• Tidak ada hasil yang ditemukan

Khasiat Berbagai Sediaan Daun Katuk Terhadap Penampilan Produksi, Kualitas Telur Dan Profil Hematologi Ayam Petelur Fase Pertumbuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Khasiat Berbagai Sediaan Daun Katuk Terhadap Penampilan Produksi, Kualitas Telur Dan Profil Hematologi Ayam Petelur Fase Pertumbuhan"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

KHASIAT BERBAGAI SEDIAAN DAUN KATUK TERHADAP

PENAMPILAN PRODUKSI, KUALITAS TELUR DAN PROFIL

HEMATOLOGI AYAM PETELUR

FASE PERTUMBUHAN

DUSTAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Khasiat Berbagai Sediaan Daun Katuk Terhadap Penampilan Produksi, Kualitas Telur dan Profil Hematologi Ayam Petelur Fase Pertumbuhan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

DUSTAN. Khasiat Berbagai Sediaan Daun Katuk Terhadap Penampilan Produksi, Kualitas Telur dan Profil Hematologi Ayam Petelur Fase Pertumbuhan. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.

Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr.) merupakan salah satu jenis tanaman sayur dan sekaligus tanaman obat yang diketahui memiliki manfaat dan khasiat sebagai pemicu produksi air susu ibu (ASI). Pada hewan ternak tanaman ini juga diketahui sebagai feed additive untuk memicu pertambahan produksi telur. Penelitian mengenai pemanfaatan daun katuk sebagai feed additive pada ayam petelur masih banyak menggunakan tepung daun katuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung daun katuk memiliki efek samping yang tidak diharapkan seperti tanda-tanda penurunan berat badan dan penurunan bobot kerabang telur pada unggas. Namun demikian, sampai saat ini belum diketahui senyawa aktif mana yang paling bertanggung jawab terhadap efek toksik tersebut. Keberadaan senyawa tanin dan saponin pada sediaan daun katuk diketahui masih cukup tinggi sebagai anti nutrisi. Besar kemungkinan suatu upaya menurunkan senyawa anti nutrisi dengan metode ekstrasi dapat menjadi alternatif guna meminimalisir dampak negatif daun katuk tersebut. Penelitian ini menitik beratkan pada bentuk sediaan daun katuk (SDK) berupa ekstrak katuk kering (EKK), ekstrak katuk seduhan (EKS) dan katuk perasan (KP) yang dibandingkan dengan tepung daun katuk (TDK). Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi SDK yang lebih baik sebagai feed additive berdasarkan hasil uji fitokimia dan uji bioaktifitas terhadap produksi telur, kualitas telur dan profil hematologi ayam. Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditentukan jenis SDK yang lebih baik sebagai feed additive.

Pembuatan SDK pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan. Sediaan EKK dibuat dalam bentuk tepung kemudian dimaserasi dengan etanol (80%) dan dievaporasi (500C). Sediaan EKS dibuat dengan cara daun katuk kering diseduh dengan air hangat (500C) kemudian secara berurutan dioven (500C),

dibuat tepung, dimaserasi etanol (80%) dan dievaporasi (500C). Sediaan KP dibuat dengan cara melumatkan daun katuk segar bersama dengan air kemudian diperas dan sarinya dievaporasi (500C). Sediaan TDK dibuat dengan cara daun

katuk kering dibuat menjadi tepung. Semua SDK tersebut selanjutnya diuji kandungan fitokimia.

Dosis setiap SDK dalam pakan dihitung dengan cara melakukan uji pendahuluan sesuai dengan dosis yang digunakan oleh Saragih (2005) yaitu 5% TDK dalam pakan. Hasil uji pendahuluan menunjukkan 5 % TDK setara dengan 50 g TDK yang bersumber dari 250 g daun katuk segar. Selanjutnya dengan berat daun segar yang sama (250 g) dilakukan uji pendahuluan untuk mendapatkan dosis perlakuan EKK, EKS dan KP. Hasil uji pendahuluan menunjukkan 250 g daun segar setara dengan 17.07g (1.71% dalam pakan) EKK, 9.63g (0.96% dalam pakan) EKS dan 34.68g (3.47% dalam pakan) KP.

(5)

setiap perlakuan terdiri atas 10 ekor ayam. Pakan perlakuan diberikan selama 70 hari setelah periode adaptasi. Selama pemberian pakan perlakuan dilakukan pengukuran konsumsi pakan, produksi telur, bobot telur, kualitas telur. Pada akhir penelitian dilakukan pengambilan sampel darah untuk mengukur nilai hematologi dan konsentrasi hormon estradiol. Data yang terkumpul dianalisis sidik ragam (ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa setiap kelompok SDK mengandung 4 senyawa aktif yang sama (steroid, flavonoid, tanin dan saponin) dengan intensitas yang berbeda. Perbedaan intensitas senyawa aktif tersebut sangat dipengaruhi oleh metode ekstraksi yang digunakan. Perlakuan EKK dan TDK memiliki 4 senyawa aktif yang semuanya cenderung positif kuat. Perlakuan EKS memiliki 2 senyawa positif kuat (steroid dan flavonoid) dan 2 senyawa (tanin dan saponin) cenderung positif lemah. Perlakuan KP memiliki 1 senyawa (steroid) positif kuat dan 3 senyawa (flavonoid, tanin dan saponin) positif lemah.

Keberadaan 4 senyawa aktif tersebut memberikan pengaruh yang nyata terhadap kondisi ayam penelitian. Hasil uji bioaktifitas menunjukkan pengaruh yang berbeda pada setiap kelompok. Secara umum, pemberian SDK menunjukkan respon positif terutama perlakuan EKS lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Perlakuan EKS merupakan perlakuan dengan rataan konsumsi pakan dan produksi telur tertinggi. Hasil pengukuran kualitas telur menunjukkan perlakuan EKS juga cenderung lebih baik dari perlakuan lainnya. Pengamatan profil hematologi menunjukkan semua ayam penelitian berada pada keadaan sehat. Pengaruh senyawa aktif SDK terhadap sintesis hormon estradiol tidak terlihat di akhir penelitian ini.

Penelitian ini membuktikan bahwa komponen senyawa aktif yang terdapat di dalam SDK dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan konsumsi pakan, produksi telur, kualitas telur dan menunjukkan ayam masih dalam keadaan sehat. Perlakuan EKS merupakan perlakuan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan SDK lainnya.

(6)

SUMMARY

DUSTAN. Efficacy of Various Leaves Katuk Preparations to Production Performance, Eggs Quality and Hematology Profile of Grower Phase Laying Hens. Supervised by AGIK SUPRAYOGI and ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.

Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr.) is a vegetable crops which known as medicinal plant because of its capability to trigger production of breast milk (ASI). The plant is also known as a feed additive to trigger accretion of eggs production. Previous research used leaf katuk meal as a feed additive in laying hen with unexpected side effects such as weight loss and huge reduction in poultry eggshell. However active compounds which most responsible for the mentioned toxic effects has not known yet. Existency of tannin and saponin in the leaves katuk preparation has known to be quite high as an anti nutrients. Another alternative way to reduce anti nutritions compounds can be done by modification of extraction methods to make form leaves katuk (SDK) in the form of dry katuk extract (EKK), steeping katuk extract (EKS) and juice katuk (KP). This study aimed to identify the form SDK for better feed additive based on phytochemical test and bioactivity test on egg production, egg quality and hematology profile of chicken.

Preparations of SDK contained of several steps. EKK preparation were made in the form of flour and then macerated with ethanol (80%) and evaporated (500C). EKS preparation were made by dry leaves katuk brewed with warm water

(500C) then sequentially baked (500C), created of flour, macerated with ethanol (80%) and evaporated (500C). KP preparations were made by the fresh leaves katuk pulverized along water, squeezed and the juice is evaporated (500C). TDK

preparations were made by dried leaves katuk into flour. All these SDK mentioned were further tested phytochemical content.

The dose of SDK in the feed was calculated according to the dose used by Saragih (2005) ie 5% TDK in feed which equivalent to 50 g TDK that sourced from 250 g fresh leaves katuk. The same treatment were used to get the dose of other that all come from 250 g fresh katuk leaves. Preliminary test showed that 250 g equivalent to 17.07g (1.71% in feed) EKK, 9.63g (0.96% in feed) EKS and 34.68g (3:47% in feed) KP.

This study used 50 laying hens (Hisex brown) age 14 weeks that adapted to age 16 weeks. Chickens were divided into 5 groups (EKK, EKS, KP, TDK and Control) each treatment consisting of 10 chickens. The treatment were administered for 70 days after a period of adaptation. Meanwhile measurement of feed consumption, egg production, egg weight, egg quality was also done at the same time. At the end of the study, blood was taken to measure the hematology profile and concentration of the estradiol hormone. The collected data were analyzed of variance (ANOVA) with a 95% confidence level.

(7)

KP treatment have one compound (steroids) that strong positive and 3 compounds (flavonoids, tannins and saponins) weakly positive.

The existence of four active compound mentioned gave a real impact on the conditions of chickens with different bioactivity from each group. In general, the administration of the SDK showed a positive response especially EKS treatment better than the control treatment. EKS treatment showed average the highest feed consumption, egg production and better egg quality than other treatments. Observations of hematological profile still in the normal range. SDK active compounds did not showed influenced the estradiol hormone at the end of the study.

