• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi metode klasifikasi linear sebagai pengukur produktivitas sapi perah di Kecamatan Lembang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi metode klasifikasi linear sebagai pengukur produktivitas sapi perah di Kecamatan Lembang"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI METODE KLASIFIKASI LINIER SEBAGAI

PENGUKUR PRODUKTIVITAS SAPI PERAH DI

KECAMATAN LEMBANG

RICCO SYAH PUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Metode Klasifikasi Linear sebagai Pengukur Produktivitas Sapi Perah di Kecamatan Lembang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

(4)
(5)

ABSTRAK

RICCO SYAH PUTRA. Potensi Metode Klasifikasi Linear sebagai Pengukur Produktivitas Sapi Perah di Kecamatan Lembang. Dibimbing oleh RP AGUS LELANA.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan potensi metode linear klasifikasi dalam pengukuran produksi susu pada sapi perah. Sebanyak 99 sapi perah di Lembang digunakan dalam penelitian ini. Pengukuran klasifikasi linear hanya dilakukan terhadap 7 ciri-ciri yaitu panjang puting, pertautan ambing depan, letak puting depan, kedalaman ambing, tinggi ambing belakang, ligamentum tengah, dan letak puting belakang. Penilaian setiap ciri dikategorikan dalam 3 skala. Selain itu, dicatat jumlah produksi susu dan masa laktasi. Data dianalisis secara deskriptif dan dikorelasikan terhadap 7 ciri dan jumlah produksi susu. Hasil menunjukkan bahwa klasifikasi linear paling banyak terdapat pada kategori sedang. Korelasi yang signifikan (p<0.05) antara klasifikasi linear dan produksi susu hanya ditemukan pada pertautan ambing depan (r=-0.269), kedalaman ambing (r=-0.283), dan ligamentum tengah (r=0.234). Penelitian ini menunjukkan bahwa klasifikasi linear berpotensi sebagai pengukur produktivitas sapi perah, namun perlu penelitian dengan pengamatan pada hewan yang sama sepanjang masa laktasi untuk memperkuat hipotesis ini.

Kata kunci: klasifikasi linear, produksi susu

ABSTRACT

RICCO SYAH PUTRA. Potency of Linear Classification Method as Measurement of Dairy Cattle Productivity in Lembang. Supervised by RP AGUS LELANA.

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(8)
(9)

POTENSI METODE KLASIFIKASI LINIER SEBAGAI

PENGUKUR PRODUKTIVITAS SAPI PERAH DI

KECAMATAN LEMBANG

RICCO SYAH PUTRA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Skripsi : Potensi Metode Klasifikasi Linear sebagai Pengukur Produktivitas Sapi Perah di Kecamatan Lembang

Nama : Ricco Syah Putra

NRP : B04080120

Disetujui oleh

Dr Drh R P Agus Lelana, SpMP, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono MS, PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(12)
(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli 2012 ini ialah produktivitas sapi perah, dengan judul Potensi Metode Klasifikasi Linear sebagai Pengukur Produktivitas Sapi Perah di Kecamatan Lembang.

Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh RP Agus Lelana, SpMP, MS selaku pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr.med.vet. Drh Ahmad Arif Amin selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Pammusureng atas bantuan dan arahannya selama penelitian. Kepada Bapak Dr.med.vet. drh Denny Widaya Lukman, MSi diucapkan terima kasih atas saran dan dukungannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, serta sahabat-sahabat sepenelitian dan Angkatan 45 dan 46 atas semangat yang terus diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Agustus 2013

(15)
(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 1

Manfaat 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Karakteristik Sapi Friesian Holstein 2

Produksi Susu Sapi Perah 2

Klasifikasi Linear 3

METODE 3

Lokasi dan Waktu 3

Alat dan Bahan 3

Metode Penelitian 4

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Panjang Puting 5

Letak Puting Depan 6

Pertautan Ambing Depan 6

Kedalaman Ambing 7

Tinggi Ambing Belakang 8

Ligamentum Tengah 8

Letak Puting Belakang 9

Produksi Susu 9

Hubungan Antara Klasifikasi Linear dan Produksi susu 10

SIMPULAN DAN SARAN 11

DAFTAR PUSTAKA 12

LAMPIRAN 14

(17)
(18)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah sapi perah di Desa Sukajaya 4

