DI H
HULU DA
SE
INS
AERAH A
JAW
DW
EKOLAH
STITUT P
ALIRAN S
WA BARA
WI ARYAN
H PASCAS
ERTANIA
BOGOR
2009
SUNGAI C
AT
NTI
SARJANA
AN BOGO
CILIWUN
A
OR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Perumahan Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung, Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009 Dwi Aryanti A352050031
the upper stream of Ciliwung river basin, West Java. Under supervision of HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI H.S. ARIFIN and ARIS MUNANDAR.
This research was held in the upper-stream of Ciliwung Watershed on March to September 2007. The research site was divided into 3 zones, i.e. the upper-part, the middle-part and the lower-part with village samples in Tugu Utara, Cilember, and Katulampa respectively. The objectives of this research were (1) to evaluate land suitability for housing, (2) to analyze housing condition, (3) to analyze community behavior in environmental management, and (4) to draft recommendation for the development of environmental friendly housing. Land evaluation for housing was performed using the spatial analysis method by Geographical Information System (GIS). Some land characteristics of slope steepness, erosion hazard and existing land utilization were used as evaluation attributes. As a results, it’s indicated very suitable class (S-1) 51 ha (3.8%) in the upper-part, 28 ha (9.4%) in the middle-part, and 183.3 ha (61.2%) in the lower-part. Those S-1 areas are lower than the existing housing area (2003), except in the lower-part. Housing characteristic in he upper-part and the middle-part are almost similar, i.e. informal (kampong type), small to medium size, dense, and linear. On the other side, in the lower-part was indicated there are two types (formal and informal), large size, dense, and linear. Regarding waste management behavior of community in the recommendation upper-part and the middle-part are similar. They used public toilet without septic tank; domestic garbage was through out into river directly; drinking water source from spring. Most the lower-part community used private toilet; garbage is managed by public work agency; and water source from local drinking water company (PDAM). The land suitability for housing is very limited, therefore the development of housing should be strictly controlled. Approach to the community to increase their environmental awareness and the provision of public facilities are necessary to create better and sustainable environment.
DWI ARYANTI. Evaluasi Perumahan Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung, Jawa Barat. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI HS. ARIFIN dan ARIS MUNANDAR.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga September 2007 di Hulu Daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, berada di wilayah Kabupaten Bogor dan sebagian Kota Bogor di ketinggian 300 m sampai >1000 m dpl. DAS Ciliwung Hulu merupakan daerah konservasi dan hutan lindung yang harus tetap dijaga kelestariannya. Pertumbuhan jumlah penduduk di DAS Ciliwung Hulu di ikuti dengan kebutuhan akan lahan perumahan. Hal ini menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke lahan perumahan. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan untuk menunjang kehidupan. Perumahan sehat merupakan konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya yang pendekatannya berorientasi pada kualitas lahan, lokasi bangunan, dan kualitas lingkungan. Oleh karena itu, pengembangan lahan perumahan harus memperhatikan kesesuaian lahan agar fungsi DAS bagian hulu sebagai kawasan konservasi tanah dan air tetap terjaga.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mengevaluasi kesesuaian lahan perumahan, (2) menganalisis kondisi perumahan di DAS Ciliwung Hulu, (3) menganalisis perilaku masyarakat dalam mengelola lingkungan perumahan, dan (4) menyusun rekomendasi pengembangan perumahan sehat dan berwawasan lingkungan di Hulu DAS Ciliwung.
Penelitian dilakukan di tiga desa, yaitu Desa Tugu Utara (Hulu bagian atas) berada pada ketinggian 1000-1050 m dpl, Desa Cilember (Hulu bagian tengah) berada pada ketingian 650-850 m dpl, dan Kelurahan Katulampa (Hulu bagian bawah) berada pada ketinggian 300-370 m dpl.
Evaluasi Kesesuaian lahan perumahan menggunakan metode analisis spasial dengan teknik tumpang tindih (overlay) terhadap tiga karakteristik lahan, yaitu kemiringan lereng, bahaya longsor, dan penggunaan lahan (Hardjowigeno, dan Zee, 1990). Ketiga karakteristik tersebut digunakan untuk mengklasifikasikan lahan perumahan dan mendapatkan faktor pembatas untuk pengembangan lahan perumahan. Hasil evaluasi lahan di Desa Tugu Utara, yaitu S1 seluas 51 ha (3,8%), S2 seluas 44,7 ha (3,3%), S3 seluas 695,2 ha (51,9%), dan N seluas 548.5 ha (41%). Desa Cilember memiliki kelas S1 seluas 28 ha (9,4%), S2 seluas 35,2 ha (11,9%), S3 seluas 216,8 ha (73,1%), dan N seluas 16,7 ha (41%). Kelurahan Katulampa memiliki kelas S1 seluas 183,3 ha (61,2%), S2 seluas 25,1 ha (8,4%), dan S3 seluas 91,3 ha (30,5%).
penyediaan dan pemanfaatan prasarana seperti air bersih, sanitasi dan pengelolaan sampah.
Letak sampel di Hulu bagian atas terletak di Kampung Neglasari termasuk dalam kelas kesesuaian S1 untuk lahan perumahan, Kampung Pondok Caringin termasuk dalam kelas kesesuaian S2 dengan faktor pembatas kemiringan lereng dan longsor. Lokasi sampel di Hulu bagian tengah terletak di Kampung Cilember Abuya termasuk dalam kelas kesesuaian S2 dan S3 dengan faktor pembatas bahaya longsor dan penggunaan lahan, Kampung Cirangrang termasuk dalam kelas kesesuaian lahan S1, sedangkan letak sampel di Hulu bagian bawah terletak di Kelurahan Katulampa (RW VIII) termasuk dalam kelas kesesuaian S3 dengan faktor pembatas penggunaan lahan. Untuk pembatasan pertumbuhan perumahan di wilayah yang tidak sesuai dapat dilakukan dengan mensosialisasikan sistem disinsentif yaitu berupa sanksi seperti jika pada masyarakat berupa pembongkaran bangunan atau sanksi pada pejabat yang menerbitkan perizinan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai. Perumahan di Hulu bagian atas dan Hulu bagian tengah memiliki karakter perumahan ukuran kecil-sedang (100%), sedangkan Hulu bagian bawah memiliki karakter perumahan besar (100%), karakteristik perumahan informal terdapat di Desa Tugu Utara dan Desa Cilember sedangkan karakteristik perumahan informal dan formal terdapat di Kelurahan Katulampa, kepadatan bangunan padat, dan termasuk tipe linier dan streetplan.
Perilaku sebagian besar masyarakat dalam pengelolaan lingkungan perumahan adalah (1) di Hulu bagian atas hingga Hulu bagian bawah dalam pengelolaan sampah masih bersifat individual dengan cara dibakar di pekarangan rumah dan dibuang ke selokan atau sungai; (2) sebagian besar masyarakat di Hulu bagian atas dan tengah menggunakan air bersih untuk keperluan minum dan MCK yang berasal dari mata air dan sungai, di Hulu bagian bawah menggunakan air bersih yang berasal dari sumur gali dan PDAM, dan (3) masyarakat di Hulu bagian atas, Hulu bagian tengah dan Hulu bagian bawah sebagian besar membuang limbah cair yang berasal dari kamar mandi ke saluran lingkungan dan sungai terdekat. Secara umum, perilaku masyarakat di DAS Ciliwung Hulu masih perlu diberikan penyuluhan untuk berperilaku menjaga lingkungan tetap sehat.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG
JAWA BARAT
DWI ARYANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Dwi Aryanti
NRP : A352050031
Program Studi : Arsitektur Lanskap
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Ketua
Diketahui Ketua Program Studi
Arsitektur Lanskap
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian:
Dr. Ir. Nurhayati HS.Arifin, M.Sc. Anggota
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul ”Evaluasi Perumahan Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung, Jawa Barat” ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana yang ditempuh atas Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari DIKTI. Penelitian ini didukung oleh Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) LPPM IPB-DIKTI dengan topik ”Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa-Kota Kawasan Bogor – Puncak – Cianjur (Bopunjur)”.Departemen Arsitektur Lanskap, tahun 2006-2008.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S., Dr. Ir. Nurhayati HS.Arifin, M.Sc., dan Dr. Ir. Aris Munandar, M.S., selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan nasehat dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada Dr.Ir.Bambang Sulistyantara, M.Agr., selaku penguji luar, juga kepada teman-teman sepembimbingan Rachmat Mulyana, Kaswanto, Nurfaida, Penny Pujowati, dan Hadi Pranoto yang telah memberikan dukungan penuh dan informasi data penelitian, dan sahabat-sahabat di ARL Budiarjono, Inggerid L. Moniaga, Dini Rosmalia atas kesabaran, kebersamaan dan pengertiannya selama kuliah hingga penyelesaian tugas akhir. Terimakasih yang tak terhingga kepada keluarga tercinta, ibu, suami, dan anak-anak atas pengertian, kasih sayang, motivasi serta doa yang diberikan selama ini, serta semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu.
