak sangat dominan dan kerusakan sumberdaya alam pun terjadi, serta tidak adanya upaya pelestarian hutan.
Lemahnya koordinasi antara pihak terrnaS.uk di pemerintah pusat dan daerah.
Koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah, antar instansi dengan tanpa informasi yang cukup, bukan saja menyebabkan lemahnya pelaksanaan birokrasi, narnun juga akan meningkatkan biaya transaksi dalam iinplementasi pelaksanaan pengelolaan hutan.
Tidak adanya kepastian dan penegukan hukum, yang diarahkan untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat, atau dapat menjamin seluruh unsur masyarakat dalam pengelolaan hutan yang lestari. Hukum tidak lagi rnenjadi acuan utarna. Berbagai ketidak-adilan rnuncul dan berbagai pelanggaran hukum terjadi. Masyarakat tidak horrnat kepada h u k m karena ada aswnsi bahwa peraturan hanya dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Kumng tersedianyn data dan informasi dalam membuat rencaniz dan
pengambilan keputusan. Kurangnya data dan informasi rnengenai kondisi, potensi hutan, keberhasilan atau kegagalan dalam pengelolaan h u h , menyebabkan sulitnya pengambilan keputusan dan pemecahan suatu rnasalah, yang akhirnya menyebabkan rendahnya kinerja organisasi-organisasi yang terlibat dalam pembangwian kehutanan di daerah.
secara formal pembaharuan kebijakan yang diinginkan. Kinerja instansi pemerintah sangat tergantung dari kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki. Sehingga peran institusi pe~nerintah secara nomatif inaupun kondisi real nya secara einpiris perlu dipahaini .
Berdasarkan fator-faktor pendorong dan penghambat pembaharuan kebijakan tersebut, selanj utnya dilakukan analisis terhadap masing-masing pelaku (aktor) yang mewakili para-pihak, antara lain; Bupati, DPRD, Ketua Bappeda, Kadishut Kabupaten, Pakar Perguruan Tinggi, Elit MasyarakatlAdat, Pengusaha Swasta, Lembaga Kerjasama lnternasional dm Lembaga Swadaya Masyarakat. Dari hasil analisis, kemudian dapat diketahui faktor-faktor dan pelaku mana yang lebih berperan dalam pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan.
Alternatif solusi dari faktor pendorong pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan:
Penguatan institusr' duerah. Penguatan institusi dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan hutan. Kondisi institusi yang kuat menjadi prasyarat penyelenggaraan pengelolaan hutan yang baik
-
Kebijukan didusurkm kepulkr sense of community. Menentukan kelompok yang menjadi subjek untuk rnmgambil keputusan apakah melestarikan atau tidak melestarikanhutan. Masyarakat bukan merupakan suatu kelompok yang tidak memiiiki hubungan satu
dengan yang lain. Perasaan sebagai satu masyarakat menentukan siapa yang termasuk
kita ( m group) dan siapa yang terxnasuk mereka (out group). Hal ini erat kaitannya dengan konsep jarak sosial yang akan menentukan kadar komnitwn yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan.
Menetapkun bentuk pengelolaan sumberdaya hutun yang adil, eflsien dan
Alternatif solusi dari faktor penghambat pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan:
* Kepastlan kebijakan penyelengguraan oionomi daerah. Pemerintah pusat harus
melengkapi seluruh peraturan Perundang-undangan yang ~nenjadi pelaksanaan
otonomi, serta pembuatan Perda desentralisasi di tingkat propinsi. Sedangkan di
tingkat daerah kabupaten, adanya produk-produk Perda tentang kewenangan dan
kelembagaan. Dengan kepastian kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah,
timbulah semangat yang tinggi untuk meningkatkan kemandirian pemerintah
daerah dan pembangunannya.
* Kepustian lzak kepemihkun (property right) sumberdnya hutcm. Kepastian hak
kepelnilikan merupakan lnasalah yang fundamental dan menjadi prasyarat bagi
pencapan efisiensi ekonomi bagi alokasi dan peinanfaatan sumberdaya hutan
secara berkelanjutan. Penguatan hak kepeinilikan inaupun pengakuan sistein
tenurial, hak-hak dan akses inasyarakat tinggal di sekitar hutan terhadap potensi
ekonomi dari hutan, sudah harus menjadi perhatian pemerintah.