2 Skala panjang puting berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang

5

3 Skala letak puting depan berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang

6

4 Skala pertautan ambing depan berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang

7

5 Skala kedalaman ambing berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang

7

6 Skala tinggi ambing belakang berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang

8

7 Skala ligamentum tengah berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang

8

8 Skala letak puting belakang berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang

9

9 Rata-rata produksi susu di Desa Sukjaya 10

10 Hubungan antara komponen klasifikasi linear dan produksi susu di Lembang

11

DAFTAR LAMPIRAN

(19)
(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu merupakan salah satu komoditas peternakan yang mempunyai kandungan protein hewani yang berkualitas. Pada dasarnya, antara persediaan dan permintan susu di Indonesia terjadi kesenjangan yang cukup besar. Kebutuhan akan susu lebih besar daripada ketersediaan produksi susu dalam negeri. Kebutuhan akan susu di Indonesia sebesar 5 kg/kapita/tahun, tetapi baru terpenuhi dari dalam negeri sekitar 32% dan sisanya 68% diimpor dari luar negeri. Untuk memenuhi kebutuhan susu dari dalam negeri, perlu dilakukan upaya peningkatan produksi susu dengan cara peningkatan populasi dan produktivitas sapi perah.

Produktivitas sapi perah dipengaruhi oleh mutu genetik, faktor lingkungan, dan interaksi antara keduanya. Faktor lingkungan berperan besar, yaitu sekitar 70% dibandingkan dengan faktor genetik. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu terdiri dari faktor lingkungan ekstenal dan internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berpengaruh dari luar tubuh ternak diantaranya iklim, pakan, dan manajemen, sedangkan faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam tubuh sapi atau termasuk dalam aspek biologis dari sapi tersebut diantaranya masa laktasi, masa kering kandang, masa kosong, dan selang beranak. World Holstein Friesian Federation (WHFF) telah menetapkan sistem penilaian standar peringkat sapi perah Friesian-Holstein (FH) berdasarkan 16 parameter yang dinilai secara objektif (WHFF 2005). Penilaian ini bermanfaat untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas sapi perah.

Lembang merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah di Jawa Barat. Populasi sapi perah di Lembang pada tahun 2011 mencapai 20 789 ekor dengan produksi susu sebanyak 98 500 liter per hari (KPSBU 2011). Potensi populasi dan produksi sapi perah yang besar menjadikan Lembang sebagai sentra produksi susu dan prospektif dalam pengembangan peternakan sapi perah. Peternakan sapi perah di Lembang merupakan peternakan rakyat yang tergabung dalam wadah Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Bandung.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi metode klasifikasi linear terhadap pengukuran produksi susu pada sapi perah.

Manfaat

(21)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Sapi Friesian Holstein

Bangsa sapi perah FH adalah bangsa sapi perah yang sangat menonjol di Amerika Serikat yang jumlahnya cukup banyak. Sapi FH berasal dari Negeri Belanda yaitu Provinsi Holand Utara dan Friesland Barat (Blakely dan Bade 1994). Sapi FH murni memiliki warna rambut hitam dan putih (black and white) atau merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas (Sudono 1999). Sapi FH memiliki karakteristik warna rambut putih pada dahi yang berbentuk segitiga, kaki bagian bawah, dan ekor; bertanduk pendek yang menjulur ke depan; bersifat tenang dan jinak; tidak tahan panas, namun cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sapi ini termasuk bangsa sapi yang besar, berat dewasa mencapai 800-900 kg untuk jantan dan 550-650 kg untuk betina (Ginting dan Sitepu 1989). Bobot anak sapi yang baru dilahirkan mencapai 43 kg. Betina beranak pertama kali pada umur 28-32 bulan, kemudian dapat melahirkan kembali setiap 13-14 bulan.

Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, akan tetapi mengandung kadar lemak susu yang rendah. Produksi susu sapi FH di Amerika Serikat rata-rata 7 245 kg /laktasi dengan kadar lemak 3.65%, sementara rataan produksi susu di Indonesia sekitar 3 050 kg/laktasi (Sudono 1999).

