• Tidak ada hasil yang ditemukan

Regional Study for Small Industry Development Based on Supreme Commodities of Agriculture in Majalengka Regency.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Regional Study for Small Industry Development Based on Supreme Commodities of Agriculture in Majalengka Regency."

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN WILAYAH UNTUK PENGEMBANGAN INDUSTRI

KECIL BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN PERTANIAN

DI KABUPATEN MAJALENGKA

EDWIN HIDAYAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Wilayah untuk Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Majalengka adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Edwin Hidayat

(4)

RINGKASAN

EDWIN HIDAYAT. Kajian Wilayah untuk Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Majalengka. Dibimbing oleh ATANG SUTANDI dan BOEDI TJAHJONO.

Pertanian merupakan sektor basis di Kabupaten Majalengka, namun memiliki keterkaitan sektoral yang lemah dengan sektor industri pengolahan. Padahal perkembangan suatu wilayah sangat memerlukan adanya keterpaduan sinergis antar sektor ekonomi untuk menghindari kondisi stagnasi.

Penelitan ini bertujuan : (1) mengidentifikasi keunggulan komparatif - kompetitif komoditas unggulan pertanian terpilih berdasarkan luas tanam, (2) mengidentifikasi potensial fisik lahan untuk pengembangan komoditas pertanian terpilih, (3) mengidentifikasi desa-desa berbasis industri kecil pengolahan hasil pertanian, (4) mengidentifikasi desa yang memiliki tingkat fasilitas pelayanan dan aksesibilitas tinggi untuk mendukung industri, (5) menentukan daerah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian dan daerah pengembangan komoditasnya. Metode analisis yang digunakan adalah analisis

location quotient (LQ), analisis shift share (SSA), analisis skalogram dan analisis kesesuaian fisik lahan.

Komoditas pertanian yang diteliti adalah jagung, mangga, kedelai, pisang dan melinjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) jagung unggul di enam kecamatan, mangga unggul di 13 kecamatan, kedelai unggul di satu kecamatan dan pisang unggul di dua kecamatan. Tetapi tidak ada satu kecamatan pun yang unggul untuk melinjo; (2) kondisi fisik lahan yang sesuai di tiap wilayah pengembangan komoditas pertanian terdiri atas 21837 hektar untuk jagung, 53049 hektar untuk mangga, 4074 hektar untuk kedelai, dan 15834 hektar untuk pisang; (3) terdapat 179 desa berbasis industri kecil pengolahan hasil pertanian; (4) desa dengan tingkat fasilitas pelayanan dan aksesibilitas tinggi terdiri atas 44 desa; (5) wilayah yang diarahkan untuk pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian terdiri atas tujuh desa sebagai desa industri dan delapan kawasan industri yang merupakan gabungan dari beberapa desa, sedangkan arah prioritas pengembangan komoditas terdiri atas 2827 hektar untuk jagung, 15221 hektar untuk mangga, 3328 hektar untuk kedelai dan 304 hektar untuk pisang. Kata kunci: industri pengolahan, kajian wilayah, kesesuaian lahan, keunggulan

(5)

SUMMARY

EDWIN HIDAYAT. Regional Study for Small Industry Development Based on Supreme Commodities of Agriculture in Majalengka Regency. Supervised by ATANG SUTANDI and BOEDI TJAHJONO.

Agriculture is a basic sector in Majalengka Regency, but it still has a weak sectoral linkages with agro-processing industries. On the other hand, a region development requires the presence of a synergistic integration among economic sectors to avoid stagnation state.

This study aimed to : (1) identify the comparative-competitive of agricultural leading commodities based on acreage, (2) identify the land suitability for commodity development; (3) identify the villages based for small industries agro-processing, (4) identify the villages having high level of the facilities services and accessibility for supporting industry; (5) determine the sites for small industries and its commodity development. The analytical methods used were analysis of the location quotient (LQ), shift share analysis (SSA), schallogram analysis and land suitability analysis.

The study focused on commodities of agricultural i.e. corn, mango, soybean, bananas and melinjo. The results showed that corn was superior in six districts, mango was superior in 13 districts, soybean was superior in one district and bananas was superior in two districts. However, no district was superior to

melinjo. There were 21,837 ha of land that phisically suitable for corn, 53,049 ha for mango, 4,074 ha for soybean and 15,837 ha for banana. There were 179 villages classified as basic for small agro-processing industries. Villages with the high level of facilities services and accessibility consisted of 44 villages. There were 7 industrial villages and 8 industrial areas (consisted of several villages), that could be developed as a small industries in the region based on agricultural supreme commodities. The priority areas for commodity development comprise 2,827 hectares for corn, 15,221 hectares for mango, 3,328 hectares for soybean and 304hectares for bananas.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

KAJIAN WILAYAH UNTUK PENGEMBANGAN INDUSTRI

KECIL BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN PERTANIAN

DI KABUPATEN MAJALENGKA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Kajian Wilayah untuk Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Majalengka Nama : Edwin Hidayat

NIM : A 156120244

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si. Ketua

Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc.Agr.

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah perencanaan wilayah dengan judul Kajian Wilayah untuk Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Majalengka.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir Atang Sutandi, M. Si dan Bapak Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc. selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, istri serta seluruh keluarga, atas segala doa, cinta dan kasih sayang yang telah diberikan dengan tulus selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 3

1.5 Ruang Lingkup Penelitian 3

1.6 Kerangka Pemikiran 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Konsep Pengembangan Wilayah 5

2.2 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif 6 2.3 Pusat Pertumbuhan dan Konsep Pewilayahan Nodal 7

2.4 Perencanaan Pembangunan Wilayah 8

2.5 Evaluasi Kesesuaian Lahan Komoditas Pertanian 9 2.6 Pemilihan Alternatif Terbaik dari Multi Kriteria 11

3 METODE PENELITIAN 12

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 12

3.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 12

3.3 Metode Analisis Data 14

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAJALENGKA 25

4.1 Kondisi Fisik Wilayah 25

4.2 Kondisi Ekonomi Wilayah 28

4.3 Kondisi Sektor Industri Pengolahan 29

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31

5.1 Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah 31 5.2 Potensi Fisik Wilayah untuk Komoditas Unggulan Pertanian 36 5.3 Penentuan Desa Basis Industri Kecil Pengolahan Hasil Pertanian 40

5.4 Penentuan Desa Berhirarki 1 42

5.5 Arahan Wilayah Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian dan Wilayah Pengembangan Komoditasnya 44

6 SIMPULAN DAN SARAN 51

6.1 Simpulan 51

6.2 Saran 52

DAFTAR PUSTAKA 53

LAMPIRAN 55

(12)

DAFTAR TABEL

1 Persentase PDRB tahun 2008-2011 atas dasar harga konstan tahun 2000 1

2 Persentase pekerja menurut lapangan usaha tahun 2004-2008 1

3 Indikator keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan terhadap sektor

ekonomi 2

4 Indikator keterkaitan langsung subsektor tanaman bahan makanan

terhadap sektor industri pengolahan 2

5 Rincian data responden 12

6 Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran 13

7 Kualitas dan karakteristik lahan dalam evaluasi lahan 19

8 Struktur tabel analisis skalogram 20

9 Komponen aksebilitas dan fasilitas dalam skalogram 21

10 Komponen aksesibilitas dan fasilitas dalam skalogram 22

11 Arahan penentuan wilayah pengembangan industri kecil berbasis

komoditas unggulan 23

12 Fluktuasi iklim di Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2009 dan 2011 27

13 Jumlah dan kepadatan penduduk menurut kecamatan tahun 2011 27

14 Kontribusi sektor dalam perekonomian Majalengka tahun 2007-2011 menurut kelompok sektor atas dasar harga berlaku 29

15 Jumlah industri besar dan sedang menurut kelompok industri

pengolahan 2011 29

16 Jumlah industri kecil dan industri rumah tangga menurut kelompok

industri pengolahan 2011 30

17 Kondisi komoditas pertanian terpilih tahun 2011 31

18 Nilai LQ luas tanam komoditas terpilih di tiap kecamatan 32

19 Hasil analisis shift share komoditas per kecamatan 33

20 Penentuan komoditas unggulan secara komparatif dan kompetitif per

kecamatan 35

21 Jumlah desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian tiap

kecamatan 41

22 Desa hirarki 1 di Kabupaten Majalengka 43

23 Desa terpilih untuk pengembangan industri kecil berbasis komoditas

unggulan pertanian 45

24 Arahan desa pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan

pertanian 46

25 Arahan kawasan pengembangan industri kecil berbasis komoditas

unggulan pertanian 47

26 Hasil analisis MCDM-TOPSIS prioritas program pembangunan 51

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 4

2 Bagan alir penelitian 14

3 Wilayah administrasi Kabupaten Majalengka 26

4 Sebaran topografi wilayah administrasi Kabupaten Majalengka 28

5 Sebaran wilayah yang unggul komparatif dan kompetitif komoditas

(13)