Segala kritik, saran dan tanggapan akan penulis terima dengan terbuka. Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi Pemerintah Daerah, pengembang perumahan, dan pihak-pihak yang memerlukan.
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1960 dari Bapak Soeparno (alm.) dan Ibu Soelastri. Penulis merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara.
Tahun 1979 penulis lulus dari SMA Negeri 8 Jakarta dan pada tahun 1980 lulus seleksi masuk Universitas Sebelas Maret (UNS). Penulis memilih Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur dan lulus pada tahun 1986. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Departemen Arsitektur Lanskap baru diperoleh pada tahun 2005 dengan beasiswa BPPS dari DIKTI.
Sebelum diangkat sebagai staf pengajar pada Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Borobudur tahun 1994, penulis menjadi staf pengajar honorer di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Indonesia dan Universitas Persada Indonesia, dan Penulis menjadi anggota pendukung penelitian dalam Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) Departemen Arsitektur Lanskap IPB dengan topik “Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa-Kota Kawasan Bogor – Puncak – Cianjur (Bopunjur)” periode 2006-2008.
Pada tahun 1989, penulis menikah dengan Irawan Suharto, anak ke 10 dari Bapak Suharto Prodjohartono (alm) dan ibu Suhartini (alm). Penulis dikaruniai tiga anak, yaitu Oki Arinanda Wicaksono (19 tahun), Rahardian Wirananda (17 tahun) dan Karina Dinaryanti (13 tahun).
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
I. PENDAHULUAN ... 1
2.3. Persyaratan Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Perumahan ... 9
2.4. Daerah Aliran Sungai ... 13
2.5. Evaluasi Kesesuaian Lahan ... 15
2.5.1. Klasifikasi Kesesuaian Lahan ... 16
2.5.2. Karakteristik Lahan ... 17
2.6. Prilaku Manusia ... 19
2.7. Sistem Informasi Geografis ... 21
III.METODOLOGI ... 23
3.1. Waktu dan Lokasi ... 23
3.2. Alat dan Bahan ... 24
3.3. Metode Penelitian ... 24
3.3.1. Evaluasi Kesesuaian Lahan Perumahan di Hulu DAS Ciliwung ... 25
3.3.2. Kondisi Perumahan ... 27
3.3.3. Prilaku Masyarakat... 28
4.2.2. Kesesuaian Lahan Perumahan ... 42
4.2.3. Penyebaran Permukiman Existing di Lokasi Penelitian ... 45
4.3. Kondisi Fisik Perumahan ... 51
4.3.1. Karakteristik Perumahan ... 52
4.3.2. Ukuran Perumahan ... 62
4.3.3. Kepadatan Bangunan ... 63
4.3.4. Tipe Perumahan ... 65
4.4. Kondisi Sosial Ekonomi ... 67
4.4.1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... 67
4.4.2. Umur Responden ... 68
4.4.3. Tingkat Pendidikan Responden ... 68
4.4.4. Pendapatan dan Kebutuhan Hidup Layak ... 69
4.5. Prilaku Masyarakat dalam Mengelola Perumahan ... 70
4.5.1. Pengelolaan Lingkungan ... 71
4.5.1.1.Pengelolaan Limbah ... 71
4.5.1.2.Pengelolaan Sampah ... 73
4.5.1.3.Pengelolaan Sumber Air ... 75
4.5.2. Aspek Budaya ... 78
4.5.2.1.Kearifan Lokal ... 78
4.5.2.2.Penggunaan Bahan Lokal ... 79
4.5.2.3.Arsitektur Lokal ... 80
4.6. Rekomendasi Perumahan Sehat dan Berwawasan Lingkungan di DAS Ciliwung Hulu ... 82
4.6.1. Rekomendasi Pengembangan Lahan Perumahan di DAS Ciliwung Hulu ... 82
4.6.2. Kriteria Perumahan Sehat Berwawasan Lingkungan di DAS Ciliwung Hulu ... 82
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 86
5.1. Simpulan ... 86
5.2. Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 88
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Klasifikasi kesesuaian lahan perumahan ... 27
2. Kriteria pada masing-masing sub-variabel bentuk perumahan ... 28
3. Parameter prilaku masyarakat ... 29
4. Standar rumah dan perumahan sehat... 30
5. Luas dan persentase penggunaan lahan di lokasi penelitian ... 34
6. Luas dan persentase kesesuaian lahan berdasarkan kemiringan lereng di lokasi penelitian ... 35
7. Luas dan persentase kesesuaian lahan berdasarkan bahaya longsor di lokasi penelitian ... 38
8. Luas dan persentase kesesuaian lahan berdasarkan penggunaan lahan di Lokasi penelitian ... 41
9. Luas dan persentase kesesuaian lahan perumahan di lokasi penelitian ... 43
10.Sebaran permukiman existing di lokasi penelitian ... 46
11.Kejadian bencana tanah longsor di wilayah bagian hulu DAS Ciliwung .. 50
12.Kondisi umum kelima kampung di lokasi penelitian ... 51
13.Luas rata-rata rumah responden ... 56
14.Persentase kelengkapan ruang dalam rumah... 56
15.Persentase luasan lantai rumah ... 58
16.Persentase luasan lubang udara dan penerangan ... 59
17.Persentase kepemilikan pekarangan ... 60
18.Persentase ukuran perumahan ... 63
19.Tipe perumahan ... 66
20.Persentase umur responden ... 68
21.Persentase penghasilan kepala rumah tangga ... 70
22.Persentase tempat pembuangan limbah padat dan cair ... 73
23.Pengelolaan sampah ... 74
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pikir penelitian ... 5
2. Peta lokasi penelitian di DAS Ciliwung bagian hulu ... 23
3. Tahapan penelitian ... 25
4. Bagan alir proses evaluasi lahan perumahan ... 26
5. Peta kesesuaian lahan perumahan Hulu bagian atas (Desa Tugu Utara) berdasarkan kemiringan lereng ... 36
6. Peta kesesuaian lahan perumahan Hulu bagian tengah (Desa Cilember) berdasarkan kemiringan lereng ... 36
7. Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian bawah (Kelurahan Katulampa) berdasarkan kemiringan lereng ... 37
8. Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian atas (Desa Tugu Utara) berdasarkan bahaya longsor ... 38
9. Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian tengah (Desa Cilember) berdasarkan bahaya longsor ... 39
10.Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian bawah (Kelurahan Katulampa) berdasarkan bahaya longsor ... 39
11. Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian atas (Desa Tugu Utara) berdasarkan penggunaan lahan ... 41
12. Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian tengah (Desa Cilember) berdasarkan penggunaan lahan ... 42
13. Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian bawah (Kelurahan Katulampa) berdasarkan penggunaan lahan ... 42
14. Peta kesesuaian lahan di Hulu bagian atas (Desa Tugu Utara) ... 44
15. Peta kesesuaian lahan di Hulu bagian tengah (Desa Cilember) ... 44
16. Peta kesesuaian lahan di Hulu bagian bawah (Kelurahan Katulampa) ... 45
17. Peta sebaran pemukiman exsisting di Hulu bagian atas (Desa Tugu Utara) ... 47
18. Peta sebaran pemukiman exsisting di Hulu bagian tengah (Desa Cilember) ... 47
19. Peta sebaran pemukiman existing di Hulu bagian bawah (Kelurahan Katulampa) ... 48
20. Kejadian longsor di lokasi penelitian, (a) lokasi longsor, dan (b) pasca longsor ... 50
22. Persentase konstruksi rumah responden pada perumahan informal ... 54
23. Kondisi fisik perumahan formal yang dijumpai di lokasi penelitian, (a) tegangan tinggi yang terletak di Perumahan MBR, (b) fasilitas ruang terbuka, (c) bangunan berderet > 6 rumah, (d) saluran drainase lingkungan perumahan ... 62
24. Kepadatan bangunan ;perumahan (a) di Hulu bagian atas, dan (b) di Hulu bagian tengah, (c) di Hulu bagian bawah ... 64
25. Jalan lingkungan, (a) perumahan informal, dan (b) perumahan formal ... 65
26. Gang sebagai fungsi sosial ... 67
