• Tidak ada hasil yang ditemukan

. Dampak Penetapan Taman Nasional Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Petani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan ". Dampak Penetapan Taman Nasional Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Petani"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PENETAPAN TAMAN NASIONAL TERHADAP

KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI

(Studi Kasus Desa Ranu Pani, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru)

VANYA ANNISANINGRUM

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Dampak Penetapan Taman Nasional Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Petani” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri sesuai dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya lain baik diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

(4)

ABSTRAK

VANYA ANNISANINGRUM. Dampak Penetapan Taman Nasional Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO

Taman nasional merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia. Akan tetapi dalam pengelolaannya, taman nasional cenderung mengabaikan aspek kesejahteraan masyarakat. Desa Ranu Pani merupakan salah satu desa enklaf di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif didukung data kualitatif untuk melihat bagaimana taman nasional berpengaruh terhadap kesejahteraan rumah tangga petani. Setelah taman nasional ditetapkan, akses masyarakat terhadap sumber daya alam seperti kayu dan air semakin terbatas terutama akses terhadap sumber daya lahan. Berada di tengah kawasan taman nasional membuat masyarakat yang seluruhnya merupakan petani tidak bisa memperluas lahan pertanian mereka. Akibatnya dari tahun ke tahun lahan pertanian yang dimiliki rumah tangga luasnya semakin sedikit. Luas lahan pertanian dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan rumah tangga petani dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, serta tingkat perumahan dan lingkungan. Hal ini dibuktikan melalui uji regresi dimana variabel independen yaitu luas lahan pertanian berpengaruh signifikan sebesar 0,005 terhadap variabel dependen yaitu kesejahteraan rumah tangga petani.

Kata kunci: akses, kesejahteraan, luas lahan pertanian, rumah tangga petani, taman nasional

ABSTRACT

VANYA ANNISANINGRUM.The Impact of National Park Determination on The Welfare of Farmer Households. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO

National park is one of the government's efforts to preserve biodiversity in Indonesia. But in its management, national parks tend to ignore the aspect of public welfare. Ranu Pani village is a village enclave in Bromo Tengger Semeru National Park. This research was conducted using a quantitative approach supported by qualitative data to see how the national parks affect the well-being of farm households. After the national parks were established, public access to natural resources such as wood and water increasingly limited, especially access to land resources. Being in the middle of the park to make people who are all farmers can not expand their agricultural land. As a result of the years of agricultural land owned by households is getting a little extent. Agricultural land can affect the welfare of farming households viewed from the level of income, level of education, as well as the level of housing and the environment. This is proved by regression analysis where the independent variable is agricultural land area of 0,005 significant effect on the dependent variable, namely the welfare of farm households.

(5)

DAMPAK PENETAPAN TAMAN NASIONAL TERHADAP

KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI

Oleh

VANYA ANNISANINGRUM

I34120058

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Dampak Penetapan Taman Nasional Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Petani” ini dengan baik. Penulisan skripsi ini ini ditujukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada, Ibu Vientha Heryani dan Bapak Cahya Budi, yang selalu memberikan dukungan serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para sahabat yaitu Ninda, Ida, Citra, Mona, Rizky, dan Sisil yang selalu mendukung serta memberikan saran kepada penulis selama proses penyelesaian proposal skripsi. Penulis ucapkan juga terimakasih untuk teman satu dosen pembimbing yaitu Nurul dan Debby.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2016

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 Masalah Penelitian 2 Tujuan Penelitian 3 Kegunaan Penelitian 3 PENDEKATAN TEORETIS 4

Tinjauan Pustaka 5 Konsep Agraria 5 Perubahan Struktur Agraria 5 Taman Nasional dan Pengelolaannya 6 Teori Akses 7 Masyarakat Sekitar Taman Nasional 7 Kesejahteraan Rumah Tangga Petani 8 Kerangka Pemikiran 9 Hipotesis Penelitian 10 PENDEKATAN LAPANG 11

(9)

KONDISI SOSIAL MASYARAKAT SETELAH PENETAPAN TAMAN

NASIONAL 20

Sejarah Dibentuknya Taman Nasional Bromo Tengger Semeru 21

Legalitas dan Legitimasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru 21

Perubahan Desa Ranu Pani Sebelum dan Setelah Penetapan Taman Nasional 24

Pandangan Masyarakat Mengenai Taman Nasional 26

AKSES MASYARAKAT DESA RANU PANI SEBAGAI DESA ENKLAF 29

Akses Pemanfaatan Kayu Bakar 29

Akses Pemanfaatan Sumber Air 31

Akses Terhadap Lahan Pertanian 32

DAMPAK TAMAN NASIONAL TERHADAP KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI 36

Luas Lahan Pertanian per Rumah Tangga 37

Kesejahteraan Rumah Tangga Petani 39

Uji Regresi Pengaruh Luas Lahan terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Petani 43

PENUTUP 48

Simpulan 49

Saran 50

DAFTAR PUSTAKA 51

LAMPIRAN 55

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan metode pengumpulan data 12

2 Jumlah dan persentase penduduk Desa Ranu Pani berdasarkan kelompok usia 18 3 Jumlah dan persentase alat komunikasi yang dimiliki penduduk 19 4 Tanggal penetapan peraturan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru 22 5 Jumlah dan persentase pemanfaatan kayu bakar di Desa Ranu Pani tahun 2016 30 6 Jumlah dan persentase pemanfaatan sumber air rumah tangga Desa Ranu Pani

tahun 2016 31

7 Data kependudukan Kecamatan Senduro tahun 2012, 2013, 2014 33 8 Jumlah dan persentase status penguasaan lahan Desa Ranu Pani sebelum tahun

2016 dan pada tahun 2005 33

9 Jumlah dan persentase kepemilikan sertifikat lahan Desa Ranu Pani tahun 2016 34 10 Jumlah dan persentase kategori luas lahan pertanian Desa Ranu Pani sebelum

tahun 2005 dan pada tahun 2016 38

11 Jumlah dan persentase kategori tingkat pendapatan rumah tangga petani Desa

Ranu Pani tahun 2016 39

12 Jumlah dan persentase kategori tingkat pendidikan rumah tangga petani Desa

Ranu Pani tahun 2016 40

13 Jumlah dan persentase kategori tingkat perumahan dan lingkungan rumah tangga

petani Desa Ranu Pani tahun 2016 42

14 Jumlah dan persentase kategori tingkat kesejahteraan rumah tangga petani Desa

Ranu Pani tahun 2016 43

15 Hasil uji statistik pengaruh luas lahan terhadap tingkat pendapatan rumah tangga

petani 44

16 Hasil uji statistik pengaruh luas lahan terhadap tingkat pendidikan rumah tangga

petani 45

17 Hasil uji statistik pengaruh luas lahan terhadap tingkat perumahan dan lingkungan

rumah tangga petani 46

18 Hasil uji statistik pengaruh luas lahan terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga

petani 46

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran 10

2 Pemandangan Desa Ranu Pani dilihat dari Resort Ranu Pani 17 3 Struktur Organisasi Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru 23

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jadwal penelitian 56

2 Peta lokasi penelitian 58

3 Kerangka Sampling 59

4 Kuesioner 60

5 Pedoman wawancara mendalam 64

6 Hasil uji statistik 66

7 Tulisan tematik 69

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman hayati di dalamnya. Beragam jenis flora dan fauna terdapat di Indonesia dan sebagian besar diantaranya merupakan jenis endemik (Kementrian Lingkungan Hidup 2013). Sebagai cara untuk memelihara keanekaragaman hayati tersebut diperlukan adanya habitat yang mampu mendukung keberadaan mereka secara lestari, salah satu bentuknya adalah menetapkan hutan sebagai kawasan konservasi. Sementara kawasan hutan yang memiliki fungsi untuk pengawetan dan pelestarian keanekaragaman hayati disebut sebagai hutan konservasi (UU No. 41 Tahun 1999). Salah satu hutan konservasi yang memegang peranan penting dalam memelihara keanekaragaman hayati adalah taman nasional, yang menurut Undang-undang No. 5 tahun 1990 selain memiliki fungsi sebagai perlindungan keanekaragaman hayati juga berfungsi sebagai wahana pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, budaya, dan ekowisata. Taman nasional sebagai kawasan konservasi harus memiliki batas yang jelas, terutama kawasan yang berbatasan dengan pemukiman.