6 Peta kesesuaian lahan komoditas jagung 37

7 Peta kesesuaian lahan komoditas mangga 38

8 Peta kesesuaian lahan komoditas kedelai 39

9 Peta kesesuaian lahan komoditas pisang 40

10 Sebaran desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian 41

11 Peta hasil skalogram tingkat fasilitas pelayanan dan aksebilitas 44

12 Peta arahan wilayah pengembangan industri 46

13 Peta prioritas lahan pengembangan komoditas jagung 47

14 Peta prioritas lahan pengembangan komoditas mangga 48

15 Peta prioritas lahan pengembangan komoditas kedelai 49

16 Peta prioritas lahan pengembangan komoditas Pisang 50

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis LQ industri 55

2 Hasil analisis skalogram 59

3 Nilai differential shift, proporsional shift dan regional share luas lahan

tiap komoditas terpilih 58

4 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Jagung (Zea mays) 62

5 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Mangga (Mangifera

indica) 63

6 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Kedelai (Glycine max) 64

7 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pisang (Musa acuminata) 65

8 Hasil pengolahan MCDM-TOPSIS 66

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebijakan otonomi daerah seperti dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan peluang sekaligus tuntutan bagi daerah untuk lebih kreatif menggali, mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya lokal bagi kesejahteraan masyarakat. Kabupaten Majalengka merupakan daerah yang mempunyai sumber daya lokal yang dominan berupa pertanian. Hal ini tercermin dari aktivitas pertanian yang sangat berpengaruh terhadap struktur perekonomian daerah. Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar produk domestik regional bruto (PDRB) dan penyerapan tenaga kerja (Tabel 1 dan Tabel 2).

Peranan sektor pertanian tersebut tidak lepas dari keberadaan komoditas unggulan pertanian. Rachmawati (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa komoditas unggulan pertanian di Kabupaten Majalengka berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif, keterkaitan antar sektor ekonomi serta tingkat keberminatan petani pada tingkat provinsi adalah padi, jagung, mangga, kedelai, pisang dan melinjo. Tetapi, Rachmawati (2012) juga menjelaskan bahwa pada Tabel 2 Persentase pekerja menurut lapangan usaha tahun 2004-2008

LAPANGAN USAHA PENDUDUK YANG BEKERJA (%) 2004 2005 2006 2007 2008 Pertanian 36.8 29.9 31.2 37.6 27.9 Pertambangan dan penggalian 1.6 2.3 0.7 0.4 4.7 Industri pengolahan 19.1 18.4 19.4 13.9 17.1 Listrik, gas dan air minum 0.1 0.4 0.1 0.2 0.7 Konstruksi bangunan 4.9 7.9 5.4 5.4 4.5 Perdagangan, hotel dan restoran 23.8 26.1 26.7 26.6 19.5 Pengangkutan dan komunikasi 5.5 6.0 5.8 5.5 6.6 Keuangan 0.5 0.7 0.5 1.2 5.6 Jasa-jasa lainnya 7.9 8.3 10.3 9.2 13.8

Sumber : Bappeda (2009)

Tabel 1 Persentase PDRB tahun 2008-2011 atas dasar harga konstan tahun 2000

LAPANGAN USAHA TAHUN

2008 2009 2010 2011

Pertanian 28.1% 28.0% 27.2% 26.6% Pertambangan dan galian 4.1% 4.0% 3.9% 3.9% Industri pengolahan 17.1% 17.1% 17.0% 16.9% Listrik, gas, air bersih 0.7% 0.7% 0.7% 0.7% Kontruksi bangunan 4.6% 4.6% 4.8% 5.0% Perdagangan, hotel dan restoran 19.7% 19.8% 20.6% 21.2% Pengangkutan dan komunikasi 6.4% 6.4% 6.5% 6.5%

Keuangan 5.7% 5.7% 5.7% 5.8%

Jasa-jasa lainnya 13.7% 13.7% 13.5% 13.4% PDRB (jutaan rupiah) 4042240.29 4233442.84 4427885.12 4634804.4

(16)

2

tingkat kabupaten, ternyata komoditas unggulan pertanian tersebut berkinerja rendah dalam keterkaitan sektoral. Kinerja tersebut diukur dengan analisis Input-Output tahun 2009 berdasarkan indikator direct and direct-inderect forward lingkage, direct and inderect backward lingkage, indeks daya penyebaran (IDP), serta indeks daya kepekaan (IDK) (Tabel 3).

Di sisi lain, walaupun sektor industri di Kabupaten Majalengka bukan sektor basis (Rachmawati 2012), namun sektor ini memiliki peran signifikan terhadap perekonomian daerah. Hal tersebut tercermin dari sumbangannya terhadap total

PDRB sebesar 16.88% (Tabel 1) dan penyerapan tenaga kerja sektoral sebesar 17.10% (Tabel 2). Tetapi, sebagaimana halnya dengan sektor ekonomi lain, keterkaitannya dengan sektor pertanian masih tampak lemah (Tabel 4).

1.2 Perumusan Masalah

Lemahnya keterkaitan sektoral antara komoditas unggulan pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian di Kabupaten Majalengka dapat dilihat dari

output komoditas pertanian dimaksud yang hanya digunakan untuk memenuhi permintaan akhir, baik internal wilayah (konsumsi masyarakat, pengeluaran pemerintah dan investasi) maupun ekternal wilayah (ekspor), tanpa mampu menjadi input bagi industri pengolahan. Fenomena ini memicu terjadinya

backwash effect karena add value yang timbul dari rangkaian aktivitas industri yang berbahan baku komoditas unggulan pertanian tidak dapat dinikmati oleh masyarakat lokal.

Di sisi lain, lemahnya keterkaitan sektoral tersebut juga menggambarkan kenyataan bahwa industri pengolahan hasil pertanian di Kabupaten Majalengka cenderung bersifat footless industry. Artinya, industri yang tumbuh bukanlah industri yang berpijak pada komoditas pertanian lokal yang unggul sehingga Tabel 4 Indikator keterkaitan langsung subsektor tanaman bahan makanan

terhadap sektor industri pengolahan

No. Komoditas Direct

Backward linkage

Direct Forward Linkage

1 Jagung 0.0082 0.0039

2 Buah-buahan 0.0052 0.0144 3 Sayur-sayuran 0.0030 0.0030

4 Ubi kayu 0.0083 0.0020

5 Lainnya 0.0023 0.0056

Sumber : Rachmawati (2012)

Tabel 3 Indikator keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan terhadap sektor ekonomi

No Komoditas

Backward linkage Forward Linkage

IDP IDK

Direct

Direct-indirect Direct

Direct-indirect

1 Padi 0.0967 1.1315 0.2561 1.4751 0.9030 1.1773 2 Jagung 0.1394 1.1772 0.0627 1.0716 0.9395 0.8552 3 Kedelai 0.0940 1.1110 0.0823 1.0960 0.8866 0.8747 4 Buah-buahan 0.0967 1.1217 0.0928 1.1173 0.8952 0.8917

(17)

3 justru akan memperkuat terjadinya mekanisme impor bahan baku dari luar wilayah dan pada akhirnya akan melemahkan posisi sektor pertanian itu sendiri.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan upaya pemerintah untuk memacu tumbuhnya industri pengolahan yang memiliki kaitan (linkage) yang kuat dan mampu mendorong pertumbuhan komoditas unggulan pertanian melalui suatu perencanaan pembangunan yang komprehensif, salah satunya melalui pendekatan perencanaan kewilayahan.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas unggulan pertanian;

2. Mengindentifikasi potensi fisik lahan untuk komoditas unggulan pertanian terpilih;

3. Mengidentifikasi desa basis industri kecil untuk pengolah hasil pertanian; 4. Identifikasi desa dengan tingkat kapasitas pelayanan dan aksesibilitas yang

dapat mendukung industri;

5. Menetapkan arahan wilayah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan dan wilayah pengembangan komoditasnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana pengembangan industri untuk menunjang pembangunan wilayah berbasis pertanian di Kabupaten Majalengka.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini, lingkup industri yang dimaksud adalah industri sebagaimana didefinisikan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian yang merupakan bagian dari sektor ekonomi daerah dan difokuskan kepada penentuan wilayah pengembangan, wilayah pendukung serta arahan strategi pembangunannya, bukan kepada produk dan proses produksi industri itu sendiri. Sementara itu, industri yang dikaji adalah industri dengan klasifikasi industri kecil yang terdiri dari kelompok industri rumah tangga dan industri kecil menurut klasifikasi Badan Pusat Statistik, yaitu industri dengan jumlah pekerja kurang dari 20 orang.