27. Komposisi penduduk desa berdasarkan tingkat pendidikan (Sumber: Monografi Desa Tugu Utara, 2007; Monografi Desa Cilember, 2007; dan Monografi Kelurahan Katulampa, 2007) ... 69
28. Pengelolaan limbah padat dan cair dilokasi penelitian (a) Cubluk, (b) MCK dengan septic tank, (b) limbah cair langsung kebadan sungai, (d) Limbah cair kesaluran lingkungan ... 72
29. Pengelolaan sampah di lokasi penelitian, (a) kondisi sampah di Hulu bagian atas, (b) kondisi sampah di Hulu bagian tengah, (c) kondisi sampah di Hulu bagian bawah ... 75
30. Mata air sebagai sumber air bersih dilokasi penelitian ... 78
31. Pemanfaatan mata air dilokasi penelitian ... 78
32. Persentase penggunaan bahan bangunan pada lima lokasi penelitian ... 79
33. Arsitektur lokal (rumah panggung), (a) di Hulu bagian atas dan (b) Hulu bagian tengah ... 80
34. Konstruksi penahan longsor ... 83
35. (a) Lubang cahaya sebagai penerangan alami, (b) Lubang cahaya yang berfungsi juga untuk ventilasi. ... 84
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Peta jenis tanah di lokasi penelitian ... 92 2. Peta curah hujan di lokasi penelitian ... 93 3. Peta penggunaan lahan di lokasi penelitian ... 94 4. Peta kesesuaian lahan berdasarkan penmggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu
... 95 5. Peta kesesuaian lahan berdasarkan kemiringan lereng di DAS Ciliwung
1.1. Latar Belakang
Fenomena alam berupa hujan lebat di kawasan sekitar Puncak yang terjadi pada bulan Februari tahun 2007 mencapai 245,3 mm/hari dengan durasi yang cukup lama. Fenomena alam yang terjadi diluar kebiasaan tersebut menyebabkan meningkatnya debit sungai yang sangat drastis. Akibatnya, tanah tidak mampu menyerap air (tanah menjadi jenuh) yang menyebabkan aliran permukaan (run off) yang cukup besar dan terakumulasi dengan cepat (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2004). Kejadian alam ini menyebabkan timbulnya dampak banjir besar di wilayah Jakarta dan bencana tanah longsor di beberapa titik pada kecamatan-kecamatan sekitarnya, seperti Kecamatan Megamendung, Kecamatan Ciawi, dan Kecamatan Cisarua. Bencana tanah longsor yang terjadi mengakibatkan kerusakan baik pada bangunan rumah tinggal maupun bangunan lainnya, bahkan menyebabkan timbulnya korban jiwa karena tertimbun tanah dan bangunan. Kecamatan Megamendung, Kecamatan Ciawi, dan Kecamatan Cisarua terletak di DAS Ciliwung bagian hulu.
Daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung bagian hulu adalah daerah pegunungan yang terletak pada ketinggian 300 m sampai 3.000 m di atas permukaan laut (dpl). Kawasan ini merupakan kawasan konservasi dan hutan lindung yang harus tetap dijaga kelestariannya baik secara biofisik maupun ekologis (Direktorat Penataan Ruang Wilayah Tengah, 2003; Syartinilia, Arifin, Prasetyo, Tsuyuki, 2004). Selain itu, berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 58 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur menyebutkan bahwa peran kawasan Bogor-Puncak-Bogor-Puncak-Cianjur adalah sebagai kawasan konservasi air dan tanah yang juga harus dijaga kelestariannya. Secara biofisik dan ekologi, lanskap pada unit DAS memiliki hubungan yang terkait khususnya dalam aliran bahan dan energi dari hulu ke hilir, ataupun sebaliknya yang saling mempengaruhi satu sama lainnya (Arifin Arifin, Suryadarma, 2002).
permukiman. Perubahan tata guna lahan tersebut secara nyata berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Berdasarkan hasil kaji ulang penataan ruang Kabupaten Bogor yang dilakukan oleh Bappeda Kabupaten Bogor pada tahun 2003 menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas hutan di DAS Ciliwung Hulu dari tahun 1991 – 1999. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan luas kawasan terbangun dari 255 ha menjadi 506 ha atau meningkat sebesar 98%.
Perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung bagian hulu yang didominasi oleh peningkatan luas permukiman memberi dampak pada berkurangnya kawasan yang berfungsi sebagai resapan air hujan. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan laju limpasan permukaan yang menyebabkan banjir di DAS Ciliwung bagian hilir. DAS Ciliwung bagian hulu dianggap gagal dalam pemeliharaan lingkungan dan menyebabkan terjadinya ”banjir kiriman” di Jakarta akibat ”pencaplokan” lahan-lahan subur oleh pelaku bisnis (Wilonoyudho, 2006).
Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan mengakibatkan muncul rumah-rumah secara tidak teratur membentuk perumahan dengan tingkat kepadatan tinggi, yang menyebabkan menurunnya kualitas peumahan seperti peningkatan jumlah rumah tidak layak huni. Rumah-rumah tumbuh dan berkembang dimana-mana dengan tanpa memperthatikan tingkat kesesuaian lahan baik secara biofisik, sosial maupun ekonomi.
Pertumbuhan perumahan baru di wilayah DAS Ciliwung hulu disebabkan oleh kecenderungan tingkat urbanisasi yang tinggi (Syartinilia et al., 2004). Sedangkan tingkat urbanisasi mengakibatkan penurunan ukuran luas pekarangan, penurunan spesies tanaman non ornamental dan penurunan stratifikasi struktur tanaman (Arifin, 1998). Akibatnya semakin sensitifnya lingkungan terhadap komponen yang ada dalam sistim lingkungan. Ketika turun hujan akan mudah banjir, sebaliknya terjadi kekeringan ketika kemarau. Berbagai kajian wilayah menyebutkan bahwa penyelamatan DAS dari bahaya erosi, banjir dan kekeringan menjadi amat penting bagi kesejahteraan penduduk di sekitarnya (Haeruman, 2002). Salah satu bentuk usaha yang dikembangkan untuk penyelamatan DAS kearah pencegahan erosi yaitu melalui penataan permukiman (Basso, 2000).
(perumahan) semakin besar. Luasan permukiman di DAS Ciliwung hulu tahun 1981 adalah 255,25 ha (Irianto,2000) meningkat menjadi 1.336 ha pada tahun 2002 (Maryanto dan Ubaidah,2004). Perkembangan permukiman yang terjadi di DAS Ciliwung bagian hulu menjadi penting untuk dicermati mengingat secara biofisik terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kesesuaian penggunaan lahan sebagai perumahan, antara lain, kemiringan lereng, bahaya longsor, dan penggunaan lahan. Secara sosial-ekonomi, peningkatan jumlah penduduk dan prilaku masyarakat dalam mengelola lingkungan turut mempengaruhi perkembangan perumahan yang sehat dan berwawasan lingkungan. Selain itu, terdapatnya sistem pewarisan lahan menyebabkan lahan perumahan semakin sempit dan padat.
Memahami kerusakan yang terjadi di DAS Ciliwung bagian hulu dan pertumbuhan permukiman yang pesat maka diperlukan pencegahan kerusakan lingkungan melalui penataan arahan lokasi peruntukan perumahan sesuai dengan tingkat kesesuaian lahan, meninjau dan menganalisis kondisi perumahan serta menganalisis prilaku masyarakat dalam mengelola lingkungan perumahan.
1.2. Perumusan Masalah
Pengembangan lahan perumahan di DAS Ciliwung bagian hulu harus memperhatikan kondisi lahan berdasarkan kesesuaian lahannya, dengan mempertimbangkan terjadinya bencana tanah longsor yang diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi, kondisi geografis yang ada, peningkatan jumlah penduduk, dan kebutuhan akan perumahan. Permukiman sehat dan berwawasan lingkungan dapat tercermin dalam prilaku yang selalu mengupayakan hubungan yang serasi antara manusia dengan alam dan berbagai unsur buatannya sehingga pengembangannya dapat berlangsung berkelanjutan (Kuswartojo, 2005).