Kawasan taman nasional selain memiliki aspek legalitas, juga harus memiliki aspek legitimasi atau pengakuan dari masyarakat. Hal ini dikarenakan mayoritas taman nasional di Indonesia ditetapkan dengan kondisi terdapat masyarakat di dalam atau di sekitar kawasan. MacKinnon et al. (1993) menjelaskan bahwa batas kawasan konservasi seharusnya disesuaikan sedemikian rupa agar pemukiman berada di luar. Menurut Dephut dan BPS (2009), terdapat 9.103 desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Sebagian besar desa tersebut masuk ke dalam kawasan hutan lindung (9,44%). Desa Ranu Pani merupakan salah satu desa enklaf di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Penduduk Desa Ranu Pani sebagai Suku Tengger, merupakan keturunan asli masyarakat Jawa yang hidup di era Kerajaan Majapahit. Masyarakat Tengger memiliki hubungan yang erat dengan pertanian, karena bertani merupakan pekerjaan yang suci dan bentuk tradisi untuk berbakti kepada leluhur1. Selain itu menurut hasil penelitian Nugroho (2014), petani merupakan pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat Desa Ranu Pani, pekerjaan lainnya adalah buruh tani, pedagang, tukang bangunan, dan PNS.

Penetapan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) membawa perubahan kepada masyarakat yang tinggal didalamnya. Akses terhadap sumber daya alam menjadi lebih terbatas. Sebagai contoh, masyarakat Desa Ranu Pani sangat memerlukan kayu bakar dalam kehidupan sehari-hari mereka. Setelah ditetapkan sebagai taman nasional, masyarakat tidak bisa mengambil kayu bakar secara bebas di dalam hutan. Akan tetapi setelah taman nasional dibentuk,

1

(14)

pemanfaatan hutan oleh masyarakat masih sering terjadi. Hal ini dibuktikan dari data pengambilan kayu bakar di Desa Ranu Pani tahun 2010-2011 mencapai 110 meter kubik per hari untuk 371 kepala keluarga (Profil TNBTS 2010-2011). Selain itu keterbatasan terhadap sumber daya lahan juga merupakan suatu hal krusial, karena masyarakat Suku Tengger tidak bisa dilepaskan dari pekerjaannya sebagai petani. Lama kelamaan, kebutuhan akan sumber daya lahan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk di Desa Ranu Pani. Luas lahan yang dimiliki oleh masyarakat Desa Ranu Pani tentunya semakin berkurang mengingat jumlah penduduk yang terus bertambah.

Kawasan taman nasional seyogyanya memiliki tiga manfaat, yaitu manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial. Manfaat ekologi yaitu melestarikan keanekaragaman hayati yang ada didalamnya. Manfaat ekonomi yaitu menciptakan peluang kerja bagi berbagai pihak. Manfaat sosial yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu, dan mensejahterakan masyarakat merupakan salah satu tugas yang diemban oleh pemerintah. Seperti dinyatakan dalam Undang-undang pasal 33 ayat 3 tahun 1945, bahwa kekayaan alam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka dari itu pentung bagi taman nasional untuk melestarikan aspek sosial dan budaya setempat. Taman nasional juga sebaiknya berjalan beriringan dengan adat istiadat masyarakat dalam melestarikan lingkungan.

Setiap kebijakan yang diterapkan oleh taman nasional harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat, dalam kasus ini khususnya kesejahteraan petani. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir konflik yang terjadi antara masyarakat dan pihak taman nasional. Seringkali perubahan fungsi hutan berujung pada konflik antara masyarakat dengan taman nasional. Seperti pada hasil penelitian di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam memicu adanya perpecahan antara masyarakat dengan pihak pengelola (Marina dan Dharmawan 2011). Taman nasional di sisi lain juga memberikan lahan pekerjaan bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam kegiatan wisata. Bahkan wisata ini juga merupakan salah satu upaya pengelola untuk memberdayakan masyarakat (Mohd 2008). Maka dari itu perlu dikaji lebih lanjut bagaimana dampak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) terhadap kesejahteraan rumah tangga petani?

Masalah Penelitian

(15)

Setelah ditetapkan menjadi kawasan taman nasional, masyarakat Desa Ranu Pani selaku desa enklaf mengalami pembatasan kawasan. Akses masyarakat terhadap sumber daya alam seperti kayu bakar, air dan lahan menjadi semakin terbatas. Sehingga timbul pertanyaan, bagaimana akses masyarakat sebelum dan setelah Desa Ranu Pani menjadi desa enklaf?

Setelah didapatkan data mengenai luas lahan pertanian dan kesejahteraan rumah tangga petani saat ini, perlu dikaji apakah luas lahan pertanian berpengaruh terhadap kesejahteraan rumah tangga petani. Hal ini dapat menjadi saran agar pihak taman nasional dapat membuat program pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan para petani disana. Sehingga timbul pertanyaan, bagaimana dampak penetapan taman nasional terhadap kesejahteraan rumah tangga petani?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak penetapan taman nasional terhadap kesejahteraan rumah tangga petani. Kemudian tujuan khususnya adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu:

1. Menganalisis bagaimana kondisi masyarakat di Desa Ranu Pani sebelum dan setelah taman nasional ditetapkan.

2. Menganalisis akses masyarakat sebelum dan setelah Ranu Pani menjadi desa enklaf.

3. Menganalisis dampak penetapan taman nasional terhadap kesejahteraan rumah tangga petani.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut : 1. Akademisi

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai gambaran mengenai masyarakat yang hidup di dalam taman nasional. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. 2. Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah khususnya pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai pengelolaan taman nasional yang mementingkan aspek kesejahteraan masyarakat setempat. 3. Masyarakat

(16)
(17)

PENDEKATAN TEORETIS

Tinjauan Pustaka Konsep Agraria

Istilah agraria seringkali diartikan sebagai tanah dan pertanian saja. Agraria sendiri berasal dari kata agrarius atau ager (latin) yang artinya tanah pertanian. Sitorus (2002) menjelaskan bahwa ruang lingkup agraria lebih luas dari sekedar tanah pertanian atau pertanian, dimana agraria merupakan suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami, baik fisik maupun hayati serta kehidupan sosial yang terdapat didalamnya. Menurut Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960, ruang lingkup agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Ruang lingkup agraria ini seringkali disebut sebagai obyek agraria. Sementara itu subyek agraria merupakan pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan obyek agraria, seperti komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (sektor private). Ruang lingkup sumber agraria menurut UUPA dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bumi

Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) yaitu permukaan bumi, termasuk juga tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan yang dimaksud adalah tanah.

2. Air

Pengertian air menurut Pasal 1 ayat (5) adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia.

3. Ruang angkasa

Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia.

4. Kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Kekayaan alam adalah seluruh makhluk hidup dan benda-benda, termasuk sumber agraria yang terdapat pada, di atas dan/atau di dalam bumi, air, dan ruang angkasa. Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi yaitu unsur-unsur kimia, mineral, bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan mulia yang merupakan endapan alam. Kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan lain lain yang berada di peraian pedalaman dan laut dalam wilayah republik Indonesia. Kekayaan alam yang terkandung di atas bumi adalah hutan dan hasil-hasilnya, berupa hasil nabati dan hasil hewan.

Perubahan Struktur Agraria

(18)

hektar sedangkan kata “penguasaan” merujuk kepada penguasaan efektif, contohnya

seseorang memiliki tanah seluas dua hektar dan juga menggarap lahan orang lain seluas satu hektar maka luas lahan yang dikuasai adalah tiga hektar. Pemanfaatan lahan merujuk kepada bagaimana pola tanam pada sebidang lahan pertanian. Wiradi (1984) menyebutkan bahwa terdapat lima pengelompokkan dalam penguasaan lahan, diantaranya:

1. Pemilik Penggarap Murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang dimilikinya;

2. Penyewa dan penyakap murni, yaitu petani yang tidak memiliki lahan tetapi mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil;

3. Pemilik penyewa dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain;

4. Pemilik bukan penggarap; dan

5. Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan garapan. Sebagian besar dari mereka (tunakisma) ini adalah buruh tani dan hanya sebagian kecil saja yang memang pekerjaannya bukan tani.

Struktur agraria dapat berubah dipengaruhi oleh berbagai faktor. Zuber (2007) mengemukakan terdapat empat faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria, diantaranya: (1) permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal tanah yang luas; (2) faktor sosial budaya seperti aturan warisan; (3) kerusakan lingkungan seperti kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan; dan (4) kelemahan hukum yang mengatur harga pertanian seperti harga pupuk yang tinggi, harga gabah yang rendah serta masalah pengaturan harga beras. Struktur agraria juga berkaitan dengan pola penanaman pada lahan.