This study was proved that the components of the active compound in the SDK can give effect to increase feed consumption, egg production, egg quality and showed the normal hematological value. EKS treatment were better treatment than other SDK treatment.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat

KHASIAT BERBAGAI SEDIAAN DAUN KATUK TERHADAP

PENAMPILAN PRODUKSI, KUALITAS TELUR DAN PROFIL

HEMATOLOGI AYAM PETELUR FASE PERTUMBUHAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)

Judul Tesis : Khasiat Berbagai Sediaan Daun Katuk Terhadap Penampilan Produksi, Kualitas Telur dan Profil Hematologi Ayam Petelur Fase Pertumbuhan

Nama : Dustan NIM : B151130031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.ScAgr Ketua

Dr. Drh. Aryani Sismin S., M.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat

Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.Sc Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc Agr

Tanggal Ujian:

(Selasa, 28 Juni 2016)

(12)

PRAKATA

Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Salawat serta salam kepada Nabi Terakhir dan Nabi Teladan, Muhammad Shallahu alaihi wa sallam. Judul penelitian ini adalah Khasiat Berbagai Sediaan Ekstrak Daun Katuk Terhadap Penampilan Reproduksi, Kualitas Telur dan Profil Hematologi Ayam Petelur Fase Pertumbuhan

Penulis mengucapkan terimakasih serta do’a “Jazakumullahukhairan” kepada semua dosen pengampuh mata kuliah pascasarjana IPB IFO dan secara khusus kepada kedua pembimbing saya Bapak Prof Dr drh Agik Suprayogi, MSc Agr dan Ibu Dr. Drh Ariyani Sismin Satyaningtijas, M.Sc. Keduanya telah banyak mendidik, membimbing mengarahkan, memotifasi dan mensuport hingga tesis ini dapat diselesaikan.

Penulis juga mengucapkan terimakasih dan do’a “Jazakumullahukhairan” yang tak pernah terhingga kepada kedua orang tua penulis Wa Insafu dan Landoala (Rhm) atas semua kebaikan yang tak akan pernah bisa digambarkan dengan kata-kata terindah sekalipun. Saudara-saudaraku Dirsan Samuna, Darmia, Deri dan Rollyn, Istriku tercinta Iin Nurdiyanty Nurdin, kedua anakku Ayyub dan Iysa. Kalian semua adalah goresan takdir yang senantiasa mengiringi langkah kaki sebagai penggugah semangat, inspirasi dan motifasi.

Penulis juga mengucapkan terimakasih dan do’a “Jazakumullahukhairan” kepada keluarga besar Geledagan family (La Uda, La Anto, Ikbal, Bang Mus, Agus Kurniawan Putra, Madin, Dias dan Risman), kepada semua Asatidz dan Ikhwah yang ada di DPD Wahdah Islamiyah Bogor terutama Ust. Samsul Basri, kepada rekan-rekan seperjuangan di S2 IFO 2013 (Fachru, Ridi, Krido, Maika, Rysa, Cut Dara, Arria dan Henny), kepada keluarga besar Forum Wacana SULTRA, kepada Pak Namat dan keluarga yang telah bersedia membantu menyediakan katuk, kepada semua pekerja di Darmawan Group terkhusus Pak Harun, Pak Warsiman dan Pak Cucu yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitan kami dilapangan.

Terakhir penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah dan Kerangka Pikir 2

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 2

Manfaat Penelitian 2

3 TINJAUAN PUSTAKA 3

Deskripsi Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) 3

Senyawa Aktif Daun Katuk 4

Gambaran Reproduksi Ayam Petelur 6

Kualitas Telur Ayam 8

Hematologi Ayam Petelur 9

3 METODE PENELITIAN 12

Tempat dan Waktu Penelitian 12

Bahan dan Alat Penelitian 12

Penyiapan Sediaan Daun Katuk (SDK) dan Pakan 12

Rancangan dan Pelaksanaan Penelitian 14

Parameter Pengamatan 14

Analisis Data 16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Analisis Kandungan Fitokimia Sediaan Daun Katuk (SDK) 16

Konsumsi Pakan 18

Produksi Telur 19

Kualitas Telur 22

Profil Hematologi 24

Hormon Estradiol 25

5 SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 30

(14)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi nutrisi pakan standar ayam petelur 14

2 Hasil analisis fitokimia sediaan daun katuk (SDK) 16 3 Konsumsi pakan ayam selama penelitian (70 hari) pada setiap

perlakuan (N=10) 18

4 Rataan dan jumlah butir telur ayam selama penelitian (70 hari) pada

setiap perlakuan (N=10) 20

5 Rataan kualitas telur ayam penelitian 22

6 Rataan nilai hematologi ayam penelitian 24

7 Rataan konsentrasi hormon estradiol ayam penelitian 25

DAFTAR GAMBAR

1 Alur desain kerangka pemikiran 2

2 Katuk (Sauropus androgynus L. Meer) 3

3 17β-Estradiol dan senyawa aktif (steroid dan flavonoid) daun katuk 5

4 Ovarium ayam petelur 6

5 Anatomi telur ayam 9

6 Deskripsi tahapan pelaksanaan penelitian 14

7 Rataan butir telur ayam persepuluh hari 20

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Telur ayam merupakan salah satu sumber pangan hewani yang istimewa, karena selain harganya relatif terjangkau dan disenangi oleh seluruh lapisan masyarakat, telur ayam juga memiliki kandungan zat yang cukup kompleks. Sebutir telur ayam mengandung kalori sekitar 72 kal, yang terdiri atas protein sekitar 6.3 g, lemak sekitar 4.8 g, karbohidrat sekitar 0.4 g dan berbagai vitamin dan mineral serta zat-zat lain yang sangat bermanfaat bagi kesehatan (Egg Nutrition Center 2010). Permintaan telur yang tinggi dipasaran telah mendorong berbagai usaha untuk meningkatkan produksi telur melalui berbagai cara. Diatara usaha yang cukup potensial dikembangkan adalah memanfaatkan bahan alam berkhasiat.

Daun katuk telah dikenal di Indonesia sebagai bahan alam pelancar ASI, dan juga dikenal berkhasiat terhadap hewan ternak karena memiliki berbagai macam kandungan senyawa aktif. Senyawa aktif daun katuk telah diketahui oleh Agustal et al. (1997) melalui analisis GCMS yang menyebutkan komponen kimia utama daun katuk adalah monomethyl succinate (C5H8O4), 2-phenylmalonic acid (C9H8O4), cylopentanol,2-methil-acetate (C8H14O2), benzoic acid (C7H6O2), 2-phyrolidinone (C4H7NO), dan methylpyroglutamate (C6H9NO3). Suprayogi (2000) menambahkan bahwa daun katuk mengandung 7 senyawa aktif yang kebanyakan merupakan golongan Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA). Subekti (2007) juga melaporkan bahwa ekstrak daun katuk memiliki kandungan senyawa fitosterol dan asam lemak yang cukup tinggi. Laporan lain menyatakan daun katuk mengandung flavonoid dari kelompok quercetin dan kaempferol (Ray-Yu et al. 2008; Andarwulan et al. 2010). Hermana et al. (2014) melaporkan katuk memiliki kandungan saponin dan tanin yang cukup tinggi. Katuk juga dilaporkan memiliki kandungan α-tokopherol sebanyak 426.8 mg/kg (Ching dan Mohamed 2001).

Penelitian mengenai peran daun katuk terhadap ayam petelur telah banyak dilakukan. Tepung daun katuk dilaporkan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas karkas, peningkatan kadar vitamin A telur, penurunan kadar kolesterol kuning telur, percepatan umur dewasa kelamin, dan peningkatan konsentrasi hormon estradiol (Subekti 2003; Saragih 2005; Wiradimadja 2010). Santoso et al. (2005) melaporkan ekstrak air panas dari daun katuk dapat meningkatkan produksi telur dan efisiensi konversi pakan dan mengurangi kolesterol telur.

(16)

2

Perumusan Masalah dan Kerangka Pikir

Katuk merupakan salah satu tanaman yang telah diteliti berpotensi baik untuk meningkatkan kualitas produksi telur ayam, namun tidak dipungkiri juga memiliki beberapa efek negatif. Saat ini pemanfaatan daun katuk sebagai feed additive masih banyak yang berupa tepung daun katuk yang memiliki senyawa anti nutrisi (saponin dan tanin) cukup tinggi.

Metode yang cukup berkembang dalam pembuatan feed additive adalah ekstraksi senyawa aktif. Prinsip utama metode ini adalah memanfaatkan pelarut tertentu untuk memperoleh sediaan yang kita harapkan mengurangi kandungan zat anti nutrisi. Metode ini digunakan untuk membuat feed additive yang diharapkan dapat meningkatkan fungsi daun katuk dan mengurangi beberapa efek negatif yang ditimbulkannya sehingga dapat dibuktikan kelayakannya sebagai feed additive.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai sediaan daun katuk (SDK) yang lebih baik sebagai feed additive berdasarkan hasil uji fitokimia dan uji bioaktifitas terhadap produksi telur, kualitas telur dan profil hematologi ayam.

Hipotesis

Sediaan daun katuk (SDK) mengandung senyawa aktif yang akan menyebabkan peningkatan produksi telur kualitas telur dan perbaikan kesehatan.

Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditentukan jenis sediaan daun katuk (SDK) yang lebih baik sebagai feed additive untuk meningkatkan produksi telur, kualitas telur dan memperbaiki status kesehatan ayam petelur.

(17)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Katuk (Sauropus androgynus L. Merr)

Tanaman katuk memiliki karakteristik antara lain: bentuk tanaman seperti semak kecil dan bisa mencapai tinggi 3 m, batang muda berwarna hijau dan yang tua berwarna coklat, daun tersusun selang-seling pada satu tangkai, seolah-olah terdiri dari daun majemuk. Bentuk helaian daun lonjong sampai bundar, kadang-kadang permukaan atasnya berwarna hijau gelap. Bunganya tunggal atau terdapat diantara satu daun dengan daun lainnya. Bunga sempurna mempunyai helaian kelopak berbentuk bulat telur sungsang atau bundar, berwarna merah gelap atau merah dengan bintik-bintik kuning. Cabang dari tangkai putik berwarna merah, tepi kelopak bunga berombak atau berkuncup enam, berbunga sepanjang tahun. Buah bertangkai (Ditjen POM 1989).

Klasifikasi

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil) Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Sauropus

Spesies : Sauropus androgynus (L) Merr.

www.plantamor.com/index.php?plant=1116 (Diakses tanggal 16 juni 2016, pukul 11.26 WIB).

(18)

4

Senyawa Aktif Daun Katuk

Daun katuk diketahui memiliki berbagai macam kandungan senyawa aktif. Menurut Agustal et al. (1997), berdasarkan hasil penelusuran dengan menggunakan analisis GCMS daun katuk teridentifikasi memiliki komponen kimia utama berupa monomethyl succinate (C5H8O4); 2-phenylmalonic acid (C9H8O4); cylopentanol,2-methil-acetate (C8H14O2); benzoic acid (C7H6O2); 2-phyrolidinone (C4H7NO); dan methylpyroglutamate (C6H9NO3). Selain itu menurut Suprayogi (2000), daun katuk mengandung 7 senyawa aktif yaitu asam oktadekanoid, 9-eikosin; asam etilester 5,8,11-heptadekatrienoik; asam etil ester 9,12,15-oktadekatrienoik; asam metil ester 11,14,17-eikosatrienoik; androstan-17-one,3-etil-3-hidroksi-5α dan asam 3,4-dimetil-2-oksosiklopenta-3-enil asetat. Selvi dan Bhaskar (2012) melalui analisis kromatografi gas spektrofotometer massa pada ekstrak daun katuk menunjukkan keberadaan senyawa-senyawa aktif seperti 1,14 - tetradekanediol ; 1 - oktadekin ; 1 - heksadekin; asam dekanoik; etil ester; fitol; piren; heksadekahidro ; 2 (1H) neftalenon,3,5,6,7,8,8a - heksahidro - 4,8a - dimetil - 6 - (-1metilenil) - ; azulen, 1,2,3,5,6,7,8,8a - oktahidro - 1,4 - dimetil - 7 - (- 1 - metiletenil) -, [1- metiletenil]-; dan skualen. Senyawa-senyawa tersebut memiliki aktifitas biologis sebagai agen antibakteri, antiperadangan, antialergi, antihistamin, antipiretik, antitumor, antikangker, antioksidan, nematosida, responautoimun, imunostimulan, dan inhibitor lipooksigenase. Laporan lainnya menyebutkan daun katuk mengandung senyawa quercetin dan kaempferol yang merupakan jenis senyawa aktif dari kelompok flavonoid (Ray-Yu et al. 2008; Andarwulan et al. 2010). Selain itu dilaporkan juga bahwa daun katuk mengandung senyawa α-tokopherol (Ching dan Mohamed 2001) dan senyawa tanin dan saponin (Hermana et al. 2014). Katuk memiliki dua senyawa aktif yang diketahui mampu meningkatkan sintesis hormon estradiol di dalam tubuh yaitu steroid dan flavonoid.

Steroid

Senyawa Steroid merupakan senyawa yang umum ditemukan ada di dalam tumbuhan. Akan tetapi, secara khusus steroid yang terkandung di dalam daun katuk memiliki makna yang sangat penting di dalam tubuh, terutama hubungannya dengan peningkatan sintesis hormon steroid (estrogen dan progesteron). Peran steroid dalam meningkatkan sintesis hormon steroid telah disebutkan oleh para peneliti sebelumnya. Suprayogi et al. (2015) menyebutkan bahwa senyawa aktif non-polar (steroid) di dalam daun katuk dapat bersifat anabolik steroid. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Suprayogi (2000) sebelumnya yang menyebutkan bahwa steroid yang terdapat di dalam daun katuk yang direpresentasikan oleh senyawa 3-ethyl-3-hydroxy-5α-androstan-17-one berperan sebagai senyawa antara (intermediate-step) dalam biosintesis hormon-hormon steroid di ovarium, yaitu progesteron dan estrogen.

Flavonoid (Fitoestrogen)

(19)

5 intensitas fitoestrogennya (Dusza et al. 2006; Kuiper et al. 1998). Senyawa estrogenik bertindak sebagai antagonis dalam lingkungan estrogen yang tinggi dan sebagai agonis dalam lingkungan estrogen yang rendah (Hwang et al. 2006).

Flavonoid merupakan senyawa umum yang biasanya ada pada berbagai tumbuhan. Akan tetapi, secara khusus Andarwulan et al. (2010) meneliti bahwa flavonoid yang terkandung di dalam daun katuk adalah kelompok quercetin dan kaempferol. Penelitian tersebut dikuatkan pula oleh hasil penelitian lainnya yaitu Ray-Yu et al. (2008) yang menyebutkan bahwa daun katuk memiliki kandungan kaempferol yang cukup tinggi. Kedua senyawa flavonoid tersebut (kaempferol dan quercetin) merupakan senyawa yang memiliki afinitas terhadap reseptor estrogen α dan β di sel-sel ovarium dan organ-organ reproduksi lainnya (Kuiper et al. 1998; van der Woude et al. 2005; Moutsatsou 2007; Junjian et al. 2009).

Tanin dan Saponin

Tanin dan saponin merupakan senyawa yang umum pada tumbuhan. Pada konsentrasi yang tinggi, kedua senyawa tersebut dapat bertindak sebagai faktor anti nutrisi yang dapat menyebabkan penyerapan nutrisi di usus halus menjadi tidak maksimal. Menurut Tandi (2010) dan Das et al. (2012) terdapat beberapa cara tanin dan saponin menghambat absorbsi nutrisi di dalam usus.

1. Tanin dan saponin merupakan senyawa yang mampu mengikat protein membentuk ikatan kompleks protein-tanin atau saponin-protein sehingga protein tersebut sukar dicerna oleh enzim protease diusus.

2. Bahan makanan yang mengandung tanin dan saponin berlebih rasanya sepat (astringent), ini disebabkan akibat dari pembentukan kompleks antara tanin dan protein atau saponin dan protein dalam mulut.

3. Saponin dapat menyebabkan penurunan motilitas usus.

(20)

6

Gambar 4. Ovarium ayam petelur (McLelland 1990)

Ket: (a) ovarium, (b) infundibulum, (c) magnum, (d) isthmus, (e) saluran uterus, (f) kantong uterus, (g) vagina)

4. Saponin dapat menyebabkan penurunan daya cerna protein, kerusakan pada membran usus dan penghambatan transportasi nutrisi.

5. Tanin juga dapat melapisi permukaan usus halus sehingga dapat menghambat penyerapan berbagai nutrisi penting di dalam usus.

6. Tanin memengaruhi metabolisme karbohidrat dengan mengikat pati sehingga sukar dicerna oleh enzim amilase.

Pada konsentrasi yang rendah, tanin dan saponin dapat berkerja meningkatkan permeabilitas permukaan usus halus sehingga mempermudah proses penyerapan berbagai nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.

Gambaran Reproduksi Ayam Petelur Ovarium

Pada unggas hanya ovarium kiri yang berkembang secara baik. Perkembangan ovarium dan saluran telur berlangsung selama periode maturasi (pematangan seksual) (Wistedt 2013). Ovarium terletak pada daerah kranial ginjal diantara rongga dada dan rongga perut pada garis punggung sebagai penghasil ovum (Sturkie 2000).

(21)

7 Siklus Ovulasi

Produksi estrogen menyebabkan folikel-folikel kecil di ovarium dimulai pada masa pubertas dan menginduksi perkembangan saluran telur, bulu dan karakteristik seksual sekunder lainnya. Estrogen juga menginduksi sintesis protein putih telur di magnum dan sintesis progesteron. Sebelum mulai bertelur, konsentrasi estrogen sangat tinggi pada ayam muda. Hal ini mungkin penting untuk sintesis protein kuning telur, dan tulang meduler untuk pembentukan cangkang kemudian (Wistedt 2013).