1) Apakah pengembangan lahan untuk perumahan pada lahan yang sesuai masih dapat dilakukan di DAS Ciliwung bagian hulu, sehubungan dengan kebutuhan akan lahan perumahan yang terus meningkat.
2) Apakah kondisi perumahan yang ada sudah sesuai dengan persyaratan perumahan sehat, dan apakah masyarakat memiliki wawasan untuk menjaga dan menghargai lingkungan sehingga tercipta lingkungan perumahan yang sehat, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
1. mengevaluasi kesesuaian lahan perumahan;
2. menganalisis kondisi perumahan di DAS Ciliwung bagian hulu;
3. menganalisis perilaku masyarakat dalam mengelola lingkungan perumahan; 4. menyusun rekomendasi pengembangan permukiman sehat dan berwawasan
lingkungan di DAS Ciliwung bagian hulu.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. masyarakat, pengembangan perumahan, dan pemerintah daerah dalam merencanakan/ mengembangkan lahan untuk perumahan;
2. menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan Kota Bogor Timur dalam menyusun kebijakan dalam perijinan pendirian rumah di DAS Ciliwung bagian hulu; dan
3. pengembangan akademis bagi peneliti khususnya dan ilmuwan yang konsen terhadap pengembangan perumahan
1.5. Kerangka Pikir
alih fungsi lahan memerlukan upaya pengelolaan yang tepat, agar tercipta keserasian antara alam dan unsur buatan sehingga pengembangannya dapat berlangsung berkelanjutan (sehat dan berwawasan lingkungan). Adapun kerangka pemikiran untuk penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
Meningkatnya jumlah penduduk di DAS Ciliwung bagian hulu
Pertumbuhan perumahan di DAS Ciliwung bagian hulu
DAS Ciliwung
Rekomendasi pengembangan perumahan sehat dan berwawasan lingkungan
di DAS Ciliwung bagian hulu Bencana banjir
Pepres No.58 tahun 2008
Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2007 UU RI No.4 tahun 1992
Kepmenkes No.829/Menkes/ SK/VII/1999
2.1.Perumahan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan
permukiman, membedakan antara perumahan dan permukiman. Perumahan
memiliki fungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi
dengan sarana dan prasarana lingkungan, sedangkan permukiman adalah bagian
dari lingkungan hidup, di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan
maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan (PP No 4/1992).
Menurut Kuswartojo (1997), permukiman dapat diartikan sebagai
perumahan atau kumpulan tempat tinggal. Perumahan merupakan wadah fisik,
sedangkan permukiman merupakan paduan antara wadah dengan isinya, yaitu
manusia yang hidup bermasyarakat dan berbudaya di dalamnya. Bagian dari
permukiman yang disebut dengan wadah merupakan paduan antara tiga unsur,
yaitu alam (udara, air, dan tanah), lindungan (shells), dan jaringan (networks),
sedangkan yang disebut dengan isinya adalah manusia dan masyarakat.
Menurut Kuswartojo (2005), karakteristik perumahan ada dua macam yaitu
perumahan tidak tertata (informal) dan perumahan formal (tertata). Perumahan
informal terbentuk secara berangsur-angsur, dan sebagai konsekuensinya
permukiman tumbuh tanpa pola yang jelas, tidak ada pengkavlingan (pemetakan)
dan jaringan jalan yang mengikuti penataan, rumah tidak teratur, bangunan
beraneka ragam, mempunyai jaringan dan pola yang tidak teratur, perizinan
pembangunan tidak jelas secara konseptual (sulit untuk diterapkan karena
registrasi yang dapat memastikan suatu tanah menjadi hak seseorang sangat tidak
lengkap dan perizinan pembangunan sangat lemah), memiliki perbedaan karakter
sosial, memerlukan waktu puluhan tahun untuk tumbuh dengan sendirinya tanpa
pengendalian. Perumahan informal inilah yang berkembang menjadi wilayah
permukiman yang disebut perdesaan, sedangkan perumahan formal dibangun atas
dasar aturan yang jelas karena itulah terbentuk suatu pola yang teratur lengkap
sudah direncanakan, seperti pembangunan oleh Perumnas berupa rumah susun,
atau pembangunan yang dikembangkan oleh instansi swasta.
Menurut Daldjoeni (2003), definisi dari permukiman atau perumahan desa
yaitu suatu tempat atau daerah tempat penduduk berkumpul dan hidup bersama
dan mereka dapat menggunakan lingkungan setempat untuk kehidupan mereka.
Terdapat tiga unsur, yaitu penduduk, tanah, dan bangunan yang masing-masing
unsur lambat atau cepat mengalami perubahan sehingga desa sebagai pola
permukiman bersifat dinamis. Secara geografis, definisi tadi dapat
dipertanggungjawabkan, karena manusia sebagai penghuni desa selalu melakukan
adaptasi spasial dan ekologis sejalan dengan kegiatannya berpangupa jiwa
agraris.
2.2.Perumahan Sehat
Perumahan sehat disebut juga sebagai salah satu kriteria layak huni, dalam
pengertian secara luas bukan hanya sebatas fisik saja, tetapi juga secara sosial,
baik secara internal maupun eksternal. Perumahan sehat adalah perumahan yang
harus memiliki tiga syarat, yaitu (a) syarat fisik tersedianya sarana air bersih,
sarana sanitasi, pengelolaan sampah dan air limbah, (b) syarat biologis bebas dari
serangga/binatang pengerat, dan (c) syarat sosial dengan berprilaku hidup sehat
(Kuswartojo et al., 2005)
Menurut Komisi WHO (2001), permukiman atau perumahan yang sehat
adalah konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan standar
kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan pendekatan sosiologis dan
teknis pengelolaan faktor resiko dan berorientasi pada lokasi bangunan,
kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan, pemeliharaan rumah dan
lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur-unsur penyediaan air minum dan
sarana yang memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta
pembuangan kotoran manusia ataupun limbah lainnya.
Silas (2001) mengemukakan kaidah perencanaan kawasan perumahan dan
permukiman yang layak perlu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut (a) penggunaan lahan yang efektif dan efisien dan terkait dengan
memperhatikan arah angin di samping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan
lorong terutama diserahkan dengan aliran angin sebagai koridor angin yang
menjaga kesejukan lingkungan; (c) jalan mobil disediakan sesuai dengan
kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan darurat. Parkir mobil sebaiknya
terpusat sehingga jalan/lorong dapat dijadikan taman komunal; (d) tersedia
fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara komunal, termasuk
ruang terbuka hijau serta rekreasi memakai akses utama melalui berjalan kaki dari
perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait dengan sistem
kota yang lebih besar.
Prasarana lingkungan permukiman adalah kelengkapan dasar fisik
lingkungan, yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Prasarana utama meliputi jaringan jalan, jaringan air
hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas, dan sebagainya.
Sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk
menyelenggarakan dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya,
seperti pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat
peribadatan, rekreasi dan olah raga, pertamanan, dan permakaman.
Kesatuan antara manusia sebagai penghuni (isi) dengan lingkungan hunian
membentuk suatu komunitas yang secara bersamaan membentuk permukiman.
Menurut Sastra (2005), elemen permukiman terdiri atas beberapa unsur, yaitu
alam, manusia, masyarakat, bangunan, dan jaringan/networks.
- Alam, meliputi kondisi geologi, topografi, tanah, air, tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan iklim.
- Manusia, merupakan pelaku utama kehidupan selain makhluk hidup lain
seperti hewan, tumbuhan, dan lainnya. Sebagai makhluk yang paling
sempurna dalam kehidupannya, manusia membutuhkan berbagai hal untuk
menunjang kehidupannya, seperti kebutuhan biologis (ruang, udara, suhu, dan
lain-lain), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional serta kebutuhan akan
nilai-nilai moral.
- Masyarakat, merupakan kesatuan kelompok orang (keluarga) dalam suatu
permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-hal yang
mendiami suatu wilayah permukiman adalah (1) kepadatan dan komposisi
penduduk, (2) kelompok sosial, (3) adat dan kebudayaan, (4) pengembangan
ekonomi, (5) pendidikan, (6) kesehatan, dan (7) hukum dan administrasi.