Produksi Susu Sapi Perah

Sapi perah dipelihara untuk menghasilkan susu, sehingga produktivitas sapi perah ditentukan oleh jumlah susu yang dihasilkan. Susu merupakan suatu bahan makanan alami yang mendekati sempurna dengan kandungan protein, mineral, dan vitamin yang tinggi, sehingga susu merupakan sumber makanan yang esensial (Blakely dan Bade 1994).

Produksi susu biasanya cukup tinggi setelah 6 minggu masa laktasi sampai mencapai produksi maksimum, setelah itu terjadi penurunan produksi secara bertahap sampai akhir masa laktasi. Penurunan produksi susu terjadi setelah mencapai puncak laktasi, kira-kira 6% setiap bulannya (Blakely dan Bade 1994). Produksi puncak tergantung pada kondisi tubuh induk pada saat melahirkan, genetik, metabolisme, infeksi penyakit, dan kualitas pakan (Schmidt et al. 1988). Induk yang mengalami penurunan produksi setelah puncak produksi berarti mempunyai persistensi yang rendah. Persistensi produksi adalah kemampuan sapi induk untuk mempertahankan produksi tinggi selama masa laktasi, yang dipengaruhi antara lain oleh umur, kondisi saat beranak, lama masa kering kandang sebelumnya, serta kualitas dan kuantitas pakan (Blakely dan Bade 1994).

(22)

3

90%, laktasi keempat 95% dari total produksi susu dengan selang beranak 12 bulan dan beranak pertama pada umur 2 tahun (Ensminger 1971).

Klasifikasi Linear

Pada tahun 1986 The European Holstein-Friesian Federation (EHFF) membentuk kelompok kerja untuk menguji harmonisasi sistem klasifikasi jenis, dengan tujuan mempersiapkan rekomendiasi untuk harmonisasi klasifikasi jenis termasuk definisi ciri-ciri, klasifikasi sistem, publikasi dan evaluasi. Ciri-ciri jenis linear (linear type traits) merupakan dasar dari semua sistem klasifikasi jenis yang modern dan dasar semua sistem yang mendeskripsikan sapi perah. Klasifikasi linear didasari pada pengukuran ciri-ciri jenis individu sapi dari pada pendapat penilai. Kelebihan penilaian linear ini adalah (1) ciri-ciri dinilai (skor) secara individu, (2) skor mencakup rentang biologis, (3) variasi dalam ciri dapat diidentifikasi, dan (4) peringkat (degree) yang dinilai/dicatat (WHFF 2005).

Menurut WHFF (2005) ciri-ciri standar yang diukur berdasarkan ciri-ciri standar internasional meliputi (1) tinggi badan (stature), (2) lebar dada (chest width), (3) kedalaman tubuh (body depth), (4) angularity, (5) sudut pinggul (rump angle), (6) lebar pinggul (rump width), (7) kaki belakang dilihat dari belakang (rear legs rear view), (8) bentuk kaki belakang (rear legs set), (9) sudut kuku (foot angle), (10) pertautan ambing depan (fore udder attachment), (11) letak puting depan (front teat placement), (12) panjang puting (teat length), (13) kedalaman ambing (udder depth), (14) tinggi ambing belakang (rear udder height), (15) ligamentum tengah (central ligament), dan (16) posisi puting belakang (rear teat position).

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Desa Sukajaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Penelitian berlangsung selama 3 minggu pada bulan Juli 2012.

Alat dan Bahan

Sapi Perah

(23)

4

Tabel 1 Jumlah sapi perah di Desa Sukajaya KPSBU Lembang

Status fisologis sapi perah Jumlah (ekor) Sapi Induk

- Kosong 196

- Bunting 2-6 bulan 146 - Bunting 7-9 bulan 50 Sapi Dara

- Kosong 119

- Bunting 2-6 bulan 15 - Bunting 7-9 bulan 5 Pedet

- Jantan 47

- Betina 73

Jantan dewasa 21

Jumlah 672

Sumber KPSBU (2011)

Peralatan

Peralatan yang digunakan adalah alat tulis dan pita ukur dengan satuan terkecil 0.1 cm.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan data primer yang didapatkan dengan cara pengamatan, pengukuran dan wawancara secara langsung dengan peternak. Data primer yang diambil adalah data sapi perah. Pengambilan data meliputi nama peternak, nomor sapi, masa laktasi (bulan laktasi), jumlah konsentrat (kg/hari), jumlah hijauan (kg/hari), dan jumlah produksi susu (liter/hari).