Pembenahan pranatu sosial. Adanya dualisme kelembagaan, yaitu sistem adat
dan sistem administrasi desa di satu kelompok masyarakat yang sama menyebabkan pola kepemimpinan mengalaini perubahan dan ikatan kehidupan
kolektif melemah, pergeseran hak-hak komunal ke hak pribadi. Dengan
dibentuknya struktur pemerintahan desa atau kampung yang baru yang
mengambii alih lembaga desa atau adat, akan inemberikan harapan perubahan
positif adanya sinergi antara peinerintahan desa dan adat yang berlaku di tiap
kelompok masyarakat.
Koordinasi antara pemerintah pusut, propinsi dan kabupaten/kota. Adanya
koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat propinsi dan kabupaten di dalam
tatanan kelembagaan yang menyatukan kepentingan penyelamatan sumberdaya
alam dan lingkungan dengan kepentingan berbagai sektor yang lebih menitik
beratkan pada pembangunan ekonomi. Mengingat pemecahan nasala ah
sangat luas. Yang diperlukan kemudian adalah berbagai proses komunikasi secara intensif baik secara vertikal lnaupun horisontal antas para pihak dalam pernbangunan kehutanan.
E.
Penyempurnaan InstitusiInstitusi atau kelembagaan adalah bentuk ahuan main individu atau kelompok masyarakat yang secara bersama-sama mempunyai kepentingan atas pemanfaatan sumberdaya alam tertentu. Individu atau kelompok masyarakat tersebut dapat disebut para pihak pemangku kepentingan
stakeholder^)^.
Pengatman antar stakeholders diperlukan, karena swnberdaya yang sedang chmanfaatkan tersebut terbatas, baik jumlah maupun tingkat kemanfaatannya.Penyempurnaan institusi yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah pembaharuan kebijakan untuk mencapai tingkat kinerja tertentu. Pembaharuan kebijakan adalah perubahan untuk mengendalikan sumber interdependensi, melalui perubahan institusi, dan rangkaian hubwlgan antara karakteristik subyek sumberdaya hutan, alternatif institusi, perilaku aktor dan alternatif kinerja yang menjadi landasan penelitian.
Menurut Kartodihardjo. H. f2000), pengertian penyempurnaan adalah penataan kelembagaan untuk mencapai kinerja (perfonnunce) tertentu. Oleh
karena
itu diperlukan tolok ukur kinerja yang dimaksud. Apabila mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), kinerja dapat didefinisikan atas 3 hal, yaitu:-
Keberlanjutan produksi, yaitu apabila hutan ditebang sebatas pertumbuhannya dan dapat diamankandan
segala jenis gangguan4
-
Keberlanjutan fungsi ekosistem/lingkungan, yaitu apabila teknologi yang dipergunakan untuk memanfaatkan hutan mampu memberikan darnpak minimum terhadap kerusakan ekosistem.-
Keberlanjutan fimgsi hutan sebagai pendukung fungsi sosial kemasyarakatan, yaitu apabila dalam proses pemanfrtatan hutan mempertimbangkan partisipasi, akses dan manfaat bagi masyardcat sekitar hutan.Adapun penyempurnaan institusi adalah upaya untuk menyempmkan aturan main pemanfaatan sumberdaya hutan dalam mengendalikan karakteristik hutan yang spesifik yang menentukan keterkaitan dan ketergantungan antar stakeholders yang mempunyai kepentingan. Tolok ukur dari
dapat
dikendalikannya karakteristik sumberdaya hutan yang spsifik tersebut adalah terdapatnya perubahan sikap stakeholders sehingga kinerja pengusahaan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Perubahan sikap merupakan parameter psikologi yang tidak dapat diukur, Namun berjalannya proses perubahan sikap secara permanen &pat dimungkinkan apabila pencapaian kinerja merupakan kepentingan mereka sendiri. Tiga unsur penyempumaan institusi adalah (1) adanya kejelasan property right, (2) adanya kejelasan batas kewenangan secara hukum (jurisdictional boundary), (3) adanya penetapan bentuk keterwakilan pihak-pihak yang terlibat (rules of representation).Lebih lanjut Kartodihardjo. H. (1999), menyatakan bahwa pembaharuan insitusi pada dasarnya melakukan perubahan sikap atau perilaku ( b e h i o r ) untuk mencapai kinerja yang telah ditetapkan. Perubahan perilaku itu sendiri adalah implikasi
dani
Gambar 1. Kerangka Pemi kiran UKURAN KINERIA Realisasi Program- PengeWen Hutan PROGRAM BUUAtAN
KKPKD Kubar,
Atwwt Fonnal, KONDISI AWAL Informal