Kaitannya dengan komoditas unggulan pertanian yang merupakan bagian dari penelitian ini, mengacu kepada komoditas unggulan bahan pangan yang dipilih dari sebagian hasil penelitian Rachmawati (2012), yaitu : jagung, mangga, kedelai, pisang dan melinjo.

1.6 Kerangka Pemikiran

(18)

4

Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan industri adalah dimana lokasi industri tersebut harus didirikan dan dikembangkan. Faktor penentu lokasi industri adalah : (1) biaya angkutan; (2) konsentrasi tenaga kerja; dan (3) gejala aglomerasi, dimana biaya angkutan merupakan faktor penentu utama. Hasil analisis Weber (1909) menyatakan bahwa tanpa adanya perbedaan biaya produksi antar lokasi, maka keputusan penempatan lokasi industri manufaktur akan ditentukan pada titik lokasi dengan biaya terendah (Rustiadi et al. 2011).

Lebih jauh Weber menganalisis bahwa faktor biaya transportasi dapat ditentukan dengan perhitungan indeks material (IM). IM dihitung dengan cara membagi bobot bahan baku lokal yang digunakan dalam industri dengan bobot produksi akhir. Dari perhitungan tersebut akan diperoleh kecenderungan pengembangan industri apakah lebih berorientasi pada lokasi bahan baku atau berorientasi pada lokasi pasar. Jika IM>1, maka kecenderungan lokasi industri lebih berorientasi kepada lokasi bahan baku, jika IM <1, lokasi industri cenderung berorientasi ke pasar dan jika IM = 1, lokasi berorientasi antara bahan baku dan pasar.

Dalam kasus industri primer (industri yang mengolah secara langsung bahan mentah menjadi barang ½ jadi atau barang jadi), hubungan antara kehilangan bobot bahan baku yang tinggi dan lokasi industri cenderung sangat kuat. Menurut Weber bahwa industri dengan IM>1 akan cenderung berlokasi mendekati sumber bahan baku adalah valid (Rustiadi et al. 2011).

Dalam rangka memenuhi aspek kedekatan bahan baku, perlu dianalisis wilayah-wilayah dengan keunggulan baik komparatif maupun kompetitif tempat komoditas pertanian berada dan bagaimana potensi fisiknya untuk digunakan sebagai wilayah pengembangan bahan baku industri. Berkaitan dengan aspek adanya gejala aglomerasi yang didefinisikan sebagai suatu keuntungan atau

Potensi industri pengolahan hasil pertanian

Kegiatan Pembangunan Kabupaten Majalengka

Potensi Wilayah Pertanian Unggulan

linkage

Wilayah pengembangan industri Pengolahan hasil pertanian

Analisis pengambilan keputusan

Arahan pengembangan industri pengolahan hasil Pertanian berbasis komoditi unggulan Persepsi stakeholder

Fasilitas, infrastuktur dan aksebilitas desa

Karakteristik Fisik Lahan

Wilayah pengembangan komoditas unggulan pertanian

(19)

5 penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan produksi yang dilakukan di satu tempat atau terkonsentrasi di suatu lokasi (Sitorus 2012), didekati dengan menganalisis wilayah-wilayah tempat terpusatnya aktivitasi industri kecil pengolahan hasil pertanian saat ini.

Selanjutnya adalah aspek konsentrasi tenaga kerja yang didekati dengan menganalisis wilayah dengan fasilitas pelayanan dan aksesibililitas berorde tinggi secara relatif terhadap wilayah lainnya (hirarki 1). Hal ini mengacu kepada pendapat Rustiadi et al. (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi ordo wilayah berarti semakin tinggi pula tingkat pelayanan fasilitas dan menunjukkan aktivitas sosial ekonomi yang tinggi pula. Tingkat pelayanan ini berkorelasi erat dengan jumlah penduduk, sehingga seringkali wilayah yang berorde tinggi mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi.

Dengan demikian, wilayah pengembangan industri berbasis komoditas unggulan pertanian di Kabupaten Majalengka dapat ditentukan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berhubungan dengan program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mencakup penelaahan keterkaitan antar kawasan. Sementara itu, pengembangan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan keamanan (Rustiadi et al. 2011).

Menurut Sitorus (2012), pengembangan atau pembangunan didefinisikan sebagai upaya yang terkoordinasi dan sistematik untuk menciptakan suatu keadaan dimana terdapat lebih banyak alternatif yang sah bagi setiap warga negara untuk memenuhi aspirasinya yang paling humanistik yaitu peningkatan kesejahteraan.

(20)

6

kecil adalah keseimbangan pertumbuhan antara kecamatan, desa, dan seterusnya (Rinaldi 2004).

Menurut Rustiadi et al. (2011), hal penting dalam menyusun perencanaan pembangunan berbasis wilayah adalah memperhatikan keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah adanya upaya mencapai pembangunan berimbang (balanced development), dengan terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan di setiap wilayah maupun daerah yang beragam sehingga dapat memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah.

Dalam pembangunan wilayah perlu senantiasa diarahkan pada tujuan pengembangan wilayah, antara lain untuk mencapai: (1) pertumbuhan (growth), yaitu terkait dengan alokasi berbagai sumber daya yang langka yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan, untuk hasil yang maksimal, sehingga hasil tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktivitasnya; (2) pemerataan (equity), yang terkait dengan pembagian manfaat hasil pembangunan secara adil sehingga setiap warga negara yang terlibat perlu memperoleh pembagian hasil yang memadai secara adil. Dalam hal ini perlu adanya kelembagaan yang dapat mengatur manfaat yang diperoleh dari proses pertumbuhan material maupun non-material di suatu wilayah secara adil; serta (3) keberlanjutan (sustainability), bahwa penggunaan sumber daya baik yang ditransaksikan melalui sistem pasar maupun di luar sistem pasar tidak boleh melampaui kapasitas kemampuan produksinya (Anwar 2005).

Menurut Rustiadi et al. (2011), timbulnya disparitas antar wilayah antara lain disebabkan oleh beberapa faktor utama yang terkait dengan variabel fisik maupun variabel ekonomi wilayah, yaitu: (1) geografi; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi; (6) sosial-budaya; dan (7) ekonomi. Suatu wilayah yang memiliki kondisi geografi yang lebih baik akan mempunyai kemampuan untuk berkembang yang lebih baik pula dibandingkan dengan wilayah dengan kondisi geografi yang kurang menguntungkan. Bentuk organisasi serta kondisi perekonomian pada masa lalu akan mempengaruhi tingkat perkembangan masyarakat di suatu wilayah dalam hal menumbuhkan inisiatif dan kreativitas dalam bekerja dan berusaha. Instabilitas politik serta sistem administrasi yang tidak efisien akan menghambat pengembangan wilayah dalam hal hilangnya peluang investasi akibat ketidakpastian usaha terutama di bidang ekonomi dan perijinan yang rumit. Demikian juga kebijakan pemerintah yang tidak tepat dengan lebih menekankan pada pertumbuhan pembangunan tanpa diimbangi dengan pemerataan. Nilai-nilai sosial-budaya masyarakat yang konservatif dan kontraproduktif akan menghambat perkembangan ekonomi wilayahnya.