Taman Nasional dan Pengelolaannya

Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Pristiyanto 2005). Taman nasional termasuk ke dalam kawasan pelestarian alam yang memiliki ciri khas dan berfungsi sebagai pelindung ekosistem penyangga kehidupan (Wahyuni dan Mamonto 2012). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 56/Menhut-II/2006 terdapat empat zona di dalam Taman Nasional yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain yang menyangkut zona tradisional, zona rehabilitasi, zona khusus, serta zona religi, budaya, dan sejarah.

(19)

nasional, yang secara keseluruhan mencakup 28,2 juta hektar. Konservasi dilihat sebagai hambatan terhadap pembangunan sehingga kurang didukung, bahkan dilawan oleh banyak pihak. Akibatnya konservasi tidak dapat diwujudkan, sementara di dalam dan sekitar taman nasional sudah terlanjur ada masyarakat yang hidup dan menggantungkan hidup mereka dari kawasan tersebut (CIFOR 2010). Mengingat adanya masyarakat didalamnya, taman nasional sebagai kawasan konservasi harus dikembangkan serta dikelola secara lestari, tidak hanya sebatas aspek ekologi, tetapi juga ekonomi dan sosial (Hidayat et al. 2011). Sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 pasal 7 tahun 1999, kegiatan konservasi merupakan jembatan kolaborasi antara pusat dan daerah dalam segi pembuatan kebijakan yang sesuai dengan kondisi daerah tertentu. Keberhasilan pengelolaan taman nasional akan berhasil apabila terdapat dukungan dari segi apapun mulai dari masyarakat lokal hingga masyarakat nasional (MacKinnon et al. 1993). Mengatasi masalah ini, beberapa taman nasional menerapkan kebijakan untuk bekerjasama dengan masyarakat sekitar dalam pengelolaannya. Menurut Kadir et al. (2012), beberapa taman nasional telah melibatkan masyarakat di dalam kegiatan penyuluhan dan pelatihan, guna memberikan penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya keberadaan taman nasional serta cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Teori Akses

Ribot dan Pelusso (2003) mengartikan akses sebagai kemungkinan dari seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari suatu hal, seperti lahan garapan ataupun pemukiman. Kepemilikian terhadap sesuatu umumnya diakui secara sosial ataupun pengakuan secara hukum, kustom, atau konvensi. Seseorang yang memiliki hak untuk mendapatkan akses biasanya memegang kekuasaan sosial tertentu. Terdapat hubungan antar aktor yang memiliki modal sebagai pengontrol akses dengan aktor yang tersubordinasi. Kedua aktor ini saling berbagi sumber daya untuk mendapatkan keuntungan masing-masing. Menurut Ribot dan Pelusso (2003) terdapat dua mekanisme akses, pertama adalah Akses Legal. Akses ini merupakan akses yang mendapat pengakuan secara hukum, kustom, dan konvensi. Hak yang dipegang pemilik dapat menuntut dengan sanksi, untuk mengontrol akses. Orang lain yang tidak memiliki hak terhadap akses harus membayar atau bertukar layanan untuk bisa memanfaatkan sumber daya tersebut. Kedua, Akses Ilegal yaitu akses yang bertentangan dengan hukum, kustom, dan konvensi. Akses ilegal mengacu kepada memanfaatkan sumber daya yang tidak direstui oleh negara dan masyarakat. Contoh dari akses ilegal adalah pencurian terhadap sumber daya melalui paksaan, mencoba untuk mendapatkan, mengontrol, dan mempertahankan akses secara tidak sah. Berbagai mekanisme akses sumber daya membentuk untaian dari “bundles of power”. Aktor yang membentuk kekuatan ini memiliki peran masing-masing dalam mengontrol atau mempertahankan akses sumber daya, baik pemilik, pekerja, ataupun sekedar penerima manfaat.

Masyarakat Sekitar Taman Nasional

(20)

masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan dengan para leluhur, hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Masyarakat adat secara sederhana terikat oleh hukum adat, keturunan, dan tempat tinggalnya. Menurut Marina dan Dharmawan (2011) masyarakat di sekitar taman nasional memiliki aturan tersendiri dalam mengelola sumber daya alam disekitarnya. Penggunaan sumber daya alam dan aturan-aturan adat yang dibuat untuk mendapatkan akses ke dalamnya menunjukkan masyarakat adat memiliki hubungan yang sangat erat dengan sumber daya alam disekitarnya. Hubungan tersebut menunjukkan ketergantungan masyarakat terhadap hutan sangat tinggi, karena hutan merupakan sumber utama masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karenanya masyarakat sekitar hutan hidup pada tingkat ekonomi yang sangat subsisten (Kadir et al. 2012). Masyarakat sekitar hutan pada umumya merupakan masyarakat yang tertinggal, dengan kondisi sosial ekonomi yang tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya pengabaian kepentingan masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan hutan (Darusman dan Didik 1998).

Kesejahteraan Rumah Tangga Petani

(21)

Indikator ini kemudian diuji kepada rumahtangga petani yang telah ditentukan, termasuk juga seluruh anggota keluarga yang ada didalamnya. Kesejahteraan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 tahun 2010 juga dapat diukur dari pendidikan (angka melek huruf, angka rata-rata lama sekolah, dan angka pendidikan yang ditamatkan), kesehatan (angka kelangsungan hidup bayi, angka usia harapan hidup, dan persentase gizi buruk), pertanahan (persentase penduduk yang memiliki lahan), dan ketenagakerjaan (rasio penduduk yang bekerja). Kesejahteraan juga dapat diukur melalui pengeluaran rumah tangga ataupun pendapatan rumah tangga. Menurut Dwipadyana (2014) pengeluaran rata-rata per kapita per tahun adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumah tangga selama setahun untuk konsumsi semua anggota rumah tangga, dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga. Dwipadyana (2014) juga menyatakan kesejahteraan bisa diukur dengan besarnya pendapatan rumah tangga. Semakin besar pendapatan maka kemampuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga akan meningkat dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Sebagian besar masyarakat di sekitar taman nasional memiliki tingkat kesejahteraan yang tergolong rendah. Salah satunya pada hasil penelitian di kawasan Taman Nasional Babul dimana 65 persen masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan dengan tingkat pendidikan yang rendah, 84,4 persen merupakan lulusan SD (Kadir et al. 2012). Begitu juga dengan masyarakat sekitar TNMB yang berpendidikan rendah dengan persentase 47,6 persen merupakan lulusan SLTP (Keli, Sukarno, Ruminarti 2012). Padahal menurut Undang-undang Nomor: 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, taman nasional sebenarnya memberikan peluang untuk memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan (ekonomi) masyarakat, pemanfaatan kawasan hutan (termasuk penambangan benda-benda non hayati) dapat dilakukan pada semua kawasan hutan, kecuali pada hutan cagar alam dan zona inti serta zona rimba pada taman nasional. Sementara itu desa di dalam taman nasional mengalami tekanan dari segi populasi penduduk. Apabila populasi penduduk tidak dapat dikendalikan, maka konversi lahan pertanian untuk pemukiman dapat terjadi.