- Bangunan/rumah, merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Oleh karena itu,
dalam perencanaan dan pengembangannya perlu mendapatkan perhatian
khusus agar sesuai dengan rencana kegiatan yang berlangsung di tempat
tersebut. Pada prinsipnya bangunan yang digunakan sesuai dengan fungsinya
seperti sebagai pelayanan masyarakat (misalnya sekolah, rumah sakit, dan
lainnya), sebagai tempat rekreasi (fasilitas hiburan), dan sebagainya.
- Jejaring/networks, merupakan sistem buatan atau alam berupa fasilitas untuk
operasional suatu wilayah permukiman, seperti jaringan air bersih di daerah
pegunungan dapat dengan mudah diperoleh karena adanya sumber mata air.
Sistem buatan yang diperlukan di dalam wilayah perumahan, antara lain,
sistem jaringan air bersih, sistem jaringan listrik, sistem jaringan transportasi,
sistem komunikasi, drainase, dan tata letak fisik.
Permukiman perdesaan di Indonesia umumnya merupakan perumahan yang
mengelompok. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keadaan sosial bangsa
Indonesia yang bersifat gotong royong sehingga cenderung berkeinginan tinggal
berdekatan dengan tetangga. Kelompok-kelompok tersebut dihubungkan oleh
jalan kecil (jalan desa) atau jalan setapak. Permukiman perdesaan biasanya
dicirikan oleh dominasi lanskap pertanian dan penyelenggaraannya diatur oleh
adat istiadat dan pola-pola tradisional yang berlaku pada suatu daerah.
Undang-undang yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh pola-pola tradisional.
2.3.Persyaratan Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Perumahan
Menurut Kuswartojo (2005), indikator rumah sehat adalah menyangkut
prilaku hidup sehat penduduk, yaitu dengan tidak membuang sampah di sungai,
tidak buang hajat di sungai, tidak membiarkan selokan kotor dan air tergenang,
dan kondisi rumah terhadap faktor kesehatan dengan memperhatikan lingkungan
fisik, kualitas udara permukiman dan ventilasi, dan terpenuhinya sarana kesehatan
Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman adalah
ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi
penghuni dan masyarakat yang bermukim di perumahan dan/atau masyarakat
sekitar dari bahaya atau gangguan kesehatan. Persyaratan kesehatan perumahan
yang meliputi persyaratan lingkungan perumahan dan permukiman serta
persyaratan rumah itu sendiri, sangat diperlukan karena pembangunan perumahan
berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan derajat kesehatan individu,
keluarga, dan masyarakat (Sanropie, 1992).
Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman menurut
Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999
meliputi parameter sebagai berikut.
1. Lokasi, yaitu (a) tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti
bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah
gempa, dan sebagainya, (b) tidak terletak pada daerah bekas tempat
pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas tambang, dan (c) tidak terletak
pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan
penerbangan.
2. Kualitas udara di lingkungan perumahan harus bebas dari gangguan gas
beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan.
3. Kebisingan dan getaran, yaitu (a) kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum
55 dB.A dan (b) tingkat getaran maksimum 10 mm/detik.
4. Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman, yaitu (a) kandungan
Timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg, (b) kandungan Arsenik (As) total
maksimum 100 mg/kg, (c) kandungan Cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg,
dan (d) kandungan Benzo(a) pyrene maksimum 1 mg/kg.
5. Prasarana dan sarana lingkungan, yaitu (a) memiliki taman bermain untuk
anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan,
(b) memiliki sarana drainase yang baik, (c) memiliki sarana jalan lingkungan
dengan ketentuan konstruksi jalan tidak mengganggu kesehatan, konstruksi
trotoar tidak membahayakan pejalan kaki dan penyandang cacat, jembatan
harus memiliki pagar pengaman, lampu penerangan jalan tidak menyilaukan
memenuhi persyaratan kesehatan, (e) pengelolaan pembuangan tinja dan
limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, (f) pengelolaan
pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan, (g)
memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat
kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain sebagainya, (h)
pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya, dan (i)
tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi kontaminasi
makanan yang dapat menimbulkan keracunan.
6. Pepohonan untuk penghijauan lingkungan permukiman merupakan pelindung
dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan, dan kelestarian alam.
Adapun ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Kepmenkes
Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 sebagai berikut.
1. Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang
dapat membahayakan kesehatan.
2. Komponen dan penataan ruangan meliputi (a) lantai kedap air dan mudah
dibersihkan, (b) dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar
cuci kedap air dan mudah dibersihkan, (c) langit-langit rumah mudah
dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan, (d) bumbungan rumah 10 m dan ada
penangkal petir, (e) ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, dan
(f) dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.
3. Pencahayaan alam dan/atau buatan baik langsung maupun tidak langsung
dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60
lux dan tidak menyilaukan mata.
4. Kualitas udara, yaitu (a) suhu udara nyaman antara 18-30ºC dan (b)
kelembaban udara 40-70%.
5. Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai.
6. Vektor penyakit, tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di
dalam rumah.
7. Penyediaan air, yaitu (a) tersedia sarana penyediaan air bersih dengan
kapasitas minimal 60 liter/orang/hari dan (b) kualitas air harus memenuhi
persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes 416
8. Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman.
9. Pembuangan limbah, yaitu (a) limbah cair yang berasal rumah tangga tidak
mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari
permukaan tanah dan (b) limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak
menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah.
10.Kepadatan hunian dengan luas kamar tidur minimal 8 m² dan dianjurkan tidak
untuk lebih dari 2 orang tidur.
Persyaratan tersebut di atas berlaku juga terhadap kondominium, rumah
susun (rusun), rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan) pada zona permukiman.
Pelaksanaan ketentuan mengenai persyaratan kesehatan perumahan dan
lingkungan permukiman menjadi tanggung jawab pengembang atau
penyelenggara pembangunan perumahan, dan pemilik atau penghuni rumah
tinggal untuk rumah.
Setiap manusia di manapun berada membutuhkan tempat untuk tinggal yang
disebut rumah. Rumah berfungsi sebagai tempat untuk melepaskan lelah, tempat
bergaul dan membina rasa kekeluargaan di antara anggota keluarga, tempat
berlindung dari segala macam ganguan baik dari kondisi alam maupun binatang
buas. Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1992, rumah adalah
struktur fisik terdiri atas ruangan, halaman, dan area sekitarnya yang dipakai
sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga.
Departemen Pekerjaan Umum Ditjen Cipta Karya (2002) menentukan
syarat rumah menjadi sehat sebagai berikut.
1. Aspek kesehatan (ruangan dan peranginan, penyediaan air bersih, pembuangan
air bersih, limbah, dan sampah yang menimbulkan pencemaran, bagian-bagian
ruang seperti lantai dan dinding tidak lembab, tidak tercemar bau, rembesan air
kotor, dan udara kotor).
2. Aspek kekuatan bangunan (rumah memiliki konstruksi dan bahan bangunan
yang menjamin keamanan, seperti konstruksi bangunan yang cukup kuat, baik
untuk menahan berat sendiri maupun pengaruh lain, seperti angin, hujan,
gempa, dan lainnya).
4. Keterjangkauan (pemakaian bahan bangunan dapat menjamin keawetan dan
kemudahan dalam pemeliharaan, tahan api dan air).
5. Rumah yang baik adalah minimal memiliki ruang tamu, ruang makan, ruang
tidur, dapur, dan kamar mandi yang terpisah satu dengan yang lain.
Dengan demikian keterkaitan kondisi rumah dengan permukiman sangatlah
erat karena dari rumah yang merupakan unit terkecil dengan prilaku penghuninya,
akan terbentuk lingkungan permukiman yang sehat berwawasan lingkungan.
Pengertian dari wawasan lingkungan adalah pandangan, yang tercermin dalam
prilaku yang selalu mengupayakan hubungan yang serasi, antara manusia dan
masyarakatnya dengan alam dan berbagai unsur buatannya. Dengan adanya
hubungan yang serasi, pengembangan yang berkelanjutan dapat terus berlangsung
(Kuswartojo, 1997).
Silas (2001) mengemukakan rumah yang berkelanjutan harus memenuhi
lima syarat dasar yang dapat dinikmati oleh penghuni saat ini dan yang akan
datang sebagai berikut.
1. Mendukung peningkatan produktifitas kehidupan penghuni baik secara sosial,
ekonomi, dan politik. Artinya setiap anggota penghuni terinspirasi untuk
melakukan tugas lebih baik.
2. Tidak menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak
pembangunan, pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang
dapat digunakan terhadap lingkungan adalah efektifitas konsumsi energi.