2.2 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

(21)

7 ekonomi wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi di dalam proses pemenuhan kebutuhan pada sektor tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah, sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di wilayahnya sendiri dan kapasitas ekspor wilayah belum berkembang.

Basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Berdasarkan pemikiran itu, sektor basis dapat membangun dan memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sehingga diidentifikasi sebagai mesin ekonomi lokal.

Keragaman fisik secara geografis menjadi sebab adanya konsep keunggulan komparatif bagi suatu wilayah. Sifat fisik geografis yang merupakan karakteristik yang melekat di suatu wilayah merupakan pembeda satu wilayah dengan wilayah yang lain, sehingga pertimbangan terhadap aktivitas spesifik yang khas dan sesuai dengan keunggulan komparatifnya menjadi bagian penting dalam perencanaan suatu wilayah (Panuju dan Rustiadi 2012).

Di sisi lain, adanya pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor ekonomi merupakan hal yang diharapkan dari dilaksanakannya pembangunan. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran aktifitas ekonomi. Panuju dan Rustiadi (2012) berpendapat bahwa pemahaman terhadap pergeseran struktur aktifitas ekonomi suatu wilayah dan membandingkannya dalam cakupan referensi yang lebih luas pada waktu yang berbeda dapat menjelaskan kemampuan berkompetensi (competitiveness) aktivitas tertentu secara dinamis di suatu wilayah atau dalam cakupan wilayah yang lebih luas.

2.3 Pusat Pertumbuhan dan Konsep Pewilayahan Nodal

Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah, perlu diidentifikasi wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan yang mampu menggerakan ekonomi wilayah di sekitarnya. Melalui pendekatan konsep wilayah nodal, dapat diketahui wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan dan dampaknya dalam memberikan multiplier effect terhadap wilayah lain.

(22)

8

daerah belakangnya, adanya konsentrasi geografis berbagai sektor atau fasilitas yang menciptakan efisiensi, serta terdapat hubungan yang harmonis antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya.

Anwar (2005) mengemukakan bahwa pendekatan analisis pembangunan wilayah yang lebih tepat harus mampu mencerminkan adanya kerangka berfikir yang menyangkut interaksi antara aktivitas-aktivitas ekonomi spasial dan mengarah pada pemanfaatan sumber daya secara optimal antara kegiatan di kawasan kota-kota dan wilayah-wilayah belakangnya, dan interaksi dengan wilayah-wilayah lain yang lebih jauh. Antara kawasan kota dan wilayah belakangnya dapat terjadi hubungan fungsional yang tumbuh secara interaktif yang dapat saling mendorong atau saling menghambat dalam mencapai tingkat kemajuan optimum bagi keseluruhannya.

Menurut Rustiadi et al. (2011), berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat maupun hinterland suatu wilayah memiliki ciri khas dimana inti mengatur proses berjalannya interaksi dari komponen sel, sedangkan hinterland mendukung keberlangsungan hidup sel dan mengikuti pengaturan yang dibangun oleh inti. Jika suatu wilayah dianalogikan sebagai satu sel, maka dalam wilayah kota utama yang menjadi inti dari wilayah memiliki fungsi penting yang berperan besar dalam mempengaruhi jalannya interaksi antar hinterland. Pusat memiliki daya tarik kuat bagi elemen di hinterland. Daya tarik tersebut secara harfiah berupa berbagai layanan yang didukung oleh fasilitas yang lengkap. Hinterland mendukung berjalannya proses penting yang dilakukan di pusat. Proses-proses penting tersebut terdiri atas proses-proses transaksi dan peningkatan nilai tambah produksi. Industri dan jasa sebagai titik-titik aktifitas berperan besar dalam peningkatan nilai tambah dan akan berkembang pesat di inti (kota) dengan fasilitas yang lengkap tersebut. Sebaliknya, hinterland sebagai pendukung berlangsungnya proses di pusat memiliki keunggulan sumber daya dasar untuk mendukung proses peningkatan nilai tambah di pusat.

Secara teknis identifikasi pusat dan hinterland dapat dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya. Pusat yang memiliki daya tarik kuat karena lengkapnya fasilitas dicirikan dengan jumlah unit dan jumlah jenis fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan di hinterland. Disamping fasilitas umum, pusat juga berpotensi memiliki industri dan jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas yang lebih besar dan baik dibandingkan dengan unit wilayah yang lain.

Selanjutnya, wilayah pusat tersebut disebut sebagai wilayah yang berhirarki lebih tinggi (hirarki 1). Semakin jauh dari pusat maka pengaruh dan manfaat pelayanan akan semakin kecil, sehingga akan cenderung memiliki hirarki yang lebih rendah (Panuju dan Rustiadi 2012).

2.4 Perencanaan Pembangunan Wilayah

(23)

9 dalam ruang wilayah, sehingga terlihat adanya perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang yang lainnya. Perbedaan fungsi tersebut terjadi karena perbedaan lokasi, perbedaan potensi, dan perbedaan aktivitas utama pada masing-masing ruang yang harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung dalam penciptaan pertumbuhan yang serasi dan seimbang (Tarigan 2008).

Perencanaan pembangunan wilayah dalam hubungannya dengan suatu daerah sebagai wilayah pembangunan, merupakan suatu proses perencanaan pembangunan yang bertujuan melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah atau daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, serta harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, namun tetap berpegang pada asas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah 2005).

Perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan, yang kemudian diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah maupun swasta. Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan diharapkan dapat mewujudkan keserasian sumber daya pembangunan, sehingga dapat meminimalisasi inkompabilitas antar sektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan sumber daya baik ke depan maupun ke belakang, serta proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju dan menghindari kebocoran maupun kemubaziran sumber daya (Anwar 2005).

Menurut Rustiadi et al. (2011), skala prioritas pembangunan harus didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dan lain-lain); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah. Menurut Saefulhakim (2004), keterbatasan dalam hal ketersediaan sumber daya harus menjadi pertimbangan pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program pembangunan daerahnya sehingga dalam perencanaan pembangunan perlu ditetapkan adanya skala prioritas pembangunan.

2.5 Evaluasi Kesesuaian Lahan Komoditas Pertanian

(24)

10

karakteristik lahan menunjukkan bahwa lahan tersebut sesuai untuk penggunaan yang dikehendaki (Sitorus 2012).

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), pengertian kesesuaian lahan berbeda dengan kemampuan lahan. Kemampuan lahan lebih menekankan pada kapasitas berbagai penggunaan lahan yang dapat diusahakan di suatu wilayah. Semakin banyak kapasitas atau alternatif penggunaan yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah, maka kemampuan lahan wilayah tersebut makin tinggi, sedangkan kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu.

Menurut Djaenudin et al. (2011) terdapat dua macam kesesuaian lahan, yaitu kesesuaian lahan kualitatif dan kesesuaian lahan kuantitatif. Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang hanya dinyatakan dalam istilah kualitatif, tanpa memperhitungkan dengan tepat hal-hal yang terkait dengan biaya, modal maupun keuntungan. Klasifikasi ini didasarkan hanya pada potensi fisik lahan. Sementara itu kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan tidak hanya pada fisik lahan, tetapi juga mempertimbangan aspek ekonomi, seperti input-output atau cost-benefit.

Masing-masing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai berdasarkan waktu dan penggunaannya menjadi kelas kesesuaian aktual dan kelas kesesuaian potensial. Menurut Hardjowigeno (1994), kesesuaian lahan aktual menunjukkan kesesuaian lahan tanpa ada perbaikan yang berarti, sedangkan kesesuaian lahan potensial menunjukkan kesesuaian terhadap penggunaan lahan yang ditentukan dari satuan lahan dalam keadaaan yang akan datang setelah diadakan perbaikan utama tertentu.

Proses evaluasi dilakukan dengan membandingkan sifat-sifat atau kualitas lahan yang akan digunakan dengan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Menurut FAO dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif dari kesesuaian lahan tergantung dari ketersediaan data. Kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan terdiri atas empat kategori yaitu: (1) Ordo, yang menunjukkan apakan suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu; (2) Kelas, yang menunjukkan tingkat kesesuaian lahan dalam order; (3) Subkelas, yang menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dilakukan dalam masing-masing kelas; (4) Unit, yang menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang berpengruh dalam pengelolaan suatu sub kelas. Selanjutnya, struktur klasifikasi kesesuaian lahan yang digunakan mengikuti kelas kesesuaian lahan menurut FAO (1976) dalam Djaenudin et al.