Kerangka Pemikiran

(22)

pewarisan. Sementara itu, kondisi masyarakat di sekitar taman nasional sendiri rata-rata berada di bawah garis kemiskinan serta memiliki pendidikan yang rendah. Kesejahteraan petani diukur untuk melihat kualitas hidup petani di suatu wilayah menggunakan beberapa indikator. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 mengemukakan beberapa indikator untuk mengukur kesejahteraan, diantaranya kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, serta kemiskinan.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Keterangan :

: Hubungan pengaruh : Analisis deskriptif

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, terdapat beberapa hipotesis yang akan diujikan dalam penelitian, diantaranya:

1. Diduga luas lahan pertanian berpengaruh signifikan terhadap tingkat pendapatan rumah tangga petani.

2. Diduga luas lahan pertanian berpengaruh signifikan terhadap tingkat pendidikan rumah tangga petani.

3. Diduga luas lahan pertanian berpengaruh signifikan terhadap tingkat perumahan dan lingkungan rumah tangga petani.

4. Diduga luas lahan pertanian berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga petani.

Luas Lahan Pertanian Rumah Tangga

Perubahan luas lahan pertanian sejak awal kepemilikan hingga saat ini

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Kesejahteraan Rumah Tangga Petani

1. Tingkat Pendapatan 2. Tingkat Pendidikan

(23)

PENDEKATAN LAPANG

Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian penjelasan atau eksplanatori. Penelitian eksplanatori adalah penelitian yang analisisnya menjelaskan hubungan antar variabel melalui uji hipotesis (Effendi dan Tukiran 2014). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif untuk memperkaya informasi mengenai fenomena sosial terkait yang didapatkan selama penelitian di lapang. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan metode survei menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner (Lampiran4) yang diberikan kepada responden, untuk mengetahui dampak penetapan taman nasional, perubahan akses terhadap sumber agraria, dan kesejahteraan rumah tangga petani. Sementara itu, pendekatan kualitatif dilakukan dengan metode wawancara mendalam dibantu dengan panduan pertanyaan wawancara (Lampiran 5) kepada informan, observasi, dan studi literatur terkait. Teknik wawancara mendalam dilakukan untuk menelusuri fenomena perubahan kawasan menjadi taman nasional, apa saja perubahan akses terhadap sumber agraria dan dampaknya terhadap kesejahteraan rumah tangga petani. Selain itu dilakukan observasi langsung dan juga studi dokumentasi terkait.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive, karena beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1. Desa Ranu Pani merupakan salah satu desa enklaf, atau desa yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) sehingga dapat dilihat perubahan apa saja yang terjadi setelah taman nasional ditetapkan.

2. Masyarakat di Desa Ranu Pani merupakan suku Tengger, dimana pertanian merupakan bagian dari budaya Tengger.

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu lima bulan, terhitung mulai bulan Januari 2016 sampai dengan Juni 2016. Penelitian ini dimulai dengan penyusunan proposal penelitian, survey lokasi penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi.

Teknik Pengumpulan Data

(24)

mendalam kepada informan yang telah dipilih yaitu pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, aparatur desa dan tokoh masyarakat setempat. Wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan informasi tambahan yang dapat mendukung data kuantitatif oleh responden.

Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data

No Kebutuhan

(25)

(Effendi dan Tukiran 2014). Populasi sampel dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga di Desa Ranu Pani, sedangkan populasi sasaran yaitu seluruh petani di Desa Ranu Pani. Unit analisa yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani. Pemilihan responden dilakukan menggunakan metode pengambilan sampel acak (simple random sampling), yaitu cara mengambil atau menentukan sampel dari anggota populasi secara acak yang dianggap dapat mewakili keseluruhan populasi. Pertama-tama, sensus dilakukan terlebih dahulu untuk mendapatkan daftar kepala keluarga masyarakat di Desa Ranu Pani yang merupakan populasi sampel, dengan syarat:

1) Penduduk asli di Desa Ranu Pani. 2) Bekerja sebagai petani.

Setelah itu dibuatlah kerangka sampel (sampling frame) dari dua dusun di Desa Ranu Pani, yaitu Dusun Sidodadi dan Dusun Besaran. Kemudian dari kerangka sampel dipilh responden secara acak menggunakan metode pengambilan sampel acak (simple random sampling). Pengambilan sampel secara acak ini dilakukan dengan program komputer Microsoft Excel 2010. Jumlah sampel yang didapatkan adalah 35 KK sebagai responden.

Sementara itu, pemilihan informan dilakukan secara purposive (sengaja) dan jumlahnya tidak ditentukan. Penetapan informan dilakukan menggunakan metode teknik bola salju (snowball) yaitu metode yang memperoleh informasi dari satu informan ke informan lainnya. Pencarian informasi dihentikan apabila tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau berada pada titik jenuh. Informan dalam penelitian ini diantaranya pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, aparatur desa, dan tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih dalam mengenai perkembangan taman nasional dan dampak pergeseran kepemilikan lahan pertanian secara adat terhadap kesejahteraan rumah tangga petani di Desa Ranu Pani.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini memiliki dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kuantitatif dan data kuanlitatif. Pembuatan tabel frekuensi dan tabulasi silang dibuat untuk melihat data awal responden dari masing-masing variabel menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2010. Tabel frekuensi dibuat agar distribusi jawaban dari responden dalam satu pertanyaan lebih mudah diamati (Effendi dan Tukiran 2014). Kemudian SPSS. for windows 21.0 digunakan dalam uji statistik Uji Regresi Linier Sederhana untuk mengolah data selanjutnya. Uji Regresi merupakan uji statistik yang digunakan untuk mengetahui seberapa berpengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Pengolahan data dilakukan dengan pengkodean jawaban kuesioner, setelah itu dimasukkan ke dalam buku kode menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2010 sebelum dimasukkan ke SPSS. for windows 21.0 untuk mempermudah pengolahan data.

(26)

dapat menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dimengerti untuk disajikan dalam laporan. Verifikasi data merupakan proses penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi. Hasil wawancara mendalam juga digunakan sebagai masukan untuk menyempurnakan pertanyaan dalam kuesioner. Hasil wawancara dari kuesioner pun dapat digunakan untuk merumuskan panduan pertanyaan mendalam dengan informan. Pandangan subyektif-kualitatif informan kemudian dibandingkan dengan hasil analisis obyektif-kuantitatif responden, sehingga didapatkan informasi dengan analisa dan interpretasi yang lebih rinci dan mendalam.

Definisi Operasional

Berikut adalah definisi operasional yang digunakan dari berbagai variabel yang akan dianalisis dalam penelitian:

1. Pengelompokkan pola penguasaan sawah dinyatakan dalam skala nominal yang dilihat dari:

a. Tidak memiliki lahan, yaitu petani tidak memiliki lahan pertanian. b. Pemilik, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang dimilikinya; c. Penggarap, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan tetapi mempunyai lahan

garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil.

d. Pemilik penggarap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain.

2. Kategori luas pemilikan lahan pertanian yang dilihat adalah dahulu dan sekarang sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan. Luas pemilikan lahan dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu sempit, sedang dan luas. Nilai dari setiap kategori diperoleh melalui hasil wawancara ketika survei lokasi di lapangan.

Dinyatakan dalam skala ordinal dengan satuan hektar, kemudian diperoleh nilai: (1) Awal memiliki lahan

3. Status kepemilikan lahan adalah ada atau tidaknya sertifikasi lahan pertanian yang dimiliki oleh petani. Dinyatakan dalam skala nominal dengan indikator:

a. Tidak Bersertifikat : 1 b. Bersertifikat : 2

(27)

tinggi apabila dari ketiga aspek tersebut mendapatkan skor 7-9, sedang apabila mendapatkan skor 4-6, dan rendah apabila mendapatkan skor 1-3.

a. Rendah = skor 1 b. Sedang = skor 2 c. Tinggi = skor 3

5. Tingkat pendapatan adalah penghasilan yang didapatkan oleh rumah tangga petani, dilihat dari kegiatan pertanian dikurangi dengan pengeluaran rumah tangga. Nilai dari setiap kategori diperoleh melalui hasil wawancara ketika survei lokasi di lapangan.

a. Rendah = < 3,2 juta per bulan

b. Sedang = 3,2 juta – 6,6 juta per bulan c. Tinggi = > 6,6 juta per bulan

6. Tingkat pendidikan adalah kemampuan petani dan anggota keluarganya dalam mengikuti pendidikan formal. Tingkat pendidikan dilihat dari pendidikan terakhir, merupakan ijazah kelulusan terakhir yang dimiliki oleh anggota rumah tangga. Nilai dari setiap kategori diperoleh melalui hasil wawancara ketika survei lokasi di lapangan.

a. Rendah = tidak/belum sekolah dan belum lulus sekolah dasar b. Sedang = SD - SMP

c. Tinggi = SMA

7. Tingkat perumahan dan lingkungan adalah kualitas tempat tinggal dan lingkungan yang layak huni. Nilai dari setiap kategori diperoleh melalui hasil wawancara ketika survei lokasi di lapangan.

a. Kualitas atap merupakan jenis atap yang digunakan untuk rumah tinggal. - Seng = skor 1

- Genteng = skor 2

b. Kualitas dinding merupakan jenis dinding yang digunakan untuk rumah tinggal. - Tembok = skor 1

- Kayu = skor 2

c. Kualitas lantai merupakan jenis lantai yang digunakan untuk rumah tinggal. - Semen = skor 1

(28)
(29)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Menurut Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) telah ditata batas dan sudah temu gelang berdasarkan Berita Acara Pemeriksaaan Batas Hutan pada tanggal 22 September 1986 yang telah disahkan oleh Menteri Kehutanan tanggal 8 Nopember 1993. TNBTS ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.178/Menhut-II/2005 tanggal 29 Juni 2005 seluas 50.276,20 ha. Kawasan TNBTS terletak di empat Kabupaten, yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Lumajang. Jumlah wilayah kecamatan dan desa yang terletak di sekitar kawasan adalah 3 kecamatan (9 desa) di Kabupaten Probolinggo, 4 kecamatan (12 desa) di Kabupaten Pasuruan, 5 kecamatan (22 desa) di Kabupaten Lumajang dan 6 kecamatan (25 desa) di Kabupaten Malang. Dari ke-68 desa penyangga yang ada di sekitar TNBTS, terdapat 2 desa penyangga yang berada di dalam kawasan (desa enklaf) yakni Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang dan Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Kedua desa tersebut ditempati oleh penduduk asli yakni masyarakat Tengger.