Tingkat estrogen yang beredar di dalam plasma berkorelasi dengan siklus ovulasi dan mencapai puncaknya sekitar enam jam sebelum ovulasi (Wistedt 2013). Pola sekresi estrogen selama masa produksi tidak jelas, sedangkan selama siklus ovulasi berlangsung terjadi tingkat estrogen yang bervariasi. Oleh sebab itu pengambilan sampel darah sangat ditentukan oleh waktu pengambilannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi estrogen yang diukur dari umur 35 sampai 100 minggu menunjukkan tidak ada perbedaan konsentrasi estrogen antara ayam muda dan tua. Penurunan estrogen baru terdeteksi ketika ayam telah memasuki masa meranggas (Braw-Tal et al. 2004). Joyner et al. (1987) melaporkan bahwa selama ayam menghasilkan telur, tingkat estrogen dalam plasma adalah sama, tetapi terjadi penurunan pada ayam tua non-petelur.

Oviduk (Saluran Telur)

Saluran telur memiliki struktur yang berbelit-belit. Saluran ini dibentuk seperti tabung dan tersuspensi dalam rongga perut melekat bagian punggung oleh ligamen membran peritoneum. Di sisi ventral dari saluran telur terdapat sebuah ligamen yang serupa, tidak terhubung ke dinding tubuh dengan berkas otot di sepanjang saluran telur (Wistedt 2013).

(22)

8

Reseptor Estrogen

Aktifitas biologis estrogen (17β-estradiol) dimediasi melalui reseptor estrogen (ER). Estrogen berdifusi ke dalam sel dan berikatan dengan reseptor yang terletak di inti untuk mengatur transkripsi gen, menghasilkan respon fisiologis. Tanggapan ini terjadi selama 1 jam. Estrogen dapat bertindak lebih cepat, dalam hitungan detik atau menit, melalui mekanisme non-genomik melalui ER yang terletak berdekatan dengan membran plasma, dengan respon seluler seperti peningkatan konsentrasi Ca2+ atau NO (DeRoo dan Korach 2006). ER ada

dalam dua bentuk utama, yaitu alpha dan beta (ERα, ERβ), dikodekan oleh gen terpisah, ESR1 dan ESR2, dan ditemukan di dua lokasi kromosom yang berbeda (Morani et al. 2008; DeRoo dan Korach 2006). Ekspresi ERα lebih dominan dibandingkan dengan ERβ di organ reproduksi selama diferensiasi seks puyuh dan ovarium ayam negeri dewasa (Mattsson et al 2008.).

Kualitas Telur Ayam

Haryono (2000) menyatakan kualitas telur dalam pemasaran dapat diartikan sebagai kondisi dari kerabang dan isi telur, penyimpanan, penanganan dan penentuan kualitas, yang keseluruhannya memerlukan pertimbangan seksama untuk memberikan kepuasan terhadap konsumen. Faktor-faktor yang memengaruhi kualitas telur adalah kondisi bagian kerabang telur, bagian kuning telur dan putih telur. Haryono (2000) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kualitas telur adalah:

Kerabang Telur

Kerabang telur merupakan bagian terluar yang membungkus isi telur dan berfungsi mengurangi kerusakan fisik maupun biologis, serta dilengkapi dengan pori-pori kulit yang berguna untuk pertukaran gas dari dalam dan luar kulit telur. Tebal kerabang telur berkisar antara 0.33-0.35 mm. Tipisnya kulit telur dipengaruhi beberapa faktor yakni: umur/tipe ayam, zat-zat makanan, peristiwa faal dari organ tubuh, stress dan komponen lapisan kulit telur. Kulit yang tipis relatif berpori lebih banyak dan besar, sehingga mempercepat turunnya kualitas telur akibat penguapan dan pembusukan lebih cepat. Penentuan kualitas kerabang telur dilakukan dengan memperhatikan warna, kebersihan, kehalusan dan keutuhan. Telur yang baik harus mempunyai kerabang dengan warna yang seragan, bersih, permukaan halus/rata, tidak retak/pecah dan mempunyai ketebalan yang cukup

Kuning Telur

(23)

9 Putih Telur

Putih telur terdiri atas bahan padat (40%) yang terdiri atas empat lapisan yaitu: lapisan putih telur tipis, lapisan tebal, lapisan tipis bagian dalam dan lapisan "Chalaziferous". Kekentalan putih telur yang semakin tinggi dapat ditandai dengan tingginya putih telur kental. Hal ini menunjukkan bawa telur kondisinya masih segar, karena putih telur banyak mengandung air, maka bagian ini lebih mudah rusak.

Ukuran Telur

Ukuran telur merupakan faktor penting yang dapat menentukan penerimaan harga dalam aspek pemasaran. Penentuan klasifikasi standar berat telur perbutir khususnya dinegara maju seperti Jepang, Amerika dan negara maju lainnya telah dilakukan secara seksama dan disesuaikan dengan harga jualnya. Klasifikasi standar berat telur di Jepang adalah sebagai berikut : a. Ukuran Jumbo (> 76 g); b. Extra large (70-77 g); c. Large (64-70 g); d. Medium (58-64 g); e. Medium Small (52-58 g) dan g. Small (< 52 g). Telur yang berukuran kecil memiliki kualitas isi yang tinggi dibanding telur yang besar. Standar ukuran dalam pemasaran telur adalah 56,7 gram per butir. Telur yang baik berbentuk oval dan idealnya mempunyai "shape index" (SI) antara 72-76 . Telur yang lonjong S1= < 72 dan telur bulat SI= >76. Kualitas ukuran telur dihitung dengan mengukur panjang dan lebar telur menggunakan jangka sorong, bobot telur menggunakan neraca analitik dan indeks telur menggunakan formulasi rumus (Monira et al. 2003) yaitu: Indeks telur (shape indeks) = (lebar telur/panjang telur) x 100. Faktor keseragaman bentuk telur merupakan hal yang perlu diperhatikan, bentuk telur yang tidak beraturan dimungkinkan akibat adanya penyakit seperti Infectius Bronchitis dan lain-lain.

Hematologi Ayam Petelur

Darah merupakan komponen yang sangat penting di dalam tubuh setiap hewan. Volume darah unggas berada pada kisaran 6.5-10% dari berat tubuhnya, Packed cell volume (PCV) berada antara 28-48 % berat tubuhnya, volume plasma darah berada pada kisaran antara 4-8% dari berat tubuhnya. Pada kondisi normal, PCV sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Peningkatan atau

Gambar 5. Anatomi telur ayam

(24)

10

penurunan salah satu diantaranya akan memengaruhi yang lainnya (Schalm’s 2010). Nilai hematokrit juga akan bertambah jika terjadi keadaan polisitemia dimana jumlah eritrosit lebih banyak dibandingkan dengan jumlah normal (Guyton dan Hall 2010).

Eritrosit/ Butir Darah Merah (BDM)

Eritrosit merupakan sel darah merah yang membawa hemoglobin dalam sirkulasi. Sel ini berbentuk bikonkaf yang dibentuk di sumsum tulang belakang (Ganong 2008). Fungsi utama sel darah merah adalah untuk membawa hemoglobin yang membawa oksigen dari paru-paru serta nutrien untuk diedarkan ke jaringan tubuh. Hemoglobin dalam sel darah merah merupakan buffer yang baik untuk mempertahankan keseimbangan keseluruhan darah (Guyton dan Hall 2010)

Eritrosit merupakan produk erythropoiesis dan proses tersebut terjadi dalam sumsum tulang merah (medulla asseum rubrum) yang antara lain terdapat dalam berbagai tulang panjang. Erythropoiesis membutuhkan bahan dasar berupa protein dan bebagai aktivator. Beberapa aktivator erythropoiesis adalah mikromineral berupa Cu, Fe dan Zn. Mineral Cu akan berperan dalam pembentukan protein kolagen, Fe berperan dalam pembentukan senyawa heme dan Zn berperan dalam pembentukan protein pada umumnya. Eritrosit pada unggas intinya terletak di tengah dan berbentuk oval. Eritrosit dipengaruhi oleh konsentrasi hemoglobin dan hematokrit, selain itu juga dipengaruhi oleh umur, bangsa, jenis kelamin, aktivitas, nutrien, produksi telur, volume darah, panjang hari, faktor iklim dan suhu lingkungan. Schalm’s (2010) menyebutkan standar normal nilai ertitosit adalah antara 2.5-3.5 juta/µL.

Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin merupakan pigmen merah pembawa oksigen dalam darah merah. Hemoglobin merupakan protein yang berbentuk molekul bulat dan terdiri atas empat subunit. Tiap subunit mengandung satu gugus heme yang terkonjugasi oleh suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivat porfirin yang mengandung besi. Polipeptida-polipeptida itu secara kolektif disebut sebagai bagian globulin dari molekul hemoglobin. Ada dua pasang polipeptida di setiap molekul hemoglobin (Ganong 2008). Sintesis hemoglobin dimulai saat proeritoblas dan berlanjut sampai tahap retikulosit dari sel darah merah. Ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam aliran darah, proses pembentukan hemoglobin terus berlanjut hingga sel darah merah menjadi dewasa. Rendahnya oksigen dalam darah menyebabkan peningkatan produksi hemoglobin dan eritrosit. Pembentukan hemoglobin membutuhkan beberapa nutrien seperti protein, terutama glisin, dan mineral besi (Guyton dan Hall 2010).