(2011) yang membedakan ordo “sesuai” (S) menjadi tiga kelas yaitu lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marjinal (S3) dan lahan yang tergolong

ordo “tidak sesuai” (N).

(25)

terbatas-11

marjinally suitable), yaitu lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus ditetapkan. Dalam hal ini pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau akan menambah input

yang diperlukan; (4) Kelas N (tidak sesuai not suitable), yaitu lahan mempunyai pembatas yang lebih besar sehingga menyulitkan berdasarkan tingkat pengelolaannya atau lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

Penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan peryaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh komoditas pertanian (Djaenudin et al. 2011).

2.6 Pemilihan Alternatif Terbaik dari Multi Kriteria

Dalam konsep perencanaan wilayah partisipatif–kolaboratif penentuan prioritas pembangunan dilakukan dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terdiri atas unsur pemerintahan serta pengguna atau mereka yang menerima manfaat/dampak dari hasil-hasil pembangunan baik dari kalangan swasta maupun masyarakat. Salah satu metoda yang dapat dilakukan adalah menyebarkan kuesioner kepada responden sebagai pewakil dari stakeholder dimaksud. Kuesioner atau angket adalah teknik pengumpulan data dengan menyerahkan atau mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden (Riyadi dan Bratakusumah 2005).

Hasil persepsi responden selanjutnya digunakan untuk menentukan alternatif pengambilan keputusan terkait arahan program pembangunan. Pengambilan keputusan adalah proses untuk mencari pilihan terbaik dari semua alternatif yang tersedia. Kriteria-kriteria tersebut biasanya bertentangan antara satu dengan lainnya sehingga kemungkinan tidak ada solusi yang memuaskan semua kriteria secara simultan. Itulah sebabnya, untuk banyak kasus, pengambil keputusan memerlukan pemecahan masalah dengan menggunakan Multi-Criteria Decision-Making (MCDM) (Jahanshahloo et al. 2009).

(26)

12

TOPSIS pertama kali diperkenalkan oleh oleh Hwang dan Yoon (1981) sebagai metode pengambilan keputusan multi-kriteria (MCDM), yang mengidentifikasi solusi dari pemilihan sejumlah alternatif. TOPSIS menggunakan prinsip bahwa alternatif yang terpilih harus mempunyai jarak terdekat dari solusi ideal positif dan terjauh dari solusi ideal negatif dimana secara geometris digunakan jarak euclidean untuk menentukan kedekatan relatif dari suatu alternatif dengan solusi optimal (Zhang 2011).

3

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terletak pada koordinat 6032’ - 704’ lintang selatan dan 10802’ - 1080 24’ bujur timur. Waktu penelitian mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan thesis dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Oktober 2013.

3.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data sekunder dan data primer. Data primer yang digunakan adalah data preferensi responden. Data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner untuk mengetahui pendapat responden terkait dengan kondisi eksisting industri kecil pengolahan hasil pertanian serta program yang diperlukan dalam pengembangan dan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah terkait dengan industri kecil dimaksud. Responden adalah stakeholder yang terdiri atas unsur pemerintahan serta pengguna atau mereka yang menerima manfaat/dampak dari hasil-hasil pembangunan baik dari kalangan swasta maupun masyarakat (Tabel 5). Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling.

Sementara itu, data sekunder meliputi: (1) Majalengka Dalam Angka Tahun 2008 dan Data Sektoral Kabupaten Majalengka Tahun 2012. Data yang digunakan

Tabel 5 Rincian data responden

No. Asal Responden Jumlah

1. Unsur Pemerintah :

Bappeda Kabupaten Majalengka

Dinas KUKM Perindag Kabupaten Majalengka Sub Bagian Perencanaan, evaluasi dan Pelaporan Seksi Perencanaan dan Fasilitasi Industri

Seksi Pemberdayaan & Pengembangan Industri Seksi Promosi dan Kemitraan UKM

Seksi Pemberdayaan & Pengembangan UKM

1

1 1 1 1 1 2. Unsur Masyarakat dan Swasta

Pelaku usaha industri agro Masyarakat

(27)

13 adalah luas tanam untuk lima komoditas pertanian, yaitu: jagung, mangga, kedelai, pisang dan melinjo tahun 2007 dan 2011. Data diperoleh dari Bappeda Kabupaten Majalengka; (2) Data Potensi Industri Kabupaten Majalengka 2013. Data yang digunakan adalah jumlah industri kecil untuk semua kelompok industri pengolahan di Kabupaten Majalengka tahun 2012. Data Diperoleh dari Dinas KUKM Perindag Kabupaten Majalengka; (3) Data Potensi Desa (PODES) Kabupaten Majalengka Tahun 2011. Data yang digunakan adalah data dalam tingkat desa. Data diperoleh dari BPS Kabupaten Majalengka; (4) Peta dasar meliputi Peta Batas Administrasi Wilayah, Peta Tanah Jawa-Bali versi BBPPSDLP tahun 2010 (skala 1:100,000), Peta Sistem Lahan Jawa versi RePPProT (skala 1:250,000), Peta Curah Hujan Jawa Barat (skala 1:250,000), Peta Administrasi Desa, Kecamatan dan Kabupaten (skala 1:25,000), dan peta-peta tematik lainnya yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian (BBPPSDLP) dan Bappeda Kabupaten Majalengka.

Alat analisis yang digunakan adalah software pengolah data (Excell, dan SANNA) serta software sistem informasi geografis (ArcGIS). Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran yang diharapkan untuk masing-masing tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran

No Tujuan Jenis dan Sumber data

Teknik analisis

Output yang diharapkan

1 Identifikasi wilayah dengan keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas pertanian terpilih

Data Sektoral Kabupaten (BPS dan BAPPEDA)

LQ, SSA Kecamatan yang unggul untuk tiap komoditas dan sebaran spasialnya

2 Mengindentifikasi potensi fisik lahan untuk komoditas pertanian terpilih

Peta dasar dan tematik (BAPPEDA , BBPPSDLP )

Metode

Matching

Peta Kesesuaian Lahan untuk komoditas terpilih

3 Identifikasi desa basis industri kecil pengolah hasil pertanian

Potensi Industri Kabupaten (DISKUKM-PERINDAG)

LQ Desa basis industri dan sebaran spasialnya

4 Mengidentifikasi tingkat fasilitas pelayanan desa dan aksebilitasnya untuk mendukung pengembangan industri

Data Potensi Desa (BPS)

Skalogram Desa hirarki I tingkat fasilitas pelayanan dan aksebilitas dan sebaran spasialnya

5 Menetapkan Arahan wilayah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan dan wilayah pengembangan

komoditasnya

a.Menentukan wilayah pengembangan indusri

Hasil analisis Penetapan kriteria

Wilayah pengembangan industri kecil

b.Menentukan wilayah pengembangan komoditas

Hasil analisis Penetapan kriteria

Wilayah pengembangan komoditas

(28)

14

3.3 Metode Analisis Data

Tahapan analisis data mengikuti bagan alir yang tersaji pada Gambar 2. Berdasarkan bagan alir tersebut, hal yang pertama dilakukan adalah mengidentifkasi wilayah yang unggul secara komparatif-kompetitif dalam tingkat kecamatan dengan menggunakan analisis LQ dananalisis shift share (SSA). Nilai LQ digunakan untuk menunjukkan tingkat comparativeness untuk suatu komoditas unggulan, sedangkan nilai SSA menunjukkan tingkat

competitiveness-nya.