3. Meningkatkan mobilitas kesejahteraan penghuninya secara fisik dan spiritual.
artinya penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan fisik dan
spiritual.
4. Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah dengan mobilitas
sosial ekonomi penghuninya.
5. Membuka peran penghuni atau pemilik yang besar dalam mengambilan
keputusan terhadap proses pengembangan rumah dan rukun warga tempat ia
berinteraksi.
2.4.Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) menggambarkan suatu wilayah yang
titik yang sama sepanjang suatu alur atau sungai. Menurut Suripin (2002), secara
umum DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah, yang dibatasi batas alam, seperti
punggung bukit atau gunung, dan dibatasi batas buatan, seperti jalan atau tanggul,
tempat air hujan yang turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik
kontrol (outlet). Asdak (2004) mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan
yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang
menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut
melalui sungai utama. Wilayah daratan dinamakan daerah tangkapan air (DTA
atau catchment area) yang merupakan ekosistem sebagai unsur utamanya yang
terdiri atas sumber daya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumber daya manusia
sebagai pemanfaat sumber daya alam.
Daerah aliran sungai terdiri atas unsur biofisik yang bersifat alami dan
unsur-unsur non-biofisik. Unsur biofisik terdiri atas vegetasi, hewan, satwa liar,
jasad renik, tanah, iklim, dan air, sedangkan unsur non-biofisik adalah manusia
dengan berbagai ragam persoalannya, latar belakang budaya, sosial-ekonomi,
sikap politik, kelembagaan, serta tatanan masyarakat itu sendiri.
Fungsi Daerah Aliran Sungai
Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh
seluruh faktor yang ada pada DAS, seperti vegetasi, bentuk wilayah (topografi),
tanah, dan manusia. Faktor-faktor tersebut jika mengalami perubahan, akan
mempengaruhi ekosistem DAS. Menurut Asdak (2004), ekositem hulu merupakan
bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh
bagian DAS. Perubahan tata guna lahan dan/atau pembuatan bangunan konservasi
yang dilaksanakan di daerah hulu DAS tidak saja memberikan dampak di daerah
tempat kegiatan tersebut berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan menimbulkan
dampak di daerah hilir dalam bentuk penurunan kapasitas tampung waduk
dan/atau pendangkalan sungai dan saluran-saluran irigasi yang pada gilirannya
akan meningkatkan resiko banjir.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Menurut Asdak (2004), pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan
dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa
tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, diantaranya
pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan
dengan sumberdaya alam. Hal yang termasuk dalam pengelolaan DAS adalah
identifikasi keterkaitan antara tata guna lahan, tanah, dan air serta keterkaitan
antara hulu dan hilir suatu DAS.
Dalam pengelolaan DAS, tidak dapat dibatasi oleh batas-batas yang bersifat
administrasi, karena kekuatan alam seperti banjir (aliran air), tanah longsor, dan
erosi yang tidak mengenal batas. DAS merupakan suatu ekosistem yang di
dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non-biotik, dan
manusia. Oleh karena itu, ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena
memiliki fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktivitas dalam DAS dapat
menyebabkan perubahan seperti perubahan tata guna lahan, khususnya di daerah
hulu, yang dapat memberikan dampak berupa fluktuasi debit air dan kandungan
sedimen serta material yang terlarut di dalamnya.
Menurut Ilyas (1985), pengolahan DAS merupakan pengolahan tanah dan
air, yang pengolahan tersebut dikatakan baik apabila penggunaan tanah dan air
dilakukan secara rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimum dan lestari
dengan bahaya kerusakan sekecil-kecilnya. Pengaruh pengolahan ini akan
tercermin pada ancaman banjir, keadaan aliran sungai pada musim kemarau dan
kandungan sedimen sungai. Keseluruhan pengaruh tersebut akan mempengaruhi
bagian kegiatan dan sektor kehidupan di hilir sungai.
2.5. Evaluasi Kesesuaian Lahan
Permukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan tempat
tinggal. Untuk keperluan tersebut, diperlukan tanah untuk mendirikan bangunan
baik sebagai tempat tinggal maupun bangunan lain seperti septik-tank, jalan,
tempat pembuangan sampah, dan lainnya. Tanah merupakan sumber daya fisik
wilayah utama yang sangat penting sehingga sifat tanah sangat menentukan
potensi untuk berbagai jenis penggunaan. Salah satu pendekatan yang dapat
digunakan untuk mengetahui potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan
umum adalah menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu. Inti dari
evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe
penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan
yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini akan diketahui
potensi lahan atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut
(Hardjowigeno & Widiatmaka, 2004).
Teknik analisis kesesuaian lahan merupakan perpaduan dari tiga faktor yang
ada dalam suatu area, yaitu lokasi, aktivitas pembangunan, dan
biofisik/lingkungan. Teknik ini memungkinkan bagi seorang perencana dan
pengambil keputusan untuk menganalisis interaksi yang terjadi dengan berbagai
cara dan analisis tersebut dapat membantu dalam mengambil keputusan dan
membuat kebijakan yang terkait dengan penggunaan lahan. (Miller et al., 1998).
Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar perencanaan
tata guna tanah yang rasional, sehingga lahan dapat digunakan secara optimal dan
lestari.
2.5.1. Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Hasil pembandingan persyaratan dari tipe penggunaan lahan tertentu dengan
kualitas lahan suatu satuan peta lahan menghasilkan suatu kelas kesesuaian lahan
yang menunjukkan kesesuaian masing-masing satuan peta lahan untuk tipe
penggunaan lahan tertentu. Kesesuaian lahan dapat dibagi menjadi empat kelas,
yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak
sesuai). Dalam mengambil keputusan untuk klasifikasi kesesuaian lahan menurut
Hardjowigeno dan Widiatmaka (2004), dapat digunakan berbagai cara seperti
metode penghambat maksimum, metode parametrik dengan pemberian angka
nilai untuk masing-masing faktor, kemudian dijumlahkan atau dikalikan dan
sebagainya. Dengan metode yang berbeda tersebut sudah pasti akan menghasilkan
kelas yang berbeda-beda pula. Pembagian kelas kesesuaian lahan sebagai berikut.
(1). Kelas S1 (sangat sesuai), yaitu lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor
pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas
lahan secara nyata.
pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan
tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh
petani sendiri.
(3). Kelas S3 (sesuai marginal), yaitu lahan mempunyai faktor pembatas yang
berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap
produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak
daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3
memerlukan modal tinggi sehingga perlu adanya bantuan atau intervensi
pemerintah atau pihak swasta.
(4). Kelas N (tidak sesuai), yaitu lahan yang mempunyai faktor pembatas yang
sangat berat dan atau sulit diatasi.
Penentuan kelas suatu lahan untuk perumahan (tempat tinggal) didasarkan
pada kemampuan lahan sebagai penopang pondasi. Sifat lahan yang berpengaruh
adalah daya dukung tanah dan sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap biaya
penggalian dan konstruksi. Hasil evaluasi lahan disajikan dalam bentuk peta dan
laporan. Peta kesesuaian lahan dengan penjelasan penting dalam legenda
merupakan penyajian yang paling efektif dari hasil evaluasi, sedangkan
keterangan yang lebih detil disajikan dalam laporan.
2.5.2. Karakteristik Lahan
Karakteristik lahan mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau
ditaksir seperti kemiringan lereng, curah hujan, tekstur tanah, ketersediaan air, dan
sebagainya (Hardjowigeno & Widiatmaka., 2001). Satu jenis karakteristik lahan
dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu jenis kualitas lahan, misalnya tekstur
tanah dapat berpengaruh terhadap ketersediaan air, mudah tidaknya tanah
diolah,dan kepekaan erosi.
Selanjutnya beberapa parameter yang menjadi kriteria kesesuaian lahan
tempat tinggal dengan maksimum tiga lantai tanpa ruang bawah sebagai berikut.