Data primer lain yang diambil adalah ciri klasifikasi linear yang diperoleh dengan melakukan pengamatan secara visual dan melakukuan pengukuran langsung dengan pita ukur pada tiap individu sapi perah. Penilaian terhadap ciri-ciri klasifikasi linear dikategorikan dalam 3 skala, yaitu kurang baik dengan skala 1-3, normal dengan skala 4-6, dan sempurna dengan skala 7-9. Ciri klasifikasi linear yang diukur pada penelitian ini ada 7 sifat luar yaitu pertautan ambing belakang, tinggi ambing belakang, posisi putting belakang, ligamentum tengah, kedalaman ambing, letak putting depan,dan panjang puting.

(24)

5

Posisi puting belakang, sifat ini menunjukkan kapasitas ambing dan kemampuan ambing dalam memproduksi susu. Ligamentum tengah, penilaian dilakukan terhadap ambing bagian bawah, dilakukan dari belakang sapi, yang meliputi kedalaman dari ligamen yang menyangga ambing yang memanjang dari depan ke belakang yang terletak di tengah-tengah ambing. Kedalaman ambing digambarkan sebagai posisi relatif dan dasar ambing terhadap sendi tumit dan terhadap garis horisontal. Letak puting depan dinilai berdasarkan kedudukan putting sapi dari belakang sapi. Puting susu yang baik memudahkan proses pemerahan. Panjang puting ditujukan untuk mengevaluasi panjang putting sapi perah. Jika panjang puting setiap kuartir tidak sama, maka panjang puting yang diukur adalah puting yang terpanjang.

Analisis Data

Data hasil pengukuran klasifikasi linear dan produksi susu dianalisis secara deskriptif, serta korelasi antara klasifikasi linear dan produksi susu menggunakan program SPSS 16 dan Microsoft Excel 2007.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Panjang Puting

Hampir semua (99%; n=98) panjang puting sapi perah di Lembang termasuk pada skala sedang (skala 4-6). Berdasarkan periode laktasi, panjang puting dengan skala sedang paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (30.3%; n=30) dan diikuti laktasi ke-3 (18.2%; n=18), laktasi ke-1 (15.2%; n=15), laktasi ke-4 dan 5.(11.1%; n=11). Panjang puting lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2.

(25)

6

Furstenberg Rosette 1 cm lebih tidak berbeda nyata dengan sapi Holstein, Brown Swiss, Simmental dan persilangannya.

Puting susu belakang biasanya lebih pendek dibandingkan dengan puting susu depan. Puting susu yang pendek lebih menguntungkan dibanding dengan yang panjang, karena dalam pengguaan mesin milk-flow rate-nya lebih cepat, dengan kata lain sapi dengan puting panjang diperah lebih lama dari pada puting pendek (Bath et al. 1985).

Letak Puting Depan

Umumnya (83.8%; n=83) letak puting depan sapi perah di Lembang termasuk dalam puting yang terletak di tengah kuartir (skala 4-6). Berdasarkan periode laktasi, panjang puting yang terletak ditengah kuartir paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (25.3%; n=25) dan diikuti laktasi ke-3 (16.2%; n=16), laktasi ke-1 (13.1%; n=13), dan laktasi ke-5 (9.1%; n=9). Skala letak puting lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3.

Letak puting merupakan sifat fisik terpenting kedua dalam karakteristik ambing. Puting yang terletak di tengah kuartir akan lebih mudah untuk diperah (Stamschror et al. 2000). Letak puting dipengaruhi pula oleh cara pemerahan manual. Hampir semua pemerahan di Lembang dilakukan secara manual, dengan posisi wadah penampung susu dan pemerah berada di lateral sapi, sehingga puting diperah ke arah lateral. Selain itu, pada saat laktasi adanya penarikan puting oleh anak sapi ke arah lateral.