Tahap kedua adalah mengevaluasi kesesuaian lahan komoditas unggulan pertanian. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui potensi pengembangan komoditas unggulan pertanian bagi keberlangsungan pasokan bahan baku industri. Evaluasi dilakukan dengan mencocokkan (matching) kondisi fisik lahan tersebut dengan kriteria kesesuaian lahan untuk tiap komoditas. Evaluasi ini dilaksanakan dalam tingkat tinjau dengan menggunakan peta-peta tematik, yaitu peta curah hujan, peta suhu, peta rataan bulan kering, peta tekstur tanah dan kelerengan. Dari hasil evaluasi lahan dapat diketahui tingkat kesesuaian lahan bagi budi daya komoditas tertentu. Analisis LQ Kecamatan yang unggul komparatif dan kompetitif atas komoditas pertanian Peta administrasi dan tematik (kabupaten) fasilitas pelayanan dan Aksebilitas (Podes)

Wilayah Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian

dan Wil. Pengembangan komoditasnya Kriteria penentuan wilayah pengembangan Prioritas program pembangunan industri pengolahan hasil pertanian Analisis MCDM Kelompok industri dan jml unit Industri Kecil (Potensi Industri) Persepsi stakeholder Luas Tanam 5 komoditas unggulan pertanian (Data Sektoral Kab)

Analisis LQ dan SSA Desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian Analisis Skalogram

Desa Khirarki I perkembangan wilayah Analisis Kesesuaian Lahan Potensi pengembangan komoditas Analisis Deskriptif Arahan Pembangunan Industri Kecil Berbasis

Komoditas Unggulan

(29)

15 Tahap ketiga adalah mengidentifikasi desa-desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian. Didasarkan kepada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tahun 2009 yang diterbitkan oleh BPS, industri pengolahan hasil pertanian di Kabupaten Majalengka merupakan gabungan dua kelompok industri, yaitu kelompok pengolahan makanan dan kelompok pengolahan minuman. Metoda yang digunakan adalah analisis LQ dengan cara memperbandingkan desa-desa di seluruh Kabupaten Majalengka berdasarkan jumlah industri kecil dari semua kelompok industri yang ada. Dari hasil analisis LQ diperoleh desa-desa basis industri kecil untuk tiap kelompok industri dan selanjutnya dipilih adalah desa-desa yang merupakan basis dari gabungan kelompok industri pengolahan makanan dan minuman.

Tahap keempat adalah mengidentifikasi desa berdasarkan fasilitas pelayanan dan aksesibilitasnya. Untuk itu dilakukan analisis hirarki wilayah dengan menggunakan metode skalogram bagi semua desa di Kabupaten Majalengka. Analisis dilakukan untuk melihat sejauh mana tingkat fasilitas pelayanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat ditentukan: (1) desa yang kurang berkembang dalam kaitannya dengan penyediaan sarana pelayanan publik dan aksesibilitas; (2) desa yang memiliki perkembangan yang relatif sama dengan rata-rata perkembangan desa lain; dan (3) desa yang paling optimal sebagai lokasi pusat pelayanan dan pusat pertumbuhan ekonomi yang mampu menunjang perkembangan industri.

Tahap kelima adalah menentukan desa-desa yang dijadikan sebagai wilayah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan. Penentuan desa tersebut didasarkan kepada kriteria yang ditetapkan, yaitu sebagai berikut: (1) desa berada di wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas unggulan pertanian tertentu; (2) desa merupakan basis industri kecil pengolahan hasil pertanian; (3) desa memiliki keunggulan relatif terhadap desa lain dari segi tingkat pelayanan dan aksesibilitasnya. Dengan demikian, desa yang memenuhi kriteria, ditetapkan sebagai desa inti pengembangan. Kemudian dilakukan penentuan wilayah pengembangan komoditas pertanian dan prioritas pengembangan lahannya dengan kriteria sebagai berikut: (1) merupakan wilayah dengan keunggulan komoditas pertanian; (2) memiliki fisik lahan dengan kelas sesuai (S1, S2, S3) untuk masing-masing komoditas unggulan wilayah, (3) bukan wilayah yang memenuhi kriteria wilayah pengembangan industri. Selanjutnya dilakukan penentuan arahan program pembangunan yang harus dilakukan dalam mendorong perkembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian. Untuk itu dilakukan analisis deskriptif berdasarkan preferensi stakeholder melalui penyebaran kuisioner. Dalam penelitian ini, penentuan kriteria dan jumlah responden dilakukan dengan metode purposive sampling. Kemudian, dilakukan pemilihan alternatif program pembangunan berdasarkan kriteria terbaik dengan menggunakan analisis MCDM (Multi Criteria Decision Making). Metode MCDM yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode TOPSIS (Technique for Order Performance by Similiarity to Ideal Solution).

(30)

16

3.4.1 Analisis LQ dan SSA

Dalam ilmu perencanaan pengembangan wilayah, pemetaan komoditas unggulan dilakukan dengan mengidentifikasi aktivitas ekonomi komoditas tersebut di suatu wilayah. Keunggulan dapat berupa keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif wilayah dapat diketahui dengan pendekatan analisis Location Quotient (LQ). Analisis LQ sendiri merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Sementara itu, keunggulan kompetitif suatu wilayah dapat diketahui dengan pendekatan analisis shift-share (SSA). Suatu wilayah dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila dalam waktu tertentu mengalami peningkatan dibandingkan dengan wilayah lain (Rustiadi et al. 2011).

Analisis shift share terdiri atas tiga komponen yaitu differential shift,

proporsional shift dan regional share. Dalam penelitian ini differential shift

digunakan untuk melihat dinamika pertambahan luas tanam komoditas tertentu di suatu kecamatan terhadap pertambahan luas tanam komoditas tersebut di kecamatan lain. Sementara itu proporsional shift digunakan untuk menunjukkan dinamika pertambahan luas tanam komoditas tertentu terhadap peningkatan luas tanam total komoditas dimaksud di tingkat kabupaten, sedangkan regional share

digunakan untuk memberi gambaran dinamika pertambahan luas tanam total komoditas pada tingkat kabupaten.

Untuk menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dari kecamatan-kecamatan di Kabupaten Majalengka digunakan data luas tanam (ha) untuk masing-masing komoditas unggulan pertanian terpilih. Data yang digunakan untuk analisis keunggulan komparatif adalah data sektoral Kabupaten Majalengka tahun 2011 dan untuk analisis keunggulan kompetitif digunakan dua titik tahun, yaitu 2007 dan 2011. Sementara itu, untuk menentukan desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian digunakan potensi industri tahun 2012. (1) Analisis LQ

Analisis Location Quotient (LQ) dapat digunakan untuk melihat sektor basis atau non basis pada suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi sektor basis atau keunggulan komparatif suatu wilayah (Rustiadi et al. 2011). Metode analisis LQ pada penelitian ini menggunakan data luas tanam per komoditas dari tiap kecamatan untuk menganalisis keunggulan komparatif kecamatan dan data jumlah industri kecil per kelompok industri dari tiap desa untuk menganalisis desa basis industri.

Metode LQ (Chiang 2008) dirumuskan sebagai berikut :

X

X

X

X

LQ

J I IJ IJ .. . . / / 

untuk keunggulan kompetitif kecamatan:

LQij : Indeks kuosien lokasi kecamatan i untuk komoditas j

Xij : Luas tanam masing-masing komoditas j di kecamatan i

Xi. : Luas tanam total di kecamatan i

X.j : Luas tanam total komoditas j di kabupaten

(31)

17

untuk desa basis industri :

LQij : Indeks kuosien lokasi desa i untuk kelompok industri j

Xij : Jumlah industri masing-masing kelompok industri j di desa i

Xi. : Jumlah industri total di desa i

X.j : Jumlah industri total kelompok industri j di kabupaten

X.. : Jumlah industri total seluruh kelompok industri di kabupaten.

Perhitungan nilai indeks LQ menggunakan beberapa asumsi berikut: (1) digali dari kondisi geografis wilayah yang menyebar relatif seragam, (2)

pola-pola aktifitas di seluruh unit analisis bersifat seragam, dan (3) produk yang dihasilkan dari setiap aktifitas adalah sama dan diukur dalam satuan yang sama. Implikasi dari asumsi tersebut adalah bahwa seluruh data yang merepresentasikan aktifitas dapat dijumlahkan dan nilai penjumlahannya bermakna.