(1). Kemiringan lereng
Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap longsor. Daerah dengan
kemiringan lereng yang curam akan cenderung menjadi kritis jika tidak dilakukan
penanganan yang mengikuti kaidah konservasi sehingga akan mengancam
yang curam membutuhkan konstruksi bangunan yang lebih kuat dan akibatnya
biaya akan lebih besar. Hubungan antara kemiringan lereng dengan fungsi
hidro-biologis adalah bahwa semakin kecil kemiringan lereng akan memperbesar
kemungkinan air hujan untuk meresap ke dalam tanah. Selain itu, aliran air pada
daerah datar cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam sehingga
kemungkinan timbulnya erosi kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan
lereng datar terhadap kemungkinan timbulnya gangguan kestabilan lahan
permukiman semakin kecil. Menurut Zee (1990), parameter yang menjadi
pembatas, yaitu sangat sesuai <10%, cukup sesuai 10-15%, sesuai marginal
15-20%, dan tidak sesuai >15-20%, sedangkan menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka
(2007) kemiringan lereng yang baik < 8%, sedang 8-15%, dan buruk >15%.
Selanjutnya Masykur (2005) mengemukakan kemiringan lereng akan berpengaruh
pada faktor penambahan biaya pembangunan. Untuk lahan dengan kemiringan
lereng 0-4% tidak perlu penambahan biaya, kemiringan lereng 5-10% perlu
penambahan biaya sebesar 20%, kemiringan lereng 11-15% perlu penambahan
30%, dan kemiringan lereng >15% akan memerlukan penambahan biaya sebesar
>40%. Dalam mengevaluasi kemiringan lereng yang digunakan sebagai faktor
pembatas merupakan kombinasi menurut para ahli di atas, yaitu sangat sesuai
memiliki kemiringan lereng <10%, cukup sesuai dengan kemiringan lereng
10-15%, sesuai marginal memiliki kemiringan lereng 15-20%, dan tidak sesuai
dengan kemiringan lereng >20%.
(2). Bahaya Longsor
Bahaya longsor merupakan parameter yang penting dalam menentukan
kesesuaian lahan untuk perumahan karena bahaya longsor dapat mempenaruhi
tingkat kenyamanan, dan keamanan penghuni. Oleh karena itu lokasi lahan
perumahan seharusnya terbebas dari ancaman longsor. Wilayah DAS Ciliwung
secara umum memiliki katagori bahaya longsor, sehingga parameter bahaya
longsor digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan perumahan. Menurut
Bappeda Kabupaten Bogor (2007) bahaya longsor diklasifikasikan menjadi empat
kelas yaitu: daerah bebas bahaya longsor (normal), potensi, bahaya, dan sangat
(3). Penggunaan Lahan
Fungsi utama kawasan Bopunjur sebagai konservasi air dan tanah kurang
berfungsi sebagaimana mestinya akibat perkembangan pembangunan yang pesat
dan kurang kendali. Penggunaan lahan, merupakan indikator penting dalam
mengenali kondisi keseluruhan wilayah penelitian. Hal ini berkaitan dengan
terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan, pengendalian
erosi saat musim penghujan, dan mencegah kekeringan saat musim kemarau. Oleh
karena itu, penggunaan lahan digunakan sebagai skala proporsi dengan
mengelompokkan penggunaan lahan yang berpotensi untuk dikembangkan
menjadi lahan perumahan.
Penggunaan lahan terdiri atas 4 kelas, yaitu kelas sangat sesuai atau S1
berupa lahan permukiman, kelas sesuai atau S2 berupa lahan semak belukar dan
rumput, kelas sesuai marjinal atau S3 berupa penggunaan lahan sebagai ladang,
sawah, dan perkebunan teh, dan kelas tidak sesuai atau N berupa penggunaan
lahan sebagai air dan hutan
2.6.Prilaku Manusia
Dahama dan Batnagar (1980) dalam Hidayati (1993), prilaku terbentuk
melalui proses tertentu, yang pembentukannya senantiasa berlangsung dalam
interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang berperan dalam
pembentukannya adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa
kecerdasan, dorongan atau minat perhatiannya untuk mengolah
pengaruh-pengaruh dari luar, sedangkan yang tergolong faktor eksternal adalah obyek,
orang, kelompok dari hasil kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam
mewujudkan bentuk prilaku.
Batasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup dapat dipahami
dari pengertian lingkungan hidup yang tertera pada Undang-undang RI Nomor 4
tahun 1997, tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, yaitu
lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan
makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan prilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta makhluk
Berkaitan dengan tingkah laku, Bakker (1984) menyatakan, bahwa tingkah
laku tidak hanya ditentukan oleh lingkungannya, tetapi juga sebaliknya, yaitu
lingkungan ditentukan oleh tingkah laku. Kedua hal tesebut merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan ini merupakan hubungan dua
arah atau sebagai ketergantungan ekologi.
Analisis prilaku masyarakat dilakukan dengan mengidentifikasi prilaku
masyarakat dalam merespon lingkungan atau penilaian keberlanjutan masyarakat
dalam mengelola lingkungan. Dengan kata lain, bagaimana seseorang dapat
mengelola lingkungan agar dapat memberdayakan dirinya sendiri dan masyarakat
sekitarnya sehingga kualitas lingkungan terjaga dan lingkungan perumahan
menjadi sehat.
Parameter prilaku masyarakat yang digunakan ditinjau dari beberapa aspek,
antara lain.
1. Kondisi Sosial Ekonomi
Parameter yang digunakan untuk menilai keberlanjutan dari kondisi
sosial-ekonomi pada perumahan adalah.
a. Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga merupakan anggota yang tinggal dalam pengelolaan
sumber daya keluarga, yang terdiri atas bapak, ibu, anak, dan anggota keluarga
lainnya. Berdasarkan kriteria norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera yang
dikemukakan oleh BKKBN (2002) besar keluarga dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu keluarga kecil ≤ 4 orang (bapak, ibu, dan dua anak), keluarga
sedang terdiri atas 5-6 orang, dan keluarga besar terdiri atas ≥ 7 orang. Jumlah
anggota keluarga terkait dengan jumlah kebutuhan ruang yang diperlukan
pada rumah sehingga berpengaruh pada tingkat kenyamanan penghuni.
b. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dapat menggambarkan kemampuan kognitif. Pendidikan
mempunyai pengaruh yang besar baik untuk rumah tangga maupun untuk
masyarakat sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga
(KRT) semakin baik pengetahuannya mengenai perumahan atau tempat
tinggalnya, khususnya kesehatan pribadi dan lingkungan sehingga
(BPS, 2006). Hal ini sejalan dengan pendapat Susanto (1997), semakin tinggi
tingkat pendidikan formal akan semakin luas tingkat pengetahuan seseorang
untuk melakukan pengelolaan permukiman lebih baik.
c. Umur responden
Umur merupakan salah satu identitas yang dapat mempengaruhi pola fikir dan
kemampuan kerja (Purwanti, 2007).
d. Jenis pekerjaan dan jumlah pendapatan
e. Kondisi kesehatan, meliputi luas bangunan, pencahayaan dan penghawaan,
fasilitas air bersih dan air kotor, pembuangan limbah padat dan cair, serta
pembuangan sampah.
2. Aspek Budaya dan Prilaku
Parameter yang digunakan dalam menilai keberlanjutan dari aspek budaya
dan prilaku adalah.
a. Kearifan lokal (tipe bangunan, pemakaian bahan bangunan, konstruksi
bangunan).
b. Prilaku masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.
2.7. Sistem Informasi Geografis
Sistem informasi geografi (SIG) merupakan teknologi untuk penanganan
data spasial. SIG terdiri atas perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang
mampu menangkap, menyimpan dan memproses informasi spasial berupa data
kualitatif dan kuantitatif, menyatukan, dan menginterpretasi peta (Farina, 1998).
Menurut Star dan Estes (1990), SIG merupakan suatu sistem informasi yang
menggunakan data referensi berupa spasial (koordinat geografi) dan non spasial.
SIG umumnya dipergunakan untuk bidang pekerjaan perencanaan kota dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan bidang lainnya. SIG merupakan
penggantian peta-peta yang terbuat dari kertas ke file-file yang ditampilkan di
layar komputer. Proses penyusunan SIG meliputi pengumpulan data dalam
berbagai bentuk, pemasukan data, pengelolaan data, pengolahan dan analisis, dan
terakhir berupa hasil produk.