Kenrsakan Hutan Kubar Perilaku : fJemeMtah,
Masyamtat, Pengusaha
F a W Pewhambat F a m Pendorong
t
t
t
t
t
t
Ekonomi Sektwal
4,4m
PefWhn, Kehutanan 3454%
Industri Pengoshan 19,32%
Perctagangan 11,9%
J ~ s 14,66% KINEMA
Somber; perilcanan, HARAPAN
m n 1
[image:148.848.47.740.93.502.2]F. Hipotesis
Pembahaman kebijakan d m kinerja pengelolaan hutan dapat tercapai, apabila faktor-faktor pendorong lebih besar daripada faktor penghambatnya, dan kebijakan dapat dilaksanakan, apabila ekspektasi rasional masing-masing pelaku (aktor) sesuai dengan tujuan pembangunan yang diharapkan.
G. Metode Penelitian
Lokasi penelitian di wilayah kabupaten Kutai Barat, Propinsi Kalimantan Timur, dengan fokus pengarnbilan data pada wilayah kabupaten dan beberapa responden yang mewakili pihak-pihak pemangku kepentingan. Penelitian d i l a k h selama 5 (lima) bulan, yang dimulai dari pgambilan data hingga selesai penulisan tesis.
2. Metde Pengumpulan Data
Penelitian brsifat eksploratif, dengan mengkombinasikan Metode Telaah Dokumentasi (Documentation Studj) ciari berborgai surnber data, dm Metode langsung (Direct Methods) yaitu pengumpulan data primer di lapngan dengan teknik
wawancara dan observasi lapangan.
Tahapan pengumpulan data, sebagai berikut :
* Merangkum beberapa kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan yang
telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten.
Melakukan observasi dan identifikasi permasalahan yang ada di lapangan, untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya mengenai proses pelaksanaan
Wawancara, diskusi dengan menggunakan kuesioner Proses Hierarki Analitik yang telah disiapkan terhadap
para
pelaku (aktor) utama yang mewakili para pihak pemangku kepentingan atau pembuat kebijakan,Data-data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif sesuai dengan tujuan penelitian. Beberapa data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data kualitatif dari hasil wawancara, diskusi, bahan tertulis dan berbagai prsepsi dari para pihak.
Wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan terhadap beberapa pelaku utama antara lain; Bupati, Ketua DPRD, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten, Pakar Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Kerjasama Internasional, Pengusaha, Elit masyarakat. Hasil pengisian kuesioner
dan
wawancara tersebut, juga dikutip secara langsung pernyabran tentang sikap, keyakinan dan pemikiran mereka mengenai program-program dan tujuan kebijakan pengelolaan hutan di kabupaten Kutai Barat.3, Aaaiisis Data
Aplikasi Proses Hierarki Analitik
Proses pengambilan keputusan menggunakan metodologi transparan
dan
struktural sangat erat kaitannya dengan cara otak kita menganalisis ha1 yang kompleks yaitu dengan memecah k l a h obyek yang ditangkap oleh indera menjadi sejumlah gugusan, sub-gugusan
&an
gugussn yang lebih kecil lag. Sebaliknya hierarki fungsional menguraikan sistem yang kompleks menjadi elemen-elemen pokok menurut hubungan yang esensial.Menerapkan Proses Hierarki Analitik pada keputusan manfwt/biaya
(untuk
selanjutnya diartikan dorongan dm hambatan) dapat memperbaiki alat pengambilan keputusan tradisional. Tahap awal dibuat struk.tur faktor pendmng dan faktor penghambat dalam suatu hierarki analisis, kemudian dapat menggunakan skala banding berpasangan untuk mengkuantifikasikan faktortak
berwujud, non ekonomi yang sejauh ini belum terintegrasi secara efektif daIam pengambilan keputusan.Analisis yang dilakukan dalam proses hierarki analitik disusun menurut langkah-langkah sebagai berikut :
empat adalah alternatif solusi
dan
level lima adalah tujuan pembaharuan kebijakan pengelolmn hutan.Penyusunan Matrik Peisdapat : Penentuan tingkat kepentingan pada setiap hierarki dilakukan dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise
comparison), yaitu dengan wawancara langsung kepada responden. Responden bisa seoiang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik pennasalahan tersebut. Untuk mengkuantifikasikan data yang bersifat kualitatif tersebut digunakan nilai komparasi 1-9.