Beberapa catatan untuk menginterpretasikan hasil analisis LQ adalah sebagai berikut: (1) jika nilai LQij > 1, maka terdapat indikasi konsentrasi aktifitas ke-j di sub wilayah ke-i atau terjadi pemusatan aktifitas ke-j di sub wilayah ke-i. Dapat juga diterjemahkan bahwa wilayah ke-i berpotensi untuk mengekspor produk aktifitas ke-j ke wilayah lain karena produksinya secara relatif di atas rata-rata produksi di seluruh cakupan wilayah analisis; (2) jika nilai

LQij = 1, maka sub wilayah ke-i mempunyai pangsa aktifitas ke-j setara dengan pangsa sektor ke-j di seluruh wilayah. Jika diasumsikan sistem perekonomian tertutup, dimana pertukaran produk atau perdagangan hanya terjadi dalam wilayah yang dianalisis dan bisa dicukupi secara internal dalam cakupan wilayah tersebut, maka wilayah i secara relatif mampu memenuhi kebutuhan internalnya, namun tidak memiliki surplus produksi yang potensial bisa diekspor ke wilayah lain; (3)

Jika LQij < 1, maka sub wilayah ke-i mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan pangsa aktifitas ke-j di seluruh wilayah, atau pangsa relatif aktifitas ke-j di wilayah ke-i lebih rendah dari rataan aktifitas ke-j di seluruh wilayah.

(2) Analisis SSA

Shift shareanalysis (SSA) menjadi salah satu teknik yang digunakan secara luas dalam kajian pengembangan wilayah setelah diperkenalkan oleh Prof. J. Harry Jones pada The royal Commision on the Distribution of the Industrial Population di tahun 1940 (Lamarche et al. 2003).

Menurut Bowen (2012), shift share analysis (SSA) biasa digunakan sebagai analisis yang sensitif terhadap periode waktu, regionalisasi dan agregasi level

industri. SSA sangat bermanfaat untuk membandingkan antara ekonomi regional dengan nasional serta mengidentifikasi sektor yang paling pesat tumbuh atau paling lambat berdasarkan pola nasional.

(32)

18

menunjukkan dinamika total wilayah; (2) komponen pergeseran proporsional (komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total

aktivitas tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah. (3) Komponen pergeseran diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ ketakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain.

Persamaan SSA (Davis dan Goldberg 1972) adalah sebagai berikut :

dimana :

a : Komponen regional share

b : Komponen proportional shift

c : Komponen differential shift

X.. : Total luas tanam seluruh komoditas pertanian terpilih dalam kabupaten

X.j : Total luas tanam komoditas tertentu dari komoditas pertanian terpilih dalam kabupaten

Xij : luas tanam di wilayah kecamatan tertentu t1 : Titik tahun akhir (2007)

t0 : Titik tahun awal (2011)

Analisis shift share mensyaratkan tidak ada perubahan total luas lahan dalam suatu wilayah administratif selama kurun waktu pengamatan (Panuju dan Rustiadi 2012). Sementara itu, dalam kurun waktu pengamatan (2007 dan 2011), telah terjadi pemekaran wilayah sebanyak tiga kecamatan yaitu Malausma (kecamatan induk : Bantarujeg), Kasokandel (kecamatan induk : Dawuan) dan Sindang (kecamatan induk : Sukahaji). Untuk memenuhi syarat di atas, dilakukan penggabungan data kecamatan hasil pemekaran dengan kecamatan induknya.

Wilayah-wilayah komoditas unggulan pertanian yang dipilih adalah wilayah-wilayah yang unggul baik secara komparatif maupun kompetitif, yaitu wilayah dengan nilai LQ>1 dan nilai SSA positif.

3.4.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan

Pada penelitian ini, analisis kesesuaian lahan adalah analisis kesesuaian lahan kualitatif aktual dengan asumsi sebagai berikut : (1) data yang digunakan terbatas pada informasi yang terdapat pada peta tematik yang digunakan; (2) tidak mempertimbangkan aspek kependudukan, infrastruktur dan fasilitas pemerintah; (3) tidak mempertimbangkan status kepemilikan tanah; (4) tidak mempertimbangkan tingkat pengelolaan atau manajemen; (5) persyaratan tumbuh atau persyaratan penggunaan lahan untuk komoditas pertanian menggunakan kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia dalam Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian (Djaenudin et al.

(33)

19 (2007). Berdasarkan ketersediaan data, evaluasi lahan hanya mempertimbangkan empat jenis kualitas lahan dan lima karateristik lahan (Tabel 7).

Rejim suhu (t) diwakili oleh rata-rata suhu tahunan dalam 0C. Peta suhu yang digunakan dalam penelitian ini diturunkan dari Peta Ketinggian (Bappeda 2011) dan dilakukan pendekatan dengan rumus Braak (1928) dalam (Djaenudin et al. 2011) yang menyatakan bahwa akan terjadi perubahan suhu sebesar 0.060C untuk setiap perubahan ketinggian sebesar 100m. Suhu acuan yang digunakan adalah data rata-rata suhu tahunan di stasiun Meteorologi Jatiwangi (berada pada ketinggian 50m dpl) tahun 2007-2011.

Ketersediaan air (w) diwakili oleh nilai rata-rata curah hujan tahunan dan jumlah rata-rata bulan kering. Nilai Rata-rata curah hujan yang dimaksud adalah nilai rata-rata jumlah curah hujan tahunan yang diukur dalam satuan mm. Peta tematik untuk curah hujan ini diturunkan dari peta curah hujan Jawa Barat dan dilakukan pengecekan dengan membandingkan nilai rata-rata curah hujan tahunan di stasiun Meteorologi Jatiwangi tahun 2007-2011. Sementara itu, jumlah rata-rata bulan kering yang dimaksud adalah jumlah rata-rata-rata-rata lamanya bulan kering berturut-turut dalam satu tahun dengan curah hujan kurang dari 60 mm. Peta tematik yang digunakan untuk rata-rata bulan kering menggunakan informasi dari peta sistem lahan versi RePPProT.

[image:33.595.113.505.130.471.2]

Media perakaran (r) diwakili oleh tekstur tanah dan peta tematiknya menggunakan informasi dari peta sistem lahan versi RePPProT. Masing-masing kelas tekstur merupakan istilah dari gabungan komposisi fraksi tanah halus≤ 2mm Tabel 7 Kualitas dan karakteristik lahan dalam evaluasi lahan

No Kualitas Lahan Karakteristik Lahan Satuan 1 Rejim suhu *) Rata-rata suhu tahunan *) 0C 2 Ketersediaan air*) - Rata-rata curah hujan tahunan *)

- Rata-rata bulan kering *)

- Kelembaban

mm/tahun

bulan % 3 Ketersediaan Oksigen Drainase kelas 4 Media perakaran*) - Tekstur *) kelas

- Bahan Kasar %

- Kedalaman tanah cm 5 Gambut - Ketebalan

- Kematangan

cm kelas 6 Retensi Hara - KTK liat cmol

- Kejenuhan basa %

- pH H2O kelas

- C-organik kelas

7 Toksisitas Salinitas dS/m

8 Sodisitas Alkalinitas %

9 Bahaya sulfidik Kedalaman sulfidik cm 10 Bahaya erosi*) - Lereng *)

- Bahaya erosi

kelas kelas 11 Bahaya banjir Genangan Kelas 12 Penyiapan lahan - Batuan di permukaan

- Singkapan batuan

% %

(34)

20

yang terdiri atas pasir, debu dan liat. Pengelompokan kelas tekstur dalam penelitian ini mengikuti kelas tekstur menurut Djaenudin (2011), yaitu : sangat halus (liat tipe 2:1), halus (liat berpasir, liat, liat berdebu), agak halus (lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu), sedang (lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu), agak kasar (lempung berpasir), dan kasar (pasir, pasir berlempung). Untuk bahaya erosi (e) diwakili oleh kemiringan lereng. Peta tematik kemiringan lereng menggunakan informasi pada peta satuan lahan dan tanah versi BBPPSDLP tahun 2011.

Dari hasil analisis kesesuaian lahan diperoleh sebaran kelas kesesuaian untuk masing-masing komoditas unggulan pertanian terpilih dan digunakan untuk menunjukkan potensi lahan bagi pengembangan komoditas tersebut. Wilayah yang dianggap sesuai untuk pengembangan komoditas unggulan pertanian adalah wilayah yang termasuk dalam kelas sesuai (SI, S2 dan S3).

3.4.3 Analisis Hirarki Wilayah

Analisis skalogram digunakan untuk menentukan prioritas wilayah pembangunan tingkat desa berdasarkan ketersediaan jumlah dan jenis sarana pelayanan serta aspek aksesibilitasnya. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disusun dalam satu tabel. Metode skalogram ini bisa digunakan dengan menganalisis jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap wilayah, atau menganalisis ada/tidaknya fasilitas tersebut di suatu wilayah (Saefulhakim 2004).