Hemoglobin mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, O2

menempel pada Fe2+ di heme. Afinitas hemoglobin terhadap oksigen dipengaruhi oleh oksigen, pH, suhu, dan konsentrasi 2,3- bifosfogliserat (2,3-BPG) dalam sel darah merah. 2,3 BPG dan H+ akan berkompetisi dengan O2 untuk berkaitan

(25)

11 Hematokrit/ Packed Cell Volume (PCV)

Nilai hematokrit dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Selain itu, nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran sel. Volume sel mungkin mengalami perubahan akibat peningkatan air plasma (hemodilition) atau penurunan air plasma (hemoconcentration) tanpa memengaruhi jumlah selnya. Nilai hematokrit juga akan bertambah jika terjadi keadaan polisitemia yaitu jumlah eritrosit lebih banyak dibandingkan dengan jumlah normal (Guyton dan Hall 2010). Menurut Schlam’s (2010) standar normal nilai PCV ayam berada antara 22-35%.

Leukosit/ Butir Darah Putih (BDP)

Leukosit atau sering disebut dengan sel darah putih merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh yang dapat bergerak di dalam sistem peredaran darah. Sel darah putih sebagian dibentuk di sumsum tulang belakang (granulosit dan monosit serta sebagian limfosit) dan sebagian lagi dibentuk di jaringan limfa (limfosit dan sel plasma). Setelah pembentukan, sel darah putih masuk ke dalam peredaran darah dan menuju ke bagian tubuh dimana sel darah putih dibutuhkan (Guyton dan Hall 2010). Morfologi leukosit sangat beragam antar spesies unggas. Keragaman ini dapat dilihat dari penampakan morfologi granula, warna eosinofil, dan bentuk granula heterofil pada setiap spesies unggas. Melalui identifikasi deferensiasi leukosit, dapat diketahui status ketahanan ternak terhadap penyakit. Benda darah leukosit, yaitu berupa heterofil dan limfosit, juga dapat dijadikan indikator stress pada unggas (Schalm’s 2010).

Jumlah sel darah putih sangat tergantung pada umur, jenis kelamin, stres, penyakit, dan pemberian pakan atau obat tertentu sel darah putih akan bekerja bersamasama melalui dua cara untuk mencegah penyakit yaitu (1) dengan benar-benar merusak bahan yang menyerbu melalui proses fagositosis dan (2) dengan membentuk antibody dan limfosit yang peka, salah satu atau keduanya dapat menghancurkan atau membuat penyerbu tidak aktif (Guyton dan Hall 2010). Ganong (2008) membagi leukosit berdasarkan ada tidaknya granul menjadi dua, yaitu leukosit granuler dan leukosit agranuler. Leukosit granuler terdiri atas heterofil, eosinofil dan basofil. Leukosit agranuler terdiri atas limfosit dan monosit. Heterofil merupakan bagian terbesar dari granulosit unggas (Schlam’s 2010). Fungsi utama dari sel ini adalah menghancurkan berbagai produk bakteri, berbagai produk yang dilepaskan oleh sel rusak dan produk reaksi kekebalan. Heterofil berfungsi dalam merespon adanya infeksi dan mampu ke luar dari pembuluh darah menuju daerah infeksi untuk menghancurkan benda asing dan membersihkan sisa jaringan yang rusak (Ganong 2008). Heterofil bekerja secara cepat sehingga dikenal sebagai first line defense, yaitu sistem pertahanan pertama. Heterofil juga mampu melakukan pinositosis, selain fagositosis. Kombinasi antara fagositosis dan pinositosis dalam heterofil disebut endositosis (Day dan Schultz 2010). Limfosit merupakan jenis leukosit unggul pada darah unggas, termasuk ayam petelur (Schalm’s 2010). Limfosit dibentuk di jaringan limfoid seperti limfa, tonsil, timus dan bursa fabricius. Peningkatan limfosit antara lain disebabkan terjadinya penurunan heterofil (sifatnya relatif), leukimia limfositik, inflamasi kronis (infeksi bakteri, virus, fungi dan protozoa) pengeluaran epinefrin, defesiensi korkostreoid (hypoadrenokorticism), neoplasia (Dharmawan 2002).

(26)

12

heterofil adalah 1703 – 9746/µL. Standar normal nilai monosit adalah antara 544-4123/µL atau 152000/µL. Standar normal monosit ayam petelur adalah 0-346/µL. Basofil sendiri merupakan diferensiasi dari BDP yang paling jarang ditemukan.

3

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Peternakan Ayam Petelur CV. Darmawan Group di JL. Raya Bogor, KP. Hambulun, Desa Tegal, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Fisiologi Departemen AFF FKH IPB. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April hingga September 2015.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain daun katuk, ayam grower petelur (hisex brown) umur 14 minggu (900-1200 g), aquadest, etanol 80%, pakan standar ayam grower dan layer petelur. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; waring net, blender, kertas saring, kain penyaring, evaporator, oven, gelas kimia, peralatan kandang lengkap, spuit, tabung reaksi yang mengandung EDTA dan lemari pendingin.

Penyiapan Sediaan Daun Katuk (SDK) dan Pakan Pembuatan Sediaan Daun Katuk (SDK)

Sediaan Daun Katuk (SDK) dibuat menggunakan daun katuk segar dari sentral pertanian katuk Bogor, kemudian diproses lebih lanjut sesuai dengan prosedur yang dibutuhkan. Daun katuk dipisahkan dari batangnya, ditimbang dan dicuci dengan air bersih. Selanjutnya, sebagian daun katuk dikeringkan selama kurang lebih 3 hari diatas permukaan waring net dengan rata-rata temperatur 300C dan kelembaban 71,8%. Daun katuk segar yang lainnya langsung digunakan untuk persiapan pembuatan katuk perasa (KP).

Ekstrak katuk kering (EKK) dibuat dengan memodifikasi metode Suprayogi et al. (2009) yaitu daun katuk yang telah kering layu dikeringkan kembali dengan oven pada suhu 500C selama 1x24 jam. Kemudian, daun katuk kering tersebut

dilumatkan hingga menjadi tepung lalu dimaserasi dengan etanol 80% selama 1x24 jam. Bagian yang terlarut dipisahkan dari bagian yang tidak terlarut dengan kertas saring. Hasil penyaringan dievaporasi pada suhu 500C. Hasil evaporasi

disiapkan untuk uji fitokimia dan campuran pakan. Bagan alir metode pembuatan ekstrak katuk kering (EKK) dapat dilihat pada lampiran 1.

(27)

13 1x24 jam. Setelah dikeluarkan dari oven, bahan kering daun katuk tersebut dilumatkan hingga menjadi tepung dan dimaserasi dengan Etanol 80% selama 1x24 jam. Bagian yang terlarut dipisahkan dari bagian yang tidak terlarut dengan kertas saring. Hasil penyaringan dievaporasi pada suhu 500C. Hasil evaporasi disiapkan untuk uji fitokimia dan campuran pakan. Bagan metode pembuatan ekstrak katuk seduhan (EKS) dapat dilihat pada lampiran 1.

Katuk perasan (KP) dibuat dengan metode pembuatan juice. Daun katuk segar ditambahkan aquadest dengan perbandingan 1.5:1 (exp: 150 g daun katuk: 100 ml air) kemudian diperas dan disaring dengan kain halus. Hasil perasan dievaporasi pada suhu 500C. Hasil evaporasi disiapkan untuk uji fitokimia dan campuran pakan. Bagan alir metode pembuatan katuk perasan (KP) dapat dilihat pada lampiran 1.

Tepung daun katuk (TDK) dibuat dengan memodifikasi metode Saragih (2005). Daun katuk yang telah kering layu, dikeringkan kembali dengan oven pada suhu 500C selama 1x24 jam. Selanjutnya, daun katuk kering dilumatkan

hingga menjadi tepung. Hasil yang diperoleh disiapkan untuk uji fitokimia dan campuran pakan. Bagan alir metode pembuatan tepung daun katuk (TDK) dapat dilihat pada lampiran 1.

Uji Fitokimia

Semua SDK yang telah dibuat diuji fitokimia untuk diketahui senyawa aktif yang dikandung oleh tiap jenis SDK. Uji fitokimia dilakukan dengan cara mengambil 5 g SDK dari masing-masing sediaan untuk dianalisis fotokimia dengan metode Harborne (1987). Pelaksanaan uji fitokimia ini dikerjakan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB.

Penentuan Dosis Sediaan Daun Katuk (SDK) dan Penyusunan Pakan

Dosis sediaan daun katuk (SDK) pada penelitian ini ditentukan melalui uji pendahuluan berdasarkan dosis 5% TDK yang digunakan oleh Saragih (2005). Uji pendahuluan ini bertujuan untuk mencari kesetaraan bahan aktif antara dosis 5% TDK dengan bentuk sediaan daun katuk lainnya. Uji pendahuluan dilakukan dengan jalan menghitung mundur dosis 5% TDK tersebut. Hasilnya 5% TDK setara dengan 50 g TDK atau 250 g daun katuk segar. Selanjutnya berlandaskan hasil uji tersebut, 250 g daun katuk segar diolah sesuai dengan metode pembuatan SDK dalam bentuk EKK, EKS, dan KP. Hasil uji pendahuluan menunjukkan kandungan ekstrak dan perasan yaitu EKK, EKS dan KP adalah berturut-turut 17.07g, 9.63g, 34.68g. Hasil uji tersebut dikonversi kedalam dosis pada setiap perlakuan berturut- turut adalah 1.71%, 0.96%, 3.47% dan 5% dari pakan yang dikonsumsi.