Gambar 2. Hierarki Untuk Menangkap Faktor Penghambat
terhadap
Pembaharu-an
Kebijakan Pengeldaan Hutan Dalarn Rangka OtonomiDm&
di Kabupaten Kutai BaratE
Bupati Icabupa- Icabupa- Kehut. Perguruan EHt Masy. saha/ Kerjaten ten Kabupa- Tinggi Alit M a t Swasta Sama Int. ten
i
I I I I I t I I I
1
7
pemerintah thd Pelcs-Fl
War= Tujvl
Multi PihakFl Fl
pijir-1
Kepemillkan*IlwlSDH Prosram Pusat-Da.
I
PembaharuanGarnbar 3. Wierarki Untuk Menangkq Faktor Pendorong terhadap Pembahaman Kebijakan Pengelohan Hutan
Dalam
Rangka OtonomiDaerah
di Kabupaten Kutai BaratKebijakan
m
Aturan Komitmen
Perilalw
Panga kua Sefams Tuj antar
n Hak KonstruMi Proaram Stake-
hpau
I
I I I I 1 II I
DPRD Kabupa- ten Pembaharuan KeMjakan Dapat Terwujud Pembaharuan
Kebifakan 'Tidak
Dapat ferwujud BAPPEDA Kabupa- ten Mnas
,":
A-
tenI
PakarlI
Perguru-
I
an/
Elit Masy.
/EIR M a t
m u - saha /swam
Lernbaga K q a Sama I n t
Analisis Biaya Manfaat
Menurut D m , William N, (19831, bahwa analisis biaya-manfaat adalah suatu pendekatan untuk rekomendasi kebijakan yang memungkilkan analis membandingkan dan menganjurkan suatu kebijakan dengan cara menghitung total biaya dalarn bentuk uang. Sementara analisis biaya-manfaat dapat juga digunakan untuk merekomendasikan tidakan kebijakan, dalarn arti diaplikasikan (ex ante), analisis biaya-manfat dapat juga digunakan
untuk
mengevaluasi kinerja kebijakan. Selanjutnya dikatakan bahwa, ciri-ciri analisis biaya-manfaat brusahauntuk
mengukur semua biaya dan manfaat
untuk
masyarakat yang kemungkinan dihasilkan dari program publik, termasuk berbagai ha1 yang tidak terlihat yang tidak mudah untuk diukur biaya dan manfaatnya &lam bentuk uang.Pencapan kinerja dan adanya pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan disebabkan oleh perubahan institusi
dan
pencapaian program-program yang telahdibuat. Besarnya manfaat dan biaya (pengorbanan) antara faktor-faktor penghambat dan pendorong atau pembaharmn kebijakan terwujud dan tidak terwujud, ti& dapat dikuantifikasikan, maka penunusan analisis dapat dilakukan berdasarkan pendekatan skala rasio manfaat-biaya (Benejit-Cost Ratio). Apabila faktor-faktor pendorong diterjemahkan sebagai benefit dan fstktor penghambat diartikan sebagai cost, serta beneft maupun cost tersebut tidak dapat dikuantifikasikan, maka analisis BCR-nya ditentukan sebagai berikut:
BIC
> 1, maka adanya pembahamn kebijakan atau pembaharuan kebijakan terwujud sebagai &bat faktor pendorong lebih besar dari faktor penghambat, sedangkan;Permasetlahan yang terjadi di Kutai Barat, ditinjau dari sudut pengelolaan hutan yang lestari, adalah; (I) pengusahaan hutan masih berorientasi lebih pada pemanfaatan hutan dan belurn mencerminkan distribusi manfaat dan pendapatan
antara berbagai golongan ekonomi, (2) praktik pengusahan hutan HPH, IPK, HPHH,
IPPK dan konhsi hutan yang tersisa tidak menjamin memberikan keuntungan dan batas usaha yang layak untuk jangka panjang serta intensitas pelaksanaan manajemen tidak berjalan dari waktu ke waktu, (3) ketidak pastian kebijakan dan konflik yang terjadi menimbulkan kegelisahan masyaaakat