Desa Ranu Pani merupakan salah satu desa enklaf yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Akses menuju Desa Ranu Pani dapat ditempuh melalui Malang ataupun Lumajang. Desa ini terletak pada ketinggian 2.100-2.200 mdpl dengan suhu saat musim hujan berkisar antara 30ºC hingga 6ºC dan pada musim kemarau berkisar 28ºC hingga -6ºC. Luas wilayah keseluruhan untuk Desa Ranu Pani adalah 385 hektar, meliputi wilayah pemukiman dan lahan pertanian. Jarak Desa Ranu Pani dari Pusat Pemerintahan Kecamatan sejauh 28 km, jarak dari Ibu Kota Kabupaten sejauh 45 km, dan jarak dari Ibu Kota Provinsi sejauh 175 km.

(30)

Desa Ranu Pani sebagai desa enklaftermasuk ke dalam Zona Tradisional, dan berbatasan langsung dengan:

a. Utara : Desa Ngadas (Zona Tradisional) b. Timur : Zona Pemanfaatan

c. Selatan : Zona Rimba d. Barat : Zona Rimba

Secara geografis terlihat bahwa Desa Ranu Pani terletak di tengah-tengah taman nasional. Zona yang lebih dominan mengelilingi desa adalah zona rimba.

Desa Ranu Pani terdiri dari wilayah pemukiman dan wilayah lahan pertanian. Lahan pertanian di Desa Ranu Pani memiliki topografi yang berbukit-bukit. Komoditas utama yang ditanam adalah kentang, kubis, dan daun bawang. Kentang merupakan komoditas yang paling banyak ditanam karena keuntungan dari penjualannya lebih besar dibandingkan komoditas lain. Akan tetapi menurut pihak taman nasional, kentang merupakan komoditas yang tidak konservatif atau tidak ramah lingkungan. Kentang membutuhkan unsur hara yang lebih banyak dan membutuhkan air yang lebih banyak dalam sekali tanam. Hal ini dapat menyebabkan lahan pertanian tidak subur dalam jangka panjang. Akan tetapi masyarakat tetap menanam kentang karena kentang tumbuh subur di ladang mereka dan hasilnya lebih menguntungkan.

Kawasan Desa Ranu Pani pada awalnya merupakan kawasan yang dihuni oleh warga negara Belanda, setelah ditinggalkan oleh Belanda Desa Ranu Pani ditinggali oleh Suku Tengger dari desa sekitar. Desa Ranu Pani juga merupakan desa pemekaran dari Desa Argosari pada tahun 2002 (Yuliati 2011). Desa Ranu Pani saat ini dihuni oleh 395 KK dengan total penduduk 1.387 jiwa, terdiri dari 641 laki-laki dan 746 perempuan (Nugroho 2014). Penduduk Desa Ranu Pani terbagi menjadi beberapa kelompok usia:

Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk Desa Ranu Pani berdasarkan kelompok usia

Kelompok Usia (tahun) Jumlah Persentase (%)

00 – 03 97 7.5

Sumber: Data potensi umum Desa Ranu Pani tahun 2010

(31)

petani. Petani merupakan ciri khas masyarakat Tengger. Beberapa penduduk juga memiliki mata pencaharian sampingan yaitu sebagai buruh tani, guru, PNS, porter, supir Jeep, tukang parkir, dan juga relawan di taman nasional.

Desa Ranu Pani memiliki satu gedung PUSKESMAS, yang cukup sering digunakan oleh masyarakat. Rata-rata masyarakat mengunjungi PUSKESMAS ini untuk mengobati balita mereka yang terkena demam akibat belum bisa beradaptasi dengan cuaca yang dingin. Selain itu Desa Ranu Pani memiliki satu gedung Balai Desa, satu gedung PAUD, dan satu gedung untuk SD dan SMP. Rata-rata pendidikan terakhir penduduk adalah SD, dikarenakan SMP baru dibentuk pada tahun 2012. Sebelumnya untuk melanjutkan sekolah ke SMP, penduduk harus pergi ke Kabupaten Malang atau Lumajang yang dapat ditempuh dengan waktu 1,5-2 jam dari desa. Desa Ranu Pani terdapat beragam tempat ibadah berupa dua masjid, satu gereja, dan juga dua pura. Meskipun masyarakatnya memiliki beragam keyakinan, namun sifat kekeluargaan tidak hilang di Desa Ranu Pani. Seluruh masyarakat menghargai apabila terdapat agama yang sedang melaksanakan hari raya ataupun ibadah. Meskipun agamanya beragam, seluruh masyarakat tetap melaksanakan acara-acara adat yang dimiliki oleh Suku Tengger.

Desa ini memiliki kendala berupa tidak adanya satelit telepon genggam. Alat komunikasi berupa telepon genggam (handphone) digantikan oleh pesawat telepon yang memudahkan penduduk untuk saling berinteraksi satu sama lain ataupun dengan pasar untuk menjual hasil pertanian mereka. Data kepemilikan alat komunikasi adalah sebagai berikut:

Tabel 3 Jumlah dan persentase alat komunikasi yang dimiliki penduduk

Alat Komunikasi Jumlah (n) Persentase (%)

Pesawat Telepon 147 59.5

Pesawat TV 60 24.3

Pesawat Radio 25 10.1

Antena Parabola 15 6.1

Total 247 100.0

Sumber: Diolah dari data potensi umum Desa Ranu Pani tahun 2010

(32)
(33)

KONDISI SOSIAL MASYARAKAT SETELAH PENETAPAN

TAMAN NASIONAL

Sejarah Dibentuknya Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Pristiyanto 2005). Kawasan Bromo Tengger Semeru memang memiliki berbagai keanekaragaman hayati yang dapat terbilang unik. Bromo, Tengger, dan Semeru sendiri merupakan tiga lokasi yang berbeda. Bromo merupakan nama sebuah gunung berapi aktif yang sudah ada sejak 1,4 juta tahun lalu. Gunung Bromo dikelilingi oleh lautan pasir sekaligus padang rumput yang membuat gunung ini berbeda dari gunung yang lain. Tengger merupakan nama dari suatu masyarakat adat yakni Suku Tengger, dimana masyarakat dan legenda terdahulunya tersebar di sekitar Bromo dan batasannya disebut sebagai lingkaran magis. Masyarakat Suku Tengger sebagian besar merupakan petani, dan memiliki beragam budaya yang khas seperti Hari Raya Karo, Yadnya Kasada dan Unan-Unan, upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang, seperti: kelahiran (upacara sayut, cuplak puser, tugel kuncung), menikah (upacara walagara), kematian (entas-entas), upacara adat yang berhubungan dengan siklus pertanian, mendirikan rumah, dan gejala alam seperti leliwet dan barikan. Sedangkan Semeru juga merupakan nama dari sebuah gunung berapi aktif, yang juga merupakan gunung tertinggi di pulau Jawa (3676 mdpl). Gunung Semeru sendiri memiliki tiga danau yang menjadi daya tarik bagi wisatawan yaitu Ranu Kumbolo, Ranu Regulo, dan Ranu Pane.