(28)

14

Tabel 1. Komposisi Nutrisi Pakan Standar Ayam Petelur Jenis Nutrisi Kadar Satuan Kadar air 11-13 %

Ket: M.E (energi metabolisme ), Ca (kalsium) dan P (fosfor)

Periode Adaptasi

Periode I Periode II

Pelaksanaan: Pemberian Pakan dan Pengukuran Parameter

14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Minggu (Usia Ayam)

Gambar 6. Deskripsi tahapan pelaksanaan penelitian

Ket: Adaptasi : dosis pakan sebanyak 110 g/ekor/hari, periode I : dosis pakan sebanyak 110 g/ekor/hari, periode II: dosis pakan sebanyak 120 g/ekor/hari

Rancangan dan Pelaksanaan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) menurut Steel dan Torrie (1991). Penelitian menggunakan 5 kelompok percobaan yang terdiri atas 4 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol, setiap kelompok terdiri atas 10 ekor ayam. Kelompok perlakuan diberikan pakan yang telah ditambahkan SDK, sedangkan kelompok kontrol diberikan pakan standar tanpa penambahan SDK. Satu kelompok percobaan terdiri atas 2 petak kandang dengan ukuran 1m x 0.5 m x 0.3 m yang masing-masing berisi 5 ekor ayam.

Pemberian pakan pada penelitian ini terdiri atas tiga periode yaitu periode adaptasi, periode I dan periode II. Periode adaptasi adalah periode ketika ayam masih berusia 14-15 minggu. Pada periode adaptasi ini pakan diberikan sebanyak 110 g/ekor/hari tanpa penambahan SDK. Periode I adalah periode ketika ayam berusia 16-20 minggu. Pada periode I ini dosis pakan yang diberikan sebanyak 110 g/ekor/hari dengan penambahan SDK sesuai dosisnya masing-masing. Periodel II adalah periode ketika ayam berusia 20-25 minggu. Pada periode II ini pakan ditingkatkan menjadi 120 g/ekor/hari yang di dalamnya telah terkandung SDK sesuai dosisnya masing-masing. Secara lebih jelas deskripsi tahapan penelitian disajikan pada Gambar 5 berikut.

Paremeter Pengamatan

(29)

15 Fitokimia Sediaan Daun Katuk

Uji fitokimia dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kelompok senyawa aktif yang terkandung di dalam setiap jenis sediaan daun katuk seperti saponin, tanin, terpenoid, triterpenoid, alkaloid, flavonoid, steroid dan berbagai kelompok senyawa lainnya.

Konsumsi Pakan (g)

Konsumsi pakan pada penelitian ini dihitung dengan cara jumlah pakan yang diberikan tiap hari dikurangi dengan jumlah pakan yang tidak dikonsumsi setiap hari.

Produksi Telur (butir)

Produksi telur dalam penelitian ini adalah jumlah butir telur yang dihasilkan oleh masing-masing kelompok perlakuan selama penelitian berlangsung. Berdasarkan data produksi telur tersebut dihitung rata-rata produksi butir telur persepuluh hari untuk menentukan trend produksi telur pada masing-masing kelompok ayam penelitian.

Kualitas Telur

Kualitas telur pada penelitian ini diukur dengan melihat beberapa parameter. Pertama, analisis kualitas ukuran telur dilakukan dengan mengukur panjang dan lebar telur menggunakan jangka sorong, bobot telur menggunakan neraca analitik dan indeks telur menggunakan formulasi rumus (Monira et al. 2003):

Pengukuran indeks telur dimaksudkan untuk mengetahui bentuk telur ayam yang dihasilkan selama penelitian berdasarkan kriteria ideal (72-76), lonjong (≤ 72) dan bulat (≥76) (Haryono 2000). Kedua, analisis kualitas kuning telur dilakukan dengan mengukur intensitas (skor) warna kuning telur menggunakan Yolk Color Fan dan bobot kuning telur diukur menggunakan neraca analitik. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui kadar pigmen warna (vitamin A) yang terbentuk di dalam kuning telur. Ketiga, analisis kualitas putih telur dilakukan dengan mengukur tinggi putih menggunakan jangka sorong dan bobot putih telur menggunakan neraca analitik. Pengukuran ini dimaksudkan untuk mengetahui jumlah putih telur (protein) yang dapat disimpan dalam butir telur serta mengetahui tingkat kekentalan kuning telur (Haryono 2000). Keempat, analisis kualitas kerabang telur dilakukan dengan mengukur bobot kerabang menggunakan neraca analitik dan tebal kerabang menggunakan jangka sorong. Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kalsifikasi serta kekuatan telur yang dihasilkan oleh masing masing kelompok ayam perlakuan. Seluruh analisis kualitas telur dikerjakan di Laboratorium UPT Unggas Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Profil Hematologi

Profil hematologi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemeriksaan jumlah butir darah merah (BDM), hemoglobin (Hb), persentase volume eritrosit atau hematokrit (PCV), jumlah butir darah putih (BDP), diferensiasi BDP. Analisis profil hematologi menggunakan metode Samour (2008). Sampel darah

(30)

16

Tabel 2. Hasil analisis fitokimia sediaan daun katuk (SDK) Paremeter Fitokimia Intensitas Senyawa Aktif (SDK)

EKK EKS KP TDK

Alkaloid - - - -

Steroid ++ +++ +++ +++

Flavonoid +++ +++ + +++

Tanin +++ + + +++

Saponin +++ ++ + +++

Triterpenoid - - - -

Ket: (-) negatif, (+) positif lemah, (++) positif sedang, (+++) positif kuat, EKK (ekstrak katuk kering), EKS (ekstrak katuk seduhan), KP (katuk perasan) dan TDK (tepung daun katuk)

yang digunakan untuk pengamatan profil darah ini diambil pada hari ke-70 penelitian. Pengamatan profil hematologi ayam dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui status kesehatan ayam setelah pemberian sediaan daun katuk (SDK). Analisis profil hematologi dikerjakan di Laboratorium Fisiologi Departemen AFF Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Hormon Estradiol

Pengukuran konsentrasi hormon estradiol dilakukan dengan metode Radioimmunoassay (RIA). Sampel serum darah yang digunakan untuk analisis ini diambil pada hari ke-70 penelitian. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian sediaan daun katuk (SDK) terhadap konsentrasi hormon estradiol di dalam serum darah. Pengukuran ini dikerjakan di Laboratory of Integreted Reseach Subdivision of Enzyme Immunoassay Faculty of Veterinary Medicine, Universitas Syiah Kuala.

Analisis Data

Data yang terkumpul pada penelitian ini dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan rancangan acak lengkap (RAL), apabila hasilnya berbeda nyata, dilakukan uji Duncan dengan taraf kepercayaan 95%.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kandungan Fitokimia Sediaan Daun Katuk (SDK)

Hasil analisis kandungan fitokimia berbagai sediaan daun katuk berupa ekstrak katuk kering (EKK), ekstrak katuk seduhan (EKS), katuk perasan (KP) dan tepung daun katuk (TDK) disajikan pada Tabel 2.

(31)

17 yang kuat, sedangkan intensitas tanin dan saponin masing-masing lemah dan sedang. Katuk perasan (KP) mengandung senyawa steroid dengan intensitas yang kuat, flavonoid dan tanin positif intensitasnya lemah sedangkan saponin intesitasnya sedang. Tepung daun katuk (TDK) mengadung senyawa steroid, flavonoid, tanin dan saponin dengan intensitas yang kuat. Keempat SDK tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda adanya kelompok senyawa aktif lain seperti alkaloid, triterpen dan quinon.

Perbedaan intensitas senyawa aktif seperti yang telah disebutkan diatas dipengaruhi oleh pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi. Pada pembuatan sediaan EKK digunakan metode ekstraksi maserasi dengan pelarut etanol. Etanol merupakan pelarut universal yang mampu menarik berbagai kelompok senyawa aktif baik yang bersifat polar maupun non-polar (Snyder et al. 1997). Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa kandungan senyawa aktif steroid, flavonoid, tanin dan saponin masih cukup tinggi pada sediaan EKK ini. Pada pembuatan sediaan EKS menggunakan metode ekstraksi bertingkat dengan dua pelarut berbeda. Ekstraksi pertama dilakukan dengan menggunakan pelarut air hangat selama ±10 menit dan dilanjutkan dengan pelarut etanol. Penggunaan air hangat dalam ekstraksi senyawa aktif bertujuan untuk mengikat senyawa-senyawa yang larut terhadap air hangat (senyawa polar), sedangkan penggunaan etanol pada ekstraksi tahap kedua bertujuan untuk mengikat senyawa-senyawa aktif yang lebih banyak merupakan senyawa non-polar. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa senyawa aktif yang tersisa kebanyakan merupakan senyawa aktif non-polar berupa steroid dan flavonoid sedangkan senyawa polar seperti tanin dan saponin terlihat cenderung rendah. Berdasarkan hasil uji fitokimia antara EKK dan EKS dapat dipahami bahwa penggunaan air hangat pada perlakuan EKS sebagai pelarut dapat mengurangi keberadaan senyawa polar (saponin dan tanin).