dan
ketidak pastian pengelolaan hutan jangka panjang, (4) Kerusakan akibat praktek pengusahaan hutan, kebakaran hutan dan bencana banjir yang terjadi, belum mampu menjadikan peringatan kepada semua pihak &lam upaya-upaya melestarikan surnberdaya hutan.Timbulnya inisiatif untuk membentuk Kelompok Kerja Pengelolaan Kehutanan Daerah (KK-PKD), merupakan wujud adanya komitmen dan proses partisipatif masyarakat dan para pi@ (stakeholders) menuju suatu pembahanm kebijakan pengelolaan hutan di Kutai Barat. Dengan melalui berbagai proses, telah dihasilkan beberapa dokumen penting dan prioritas program pengelolaan hutan. Pragrm-
program yang disepakati tersebut diharapkan menjadikan dasar dalarn pembuatan kebijakan oleh Pemkab dan DPRD selaku institusi formal di kabupaten Kutai Barat.
mendorong upaya pelestarian sumberdaya alam khususnya hutan dan konservasi alam,
c)
kepentigan-kepentingan individu atau kelompok yang tidak selaras dengan tujuan pembangunan atau program-program yang telah dibuat, d) lemahnya koordinasi antara pihak terrnasuk di pemerintah pusat dan daerah,e)
tidak adanya kepastian dan penegakan hukum, f) kurang tersedianya data dan informasi dalam membuat rencana dan pengambilan keputusan.Kondisi kinerja pengelolaan hutan saat ini yang tidak sesuai dengan a p yang diharapkan, menunjukkan bahwa institusi pengelolaan hutan tidak mengandung faktor-faktor yang menjadi pertimbangan para pihak, yang memberikan respon dan melakukan reaksi cialam mencapai tujuan pengelolaan hutan. Hal ini disebabkan antara lain oleh karena lemahnya institusi dan kapasitas serta kapabilitas organisasi pemerintah. Lemahnya institusi pengelolaan hutan juga ditunjukkan oleh adanya kebijakan pengelolaan hutan yang tidak memperhitungkan hutan sebagai aset, rendah dan tidak tegasnya batas yuridiksi para pelaksana pengusahaan hutan dan aturan keterwakilan dari pelaku pengelolaan hutan.
Penyempurnaan institusi pengelolaan hutan dapat dinunuskan dengan asumsi bahwa karakteristik sumberdaya alam, karakteristik teknologi dan karakteristik sumberdaya mmusia serta tujuan pengelolaan adalah tetap. Dengan terpenuhinya asumsi ini, penyempurnan institusi mempunyai peranan dalam pembaharuan kebijakan
dan
sekaligus dapt memperbaiki kinerja pengelolaan hutan. Kinerja pengelolaan hutan tersebut, mengacu kepada konsep pembangwlan berkelanjutan (sustainable development), yaitu; keberlanjutm produksi, fungsi ekosisternflingkungan dan keberlanjutan fungsi hutan sebagai pendukung fungsi sosial masyarakat.III. PENGELOLAAN HUTAN DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH
Kegiatan pengusahaan hutan Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pemungutan Hasil Hutan, Ijin Pemanfaatan Pemungutan Kayu dan Ijin Sah Lainya dengan intensitas eksploitasi s e w saat ini, mengundang kekhawatiran smberdaya hutan Kutai Barat akan habis dalam waktu yang tidak terlalu lama. Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat pembanp