Menurut Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, sebelum ditetapkan sebagai taman nasional kawasan Bromo Tengger Semeru merupakan kawasan cagar alam, taman wisata hutan lindung, dan hutan produksi terbatas. Akan tetapi melihat alam, lingkungan, dan adanya budaya khas masyarakat sekitar, kawasan ini ditunjuk menjadi taman nasional melalui Pernyataan Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/82 tanggal 14 Oktober 1982. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memiliki visi berupa “Terwujudnya kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sebagai destinasi ekowisata bertaraf internasional yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.”. Jika dilihat dari sejarah kawasan, dasar penunjukan kawasan Bromo Tengger Semeru sebagai taman nasional dilandasi oleh 3 hal pokok yaitu untuk perlindungan dan pengawetan ekosistem (Cagar Alam) Laut Pasir dan Ranu Kumbolo, pemanfaatan wisata (taman wisata) di Laut Pasir Tengger, Ranu Pane dan Ranu Regulo dan Ranu Darungan dan fungsi lindung kawasan dengan keberadaan hutan lindung.

Legalitas dan Legitimasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

(34)

merupakan sejauh mana masyarakat mau menerima dan mengakui suatu kewenangan atau kebijakan dari seorang pemimpin. Kedua hal ini bersifat krusial karena akan berpengaruh terhadap pengelolaan suatu taman nasional. Apabila taman nasional hanya memiliki legalitas, tentunya akan banyak kendala yang muncul akibat adanya konflik dengan masyarakat lokal. Maka dari itu, seyognyanya sebelum suatu taman nasional ditetapkan pihak pengelola mengadakan diskusi dengan masyarakat lokal agar dapat diterima oleh semua pihak.

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terhitung sudah berusia 34 tahun hingga saat ini.Sejak ditetapkan menjadi taman nasional pada tahun 1982 Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memiliki beberapa legalitas berupa peraturan pemerintah, diantaranya:

Tabel 4 Tanggal penetapan peraturan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Tanggal Peraturan Keterangan

14 Oktober 1982 Pernyataan Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/82

Penunjukkan menjadi taman nasional

23 Mei 1997 Keputusan Menteri Kehutanan

No.278/Kpts-VI/1997

Perubahan luas taman nasional menjadi 50.276,3 ha

29 Juni 2005 Keputusan Menteri Kehutanan

No.178/Menhut-II/2005

Penetapan taman nasional oleh Menteri Kehutanan Sumber: RPTNBTS 2010-2025

Berdasarkan Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa Taman Nasional Bromo Tengger Semeru telah disahkan tiga kali oleh Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan. Sejak awal ditetapkan, seluruh taman nasional secara otomatis akan memiliki legalitas berupa aturan resmi dari pemerintah terkait.

(35)

Gambar 3 Struktur Organisasi Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Sumber: RPTNBTS 2015-2024

(36)

dilibatkan dalam pengalihan kekuasaan tetapi disosialisasikan setelah taman nasional ditetapkan.

Setelah adanya sosialisasi mengenai taman nasional, masyarakat tidak keberatan karena masyarakat dan taman nasional memiliki tujuan yang sama yaitu untuk melestarikan sumber daya alam yang ada disana. Ini berarti masyarakat dengan senang hati menerima kondisi mereka yang berada di tengah-tengah kawasan taman nasional. Akan tetapi taman nasional juga harus memberdayakan masyarakat, karena selain termasuk ke dalam Zona Tradisional masyarakat Desa Ranu Pani juga merupakan masyarakat Suku Tengger yang harus dilestarikan dari segi budaya. Pemberdayaan masyarakat sudah tercantum di dalam rencana pengelolaan TNBTS. Salah satu tujuan kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah terwujudnya keharmonisan antara masyarakat dengan pihak TNBTS sehingga tetap lestari dan masyarakat dapat hidup sejahtera. Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara, pemberdayaan yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat masih terbilang kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya sosialisasi dan pendekatan yang dilakukan oleh pihak taman nasional kepada masyarakat. Taman nasional lebih sering melakukan program-program yang bertujuan untuk melestarikan kawasan hutan.

“Taman nasional kurang melakukan pendekatan dan pendampingan kepada warga, mereka hanya memberi arahan tetapi tidak terjun langsung. Padahal warga sangat butuh arahan dari pihak taman nasional, khususnya mengenai pengelolaan wisata dan sistem terasering untuk pertanian” (BNY, 32 tahun)

Taman nasional selain itu juga memberikan dampak positif kepada Desa Ranu Pani. Pasalnya setelah taman nasional ditetapkan, pembangunan desa menjadi lebih pesat. Pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan, serta listrik sudah bisa dinikmati oleh masyarakat. Hal ini diiringi dengan semakin terkenalnya wisata pendakian Gunung Semeru yang semakin ramai didatangi pendaki dari tahun ke tahun. Ramainya pengunjung tentunya harus diimbangi dengan perkembangan pembangunan desa untuk memberikan akomodasi para pendaki. Jika dilihat secara keseluruhan, taman nasional sudah mendapat legitimasi karena masyarakat diuntungkan dari segi pembangunan dan tambahan pekerjaan di bidang wisata. Mereka yang sudah mengakui adanya taman nasional diantaranya adalah masyarakat yang juga bekerja sebagai relawan. Sebagian lainnya bersikap netral terhadap taman nasional. Akan tetapi masih dibbutuhkan evaluasi untuk pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat khususnya yang berkaitan dengan pekerjaan utama mereka, yaitu petani.

Perubahan Desa Ranu Pani Sebelum dan Setelah Penetapan Taman Nasional

(37)

lindung. Perhutani merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki tugas dan wewenang untuk perencanaan, pengurusan, pengusahaan, dan perlindungan hutan. Kawasan hutan dikuasai oleh Perhutani setelah Belanda meninggalkan desa, kurang lebih pada tahun 1970-an. Selama dikuasai oleh Perhutani, tidak ada pembatasan kawasan karena masyarakat masih bisa memanfaatkan hutan selama hutan itu bukan termasuk ke dalam hutan lindung. Kebutuhan akan kayu bakar tidak menjadi masalah. Masyarakat juga bisa memperluas lahan pertanian mereka ke dalam hutan dengan kondisi tertentu, namun memang tidak banyak masyarakat yang melakukan hal ini karena lahan yang mereka miliki sudah dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Setelah ditetapkan menjadi taman nasional pada tahun 1982, Desa Ranu Pani lebih dibatasi ruang lingkupnya karena peraturan kawasan pada taman nasional berbeda dengan Perhutani. Pada awalnya tidak ada perubahan yang berarti, hanya sebatas perpindahan kekuasaan dan belum berdampak kepada masyarakat. Seiring berjalannya waktu, perubahan yang paling terlihat adalah dari segi luas lahan pertanian. Bertambahnya penduduk di Desa Ranu Pani perlahan mulai mengikis lahan pertanian disana. Sistem pewarisan lahan menyebabkan rumah tangga petani saat ini hanya memiliki sebagian kecil lahan dari orang tua mereka, berbeda dengan dulu dimana satu rumah tangga bisa memiliki hingga puluhan hektar. Meskipun demikian masyarakat tidak merubah pekerjaan utamanya sebagai petani, karena bertani merupakan tradisi Tengger yang tidak bisa mereka tinggalkan.

Desa Ranu Pani berada di lereng Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Sejak dikelola oleh taman nasional, Gunung Semeru menjadi wisata yang semakin populer di kalangan para pendaki. Hal ini berdampak kepada masyarakat Ranu Pani, karena mereka harus menyediakan akomodasi bagi para pendaki. Wisata pendakian ini pun membuat beberapa masyarakat memiliki pekerjaan tambahan, diantaranya sebagai porter, guide, sewa jeep, penitipan motor, penjual souvenir, penginapan, dan penjual makanan. Banyaknya lahan pekerjaan tambahan tidak membuat masyarakat meninggalkan pekerjaan mereka sebagai petani. Selain keterkaitan antara bertani dengan Suku Tengger, hal ini dikarenakan hanya sebagian kecil masyarakat yang menyediakan jasa wisata karena mereka lebih mendapatkan keuntungan dari hasil pertanian dibandingkan bekerja di bidang wisata.