Aplikasi SIG selain untuk menyimpan data, mengorganisir dan
dapat membuat berbagai model (seperti rupa bumi, DAS, dan sistem pertanian),
bahkan simulasi yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut Foote and Lynch (1996),
tiga hal penting yang dimiliki oleh SIG, yaitu (1) SIG berhubungan dengan
berbagai aplikasi database lainnya dengan menggunakan geo-reference sebagai
dasar utama dalam proses penyimpanan dan akses informasi, (2) SIG merupakan
sebuah teknologi yang terintegrasi karena dapat menyatukan berbagai teknologi
geografi yang ada seperti penginderaan jauh, Global Positioning System (GPS),
dan Computer-Aided Design (CAD), dan (3) SIG dapat membantu dalam proses
pengambilan keputusan, bukan hanya dilihat sebagai sistem perangkat
keras/lunak. Selanjutnya Cabuk (1995) menyatakan penggunaan SIG dalam studi
perencanaan lanskap dua dimensi berdasarkan data dan analisis lingkungan alami,
budaya, sosial-ekonomi, dan data demografi merupakan jalan terbaik. Dengan
SIG dapat ditentukan penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukung dan
3.1. Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret hingga September 2007 di hulu DAS Ciliwung, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, hulu DAS Ciliwung terletak pada 106º55’00”-107º00’00” Bujur Timur dan 06º35’00”-06º45’00” Lintang Selatan. Lokasi penelitian terletak di Kampung Neglasari dan Kampung Pondok Caringin (Desa Tugu Utara) di daerah hulu atas yang berada di ketinggian 1.000-1.050 m dpl, Kampung Cilember Abaya dan Kampung Cirangrang (Desa Cilember) di daerah hulu tengah yang berada di ketinggian 700-750 m dpl, dan Kelurahan Katulampa di daerah hulu bawah yang berada di ketinggian 300-350 m dpl (Gambar 2). Kelima kampung ini dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut masing-masing memiliki karakteristik topografi, iklim, hidrologi, dan keadaan sosial-ekonomi kependudukan yang relatif berbeda sehingga diharapkan memberikan masukan dalam menyusun rekomendasi menuju perumahan sehat dan berwawasan Lingkungan di bagian hulu DAS Ciliwung.
Wilayah penelitian ini juga terkait dengan penelitian sebelumnya, yaitu dalam ruang lingkup DAS dalam bentuk Hibah Penelitian Tim Pascasarjana angkatan IV dalam periode 2006-2008, yang merupakan kerjasama Ditjen DIKTI dan Departemen Arsitektur Lanskap IPB.
3.2. Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peta Rupa Bumi Indonesia tahun 1998 lembar 1209-141 dan 1209-142 skala 1 : 25.000 produksi Bakosutranal, peta digital landuse DAS Ciliwung, peta tanah DAS Ciliwung Hulu, peta kemiringan lereng, peta elevasi, dan peta curah hujan dalam bentuk digital (PPLH IPB), dan data curah hujan 2004.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini alat tulis, kamera digital, Global Positioning System (GPS), roll meter, scanner, kuisioner, komputer, printer, dan Software Arc View versi 3.2.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini meliputi empat kajian, yaitu (1) evaluasi kesesuaian lahan perumahan, (2) kondisi perumahan, (3) prilaku masyarakat dalam pengelolaan lingkungan perumahan di hulu DAS Ciliwung, dan (4) rekomendasi kriteria menuju perumahan sehat dan berwawasan lingkungan. Kegiatan penelitian ini dilakukan dalam 4 tahap sebagai berikut.
(1). Prasurvei
Kegiatan prasurvei dipusatkan pada penelusuran pustaka, deliniasi peta, dan penentuan lokasi sampel penelitian. Penelusuran pustaka dilakukan untuk mengetahui hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan topik penelitian. Delinasi lokasi penelitian dilakukan berdasarkan batas kawasan DAS Ciliwung Hulu dan peta rupa bumi Indonesia lembar 1209-142, 1209-144 dan 1209-231 produksi Bakosurtanal.
(2). Pengumpulan Data
dengan penentu kebijakan. Penyebararan kuisioner dilakukan terhadap 90 responden dalam lokasi sampel dengan mengikuti metode pengambilan contoh dengan tujuan (purposive sampling).
(3). Pengolahan Data
Pengolahan data dengan pendekatan membandingkan kondisi yang ada dengan parameter-parameter sebagai faktor pembatas, meliputi evaluasi kesesuaian lahan, kondisi perumahan, dan prilaku masyarakat (Gambar 3).
Gambar 3. Tahapan penelitian
3.3.1. Evaluasi Kesesuaian Lahan Perumahan di Hulu DAS Ciliwung
Evaluasi kesesuaian lahan bertujuan mengevaluasi dan menganalisis kesesuaian lahan perumahan pada tiga desa terpilih, yang ditinjau dari aspek
Menentukan sampel perumahan di lokasi penelitian
Pepres No.58 tahun 2008 UU No.26 tahun 2007 UU Nomor 4 Th 1992 Kepmenkes No. 829/ Menkes SK/VII/1999
Menyusun rekomendasi kriteria perumahan sehat berwawasan lingkungan di bagian hulu DAS Ciliwung
HULU DAS CILIWUNG
Data spasial kemiringan lereng, bahaya longsor, dan
penggunaan lahan
Data non spasial mengetahui karakteristik perumahan dan
biofisik (kemiringan lereng, bahaya longsor, dan penggunaan lahan). Klasifikasi kesesuaian lahan dilakukan satu tahap secara kualitatif, berdasarkan kecocokan lahan untuk penggunaan perumahan, dengan cara membandingkan kualitas masing-masing satuan peta dengan persyaratan penggunaan lahan yang diterapkan (Hardjowigeno et al 2004). Bagan alir proses evaluasi lahan perumahan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Bagan alir proses evaluasi lahan perumahan
(1). Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan melalui lembaga atau instansi terkait, yaitu Bakosurtanal, PPLH IPB, BMG, Bappeda, Dinas Cipta Karya, kantor tingkat kecamatan dan desa, hasil penelitian terdahulu, dan survei lapangan.
(2). Jenis data
Data yang dikumpulkan meliputi data biofisik yang terdiri atas kemiringan lereng, bahaya longsor, dan penggunaan lahan.
(3). Pengolahan data
a. Penyiapan peta dasar dan peta tematik, dilakukan dengan digitasi peta hulu DAS Ciliwung untuk mengetahui batasan hulu DAS Ciliwung dan selanjutnya melakukan konversi untuk memperoleh peta tematik. Untuk mendapatkan peta penggunaan lahan, dilakukan dengan klasifikasi citra Landsat ETM 2006, sedangkan peta kemiringan lereng diperoleh dari peta kontur dengan tahapan diolah menjadi tin, convert to grid, derivy slope, dan
Persiapan kegiatan evaluasi kesesuaian lahan perumahan di bagian hulu DAS Ciliwung
Peta kemiringan lereng, peta bahaya longsor, dan peta penggunaan lahan
Parameter sebagai faktor pembatas
reclassify. Koreksi geografik dilakukan menggunakan Arcview Image Analysist.
b. Proses tumpang susun (overlay) menggunakan SIG dengan software ArcView versi 3.2 dilakukan untuk mengetahui kelas kesesuaian lahan. Proses ini dilakukan dengan menumpangsusunkan peta-peta tematik sehingga diperoleh peta kesesuaian lahan perumahan berwawasan lingkungan. Penentuan kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan pembandingan persyaratan penggunaan lahan dengan kualitas lahan. Klasifikasi kesesuaian lahan perumahan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi kesesuaian lahan perumahan
Karakteristik Lahan Kualitas Lahan untuk Kelas Kesesuaian Lahan
S1 S2 S3 N
Kemiringan lereng <10% 10-15% 15-20% >20%
Bahaya longsor Normal Potensial Bahaya Sangat potensial
Penggunaan lahan Permukiman Semak
belukar,
Sumber: Zee (1990); Harjowigeno et al (2001). 3.3.2. Kondisi Perumahan
Analisis kondisi perumahan di hulu DAS Ciliwung bertujuan mengevaluasi kondisi fisik perumahan dan kondisi sosial-ekonomi.
(1) Sampel perumahan
Pemilihan sampel kampung di wilayah DAS berdasarkan besarnya jumlah penduduk dari desa yang terpilih. Dari kampung yang terpilih, diambil 15 rumah yang dipilih secara acak sehingga jumlah total sampel sebanyak 90 rumah dan penghuni. Populasi adalah permukiman di hulu DAS Ciliwung Hulu mencakup tiga desa, yaitu Desa Tugu Utara, Desa Cilember, dan Kelurahan Katulampa. (2). Pengumpulan data
Data diperoleh dari hasil wawancara dengan masyarakat, pengamatan fisik perumahan, dan data demografi desa.
(3). Jenis data