Pada pembuatan sediaan KP menggunakan metode juice dengan sedikit penambahan air. Metode juice pada proses pembuatan sediaan KP memungkinkan lepasnya beberapa kelompok senyawa aktif dari daun katuk. Hasil uji fitokimia sediaan KP menunjukkan bahwa kelompok senyawa steroid masih cukup tinggi sedangkan senyawa aktif lainnya seperti flavonoid, tanin dan saponin terlihat cukup rendah. Penggunaan metode juice pada pembuatan sediaan KP juga memungkinkan masih adanya kandungan komponen nutrisi seperti serat kasar, protein, lemak, karbohidrat, vitamin termasuk senyawa anti nutrisi seperti asam oksalat (Sheela et al. 2004). Sediaan TDK dibuat dengan metode penggilingan hingga menjadi tepung. Bentuk sediaan seperti ini memungkinkan senyawa aktif daun katuk tidak banyak yang hilang. Hasil uji fitokimia menunjukan bahwa kandungan senyawa aktif seperti steroid, flavonoid, tanin dan saponin masih cukup tinggi. Bentuk sediaan seperti ini juga memungkinkan masih adanya kandungan komponen nutrisi seperti protein, lemak, vitamin, mineral, serat kasar, dan lain-lain (Saragih 2005).

(32)

18

Tabel 3. Konsumsi pakan ayam selama penelitian (70 hari) pada setiap perlakuan (N=10)

Perlakuan Rataan (g) Persepuluh Hari ke- Rataan

(g) berbeda nyata (P>0.05). EKK (ekstrak katuk kering), EKS (ekstrak katuk seduhan), KP (katuk perasan) dan TDK (tepung daun katuk)

steroid dan flavonoid merupakan senyawa yang bisa menyebabkan peningkatan sintesis hormon estrogen dan progesteron di dalam tubuh ayam (Kuiper et al. 1998; van der Woude et al. 2005; Moutsatsou 2007; Junjian et al. 2009). Suprayogi (2000) menjelaskan bahwa senyawa steroid yang terkandung di dalam daun katuk direpresentasikan oleh 3-ethyl-3-hydroxy-5α-androstan-17-one yang berperan sebagai prekursor atau intermediate-step dalam sintesis senyawa hormon steroid. Peningkatan hormon estrogen dapat berdampak positif pada berbagai aspek fisiologis terutama terkait dengan reproduksi unggas .

Konsumsi Pakan

Komponen senyawa aktif yang terkandung di dalam daun katuk seperti ditunjukkan pada Tabel 2 di atas, memberikan kontribusi positif terhadap konsumsi pakan ayam penelitian. Rataan konsumsi pakan ayam selama penelitian disajikan pada Tabel 3.

Berdasarkan data konsumsi pakan pada Tabel 3 tersebut, secara umum seiring dengan bertambahnya usia ayam penelitian maka konsumsi pakan pada setiap kelompok percobaan juga mengalami peningkatan. Berdasarkan data rataan konsumsi pakan selama 70 hari terlihat bahwa perlakuan EKK, EKS dan KP lebih mampu menunjukkan respon peningkatan konsumsi pakan dibandingkan dengan perlakuan TDK dan kontrol, bahkan perlakuan TDK menunjukkan penurunan konsumsi pakan sangat nyata dibandingkan dengan kontrol.

(33)

19 dibutuhkan untuk pembentukan folikel telur (Wistedt 2013). Aktifitas metabolisme pembentukan folikel telur yang tinggi di ovarium dapat menyebabkan mekanisme umpan balik positif di pusat lapar, sehingga menyebabkan nafsu makan dan konsumsi pakan ayam menjadi lebih tinggi (Guyton dan Hall 2010).

Pada pengamatan konsumsi pakan terlihat pada perlakuan TDK memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan SDK lainnya. Pengaruh tersebut diduga disebabkan oleh komponen serat yang terdapat di dalam TDK yang dapat menyebabkan sifat bulky. Kondisi seperti ini juga dilaporkan oleh Saragih (2005) bahwa komponen serat dapat menyebabkan tembolok akan dipenuhi oleh serat kasar dan tidak mampu dicerna dengan baik disebabkan oleh tidak adanya bakteri pencerna selulosa. Selain itu, di dalam TDK juga mengandung senyawa tanin dan saponin dengan intensitas kuat. Kedua senyawa ini dalam intensitas tinggi dapat menyebabkan rasa sepat (astringent) yang dapat menyebabkan turunnya nafsu makan ayam (Tandi 2010).

Berbeda dengan hasil penelitian ini, para peneliti sebelumnya telah mengungkapkan pengaruh positif TDK terhadap konsumsi pakan. Saragih (2005) melaporkan bahwa pada dosis 5%, 10% dan 15% TDK di dalam pakan cenderung meningkatkan konsumsi pakan ayam petelur. Demikian juga laporan dari Subekti et al. (2006) yang mengungkapkan bahwa penggunaan tepung daun katuk ataupun ekstrak daun katuk dapat meningkatkan konsumsi pakan burung puyuh. Kemudian Subekti (2003) juga menyebutkan bahwa terjadi peningkatan konsumsi pakan pada ayam lokal yang diberikan tepung daun katuk pada dosis 6% dan 9%. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab peningkatan konsumsi pakan dari ayam-ayam yang diberikan tepung daun katuk tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, maka konsentrasi optimum senyawa-senyawa yang terkandung di dalam daun katuk (steroid, flavonoid, tanin dan saponin) menjadi hal yang penting. Merujuk pada hasil uji fitokimia SDK (Tabel 2) maka dengan jelas dapat terlihat perbedaan konsentrasi setiap senyawa pada masing-masing jenis SDK. Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan konsumsi pakan (Tabel 3) memperlihatkan perlakuan EKS memiliki nilai konsumsi pakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan SDK lainnya. Dengan demikian, konsentrasi senyawa aktif yang terkandung di dalam EKS lebih baik dalam menoingkatkan konsumsi pakan dibandingkan dengan perlakuan SDK lainnya.

Produksi Telur

(34)

20

Gambar 7. Rataan butir telur perhari setiap sepuluh hari

Ket: EKK (ekstrak katuk kering), EKS (ekstrak katuk seduhan), KP (katuk perasan) dan TDK (tepung daun katuk)

Tabel 4 memberikan gambaran bahwa pemberian SDK berpengaruh nyata terhadap rataan produksi telur perhari pada setiap kelompok perlakuan selama 70 hari (P<0.05). Secara umum pemberian SDK (EKK, EKS, KP dan TDK) mampu meningkatkan produksi telur dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun demikian melihat Gambar 3, peningkatan produksi telur yang lebih tinggi dan

Tabel 4. Rataan dan jumlah butir telur ayam selama penelitian (70 hari) pada setiap perlakuan (N=10)

Perlakuan

Rataan jumlah butir telur perhari setiap sepuluh hari ke- Rataan butir

telur/

(35)

21 konsisten adalah terjadi pada kelompok EKS dengan puncak rataan produksi tertinggi pada persepuluh hari ke-6 dan ke-7, berturut-turut adalah 9.40 butir/hari dan 9.10 butir/hari dibanding dengan kelompok kontrol dihari yang sama jauh lebih rendah rataan produksi telurnya yaitu berturut-turut hanya 6.50 butir/hari dan 7.40 butir/hari. Sejalan dengan penelitian ini, Subekti (2003) melaporkan adanya peningkatan jumlah butir telur terhadap ayam lokal yang diberikan tepung daun katuk pada dosis 3% sampai 9% dalam pakan.

Tabel 4 dan Gambar 7 semakin menguatkan dugaan adanya pengaruh senyawa aktif SDK terhadap ayam penelitian. Senyawa flavonoid (kaempferol dan quercetin) merupakan senyawa fitoestrogen yang terdapat di dalam SDK yang memiliki afinitas terhadap reseptor estrogen α dan β di ovarium dan organ-organ reproduksi lainnya sehingga dapat memicu peningkatan hormon estrogen (Kuiper et al. 1998; van der Woude et al. 2005; Moutsatsou 2007; Junjian et al. 2009). Selain itu, Suprayogi (2000) menyebutkan bahwa steroid yang terdapat di dalam SDK yaitu senyawa 3-ethyl-3-hydroxy-5α-androstan-17-one berperan sebagai senyawa antara (intermediate-step) dalam biosintesis hormon-hormon steroid endogenius di ovarium. Peningkatan kandungan hormon estrogen tersebut dapat mendorong percepatan pembentukan folikel telur di dalam ovarium. Bersamaan dengan itu estrogen yang meningkat di dalam tubuh akan membantu proses absorbsi berbagai nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan folikel telur sehingga produksi telur dapat meningkat (Wistedt 2013).