“Warga disini semuanya berorientasi ke pertanian, wisata kurang diminati karena pertanian lebih menguntungkan. Masyarakat sini juga belum bisa mengelola wisata mbak, makanya penjual disini banyak yang dari luar desa” (SLM, 26 tahun)

”Kalau lagi musim pendakian ya saya jualan, kalau lagi ditutup saya ke ladang. Disini semua memang jadi petani karena sudah tradisi dari dulu mbak, kami kan dapet warisan

(38)

Pandangan Masyarakat Mengenai Taman Nasional

Sejak ditetapkan dari tahun 1982 hingga sekarang, pihak taman nasional sudah beberapa kali melakukan sosialisasi dan program pemberdayaan. Beberapa diantaranya yaitu sosialisasi batas kawasan, program penghijauan, dan program-program untuk mengatasi gangguan dari masyarakat terhadap kerusakan lingkungan. Ranu Pani sendiri memiki potensi gangguan seperti pencurian kayu bakar untuk penghangat, perburuan liar, pencurian hasil hutan non kayu, kebakaran hutan, sampah pengunjung. Mengatasi potensi ini pihak taman nasional telah membuat program Masyarakat Peduli Api (MPA), Pendampingan kelompok paguyuban porter, taruna wisata, dan pembuatan gerbang desa wisata. Masyarakat merasa taman nasional memiliki satu tujuan yang sama dengan mereka, yaitu untuk melestarikan lingkungan sekitar.

“Kita gak merasa dirugikan, toh taman nasional sudah membantu kita buat menjaga lingkungan. Keadaan disini engga terlalu berubah sejak ada taman nasional, paling

hanya peraturannya saja.” (MST, 43 tahun)

“Taman nasional sudah membantu penghijauan dan perbaikan jalan, tetapi disini butuh sosialisasi untuk kebakaran hutan karena masih ada saja warga yang iseng membakar hutan dgn alasan kayu yg tumbuh akan lebih bagus. Mereka belum tahu dampaknya bagi lingkungan dan bagi kita sendiri.” (SPL, 29 tahun)

Masyarakat merasa senang karena taman nasional sangat membantu dalam pelestarian lingkungan, namun masyarakat merasa taman nasional kurang melakukan pendekatan kepada mereka. Pemberdayaan masyarakat untuk kesejahteraan mereka pun kurang diperhatikan, lantaran taman nasional lebih berorientasi pada konservasi kawasan. Masyarakat merasa pihak taman nasional tidak membaur dengan masyarakat disana (selain para relawan dan masyarakat yang bekerja sebagai petugas taman nasional). Padahal masyarakat berharap pihak taman nasional dapat membantu beberapa masalah yang sedang mereka hadapi, yaitu masalah sumber air, sistem pertanian terasering, kayu bakar, dan pengelolaan wisata. Masyarakat juga merasa kurang setuju dengan sanksi yang diberikan taman nasional ketika ada masyarakat yang melanggar.

(39)

Box 1 Kasus Bapak BNY (32 tahun)

Beliau merupakan seorang petani sekaligus aparat pemerintahan desa. Beliau mengatakan bahwa taman nasional memang punya tujuan baik, tapi seharusnya tetap mementingkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi di Desa Ranu Pani terdapat salah satu resort taman nasional. Masyarakat sudah berpartisipasi dalam kegiatan wisata untuk membantu pendaki, dan membersihkan sampah, juga membantu dalam setiap kegiatan penelitian. Seharusnya taman nasional lebih memperhatikan masalah dan kebutuhan masyarakat. Contohnya sistem terasering, karena lahan yang berbukit menyebabkan air hujan membawa lumpur hingga mengendap ke danau dan membuat jalan tertutup lumpur. Taman nasional diharapkan bisa membantu dalam menyadarkan masyarakat dan bekerja sama dengan instansi terkait. Selain itu hukuman untuk yang mengambil kayu dirasa kurang cocok seharusnya jangan langsung dipenjara tetapi diberi peringatan dulu dan diserahkan ke desa. Jika tidak berubah baru ditangani oleh pihak taman nasional.

(40)
(41)

AKSES MASYARAKAT DESA RANU PANI SEBAGAI DESA

ENKLAF

Akses Pemanfaatan Kayu Bakar

Saat dikelola oleh Perhutani, masyarakat tidak dapat memanfaatkan kayu bakar yang ada di dalam kawasan. Hal ini dikarenakan aturan dari Perhutani yang melarang pemanfaatan hutan, kecuali untuk agroforestri. Meskipun demikian, kebutuhan masyarakat akan kayu bakar tetap terpenuhi. Hal ini dikarenakan kawasan Perhutani yang tidak terlalu luas. Masih terdapat banyak hutan yang mengelilingi Desa Ranu Pani, dan masyarakat mengambil kayu bakar dari hutan tersebut. Masyarakat pun mengatakan bahwa mereka tidak mengalami masalah dalam akses pemanfaatan kayu bakar, karena memang masih banyak hutan yang bisa dimanfaatkan selain kawasan hutan Perhutani.

Setelah taman nasional ditetapkan, pemanfaatan kayu bakar menjadi lebih terbatas. Taman nasional memiliki aturan yang berbeda, selain itu kawasan taman nasional lebih luas daripada kawasan Perhutani. Taman nasional terbagi menjadi beberapa zonasi. Berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 68/Kpts/DJ-VI/1998 tanggal 4 Mei 1998, zonasi TNBTS adalah sebagai berikut:

1. Zona Inti seluas 22.006 Ha, merupakan bagian taman nasional yang kondisi alamnya belum diganggu manusia dan mutlak untuk dilindungi karena berisi keanekaragaman khayati yang khas;

2. Zona Rimba seluas 23.48520 Ha, merupakan wilayah yang mendukung upaya perkembangbiakan satwa liar;

3. Zona Pemanfaatan Intensif seluas 425 Ha, merupakan bagian taman nasional yang potensi alamnya dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya;

4. Zona Pemanfaatan Tradisional seluas 2.360 Ha, merupakan bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang memiliki ketergantungan dengan alam; dan

5. Zona Rehabilitasi (2.000 Ha), merupakan bagian dari taman nasional yang perlu dilakukan pemulihan karena mengalami kerusakan.

(42)

Seluruh rumah tangga membutuhkan kayu bakar hampir seperti kebutuhan primer. Mayoritas masyarakat masih menggunakan kayu bakar untuk memasak dan menghangatkan diri. Suhu saat malam hari yang mencapai 28ºC hingga -6ºC membuat setiap rumah tangga membutuhkan perapian. Selain itu perapian juga berfungsi untuk mendekatkan diri antar anggota keluarga dalam suasana yang hangat. Masyarakat rata-rata mengambil kayu bakar dua hingga tiga kali dalam satu minggu. Kayu bakar yang diambil berasal dari kayu kering di hutan dan kayu yang ditanam di pinggir ladang. Jika kebutuhan kayu bakar tidak dapat terpenuhi dari hutan dan ladang, maka masyarakat terpaksa membeli kayu bakar dari luar desa. Data pemanfaatan kayu bakar oleh masyarakat adalah sebagai berikut:

Tabel 5 Jumlah dan persentase pemanfaatan kayu bakar di Desa Ranu Pani tahun 2016

Asal Kayu Bakar Jumlah Persentase (%)

Hutan 14 40.0

Ladang 14 40.0

Hutan dan Ladang 7 20.0

Total 35 100.0

Berdasarkan Tabel 5 ditunjukkan bahwa sebanyak 14 responden atau 40 persen responden mengambil kayu bakar dari hutan. Sebanyak 14 responden atau 40 persen lainnya mengambil kayu bakar dari hasil kayu yang mereka tanam di pinggir ladang. Sebanyak tujuh responden atau 20 persen sisanya mengambil kayu bakar dari hutan maupun ladang. Melihat data tersebut, masyarakat masih bergantung kepada kayu bakar dari dalam hutan, meskipun pemanfaatan kayu bakar dari pinggir ladang hasilnya sama. Pohon yang ditanam di pinggir ladang untuk diambil kayunya jumlahnya tidak seberapa dengan jumlah pohon yang ada di dalam hutan. Masyarakat pun harus menunggu beberapa tahun untuk dapat mengambil kayu bakar dari pohon yang mereka tanam. Akan tetapi beberapa masyarakat mengatakan bahwa mereka takut untuk mengambil kayu di dalam hutan karena jika mereka ketahuan akan langsung dihukum oleh pihak taman nasional.