(26)

7

Pertautan ambing depan adalah salah satu evaluasi kekuatan ambing bagian depan dengan bagian tubuh yang diikat oleh ligamentum lateral. Ini adalah sifat fisik terpenting ketiga dalam penilaian ambing, dengan jumlah tonjolan pembuluh darah yang banyak pada ambing diharapkan dapat menghasilkan jumlah produksi yang tinggi (Stamschror et al. 2000). Pertautan pada bagian belakang sebaiknya tinggi dan lebar, dan tiap kuartir sebaiknya simetris, gambaran eksternal ini memberi arti produktivitas dari sapi tersebut (Bath et al. 1985).

Kedalaman Ambing

Umumnya (74.7%; n=74) kedalaman ambing sapi perah di Lembang termasuk skala sedang, yang mana ambingnya memiliki posisi sejajar dengan hock (skala 4-6). Berdasarkan periode laktasi, kedalaman ambing dengan skala sedang paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (21.2%; n=21) dan diikuti laktasi ke-3 (14.1%; n=14), laktasi ke-5 (11.1%; n=11), laktasi ke-4 (10.1%; n=10). Skala kedalaman ambing lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Skala kedalaman ambing berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di

(27)

8

Tinggi Ambing Belakang

Hampir semua (95%; n=94) tinggi ambing belakang di Lembang termasuk pada skala sedang (skala 4-6). Berdasarkan periode laktasi, tinggi ambing belakang skala sedang paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (26.3%; n=26) dan diikuti laktasi ke-3 (17.2%; n=17), laktasi ke-1 (15.2%; n=15), laktasi ke-4 dan ke-5 (12.1%; n=12). Informasi lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 6. Tinggi ambing belakang menentukan kapasitas ambing, jadi semakin lebar jarak antara vulva dan bagian atas ambing semakin banyak jumlah susu yang dihasilkan (Stamschror et al. 2000).

Tabel 6 Skala tinggi ambing belakang berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang termasuk tipe sedikit dalam (skala 4-6). Berdasarkan periode laktasi, ligamentum tengah dengan tipe sedikit dalam paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (n=21; 21.2%) dan diikuti laktasi ke-3 (15.2%; n=15), laktasi ke-1 (13.1%; n=13), laktasi ke-5 (10.1%; n=10). Informasi lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Skala ligamentum tengah berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang

(28)

9

suspensori median berguna agar ambing dapat membesar bila berisi susu (Bath et al. 1985).

Letak Puting Belakang

Umumnya (81.8%; n=81) letak puting belakang sapi perah di Lembang termasuk dalam puting yang terletak di tengah kuartir (skala 4-6). Berdasarkan periode laktasi, letak puting belakang yang terletak ditengah kuartir paling banyak ditemukan pada laktasi ke-2 (25.3%; n=25) dan diikuti laktasi ke-3 dan ke-5 (12.1%; n=12), serta laktasi ke-1 dan ke-4 (10.1%; n=10). Informasi lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 8.

Letak puting merupakan sifat fisik terpenting kedua dalam karakteristik ambing Puting yang terletak di tengah kuartir akan lebih mudah untuk diperah, tapi ada sebagian peternak yang salah dalam melakukan pemerahan (Stamschror et al. 2000). Letak puting dipengaruhi pula oleh cara pemerahan manual. Hampir semua pemerahan di Lembang dilakukan secara manual, dengan posisi wadah penampung susu dan pemerah berada di lateral sapi, sehingga puting diperah ke arah lateral. Selain itu, pada saat laktasi adanya penarikan puting oleh anak sapi ke arah lateral.

Tabel 8 Skala letak puting belakang berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang sebesar 15.9 liter/ekor/hari, berdasarkan periode laktasi produksi susu tertinggi ditemukan pada laktasi 8, diikuti oleh laktasi 6, laktasi 3, dan laktasi ke-7 (Tabel 9).

(29)

10

Tabel 9 Rata-rata produksi susu di Desa Sukjaya

Laktasi ke- Produksi susu (liter per hari)

Rata-rata Maksimum Minimum Simpangan baku

1 13.0 20.0 4.0 5.1

2 16.0 28.0 8.0 4.7

3 17.3 30.0 3.0 7.2

4 14.9 20.0 10.0 3.4

5 15.4 20.0 8.0 3.2

6 19.3 37.0 10.0 8.4

7 16.5 22.0 12.0 4.4

8 20.0 20.0 - -

9 12.0 12.0 - -

Total 15.9 37.0 3.0 5.43

Jumlah sel pembentuk susu adalah faktor utama yang membatasi tingkat produksi susu. Tingkat awal kebuntingan relatif sedikit berpengaruh terhadap produksi susu atau jumlah sel ambing (Bath et al. 1985). Secara alami, kehilangan sel sekretori, baik secara fisiologis maupun secara patologis, dapat menyebabkan penurunan jumlah produksi susu. Oleh karena itu, pemeliharaan jumlah maksimal sel sekretori sangat dianjurkan, terutama bagi sapi dengan produksi tinggi, karena jika sel sekretori tidak ada maka susu tidak terbentuk (Bath et al. 1985).