Keberadaan senyawa tanin dan saponin juga berperan penting dalam menentukan produksi telur ayam penelitian. Pada konsentrasi yang tinggi, kedua senyawa tersebut dapat bertindak sebagai faktor anti nutrisi yang dapat menyebabkan penyerapan nutrisi di usus halus menjadi tidak maksimal. Menurut Tandi (2010) terdapat empat cara tanin menghambat absorbsi nutrisi di dalam usus. Pertama, tanin merupakan senyawa yang mampu mengikat protein membentuk ikatan kompleks protein tanin sehingga protein tersebut sukar dicerna oleh enzim protease diusus. Kedua, bahan makanan yang mengandung tanin berlebih rasanya sepat (astringent), ini disebabkan akibat dari pembentukan kompleks antara tanin dan protein dalam mulut. Ketiga, tanin juga memengaruhi metabolisme karbohidrat dengan mengikat pati sehingga sukar dicerna oleh enzim amilase. Keempat, tanin juga dapat melapisi permukaan usus halus sehingga dapat menghambat penyerapan berbagai nutrisi penting di dalam usus. Kurang maksimalnya penyerapan nutrisi tersebut dapat mejadi sebab terhambatnya pembentukan folikel telur sebagai bakal calon telur di ovarium. Lebih lanjut, hal tersebut dapat berdampak pada jumlah butir telur yang diproduksi oleh ayam. Namun pada konsentrasi yang rendah, tanin dan saponin dapat berkerja meningkatkan permeabilitas permukaan usus halus sehingga mempermudah proses penyerapan berbagai nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh ayam (Tandi 2010).

(36)

22

demikian, konsentrasi senyawa aktif yang terkandung di dalam EKS lebih baik dan optimum dalam meningkatkan produksi telur dibandingkan dengan perlakuan SDK lainnya.

Kualitas Telur

Respon positif pemberian SDK terhadap rataan produksi telur seperti yang diuraikan diatas, perlu diperhatikan juga pengaruhnya terhadap kualitas telur. Tabel 5 menunjukkan respon pemberian SDK terhadap kualitas telur ayam (kualitas kukuran telur, kualitas kuning telur, kualitas putih telur dan kualitas kerabang).

Secara umum pemberian SDK pada ayam petelur menunjukkan respon positif terhadap kualitas telur walaupun respon tersebut menunjukkan adanya karakter yang berbeda. Pemberian EKS lebih mampu meningkatkan bobot telur yang disumbangkan oleh adanya peningkatan bobot putih telur dengan bobot kuning telur dibandingkan dengan kelompok kontrol (P>0.05). Sebaliknya pemberian EKK, KP dan TDK tidak mampu meningkatkan bobot telur karena adanya penurunan bobot putih telur yang nyata (P<0.05), walaupun menunjukkan adanya bobot kuning telur yang lebih tinggi dibanding dengan ayam kelompok kontrol. Pemberian EKK menunjukkan respon penurunan bobot telur yang nyata dibanding kontrol (P<0.05) yang disebabkan oleh adanya penurunan yang nyata pada bobot putih telur (P<0.05). Terlihat dari indeks ukuran telur pemberian SDK pada ayam penelitian ini menghasilkan butir telur yang bulat dengan indeks ≥ 76. Penelitian ini tidak menunjukkan adanya penurunan bobot kerabang seperti yang dilaporkan oleh Saragih (2005). Melihat data tersebut diatas maka pemberian EKS lebih mampu menunjukkan respon positif jika dipandang sebagai suatu produk yang nantinya untuk diaplikasikan pada masyarakat (peternak).

Tabel 5. Rataan kualitas telur ayam penelitian

Parameter Perlakuan

Kontrol EKK EKS KP TDK

Kualitas Ukuran Telur

Panjang (mm) 55.10±2.33a 55.53±2.03a 56.10±1.86a 56.33±1.62a 55.15±1.48a

Lebar (mm) 44.23±1.50b 43.23±0.96a 44.38±0.83b 43.90±0.81ab 43.38±1.08a

Indeks 0.80±0.03b 0.78±0.03a 0.79±0.02ab 0.78±0.02a 0.79±0.01ab

Bobot (g) 61.47±6.52ab 58.29±3.42a 62.44±3.81b 61.59±3.39ab 60.29±3.40ab Kualitas Kuning Telur

Skor 8.29±0.61a 8.00±0.55a 8.00±0.88a 8.64±1.39a 8.71±0.91a

Bobot (g) 13.42±2.38a 13.98±2.96ab 13.96±3.75ab 15.84±1.97b 16.29±3.22b Kualitas Putih Telur

Tinggi (mm) 9.38±0.93c 8.08±0.83a 8.80±0.93bc 8.64±0.55ab 8.35±0.93ab

Bobot (g) 40.84±4.88b 37.22±2.87a 41.29±4.25b 38.82±3.68ab 36.95±2.59a Kualitas Kerabang Telur

Bobot (g) 7.21±0.62a 7.10±0.35a 7.19±0.22a 6.93±0.54a 7.06±0.42a

Tebal (mm) 0.35±0.02ab 0.35±0.02ab 0.35±0.02ab 0.34±0.03a 0.36±0.02b

(37)

23 Tinggi dan rendahnya kualitas telur pada penelitian ini sangat dipengaruhi oleh senyawa aktif dan aspek nutrisi yang terkandung di dalam pakan ayam setiap perlakuan. Keberadaan senyawa fitoestrogen (flavonoid) dan steroid di dalam daun katuk dapat meningkatkan intensitas hormon estrogen eksogenius (Kuiper et al. 1998; van der Woude et al. 2005; Moutsatsou 2007; Junjian et al. 2009) dan sintesis estrogen endogenius di dalam ovarium ayam (Suprayogi 2000). Estrogen yang meningkat di dalam tubuh akan membantu proses pembentukan folikel telur dan proses absorbsi berbagai nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan komponen isi telur (Wistedt 2013). Selain itu, Estrogen juga akan berkerja di hati untuk membentuk lipoprotein sebagai bahan utama penyusun kuning telur dan bekerja di ovarium untuk membantu deposisi berbagai bahan nutrisi penyusun isi telur (Latifa 2007). Keberadaan senyawa tanin dan saponin dalam konsentrasi yang tinggi dapat menghambat proses absorbsi beberapa nutrisi penting, sedangkan dalam konsentrasi yang rendah dapat berkerja meningkatkan permeabilitas permukaan usus halus sehingga mempermudah proses penyerapan berbagai nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh ayam (Tandi 2010).

Secara umum berdasarkan pengamatan kualitas telur perlakuan EKK merupakan perlakuan yang paling rendah kualitas telurnya. Hal ini diduga karena perlakuan EKK mengandung senyawa anti nutrisi (saponin dan tanin) cukup tinggi. Kedua senyawa ini dapat menyebabkan terganggunya absorbsi berbagai nutrisi penting terutama protein yang bersumber dari pakan (Tandi 2010).

Perlakuan EKS merupakan perlakuan yang paling tinggi kualitas telurnya. Hal ini diduga karena perlakuan EKS memiliki senyawa aktif flavonoid dan steroid yang cukup tinggi. Kedua senyawa ini dapat memicu peningkatan hormon estrogen yang dapat membantu proses absorbsi dan deposisi nutrisi penting pada telur (Latifa 2007). Selain itu EKS juga mengandung senyawa aktif tanin dan saponin yang rendah yang dapat membantu proses absorbsi nutrisi (Tandi 2010).

Perlakuan KP merupakan perlakuan yang memiliki kualitas kuning telur tinggi sedangkan pada aspek tebal kerabang tergolong paling rendah. Tingginya kualitas kuning telur ini diduga karena rendahnya senyawa tanin dan saponin serta tingginya senyawa steroid. Selain itu, perlakuan KP juga masih memiliki komponen nutrisi seperti karoten yang penting untuk peningkatan kualitas kuning telur (Saragih 2005). Randahnya kualitas kerabang diduga karena perlakuan ini masih mengandung senyawa asam oksalat yang biasanya ada di dalam daun katuk segar. Senyawa ini memiliki afinitas kuat terhadap kalsium untuk membentuk kalsium oksalat sehingga tidak dapat diabsorbsi (Sheela et al. 2004).

Perlakuan TDK merupakan perlakuan yang memiliki kualitas kuning telur tinggi sedangkan pada aspek putih telur tergolong paling rendah. Tingginya kualitas kuning telur dapat disebabkan karena masih adanya komponen nutrisi seperti karoten yang penting untuk peningkatan kualitas kuning telur (Saragih 2005). Sedangkan rendahnya kualitas putih telur dapat dipengaruhi oleh tingginya senyawa tanin dan saponin yang dapat menghambat absorbsi nutirisi terutama protein yang penting untuk pembentukan putih telur (Tandi 2010).

Gambar

Gambaran Reproduksi Ayam Petelur
Gambar 1. Alur desain kerangka pemikiran
Gambar 3.  17β-Estradiol dan senyawa aktif (steroid dan flavonoid) daun katuk
Tabel 4. Rataan dan jumlah butir telur ayam selama penelitian (70 hari) pada setiap
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kayan Hilir Kabupaten Sintang Propinsi Kalimantan Barat. Pembangunan Poskesdes di

Demikian kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.. TUNGKAL

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki self monitoring tinggi menunjukkan ciri-ciri tanggap terhadap tuntutan lingkungan di

dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin

dan sesuai dengan persyaratan mutu bahan yang ditetapkan dalam Rencana.. Pengendalian yang diterapkan dalam proyek. pembangunan Gedung Convenience Store &amp; Office

Hasil dari pengujian pull out ini, tulangan bambu mengalami keruntuhan tarik sehingga untuk nilai kuat tarik bambu pilin dapat diolah menggunakan hasil beban

Disebutkan bahwa posisi penampang kritis adalah pada jarak yang tidak lebih dari setengah tebal efektif pelat (d/2) dari muka kolom atau dari tepi luar tulangan geser jika

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: Bagaimana empat surat