(43)

Akses Pemanfaatan Sumber Air

Sumber air di Desa Ranu Pani tidak banyak mengalami perubahan. Pada awalnya satu mata air sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, ditambahn dengan air dari Danau Ranu Pane yang digunakan untuk mengairi ladang. Sementara itu, pertumbuhan penduduk di Desa Ranu Pani semakin meningkat. Hal ini pun diiringi oleh meningkatnya kebutuhan air bersih untuk rumah tangga. Selang beberapa tahun, satu mata air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Saat ini ketersediaan air di Desa Ranu Pani semakin terbatas. Ketersediaan air bersih tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat. Terdapat dua mata air yang biasa digunakan oleh warga, namun karena bertambahnya jumlah rumah tangga kebutuhan air juga semakin meningkat. Baik itu untuk kebutuhan rumah tangga maupun mengairi ladang. Mata air biasa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, sedangkan untuk mengairi ladang masyarakat mengambil dari danau Ranu Pane ataupun menampung air hujan.Menurut keterangan masyarakat, saat ini sudah sulit untuk mendapatkan air dari mata air yang ada, bahkan seringkali tidak ada air yang keluar. Mengatasi masalah ini, beberapa rumah tangga membuat sumur sendiri untuk memenuhi kebutuhan air mereka.

Tabel 6 Jumlah dan persentase pemanfaatan sumber air rumah tangga Desa Ranu Pani tahun 2016

Sumber Air Jumlah Persentase (%)

Mata Air 23 65.7

Sumur 12 34.3

Total 35 100.0

Tabel 6 menunjukkan bahwa hanya 34.3 persen rumah tangga yang membuat sumur sendiri. Sebanyak 65.7 persen rumah tangga masih mengandalkan mata air sebagai sumber air bersih mereka. Hal ini disebabkan oleh faktor ekonomi, tidak semua rumah tangga mau dan mampu membuat sumur. Selain itu air dari mata air masih dianggap mencukupi meskipun terkadang mata air tidak mengalir.

“Kalo air dari sumber sekarang udah makin sedikit, tapi masih cukup untuk mandi sama cuci.Kadang kalau tidak ngalir, kita ambil langsung dari mata airnya.” (STI, 60 tahun)

(44)

pemanfaatan air oleh masyarakat dan mengendapnya lumpur yang turun dari ladang berbukit. Jika tidak segera diatasi maka air di Danau Ranu Pane akan habis.

Akses Pemanfaatan Lahan Pertanian

Luas lahan pertanian sendiri sejak dulu hingga sekarang semakin sedikit, jika dihitung per rumah tangga. Dulu sejak pertama kali pembabatan hutan dan peralihan lahan kosong menjadi lahan pertanian, setiap rumah tangga bisa memiliki 10 hektar hingga 15 hektar ladang. Hal itu terjadi sudah berpuluh tahun silam, yang sudah tidak ditemui lagi saat ini. Sistem pewarisan lahan untuk anak yang menikah menjadi penyebabnya. Jika dulu satu rumah tangga memiliki belasan hektar ladang untuk digarap, saat ini satu rumah tangga rata-rata hanya memiliki ¼ hektar saja. Jual beli lahan tidak berlaku di Desa Ranu Pani karena setiap keluarga ingin mewariskan lahan mereka untuk anak cucunya kelak.

“Disini jarang yang mau jual ladangnya, kalau nanti dijual anak cucu mau jadi apa?Lagian sekarang tanah udah mahal, sama kaya harga tanah di Jakarta. Kita mana punya uang buat beli tanah lagi, buat perawatan ladang aja udah cukup mahal biayanya.” (MAR, 40 tahun)”

Dahulu belum terdapat lahan pertanian di wilayah Ranu Pani, yang ada hanya hutan tanaman dan lahan kosong. Masyarakat sendiri sudah menanam beberapa komoditas pertanian, namun dalam jumlah yang sedikit dan lahan yang terbatas. Dianggap menguntungkan, lahan untuk pertanian pun diperluas. Hingga sekarang, bertani merupakan pekerjaan utama bagi masyarakat Desa Ranu Pani dan juga Suku Tengger. Meskipun terdapat batasan kawasan, masyarakat tetap bekerja di ladang baik itu milik sendiri maupun milik orang lain. Menurut keterangan masyarakat, sekitar tahun 2010 ada beberapa masyarakat yang memperluas lahan mereka sedikit demi sedikit ke dalam kawasan taman nasional. Akan tetapi mayoritas masyarakat sudah mengetahui dan tidak berani untuk memperluas lahan mereka. Masyarakat sudah mengerti bahwa mereka tidak boleh melewati batas kawasan. Saat ini pun sudah tidak ada lagi ladang masyarakat yang merambah ke dalam taman nasional. Setelah dikonfirmasi, ternyata pihak taman nasional mengatakan bahwa masih ada beberapa ladang yang melewati batas kawasan dan akan segera ditinjau ulang.

“Dulu pernah ada yang nanem lewatin batas taman nasional, tapi kalau sekarang sudah gak ada lagi. Taman nasional sudah kasih tau batasnya dimana aja, dan emang ladang gak boleh lewatin batas yang ada.” (ADI, 32 tahun)

(45)

yang berada di tengah-tengah kawasan taman nasional memiliki batasan ruang lingkup. Lahan yang tetap dan penduduk yang terus bertambah menyebabkan desa ini semakin dipadati oleh pemukiman. Selain itu menurut data BPS (2015) di Kecamatan Senduro memang terus terjadi pertumbuhan penduduk, seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 7 Data kependudukan Kecamatan Senduro tahun 2012, 2013, 2014

Uraian 2012 2013 2014

Jumlah Penduduk (Jiwa) 46 762 47 701 47 873

Pertumbuhan Penduduk (%) 0.25 2.01 0.36

Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 204.49 208.59 209.34

Sex Ratio (L/P) (%) 96.32 96.29 97.45

Jumlah Rumah Tangga (ruta) 12 767 12 767 13 129

Rata-rata ART (jiwa/ruta) 3.66 3.74 3.65

Berdasarkan Tabel 7, tren pertumbuhan penduduk terus terjadi selama tiga tahun terakhir. Jika pertumbuhan penduduk terus meningkat, maka dibutuhkan lahan tambahan untuk pemukiman sedangkan luas wilayah Desa Ranu Pani sudah tidak bisa bertambah. Luas wilayah sekitar 385 hektar yang dibagi menjadi wilayah pemukiman dan wilayah pertanian (luas belum teridentifikasi) dari tahun ke tahun semakin dipadati penduduk. Lahan pertanian pun berpotensi semakin berkurang karena bertambahnya kebutuhan untuk pemukiman.

Pada kasus Desa Ranu Pani, terdapat dua kelompok status penguasaan lahan yaitu pemilik murni dan pemilik penggarap. Sementara itu Wiradi (1984) menyebutkan bahwa terdapat lima pengelompokkan dalam status penguasaan lahan, diantaranya pemilik penggarap murni, penyewa dan penyakap murni, pemilik penyewa dan/atau pemilik penyakap, pemilik bukan penggarap, dan tunakisma mutlak. Perubahan status penguasaan lahan diidentifikasi dari awal petani memiliki lahan sendiri hingga saat ini. Status penguasaan lahan tidak berubah akibat adanya penetapan taman nasional, faktor yang menyebabkan perubahan tersebut adalah faktor pewarisan lahan.

Tabel 8 Jumlah dan persentase status penguasaan lahan Desa Ranu Pani sebelum tahun 2016 dan pada tahun 2005

Status Penguasaan Lahan

Sebelum tahun 2005 Tahun 2016

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data
Gambar 2 Pemandangan Desa Ranu Pani dilihat dari Resort Ranu Pani
Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk Desa Ranu Pani berdasarkan kelompok usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tahap persiapan atau disebut juga tahap pemilihan telur (Sortasi) bertujuan untuk mengetahui secara pasti kondisi telur yang akan diasinkan, maka perlu dilakukan

Hal yang mempengaruhi perubahan aliran yang utama pada daerah downstream adalah perubahan penampang tiba-tiba ( expansion ) sehingga aliran yang lepas dari dinding

Solenoid tersebut dibuat dengan satu kumparan dan sumber tegangan yang digunakan adalah tegangan yang disimpan pada

Berdasarkan Paparan diatas, Penulis merasa tertarik untuk meneliti Analisis Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Petani Kopi Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Produksi dan

diketahui bahwa mineralisasi U yang ada di Sektor Lembah Hitam dijumpai sebagai isian fraktur (urat) atau kelompok urat dan sebagai isian matrik breksi tektonik, berasosiasi

Di ayat 22-24 dikatakan: “Kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang

Reaktor plug flow Adalah suatu alat yang digunakan untuk mereaksikan suatu reaktan dalam hal ini fluida dan mengubahnya menjadi produk dengan

Bertitik tolak dari permasalahan yang ada pada tanah gambut maka salah satu alternatif usaha yang dapat dilakukan dalam pengelolaan tanah gambut untuk aktivitas