Menurut Bath et al. (1985) produksi susu pada sapi perah mulai menurun kira-kira pada umur 8 tahun, tetapi itu bergantung pada bangsa sapi. Sapi yang telah melahirkan lebih dari 2 kali menghasilkan susu 25% lebih banyak daripada sapi yang baru melahirkan 1 anak. Peningkatan berat tubuh menaikkan hasil susu sebanyak 5%, sedangkan sisanya yang 20% karena perkembangan ambing selama kebuntingan. Rata-rata produksi yang dihasilkan pada laktasi ke-6 dan ke-7 dalam penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Bath et al. (1985). Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh genetik sapi, serta kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan oleh peternak.

Hubungan Antara Klasifikasi Linear dan Produksi Susu

(30)

11

Tabel 10 Hubungan antara komponen klasifikasi linear dan produksi susu di Lembang

Korelasi (r)

PP LPD PAD KA TAB LT LPB

Produksi

susu 0.019 0.007 -0.269* -0.283* 0.195 0.234* 0.007

PP = panjang puting; LPD = lerak puting depan ; PAD = pertautan ambing depan; KA = kedalaman ambing; TAB = tinggi ambing belakang; LT = ligamentum tengah; LPB = letak puting belakang

* nyata pada p <0.05

Beberapa studi melaporkan hubungan antara produksi susu dan linear type

traits (Thompson et al. 1981; Foster et al. 1989; Short dan Lawlor 1992). Korelasi negatif yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian

Foster et al. (1989) dan Short dan Lawler (1992), kecuali korelasi ligamentum

tengah dengan produksi susu dalam penelitian ini menunjukkan positif. Selanjutnya korelasi positif yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan

hasil penelitian Foster et al. (1989) dan Short dan Lawler (1992).

Sebagai analisis penelitian tersebut diatas dapat digambarkan bahwa ada terdapat hubungan antara klasifikasi linear dengan prokduksi susu, terdapat 3 ciri yang memiliki korelasi yang nyata yaitu pertautan ambing depan (r= -0.269), korelasi pertautan ambing depan bernilai negatif berarti semakin lemah pertautan ambing maka semakin tinggi produksi susu nya. Selanjutnya, kedalaman ambing

(r= -0.283), korelasi kedalaman ambing bernilai negatif berarti apabila letak

ambing di bawah hock maka semakin tinggi produksi susu nya. Selanjutnya, ligamentum tengah (r= 0.234), korelasi ligamentum tengah bernilai positif berarti semakin bentuknya mengarah kedalam maka produksi susu semakin tinggi. Selain itu, berdasarkan tujuh kategori penilaian klasifikasi linear yaitu panjang puting, letak puting depan, pertautan ambing depan, kedalaman ambing, tinggi ambing belakang, ligamentum tengah, dan letak puting belakang, skala yang umum didapat adalah skala menengah (skala 4-6), dan berdasarkan periode laktasi maka laktasi kedua adalah laktasi yang paling umum ditemukan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Metode Klasifikasi Linear dapat digunakan sebagai cara praktis untuk menduga produktivitas sapi perah dengan tingkat kekuatan hubungan yang lemah (r=0,2-0,3)

Saran

(31)

12

DAFTAR PUSTAKA

Bath DL, Dickinson FN, Tucker HA. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. Ed ke-3. Philladelphia (US): Lea & Febiger.

Blakely J, Bade DH. 1994. Ilmu Peternakan. Ed ke-4. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.

Ensminger ME. 1971. Dairy Cattle Science. Animal Agriculture Series. Ed ke-1. Davile, Illinois (US): The Interstate.

Foster WW, Freeman AE, Berger PJ, Kuck A. 1989. Association of type traits

scored linearly with production and herdlife of Holsteins. J Dairy Sci.