Penyusunan tabel skalogram menggunakan asumsi bahwa masing-masing komponen mempunyai bobot dan kualitas yang bersifat indifferent. Proses analisis skalogram yang didasarkan pada struktur tabel ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 8 Struktur tabel analisis skalogram

No Sub- Wila-yah  Penduduk

Infrastruktur

kom-ponen  Total Jenis Komp. Rasio Jenis Kom-ponen Indeks Hirarki

F1 F2 F3 ..Fk... Fm

1 B1 F11 F12 F13 F1k F1m

#

m k k

F

C1 C1/m Σ

(F1.k) / Bk*(n/ ak)

2 B2 F21 . C2 C2/m

3 B3 F31 . . .

. . . .

. . .

.

i Bi Fik Ci Ci/m

. .

. .

. .

n Bn Fn1 F2n Fmn

 Wil. Memiliki Fasilitas a1 a2 a3 ..ak.. am

Rasio Wil. memiliki Fas. a1/n a2/n a3/n ak/n

Bobot n/ a1 n/ a2 n/ a3 n/ ak

(35)

21 Rumus umum analisis skalogram berdasarkan Indeks Hirarki (Rustiadi et al.

2011) adalah sebagai berikut:

Indeks Hirarki( 1) ( . )

ak n F I

n

k ik

dimana : Fik = nilai komponen ke i pada sub wilayah ke k; ak

n

= bobot komponen tiap faktor penentu hirarki. Tahap-tahap dalam penyusunan skalogram adalah sebagai berikut:

(1) Menyusun komponen sesuai dengan penyebaran dan jumlah komponen di dalam unit-unit wilayah. Komponen yang tersebar merata di seluruh wilayah diletakkan dalam urutan paling kiri dan seterusnya sampai komponen yang terdapat paling jarang penyebarannya di dalam seluruh unit wilayah. Angka yang dituliskan adalah jumlah komponen yang dimiliki setiap unit wilayah. (2) Menyusun wilayah sedemikian rupa dimana unit wilayah yang mempunyai

ketersediaan komponen paling lengkap terletak di susunan paling atas, sedangkan unit wilayah dengan ketersediaan komponen paling tidak lengkap terletak di susunan paling bawah.

(3) Menjumlahkan seluruh komponen secara horizontal baik jumlah jenis komponen maupun jumlah unit komponen di setiap unit wilayah.

(4) Menjumlahkan masing-masing unit komponen secara vertikal sehingga diperoleh jumlah unit komponen yang tersebar di seluruh unit wilayah. (5) Dari hasil penjumlahan ini posisi teratas merupakan sub wilayah yang

mempunyai komponen terlengkap. Posisi terbawah merupakan sub wilayah dengan ketersediaan komponen umum paling tidak lengkap.

(6) Jika dari hasil penjumlahan dan pengurutan ini diperoleh dua daerah dengan jumlah jenis dan jumlah unit komponen yang sama, maka pertimbangan ke tiga adalah jumlah penduduk. Sub wilayah dengan jumlah penduduk lebih tinggi diletakkan pada posisi di atas.

Batas penentuan hirarki ini didasarkan kepada Indeks Hirarki (IH) dari tiap suatu desa dengan mengikuti ketentuan seperti yang tersaji pada Tabel 9.

Komponen skalogram dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua aspek, yaitu aspek fasilitas dan aspek aksesibilitas yang terdiri atas 24 komponen seperti yang tersaji pada Tabel 10. Desa yang terpilih dari hasil analisis skalogram adalah desa yang termasuk dalam hirarki 1.

Tabel 9 Komponen aksebilitas dan fasilitas dalam skalogram

Hirarki Batas Selang

1 IH > (Rataan IH + Standar Deviasi) 2 (Rataan IH) ≥IH≤ (Rataan IH + Standar Deviasi)

3 IH < (Rataan IH)

(36)

22

3.4.4 Analisis Penentuan Wilayah Pengembangan Industri dan wilayah Pengembangan komoditasnya

Sebagai pendekatan terhadap teori lokasi industri Weber (1909) seperti yang diuraikan pada Bab 1 (Pendahuluan: Kerangka Pemikiran), penentuan lokasi pengembangan industri kecil pengolahan berbasis komoditas unggulan ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut : (1) lokasi pengembangan berada di wilayah (kecamatan) dengan keunggulan komoditas pertanian tertentu; (2) lokasi pengembangan merupakan desa basis industri pengolahan hasil pertanian; (3) lokasi pengembangan merupakan desa yang termasuk dalam orde tinggi (hirarki 1) berdasarkan indeks hirarki desanya.

[image:36.595.37.478.95.491.2]

Kriteria pertama diperoleh dari hasil analisis keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah (analisis LQ dan analisis shift share). Kriteria kedua diperoleh dari hasil analisis desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian (analisis LQ). Untuk kriteria ketiga merupakan hasil analisis tingkat kapasitas pelayanan wilayah (analisis skalogram). Adapun desa yang dipilih sebagai lokasi pengembangan industri adalah desa yang memenuhi ketiga kriteria tersebut, sehingga aturan dalam menentukan arahan kebijakan wilayah pengembangan industri berbasis komoditas unggulan pertanian seperti yang disajikan pada Tabel 11.

Tabel 10 Komponen aksesibilitas dan fasilitas dalam skalogram

No Komponen Aspek

1 Keluarga pengguna listrik (keluarga) Fasilitas 2 Keluarga berlangganan telepon kabel (keluarga) Fasilitas

3 Pasar (unit) Fasilitas

4 Adanya warnet Fasilitas

(37)

23

Sementara itu wilayah pengembangan komoditas pertanian ditentukan dengan kriteria sebagai berikut: (1) merupakan wilayah dengan keunggulan komoditas pertanian; (2) memiliki fisik lahan dengan kelas sesuai (S1, S2, S3) untuk masing-masing komoditas unggulan wilayah; (3) bukan wilayah yang ditetapkan sebagai wilayah pengembangan industri; (4) prioritas lahan pengembangan komoditas mengikuti kelas kesesuaiannya dimana prioritas 1 ditentukan berdasarkan kelas kesesuaian terbaik, sedangkan lahan dengan kelas kesesuaian N (tidak sesuai), dikategorikan “bukan prioritas” dan lahan dengan status hutan, dikategorikan ke dalam “bukan wilayah pengembangan komoditas”. 3.4.5 Analisis Arahan Prioritas Progam Pembangunan

Penetapan arahan pembangunan desa pengembangan industri kecil berbasis komoditas un

Gambar

Tabel 7 Kualitas dan karakteristik lahan dalam evaluasi lahan
Tabel 10 Komponen aksesibilitas dan fasilitas dalam skalogram
Gambar 3  Wilayah administrasi Kabupaten Majalengka
Tabel 12  Fluktuasi iklim di Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2009 dan 2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melihat banyak serta besarnya biaya penggunaan ACE- Inhibitor dan Calcium Channel Blocker , maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui efektivitas dari ACE- Inhibitor dan

Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Anton Eka Saputa (2012) yang meneliti mengenai pengaruh kompetensi dan independensi terhadap kualitas

jantung pada dinding dada.Batas bawahnya adalah garis yang menghubungkan sendi kostosternalis ke-6 dengan apeks jantung... FISIK DIAGNOSTIK JANTUNG DAN

135.157.000,- (Seratus Tiga puluh Lima Juta Seratus Lima Puluh tujuh Ribu Rupiah) dengan ini diumumkan :.. KESIMPU LAN

Mekanisme pengawasan dilakukan dengan ketentuan bahwa setiap tim pelaksanakegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak secara berkala membuat laporan hasil pelaksanaan

Terdapat hubungan yang kuat dan positif antara kompetensi, kompensasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan 6 Meningkatkan Kinerja Pemasaran Dengan Kreativitas

Adapun sistem penyimpanan di RSU Sinar Husni tidak menggunakan tracer dan masih manual pada saat pengambilan rekam medis, masih ada berkas rekam medis yang

Masalah transshipment ini apabila diselesaikan dengan program Solver , maka kita memberikan nilai M yang cukup besar, misalnya 100.000. Untuk menyelesaikan masalah pada Tabel