72:2651–2664.

Ginting N, Sitepu P. 1989. Teknik Beternak Sapi Perah di Indonesia. Bogor (ID): Rekan Anda Setiawan.

[KPSBU] Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara. 2011. Data produksi susu tahun 2011. Lembang (ID): KPSBU.

Schmidt GH, Van Vleck LD, Hutjens MF. 1988. Principles of Dairy Science. Ed ke-2. New Jersey (US): Prentice-Hall.

Short TH, Lawler TJ. 1992. Genetic parameters of conformation traits, milk

yield, and herdlife in Holsteins. J Dairy Sci.75:1987–1998.

Stamschror J, Seykora T, Hansen L. 2000. Judging dairy cattle. Minnesota (US): Univ. Minnesota. [Internet]. [diunduh 2012 Nov 25]; Tersedia pada http://www.aphis.usda.gov/animal_health/emergingissues/compensation/do wnloads/judgingdairycattle.pdf

Sudono A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Bogor (ID): Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Thompson JR, Freeman AE, Wilson DJ, Chapin CA, Berger PJ, Kuck A. 1981.

Evaluation of a linear type program in Holsteins. J Dairy Sci. 64:1610–

1617.

Walstra P, Wouters, JTM, Geurts TJ. 2006. Dairy Science and Technology. Ed ke-2. Boca Raton, Florida (US): CRC Pr.

[WHFF] World Holstein Friesian Federation. 2005. International type evaluation of dairy cattle [Internet]. [diunduh 2012 Des 26]. Tersedia pada http://www.whff.info/info/typetraits/type_en_2005-2.pdf.

(32)
(33)
(34)

15

Lampiran 1 Kuesioner untuk peternak sapi perah

No/nama

kandang Kandang khusus pedet Kandang melahirkan Jenis lantai

฀ Tidak ada

minum Sumber air Mutu air Ventilasi

฀ Tidak ada

฀ Dipakai air minum

peternak

฀ Tidak dipakai air minum peternak

Tempat makan Kotoran sapi Kebersihan Kenyamanan sapi

฀ tinggi

฀ diolah jadi kompos

฀ langsung ke Got

Klasifikasi linear Skala

(35)

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Maret 1991. Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Artiansyah dan Ibu Yanni.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Trisula Tanjungpandan pada tahun 1996 dan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 9 Tanjungpandan pada tahun 2002. Pendidikan tingkat menengah di SMP Negeri 1 Tanjungpandan diselesaikan pada tahun 2005. Pendidikan tingkat atas dapat diselesaikan pada tahun 2008 di SMA Negeri 1 Tanjungpandan.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008.

Gambar

Tabel 1  Jumlah sapi perah di Desa Sukajaya KPSBU Lembang
Tabel 2 Skala panjang puting berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang
Tabel 4  Skala pertautan ambing depan berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang
Tabel 8  Skala letak puting belakang berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil analisis data yang telah diperoleh maka dapat disimpulkan tidak adanya hubungan atau pengaruh media sosial

Setelah diketahui dengan melihat nilai persentase di tabel dapat disebutkan bahwa nilai persentase angket tentang perhatian orang tua di Desa Majalangu Kecamatan

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa Model pembela- jaran Problem Solving efektif

dan Menengah (UMKM) sebagai landasan yang kuat dalam memberdayakan UMKM pada masa mendatang, untuk menjadikan UMKM menjadi tangguh, kuat dan mandiri, serta lebih mendapat

Elektroda terdiri dari kutub katoda (-) dan kutub anoda (+) dimasukkan dalam larutan elektrolit. Elektroda yang digunakan pada penelitian ini adalah kawat tembaga.

Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi usus dari anjing terinfeksi virus parvo diperoleh hasil bahwa pada sampel anjing umur kurang dari dua bulan lesi hemoragi usus

Berdasarkan pendapat Leech tersebut, prinsip kerja sama (CP) memiliki fungsi sebagai pengatur tuturan yang diucapkan sehingga dapat membantu pencapaian tindak

Dalam pengertian ini terdapat konteks waktu dimana kurikulum itu tidak dapat diterapkan dalam waktu yang lama atau dengan kata lain harus ada kurikulum yang sesuai